Kurang-lebih selama satu dekade terakhir, perkembangan dan kondisi sektor energi nasional kian hari kian terasa memprihatinkan. Sementara pada awalnya publik masih gamang dan ragu-ragu untuk menyatakan bahwa krisis energi tengah terjadi, dan pemerintah pun masih bisa dengan cukup lihai berkelit dan menyatakan memang tak ada krisis energi di Tanah Air, dalam tiga-empat tahun belakangan ini tampaknya semuanya telah menjadi sangat jelas. Tak diragukan lagi bahwa krisis energi memang sedang berlangsung di negeri ini; di Indonesia, negeri yang kaya dengan keanekaragaman sumber-sumber energi. Pemadaman listrik bergilir yang terus terjadi, kelangkaan BBM dan elpiji yang (selalu) diwarnai dengan antrean panjang, dan kenaikan harga BBM di saat harga minyak sedang tinggi adalah beberapa bukti nyata yang begitu kasatmata ihwal terjadinya krisis energi di Tanah Air yang langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Jika keraguan dan pertanyaan masyarakat tentang kenyataan terjadinya krisis energi sudah terjawab, dengan sendirinya melalui bukti-bukti nyata sebagaimana diutarakan di atas, pertanyaan mendasar yang hingga kini jawabannya belum sepenuhnya ditemukan oleh masyarakat adalah "mengapa krisis energi yang sudah berlangsung kurang-lebih sejak tahun 2000 ini tak kunjung dapat diatasi?". Dari sekian banyak jawaban rasional yang mungkin ada, penulis berpandangan bahwa ada satu faktor terpenting yang sangat menentukan (determinan) yang barangkali dalam kasus krisis energi di Tanah Air justru cenderung sering luput dari perhatian banyak orang. Faktor yang menyebabkan krisis energi nasional tak kunjung dapat diatasi tak lain adalah sirnanya atau tiadanya kepemimpinan (leadership) yang nyata di sektor energi. Ada beberapa argumen mengapa dalam pandangan penulis masalah ketiadaan kepemimpinan di sektor energi ini menjadi satu faktor terpenting yang sangat menentukan. Ketiadaan kepemimpinan di sektor energi telah menyebabkan tidak berjalannya implementasi pilar-pilar kebijakan energi, seperti intensifikasi (penggalakan penemuan sumber-sumber energi baru), diversifikasi (penganekaragaman pemanfaatan energi), dan konservasi (penghematan dan efisiensi penggunaan energi), yang sesungguhnya telah diketahui dan dimiliki oleh pemerintah sendiri dalam dokumendokumen kebijakan energinya sejak awal 1980-an. Karena tidak hadirnya pemimpin di sektor energi, yang terjadi selama ini cenderung hanya pembaruan dan pemutakhiran dokumen-dokumen kebijakan energi, dan bukan eksekusi serta implementasi nyata dari pilar-pilar kebijakan energi yang ada. Inilah sejatinya yang menjadi penyebab utama terjadinya krisis energi di Tanah Air saat ini. Alih-alih mengelaborasi pilar-pilar kebijakan energi tersebut menjadi program-program kegiatan yang sistematis, terencana, terukur, dan terperinci (spesifik), yang dilakukan justru cenderung hanya menerapkan kebijakan-kebijakan instan yang lahir bukan dari proses pemikiran dan pengkajian komprehensif dan sering kali tidak konsisten dengan kebijakan-kebijakan sebelumnya. Kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji, yang begitu saja menggusur kebijakan penggalakan pemanfaatan briket batu bara dan cenderung hanya berdasarkan pertimbangan untung-rugi, adalah salah satunya. Maju-mundurnya
rencana penggunaan kartu pintar (smart card), yang meski dalam batas-batas tertentu ada sisi positifnya, juga merupakan contoh lain betapa ketiadaan pemimpin yang nyata di sektor energi membuat sektor ini seperti benar-benar tak punya konsep dan hanya menerima konsep yang entah dari mana datangnya. Tiadanya pemimpin yang sejati di sektor energi juga menyebabkan tak pernah ada ketegasan yang muncul dalam penyelesaian kisruh-kisruh sektor energi yang ada. Ada begitu banyak contoh sederhana yang begitu gamblang pula dalam hal ini. Kasus tunggakan pembayaran royalti oleh segelintir produsen batu bara hingga Rp 7 triliun yang telah terjadi sejak 2001 adalah gambaran yang sangat nyata bahwa kepemimpinan, dan berarti juga ketegasan, di sektor energi di Tanah Air nyaris tak ada sama sekali. Dalam penyelesaian masalah pemadaman listrik bergilir, kita pun bisa melihat bahwa akhirnya yang terjadi adalah sekadar membiarkan PLN berhadap-hadapan langsung dengan masyarakat, pengelola hotel, dan pusat belanja khususnya, yang dipaksa harus mengurangi pemakaian listriknya dan menyediakan genset pada waktu-waktu tertentu. Yang paling mutakhir tentu saja adalah pembiaran terhadap perusahaan negara lainnya, Pertamina, untuk menaikkan harga elpiji secara sepihak dan mendadak, sehingga kembali harus berhadapan dengan rakyat yang seharusnya dilayaninya. Kepemimpinan di sektor energi, yang semestinya dengan kewenangannya dapat bersikap tegas dan berdiri di garda paling depan, seakan menghilang entah ke mana dalam penyelesaian kasus-kasus ini. Tentunya masih banyak contoh kasus lain yang tak dapat kita sebutkan satu per satu di sini. Namun, sudah cukup jelas kiranya bahwa kita membutuhkan kepemimpinan (baru) di sektor energi ini. Kepemimpinan yang tidak sekadar berupa jabatan formal tanpa langkah konkret, melainkan jabatan formal yang disertai dengan integritas, keberanian, ketegasan, dan komitmen kerja keras untuk benar-benar menerjemahkan dan menjalankan amanah konstitusi dan pilar-pilar kebijakan energi yang ada secara nyata. Kemampuan eksekusi yang bertanggung jawab dari suatu kebijakan yang matang--dan bukan sekadar kemampuan pemutakhiran dokumen kebijakan ataupun kesediaan untuk menjalankan kebijakan instan yang top down--adalah yang sesungguhnya kita perlukan untuk bisa segera keluar dari krisis energi ini. Ketegasan, keberanian, dan keteguhan dalam memegang prinsip politik energi yang berorientasi pada pengutamaan kepentingan nasional adalah yang kita butuhkan saat ini untuk menegakkan kembali kedaulatan negara atas sumber-sumber energi yang ada di Tanah Air. Setidaknya, itulah yang sirna dari kepemimpinan energi yang ada selama ini. Jika itu tak dapat lagi dihadirkan (dan tampaknya memang sudah tidak dapat diharapkan lagi) dalam kepemimpinan energi yang ada saat ini, tampaknya tak ada pilihan lain untuk segera keluar dari krisis energi ini selain hanya dengan segera menggantinya pula. Kecuali kita memang ingin terus berkubang dengan masalah sektor energi yang berkepanjangan dan tanpa penyelesaian.