Moch_syawie

  • Uploaded by: Fernando Hasudungan Manurung
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Moch_syawie as PDF for free.

More details

  • Words: 1,980
  • Pages: 8
INDIKATOR IMAN KEPADA TUHAN PANGKAL KETAHANAN SOSIAL KELUARGA STUDI DI BALIK HASIL PENELITIAN Oleh:Moch Syawie

PENGANTAR Ketahanan social keluarga senantiasa boleh dikatakan terkait dengan akurasi peran dan fungsi keluarga yang dapat optimal mengkondisikan keluarga-keluarga menjadi pranata yang dapat memberi perlindungan, pengendalian, pengembangan dan partisipasi keluarga dalam kehidupan masyarakat. Keluarga berketahanan adalah keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan anggotanya secara fisik, social, mental dan spiritual. Setiap keluarga, baik dalam arti sebenarnya atau dalam arti luas, membutuhkan nilai dasar untuk membentuk karakter para anggotanya agar menjadi manusia-manusia yang lebih bermakna dan bermanfaat. Bermakna berarti menyadari kewajibannya, menjunjung tinggi kehormatan diri dan keluarga, serta bermanfaat berarti memberikan apa yang bias kita berikan kepada masyarakat. Karakter keluarga adalah garis-garis kepribadian, jati diri, d an kehormatan seperti apa yang kita pilih. Bagi orang-orang beriman, pada mulanya adalah kefahaman, niat dan kehendak luhur. Lalu sesudah itu adalah perilaku-perilaku kebajikan. Melalui perkawinan Yang beranak pinak, kanal-kanal kebajikan itu lantasturur mengalir menjadi nilai-nilai yang tersambung, lebih tepatnya sengaja kita sambung, atau warisan kemuliaan yang kita bagi sejak dini untuk anak. Itulah karakter itu (Tarbawi, 2006). Sebuah kisah mengungkapkan bahwa, John Fizgerald Kennedy, presiden Amerika ke 35 mengatakan, “Ketika kakek buyutku datang sebagai

seorang penambang di Boston

Timur, tidak membawa apapun selain dua hal, keyakinan hidup yang kuat dan hasrat kebebasan yang berkobar-kobar. Sejujurnya, saya dengan bangga mengatakan bahwa kedua hal itu telah diwarisi oleh para cucu dan cicitnya. Lebih dari 50 tahun hingga sekarang , keluarga Kaneedy telah memberikan inspirasi bagi keluarga Amerika, betapa mulianya melayani publik, memperkuat keyakinan sebagai bekal kehidupan social politik Amerika yang sedemikian rumit, tidak sedikit penderitaan dan pengorbanan yang telah mereka berikan (2006).

Potret kukuh keluarga Kanenndy telah memberikan inspirasi luar biasa bagi sebagian besar keluarga Amerika Serikat tentang kesadarn bahwa mereka datang bersama-sama sebagai sebuah keluarga besar. Merka pun datang bersama baik dalam penderitaan atau kebahagian, dan itu merefleksikan nilai-nilai yang mereka hormati. Siapakah yang telah mengajarkan bagaimana anak-anak lucu dan cerdas itu menjadi pemimpin? Siapa yang peduli dan menstimulasi pikiran mereka untuk menjadi besar dan pribadi dermawan? Hanya laki-laki dan perempuan yang berkarakter yang dapat memberikan inspirasi tentang semua hal itu. Namun, ironisnya, kini sebagian besar keluarga di Amerika Serikat justru bergerak pelan menuju jurang kehancuran. Pickthal (2002, dalam Tarbawi, 2006) melaporkan seperempat dari perempuan usia 15 tahun dan 30 persen anak laki-laki usia 15 tahun telah berhubungan seksual yang menyebabkan angka kehamilan di luar nikah sebesar satu juta kasus pertahun. Dibandingkan dengan Negara maju yang lainnya, Amerika Serikat tertinggi dalam hal tingkat aborsi, dan kematian akibat kekerasan (violent death) di kalangan remaja.

Kisah Tentang Keluarga Seberapa dasyat ia telah terjadi di Indonesia, kita belum tahu benar. Akan tetapi sebuah “revolusi” secara diam-diam nampaknya memang sedang terjadi di dalam masyarakat kita : revolusi Keluarga. Sumbernya barangkali memang bukan revolusi industri dalam bnetuknya seperti yang terjadi di dunia Barat, oleh karena revolusi industri dalam bentuknya yang demikian agaknya belum dapat disebut telah terjadi di Indonesia. Namun demikian kehadirannya jelas sangat erat berkaitan dengan globalisasi industialisasi yang semakin dalam merasuki masyarakat kita. Indikasi-indikasi kehadirannya semakin banyak dapat kita saksikan di sekitar kita. Mulai kita dengar, misalnya, keluhan bahwa semakin banyak laki-laki dan wanita semakin sulit menemukan kebahagian di dalm hubungan pribadi mereka di dalam keluarga. Semakin banyak pula meningkatnya jumlah suami dan isteri yang mencari kepuasan hubungan seksual di luar perkawinan. Semakin banyak jimlah anak-anak yang mengalami kesulitan menemukan “kedamaian “ di dalam perlindungan keluarga, banyak diantaranya bahkan tidak pernah

menghirup udara dunia lebih lama oleh karena dosa mereka lahir dari hubungan seksual di luar nikah (lihat Nasikun, 1991). Tidak kalah menarik adalh tumbuhnya kecenderungan semakin melemahnya kesinambungan hubungan antar tiga buah lembaga social yang secara tradisional sangat sentral di dalam proses pembentukan keluarga, pertunangan (courtship), perkawinan (marriage), dan keluarga (family), dan meningkatnya hubungan seseksual sejenis. Kendati apa yang digambarkan oleh David Cooper di dalam bukunya berjudul The Death of the Family (Streib, 1977, dalam Nasikun, 1991) belum dan bahkan tidak akan pernah terjadi di Indonesia di dalam waktu yang dapat dibayangkan, bahwa keluarga akan segera menjadi sebuah lembaga social yang usang dan oleh karenanya harus digantikan dengan suatu lembaga social baru, indikasi bahwa lembaga keluarga semakin tidak mampu mengendalikan

berbagai

sumberdaya

yang

diperlukan

untuk

membangun

kesejahteraannya sendiri memang semakin jelas terpamapng dihadapan kita. Proses industrialisasi yang sedang terjadi di Indonesia, dan yang akan segera memasuki tahapannya yang kritis di dalam waktu yang tidak terlalu lama, jelas akan semakin mendorong evolusi kecenderungan tersebut mencapai tingkatnya yang lebih substansial. Imolikasinya bukan hanya akan membuat lembaga keluarga semakin menggantungkan kesejahteraannya pada penguasaan sumberdaya-sumberdaya yang ada di luar keluarga, akan tetapi implikasi-implikasi lain yang mengalir daripadanya: melemahnya pola keluarga luas (extended family) dan berkembangnya pola keluarga bayih (nucleur family); melemahnya kekuasaan dan wibawa orangtua oleh semakin terurainya ikatan anggota-anggota keluarga menjadi lebih bersifat atomistic; meningkatnya perceraian oleh semakin merekahnya emansipasi dan kemandirian wanita, dan berbagai bentuk gejala disintegrasi keluarga sebagaimana yang sudah disebut di atas. Persoalan keluarga tampaknya cenderung telah menjadi perhatian utama, baik di tingkat nasioanal maupun internasinal. Paling tidak kita menangkap kesan bahwa masalah keluarga merupakan pokok hal penting yang perlu diberi perhatian khusus. Ambillah contoh nasib keluarga di Timur Tengah, Afrika, Kamboja , Bosnia Herzegivina, Rwanda, Yaman dan tempat lain. Banyak keluarga hancur akibat perang, bencana alam, kelaparan, penyakit dan peristiwa lain. Banayak anak menjadi yatim piatu. Bagaimana pula nasib

para pengungsi yang terbuang dari negaranya dan akhirnya menjadi beban dunia (baca : Prima,6, 1994). Ada kecenderungan dunia terus bergolak dan menjurus ke arah runtuhnya sendisendi kehidupan manusia. Keluarga miskin terus dihimpit masalah. Keluarga kaya pun dirundung musibah akibat penyalahgunaan obat terlarang. Keutuhan keluargaterancam karena setiap anggota keluarga – ayah, ibu dan anak – sibuk dengan urusannya sendiri dan tak ada waktu lagi untuk berkumpul dan bercengkerama antarkeluarga. Televisi pun kian berperan untuk menjadi “ibu elektronik” atau “orang tua baru” bagi anak-anaknya. Memang serba dilematis, anak-anak tetap asyik berada di rumah bersentuhan dan diterpa segala informasi dan budaya baru, tetapi hampa kasih saying orangtua. Sehubungan dengan hal-hal tersebut, kiranya tulisan ini menjadi relevan untuk diungkap mengenai factor keimanan dan kaitannya dengan ketahanan social keluarga.

Ketahanan Keluarga Yang dimaksud ketahanan keluarga adalah kondisi dinamik dari satu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik, materiil, psikis, mental dan spiritual guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan kebahagian batin (Yaumil C. Agoes Achir, 1994). Mengacu pada definisi tersebut maka suatu keluarga disebut memiliki ketahanan dan kemandirian yang tinggi bila keluarga itu dapat berperan optimal dalam mewujudkan seluruh potensi anggota-anggotanya. Karena itu tanggungjawab keluarga meliputi tanggungjawab terhadap kesehatan anggota keluarga, pendidikan, ekonomi, dan social budaya. Ketahanan keluarga dalam pengerian di atas erat kaitannya dengan uapaya menggerakkan fungsi-fungsi keluarga, terutama bila kendala dan tantangan seperti uraian di atas ingin diselesaikan secara maksimal. Peningkatan keluarga sejahtera atau keluarga berketahanan boleh dikatakan meningkatkan kualitas keluarga menuju keluarga yang mampu berfungsi sebagai wahana pembentukan sumber daya manusia yang efektif bagi pembangunan nasional.

Di sisi lain, menurut Irwanto (2008), pembangunan manusia modern memunculkan paradoks tentang anak mereka diakui sebagai masa depan kemanusiaan, tetapi sekaligus menjadi kelompok penduduk paling rentan karena sering diabaikan dan dikorbankan dalam proses pembangunan. Ambruknya inftrastruktur pembangunan karena krisis moneter, social, dan politik 1997/1998, serta terserapnya dana pembangunan untuk membayar utang, mengatasi dampak konflik dan bencana alam, membuat pembangunan sumber daya manusia di Indonesia terabaikan. Indeks pembangunan sumber daya manusia Indonesia 2008 di peringkat 108, lebih rendah dari Vietnam yang di 105. Rinciannya , antara lain, angka kematian bayi 34-111 anak per 1000 kelahiran hidup, gizi buruk pada anak usia balita 13,34 persen, dan rendahnya angka partisipasi sekolah (93,54 persen di tingkat SD, 66,52 persen di SMP, 43,77 persen di SMA, dan 8,87 persen di perguruan tingg)(lihat Irwanto, 2008). Di bidang hokum masih mengutip Irwanto, anak-anak Indonesia menjadi korban produk hokum yang korup dan mekanisme hokum yang tidak efektif. Diperkirakan lebih dari 40 persen bayi baru lahir tidak memiliki akta kelahiran. “Anak-anak kita juga harus menerima kenyataan bahwa pada usia delapan tahun, ia dapat di hokum kurungan jika melawan hokum dan dengan proses peradilan yang lama, 6,5 bulan. Dengan demikian, kualitas hidup anak tidak hanya tergantung pada orangtua dan kumunitasnya saja, juga Negara berkepentingan memiliki generasi penerus yang berkualitas.

Indikator Iman kepada Tuhan

Ada hal yang menarik dan perlu dicermati dari hasil kajian tentang Indikator Ketahanan Sosial Keluarga yang dilakukan oleh Pusat Pengembangan Ketahanan Sosial Masyarakat (Pusbangtansosmas) pada tahun 2007. Dari hasil kajian tersebut diantaranya terungkap bahwa walau menghadapi berbagai masalah dalam melaksanakan fungsifungsi keluarga namun keluarga mempunyai berbagai upaya untuk mengatasinya seperti membatsi kebutuhan sesuai kemampuan dan keadaan serta mengerahkan berbagai potensi

yang dimiliki keluarga. Dan tak kalh pentingnya adalah menanamkan niali-nilai keagamaan, memberi contoh yang baik dan musyawarah dalam mengambil keputusan. Adapun salah satu dari kesimpulan kajian indicator ketahanan social keluarga yang berlaku umum dan cenderung pada semua karakterisrik keluarga adalah Iman kepada Tuhan YME , yang antara lain memberikan pendididkan agama sejak dini, berdoa, bersabar, bersukur dan pasrah. Berkaitan dengan temuan tersebut, ada pandangan menurut Ahmad Yani (2008) yang berpendapat paling tidak ada lima aspek ketahanan keluarga yang sebaiknya dimiliki, yaitu: 1). Memiliki kemandirian nilai Suatu keluarga dikatakan memiliki ketahanan yang kuat manakala berpegang teguh kepada nilai-nilai keagamaan dalam menjalani kehidupan meskipun berhadapan dengan kendala yang berat dan lingkungan yang tidak agamis.

2). Memiliki kemandirian ekonomi Setiap manusia membutuhkan makan, minum, berpakaian, bertempat tinggaldan pengembangan diri. Untuk memenuhi semua itu, dibutuhkan pendanaan dalam jumlah yang cukup yang didapatkan dengan cara yang halal. Karena itu, setiap keluarga, khususnya bapak atau suami harus mampu mengembangkan keluarganya untuk memiliki kemandirian di bidang ekonomi.

3). Tahan menghadapi goncangan keluarga Kehidupan keluarga cenderung tidak lepas dari berbagai goncangan yang dapat membahyakan keluarga. Kunci utama untuk memperkokoh ketahanan keluarga dalam situasi seperti ini adalah konsilidasi suami-isteri.

4). Keuletan dan ketangguhan dalam memainkan peran social Keshalehan seseorang tidak hanya bersifat pribadi dalam arti ia menjadi baik hanya untuk kepentingan diri dan keluarganya, tapi keshalehannya juga harus ditunjukkan dalam bentuk kesalehan social. Karena itu, keluarga sebaiknya bias

memainkan peran social di masyarkat sehingga keberadaannya bias dirasakan manfaatnya oleh masyarakat banyak dan ini akan membuatnya menjadi keluarga terbaik.

5). Mampu menyelesaikan problema yang dihadapi Menjalani kehidupankeluarga seringkali berhadapan dengan berbagai problema. Jangankan kehidupan keluarga, kehidupan pribadisaja tidak pernah sepi dari persoalan .Kadangkala satu persoalan belum bisa dipecahkan namun sudah muncul lagi persoalan berikut yang bisa jadi lebih berat. Dalam situasi menghadapi problema hidup , sangat penting bagi insane keluarga untuk terus mengokohkan ketaqtawaan kepada Tuhan YME, sebab dalam kamus kehidupan orang bertaqwa (beriman) tidak ada istilah jalan buntu dalam arti persoalan tidak bisa dipecahkan.

Penutup Sosialisasi mungkin merupakan suatu proses yang amat penting dalam kehidupan bermasyarakat bahkan proses paling dasar dari terbentuknya masyarakat. Melalui proses inilah nilai, norma dan ketrampilan-ketrampila lain diajarkan kepada individu agar dapat hidup secara normal di dalam masyarakatnya (Wirutomo, 1994). Sosialisasi di dalam keluarga biasa disebut sebagai “primary socialization” yaitu sosialisasi yang pertama diterima oleh seorang anak. Menurut Talcott Parsons yang dikutip Wirutomo (1994), sosialisasi primer dalam keluarga menghasilkan “basic personality structure” di mana pola orientasi nilai yang ditanamkan pada seseorang akan sulit untuk diubah lagi sepanjang kehidupannya. Dengan demikian dalam pandangan Parsons peranan keluarga amat menonjol. Meminjam istilah yang digunakan Parsons, hal ini paralel dengan apa yang ditemukan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusbangtansosomas bahwa indicator iman kepada Tuhan merupakan variable kunci dalam mewujudkan keluarga yang memiliki ketahanan social dan berlandaskan keimanan.

Daftar Pustaka

Nasikun, 1991, Kerangka Konseptual Perumusan Indikator Kesejashteraan Sosial, Makalah Seminar, Sosiologi Fisipol UGM, kerjasama dengan Ikatan Sosiologi Indonesia Cabang Yogyakarta dan BKKBN DIY, Yogyakarta.

Tarbawi, 2006, Tradisi Mulia dan Kebanggaan Itu Berawal dari Keluarga, Majalah, Edisi 132 Th.7, 25 Mei 2006, Jakarta

Irmayani, dkk, Ketahanan Sosial Keluarga Kajian Lanjut Perumusan Indikator Dari Karakteristik Sejumlah Keluarga Di Lima Provinsi, Pusat Pengembangasn Ketahanan Sosial Masyarakat, Badan pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI, Jakarta

Ahmad Yani, Ketahanan Keluarga, Majalah Sabili, No. 01 TH XVI 24 Juli, 2008

Mochamad Syawie, Dosen Luar Biasa Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti dan Peneliti pada Pusat Pengembangan Ketahanan Sosial Masyarakat, Jakarta

More Documents from "Fernando Hasudungan Manurung"

Surat Permohonan Ta
June 2020 2
965
June 2020 5
Moch_syawie
June 2020 2
Infra Report
June 2020 5
Doc-20190331-wa0027.docx
December 2019 38
Direct Admiinistrasi.docx
December 2019 43