Miladiyah-fsh.pdf

  • Uploaded by: Aizuddin Yahya
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Miladiyah-fsh.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 23,450
  • Pages: 120
BATAS USIA PERKAWINAN MENURUT HUKUM NEGARA (Studi Perbandingan Indonesia–Malaysia)

SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh: MILADIYAH NIM: 1112043200017

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439H/2017M

ABSTRAK Miladiyah, NIM: 1112043200017, Batas Usia Perkawinan Menurut Hukum Negara (Studi Perbandingan Indonesia–Malaysia), Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H / 2017 M. xv + 66 halaman + 30 halaman lampiran. Skripsi ini merupakan upaya untuk memaparkan perbandingan batas minimum usia perkawinan di Indonesia dan Malaysia. Pernikahan merupakan hal yang sakral, sehingga dalam mewujudkannya tentu butuh persipan yang matang, dari segi usia yang cukup, kesiapatan mental, dan psikologis. Indonesia dan Malaysia merupakan Negara mayoritas berpenduduk muslim, maka tentu hukum yang ditetapkan mengenai batas minimal usia perniakahan tidak akan sama, mengingat struktur budaya dan tradisi di masing-masing Negara berbeda, sehingga berpotensi menimbulkan perbedaan pula hukum dan Undang-Undang yang diterapkan di Negara tersebut. Dengan adanya permasalahan tersebut, penulis merasa sangat perlu untuk mengangkat permasalahan ini. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif yang menggunakan data primer dengan menggunakan analisis kualitatif yang memaparkan persoalan hukum yang telah tertulis dalam al-Qur’an dan alHadits serta Undang-Undang yang kemudian diinterpretasikan oleh para ulama dan ahli hukum sehingga muncul beberapa pendapat dengan berbagai persamaan dan perbedaan. Data primer yang bersumber dari peraturan perundang–undangan yang berlaku di Negara Indonesia dan Malaysia serta referensi dianalisis secara kualitatif dengan menghasilkan deskripsi permasalahan. Berdasarkan hasil peneltian yang didapat dalam skripsi ini ialah bahwa Perbedaan yang paling menonjol mengenai batas minimum usia perkawinan di Indonesia dan Malaysia ditunjukan pada calon laki-laki yakni 19 tahun menurut Undang-undang Perkawinan di Indonesia, sedangkan dalam Sekyen 10 Akta Pembaharuan Undang-undang (Perkawinan dan Perceraian), 1976 menetapkan batas usia perkawinan berkisar pada umur 18 tahun, sedangkan calon mempelai perempuan sama-sama menetapkan minimal usia perkawinan adalah 16 tahun. Sedangkan ketentuan batas minimal usia untuk melangsungkan pernikahan dalam hukum Islam tidak pernah memberi batasan yang sangat tegas, namun hal yang paling mendasar mengenai batas minimal usia perkawinan adalah harus baligh. Pembimbing

: 1. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si 2. Hj. Ummu Hanah Yusuf Saumin, M.A

Daftar Pustaka

: Tahun 1970-2017

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...................................................................................

i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................

ii

SURAT PENGESAHAN PANITIA UJIAN .............................................

iii

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................

iv

ABSTRAK ...................................................................................................

v

KATA PENGANTAR.................................................................................

vi

DAFTAR ISI................................................................................................

ix

PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................

xii

BAB I

BAB II

: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ......................................................................

1

B. Identifikasi Masalah..............................................................

4

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ......................................

5

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................

5

E. Study Review Terdahulu.......................................................

6

F. Metode Penelitian .................................................................

9

G. Sistematika Penulisan ...........................................................

10

: BATAS USIA PERKAWINAN DI INDONESIA A. Batas Minimum Usia Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam.........................................................................

11

B. Batas Usia Perkawinan UU Perlindungan Anak...................

15

C. Faktor yang Menyebabkan Perkawinan Usia Muda .............

18

ix

BAB III

: BATAS USIA PERKAWINAN DI MALAYSIA A. Batas Minimum Usia Perkawinan Menurut Hukum Negara Malaysia ................................................................................

22

B. Perkawinan di Bawah Umur .................................................

28

C. Faktor yang Menyebabkan Perkawinan Usia Muda .............

31

1. Tuntunan Agama.............................................................

31

2. Nilai virginitas dan ketakutan mengenai aktivitas seksual pranikah (value of virginity and fears about premarital

BAB IV

sexual activity) ........................................................................

32

3. Menjadi lebih bertanggungjawab....................................

32

4. Kemiskinan (the role of poverty) ............................................

33

: TINJAUAN HUKUM ISLAM MENGENAI BATAS USIA PERKAWINAN DI INDONESIA DAN MALAYSIA A. Persamaan dan perbedaan Batas Minimum Usia Perkawinan.....................................................................................

34

1. Persamaan Batas Minimum Usia Perkawinan di Indonesia dan Malaysia ...................................................................

35

2. Perbedaan Batas Minimum Usia Perkawinan di Indonesia

BAB V

dan Malaysia ...................................................................

37

3. Dampak Pernikahan di Usia Muda .................................

40

B. Pandangan Hukum Islam Tentang Batas Usia Perkawinan ..

44

C. Solusi Hukum Mengenai Batas Usia Perkawinan ................

55

: PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................... x

58

B. Saran-saran............................................................................

60

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................

61

LAMPIRAN-LAMPIRAN .........................................................................

67

xi

PEDOMAN TRANSLITERASI1 1. Di dalam naskah skripsi ini banyak dijumpai nama dan istilah teknis (technical term) yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf Latin. Pedoman transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai berikut: ARAB

LATIN

Kons.

Nama

Kons.

Nama

‫ا‬

Alif

‫ب‬

Ba

b

Be

‫ت‬

Ta

t

Te

‫ث‬

Tsa

ts

Te dan es

‫ج‬

Jim

j

Je

‫ح‬

Cha

h

Ha dengan dengan bawah

‫خ‬

Kha

kh

Ka dan ha

‫د‬

Dal

d

De

‫ذ‬

Dzal

dz

De dan zet

‫ر‬

Ra

r

Er

‫ز‬

Zay

z

Zet

‫س‬

Sin

s

Es

‫ش‬

Syin

sy

Es dan ye

‫ص‬

Shad

s

Es dengan garis bawah

‫ض‬

Dhat

d

De dengan garis bawah

Tidak dilambangkan

1

Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM), Pedoman Penulisan Skripsi, (Ciputat: FSHUIN Jakarta, 2012), hal. 43-46.

xii

‫ط‬

Tha

t

Te dengan garis bawah

‫ظ‬

Dzha

z

Zet dengan garis bawah

‫ع‬

‘Ain



Koma terbalik di atas hadap kanan

‫غ‬

Ghain

gh

‫ف‬

Fa

f

Ef

‫ق‬

Qaf

q

ki

‫ك‬

Kaf

k

Ka

‫ل‬

Lam

l

El

‫م‬

Mim

m

Em

‫ن‬

Nun

n

En

‫و‬

Wawu

w

We

‫ھـ‬

Ha

h

Ha

‫ء‬

Hamzah



Apostrof

‫ي‬

Ya

y

Ye

Ge dan ha

2. Vokal tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dengan huruf. Transliterasi vocal tunggal dalam tulisan Latin dilambangkan dengan gabungan huruf sebagai berikut: Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangkan

‫‒ؘ‬

a

fathah

‫‒ؚ‬

i

Kasrah

‫‒ؙ‬

i

dammah

xiii

Sedangkan Transliterasi vocal rangkap dalam tulisan Latin dilambangkan dengan gabungan huruf sebagai berikut: Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangkan

‫ؘ‒ ي‬

ai

A dan I

‫ؘ‒ و‬

au

A dan U

3. Vokal panjang atau maddah bahasa Arab yang lambangnya berupa harakat dan huruf, transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf dan tanda macron (coretan horisontal):

‫ﺂ‬

â

A dengan topi di atas

‫‒ىؚ‬

î

I dengan topi di atas

‫‒ؙو‬

û

U dengan topi di atas

4. Kata sandang, yan dalam bahasa arab dilambangkan dengan huruf (‫)ال‬, dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qomariyyah, Misalnya: ‫اﻹﺟﺘﮭﺎد‬

= al-ijtihad

‫اﻟﺮﺧﺼﺔ‬

= al-rukhsah, bukan ar-rukhsah

5. T̄a’

marb̄ utah

mati

atau

yang

dibaca

seperti

ber-harakat

suk̄ un,

transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf “h”, sedangkan t̄ a’ marb̄ ûtah yang hidup dilambangkan dengan huruf “t”, misalnya ( ‫ = رُ ؤْ ﯾَﺔُ ا ْﻟﮭِﻼل‬ru’yah al-hilâl atau ru’yatul hilâl ). 6. Tasydîd, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak

xiv

berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: ‫ﺸﻔﻌﺔ‬ ّ ‫اﻟ‬

= al-Syuf’ah, tidak ditulis asy-Syuf’ah

xv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Kodrat

manusia

sejak

dilahirkan

ke

dunia

selalu

mempunyai

kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya.1 Secara makro, hidup bersama itu dimulai dengan adanya pernikahan atau perkawinan untuk membina sebuah keluarga.2 Keluarga merupakan gejala kehidupan umat manusia yang pada mulanya dibentuk paling tidak oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan. Hidup bersama antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah memenuhi persyaratan inilah yang di sebut dengan pernikahan.3 Pernikahan merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh aturan-aturan hukum baik yang tertulis (hukum agama/negara) maupun yang tidak tertulis (hukum adat).4 Saat ini hukum negara yang mengatur mengenai masalah pernikahan di Indonesia adalah Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.5 Dalam undang-undang tersebut ditentukan prinsip atau asas perkawinan yang berhubungan dengan perkembangan zaman. Salah satu prinsip yang tercantum adalah, bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan pernikahan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan pernikahan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.6 Untuk itu harus di cegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur. Tujuan utama dari adanya 1

Somarno Soedarsono, Hasrat Untuk Berubah, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2005), h. 83. 2 Nurcholis Majid, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam Dalam Kehidupan Masyarakat, Cet. II, (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 72. 3 A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, Cet. II, (Bandung: al-Bayan, 1995), h. 11. 4 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Cet. VI, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), 76. 5 Kama Rusdiana dan Jaenal Arifin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007, Cet. Pertama), h. 4. 6 Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.

1

2

pembatasan umur perkawinan adalah untuk mencapai kebahagian dan kematangan dalam menjalani hidup rumah tangga.7 Adapun di Negara Malaysia, Undang-undang yang mengatur masalah perkawinan terdapat dalam Akta 164 Undang-undang Perkahwinan dan Perceraian, Tahun 1976. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa pernikahan tidak sah jika salah satu pihak dari kedua calon mempelai belum mencapai umur yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut. Dilanjutkan dalam penjelasan Akta 164 Undang-undang Perkahwinan dan Perceraian, Tahun 1976 tersbut, disebutkan batas usia bagi calon mempelai laki-laki adalah 18 tahun dan 16 tahun bagi calon mempelai perempuan.8 Membentuk suatu keluarga yang harmonis dan kekal, yang diikat oleh tali perkawinan serta untuk mencapai tujuannya adalah merupakan hal yang suci. Namun demikian tidak jarang terjadi bahwa tujuan yang mulia tersebut tidak sesuai dengan yang diharapkan apabila kendalinya dipegang oleh orang yang tidak pantas untuk itu, termasuk juga dalam pembinaan rumah tangga. Ketika salah satu di antara suami istri tersebut belum memiliki kedewasaan baik fisik maupun psikis, maka pembinaan rumah tangga itu akan sulit.9 Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya calon mempelai baik laki-laki maupun wanita tidak paham atau bahkan tidak mengetahui undang-undang perkawinan yang berlaku di negaranya dan adanya respon negatif terhadap undang-undang perkawinan karena tidak sesuai dengan sistem sosial yang sudah mapan, bahkan menggoyang struktur dan sistem sosial.10 Siap dan mampu bukan suatu tolak ukur dalam pernikahan, akan tetapi kematangan psikis dan kejiwaan yang ditandai dengan ukuran usia seorang calon mempelai baik laki-laki maupun perempuan yang utama. Pernikahan atau 7

Sarlito Wirawan Sarwono, Memilih Pasangan dan Merencanakan Perkawinan, (Jakarta: BKKBN, 1981), h. 12. 8 Sekyen 10 Bahagian (III), Akta 164 Undang-undang Perkahwinan dan Perceraian, Tahun 1976. 9 Somarno Soedarsono, Hasrat Untuk Berubah, h. 85. 10 Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 5-6. Dikutip oleh Khoiruddin Nasution dalam buku “Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: INIS Leiden, 2002), h. 7.

3

perkawinan adalah suatu anjuran bagi setiap umat beragama Islam diseluruh belahan dunia termasuk Indonesia dan Malaysia. Permasalahan batas usia perkawinan dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadis tidak dijelaskan secara spesifik . Persyaratan umum yang lazim dikenal adalah baligh, berakal sehat, mampu membedakan mana yang baik dan buruk sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk menikah, maka sebenarnya ia sudah siap untuk menikah. Usia baligh ini berhubungan dengan penunaian tugas-tugas seorang suami maupun istri. Dalam surat An-Nisa ayat 6 digambarkan tentang sampainya waktu seseorang untuk menikah (bulūg al-nikāḥ) dengan kata “rusyd”:

‫وَ ا ْﺑﺘَﻠُﻮا ا ْﻟﯿَﺘ َﺎﻣَﻰ َﺣﺘ ﱠﻰ إِذَا ﺑَﻠَﻐُﻮا اﻟ ِﻨّﻜَﺎ َح ﻓَﺈ ِنْ آَﻧَ ْﺴﺘ ُ ْﻢ ﻣِ ْﻨ ُﮭ ْﻢ رُ ْﺷﺪًا ﻓَﺎ ْدﻓَﻌُﻮا إِﻟَ ْﯿ ِﮭ ْﻢ أ َﻣْ ﻮَ اﻟَ ُﮭ ْﻢ وَ َﻻ ﺗَﺄ ْ ُﻛﻠُﻮھَﺎ‬ ‫ِﻒ وَ ﻣَﻦْ ﻛَﺎنَ ﻓَﻘِﯿﺮً ا ﻓَ ْﻠﯿَﺄْﻛُﻞْ ﺑِﺎ ْﻟ َﻤﻌْﺮُ وفِ ﻓَﺈِذَا‬ ْ ‫ﻏﻨِﯿﺎ ﻓَ ْﻠﯿَ ْﺴﺘ َ ْﻌﻔ‬ َ َ‫إِﺳْﺮَ اﻓًﺎ وَ ﺑِﺪَارً ا أ َنْ ﯾَ ْﻜﺒَﺮُ وا وَ ﻣَﻦْ ﻛَﺎن‬ .(٦ :‫ )ﺳﻮرة اﻟﻨّﺴﺎء‬.‫ﻋﻠَ ْﯿ ِﮭ ْﻢ وَ َﻛﻔَﻰ ﺑِﺎ ﱠ ِ َﺣﺴِﯿﺒًﺎ‬ َ ‫دَﻓَ ْﻌﺘ ُ ْﻢ إِﻟَ ْﯿ ِﮭ ْﻢ أ َﻣْ ﻮَ اﻟَ ُﮭ ْﻢ ﻓَﺄ َ ْﺷ ِﮭﺪُوا‬ Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu)”. (QS. An-Nisa’: 6). Tentang arti kata bulūg al-nikāḥ dalam ayat tersebut para ulama berbedabeda dalam penafsirannya. Hal ini terjadi karena perbedaan sudut pandang masing-masing. Pertama, ditafsirkan sebagai kecerdasan karena tinjaunnya dititik beratkan pada segi mental yakni dilihat pada sikap dan tingkah laku seseorang.

4

Kedua, ditafsirkan cukup umur dan bermimpi, yang fokus tinjaunnya dititikberatkan pada fisik lahiriyah dan sekaligus telah mukallaf. Sedangkan dalam hadis model pernikahan/perkawinan pada usia sebelum baligh dipraktekkan oleh Rasulullah SAW, dengan menikahi Aisyah r.a ketika dia masih berusia enam tahun dan menggaulinya ketika berusia Sembilan tahun.11 Baik ayat ataupun hadis tersebut memberi peluang untuk melakukan interpretasi. Hal ini menyebabkan para fukaha berbeda pendapat dalam menetapkan batas usia perkawinan. Masalah perkawinan dalam agama hanya diatur dalam bentuk-bentuk prinsipnya saja, sehingga permasalahan kedewasaan untuk menikah termasuk ke dalam masalah ijtihādiyyah, artinya terbuka peluang bagi manusia untuk menggunakan nalar dan menyesuaikannya dengan kondisi sosial dan kultur yang berbeda antara satu wilayah dengan yang lainnya. Peluang inilah yang menyebabkan Indonesia dan Malaysia selaku Negara yang memiliki banyak penduduk muslim berbeda dalam menetapkan batas usia perkawinan dalam undang-undang Negara yang berlaku di wilayah masing-masing. Dari uraian di atas, terlihat sangat jelas bahwa usia seseorang baik calon mempelai pria maupun calon mempelai wanita sangat berpengaruh pada kelangsungan rumah tangga yang akan dibina, hal itu disebebkan oleh kultur dan budaya yang berkembang di masing-masing wilayah berbeda-beda pula. Dengan demikian, hal itulah yang menyebabkan undang-undang perkawinan yang berlaku di negara Indonesia dan Malaysia berbeda. Maka penulis merasa perlu untuk meneliti lebih lanjut tentang batas usia perkawinan menurut hukum Negara yang berlaku di Indonesia dan Malaysia. Oleh karenanya penulis terdorong untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “BATAS USIA PERKAWINAN

MENURUT

HUKUM

NEGARA

(Studi

Perbandingan

Indonesia-Malaysia)”. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka identifikasi masalahnya sebagai berikut: 11

Chuzaemah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam kontemporer (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 67.

5

1. Bagaimana hukum positif dan hukum Islam menanggapi persoalan mengenai batas minimum usia perkawinan? 2. Apa persamaan dan perbedaan batas minimum usia perkawinan di Indonesia dengan Malaysia ? 3. Apa hukum negara yang melatarbelakangi batas usia nikah di Indonesia dengan Malaysia? 4. Bagaimana perbandingan batas minimum usia perkawinan di Indonesia dengan Malaysia? 5. Bagaimana batas usia perkawinan menurut fiqh munakahat? C. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan tujuan penulis agar lebih terarah, maka penulis memberi batasan pada BATAS USIA PERKAWINAN MENURUT HUKUM NEGARA Studi Perbandingan Indonesia – Malaysia. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan penjelasan identifikasi masalah diatas, maka penulis dapat merumuskan masalah yang akan dibahas antara lain: 1. Bagaimana perbandingan batas minimum usia perkawinan di Indonesia dan Malaysia? 2. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang batas usia perkawinan di Indonesia dan Malaysia? D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Dalam penulisan ini, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai oleh penulis, dan tujuan yang dimaksud adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan batas minimum usia perkawinan di Indonesia dan Malaysia. 2. Untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum Islam tentang batas usia perkawinan di Indonesia dan Malaysia. Adapun manfaat atau kegunaan penelitian ini adalah: 1. Dalam rangka pengembangan dan memperluas wawasan pengetahuan mengenai batas minimum usia perkawinan;

6

2. Dapat memberikan informasi kepada pembaca tentang ketentuan usia perkawinan menurut hukum Negara Indonesia dan Malaysia; 3. Menambah literatur perpustakaan khususnya dalam bidang Perbandingan Hukum. E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu Beberapa permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini, maka penulis lebih memfokuskan masalah batas usia perkawinan menurut hukum Negara perbandingan Indonesia dengan Malaysia. Adapun jurnal ilmiah yang terkait dan juga kajian-kajian tulisan terdahulu hanya beberapa judul yang ditemukan, yaitu: 1. Skripsi karya Haris Santoso dengan judul Batas Minimal Usia Melakukan Perkawinan Di Indonesia Persfektif Imam Madzhab pada tahun 2010. Dalam skripsi ini penulis hanya menjelaskan tentang batas minimal usia melakukan pernikahan menurut hukum positif dan hukum islam sebenarnya sama-sama mengutamakan kemaslahatan guna tercapainya tujuan dari pernikahan, dan Negara memiliki wewenang untuk mengatur kesejahteraan rakyat dengan cara membuat suatu peraturan berdasarkan kondisi yang ada di tengah kehidupan masyarakat. 2. Skripsi karya Udi Wahyudi dengan judul Tingkat Kedewasaan Antara Laki-laki Dan Perempuan Relevansinya Dengan Batas Usia Perkawinan (Studi Komparasi Hukum Islam Dengan Pandangan Medis) pada tahun 2015. Dalam skripsi ini penulis hanya menjelaskan tentang batasan usia nikah dalam hukum Islam tidak diatur dengan jelas dan tegas berapa usia minimal perkawinan dilangsungkan. Namun secara eksplisit syariat Islam hanya memberi ketentuan itu apabila seseorang telah mencapai usia menikah, yang dimaksud dengan telah mencapai usia menikah adalah jika seorang anak telah mencapai batas usia kesiapan dalam akil balignya. 3. Skripsi karya Elly Surya Indah dengan judul Batas Minimal Usia Perkawinan Menurut Fiqh Empat Madzhab dan UU No. 1 Tahun 1974 pada tahun 2008. Dalam skripsi ini penulis menjelaskan tentang

7

pandangan Imam Madzhab melihat batasan Perkawinan melalui sudut pandang Undang-undang. 4. Skripsi karya Habibi dengan judul Tinjauan Hukum Islam dan Psikologi Terhadap Batas Usia Minimal Perkawinan pada tahun 2011. Dalam skripsi ini penulis menjelaskan tentang syariat Islam tidak membatasi usia tertentu untuk menikah. Namun, secara implicit, syariat menghendaki orang yang hendak menikah adalah benar-benar orang yang sudah siap mental, fisik, dan psikis, dewasa dan paham arti sebuah pernikahan yang merupakan bagian dari ibadah. 5. Skripsi karya Riyanto dengan judul Batas Minimal Usia Nikah (studi Komparatif Antara Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Counter Legal Draft (CLD) pada tahun 2009. Dalam skripsi

ini

penulis

menjelaskan

tentang

faktor-faktor

yang

melatarbelakangi penetapan usia perkawinan yang ada dalam KHI dan CLD tersebut. Untuk kemudia menemukan relevensi dari keduanya sebagai upaya mewujudkan tujuan dari perkawinan seperti yang dicitacitakan yaitu sakinah mawaddah warrahmah. Faktor-faktor yang mempengaruhi penetapan batas minimal usia perkawinan dan untuk selanjutnya mencari relevensi dari keduanya. 6. Jurnal An-Nida karya Sofia Hardani Volume 40 Nomor 2 Juli-Agustus 2015, dengan judul Analisis Tentang Batas Umur untuk Melangsungkan Perkawinan Menurut Perundang-undangan di Indonesia. Hasil penelitian jurnal ini dijelaskan batas minimal usia untuk melangsungkan perkawinan, sebagaimana yang diatur dalam pasal 7 ayat 1 UU no 1 tahun 1974. Bagaimana sesungguhnya Undang-undang ini memandang konsep “kedewasaan” untuk dapat melangsungkan perkawinan, baik ditinjau dari Undang-undang no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dan dari aspek medis, serta bagaimana sousi nya kedepannya. 7. Jurnal Schemata karya Suharti Volume 3 Nomor 2 Desember 2014, dengan judul Efektivitas Peraturan Pembatasan Usia Perkawinan. Hasil penelitian ini dijelaskan bahwa praktik perkawinan di bawah umur

8

membuka peluang tidak tercapainya tujuan perkawinan. Bahkan fungsifungsi pokok dalam keluarga akan terabaikan. Salah satu asas terdapat dalam undang-undang perkawinan di dunia Islam adalah kematangan atau kedewasaan calon mempelai. Salah satu standar yang digunakan adalah penetapan usia minimal untuk kawin. Asas ini tercemin dalam pasal 7 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974yang menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Pembatasan usia perkawinan merupakan unsur baru yang ditransplantasikan dalam intitusi perkawinan di masyarakat. 8. Jurnal Supremasi Hukum karya Faisal Luqman Hakim Volume 2 Nomor 1 Juni 2013, dengan judul Batas Minimum Usia Kawin Ideal Bagi Pria dan Wanita: Studi atas 58 Penetapan Dispensasi Kawin di Pengadilan Agama Yogyakarta Tahun 2011. Hasil penelitian ini dijelaskan bahwa telah dikeluarkan 58 (lima puluh delapan) Penetapan Dispensasi Kawin oleh Pengadilan Agama Yogyakarta atas permohonan yang diajukan. Berdasarkan pasal 7 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974, yang berhak mengajukan permohonan dispensasi kawin adalah orang tua atau wali dari calon mempelai. Rata-rata calon mempelai yang akan melangsungkan tersebut adalah 17 tahun 3 bulan. 9. Jurnal Mahkamah karya Akhmad Shodikin Volume 9 Nomor 1 JanuariJuni 2015, dengan judul Pandangan Hukum Islam dan Hukum Nasional Tentang Batas Usia Perkawinan. Hasil penelitian ini dijelaskan bahwa konsep batas usia minimal perkawinan dalam kajian Hukum Islam bervariasi. Sebagian ulama menyatakan bahwa batasan usia minimal perkawinan adalah balig dengan ciri, bagi anak laki-laki bila bermimpi basah dan bagi anak perempuan telah mentruasi. Sebagian ulama yang lain menetapkan batasan umur minimal menikah tidak hanya dilihat dari ciriciri fisik semata, tetapi lebih menekankan pada kesempurnaan akal dan jiwa. Jadi pada dasarnya para ulama tidak memberikan batasan baku usia minimal pernikahan, artinya berapapun usia catin tidak menghalangi

9

sahnya pernikahan, bahkan usia belum baligh sekalipun, hal inilah yang menjadi dasar jaman dahulu ada yang disebut istilah kawin gantung. Dari ke sembilan karya tulis di atas, penulis tidak menemukan satupun pembahasan tentang Batas Usia Perkawinan Menurut Hukum Negara (Studi Perbandingan Indonesia – Malaysia) yang nantinya akan penulis bahas dalam karya tulis ini. F. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan 1. Jenis dan metode penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif. Pada penelitian hukum normatif, peraturan perundangan yang menjadi objek penelitian menjadi sumber data primer dalam penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian hukum normatif yang dilakukan peneliti adalah melakukan pengumpulan bahan-bahan baik yang terpublikasi atau tidak yang berkenaan dengan bahan hukum positif yang dikaji.12 2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Untuk sumber dan Teknik pengumpulan data, penulis menggunakan teknik studi pustaka yaitu yang menyelidiki dokumen- dokumen tertulis untuk memperoleh data yang terdiri dari : a. Data primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti peraturan perundang –undangan di kedua Negara. b. Data sekunder yaitu data yang diambil secara tidak langsung dari sumbernya dan data tersebut di dapat dari buku-buku, artikel, dan jurnal yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. c. Data Tersier yaitu data yang di ambil dari ensiklopedi, kamus –kamus, dan bahan penunjang lainnya. 3. Teknik Analisis Data

12

Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Lembaga Penelitian 2010), Cet 1, h. 38.

10

Dalam penelitian ini teknik analisis data yang digunakan secara deskriptif analisis, yang bertujuan untuk melukiskan tentang suatu hal di daerah tertentu dan pada saat tertentu.13 G. Sistematika Penulisan Skripsi ini terdiri dari lima bab yang di bagi dalam sub bab dan setiap sub bab mempunyai pembatasan masing-masing yang akan saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, yaitu sebagai berikut: Bab I: Pendahuluan, dalam bab ini penulis menguraikan hal-hal yang terkait dengan Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat, Studi Pustaka, Metode Penelitian dan Teknik Penulisan, dan Sistematika Penulisan. Bab II: Batas Usia Perkawinan, dalam bab ini penulis menguraikan dan menjelaskan tentang batas minimum usia perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam, perkawinan di bawah umur, dan faktor yang menyebabkan perkawinan usia muda. Bab III: Batas Usia Perkawinan di Malaysia, pada bab ketiga ini penulis menguraikan gambaran tentang batas minimum usia perkawinan menurut Hukum Negara Malaysia, perkawinan di bawah umur, dan faktor yang menyebabkan perkawinan usia muda. Bab IV: Tinjauan Hukum Islam Mengenai Batas Usia Perkawinan di Indonesia dan Malaysia, bab ini berisi Persamaan dan Perbedaan Batas Minimum Usia Perkawinan, Pandangan Hukum Islam Tentang Batas Usia Perkawinan, dan Solusi Hukum Mengenai Batas Usia Perkawinan. Bab V: Bab penutup ini berisikan pembahasan akhir dari seluruh rangkaian pembahasan dalam penulisan skripsi yang berisikan kesimpulan dan saran seputar persoalan yang diangkat dari awal sampai akhir pembahasan.

13

Cet 4, h. 8.

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek (Jakarta : Sinar Grafika 2008),

BAB II BATAS USIA PERKAWINAN DI INDONESIA

A. Batas Minimum Usia Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam Dengan disahkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang kemudian disusul dengan diterbitkannya Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 pada tanggal 10 Juni 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam Indonesia ke seluruh Ketua Pengadilan Agama dan Ketua Pengadilan Tinggi Agama, maka telah memberi warna baru dalam pemikiran hukum Islam di Indonesia. Adapun salah satu tujuan dari KHI itu sendiri adalah untuk mengatasi keberagaman keputusan Peradilan Agama di Indonesia yang selama ini masih berpedoman kepada kitab-kitab fiqh klasik serta memberikan nuansa baru dalam pemikiran hukum di Indonesia yang sebelumnya belum dibicarakan atau belum ada penegasan secara eksplisit. Salah satu dari ketentuan pasal yang sebelumnya mendapat reaksi keras dari umat Islam sebagaimana yang telah disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) tentang adanya pembatasan minimal umur untuk menikah. Dalam ketentuan UU Perkawinan Pasal 7 ayat (1) dinyatakan bahwa: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.”1 Ketentuan batas minimal umur untuk menikah dalam UU Perkawinan juga dimuat dalam Pasal 15 ayat (1) KHI dengan mengungkap tujuan yang lebih jelas bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan oleh calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.2 Penentuan batasan minimal umur untuk menikah yang tercantum dalam UU Perkawinan menyebutkan secara otentik alasan dan tujuan diaturnya pembatasan ini yaitu dalam penjelasan UU No. 1 Tahun 1974 tentang 1

Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang Perkawinan. Abdul Ghani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Insani press, 1994, Cet. Pertama), h. 82 2

11

12

Perkawinan, di mana dalam bagian penjelasan umum angka empat huruf d menyebutkan bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan diantara calon suami isteri yang masih di bawah umur.3 Selain itu disebutkan pula bahwa, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyata bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita.4 Dalam penjelasan pasal 7 ayat (1) bahwa, alasan penetapan batas minimal usia nikah adalah untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunan, perlu ditetapkan

batas-batas

umur

untuk

perkawinan.5

Alasan-alasan

tersebut

berimplikasi pada maksud dan tujuan penetapan aturan pembatasan usia minimal untuk menikah yaitu mewujudkan perkawinan yang baik dan kekal, menjaga kesehatan suami istri dan mendapat keturunan yang baik dan sehat serta menekan lajunya angka kelahiran nasional. Sementara itu, Pasal 15 ayat (1) KHI tidak jauh berbeda dengan UU Perkawinan, yaitu didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan. Berdasarkan pada penjelasan tersebut nampak bahwa ketentuan batas umur ini didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan. Ini sejalan dengan prinsip yang diletakkan oleh UU Perkawinan maupun oleh KHI, bahwa calon suami istri itu harus sudah masak jiwa dan raganya agar dapat mewujudkan tujuan dari perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian serta mendapat keturunan yang baik dan sehat.

3

Penjelasan Umum UU Perkawinan, Nomor 4 Huruf d. Penjelasan Umum UU Perkawinan, Nomor 4 Huruf d. 5 Penjelasan Pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan. 4

13

Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur.6 Meskipun telah ada batasan minimal umur untuk menikah, dalam hal ini nampak bahwa UU No. 1 Tahun 1974 pada pasal 7 maupun KHI pada pasal 15 ayat (1) tidak konsisten. Di satu sisi, menegaskan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua, di sisi lain menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Bedanya, jika kurang dari 21 tahun, yang diperlukan izin dari orang tua, dan jika kurang dari 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, perlu izin dari pengadilan. Hal ini dikuatkan oleh Pasal 15 KHI. Masalah penentuan umur dalam UU Perkawinan maupun dalam KHI, memang tidak ada kesepakatan yang baku baik dari pernyataan dalam al-Qur’an, hadis, maupun kitab-kitab fiqh sehingga nampak bahwa persoalan ini memang bersifat ijtihadiyah. Dalam Islam sendiri hanya memberikan batas kedewasaan seseorang yaitu balig, yang mana para ulama juga memiliki pendapat yang berbeda-beda. Menurut Helmi Karim, berdasarkan ilmu pengetahuan, memang setiap daerah dan zaman memiliki kelainan dengan daerah dan zaman yang lain, yang sangat berpengaruh terhadap cepat atau lambatnya usia kedewasaan seseorang.7 Dengan demikian, calon mempelai pria yang belum mencapai umur 19 tahun dan 16 tahun bagi wanita yang hendak melakukan pernikahan harus mendapat izin dari pengadilan. Sedangkan calon mempelai pria dan wanita yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin tertulis dari orang tua, dimaksudkan untuk menjaga dan menasehati kedua calon mempelai. Meski dalam batasan usia yang ditetapkan dalam Undang-Undang telah tercapai, namun diusia tersebut anak masih butuh dukungan dari kedua orang tua.

6

Achmad Ichsan, Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986, Cet. Pertama), h. 42. 7 Helmi Karim, "Kedewasaan Untuk Menikah" dalam Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary AZ (ed), Problematika Hukum Islam Kontemporer, cet. ke-3, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 80-81.

14

Selain didalam KHI dan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, usia perkawinan juga dijelaskan dalam Undang-undang Perlindungan Anak Pasal 26 Ayat (1) huruf c bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak. Usia anak disini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) ialah seseorang yang belum berusia 18 tahun.8 Dari penjelasan tersebut tampak bahwa untuk calon suami dan isteri yang akan melangsungkan perkawinan, yang belum matang jiwa raganya maka belum tentu bisa bertanggung jawab dalam membina rumah tangganya. Dan sudah jelas dalam UU perlindungan anak juga dibahas bahwa orang tua berkewajiban mencegah anaknya untuk melangsungkan perkawinan di bawah umur, meskipun tidak ada kata-kata “di bawah umur” namun kata-kata “usia anak” telah menunjukkan yang berarti usia seorang anak dalam melangsungkan perkawinan harus sesuai dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Kemudian bila dilihat dari segi psikologi, sebenarnya usia 19 (Sembilan belas) tahun untuk pria dan 16 (enam belas) tahun, belumlah dapat dikatakan bahwa anak tersebut telah dewasa secara psikologis. Pada usia 16 tahun maupun umur 19 tahun pada umumnya masih digolongkan pada umur remaja. Bagaimana masa remaja akan lain dengan dewasa.9 Namun kematangan usia ini merupakan akumulasi dari kesiapan fisik, ekonomi, sosial, mental atau kejiwaan, agama, dan budaya. Ketentuan mengenai pembatasan usia perkawinan ini menjadi penting karena beberapa hal yang melatarbelakanginya, terutama terkait dengan hak-hak perempuan dan anak itu sendiri. Dalam suatu penelitian yang dilakukan Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, disebutkan bahwa rata-rata usia ideal perempuan untuk menikah berkisar usia 19,9 tahun dan laki-laki adalah 23,4 tahun. Untuk ukuran ini, yang menjadi pertimbangan tidak semata-mata

8

Pasal 26 ayat 1 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 9 Bimo Walgito, Bimbingan & Konseling Perkawinan, Cet. 2, (Yogyakarta: Andi Yogyakarta, 2004), h. 28.

15

bersifat biologis, tetapi lebih dari itu terkait pula dengan psikologis dan sosial.

10

Selain itu, disebutkan pula bahwa perkawinan memiliki kaitan yang cukup erat dengan masalah kependudukan.11Ukuran usia tersebut nampaknya kurang memungkinkan untuk diterapkan, mengingat kebiasaan masyarakat Indonesia yang masih banyak melakukan perkawinan di usia muda. Hal ini berdampak pada populasi penduduk yang meningkat pesat. B. Batas Usia Perkawinan UU Perlindungan Anak Perkawinan di Indonesia secara umum dapat dikategorikan mempunyai pola perkawinan muda. Usia muda secara global dimulai sejak umur 12 (dua belas) tahun dan berakhir sekitar 21 (dua puluh satu) tahun.12 Jadi perkawinan usia muda (di bawah umur) merupakan praktik perkawinan yang dilakukan oleh pasangan salah satu atau keduanya berusia muda yakni 12 (dua belas) sampai 21 (dua puluh satu) tahun.13 Perkawinan yang dilakukan di usia muda sama saja seperti perkawinan tanpa persiapan dengan menerjang bahaya, tanpa kesiapan fisik dan mental. Penyebabnya

ada

keinginan

yang

tanpa

tanggung

jawab

dan

tidak

memperhitungkan akibat buruk yang bakal menimpa rumah tangga. Banyak keluarga sangat terburu-buru mengawinkan anaknya padahal masih di bawah umur dan masih awam. Hal yang mendorong mereka adalah keinginan supaya anaknya segera menjalani kehidupan orang dewasa, atau keinginan segera bermenantu dan bercucu.14 Perkawinan di bawah umur sudah banyak terjadi, telah ada sembilan kasus perkawinan di bawah umur yang dilaporkan kepada Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Jawa Tengah untuk tahun 2009. Menurut lembaga

10

Ahmad Tholabie Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika 2013, Cet. Pertama), h.204. 11 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo 2013, Cet. Pertama), h. 61. 12 Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan dan Bagian-bagiannya, (Yogyakarta: Gajah mada Press 1989, Cet. Pertama), h. 219. 13 Helmi Karim, Kedewasaan Untuk Menikah Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus 1994, Cet. Pertama), h. 70. 14 Al-Thahir Al-Hadad, Wanita Dalam Syariat & Masyarakat, Cet. 4, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 204.

16

ini, angka tersebut bukan angka final atau dengan pelbagai alasan, masih ada banyak kasus perkawinan di bawah umur yang tidak diketahui atau diadukan.15 Undang-Undang Perlindungan Anak sebagai instrumen Hak Asasi Manusia tidak menyebutkan secara eksplisit tentang usia minimum untuk kawin selain menegaskan definisi anak sebagaimana tercantum dalam Pasal (1) angka 1 Undang-Undang Perlindungan Anak bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.16 Namun apabila dikaji maka secara tidak langsung UndangUndang Perlindungan Anak menetapkan bahwa batas usia minimum seseorang untuk bisa kawin adalah minimal pada saat berumur 18 tahun atau lebih. Pada konteks hak anak, sangatlah jelas seperti yang tercantum dalam Pasal 26 ayat 1 point c Undang-Undang Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Pada prespektif hak anak pencantuman kalimat tersebut merupakan keharusan yang harus menjadi perhatian bersama, hal ini disebabkan anak-anak yang terpaksa kawin dalam usia yang masih tergolong anak dilihat dari aspek hak anak, mereka akan terampas hakhaknya sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Anak seperti hak bermain, hak pendidikan, hak untuk tumbuh berkembang sesuai dengan usianya dan pada akhirnya adanya keterpaksaan untuk menjadi orang yang dewasa.17 Dari penjelasan tersebut menurut penulis antara UndangUndang Perkawinan

dan

UndangUndang

Perlindungan

Anak

samasama

tidak

menginginkan terjadinya perkawinan di bawah umur, tetapi antara UndangUndang Perkawinan dan Undang-Undang Perlindungan Anak tidak sesuai atau tidak memiliki sinkronisasi hukum sebagai peraturan perundang-undangan dalam menetapkan batas minimum umur bagi pihak-pihak untuk melakukan perkawinan. 15

http://www.republika.co.id/berita/37388/Pernikahan_di_Bawah_Umur_Diduga_Bermot if_Ekonomi, Artikel ini diakses pada 19 Maret 2017. 16 http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20594/pernikahan-di-bawah-umur-tantan ganlegislasi-dan-harmonisasi-hukum, diakses, tanggal, 28 September 2017, pukul 20:52 WIB. 17 Sunendi, “Sanksi Pidana Bagi Praktek Perkawinan di Bawah Umur”, Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2009, h. 88

17

Pada Undang-Undang Perkawinan batas minimum umur dalam melakukan perkawinan dibedakan antara laki-laki dan perempuan, yaitu laki-laki berumur 19 (sembilan belas) tahun dan perempuan 16 (enam belas) tahun. Hal ini menurut pemerhati perempuan yaitu Misiyah mengatakan bahwa Undang-Undang Perkawinan berpotensi melanggar Undang-Undang Dasar 1945, karena itu merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Oleh sebab itu, menurut beliau sudah waktunya Undang-Undang Perkawinan direvisi dengan menaikkan umur pada perkawinan yaitu setara dengan laki-laki 21 (dua puluh satu) tahun atau minimal diatas 18 (delapan belas) tahun sesuai dengan UndangUndang Perlindungan Anak.18 Sedangkan pada Undang-Undang Perlindungan Anak yang dikatakan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Jadi secara tidak langsung UndangUndang Perlindungan Anak dalam menentukan batasan umur baik bagi laki-laki maupun perempuan untuk melakukan perkawinan yaitu minimal diatas 18 (delapan belas) tahun. Selanjutnya pada Undang-Undang Perkawinan secara tidak langsung memberikan celah bagi para pihak yang ingin melakukan perkawinan di bawah umur yaitu dengan adanya ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yakni dengan adanya dispensasi dari pengadilan, dan sedangkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak melarang secara tegas untuk terjadinya perkawinan di bawah umur sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 26 ayat (1) point c Undang-Undang Perlindungan Anak bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. C. Faktor yang Menyebabkan Perkawinan Usia Muda Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Plan Internasional, di Indonesia masih banyak terjadi perkawinan pada anak dan remaja.sebanyak 38 persen anak perempuan di bawah usia 18 tahun sudah menikah. Sementara presentase laki-laki yang menikah di bawah umur hanya 3,7 persen. 18

http://news.bisnis.com/read/20141030/16/269082/perkawinan-di-bawah-umur-pasal-diuuno.11974-berpotensi-langgar-konstitusi, diakses, tanggal, 28 September 2017, pukul 23:05 WIB.

18

Ada beberapa penyebab yang mendorong mereka melakukan perkawinan di usia muda. Penelitian terbaru yang dilakukan Plan Internasional dalam rilis yang diterima Liputan6.com di Jakarta, membuktikan kuatnya tradisi dan cara pandang masyarakat, terutama di perdesaan, masih menjadi pendorong bagi sebagian anak perempuan perkawinan di usia muda. Penelitian ini menunjukkan perkawinan anak, termasuk yang berusia 12-14 tahun, masih terjadi karena adanya dorongan dari sebagian masyarakat, orag tua, atau bahkan anak yang bersangkutan.19 Di Perdesaan, budaya perkawinan muda umumnya disebabkan oleh sebagai berikut: a. Keinginan orang tua yang ingin cepat – cepat memiliki menantu. b. Karena ada lamaran dari orang – orang yang disegani dan orang tua khawatir tidak dapat lagi calon sebaik itu. c. Karena unsur materi yang ingin anaknya berbahagia jika sudah menikah (besanan dengan orang kaya, mengharapkan anaknya dapat tertolong). d. Dari yang bersangkutan sendiri ingin cepat kawin karena ingin lebih bebas dan mengira hidup berumah tangga lebih nikmat. e. Karena malu oleh teman sebaya yang sudah menikah atau orang tua khawatir anaknya menjadi perawan tua20 atau bujang tak laku (bujang lapuk)21. Mereka didesak oleh adat istiadat.22 Pada dasarnya di Perdesaan atapun di Perkotaan sebenarnya tidak jauh berbeda. Ini terkait cara pandang masyarakat yang sangat sederhana bahkan cenderung salah dalam memandang perkawinan, yang sejatinya bermula dari

19

http://m.liputan6.com/news/read/2363627/ini-penyebab-maraknya-pernikahan-dini. Artikel ini diakses pada tanggal 9 Juni 2017. 20 Maksud dari perwan tua adalah gadis yang sudah tua dan belum menikah. 21 Bujang lapuk merupakan istilah yang diberikan kepada pemuda Minangkabau yang lambat menikah.Namun istiah ini telah digunakan di banyak kalangan di Indonesia. 22 Badri Sanusi dan Syafrudin, Persiapan Menuju Perkawinan Yang Lestari, Cet. 4, (Jakarta: Pustaka Antara 1996), h. 42.

19

permasalahan pendidikan. Dari kondisi pendidikan yang rendah ini, berdampak pada lahirnya cara pandang yang pendek terhadap perkawinan.23 Adapun di perkotaan, faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan dini sangat bervariasi dintaranya, adalah karena faktor ekonomi, karena perjodohan, ingin melanggengkan hubungan, dan karena faktor yang sebenarnya tidak dikehendaki yakni MBA (marriage by accident) menikah karena kecelakaan.24 Dalam beberapa kasus, perkawinan dibawah umur disebabkan terjadinya hubungan badan di luar nikah, sehingga pernikahan ini tergolong sebagai married by accident. Kejadian seperti ini ditemui pada kasus-kasus nikah di bawah umur yang terjadi di Kabupaten Bintan dan Kota Tanjungpinang pada 2009. Di paruh pertama 2009, telah ada sepuluh perkara yang masuk ke Pengadilan Agama Tanjung Pinang untuk meminta dispensasi nikah. Pengajuan permohonan ini berawal dari penolakan KUA setempat untuk menikahkan mereka, karena belum mencukupi usia yang ditetapkan Undang-undang Perkawinan. Menurut Panittera Muda PA Tanjung Pinang, dari beberapa pemohon diketahui ada yang telah hamil lima bulan dan berumur sekira 16 tahun, dua orang berumur 15 tahun dan satu orang berumur 14 tahun.25 Analisis lain menjelaskan yang dinyatakan Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Jawa Tengah, bahwa maraknya pernikahan anak perempuan di bawah umur diduga karena motif ekonomi, meskipun analisis ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan LKBH Fakultas Hukum Universitas Wiralodra, perkawinan di bawah umur ini tidak disebabkan faktor ekonomi atau

23

Ahmad Tholabie Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika 2013, Cet. Pertama), h. 205. 24 Mubasyaroh, Analisis Faktor Penyebab Pernikahan Dini Dan Dampaknya Bagi pelakunya, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Kegamaan, no 2 (Desember 2016), h. 400. Maksud dari kata kecelakan tersebut adalah wanita yang telah mengandung dalam keadaan belum menkah. 25 Alfian, Dispenisasi Nikah Anak di bawah umur, Koran Edisi 22 Agustus 2009, Batam Pos, h. 17.

20

yang lainnya, tetapi faktanya tidak sedikit orang kaya yang terbelenggu budaya nikah muda sejak turun-menurun.26 Penelitian pada masyarakat Indaramayu juga menghasilkan fakta bahwa faktor lain yang juga berperan melanggengkan terjadinya kasus perkawinan usia dini adalah keyakinan masyarakat tradisional di perdesaan untuk tidak menolak pinangan pertama kepada anak perempuan. Hal ini terjadi pada masyarakat. Selain keyakinan seperti ini, sesuatu yang paling substansial adalah paradigma keagamaan yang paling patriarki dalam konsep perkawinan. Dalam pandangan fikih ataupun hukum positif di Indonesia, menurut Nasarudin Umar sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tholabi Kharlie, perkawinan tidak dilihat dari dua pihak suami dan isteri, tetapi didominasi oleh keberpihakan kepada kepentingan laki – laki. Sementara perempuan selalu menjadi pihak yang bisa dipaksa menikah, tanpa atau dengan persetujuannya. Hal inilah yang menjadi celah awal terjadinya pemaksaan perempuan untuk menikah di usia yang masih belia. 27 Menurut penulis, berdasarkan uraian di atas bahwa batas usia perkawinan yang sudah ditetapkan oleh Undang-undang yang berlaku di Indonesia perlu lebih diperhatikan lagi mengingat akan banyaknya kasus yang terjadi pada perkawinan usia muda yang disebabkan oleh berbagai macam faktor, begitu mengkhawirkan dalam kemaslahatan rumah tangganya. Jumlah perkawinan usia muda perlu dikurangi karena memiliki dampak negatif bagi masyarakat. Secara psikologis, anak belum bisa berperan sebagai istri, ibu, dan partner seks sehingga bisa berpengaruh terhadap kejiwaan serta berujung pada perceraian. Semakin muda usia menikah semakin besar peluang untuk memiliki anak lebih banyak sehingga selain berdampak pada peledakan penduduk juga jumlah tanggungan keluarga yang semakin tinggi. Dampak perkawinan usia muda bagi kesehatan diantaranya adalah peningkatan risiko komplikasi medis karena rahim belum siap untuk hamil di usia terlalu muda. Resiko kematian ibu dua kali lipat lebih besar pada kelompok usia 15-19 tahun dibandingkan usia 20-24 tahun saat hamil maupun melahirkan. 26

Mariyatul Qibtiyah, Faktor Yang mempengaruhi Perkawinan Muda Perempuan, Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Tahun 2013. 27 Ahmad Tholabie Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, h. 209–211.

21

Masalah kesehatan lain yang timbul adalah obstetric fistula. Penyebab fistula diantaranya karena faktor kemiskinan, pernikahan usia muda (early marriage) dan melahirkan terlalu muda. Pernikahan anak dan langsung hamil menyebabkan fistula karena panggul belum sepenuhnya berkembang dan belum siap untuk hamil serta melahirkan. Data WHO 2006 menyebutkan bahwa di Ethiopia dan Nigeria lebih dari 25% kasus fistula dikarenakan hamil sebelum usia 15 tahun, dan lebih dari 50% karena hamil sebelum 18 tahun. Pencegahan fistula adalah dengan cara menunda pernikahan dini dan usia awal melahirkan.28

28

Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian kesehatan RI. 2010, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, Jakarta: Kementerian Kesehatan, h. 57.

BAB III BATAS USIA PERKAWINAN DI MALAYSIA

A. Batas Minimum Usia Perkawinan Menurut Hukum Negara Malaysia Menurut Bowner dan Spanier, terdapat beberapa alasan seseorang untuk menikah

seperti

mendapatkan

jaminan

ekonomi,

membentuk

keluarga,

mendapatkan keamanan emosi, harapan orang tua, melepaskan diri dari kesepian, menginginkan kebersamaan, mempunyai daya tarik seksual, untuk mendapatkan perlindungan, memperoleh posisi sosial dan prestise, dan karena cinta.1 Perkawianan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dasar-dasar perkawinan dibentuk oleh unsur-unsur alami dari kehidupan manusia itu sendiri yang meliputi kebutuhan dan fungsi bologis, melahirkan keturunan, kebutuhan akan kasih sayang, persaudaraan, memelihara anak-anak tersebut menjadi anggota masyarakat yang sempurna.2 Polemik seputar pernikahan anak di bawah umur saat ini menjadi salah satu masalah krusial. Perdebatan batas minimal seseorang untuk melangsungkan pernikahan disinyalir sebagai salah satu pemicu polemik tersebut. Kontroversi antara kaum konservatif3 yang cenderung memegang teguh pada konsep literatur teks dan kaum reformis4 yang cenderung memahami teks nash secara kontekstual menjadi perdebatan panjang yang berujung pada perbedaan penerapan hukum di sejumlah negara. Sebagian ulama Islam konservatif menolak adanya pembatasan umur dengan alasan menjaga terjadinya sikap amoral, seks bebas karena terlalu jauh antara usia baligh dengan usia kebolehan menikah, dan menjaga keturunan.5

1

Sarwono Sarlito,Teori-teori Psikologi Sosial,. (Jakarta: CV. Rajawali, 1991), h. 34. Titik Triwulan dan Tranto, Pologami perspektif, Perikatan Nikah, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), h. 2. 3 Konservatif adalah suatu paham yang ingin mempertahankan tradisi dan stabilitas sosial, melestarikan pranata-pranata yang sudah ada, menghendaki perkembangan tahap demi tahap, serta menentang peerubahan yang radikal. 4 Kaum Reformis adalah kalangan yang menghendaki adanya pembaharuan pada hukum yang telah berlaku dalam masyarakat untuk mencapai kemaslahatan yang disesuaikan dengan keadaan zaman. 5 Azyumardi Azra, Akar-Akar Historis Permbaharuan Islam di Indonesia Neo Sufisme Abad ke 11-12 H dalam Tasawuf, (Jakarta: Yayasan Paramadina, 2000), h. 179. 2

22

23

Dalil yang sering dikemukakan oleh kaum konservatif antara lain dengan berpegang kepada literatur fikih yang menyatakan bahwa “diperbolehkan terjadinya perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang masih kecil” atau “boleh menikahkan lelaki yang masih kecil dengan perempuan yang masih kecil”.6 Bahkan dalam sejumlah literatur fikih ditemukan diktum yang lebih ekstrem lagi misalnya : “Bila seorang laki-laki mengawini seorang perempuan yang masih kecil, kemudian si isteri disusui oleh ibu si suami, maka isterinya itu menjadi haram baginya.”7 Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan yang masih bayi dapat melangsungkan pernikahan. Malaysia merupakan Negara bagian yang memiliki tigabelas Negara Federasi diantaranya Johor, Kedah, Kelantan, Malaka, Negerisembilan, Pahang, Perak, Perlis, Pulau Pinang, Sabah, Serawak, Selangor dan Trengganu dan tiga wilayah persektuan8 diantaranya Kuala Lumpur, Labuan dan Putra Jaya. Negara Malaysia pernah berada di bawah kekuasaan Portugis dan Belanda sebelum menjadi wilayah jajahan Inggris sejak akhir abad ke-18. Traktat Inggris-Belanda yang ditandatangani pada tahun 1824 di London meresmikan kekuasaan Inggris di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Malaysia dan Singapura. Kedua Negara ini adalah penerus wilayah-wilayah yang pada masa penjajahan disebut Straits Settlement (Penang, Singapura dan Malaka), Federated Malay States (Selangor, Perak, Pahang, Negeri Sembilan) dan Unfederated Malay States (Perlis, Kedah, Kelantan, Terengganu, dan Johor). Sabah dan Serawak yang dulu disebut sebagai Borneo Inggris, kemudian bergabung dengan Malaysia.9 Federasi Malaysia telah merdeka dari jajahan Inggris pada tanggal 31 Agustus 1957. Penganut Agama Islam pada tahun 2004 sekitar 60 persen dari 6

Ibn Hummam, Sharh Fath al-Qadir, (Kairo: Musthafa al-Babiy al-Halabiy 1970), h.

186. 7

Abd al-Rahman al-Jaziri, Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba‘ah, (Mesir: Mathba‘ah alTijariyyah al-Kubra 1990), h. 94. 8 Wilayah persekutuan adalah salah satu negeri atau wilayah yang membentuk persekutuan tanah Melayu (Malaysia). Wilayah persekutuan diperintah secara langsung oleh kerajaan persktuan dibawah kekuasaan Perdana Mentri. Lihat Taufik Adnan Kamal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam dari Indonesia hingga Negeria, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004), h.156. 9 Adnan Kamal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam dari Indonesia hingga Negeria, h. 157.

24

keseluruhan jumlah penduduk, sebagian besar umat Islam di Malaysia bermazhab Syafi'i sekalipun ada juga yang menganut mazhab Hanafi walau dalam jumlah sedikit. Agama-agama lain yang ada di Malaysia diantaranya Budha (Cina dan India), Hindu dan Kristen. Sebagaimana termaktub dalam konstitusi Malaysia pada bagian 1 Pasal 3 dinyatakan bahwa " Islam adalah agama Federasi", tetapi agama-agama lain diterima dan diperkenankan. Dalam konstitusi Malaysia juga menetapkan bahwa Kepala Negara bagian adalah kepala agama Islam. Dalam pasal 11 juga disebutkan bahwa Malaysia menerima prinsip kebebasan beragama.10 Hal yang menarik dari Konstitusi Malaysia sebagaimana dikatakan John L. Esposito adalah bahwa konstitusi tersebut mengabadikan identifikasi agama dan etnik (kedudukan istimewa bagi Islam, Sultan dan kaum Muslim Melayu). Menurutnya konstitusi tersebut mendefinisikan orang melayu sebagai "Orang yang mengaku memeluk agama Islam, terbiasa berbicara dengan bahasa melayu, dan menyesuaikan diri dengan adat-isitiadat Melayu". Orang-orang melayu menikmati hak istimewa yang mencakup sistem kuota Melayu dalam pendidikan, pemerintahan, dan bisnis.11 Malaysia adalah negara federal yang memiliki hukum berbeda pada tiap-tiap wilayah/bagiannya serta merupakan negara di Asia Tenggara yang pertama kali melakukan pembaharuan hukum Islam. Semua Negara Bagian di Malaysia mempunyai undang-undang tersendiri dalam bidang keluarga yang umum dikenal dengan sebutan enakmen atau statut (statuta dalam bahasa Indonesia). Enakmen-enakmen yang dimaksudkan seperti diringkaskan Muchtar Zarkasyi sebagai berikut: 1. Enakmen Undang-undang Keluarga Islam, Kedah, 1979 (1964). 2. Enakmen Undang-undang Keluarga Islam, Kelantan, 1983. 3. Enakmen Undang-undang Keluarga Islam, Malaka, 1983. 4. Enakmen Undang-undang Keluarga Islam, Negeri Sembilan, 1983. 5. Akta Undang-undang Keluarga Islam, Wilayah Persekutuan, 1984. 10

Adnan Kamal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam dari Indonesia hingga Negeria, h. 158. 11 John L. Esposito, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, (Jakarta: Penerbit Mizan, 1999), h.167.

25

6. Enakmen Undang-undang Keluarga Islam, Slangor, 1984. 7. Enakmen Undang-undang Keluarga Islam, Perak, 1984. 8. Enakmen Undang-undang Keluarga Islam, Pulau Pinang, 1985. 9. Enakmen Undang-undang Pentadbiran Keluarga Islam, Terengganu, 1985. 10. Enakmen Undang-undang Keluarga Islam, Pahang, 1987. 11. Enakmen Undang-undang Keluarga Islam, Perlis (draft). 12. Enakmen Undang-undang Keluarga Islam, Pindaan, Klantan, 1985. 13. Enakmen Undang-undang Keluarga Islam, Pindaan, Kelantan, 1987. 14. Enakmen Undang-undang Keluarga Islam, Pindaan, Selangor, 1988. 15. Enakmen Undang-undang Keluarga Islam, Johor, 1990. 16. Ordinan Keluarga Islam, Serawak, 1991. 17. Enakmen Undang-undang Keluarga Islam, Sabah, 1992.12 Akta Undang-Undang Keluarga Islam (wilayah persekutuan) 1984.13 Menegaskan bahwa suatu perkawinan adalah tidak sah melainkan jika cukup semua syarat yang perlu, secara syar’i (hukum Islam). Sebagai tambahan beberap persyaratan administrasi telah diadakan di bawah Undang-Undang ini. Persyaratan yang dimaksud seperti: 1. Syarat utama seorang boleh melakukan perkahwinan ialah beragama Islam, seperti dalam seksyen 9 Perkahwinan tak sah (1) tiada orang boleh berkahwin dengan seseorang bukan Islam. 2. Didasarkan pada persetujuan bebas antara calon suami dan calon istri, dan tidak ada paksaan diantara keduanya. Diatur dalam Seksyen 11 persetujuan dikehendaki Seseuatu perkahwinan adalah tidak diakui dan tidak boleh didaftarkan di bawah Ordinan ini melainkan keduadua pihak kepada perkahwinan itu telah bersetuju terhadapnya. 3. Usia keduanya telah mencukupi dalam boleh melakukan akadnikah, aturan yang berkenaan dengan ini ada pada Seksyen 7 umur minimum

12

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. Pertama), h. 154. 13 Najibah Mohd Zin, Undang-undang keluarga Islam, (Siri Perkembangan Undangundang di Malaysia), (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007, Cet. Pertama), h. xxiii.

26

untuk perkahwinan bagi laki-laki usia 18 tahun dan perempuan 16 tahun. 4. Tidak termasuk dalam larangan-larangan yang ditetapkan oleh hukum syarie, hal ini diatur dalam seksyen 8 pertalian yang melarang perkahwinan. Pada masa sekarang suatu perkawinan yang tidak sesuai dengan UndangUndang ini akan tetapi sah menurut syar’i, harus didaftarkan kepada hukuman yang dikenakan. Karena termasuk perkawinan di bawah umur. (ayat 8)14 dan poligami (ayat 23).15 Undang-undang yang dipakai oleh negeri-negeri di Malaysia dapat dibagi menjadi dua kategori: pertama, menganut Akta Undang-undang Keluarga Islam (untuk wilayah persekutuan) tahun 1984 atau disebut (akta 303). Negeri-negeri yang menganut akta ini antara lain: Negeri Selangor, Negeri Sembilan, Pulau Pinang, Pahang, Perlis, Terengganu, Sarawak, dan Sabah. Kendati demikian, masih juga terdapat sedikit perbedaan dan persamaan

dengan akta Undang-

undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan 1984. Perbedaan tersebut terletak dari segi susunan sekyen, bentuk perubahan dan hukum. Negeri-negeri yang menganut akta tersebut antara lain: Kelantan, Johor, Malaka, dan kedah. 16 Kedua, Ordinan 43 Undang-undang Keluarga Islam Negeri Sarawak tahun 2001 menganut akta Undang-undang Keluarga Islam (Wilayah-wilayah Persekutuan) tahun 1984 atau disebut dengan (akta 303). Menurut catatan Ahilemah Joned, berdasarkan pendahuluan dalam Undang-Undang perkawinan di Malaysia, masing-masing negara sebagian mempunyai tujuan sendiri dalam pembentukan Undang-Undang perkawinannya, seperti Perak, Selangor, Negara Sembilan dan Akta Wilayah. Pembuatan UndangUndang perkawinan di daerah ini bertujuan untuk mengubah beberapa hal di 14

Najibah Mohd Zin, Undang-undang keluarga Islam, (Siri Perkembangan Undangundang di Malaysia), h. 9. (Ayat 8-Apabila pemohon berada di bawah umur batas minimum, yaitu kurang dari 18 tahun bagi laki-laki dan kurang 16 tahun bagi perempuan). 15 Najibah Mohd Zin, Undang-undang keluarga Islam, (Siri Perkembangan Undangundang di Malaysia), h. 11. (Ayat 23-Jika laki-laki yang beristri dan berkeinginan ingin menikah dengan Perempuan lain, maka harus terlebih dahulu mendapat izin dari mahkamah syariah). 16 Abdul Munir Yaakob, Undang-undang Keluarga Islam dan Wanita di Negara-negara Asean, Cet. 2, (Kuala Lumpur: Yayasan Islam Terengganu, 2001), h. 23-24.

27

bidang perkawinan, perceraian, nafkah, hadanah dan perkara-perkara lainnya, supaya menjadi lebih mengikat dan membuat suatu peraturan yang komprehensif agar Undang-Undang tersebut dipatuhi oleh setiap masyarakat yang ada di Malaysia.17 Mengenai Undang-undang negeri bagian, perlembagaan (Undang-undang Dasar) menyatakan bahwa: “Jika mana-mana Undang-undang Negeri Bagian adalah berlawanan dengan sesuatu Undang-undang persekutuan, maka Undang-undang itu hendaklah dipakai dan Undang-undang Negeri Bagian itu hendaklah terbatal, setakat mana Ian berlawanan dengan Undang-undang Persekutuan itu”.18 Di Malaysia batasan umur untuk perkawinan diatur dalam Sekyen 10 Akta Pembaharuan Undang-undang (Perkawinan dan Perceraian), 1976. Adapun isi sekyen tersebut ialah: “Sesudah perkawinan yang berupa sebagai diupacarakan dalam Malaysia adalah taksah jika pada tarikh perkawinan itu salah satu pihak berumur di bawah delapan belas tahun melainkan jika, berkenaan dengan seseorang perempuan yang telah genap umur enam belas tahun, pengupacaraan perkawinan itu telah dibenarkan dengan suatu lessen yang diberi oleh Ketua Menteri di bawah sekyen 21 (2) ”. Penetapan batas umur, yaitu delapan belas tahun bagi calon mempelai laki-laki dan enam belas tahun bagi perempuan, merupakan penetapan batas umur yang baru sebab, jika kita perhatikan batas umur ini dalam dalam ketentuanketentuan yang lama, penetapan batas umur untuk perkawinan itu lebih rendah, yaitu dalam Ordinan Perkawinan Sivil, 1952, Ordinan Perkawinan Kristen, 1956, dan Ordinan Perkawinan, 1959 di Sabah ditetapkan masing-masing empat belas tahun bagi laki-laki dan empat belas tahun bagi perempuan. Adapun dalam

17

Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, Studi Terhadap Perundangundangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, h. 86. (Ahilemah Joned, “Keupayaan dan Hak Wanita Islam untuk Berkawin,Indah Khabar Dari pada Rupa,”, dalam Fakulti Undang-undang Universitas Malaya (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1988). 18 Undang-undang Malaysia, Perlembagaan Persekutuan Perkara, (Kuala Lumpur: MDC Publishirs Sdn Bhd, 2003), Cet 2, h. 75.

28

Ordinan Perkawinan Sipil dan Gereja (Cap 92, 1984) di Serawak ditetapkan masing-masing empat belas tahun, baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan.19 B. Perkawinan di Bawah Umur Usia dewasa pada hakekatnya mengandung unsur yang berkaitan dengan dapat atau tidaknya seseorang mempertanggungjawabkan atas perbuatan hukum yang telah dilakukannya, yang menggambarkan kecakapan seseorang untuk bertindak dalam lalu lintas hukum perdata.20 Hukum dalam lintas masyarakat menghendaki kematangan berfikir dan keseimbangan psikis yang pada orang belum dewasa masih dalam taraf permulaan sedangkan sisi lain dari pada anggapan itu ialah bahwa seorang yang belum dewasa dalam perkembangan fisik dan psikisnya memerlukan bimbingan khusus. Karena ketidakmampuannya maka seorang yang belum dewasa harus diwakili oleh orang yang telah dewasa sedangkan perkembangan orang kearah kedewasaan ia harus dibimbing.21 Dari sudut pandang kedokteran, perkawinan dibawah umur mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, perkawinan dibawah umur dapat mengurangi harmonisasi keluarga.22 Namun pada hakekatnya, perkawinan dibawah umur juga mempunyai sisi positif. Pergaulan saat ini yang dilakukan oleh pasangan mudamudi acapkali tidak mengindahkan norma-norma agama. Kebebasannya sudah melampui batas, dimana akibat kebebasan itu kerap kita jumpai tindakan-tindakan asusila di masyarakat. Fakta ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada taraf yang memprihatinkan. Perkawinan dibawah umur juga merupakan upaya untuk meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut. Daripada terjerumus dalam pergaulan yang kian mengkhawatirkan, jika sudah ada 19

Lili Rasyidi, Hukum Perkawinan Dan Perceraian di Malaysia dan di Indonesia, (Banbdung: PT Remaja Rosdakarya 1991), Cet 2, h. 38, 51. 20 Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Berserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya, cet.2, (Jakarta: CV. Gitamaya Jaya, 2003), h.19. 21 Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Berserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya, h. 113. 22 http://www.depag.go.id/index.php?a=detilberita&id=3955 artikel diakses pada tanggal 14 Mei 2017.

29

yang siap untuk bertanggungjawab dan hal itu legal dalam pandangan syara’, maka hal tersebut adalah boleh, ujar Imam Jalaludin Suyuthi.23 Perkawinan di bawah umur tidak dianjurkan mengingat mereka yang dianggap belum memiliki kemampuan untuk mengelola harta. Selain itu, mereka juga belum membutuhkan perkawinan. Mereka di khawatirkan tidak memenuhi kewajiban-kewajiban yang harus dipikul dalam kehidupan sebagai suami isteri terutama

dalam

pengelolaan

keuangan

rumah

tangga.

Karna

sebelum

melangsungkan perkawinan ada syarat-syarat yang harus dipenuhi diantaranya: 1. Batas umur calon mempelai 2. Persetujuan kedua belah pihak 3. Larangan perkawinan karena adanya hubungan kekeluargaan 4. Mengikuti tata cara perkawinan yang ditentukan.24 Diantaranya ialah ketentuan yang menyangkut usia minimum yang diperbolehkan menikah. Usia calon mempelai haruslah sudah cukup umur seperti ketentuan yang sudah ada dalam Sekyen 10 Akta Pembaharuan Undang-undang (Perkawinan dan Perceraian), 1976. Tidak dapat dipungkiri perkawinan di bawah umur di Malaysia juga masih banyak terjadi seperti salah satu contoh kasus yang terjadi di Kelantan, Siti Nur Zubaidah Hussin yang baru berusia 11 tahun ketika dia dipaksa kawin oleh bapaknya dengan lelaki berusia 41 tahun. Bapaknya Hussin Mat Salleh adalah pengikut kumpulan tabligh yang diyakinkan oleh ketuanya Shamsuddin Che Derahman juga digelar "Sudin Ajaib". Menurut Hussin Mat salleh, perbuatannya itu mengikuti kepada Sunnah Nabi Muhammad SAW. Akibat perkawinan yang dilakukan tanpa sukarela, Siti Nur Zubaidah mengalami tekanan bathin yang hebat. Dia ditemui dalam keadaan setengah sadar di Masjid Al-Ikhwan, Taman Samudera Batu Caves, beberapa hari setelah suaminya tidak sedang bersamanya. Siti Nur Zubaidah bukanlah yang pertama dan terakhir fenomena pernikahan

23

Jalaluddin Suyuthi, Jami’ al Shaghir, (Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 1980) h. 210. Ahmad Ibrahim, Family Law in Malaysia and Singapore, (Kuala Lumpur: University of Malaya, 1973), h. 203. 24

30

bawah umur di negara ini karena masih ada lagi remaja yang menikah dengan sukarela dan ada juga yang terpaksa menikah karena hamil di luar nikah.25 Dalam kasus lain, Siti Maryam Mahmod (14) menikah dengan seorang guru, Abdul Manan Othman (23), dalam sebuah pernikahan massal di sebuah masjid raya, setelah diberi izin pengadilan Syariah Islam. Muslim Malaysia di bawah usia 16 tahun diperbolehkan untuk menikah selama mereka mendapatkan izin dari pengadilan agama setempat. Hukum Syariah berjalan secara paralel dengan hukum perdata di Negara multi-etnis tersebut. Nazri Aziz, seorang menteri di Departemen Perdana Menteri yang bertanggungjawab terhadap urusan hukum, mengatakan, “pemerintah tidak mempunyai rencana untuk meninjau undangundang yang memungkinkan pernikahan di bawah umur karena praktek ini diizinkan dalam Islam. "Jika agama (Islam) mengijinkannya, maka kita tidak bisa membuat undang-undang untuk menentang hal itu". Ia menjelskan bahwa "Islam mengizinkan pernikahan tersebut asalkan gadis itu dianggap telah mencapai tahap umurnya, sekali ia telah mendapatkan haidnya.”26 Di Malaysia, usia pernikahan minimum adalah 18 tahun namun 16 tahun untuk perempuan muslim. Mereka yang di bawah 16 tahun dapat menikah dengan persetujuan Mahkamah Syariah. Sisters in Islam (SIS)27 merasa terkejut bahwa pernikahan di Malaysia masih banyak terjadi. Mereka menilai masih banyak celah dalam undang-undang perkawinan yang dapat diterobos apalagi jika menyangkut masalah keyakinan. Datuk Haji Othman Mustapha, Direktur Departemen Pembangunan Islam Malaysia (Jakim), menikah di usia dini tidak dilarang dalam Islam. Yang ditekankan adalah pasangan menikah harus cukup dewasa dan mengerti tentang tanggung jawab pernikahan. Kemudian ia melanjutkan "Pasangan tersebut harus tahu dan siap atas kehidupan pernikahan. Karena itu perlu diberikan pengetahuan yang benar terutama menyangkut pengertian suami dan istri dalam Islam. Yang penting juga, mereka perlu memahami alasannya

25

http://www.malaysiakini.com/news/155400, artikel diakses pada 20 April 2017. http://www.voa-islam.com/read/world-news/2010/12/10/12215/menkum-malaysia-jikaislam-izinkan-nikah-dini-kita-tak-akan-menentang/ artikel diakses pada 13 Me 2017. 27 Komunitas Pemerhati perempuan di bidang mahkamah, keluarga dan harta di Malaysia. 26

31

kenapa harus menikah, Jika hanya untuk memuaskan hasrat seksual saja, perlu diketahui jika hal tersebut tidak akan membuat rumah tangga langgeng".28 C. Faktor yang Menyebabkan Perkawinan Usia Muda

Pada umumnya, berbagai kalangan menilai negatif tentang pernikahan anak di bawah umur, karena disinyalir menyebabkan Angka Kematian Ibu melahirkan (AKI) meningkat secara signifikan. Data statistik menunjukkan bahwa angka kematian ibu (AKI) di Indonesia merupakan ranking tertinggi dibanding dengan Negara-negara lain di ASEAN. Di Malaysia, angka tersebut hanya mencapai 39 kasus untuk 100.000 persalinan, sementara di Indonesia mencapai 307 kasus untuk 100.000 persalinan.29 Pernikahan dini juga berkorelasi positif dengan meningkatnya angka kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi, perdagangan manusia (trafficking), jumlah anak telantar, serta meningkatnya angka perceraian dan pengangguran.30 Sehubungan dengan pernikahan dini ini, maka ada faktor pendorong terjadinya pernikahan dini dan dampaknya dari adanya pernikahan dini. Jadi Faktor-faktor pendorong pernikahan dini adalah sebagai berikut: 1. Tuntunan Agama Agama Islam menganjurkan untuk menikah pada usia muda, mengingat Malaysia merupakan Negara yang menganut dan mengadopsi hukum Islam, terkadang alasan ini menjadi faktor untuk menikah pada usia muda.31 Syariat Islam tidak membatasi usia tertentu untuk menikah. Namun, secara implisit, syariat menghendaki orang yang hendak menikah adalah benar-benar orang yang sudah siap mental, pisik dan psikis, dewasa dan paham arti sebuah pernikahan yang merupakan bagian dari ibadah, persis seperti harus pahamnya

28

Teddy Kurniawan, Kontroversi Pernikahan Dibawah Umur di Malaysia, artikel diakses dari http://www.beritasatu.com/asia/142654-kontroversi-pernikahan-di-bawah-umur-di-malaysia. html pada tanggal 15 Mei 2017. 29 Badan Pusat Statistik tahun 2003, dikutip dari Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: el-Kahfi, 2008), h. 222. 30 http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/29/01050780/pernikahan.dini.melanggar. ham diakses pada tanggal 18 Mei 2017. 31 Nik Noraini Nik Badli Shah, Perkahwinan Dan Perceraian Di Bawah Undang-Undang Islam, (Kuala Lumpur: International Law Book Services, 1998), h. 7.

32

apa itu salat bagi orang yang melakukan ibadah salat, haji bagi yang berhaji, transaksi dagang bagi pebisnis. Tidak ditetapkannya usia tertentu dalam masalah usia sebenarnya memberikan kebebasan bagi umat untuk menyesuaikan masalah tersebut tergantung situasi, kepentingan, kondisi pribadi keluarga dan atau kebiasaan masyarakat setempat, yang jelas kematangan jasmani dan rohani kedua belah pihak menjadi prioritas dalam agama. 2. Nilai virginitas dan ketakutan mengenai aktivitas seksual pranikah (value of virginity and fears about premarital sexual activity). Salah satu alasan kuat untuk menikah muda adalah semakin bebasnya pergaulan remaja masa kini dan semakin banyaknya wanita yang cara berpakaiannya tidak lagi sesuai dengan yang diajarkan agama. Sulit sekali untuk menahan pandangan di zaman sekarang, tentu hal ini akan berbahaya bagi kaum bujang. Pacaran dijadikan solusi yang diambil untuk meredam syahwatnya, sehingga hubungan tanpa komitmen ini menjadi lifestyle di kalangan anak muda. Hal inilah yang akan menjadi jalan bagi setan untuk menjerusmuskan manusia dalam jurang kenistaan, sehingga banyak sekali yang terjebak dalam perzinaan. Bagi seorang muslim tentu tidak menghendaki hal seperti itu, oleh karena menikah diusia muda merupakan salah satu usaha untuk melindungi serta menjaga diri dari berbagai godaan dan rayuan yang menjerumuskan ke dalam kenistaan.32 3. Menjadi lebih bertanggungjawab Menikah di usia muda akan membuat pasangan lebih dewasa dan bertanggung jawab terhadap hidup. Bagaimana tidak, menikah biasanya identik dengan berhentinya sokongan finansial dari orang tua. Dengan demikian, pasangan yang menikah pada usia muda tersebut akan menyiasati segala permasalahan kehidupan yang mereka jalani.33

32

Nik Noraini Nik Badli Shah, Perkahwinan Dan Perceraian Di Bawah Undang-Undang

Islam, h. 8. 33

Raihanah Abdullah, “Prosedur Perkahwinan,” dalam Undang-Undang Islam Di Malaysia Prinsip Dan Amalan, (Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Malaya, 2007), h. 93.

33

4. Kemiskinan (the role of poverty) Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.34

34

Raihanah Abdullah, “Prosedur Perkahwinan,” dalam Undang-Undang Islam Di Malaysia Prinsip Dan Amalan, h. 96.

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM MENGENAI BATAS USIA PERKAWINAN DI INDONESIA DAN MALAYSIA

A. Persamaan dan perbedaan Batas Minimum Usia Perkawinan 1. Persamaan Batas Minimum Usia Perkawinan di Indonesia dan Malaysia Reformasi atau pembaharuan hukum Islam di beberapa Negara Muslim banyak mengalami kemajuan, terutama dalam hukum keluarga. Pembaharuan tersebut dilatarbelakangi oleh banyak faktor antara lain pemahaman fikih Islam yang mereka adopsi dari masing-masing Imam Mazhab yang berkembang di masing-masing negara Islam atau negara berpenduduk muslim. Pembaharuan itu pun tidak dapat terlepas dari faktor-faktor sosio-kultural, ekonomi maupun politik yang dihadapi oleh tiap-tiap Negara, selain pengaruh dari sistem hukum penjajah yang pernah menguasai negara tersebut. Negara-negara Islam atau berpenduduk muslim secara umum dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok besar yaitu kelompok negara-negara Islam atau berpenduduk muslim kategori penganut mazhab fikih tertentu yang jumlahnya lebih banyak, dan kelompok negara-negara Islam atau berpenduduk muslim yang tidak menganut mazhab fikih tertentu yang jumlahnya relatif lebih sedikit.1 Menurut catatan Tahir Mahmood, pembaruan dan praktik hukum keluarga di Negara-negara Muslim dapat dilihat dari beberapa bentuk, yaitu: a. Negara yang secara prinsipil menggunakan produk hukum klasik sebagai hukum positifnya, tanpa melakukan perubahan atau kodifikasi. b. Negara-negara

Muslim

yang

secara

utuh

meninggalkan

dan

menggantikan hukum keluarga klasik menjadi hukum modern yang ditetapkan secara legal kepada seluruh warga Negara.

1

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. Pertama), h. 181.

34

35

c. Negara-negara yang secara umum telah mereformasi hukum keluarga klasik melalui peraturan perundang-undangan dengan menggunakan banyak pandangan aliran fikih, atau juga melalui kebijakan institusi kenegaraan.2 Negara-negara muslim yang menganut metode pembaruan dan praktik hukum keluarga pada bentuk ketiga meliputi Negara di Asia Tenggara diantaranya; Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam, bentuk ketiga ini juga tergambar pada Negara-negara lainnya sepert; Mesir, Tunisia, Maroko, Aljazair, Irak, Iran, dan Pakistan. Di Negara Indonesia dan Malaysia yang sama-sama menggunakan mazhab Syafi’i sebagai salah satu sumber pandangan aliran fikih yang dijadikan pedoman dalam merumuskan peraturan perundang-undangan. Sementara itu corak unifikasi hukum yang diterapkan dengan berupaya untuk menyatukan beragam pandangan hukum Islam dari berbagai aliran fikih, karena di kedua Negara tersebut mengakomodir komunitas yang mengikuti aliran tersebut. Dengan demikian di kedua Negara tersebut dalam perumusan hukum keluarga masih tetap memasukan pandangan atau pendapat dari aliran hukum Islam yang lain.3 Dalam konteks persamaan antara hukum terutama undang-undang perkawinan Islam di dunia Islam, ialah berkenaan dengan asas-asas atau prinsipprinsip yang ditekankan dalam undang-undang perkawinan, yakni asas suka rela, asas partisipasi keluarga, asas mempersulit perceraian, asas monogami, asas kematangan

usia

(kedewasaan)

calon

mempelai,

asas

memperbaiki

(meningkatkan) derajat perempuan. Sehingga kesamaan yang terkandung dari Undang-Undang Perkawinan di Indonesia dan Ordinan Keluarga Islam di Malaysia karena memiliki sumber hukum material yang sama yakni al-Qur’an dan al-Hadits. Persamaan dari sumber hukum material secara normatif dalam menentukan usia perkawinan yakni al-Qur’an dan al-Hadits, karena tidak ada suatu Negara muslim atau Negara yang berpenduduk muslim mengingkari 2

Tahir Mahmood, Family Law Reform In The Muslim Word, (Bombay: Thripathi, 2001),

3

Abdul Sani, Perkembangan Moderen Dalam Islam, h. 132.

h. 3.

36

keabsahan dari kedua sumber hukum pokok tersebut. Sehingga kesamaan sumber hukum pokok inilah tidak terdapat perbedaan yang mencolok antara Negara Islam yang satu dengan Negara Islam yang lain.4 Dalam hal pengertian perkawinan dan tujuan perkawinan misalnya, tampak ada kesamaan dalam hal peletakan sighat al-Aqdi sebagai unsur mutlak dalam sebuah akad perkawinan, tujuan jangka panjang dari sebuah perkawinan, dan pelaksanaan akad perkawinan yang hanya dibolehkan antara laki-laki dan perempuan. Tolak ukur dalam menentukan batas kedewasaan memiliki kesamaan dalam berbagai aspek seperti aspek biologis yakni terhadap perempuan bila sudah kedatangan haid, dan rahimnya sudah sanggup menumbuhkan janin, atau sudah siap untuk hamil dan melahirkan. Sedangkan bagi pria bila sudah mimpi disertai mengeluarkan sperma dan sejak itu sudah mualai tertarik dengan lawan jenis. Berdasarkan asas kematangan dalam usia (kedewasaan) calon mempelai terdapat kesamaan dalam mematok usia ideal dalam menikah untuk calon mempelai perempuan yakni 16 tahun. Baik itu yang terdapat dalam UndangUndang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pada pasal 1 ayat (1) dan Sekyen 10 Akta Pembaharuan Undang-undang (Perkawinan dan Perceraian), 1976. Persamaan ini mengingat aspek biologis penentu kedewasaan seorang perempuan ialah bilamana sudah haid dan sanggup mengandung serta melahirkan. Selanjutnya aspek psikologis seorang perempuan ialah siap secara psikis untuk mengelola rumah tangga, memelihara anak, serta mengasuhnya membutuhkan mental yang siap untuk menjadi seorang ibu dalam mendidik anak. Sedangkan faktor kedewasaan perempuan berdasarkan aspek kedokteran yakni siap dalam mengandung janin dan melahirkan anak dari fisik seorang calon ibu. Sarlito Wirawan Sarwono melihat bahwa usia kedewasaan untuk siapnya seseorang memasuki hidup berumah tangga harus diperpanjang menjadi 20 tahun untuk wanita dan 25 tahun untuk pria. Hal ini diperlukan karena zaman modern menuntut untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan, baik dari segi kesehatan maupun tanggung jawab sosial. Dengan usia tersebut seorang 4

Abu Su’ud, Islamologi, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), h. 97.

37

perempuan dipastikan secara dewasa telah masak jiwa dan raganya, sempurna akalnya, dan dapat diterima sebagai anggota masyarakat secara utuh dalam mengemban tugas tanggung jawab dalam mendidik seorang anak calon mempelai perempuan harus telah matang jasmani dan rohaninya, agar dapat memenuhi tujuan luhur dari perkawinan dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.5 Seorang yang telah dewasa dianggap mampu berbuat karena memiliki daya yuridis atas kehendaknya sehingga dapat pula menentukan keadaan hukum bagi dirinya sendiri. Undang-undang menyatakan bahwa orang yang telah dewasa telah dapat memperhitungkan luasnya akibat daripada pernyataan kehendaknya dalam suatu perbuatan hukum, misalnya membuat perjanjian, membuat surat wasiat. Dalam konteks kecerdasan, batas usia perkawinan ideal harus diformulasi sebagai sebuah agenda yang berkelanjutan untuk memperoleh sebuah periode generasi yang benar-benar berkualitas. Persaingan global yang akan dihadapi, salah satunya adalah menyangkut kualitas SDM sehingga sudah saatnya memberi peluang pendidikan bagi masyarakat untuk mengupayakan terbangunnya generasi-generasi berkualitas baik. Apabila hal ini dapat diwujudkan, maka konsep masyarakat madani akan dengan mudah dapat diciptakan. Dalam kaitannya dengan penciptaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas baik, keluarga sakinah juga memegang peranan yang sangat penting. Keluarga yang sehat, baik dan sejahtera lahir-batin akan melahirkan keturunan atau generasi yang sehat dan kuat. Keturunan-keturunan demikian akan tumbuh menjadi manusia-manusia yang cerdas dan pada waktunya nanti akan menjadi SDM yang berkualitas baik, yang tidak hanya bermanfaat bagi keluarganya, tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat luas. 2. Perbedaan Batas Minimum Usia Perkawinan di Indonesia dan Malaysia Malaysia adalah Negara federal, sampai sekarang Undang-Undang perkawinan (Hukum Keluarga) yang berlaku di Malaysia adalah Undang-Undang 5

Chuzaemah T. Yanggo dan H.A. Hafiz Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: LSIK Pustaka Firdaus, 2009), h. 84.

38

Perkawinan masing-masing negeri. Usaha penyeragaman Undang-Undang Keluarga di Malaysia pernah dilakukan, yang diketuai oleh Tengku Zaid. Setelah mendapat persetujuan dari Majelis Raja-raja, draft ini disebarkan ke negeri-negeri yang dipakai sebagai Undang-Undang Keluarga. Sayangnya tidak semua negeri menerima isi keseluruhan Undang-Undang ini. Kelantan misalnya, melakukan pemerintah federal. Akibatnya Undang-Undang keluarga yang berlaku di Malaysia tidak seragam sejak sebelum mencapai kemerdekaan sampai sekarang.6 Belanda misalnya, menerapkan sistem hukum Kontinental di Indonesia, dan Inggris mempraktikan sistem hukum Common Law-nya di Brunei Darussalam, Malaysia dan Singapura. Indonesia sendiri merupakan Negara Demokrasi yang memiliki sistem hukum yang terpadu berupa Undang-Undang yang berlaku secara keseluruhan, karena perbedaan dari penerapan sistem hukum penjajah di Negara jajahannya dengan segala akibat yang ditimbulkan mempengaruhi pula pemberlakuan hukum Islam di Negara-negara Islam dan atau Negara yang berpenduduk Muslim.7 Secara umum, langkah penentuan usia kawin didasarkan kepada metode maslahat mursalah. Namun demikian karena sifatnya yang ijtihady, yang kebenarannya relatif, ketentuan tersebut tidak bersifat kaku. Artinya apabila karena sesuatu dan lain hal perkawinan dari mereka yang usianya di bawah 21 tahun atau sekurang-kurangnya 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. Dengan kata lain, filosofi dalam pembatasan ini semata-mata untuk mencapai sebuah rumah tangga sakinah, mawadah, wa rahmah. Oleh karena itu, pembatasan usia perkawinan amat penting sebagai modal awal dalam proses pembentukan rumah tangga. Perbedaan usia ideal dalam perkawinan ditunjukan pada calon laki-laki yakni 19 tahun menurut Undang-undang Perkawinan di Indonesia, sedangkan dalam Sekyen 10 Akta Pembaharuan Undang-undang (Perkawinan dan Perceraian), 1976 maupun Ordinan Keluarga Islam Negeri Sarawak menetapkan batas usia perkawinan berkisar pada umur 18 tahun. Dalam penentuannya umur 6

Dedi Supriyad dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Bandung: Pustaka al-Fikris, 2009), h. 32-33. 7 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h. 204.

39

19 tahun lebih dewasa di Indonesia ketimbang umur 18 tahun. Di Indonesia sendiri bagi mereka yang belum mencapai umur ini, maka harus meminta izin dari Pengadilan, dan bagi calon pengantin laki-laki maupun perempuan yang belum mencapai umur 21 tahun maka harus menyertakan izin dari orang tua. Berdasarkan pada pasal 7 ayat (2) Undang-undang Perkawinan Indonesia yang mana diperlukan dispenisasi dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak perempuan. Dan bila belum mencapai umur 21 tahun bagi keduanya harus mendapat izin dari kedua orang tua seperti yang termaktub pada pasal 6 ayat (2) Undang-undang perkawinan Indonesia. Menurut Ordinan Keluarga Islam Negeri Sarawak pada sekyen 7 dan Akta Pembaharuan Undang-undang (Perkawinan dan Perceraian), 1976 sekyen 10 jika umur kurang dari yang dimaksudkan dalam usia perkawinan laki-laki 18 tahun dan perempuan 16 tahun, maka diperlukan kebenanaran dari hakim Syarie secara tertulis dalam hal keadaan tertentu. Secara tekhnis, tidak jauh perbedaan dalam hal administrasi bilamana kedua pasangan laki-laki dan perempuan kurang dari usia yang ditentukan oleh ketiga peraturan tersebut. Ditambahkan izin kedua orang tua jika kedua pasangan belum mencapai umur yang ditetapkan untuk diatur secara ketat terhadap perkawinan dini. Perbedaan tidak begitu berpengaruh terhadap rentang usia 1 tahun bagi mempelai laki-laki, bila di Indonesia umur ditetapkan 19 tahun, sedangkan dalam Akta Pembaharuan Undang-undang (Perkawinan dan Perceraian) 1976, 18 tahun. Namun tetap memiliki pengaruh terhadap kematangan dan kedewasaan dalam berpikir dan bertindak dalam mengemban tanggung jawab sebagai calon kepala keluarga. Batas minimal bagi calon laki-laki boleh menikah 19 tahun merupakan ranah ijtihad fikih ala ulama Indonesia yang sudah dipositifkan (diundangundangkan). Selain itu, kondisi masyarakat dan tingkat pendewasaan laki-laki di setiap wilayah memang berbeda-beda tergantung faktor-faktor yang mendukung kedewasaan, seperti faktor pendidikan, psikis, sosial, medis dan faktor penentu lainnya. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Perbedaan yang paling menonjol mengenai batas minimum usia perkawinan di Indonesia dan Malaysia

40

ditunjukan pada calon laki-laki yakni 19 tahun menurut Undang-undang Perkawinan di Indonesia, sedangkan dalam Sekyen 10 Akta Pembaharuan Undang-undang (Perkawinan dan Perceraian), 1976 menetapkan batas usia perkawinan berkisar pada umur 18 tahun, sedangkan calon mempelai perempuan sama-sama menetapkan minimal usia perkawinan adalah 16 tahun. Dalam penentuannya umur 19 tahun lebih dewasa di Indonesia ketimbang umur 18 tahun. Di Indonesia sendiri bagi mereka yang belum mencapai umur ini, maka harus meminta izin dari Pengadilan, dan bagi calon pengantin laki-laki maupun perempuan yang belum mencapai umur 21 tahun maka harus menyertakan izin dari orang tua. Ditambahkan izin kedua orang tua jika kedua pasangan belum mencapai umur yang ditetapkan untuk diatur secara ketat terhadap perkawinan dini. 3. Dampak Pernikahan di Usia Muda dan Tinajuannya Dalam Psikologi dan Kesehatan a. Dampak Positif Di usia yang lebih muda, wanita sedang dalam masa bersemangat. Sehingga saat menikah di usia muda dan memulai rumah tangga, ada energi besar untuk mengurus suami dan anak. Pemikiran wanita muda relatif masih polos dan tidak terbebani banyak hal, sehingga dia bisa lebih fokus pada rumah tangganya tanpa mengkhawatirkan banyak hal, tidak seperti wanita dewasa yang sering takut dan mencemaskan banyak hal. Pernikahan dini akan meminimalisir terjadinya perbuatan asusila dan perilaku menyimpang di kalangan muda-mudi. Presentase hubungan di luar nikah (zina) dan perilaku homoseksual di daerah-daerah pedesaan, lebih kecil dibandingkan dengan daerah-daerah perkotaan. Ini merupakan sebuah fakta yang begitu nyata. Pernikahan dini sudah menjadi hal yang biasa di desa-desa. Anak-anak muda yang melakukan liwath (hubungan sesama jenis), kebanyakan disebabkan oleh adanya faktor yang menghalangi mereka untuk menikah secara dini, seperti nilai mahar yang tinggi dan sebagainya. Meningkatkan jumlah populasi suatu umat. Umat yang kaum mudanya melakukan pernikahan dini, akan mengalami peningkatan jumlah populasi yang lebih besar dari umat lain. Memenuhi kebutuhan sebagian keluarga,

41

misalnya akan keberadaan seorang perempuan yang mengurus dan menangani keperluan rumah tangga mereka.8 b. Dampak Negatif Memasuki awal usia 20 tahun atau di awal usia 20 tahun, pemikiran wanita biasanya masih belum matang. Dia belum mengenal dirinya sendiri dan cenderung masih ikut arus. Belum memahami sebenarnya apa keinginan terbesar dalam hidupnya. Sering juga wanita jatuh cinta dan menikah dengan pria yang salah karena pemikirannya masih belum stabil. Merawat dan mengasuh anak bukan pekerjaan mudah, wanita yang menikah di usia muda seringkali mengorbankan karir untuk mengurus anaknya. Beberapa wanita merasa menyesal karena pengorbanan ini tidak menghasilkan materi. Banyak wanita muda yang merasa mengorbankan masa mudanya untuk keluarga dan fokus membesarkan anak-anak, sedangkan teman sebaya mereka masih bisa bersenang-senang.9 c. Tinjauan Dari Sisi Psikologi Pernikahan dini pada remaja pada dasarnya berdampak pada segi fisik maupun psikis. Dalam konteks beberapa budaya, pernikahan dini bukanlah sebuah menjadi kebiasaan. Tetapi dalam konteks perkembangan, pernikahan dini akan membawa masalah psikologis yang besar dikemudian hari. Ada dampak negatif dan positif dari pernikahan tersebut. Contoh dampak negatifnya yaitu remaja yang hamil akan lebih mudah menderita anemia, adanya tindakan kekerasan terhadap istri yang timbul karena tingkat berfikir yang belum matang, serta kesulitan ekonomi dalam rumah tangga. Dampak lain juga pada depresi berat atau neuritis depresi akibat pernikahan dini, bisa terjadi pada kondisi kepribadian yang berbeda. Pada pribadi introvert (tertutup) akan membuat remaja menarik diri dari pergaulan. Dia akan menjadi pendiam, tidak mau bergaul, bahkan menjadi seseorang yang schizophrenia atau dalam bahasa awam yang dikenal orang adalah gila. Sedang

8

Muhammad Fauzil Adhim, Indahnya Pernikahan Dini, (Jakarta: PT Lingkar Pena, 2002), h. 64. 9 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Cet. IV, (Yogyakarta: LKiS, 2007), h. 96.

42

depresi berat pada pribadi ekstrovert (terbuka) sejak kecil, remaja terdorong melakukan hal-hal aneh untuk melampiaskan amarahnya. Oleh karena itu pernikahan dini dilangsungkan tanpa memikirkan dampak yang akan dihasilkan nanti pada keluarganya. Perempuan korban nikah dini memang menuruti semua keinginan orang tua tetapi nantinya pada keluarga, mereka baru bisa merasakan dampaknya. Hasil dari menahan semua yang seharusnya di inginkan perempuan korban nikah dini akan terlihat ketika dia sudah tidak tahan dengan sikap pasangannya. Mereka akan melampiaskan kemarahannya kepada keluarganya. d. Tinjauan Dalam Kesehatan Pada perempuan yang telah melakukan pernikahan usia dini, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi adalah sehubungan dengan kemampuan yang dimiliki oleh individu perempuan dalam proses kehamilan dan melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan kehamilan yang sehat. Tetapi pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi masih kurang dimana seorang ibu yang telah melangsungkan pernikahan dini sebelum kurang memahami dampak dari pernikahan yang berlangsung. Menurut konsultan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi dokter Julianto Witjaksono, rentang usia perkawinan paling aman bagi seorang wanita adalah 20-35 tahun. Pada usia itu, seorang perempuan masuk dalam kategori dewasa muda. Pernikahan wanita di bawah usia 20 tahun memiliki resiko tinggi akan kematian. Adapun resiko kehamilan remaja lebih tinggi dibandingkan kehamilan pada usia reproduksi sehat (20-35 tahun), antara lain terjadi tiga sampai tujuh kali kematian dalam kehamilan dan persalinan terutama akibat pendarahan dan infeksi. Selain itu, satu sampai dua dari empat kehamilan remaja mengalami depresi pasca persalinan.10 Perempuan korban nikah dini yang melakukan pernikahan atas kemauan orang tua. Dia belum mengetahui sepenuhnya tentang akibat pernikahan yang berlangsung. Dalam kesehatan pun mereka masih sedikit banyak bertanya kepada 10

http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt542a69f1b601b/tiga-ahli-benarkan-resikonikah-dini, di akses pada tanggal 28 Mei 2017.

43

orang tua, terlebih saat mereka hamil. Umur yang baik untuk hamil, menjaga saat kesehatan saat hamil, semua itu masih mendapat arahan dari orang tua. B. Pandangan Hukum Islam Tentang Batas Usia Perkawinan Suatu perkawinan, secara ideal dilakukan oleh pasangan pria-wanita yang telah memiliki kematangan, baik dari segi biologis maupun psikologis. Kematangan biologis adalah apabila seseorang telah memiliki kematangan baik dari segi usia, maupun dari segi fisik. Sedangkan kematangan psikologis adalah bila seseorang telah dapat mengendalikan emosinya dan dapat berpikir secara baik, serta dapat menempatkan persoalan sesuai dengan keadaan subjektifobjektifnya. Termasuk salah satu syarat yang ditetapkan oleh ulama fiqh mengenai sahnya sebuah pernikahan adalah kematangan dan kedewasaan pihak calon suami dan calon istri yang akan melangsungkan pernikahan. Dengan adanya kedewasaan inilah diharapkan nantinya kedua pasangan bisa membina hubungan rumah tangganya dengan baik sehingga tercipta keluarga yang harmonis. Tanpa kedewasaan ini, kedua pasangan suami istri bisa saja terjerumus pada egoisme sektoral diantara masing-masing keduanya yang bisa mengantarkan pernikahannya pada jurang keretakan dan kehancuran rumah tangga. Oleh karena, faktor kedewasaan merupakan asas yang sangat penting dalam pernikahan demi terciptanya keluarga yang utuh dan bahagia selamanya.11 Namun yang perlu digaris bawahi disini adalah bahwa nash al-Qur’an dan al-Sunnah tidak pernah memberi batasan yang sangat tegas terkait umur minimal seseorang untuk bisa melangsungkan pernikahan. Ulama fiqh klasik juga tidak memberi batasan yang begitu tegas dan masih ada perbedaan pendapat tentang batas umur tersebut. Kemudian apabila dilacak referensi syar’inya, Allah tidak secara konkrit menentukan batas usia bagi pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Batasan hanya diberikan berdasarkan kualitas yang harus dinikahi oleh mereka, sebagaimana dalam surat An-Nisa’ (4): 6:

11

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, Cet. III, (Jakarta: Prenada Media, 2008), h. 394.

44

‫وَ ا ْﺑﺘَﻠُﻮا ا ْﻟﯿَﺘ َﺎﻣَﻰ َﺣﺘ ﱠﻰ إِذَا ﺑَﻠَﻐُﻮا اﻟ ِﻨّﻜَﺎ َح ﻓَﺈ ِنْ آَﻧَ ْﺴﺘ ُ ْﻢ ﻣِ ْﻨ ُﮭ ْﻢ رُ ْﺷﺪًا ﻓَﺎ ْدﻓَﻌُﻮا إِﻟَ ْﯿ ِﮭ ْﻢ أ َﻣْ ﻮَ اﻟَ ُﮭ ْﻢ وَ َﻻ ﺗَﺄ ْ ُﻛﻠُﻮھَﺎ‬ ‫ِﻒ وَ ﻣَﻦْ ﻛَﺎنَ ﻓَﻘِﯿﺮً ا ﻓَ ْﻠﯿَﺄْﻛُﻞْ ﺑِﺎ ْﻟ َﻤﻌْﺮُ وفِ ﻓَﺈِذَا‬ ْ ‫ﻏﻨِﯿﺎ ﻓَ ْﻠﯿَ ْﺴﺘ َ ْﻌﻔ‬ َ َ‫إِﺳْﺮَ اﻓًﺎ وَ ﺑِﺪَارً ا أ َنْ ﯾَ ْﻜﺒَﺮُ وا وَ ﻣَﻦْ ﻛَﺎن‬ .(٦ :‫ )ﺳﻮرة اﻟﻨﺴﺎء‬.‫ﻋﻠَ ْﯿ ِﮭ ْﻢ وَ َﻛﻔَﻰ ﺑِﺎ ﱠ ِ َﺣﺴِﯿﺒًﺎ‬ َ ‫دَﻓَ ْﻌﺘ ُ ْﻢ إِﻟَ ْﯿ ِﮭ ْﻢ أ َﻣْ ﻮَ اﻟَ ُﮭ ْﻢ ﻓَﺄ َ ْﺷ ِﮭﺪُوا‬ Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin, kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya”. (QS. Al-Nisa’ (4): 6). Cukup umur untuk menikah dalam ayat diatas adalah setelah timbul keinginan untuk berumah tangga, dan siap menjadi suami dan memimpin keluarga. Hal ini tidak berjalan sempurna, jika dia belum mampu mengurus harta kekayaan. Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam kitabnya yang berjudul “Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayatil Ahkam Min al-Qur’an” menjelaskan keharusan wali bagi anak yatim untuk segera memberikan harta yang mereka miliki jika dianggap telah mampu untuk memelihara harta sendiri tanpa harus menunda-nundanya.12 Berdasarkan ketentuan umum tersebut, para fuqoha dan ahli undangundang

sepakat

menetapkan,

sesorang

diminta

pertanggugjawaban

atas

perbuatannya dan mempunyai kebebasan menentukan hidupnya setelah cukup umur atau sampai jelas baginya segala urusan yang ia hadapi. Pikirannya telah mampu mempertimbangkan yang mana baik dan mana yang buruk. 13 Ayat tersebut memberikan petunjuk bahwa perkawinan yang dilakukan oleh pasangan usia muda di bawah ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 maka dia dikhawatirkan belum bisa membina dan bertanggung jawab atas rumah tangganya dan mengurus hartanya dengan baik. Dan juga menurut pengamatan beberapa pihak juga, bahwa rendahnya usia perkawinan lebih banyak menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan misi dan tujuan

12

Muhammad Ali Ash-Shabuni, Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayatil Ahkam Min al-Qur’an, Juz I, (Beirut: Maktabah al-Ghazali, 1980), h. 435. 13 M. Abdul Mujieb,et.all, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus 1994), h. 37.

45

perkawinan yaitu terwujudnya ketenteraman dalam rumah tangga berdasarkan kasih sayang.14 Di Malaysia Sendiri, Had umur perkawinan yang dibenarkan bagi perempuan tidak kurang dari 16 tahun dan laki-laki tidak kurang daripada 18 tahun. Sekiranya salah seorang atau kedua-dua pasangan yang hendak berkahwin berumur kurang daripada had umur yang diterapkan, maka perlu mendapatkan kebenaran hakim syariah terlebih dahulu. Seperti dalam Surat Al-Ruum ayat 21:

َ‫وَ ﻣِ ﻦْ آَﯾَﺎﺗِ ِﮫ أ َنْ َﺧﻠَﻖَ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻣِ ﻦْ أ َ ْﻧﻔُ ِﺴ ُﻜ ْﻢ أ َزْ وَ اﺟًﺎ ِﻟﺘ َ ْﺴ ُﻜﻨُﻮا إِﻟَ ْﯿﮭَﺎ وَ َﺟﻌَ َﻞ ﺑَ ْﯿﻨَ ُﻜ ْﻢ ﻣَﻮَ دﱠة ً وَ رَ ﺣْ َﻤﺔً إِنﱠ ﻓِﻲ ذَﻟِﻚ‬ .(٢١ :‫ )ﺳﻮرة اﻟﺮوم‬. َ‫ت ِﻟﻘَﻮْ مٍ ﯾَﺘَﻔَﻜﱠﺮُ ون‬ ٍ ‫َﻵَﯾَﺎ‬ Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakanmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih sayang . sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Al-Ruum (21)). 15 Makna yang indah dari kehidupan berumah tangga di atas menjadi semakin jelas dalam firman Allah:

.(١٨٧ :‫ )ﺳﻮرة اﻟﺒﻘﺮة‬. . . ‫ ھُﻦﱠ ِﻟﺒَﺎسٌ ﻟَ ُﻜ ْﻢ وَ أ َ ْﻧﺘ ُ ْﻢ ِﻟﺒَﺎسٌ ﻟَﮭُﻦﱠ‬. . . Artinya: “. . . mereka (isteri) itu adalah pakaian bagimu dan kamupun adalah pakaian bagi mereka . . .” (Al-Baqarah: 187). Keterangan Allah dalam surat al-Rum di atas, dalam tafsir jalalain dijelaskan bahwa (Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri) Siti Hawa tercipta dari tulang rusuk Nabi Adam sedangkan manusia yang lainnya tercipta dari air mani laki-laki dan perempuan (supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya) supaya kalian merasa betah dengannya (dan dijadikan-Nya di antara

14

Āhmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo 2013, Cet. Pertama), h. 59. 15 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponogoro, 2006), h. 406.

46

kamu sekalian) semuanya (rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu) hal yang telah disebutkan itu (benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir) yakni yang memikirkan tentang ciptaan Allah swt. 16 Sedangkan Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah menjelaskan, Dan di antara tanda-tanda kasih sayang-Nya adalah bahwa Dia menciptakan bagi kalian, kaum laki-laki, istri-istri yang berasal dari jenis kalian untuk kalian cintai. Dia menjadikan kasih sayang antara kalian dan mereka. Sesungguhnya di dalam hal itu semua terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir tentang ciptaan Allah.17 Dalam perspektif fiqh Islam, penulis tidak menemukan adanya pembatasan usia minimal pernikahan dalam Islam. Justru, dalil-dalil menunjukkan bolehnya pernikahan pada usia dini/belia. Di antara dalil-dalil tersebut yaitu:

‫اﻟﻼﺋِﻲ ﻟَ ْﻢ‬ ‫ﯿﺾ ﻣِ ﻦْ ﻧِﺴَﺎ ِﺋ ُﻜ ْﻢ إِنِ ارْ ﺗَ ْﺒﺘ ُ ْﻢ ﻓَ ِﻌﺪﱠﺗُﮭُﻦﱠ ﺛ ََﻼﺛَﺔُ أ َ ْﺷﮭ ٍُﺮ وَ ﱠ‬ ِ ِ‫اﻟﻼﺋِﻲ ﯾَﺌِﺴْﻦَ ﻣِ ﻦَ ا ْﻟﻤَﺤ‬ ‫وَ ﱠ‬ ‫ﻖ ا ﱠ َ ﯾَﺠْ ﻌَﻞْ ﻟَﮫُ ﻣِ ﻦْ أ َﻣْ ِﺮ ِه‬ ِ ‫ﻀﻌْﻦَ ﺣَﻤْ ﻠَﮭُﻦﱠ وَ ﻣَﻦْ ﯾَﺘ ﱠ‬ َ َ‫ُوﻻتُ ْاﻷ َﺣْ ﻤَﺎ ِل أ َ َﺟﻠُﮭُﻦﱠ أ َنْ ﯾ‬ َ ‫ﯾَﺤِ ﻀْﻦَ وَ أ‬ .(٤ :‫ )ﺳﻮرة اﻟﻄﻼق‬.‫ﯾُﺴْﺮً ا‬ Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuanperempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. al-Talaq: 4). َ‫ =وَ اﻟﻼﺋِﻲ ﻟَ ْﻢ ﯾَﺤِ ﻀْﻦ‬perempuan yang belum haid diberikan masa ‘iddah selama 3 bulan (Tsalasatu ashur). ‘Iddah itu sendiri terjadi karena kasus perceraian baik karena talak maupun ditinggal mati oleh suaminya. Jadi ‘iddah ada karena pernikahan. Dilalatul iltizam-nya (indikasi logisnya) dari ayat ini adalah wanita

16

Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli dan Abu al- Fadl Abdur Rahman bin Abu Bakar bin Muhammad Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir al-Qur’an al-Adzim lil Imam al-Jalalain, Juz II, (Jakarta: Sinar Baru Algesindo, 2005), h. 268. 17 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Juz VII, (Jakarta: Lentera Hati, 2012), h. 300.

47

yang belum haid boleh menikah. Sehingga para ulama tidak memberi batasan maksimal maupun minimal untuk menikah.18 Pernyataan di atas tidak bertentangan dengan apa yang tertulis dalam alQur’an dan hadits Rasulullah sebagai berikut:

‫اﻟﻼﺗِﻲ‬ ‫ب ﻓِﻲ ﯾَﺘ َﺎﻣَﻰ اﻟ ِﻨّﺴَﺎءِ ﱠ‬ ِ ‫ﻋﻠَ ْﯿ ُﻜ ْﻢ ﻓِﻲ ا ْﻟ ِﻜﺘ َﺎ‬ َ ‫وَ ﯾَ ْﺴﺘ َ ْﻔﺘ ُﻮﻧَﻚَ ﻓِﻲ اﻟ ِﻨّﺴَﺎءِ ﻗُ ِﻞ ا ﱠ ُ ﯾُ ْﻔﺘِﯿ ُﻜ ْﻢ ﻓِﯿﮭِﻦﱠ وَ ﻣَﺎ ﯾُﺘْﻠَﻰ‬ ‫ﻀﻌَﻔِﯿﻦَ ﻣِ ﻦَ ا ْﻟ ِﻮ ْﻟﺪَانِ وَ أ َنْ ﺗَﻘُﻮﻣُﻮا‬ ْ َ ‫ﻏﺒُﻮنَ أ َنْ ﺗ َ ْﻨ ِﻜﺤُﻮھُﻦﱠ وَ ا ْﻟ ُﻤ ْﺴﺘ‬ َ ْ‫َﻻ ﺗ ُﺆْ ﺗ ُﻮﻧَﮭُﻦﱠ ﻣَﺎ ُﻛﺘِﺐَ ﻟَﮭُﻦﱠ وَ ﺗ َﺮ‬ .(١٢٧ :‫ )ﺳﻮرة اﻟﻨﺴﺎء‬.‫ﻋﻠِﯿﻤًﺎ‬ َ ‫ِﻟ ْﻠﯿَﺘ َﺎﻣَﻰ ﺑِﺎ ْﻟ ِﻘﺴْﻂِ وَ ﻣَﺎ ﺗ َ ْﻔﻌَﻠُﻮا ﻣِ ﻦْ َﺧﯿ ٍْﺮ ﻓَﺈ ِنﱠ ا ﱠ َ ﻛَﺎنَ ﺑِ ِﮫ‬ Artinya: “Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah : “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Qur’an tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya.” (QS. al-Nisa’: 127). Dalam hadits dijelaskan tentang ayat ini secara jelas maksud dari ayat ini. Yaitu:

‫ﻋ ْﻨ َﮭﺎ ا ْﺑﻦُ أ َﺧْ ﺘِ َﮭﺎ‬ َ ‫ﺳﺄ َﻟَ َﮭﺎ‬ َ ‫ﻋ ْﻨ َﮭﺎ ﻓِﻲ ﺗ َ ْﻔ ِﺴ ْﯿ ِﺮ َھ ِﺬ ِه اﻵﯾَ ِﺔ ِﻋ ْﻨﺪَ َﻣﺎ‬ َ ُ‫ﻲ ﷲ‬ َ ‫ﺿ‬ ِ َ‫ﺸﺔَ ر‬ َ ِ‫ﻋﺎﺋ‬ َ َ‫ﻗَﺎﻟَﺖْ أ ُ ﱡم اﻟ ُﻤﺆْ ﻣِ ﻨِ ْﯿﻦ‬ ُ‫ ﻓَﯿُ ْﻌ َﺠﺒَﮫ‬،‫ﺸﺎرَ َﻛﮫُ ﻓِﻲ َﻣﺎ ِﻟ ِﮫ‬ َ َ ‫ ﺗ‬،‫ﻲ اﻟﯿَﺘِ ْﯿ َﻤﺔُ ﺗ َ ُﻜﻮْ نُ ﻓِﻲ ُﺣ ُﺠ ٍﺮ وَ ِﻟﯿِ َﮭﺎ‬ َ ‫ ﯾَﺎ ا ْﺑﻦَ أ ُﺧْ ﺘِﻲ ِھ‬:‫ﻋﺮْ وَ ة ٌ ْﺑﻦِ اﻟﺰُ ﺑَ ْﯿ ِﺮ‬ ُ ،ُ‫ﻏ ْﯿﺮَ ه‬ َ ‫ ﻓَﯿُ ْﻌﻄِ ْﯿ َﮭﺎ َﻣﺜ َ ٌﻞ َﻣﺎ ﯾُ ْﻌﻄِ ْﯿ َﮭﺎ‬،‫ﺻﺪَاﻗِ َﮭﺎ‬ َ ‫ﻂ ﻓِﻲ‬ ُ ‫ ﻓَﯿُ ِﺮ ْﯾﺪُ أ َنْ ﯾَﺘ َﺰَ وَ َﺟ َﮭﺎ ﺑِﻐَ ْﯿ ِﺮ أ َنْ ﯾُ ْﻘ ِﺴ‬،‫َﻣﺎﻟَ َﮭﺎ وَ َﺟ َﻤﺎﻟَ َﮭﺎ‬ .(‫ )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﯿﮫ‬.‫ق‬ ِ ‫ﺼﺪَا‬ َ ‫ﺳﻨَﺘِ ِﮭﻦﱠ ﻓِﻲ اﻟ‬ ُ ‫ وَ ﯾَ ْﺒﻠُﻐُﻮْ ا ﺑِ ِﮭﻦﱠ أ َ ْﻋﻠَﻰ‬، ‫ﻄﻮْ ا ﻟَ ُﮭﻦﱠ‬ ُ ‫ﻓَﻨَ ْﮭﻮَ ا أ َنْ ﯾَ ْﻨ ِﻜ ُﺤﻮْ ُھﻦﱠ إِﻻَ أ َنْ ﯾُ ْﻘ ِﺴ‬ Artinya: Ummul Mukminin Aisyah ra dalam menafsirkan ayat ini ketika ditanyakan oleh keponakannya Urwah bin Zubair berkata; “Wahai anak saudariku, perempuan (yang dimaksud ayat itu) adalah anak perempuan yatim yang tinggal dalam rumah walinya (laki-laki), yang hartanya digabung dengan harta walinya, walinya pun tertarik pada harta dan kecantikan gadis itu. Diapun ingin 18

Lihat Tafsir al-Thobari 14/142 juga lihat penjelasan para ulama tafsir tentang “syarh alkalimaat” dari wallai lam yahidhna misalnya dalam kitab tafsir Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan karya Abdurahman bin Nasr al-Sa’di. Taisir Karim al-Rahman oleh Abubakar al-Jazairi, al-Tafsir al-Wasith karya Muhammad Sayyid Thanthawi, al-Dur al-Mantsur fi ta’wil bi al-Ma’tsur karya Jalaluddin al-Suyuthi.

48

menikahinya tanpa bersikap adil dalam pemberian (mahar dan nafkahnya). Pemberian Laki-laki itu padanya sama dengan yang lain. Maka terlarang bagi wali itu untuk menikahi perempuan yatim kecuali mampu bersikap adil pada mereka dengan memberikan melebihkan pemberian pada mereka” (HR Muttafaq ‘alaih). Perkataan Aisyah ra: “Diapun ingin menikahinya….Maka terlarang bagi wali itu untuk menikahi perempuan yatim kecuali mampu bersikap adil pada mereka….” menunjukkan bolehnya (masyru’iyah) pernikahan pada usia dini bagi gadis yang belum baligh. Karena pengertian yatim itu diberkan bagi yang belum baligh.19 Abu Muhammad Abdul Haq bin Ghalib al-Muharibi dalam al-Muharror al-Wajiz mendefinisikan al-Yatim pada manusia adalah anak kecil (as-Shobiy) yang tidak memiliki bapak. Adapun pada binatang, al-yatim adalah jika tidak memiliki ibu. Sifat yatim dilekatkan pada usia belum baligh. Sebagaimana sabda Nabi SAW: « ‫ »ﻻ ﯾﺘﻢ ﺑﻌﺪ ﺣﻠﻢ‬artinya “tidak disebut yatim bila telah bermimpi (tanda baligh)”.20 Namun di dalam hadits Rasulullah SAW, justru bertentangan. Seperti Hadits Rasulullah SAW :

َ ‫ع ﻣِ ْﻨ ُﻜ ُﻢ اﻟﺒَﺎ َءة‬ َ ‫ﻄﺎ‬ َ َ ‫ َﻣﻦِ ا ْﺳﺘ‬،‫ب‬ ِ ‫ﺸﺒَﺎ‬ َ ‫ﺸﺮَ اﻟ‬ َ ‫ﺳﻮْ ُل ﷲِ ﷺ "ﯾَﺎ َﻣ ْﻌ‬ ُ َ‫ ﻗَﺎ َل ﻟَﻨَﺎ ر‬:‫ﻋ ْﺒ ِﺪ ﷲِ ْﺑﻦِ َﻣ ْﺴﻌُﻮْ ٍد ﻗَﺎ َل‬ َ ْ‫ﻋﻦ‬ َ ." ‫ﺼﻮْ مِ ﻓَﺈ ِﻧَﮫُ ﻟَﮫُ ِو َﺟﺎ ٌء‬ َ ‫ وَ َﻣﻦْ ﻟَ ْﻢ ﯾَ ْﺴﺘ َﻄِ ُﻊ ﻓَﻌَﻠَ ْﯿ ِﮫ ﺑِﺎﻟ‬،ِ‫ﺼﻦَ ِﻟ ْﻠﻔَﺮَ ج‬ َ ْ‫ وَ أ َﺣ‬،‫ﺼ ِﺮ‬ َ َ‫ﺾ ِﻟ ْﻠﺒ‬ َ ‫ﻏ‬ َ َ ‫ﻓَ ْﻠﯿَﺘ َﺰَ وَ ُج ﻓَﺈ ِﻧﱠﮫُ أ‬ ٢١

.(‫)رواه اﻟﺒﺨﺎري‬

Artinya: “Dari Abdullah bin Mas’ud berkata: berkata Rasulullah SAW kepada kita. Wahai pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu maka hendaknya menikah, karena ia lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaknya ia berpuasa, sebab ia dapat mengekangnya." (HR. Bukhari). 19

Muhammad Ali As-Shabuni, Rawa’iul Bayan Tafsir Ayatil Ahkam Minal Qur’an, Juz II, (Beirut: Maktabah al-Ghazali, 1981), h. 77. 20 HR. al-Daruquthni dari Anas ra dan seluruh perawinya tsiqotsebagaimana dinyatakan Imam al-Haitsami dalam kitab Majmu’ Zawaid wa Manba’ al Fawaid hadis no. 1529, diriwayatkan pula oleh Ibnu Adi 7/216, tarjamah 2162 Tazid bin Abdul Malik bin al-Mughirah. 21 Ibn Hajar al-Atsqalani, Fathul Bari, Juz II, Peneliti Syaikh Abdul Aziz bin Baz, (Riyadh: Maktabah Dar al-Salam, 1997), h. 559.

49

Dalam hadits di atas, Rasulullah SAW menganjurkan kepada pemuda agar segera melangsungkan perkawinan, dengan alasan agar menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Itu berarti

secara umum Rasulullah memang tidak

melarang perkawinan di usia muda. Dalam kacamata agama, tidak ada petunjuk atau batasan khusus di usia berapa seseorang harus menikah. Jika merujuk pada hadits Nabi ini, adalah ketika mampu. Artinya agama memberikan kesempatan bagi seseorang untuk “menyesuaikan diri” (mampu dalam berbagai aspek) ketika hendak melangsungkan pernikahan guna kemaslahatan rumah tangganya kelak. 22

َ‫ أ َنﱠ ُﻣ َﺤ ﱠﻤﺪَ ﺑْﻦ‬،‫ﻲ‬ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ ا ﱠ ِ ا ْﻟ ُﺠ َﮭﻨِ ﱡ‬ َ ُ‫ﺳﻌِﯿﺪُ ﺑْﻦ‬ َ ‫ َﺣﺪﱠﺛَﻨِﻲ‬،‫ﺐ‬ ٍ ‫ﻋ ْﺒﺪُ ا ﱠ ِ ﺑْﻦُ وَ ْھ‬ َ ‫ َﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ‬،‫َاش‬ ٍ ‫َﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ ﺧَﺎ ِﻟﺪُ ﺑْﻦُ ﺧِ ﺪ‬ ‫ "ﯾَﺎ‬:ِ ‫ ﻗَﺎ َل ﻟِﻲ رَ ﺳُﻮ ُل ا ﱠ‬:َ‫ ﻗَﺎل‬،‫ ﻋَﻦْ َﺟ ِّﺪ ِه‬،‫ ﻋَﻦْ أَﺑِﯿ ِﮫ‬,ُ‫ﺐ َﺣﺪﱠﺛَﮫ‬ ٍ ‫ﻲ ِ ﺑْﻦِ أَﺑِﻲ طَﺎ ِﻟ‬ ّ ‫ﻋ ِﻠ‬ َ ِ‫ﻋﻤَﺮَ ﺑْﻦ‬ ُ ‫ وَ اﻷَﯾِّ ُﻢ إِذَا وَ َﺟﺪَتْ ُﻛﻔُﺆً ا‬, ْ‫ وَ ا ْﻟ َﺠﻨَﺎزَ ة ُ إِذَا َﺣﻀَﺮَ ت‬, َ‫ اﻟﺼﱠﻼة ُ إِذَا أَﺗَﺘْﻚ‬: ‫ ﺛ َﻼثٌ ﻻ ﺗ ُﺆَ ِ ّﺧﺮْ ھُﻦﱠ‬،‫ﻋ ِﻠﻲﱡ‬ َ ٢٣

.(‫")رواه اﻟﺘﺮﻣﺬي‬

Artinya: “Wahai Ali, ada tiga perkara yang tidak boleh engkau tunda, yakni shalat jika telah tiba waktunya, jenazah apabila telah hadir, dan wanita apabila telah ada calon suami yang sekufu.” (HR. Tirmidzi). Rasulullah menganjurkan para orangtua agar segera menikahkan putrinya jika telah ada pria sekufu yang melamarnya. Menurut banyak ulama, kufu itu dalam urusan agama. Senada dengan hadits lain yang menjelaskan bahwa jika ada pria saleh yang datang melamar hendaklah diterima atau akan ada fitnah dan kerusakan yang terjadi di muka bumi.24 Akan tetapi di zaman yang modern sekarang ini sulit terwujud, kebanyakan apabila masing-masing mempelai yang belum cukup umur maka kematangan jiwa raganya dan integritas pribadi yang stabil akan sangat berpengaruh di dalam menyelesaikan setiap problem yang muncul dalam

22

http://www.nu.or.id/post/read/70640/benarkah-nikah-muda-anjuran-agama, Artikel ini diakses pada tanggal 9 Juni 2017. 23 Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih Sunan at-Tirmidzi, Juz I, (Riyadh: Maktabah al-Ma’rifah, 2000), h. 115. 24 Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata, Cet. I, (Jakarta : PT Hidakarya Agung, 1981), h. 23-24.

50

menghadapi liku-liku dan badai rumah tangga. Banyak kasus menunjukkan, seperti di wilayah Pengadilan Agama di Jawa Tengah, menunjukkan bahwa banyaknya perceraian cenderung didominasi karena akibat perkawinan dalam usia muda.25 Usia perkawinan menurut hukum Islam, jika disimplifikasikan dengan syarat dan dasar perkawinan, maka mencapai usia baligh harus meliputi kemampuan fisik dan mental. Secara biologis, calon suami-istri telah mencapai usia baligh karena ditandai oleh perubahan fisik. Adapun aspek mentalitasnya, masih membutuhkan pembinaan secara utuh, tidak perlu kondisi mentalpsikologis yang labil, dan masih dipengaruhi oleh faktor kecenderungan praktis dalam kaitan fisik-biologisnya. Dalam kitab al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah tidak ada penjelasan rinci mengenai batas umur seseorang boleh melangsungkan pernikahan. Ketika membahas persyaratan calon suani dan istri yang akan menikah, ulama’ empat mazhab tidak memberi batasan secara konkrit tentang batas umur menurut hukum Islam. Rinciannya sebagaimana berikut: 1. Menurut Hanafiyah, syarat kedua calon mempelai adalah berakal, balig dan merdeka (bukan budak). 2. Menurut Syafi’iyah, syarat calon suami adalah bukan mahram dari calon istri, tidak terpaksa, tertentu dan harus tahu kehalalan menikahi calon istri. Sedangkan syarat calon istri adalah bukan mahram calon suami, harus tertentu, tidak ada halangan pernikahan, dan lain-lain. 3. Menurut Hanabilah, syaratnya adalah harus tertentu, harus ada kerelaan dan tidak boleh dalam keadaan terpaksa. 4. Menurut Malikiah, syaratnya adalah tidak ada larangan yang menghalangi pernikahan, pihak perempuan bukanlah istri orang lain, istri tidak pada masa iddah, calon suami istri bukanlah satu mahram. 26

25

Āhmad rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2013, Cet. Pertama), h. 60. 26 Abdur Rahman al-Jaziry, al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah, Jilid 4, (Beirut: Dar alKutub al-‘Ilmiyah, 2003), h. 13-22.

51

Dalam Islam, tidak ditemukan penetapan tentang batas usia minimal perkawinan dalam al-Qur’an dan Sunnah, karena hal ini termasuk persoalan yang dapat mengalami perubahan akibat perkembangan masa serta perbedaan tempat, situasi, dan pelaku. Namun demikian, sampainya waktu menikah (bulughal-nikah) dalam al-Qur’an digandengkan dengan rusyd. Istilah ini tidak saja mencakup kemampuan fisik dan nalar, tetapi juga kesehatan mental dan spiritual. Oleh karena itu, dalam literatur hukum Islam ulama berbeda pendapat dalam menetapkan batas usia minimal perkawinan. Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan batasan umur bagi orang yang dianggap baligh. Ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah menyatakan bahwa: ٢٧

.‫ﺎرﯾَ ِﺔ‬ ِ ‫ﺳﻨَ ٍﺔ ﻓِﻲ اﻟﻐُ َﻼمِ وَ اﻟ َﺠ‬ َ ٍ‫ﻋ ْﺸﺮَ ة‬ َ ‫ﺲ‬ َ ْ‫ﺴ ِّﻦ ﯾَﺘ َ َﺤﻘَﻖُ ﺑِ َﺨﻤ‬ ّ ِ ‫غ ﺑِﺎﻟ‬ َ ْ‫ﺸﺎﻓِ ِﻌﯿﱠﺔُ وَ ا ْﻟ َﺤﻨَﺎﺑِﻠَﺔُ أ َنﱠ اﻟﺒُﻠُﻮ‬ َ ‫وَ ﻗَﺎ َل اﻟ‬ Artinya: “Anak laki-laki dan anak perempuan dianggap baligh apabila telah menginjak usia 15 tahun.” Ulama Hanafiyyah menetapkan usia seseorang dianggap baligh sebagai

berikut: ٢٨

.‫ﺎرﯾَ ِﺔ‬ ِ ‫ﻋ ْﺸﺮَ ةٍ ﻓِﻲ اﻟ َﺠ‬ َ ‫ﺳ ْﺒ َﻊ‬ َ َ‫ﻋ ْﺸﺮَ ة َ ﻓِﻲ اﻟﻐُ َﻼمِ و‬ َ ِ‫وَ ﻗَﺎ َل اﻟ َﺤﻨَ ِﻔﯿَﺔُ ﺛ َ َﻤﺎن‬

Artinya: “Anak laki-laki dianggap baligh bila berusia 18 tahun dan 17 tahun bagi anak perempuan.” Sedangkan ulama dari golongan Imamiyyah menyatakan: ٢٩

.‫ﺎرﯾَ ِﺔ‬ ِ ‫ﻋ ْﺸﺮَ ةٍ ﻓِﻲ اﻟﻐُ َﻼمِ وَ ﺗِ ْﺴﻊٍ ﻓِﻲ اﻟ َﺠ‬ َ ‫ﺲ‬ َ ْ‫ﻗَﺎ َل اﻹِ َﻣﺎﻣِ ﯿﱠ ِﺔ َﺧﻤ‬

Artinya: “Anak laki-laki dianggap baligh bila berusia 15 tahun dan 9 tahun bagi anak perempuan.” Terhadap anak perempuan yang berusia 9 tahun, maka terdapat dua pendapat. Pertama, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa anak perempuan yang berusia 9 tahun hukumnya sama seperti 27

Muhammad Jawad Mughniyyah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, (Beirut: Dar al-'Ilmi lil Malayain, t.th), h. 16. Ukuran kedewasaan yang diukur dengan kriteria baligh ini tidak bersifat kaku (relatif). Artinya, jika secara kasuistik memang sangat mendesak kedua calon mempelai harus segera dikawinkan, sebagai perwujudan metode sadd al-zari’ah untuk menghindari kemungkinan timbulnya mudharat yang lebih besar. 28 Muhammad Jawad Mughniyyah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, h. 17. 29 Muhammad Jawad Mughniyyah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, h. 18.

52

anak berusia 8 tahun sehingga dianggap belum baligh. Kedua, ia dianggap telah baligh karena telah memungkinkan untuk haid sehingga diperbolehkan melangsungkan perkawinan meskipun tidak ada hak khiyar baginya sebagaimana dimiliki oleh wanita dewasa. Mengingat, perkawinan merupakan akad/perjanjian yang sangat kuat (miitsaqan ghalizan) yang menuntut setiap orang yang terikat di dalamnya untuk memenuhi hak dan kewajiban masing-masing dengan penuh keadilan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan.30 Perkawinan sebagai salah satu bentuk pembebanan hukum tidak cukup hanya dengan mensyaratkan baligh (cukup umur) saja. Pembebanan hukum (taklif) didasarkan pada akal (aqil, mumayyiz), baligh (cukup umur) dan pemahaman. Maksudnya seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik terhadap taklif yang ditujukan kepadanya.31 Jadi penulis lebih sepakat bahwa syarat calon mempelai adalah mukallaf.32 Perkawinan di bawah umur tidak lepas dari hak ijbar yaitu hak wali (ayah/kakek) mengawinkan anak perempuannya tanpa harus mendapatkan persetujuan atau izin terlebih dahulu dari anak perempuan yang akan dikawinkan tersebut, asal saja ia bukan berstatus janda.33 Seorang ayah bisa mengawinkan anak perempuannya yang masih kecil dan perawan selama belum baligh tanpa izinnya dan tidak ada hak khiyar bagi anak perempuan itu jika dia telah baligh. Sebaliknya, ayah tidak boleh mengawinkan anak laki-lakinya yang masih kecil. Meskipun demikian, seorang anak perempuan tidak langsung dapat disenggamai oleh suaminya jika masih

30

Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan (Membina Keluarga Sakinah Menurut AlQur’an Dan As-Sunnah), Cet. III, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2003), h. 1. 31 Ali Imron, Kecakapan Bertindak dalam Hukum (Studi Komparatif Hukum Islam dengan Hukum Positif di Indonesia), (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007), h. 3. 32 Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun larangan-Nya. Mukallaf diindikasikan dengan cukup umur (baligh), berakal dan memahami taklif yang dibebankan kepadanya. Lihat Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 334 dan 336. 33 Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddiey, Hukum-Hukum Fiqh Islam (Tinjauan Antar Madzhab), Cet. IV, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 232.

53

terlalu kecil sehingga dia cukup dewasa untuk melakukan hubungan layaknya suami isteri.34 Ulama yang membolehkan wali untuk mengawinkan anak perempuannya yang masih di bawah umur ini pada umumnya berlandaskan pada riwayat bahwa Abu Bakar ra. mengawinkan Siti ‘Aisyah ra. dengan Rasulullah SAW.

َ‫ﺐ ﻗَﺎ َل ﯾَﺤْ ﯿَﻰْ وَ اِ ْﺳ َﺤﻖُ أ َﺧْ ﺒَﺮَ ﻧَﺎ و‬ ٍ ‫َﺣﺪﱠﺛ َﻨَﺎ ﯾَﺤْ ﯿَﻰ ْﺑﻦِ ﯾَﺤْ ﯿَﻰْ وَ اِ ْﺳ َﺤﻖُ وَ اِ ْﺑﺮَ ا ِھ ْﯿ ُﻢ وَ ا َﺑُﻮْ ﺑَ ْﻜ ٍﺮ وَ ا َﺑُﻮْ ُﻛﺮَ ْﯾ‬ ِ‫ﺳﻮْ ُل ﷲ‬ ُ َ‫ﺸﺔَ ﻗَﺎﻟَﺖْ ﺗ َﺰﱠ وَ َﺟ َﮭﺎ ر‬ َ ِ‫ﻋﺎﺋ‬ َ ْ‫ﻋﻦ‬ َ ‫ﻋﻦِ اﻷ َ ْﺳﻮَ ِد‬ َ ‫ﻋﻦِ اﻷ َ ْﻋ َﻤ ِﺶ‬ َ َ‫ﻗَﺎ َل اﻵ َﺧﺮَ انِ َﺣﺪَﺛ َﻨَﺎ ا َﺑُﻮْ ُﻣﻌَﺎ ِوﯾَﺔ‬ ِ‫ﻲ ﺑِ ْﻨﺖٌ ﺛ َ َﻤﺎن‬ َ ‫ﻋ ْﻨ َﮭﺎ وَ ِھ‬ َ َ‫ﻲ ﺑِ ْﻨﺖٌ ﺗِ ْﺴ ٌﻊ وَ َﻣﺎت‬ َ ‫ﻲ ﺑِ ْﻨﺖٌ ِﺳﺖٌ وَ ﺑَﻨَﻰ ﺑِ َﮭﺎ وَ ِھ‬ َ ‫ﺳﻠﱠ َﻢ وَ ِھ‬ َ َ‫ﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ و‬ َ ُ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲ‬ َ ٣٥

.(‫ )رواه ﻣﺴﻠﻢ‬.َ ‫ﻋ ْﺸﺮَ ة‬ َ

Artinya: “Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Yahya, Ishaq bin Ibrahim, Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Abu Karib. Yahya dan Ishaq telah berkata: Telah menceritakan kepada kami dan berkata al-Akhrani: Telah menceritakan kepadaku Abu Mu’awiyah dari alA’masyi dari al-Aswad dari ‘Aisyah ra. berkata: Rasulullah SAW mengawiniku pada saat usiaku 6 tahun dan hidup bersama saya pada usiaku 9 tahun dan beliau wafat saat usiaku 18 tahun.” (HR. Muslim). Abu Bakar ra. telah mengawinkan ‘Aisyah dengan Rasulullah SAW sewaktu masih anak-anak tanpa persetujuannya lebih dahulu. Sebab pada umur demikian persetujuannya tidak dapat dianggap sempurna. Namun, mengenai perkawinan ‘Aisyah ra. dengan Nabi Muhammad SAW, sebagian ulama berpendapat bahwa hal itu merupakan perkecualian atau kekhususan bagi Rasulullah SAW sendiri sebagaimana Rasulullah SAW dibolehkan beristeri lebih dari empat orang yang tidak boleh diikuti oleh umatnya.36 Ibn Syubrumah memiliki pandangan yang berbeda dengan pandangan mayoritas ulama di atas. Beliau berpandangan bahwa anak laki-laki ataupun anak perempuan di bawah umur tidak dianjurkan untuk dikawinkan. Mereka hanya 34

Abi Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm, al-Muhalla, Jilid VI, Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 458 dan 462. 35 Husain Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, Juz I, (Bandung: Dahlan, t.th), h. 595. 36 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1985), h. 69.

54

boleh dikawinkan setelah mencapai usia baligh dan melalui persetujuan yang berkepentingan secara eksplisit.37 Perkawinan di bawah umur tidak dianjurkan mengingat mereka dianggap belum memiliki kemampuan untuk mengelola harta (rusyd). Selain itu, mereka juga belum membutuhkan perkawinan. Mereka dikhawatirkan tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajiban yang harus dipikul dalam kehidupan sebagai suami istri terutama dalam pengelolaan keuangan rumah tangga. Sedangkan bagi anak perempuan kecil yang sudah janda (baik karena ditinggal mati suaminya atau bercerai) maka walinya tidak boleh mengawinkannya kembali demikian pula bagi orang lain (wali selain ayah) untuk mengawinkannya sampai ia baligh. Jadi, anak kecil yang sudah janda kedudukannya sama dengan janda yang telah dewasa yaitu ia memberikan izin saat akan dikawinkan.38

ٍ‫ﺳﻤِ َﻊ ﻧَﺎﻓِ ُﻊ ْﺑﻦِ َﺟﺒِ ْﯿﺮ‬ َ ‫ﻀ ِﻞ‬ ْ َ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ ﷲِ ا ْﺑﻦِ اﻟﻔ‬ َ ْ‫ﻋﻦ‬ َ ‫ﺳ ْﻌ ِﺪ‬ َ ِ‫ﻋﻦْ ِزﯾَﺎ ِد ْﺑﻦ‬ َ ُ‫ﺳ ْﻔﯿَﺎن‬ ُ ‫ﺳ ِﻌ ْﯿ ٍﺪ َﺣﺪَﺛ َﻨَﺎ‬ َ ِ‫َﺣﺪَﺛ َﻨَﺎ ﻗُﺘ َ ْﯿﺒَﺔَ ْﺑﻦ‬ ْ‫ﺳﻠَ َﻢ ﻗَﺎ َل اﻟﺜ َ ْﯿﺐُ أ َ َﺣﻖَ ﺑِﻨَ ْﻔ ِﺴ َﮭﺎ ﻣِ ﻦ‬ َ َ‫ﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ و‬ َ ُ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲ‬ َ ‫ﻲ‬ َ ِ‫ﻋ ْﻨ ُﮭ َﻤﺎ ا َنﱠ اﻟﻨَﺒ‬ َ ُ‫ﻲ ﷲ‬ َ ‫ﺿ‬ ِ َ‫ﺎس ر‬ ٍ َ‫ﻋﺒ‬ َ ِ‫ﻋﻦْ ا ْﺑﻦ‬ َ ٣٩

.(‫ )رواه ﻣﺴﻠﻢ‬.‫ﺳ ُﻜﻮْ ﺗِ َﮭﺎ‬ ُ ‫وَ ِﻟ ِﯿّ َﮭﺎ وَ اﻟﺒِ ْﻜﺮُ ﺗ َ ْﺴﺘ َﺄ ْﻣِ ﺮَ وَ إِ ْذﻧِ َﮭﺎ‬

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id: Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Ziyad bin Sa’ad dari Abdillah ibn Al-Fadhli: Telah mendengar Nafi’ bin Jabir dengan khabar dari Ibnu ‘Abbas ra. bahwasanya Nabi SAW telah bersabda: Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya dan perawan harus dengan izinnya dan izinnya ialah diamnya.” (HR. Muslim). Permasalahan ketidak jelasan batasan umur inilah yang mengakibatkan seringkali terjadi perdebatan panjang tentang hukum pernikahan di bawah umur perspektif hukum Islam di Indonesia dan di Malaysia. Sebagian orang berpendapat boleh karena alasan-seperti yang dikatakan sebelumnya dalam alQur’an dan al-Sunnah tidak ada penjelasan yang rinci terkait batasan umur boleh menikah. Bahkan Nabi Muhammad pun menikahi Siti Aisyah pada umur 9 tahun. 37

Hussein Muhammad, Fiqh Perempuan (Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender), (Yogyakarta: LKiS, 2007), h. 100. 38 Abi Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm, al-Muhalla, h. 103. 39 Husain Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, h. 597.

55

Begitu juga banyak riwayat yang menjelaskan tentang tindakan sahabat yang menikahkan anak dan keponakan nya di bawah umur (16 bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki) di Indonesia dan (16 bagi perempuan dan 18 tahun bagi lakilaki). Argumen-argumen seperti inilah yang seringkali dijadikan tameng oleh sebagian masyarakat muslim Indonesia dan Malaysia untuk membolehkan menikah di bawah umur. Kasus konkritnya (di Indonesia) adalah pernikahan yang dilakukan oleh Pujiono Cahyo Widiyanto alias Syekh Puji dengan Lutviana ulfah yang masih berusia 12 tahun dan kasus yang terjadi di Kelantan, Malaysia, Siti Nur Zubaidah Hussin yang baru berusia 11 tahun ketika dia dipaksa kawin oleh bapaknya dengan lelaki berusia 41 tahun. Dua kasus pernikahan ini banyak disorot dimedia masa karena pernikahannya dilakukan kepada gadis belia berumur 12 tahun (di Indonesia) dan 11 tahun di Malaysia. C. Solusi Hukum Mengenai Batas Usia Perkawinan Fenomena pernikahan dini bukanlah hal baru di Indonesia dan Malaysia, misalnya kasus pernikahan (di Indonesia) adalah pernikahan yang dilakukan oleh Pujiono Cahyo Widiyanto alias Syekh Puji dengan Lutviana ulfah yang masih berusia 12 tahun dan kasus yang terjadi di Kelantan, Malaysia, Siti Nur Zubaidah Hussin yang baru berusia 11 tahun ketika dia dipaksa kawin oleh bapaknya dengan lelaki berusia 41 tahun yang menimbulkan kontroversi beberapa tahun yang lalu. Terdapat ratusan atau bahkan ribuan kasus perkawinan di bawah umur yang tidak mencuat ke permukaan. UU Perkawinan telah mengatur tentang pernikahan, tetapi tidak mengatur secara detail mengenai pernikahan di bawah umur. Hal itu memunculkan celah-celah yang menimbulkan pelanggaran terhadap hak anak. Untuk mengatasi kejadian-kejadian seperti di atas, penulis menyimpulkan beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah, yaitu: 1. Membuat aturan wajib belajar 12 tahun; 2. Sosialisasi pentingnya pendidikan kespro (PP No.61 Tahun 2014 tentang Kespro); 3. Program KB dan Generasi Berencana; 4. Program Kabupaten/Kota Layak Anak;

56

5. Revisi UU No.1 Tahun 1974; dalam Undang-Undang tersebut tidak dijelaskan secara rinci dalam kondisi apa saja seseorang bisa mengajukan dispensi ke Pengadilan mengenai mengenai kebolehan untuk menikah di umur yang mencapai ketetapan yang berlaku, serta tidak dijelaskan sanksi apa saja yang didapati baik orang tua maupun calon mempelai jika melakukan perkawinan di bawah usia yang telah ditentukan tersebut. Dalam Akta Pembaharuan Undang-undang (Perkawinan dan Perceraian) 1976, yang berlaku di Malaysia pun tidak ada penjelasan secara rinci mengenai perizinan untuk menikah di Mahkamah Syarie bagi yang belum cukup umur; 6. Sosialisasi UU No.35 Tahun 2014 tentang perubahan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 7. Bekerjasama dengan organisasi perempuan dan organisasi keagamaan dan ormas sosialisasi Pendewasaan Usia Perkawinan; 8. Menyediakan

program-program

pengentasan

kemiskinan

dan

pemberdayaan UKM Keluarga Miskin; dan 9. Pembuatan Perda untuk pencegahan perkawinan anak.40 Selain cara-cara di atas, penulis juga menganggap bahwa terjadinya perkawinan di bawah umur adalah tanggung jawab keluarga, karna pada dasarnya keluarga adalah pihak yang terdekat dengan anak, maka cara-cara yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Perlunya pengawasan orang tua terhadap pergaulan anaknya, sehingga terhindar dari pergaulan bebas; 2. Memperkenalkan ajaran agama sejak dini,sehingga akan menjauhkan anak dari hal-hal yang kurang baik; 3. Pendidikan, agar dapat menata dan merencanakan masa depan yang lebih cerah; dan

40

Sri Danti Anwar, Kebijakan dan Program Pemerintah Dalam Mengatasi Perkawinan Anak, (Jakarta: Kemen PP-PA, 2016), h. 10-11.

57

4. Bekerja, jika orang tua tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya karena faktor ekonomi, lebih baik anak diarahkan ke kegiatan positif seperti bekerja.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Dari uraian yang telah penulis paparkan mengenai Batas Usia Perkawinan Menurut Hukum Negara (Studi Perbandingan Indonesia dengan Malaysia), penulis menyimpulkan beberapa point penting yang menjadi inti dari pembahasan skripsi ini. 1. Perbedaan mengenai batas minimum usia perkawinan di Indonesia dan Malaysia ditunjukan pada calon laki-laki yakni 19 tahun menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun tentang perkawinan di Indonesia, sedangkan dalam Sekyen 10 Akta Pembaharuan Undang-undang (Perkawinan dan Perceraian) 1976 di Malaysia menetapkan batas usia perkawinan berkisar pada umur 18 tahun, sedangkan calon mempelai perempuan sama-sama menetapkan minimal usia perkawinan adalah 16 tahun. Dalam penentuannya umur 19 tahun lebih dewasa di Indonesia ketimbang umur 18 tahun. Di Indonesia sendiri bagi mereka yang belum mencapai umur ini, maka harus meminta izin dari Pengadilan, dan bagi calon pengantin laki-laki maupun perempuan yang belum mencapai umur 21 tahun maka harus menyertakan izin dari orang tua. Ditambahkan izin kedua orang tua jika kedua pasangan belum mencapai umur yang ditetapkan untuk diatur secara ketat terhadap perkawinan dini. 2. Dalam al-Qur’an dan al-Sunnah tidak pernah memberi batasan yang sangat tegas terkait umur minimal seseorang untuk bisa melangsungkan pernikahan. Ulama fiqh klasik juga tidak memberi batasan yang begitu tegas dan masih ada perbedaan pendapat tentang batas umur tersebut. Namun hal yang paling mendasar mengenai batas minimal usia perkawinan adalah harus baligh. Mengenai batasan baligh ini para ulama pun berbeda pendapat, ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menetapkan batas minimal seseorang telah baligh baik laki-laki maupun perempuan apabila

58

59

telah mencapai umur 15 tahun, sedangkan ulama kalangan Hanafiyah menetapkan laki-laki 18 tahun dan perempuan 17 tahun, dan ulama dari kalangan Imamiyah menetapkan laki-laki 15 tahun dan perempuan 9 tahun. Pada dasarnya, kedewasaan tiap-tiap individu dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga inilah yang menyebabkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam menetapkan ukuran kedewasaan bagi calon mempelai B. Saran-saran Saran-saran yang perlu disampaikan berdasarkan hasil penelitian ini, yaitu: 1. Dalam memahami hukum Islam secara utuh, perlu upaya pembaharuan antara fiqh dan usul fiqh dalam bentuk aplikatif. Dalam arti bahwa antara fiqh dan usul fiqh mempunya korelasi yang sangat kuat dalam membangun pondasi dan materi fiqh secara keseluruhan. Secara teoritis, usul fiqh merupakan metode penggalian hukum Islam yang nantinya akan melahirkan materi fiqh, sedangkan fiqh adalah produk yang dilahirkan dari usul fiqh. Oleh karena itu, dalam memahami dan merespon problematika masyarakat yang membutuhkan penyelesaian hukum Islam, perlu adanya integritas antara fiqh dan usul fiqh secara seimbang. 2. Terkait juga dengan pemahaman hukum Islam, diperlukan wawasan yang sangat luas terhadap seluk beluk konteks hukum yang dihadapi. Di samping perlu memahami historitas sebuah hukum Islam dilahirkan, juga perlu pemahaman yang sangat mendalam terhadap konteks tempat ataupun waktu dimana hukum Islam berada. Dalam bahasa Fazlurrahman disebut double govement (dua pergerakan), yaitu memahami sejarah terbentuknya hukum sekaligus mencari sebab-sebabnya, kemudian memahami konteks kekinian hukum Islam yang dihadapi. 3. Penelitian ini mempunyai keterbatasan-keterbatasan dalam penelitian, diharapkan penelitian selanjutnya perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai Batas Usia Perkawinan Menurut Hukum Negara (Studi

60

Perbandingan Indonesia dengan Malaysia) dengan menggunakan alat analisis dan metode yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

A. Daftar Pustaka Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahannya. Abdullah, Abdul Ghani, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Cet. Pertama. Jakarta: Gema Insani press, 1994. Abdullah, Raihanah, “Prosedur Perkahwinan,” dalam Undang-Undang Islam Di Malaysia Prinsip Dan Amalan. Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Malaya, 2007. Adhim, Muhammad Fauzil, Indahnya Pernikahan Dini. Jakarta: PT Lingkar Pena, 2002. Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, Cet. Pertama. Jakarta: Lembaga Penelitian 2010. al-Abd, Ibn Daqiq, Ihkam al-Ihkam Syarah Umdat al-Ahkam, Juz II. Lebanon: Dar al-Hail, 1995. Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. Shahih Sunan at-Tirmidzi, Juz I. Riyadh: Maktabah al-Ma’rifah, 2000. Al-Hadad, Al-Thahir, Wanita Dalam Syariat & Masyarakat, Cet. 4. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993. Al-Jaziri, Abd al-Rahman, Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba‘ah. Mesir: Mathba‘ah al-Tijariyyah al-Kubra, 1990. al-Mahalli, Jalaluddin Muhammad bin Ahmad & Abu al- Fadl Abdur Rahman bin Abu Bakar bin Muhammad Jalaluddin, Tafsir al-Qur’an al-Adzim lil Imam al-Jalalain, Juz II. Jakarta: Sinar Baru Algesindo, 2005. Anwar, Sri Danti, Kebijakan dan Program Pemerintah Dalam Mengatasi Perkawinan Anak. Jakarta: Kemen PP-PA, 2016. Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayatil Ahkam Min alQur’an, Juz I. Beirut: Maktabah al-Ghazali, 1980. Ash-Shiddiey, Tengku Muhammad Hasbi, Hukum-Hukum Fiqh Islam (Tinjauan Antar Madzhab), Cet. IV. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001. Azra, Azyumardi, Akar-Akar Historis Permbaharuan Islam di Indonesia Neo Sufisme Abad ke 11-12 H dalam Tasawuf. Jakarta: Yayasan Paramadina, 2000. 61

62

Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian kesehatan RI. 2010, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan. Darmabrata, Wahyono, Tinjauan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Berserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya, Cet. II. Jakarta: CV. Gitamaya Jaya, 2003. Esposito, John L., Demokrasi di Negara-Negara Muslim. Jakarta: Penerbit Mizan, 1999. Fakih, Mansour, Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Adat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1990. Haditono, Siti Rahayu, Psikologi Perkembangan dan Bagian-bagiannya, Cet. Pertama. Yogyakarta: Gajah mada Press 1989. Hajjaj, Husain Muslim bin, Shahih Muslim, Juz I. Bandung: Dahlan, t.th. Hazm, Abi Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin, al-Muhalla, Jilid VI. Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Hummam, Ibn, Sharh Fath al-Qadir. Kairo: Musthafa al-Babiy al-Halabiy 1970. Ibrahim, Ahmad, Family Law in Malaysia and Singapore. Kuala Lumpur: University of Malaya, 1973. Ichsan, Achmad, Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam, Cet. Pertama. Jakarta: Pradnya Paramita, 1986. Imron, Ali. Kecakapan Bertindak dalam Hukum (Studi Komparatif Hukum Islam dengan Hukum Positif di Indonesia). Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007. Joned, Ahilemah, “Keupayaan dan Hak Wanita Islam untuk Berkawin, Indah Khabar Dari pada Rupa”, dalam Fakulti Undang-undang Universitas Malaya, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1988. Junaedi, Dedi, Bimbingan Perkawinan (Membina Keluarga Sakinah Menurut AlQur’an Dan As-Sunnah), Cet. III. Jakarta: Akademika Pressindo, 2003. Kamal, Taufik Adnan dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam dari Indonesia hingga Negeria. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004.

63

Karim, Helmi, Kedewasaan Untuk Menikah Problematika Hukum Islam Kontemporer, Cet. Pertama. Jakarta: Pustaka Firdaus 1994. Kharlie, Ahmad Tholabie, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. Pertama. Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Mahmood, Tahir. Family Law Reform In The Muslim Word. Bombay: Thripathi, 2001. Majid, Nurcholis, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam Dalam Kehidupan Masyarakat, Cet. II. Jakarta: Paramadina, 2000. Mughniyyah, Muhammad Jawad, al-Ahwal al-Syakhsiyyah. Beirut: Dar al-'Ilmi lil Malayain, t.th. Muhdlor, A. Zuhdi, Memahami Hukum Perkawinan, Cet. II. Bandung: al-Bayan, 1995. Muhammad, Husein, Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Cet. IV. Yogyakarta: LKiS, 2007. Mujieb, M. Abdul, et.all, Kamus Istilah Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus 1994. Nasution, Khoiruddin, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: INIS Leiden, 2002. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. KAMUS BAHASA INDONESIA. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008. Rahman, dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undangundang Perkawinan dan Hukum Perdata, Cet. I. Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1981. Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2000. Rasyidi, Lili, Hukum Perkawinan Dan Perceraian di Malaysia dan di Indonesia, Cet. II. Banbdung: PT Remaja Rosdakarya 1991. Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Cet. VI. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. Rusdiana, Kama dan Jaenal Arifin. Perbandingan Hukum Perdata, Cet. Pertama. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007. Sanusi, Badri dan Syafrudin, Persiapan Menuju Perkawinan Yang Lestari, Cet. 4. Jakarta: Pustaka Antara 1996.

64

Sarwono, Sarlito Wirawan, Memilih Pasangan dan Merencanakan Perkawinan. Jakarta: BKKBN, 1981. Shah, Nik Noraini Nik Badli, Perkahwinan Dan Perceraian Di Bawah UndangUndang Islam. Kuala Lumpur: International Law Book Services, 1998. Shihab, Muhammad Quraish, Tafsir al-Misbah, Juz VII. Jakarta: Lentera Hati, 2012. Soedarsono, Somarno, Hasrat Untuk Berubah. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2005. Soehartoto, Irawan. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya , Cet. IX. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2015. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Pres, 1998. Su’ud, Abu, Islamologi, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003. Subhan, Zaitunah, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan. Jakarta: el-Kahfi, 2008. Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional Jakarta: Rineka Cipta, 1994. Suharsaputra, Uhar. Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan, Cet. I. Bandung: PT. Refika Aditama, 2012. Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Cet. Pertama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Sunendi, “Sanksi Pidana Bagi Praktek Perkawinan di Bawah Umur”, Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2009. Supriyad, Dedi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam. Bandung: Pustaka al-Fikris, 2009. Suyuthi, Jalaluddin, Jami’ al Shaghir. Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 1980. Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia, 1999. Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jilid I, Cet. III. Jakarta: Prenada Media, 2008. Tim Penyusun. Pedoman Akademik Program Strata I 2012/2013. Ciputat: Biro Administrasi Akademik dann Kemahasiswaan UIN Jakarta , 2012.

65

Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Skripsi. Ciputat: PPJM-FSH UIN Jakarta, 2012. Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Skripsi. Ciputat: PPJM-FSH UIN Jakarta, 2017. Triwulan, Titik dan Tranto, Pologami perspektif, Perikatan Nikah. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Malaysia Akta 164 Akta Membaharui Undang-Undang (Perkahwinan dan Perceraian), 1976. Walgito, Bimo, Bimbingan & Konseling Perkawinan, Cet. 2. Yogyakarta: Andi Yogyakarta, 2004. Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Cet. IV. Jakarta: Sinar Grafika 2008. Yaakob, Abdul Munir, Undang-undang Keluarga Islam dan Wanita di Negaranegara Asean, Cet. 2. Kuala Lumpur: Yayasan Islam Terengganu, 2001. Yanggo, Chuzaemah T. dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996. Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam. Jakarta: Hidakarya Agung, 1985. Zin, Najibah Mohd, Undang-undang keluarga Islam, (Siri Perkembangan Undang-undang di Malaysia), Cet. Pertama. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007. B. Jurnal Alfian, Dispenisasi Nikah Anak di bawah umur, Koran Edisi 22 Agustus 2009, Batam Pos. Mubasyaroh, Analisis Faktor Penyebab Pernikahan Dini Dan Dampaknya Bagi pelakunya, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Kegamaan, No. 2. Desember 2016. Qibtiyah, Mariyatul, Faktor Yang mempengaruhi Perkawinan Muda Perempuan,

66

Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Tahun 2013. C. Internet http://www.republika.co.id/berita/37388/Pernikahan_di_Bawah_Umur_Diduga_B ermotif_Ekonomi, Artikel ini diakses pada 19 Maret 2017. http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20594/pernikahan-di-bawah-umurtantan ganlegislasi-dan-harmonisasi-hukum, diakses, tanggal, 28 September 2017, pukul 20:52 WIB. http://news.bisnis.com/read/20141030/16/269082/perkawinan-di-bawah-umurpasal-di-uuno.11974-berpotensi-langgar-konstitusi, diakses, tanggal, 28 September 2017, pukul 23:05 WIB. http://m.liputan6.com/news/read/2363627/ini-penyebab-maraknya-pernikahandini. Artikel ini diakses pada tanggal 9 Juni 2017. http://www.depag.go.id/index.php?a=detilberita&id=3955 artikel diakses pada tanggal 14 Mei 2017. http://www.malaysiakini.com/news/155400, artikel diakses pada 20 April 2017. http://www.voa-islam.com/read/world-news/2010/12/10/12215/menkum-malaysi a-jika-islam-izinkan-nikah-dini-kita-tak-akan-menentang/ artikel diakses pada 13 Me 2017. http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/29/01050780/pernikahan.dini.melangg ar. ham diakses pada tanggal 18 Mei 2017. http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt542a69f1b601b/tiga-ahli-benarkan-resik o-nikah-dini, di akses pada tanggal 28 Mei 2017. http://www.nu.or.id/post/read/70640/benarkah-nikah-muda-anjuran-agama, Artikel ini diakses pada tanggal 9 Juni 2017. Kurniawan, Teddy, Kontroversi Pernikahan Dibawah Umur di Malaysia, artikel diakses dari http://www.beritasatu.com/asia/142654-kontroversipernikahan-di-bawah-umur-di-malaysia. html pada tanggal 15 Mei 2017.

LAMPIRAN-LAMPIRAN

67

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara. Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1) dan pasal 29 Undang-undang Dasar 1945. 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973. Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. M E M U T U S K A N: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN.

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN)

1

BAB I DASAR PERKAWINAN

Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 3 (1) Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. (2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Pasal 4 (1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. istri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 5 (1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut: a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteriisteri dan anak-anak mereka. c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN)

2

(2) Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian;atau apabila tidak ada kaber dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. BAB II SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

Pasal 6 (1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. (3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. (4) dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya. (5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini. (6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukun masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan bila piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. (2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita. (3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6). Pasal 8 Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN)

3

a. berhubungan darah dalan garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas; b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri; d. berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan; e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; f. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau praturan lain yang berlaku dilarang kawin. Pasal 9 Seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan dalam Pasal 4 Undang-undang ini. Pasal 10 Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum, masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Pasal 11 (1) Bagi seorang yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. (2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut. Pasal 12 Tata cara perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

BAB III PENCEGAHAN PERKAWINAN Pasal 13 Perkawinan dapat dicegah apabila ada orang yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 14 (1) Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan. (2) Mereka yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lain, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini.

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN)

4

Pasal 15 Barang siapa yang karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini. Pasal 16 (1) Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi. Pasal 17 (1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan. (2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan. Pasal 18 Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah. Pasal 19 Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut. Pasal 20 Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9< Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan. Pasal 21 (1) Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan. (2) Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan yang oleh pegawai pencaatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakkan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya. (3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan putusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakkan tersebut di atas. (4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akanmemberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakkan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN)

5

(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan pada pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahukan tentang maksud mereka.

BAB IV BATALNYA PERKAWINAN Pasal 22 Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 23 Yang dapat mengajukan Pembatalan perkawinan yaitu: a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri. b. Suami atau isteri. c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan. d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Pasal 24 Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini. Pasal 25 Permihonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri. Pasal 26 (1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri. (2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasrkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka setelah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN)

6

Pasal 27 (1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum. (2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri. (3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu telah menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Pasal 28 (1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan. (2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap : a. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; b. suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu. c. Orang-orang ketiga lainnya termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hakhak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. BAB V PERJANJIAN PERKAWINAN Pasal 29 (1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertilis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut. (2) Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. (3) Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. (4) Selama perkawinan dilangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN)

7

BAB VI HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI-ISTERI Pasal 30 Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat. Pasal 31 (1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. (3) Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Pasal 32 (1) Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. (2) Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami-isteri bersama. Pasal 33 Suami isteri wajib saling saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain. Pasal 34 (1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya. (3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. BAB VII HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN Pasal 35 (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN)

8

Pasal 36 (1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. (2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Pasal 37 Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masingmasing. BAB VIII PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA Pasal 38 Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian, b. Perceraian dan c. atas keputusan Pengadilan. Pasal 39 (1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. (2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri. (3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersebut. Pasal 40 (1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan. (2) Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri. Pasal 41 Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: a. Baik ibuatau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan. b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapt memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN)

9

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

BAB IX KEDUDUKAN ANAK Pasal 42 Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 43 (1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. (2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 44 (1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut. (2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.

BAB X HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK Pasal 45 (1) Kedua orang tua wajib memelihara dan menddidik anak-anak mereka sebaik-baiknya (2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Pasal 46 (1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. (2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bnila mereka itu memerlukan bantuannya.

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN)

10

Pasal 47 (1) Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. (2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan. Pasal 48 Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya. Pasal 49 (1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saidara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal : a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b. Ia berkelakuan buruk sekali. (2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk memberi pemeliharaan kepada anak tersebut.

BAB XI PERWAKILAN Pasal 50 (1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. (2) Perwakilan itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya. Pasal 51 (1) Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi. (2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujurdan berkelakuan baik. (3) Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaikbaiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan itu.

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN)

11

(4) Wali wajib membuat daftar harta benda yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu. (5) Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya. Pasal 52 Terhadap wali berlaku juga pasal 48 Undang-undang ini. Pasal 53 (1) Wali dapat di cabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam pasal 49 Undang-undang ini. (2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimna dimaksud pada ayat (1) pasal ini oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali. Pasal 54 Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang di bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga tersebut dengan keputisan Pengadilan, yang bersangkutan dapat di wajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.

BAB XII KETENTUAN-KETENTUAN LAIN Bagian Pertama Pembuktian Asal-usul Anak Pasal 55 (1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. (2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. (3) atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN)

12

Bagian Kedua Perkawinan di Luar Indonesia Pasal 56 (1) Perkawinan di Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-undang ini. (2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatat perkawinan tempat tinggal mereka. Bagian Ketiga Perkawinan Campuran Pasal 57 Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarga-negaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Pasal 58 Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undangundang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. Pasal 59 (1) Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun hukum perdata. (2) Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undangundang perkawinan ini. Pasal 60 (1) Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh pihak masing-masing telah dipenuhi. (2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi. (3) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN)

13

(4) Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan tersebut ayat (3). (5) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan. Pasal 61 (1) Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang. (2) Barang siapa yang melangsungkan perkawinan campuran tampa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1(satu) bulan. (3) Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetaui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan. Pasal 62 Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini. Bagian Keempat Pengadilan Pasal 63 (1) Yang dimaksudkan dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah: a. Pengadilan agama mereka yang beragama Islam. b. Pengadilan Umum bagi yang lainnya. (2) Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 64 Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang tejadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah. Pasal 65 (1) dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama maupun berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlakulah ketentuanketentuan berikut:

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN)

14

a. Suami wajib memberikan jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya; b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi; c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing. (2) Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut Undangundang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 66 Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuanketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74, Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No. 158), dan Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Pasal 67 (1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaanya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur lebuh lanjut oleh Peraturan Pemerintah. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundang Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1974 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SOEHARTO JENDERAL TNI. Diundangkan di Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1974 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA R.I SUDHARMONO, SH. MAYOR JENDERAL TNI. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1974 NOMOR 1

Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN)

15

-1UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

:

a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia;

b. bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, dan berkembang serta berhak atas tumbuh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia; d. bahwa dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap anak perlu dilakukan penyesuaian terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; Mengingat

:

1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28G ayat

(2), dan Pasal 28I ayat (2), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Perlindungan

Nomor

Anak

23

Tahun

(Lembaran

2002

Negara

tentang Republik

Indonesia . . .

-2Indonesia

Tahun

2002

Nomor

109,

Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235); 3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun

2012

Nomor

153,

Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332); Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan

:

UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANGUNDANG

NOMOR

23

TAHUN

2002

TENTANG

PERLINDUNGAN ANAK. Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235) diubah

sebagai berikut: 1.

Ketentuan angka 7, angka 8, angka 12, angka 15, dan

angka 17 diubah, di antara angka 15 dan angka 16 disisipkan 1 (satu) angka, yakni angka 15a, dan ditambah 1 (satu) angka yakni angka 18, sehingga Pasal

1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1.

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

2.

Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat . . .

-9Bagian Keempat

Kewajiban dan Tanggung Jawab Orang Tua dan Keluarga 15. Ketentuan ayat (1) Pasal 26 ditambah 1 (satu) huruf, yakni huruf d dan ayat (2) diubah sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

a. mengasuh, memelihara, melindungi Anak;

mendidik,

dan

b. menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; c.

mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan

d. memberikan

pendidikan

karakter

dan

penanaman nilai budi pekerti pada Anak. (2)

Dalam hal

Orang Tua tidak ada, atau tidak

diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih

kepada

Keluarga,

yang

dilaksanakan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 16. Ketentuan ayat (4) Pasal 27 diubah, sehingga Pasal 27 berbunyi sebagai berikut:

(1)

Pasal 27 Identitas diri setiap Anak harus diberikan sejak kelahirannya.

(2)

Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran.

(3)

Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran.

(4)

Dalam hal Anak yang proses kelahirannya tidak diketahui dan Orang Tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk Anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang ……….

More Documents from "Aizuddin Yahya"

July 2020 21
Miladiyah-fsh.pdf
July 2020 28
Doa Haikal
October 2019 20
Noisefilter.pdf
April 2020 18