METFORMIN
Metformin merupakan obat golongan biguanide yang digunakan sebagai salah satu pilihan terapi untuk penyakit diabetes mellitus. Golongan biguanide merupakan pilihan pertama pada pengobatan Diabetes Mellitus tipe 2. Metformin dapat digunakan bersama insulin dan tidak mempengaruhi berat badan ataupun menimbulkan hypoglikemia. Terapi dengan metformin dilaporkan dapat menurunkan resiko terjadinya penyakit makrovaskular ataupun mikrovaskular. Metformin dilaporkan juga berguna untuk terapi pencegahan diabetes tipe 2 terutama ada pasien obesitas yang memilki toleransi terhadap glukosa. Dosis untuk penggunaan metformin dimulai dari 500 mg dan maksimum hingga 2,55 gram per hari. Terapi metformin dapat dimulai sekali sehari, dan bertahap dapat ditingkatkan tergantung ada kadar glukosa darah saat puasa atau pun postprandial.
Gambar 1.1 Struktur Kimia Metformin
MEKANISME AKSI Mekanisme aksi dari metformin belum diketahui sepenuhnya dengan jelas, namun efek utamanya adalah menurunkan produksi glukosa hati melalui aktivasi enzim AMP – activated protein kinase (AMPK). Mekanisme minor yang mungkin terjadi termasuk menghambat glukoneogenesis ginjal, sehingga memperlambat absorbsi glukosa ada saluran pencernaan, dengan meningkatkan konversi laktat dan glukosa, stimulasi langsung glikolisis ada jaringan, meningkatkan pengeluaran glukosa dalam darah dan reduksi glukagon pada plasma. Penurunan kadar glukosa dalam darah oleh obat golongan biguanide tidak dipengaruhi oleh fungsi sel beta pankreas.
METABOLISME DAN EKSKRESI Metformin memiliki waktu paruh 1,5-3 jam, tidak berikatan dengan plasma protein dan tidak dimetabolisme serta di ekskresikan oleh ginjal dalam bentuk komponen aktifnya. Akibat efek penghambatan gluconeogenesis, obat ini daat mempengaruhi metabolisme hepatik dari asam laktat. Pada pasien dengan gangguan ginjal, biguanide terakumulasi dan dapat meningkatkan potensi terjadinya asidosis laktat.
EFEK SAMPING DAN TOKSISITAS Efek samping dari metformin yang sering terjadi adalah gangguan ada saluran pencernaan (anorexia, mual, muntah, rasa tidak nyaman di perut dan diare), yang terjadi pada 20% dari pasien. Obat golongan biguanides di kontraindikasikan ada pasien dengan gangguan ginjal, gangguan hati dan yang mengkonsumsi alkohol karena daat meningkatkan potensi terjadinya asidosis laktat karena pengaruh obat.
METFORMIN DAN SINDROM OVARIUM POLIKISTIK Sindrom ovarium polikistik merupakan salah satu penyebab ketidaksuburan (infertilitas) karena kegagalan terjadinya proses ovulasi, keluarnya sel telur (ovum) dari indung telur (ovarium). Sindrom ovarium polikistik didefinisikan sebagai kumpulan gejala yang ditandai dengan adanya proses anovulasi (tidak keluarnya ovum) kronis disertai perubahan endokrin (seperti hiperinsulinmia dan hiperandrogenemia). Beberapa komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi pada pengidap sindrom ovarium polikistik meliputi peningkatan risiko diabetes melitus tipe 2, gangguan toleransi glukosa (resistensi insulin), kadar lipid dalam darah abnormal (dislipidemia), penyakit kardiovaskular, penebalan dinding rahim, dan infertilitas. Sindrom ovarium polikistik biasanya terjadi pada usia reproduktif (antara 15 sampai 40 tahun) dan angka kejadiannya sekitar 5-10%. Adanya gangguan haid berupa tidak terjadinya haid minimal dalam waktu tiga bulan disebut amenorea, sedangkan bila memiliki jarak menstruasi lebih dari 35 hari disebut oligomenorea. Mayoritas
wanita
dengan
sindrom
ovarium
polikistik
memiliki
masalah
kegemukan/obesitas dan mengalami resistensi insulin yang menyebabkan keadaan hiperandrogen (kadar androgen yang tinggi) pada ovarium dengan akibat akan menghambat perkembangan folikel dan memicu terjadinya siklus anovulatorik.
Resistensi Insulin
sindrom ovarium polikistik
Hyperinsulinemia
Perubahan metabolisme lipoprotein dan kolesterol
Perubahan metabolisme hormon
Peningkatan lemak otot
steroid
Gambar 2. Skema terjadinya Sindrom Ovarium Polikistik
Pada saat ini terapi alternatif yang lebih sering digunakan untuk sindrom ovarium polikistik adalah dengan senyawa sensitisasi insulin yaitu metformin. Dengan terapi ini diharapkan sensitifitas tubuh terhadap insulin meningkat, sehingga dapat memperbaiki kelainan hormonal yang berhubungan dengan sindrom ini. Selain itu juga dapat menurunkan berat badan dengan cara memperbaiki metabolisme gula di perifer, meningkatkan penggunaan glukosa oleh usus dan menekan oksidasi asam lemak
Gambar 3. Mekanisme Aksi Metformin