Mereduksi Kemiskinan - Agussalim - Jikti

  • Uploaded by: agussalim syam
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Mereduksi Kemiskinan - Agussalim - Jikti as PDF for free.

More details

  • Words: 1,016
  • Pages: 3
MEREDUKSI KEMISKINAN: SEBUAH PROPOSAL BARU UNTUK INDONESIA1 Agussalim2 Ketika kemiskinan masih tetap menjadi fenomena global hingga saat ini, pertanyaan penting yang kerap kali diajukan adalah: “mengapa kemiskinan cenderung semakin meningkat dan kebijakan pengentasan kemiskinan tidak memberikan hasil yang signifikan?” Bukankah secara global sejumlah negara telah memperlihatkan laju pertumbuhan ekonomi yang cukup mengesankan? Bukankah secara lokal sejumlah indikator makro ekonomi telah menunjukkan angka yang semakin impresif? Bukankah gerakan-gerakan anti kemiskinan terus digalakkan secara global? Bukankah strategi dan kebijakan pengentasan kemiskinan terus diimplementasikan secara lokal? Bila dicermati, kesalahan memahami kemiskinan terjadi, baik pada tataran konseptual maupun praktis. Pada tataran konseptual, paradigma, pendekatan, dan metodologi yang digunakan selama ini belum menjangkau variabel-variabel yang menunjukkan dinamika kemiskinan. Metodenya masih berpijak pada outcomes indicators, sehingga kurang memperhatikan aspek aktor atau pelaku kemiskinan serta sebab-sebab yang mempengaruhinya. Si miskin dilihat hanya sebagai korban pasif dan objek penelitian, dan bukannya sebagai manusia (human being) yang memiliki “sesuatu” yang dapat digunakan, baik dalam mengidentifikasi kondisi kehidupannya maupun usaha-usaha perbaikan yang dilakukan oleh mereka sendiri. Pada tataran praktis, kebijakan dan program pengentasan kemiskinan belum sepenuhnya menyentuh akar penyebab kemiskinan.Akibatnya, program-program tersebut tidak mampu menumbuhkan kemandirian masyarakat, sehingga sulit mewujudkan aspek keberlanjutan dari program penanggulangan kemiskinan tersebut. Secara umum kelemahan utama penanggulangan kemiskinan pada masa lalu yang perlu dikoreksi secara mendasar, antara lain: masih bersifat parsial, berorientasi pada pertumbuhan ekonomi makro, kebijakan yang terpusat, lebih bersifat karikatif, bernuansa jangka pendek dan tidak struktural, memposisikan masyarakat sebagai objek, cara pandang tentang kemiskinan yang diorientasikan pada ekonomi serta asumsi permasalahan dan penanggulangan kemiskinan yang sering dipandang sama. Untuk mengatasi kelemahan tersebut, tampaknya diperlukan sebuah cara pandang dan pendekatan baru. Bahkan, Indonesia membutuhkan sebuah proposal baru yang lebih mengedepankan sisi ”kemanusiaan” dengan pendekatan komprehensif, holistik, dan integratif, serta menggunakan perspektif jangka panjang. Ini diperlukan agar kesalahan dan kelemahan yang terjadi dalam praktek penanggulangan kemiskinan selama ini tidak terulang di masa yang akan datang. Proposal baru dimaksud adalah: 1

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Bakti News, Vol. IV April 2009, Edisi 45. Tulisan ini juga merupakan ringkasan dari Buku Mereduksi Kemiskinan: Sebuah Proposal Baru Untuk Indonesia yang diluncurkan pada bulan Januari 2009. 2 Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin dan Tenaga Peneliti pada Pusat Studi Kebijakan dan Manajemen Pembangunan (PSKMP) Universitas Hasanuddin Makassar.

1. Perubahan Paradigma dan Metodologi Paradigma baru penanggulangan kemiskinan menempatkan orang miskin sebagai aktor utama dalam perang melawan kemiskinan. Orang miskin sudah harus turut menentukan apa yang sesungguhnya terbaik bagi diri mereka. Sejalan dengan paradigma tersebut, kerangka konseptual dan metodologi pengukuran kemiskinan seyogyanya tidak lagi melihat ”apa yang tidak dipunyai orang miskin”, akan tetapi lebih menekankan pada ”apa yang dimiliki orang miskin”. Perubahan metodologi seperti ini akan menghindarkan kebijakan pengentasan kemiskinan kembali terjebak pada penanganan yang bersifat karikatif, belas kasihan dan jangka pendek. Di kalangan para pengambil kebijakan dewasa ini, muncul persepsi yang kuat bahwa pendidikan dan kesehatan merupakan upaya cerdas untuk memperbaiki ”asset” kaum miskin. Untuk itu, sejalan dengan kian intensifnya gerakan pro-poor budget, pemerintah sudah saatnya mengalokasikan anggaran pendidikan dan kesehatan untuk penduduk miskin dengan proporsi yang lebih signifikan. Pada saat yang sama pemerintah sudah harus pula mengindentifikasi jenis-jenis anggaran yang efektif meningkatkan taraf hidup miskin dan mengkalkulasi dengan cermat jenis-jenis anggaran yang memberi dampak, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap perbaikan kualitas hidup penduduk miskin. 2. Pergeseran Arah Studi Dalam banyak kasus, kemiskinan selalu dipandang dari perspektif makro sektoral. Mengandalkan studi makro memang seringkali tidak memuaskan. Informasi yang dihasilkan hampir tidak pernah akurat dan valid. Akibatnya, program dan kegiatan pengentasan kemiskinan yang tidak tepat sasaran, ketidakjelasan target, bias ke orang non-miskin sudah menjadi berita lumrah. Untuk mencapai hasil yang maksimal diperlukan perspektif yang lebih bernuansa mikro-holistik. Keunggulan pendekatan semacam ini adalah keakurasiannya dalam mengindentifikasi karakteristik, keberadaan, dan kebutuhan penduduk miskin, sehingga memudahkan dalam implementasi program dan kegiatan pengentasan kemiskinan serta melakukan evaluasi atas kemajuan yang dicapai. 3. Perubahan Orientasi Perbaikan tatanan organisasional merupakan critical point dari seluruh agenda pengentasan kemiskinan di masa depan dimana hampir seluruh kebijakan, strategi, dan program pengentasan kemiskinan selama ini lebih fokus pada penanganan kemiskinan individual dan alamiah, dan bukan diarahkan pada kemiskinan struktural. Penanganan kemiskinan harus dilakukan ”di hulu” (bukan sekedar ”di hilir”). Artinya, pada saat mendesain berbagai kebijakan sudah harus mempertimbangkan dampaknya terhadap kemungkinan terjadinya proses marjinalisasi dan pelapisan penduduk miskin, bukan sekedar menolong mereka ketika sudah terjatuh ke dalam derita kemiskinan. 4. Desentralisasi Penanganan Kemiskinan Secara konseptual, tujuan desentralisasi dan otonomi daerah adalah tercapainya pelayanan publik (public sevices) yang lebih baik, terciptanya proses pengambilan

keputusan yang lebih demokratis dan terwujudnya efektifitas dan efisiensi pemerintahan secara keseluruhan. Dalam kaitan itulah, pemerintah (pusat) harus terus mendorong pemerintah daerah untuk lebih berperan dalam upaya pengentasan kemiskinan. Bagaimanapun, pemerintah daerah relatif lebih memahami kondisi, karakteristik dan permasalahan kemiskinan di daerahnya. Dengan kata lain, kebijakan dan program pengentasan kemiskinan sudah harus mulai dikreasikan secara lokal. 5. Pengembangan Demokratisasi Studi kemiskinan mutakhir menyimpulkan adanya hubungan korelasional antara demokratisasi dengan kemiskinan. Relasi antara demokrasi dan kemiskinan: pemerintah didorong untuk mendengar apa yang diinginkan oleh rakyat. Bahkan sejatinya demokrasi memastikan bahwa pemerintah benar-benar menanggapi kebutuhan dan kesulitan rakyatnya. Negara-negara yang memiliki tradisi demokrasi yang kuat cenderung memiliki masyarakat yang sejahtera. Itulah sebabnya bila sebuah negara demokratis mengalami pertumbuhan ekonomi yang memadai, hasilhasil pertumbuhan itu bisa dinikmati relatif secara lebih merata, termasuk kaum miskin. 6. Pengembangan Dimensi Moral Kemiskinan Proses pembangunan yang berlangsung selama ini telah melahirkan fenomena kemiskinan dengan ciri sosial yang amat kental, misalnya keterbelakangan, keterpencilan, ketidaberdayaan, dan ketersisihan. Gejala ini muncul karena rapuhnya nilai-nilai sosial dan memudarnya kohesi sosial. Di tengah situasi seperti itu, salah satu solusi yang diperlukan adalah menumbuh kembangkan sikap hidup sosial yang lebih egaliter, sebuah sikap yang lebih menghargai persamaan dan kesetaraan serta mengedepankan kolektifitas sosial. Untuk merubah mindset seperti ini, mungkin dibutuhkan waktu beberapa generasi. Tapi mari kita tanpa kecuali, mulai mengayunkan langkah pertama. Bukankah, sebagaimana dikemukakan oleh Sachs dalam bukunya yang terkenal The End of Poverty, ”extreme poverty can be ended, not in the time of our granchildren, but our time”. Tulisan ini merupakan intisari dari buku karya Agussalim dengan judul: “Mereduksi Kemiskinan Sebuah Proposal Baru untuk Indonesia”. Penulis: Agussalim Pusat Studi Kebijakan dan Manajemen Pembangunan, UNHAS/Focal Point JiKTI Wilayah Sulawesi Selatan Email: [email protected]

Related Documents

Kemiskinan
November 2019 54
Kemiskinan
July 2020 36
Jurnal Kemiskinan
April 2020 33
Kemiskinan & Pbm
November 2019 31

More Documents from "Communication Management UI"

Bappeda-simpul
May 2020 17
Growth An
May 2020 18
Desentralisasi-fiskal
May 2020 22
Hasil Kajian
April 2020 28