Oleh : LAILI MUBAROK1 Ditengah semangat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini dan tantangan masa depan, kita harus lebih giat untuk memperbaiki banyak hal agar bisa mengejar ketertinggalan. Indonesia memiliki banyak potensi untuk itu. Salah satunya adalah potensi penduduk. Jumlah penduduk Indonesia hingga saat ini mencapai 230 juta jiwa. Haruskah frustasi dengan jumlah itu? Tergantung bagaimana mendudukannya. Tidak bisa menyalahkan siapapun karena memang usaha preventif untuk menekan jumlah penduduk tersebut tidak digalakkan lagi setidaknya 10 tahun terakhir ini. Sekarang tinggal bagaimana membuat jumlah itu menjadi kekuatan yang berarti. Banyak dari sebagian orang termasuk di Indonesia masih menganggap bahwa banyaknya jumlah penduduk an sich sebagai sumber beban dan biaya yang harus ditanggung oleh negara. Diam-diam, pandangan klasik bahwa “bumi sebagai tempat hidup manusia adalah tetap, sedangkan manusia akan terus bertambah” ada di tenganh-tengah kita. Banyaknya penduduk suatu negara kemudian diasumsikan sebagai ancaman yang cukup serius bagi masa depan negara dan dunia di masa mendatang. Cara pandang ini tidak sepenuhnya benar, karena sangat wajar jika bertambahnya jumlah penduduk itu tidak dibarangi dengan peningkatan kualitas hidup yang akan berimplikasi pada sedikitnya kreativitas dalam mengatasi permasalahan yang sedang dan akan dihadapi. Hal ini menuntut kearifan kita agar jeli dalam mengaplikasikan gagasan-gagasan yang terlahir dari pertentangan masa lalu. Sebagai negara-bangsa, sudah selayaknya mendudukkan permasalahan banyaknya penduduk ini ke dalam kita membutuhkan evaluasi kebijaksanaan pembangunan yang selama ini diterapkan. Apakah pembangunan itu benar-benar ditujukan kepada pematangan langkahlangkah untuk merealisasikan tujuan nasional yang telah tersusun di dalam pembukaan UUD 1945 atau hanya sekedar agenda yang harus ada demi kepentingan kelompok tertentu untuk menjawab tantangan eksistensi. Pertimbangan ini akan menentukan masa depan Indonesia tidak hanya lima atau sepuluh tahun ke depan namun hingga akhir zaman nanti. Kesalahan kebijaksanaan pembangunan yang tidak dikoreksi dan diperbaiki secara berkesinambungan akan merugikan bangsa dan negara kita sendiri. Oleh karenanya, dalam memberikan justifikasi, bangsa Indonesia harus terlibat secara proporsional. Proses dialogis antara bangsa dan negara harus terus ada dan di adakan agar kehidupan berbangsa dan bernegara tetap terjalin. Ini penting bagi negara agar di dalam menentukan kebijaksanaan pembangunan di masa-masa yang akan datang bisa menjadikan tuntutan seluruh rakyat Indonesia sebagai pertimbangan utama. Potret pengembangan hidup bangsa Indonesia selama ini tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia yang masih jauh dari harapan. Ini bisa kita lihat dari sejauh apa negara mencerdaskan kehidupan bangsa serta memajukan kesejahteraan umum. Sebagai gambaran, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) hingga tahun 2009 pengangguran di Indonesia mencapai 9,39 juta jiwa. 111, 48 juta jiwa adalah angkatan kerja yang lebih dari setengahnya hanya lulusan SD. Penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan menurut world Bank mencapai 100 juta jiwa. Artinya, dari 230 juta jiwa penduduk Indonesia, 50% lebih berada dalam kondisi yang menghawatirkan. Mengapa demikian? Karena kondisi sebagian besar penduduk Indonesia masih berada dibawah garis kemiskinan dan besarnya jumlah penduduk Indonesia yang kurang terdidik mencapai ratusan juta jiwa. Realitas ini menjelaskan bahwa hingga saat ini kemampuan sebagian besar penduduk Indonesia belum bisa menjadi kekuatan riil yang mampu dioptimalkan. Padahal, jika jumlah tersebut merupakan angka yang menunjukkan banyaknya SDM yang terdidik dan terlatih maka
hasil pengelolahan kekayaan sumber daya alam Indonesia dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki dan meningkatkan harkat dan martabat hidup bangsa. Masih berlakunya kenyataan hidup yang pertama itu semakin menguatkan asumsi bahwa bertambahnya jumlah penduduk hanya akan menjadi beban negara. Negara semakin frustasi dalam memenuhi kebutuhan dasar bangsanya sendiri. Sebab, jumlah penduduk hanya menggambarkan berapa banyak yang menganggur, miskin, putus sekolah atau yang lainnya dari pada deret angka yang menunjukkan kekuatan riil untuk menyongsong masa depan yang membanggakan bangsa dan negara. Pertanyaannya sekarang, apakah kondisi pahit yang terus melilit tubuh bangsa ini memang tidak bisa dilepaskan atau karena kualitas SDM negeri ini yang belum qualified sehingga harus membenarkan asumsi klasik tersebut berlaku juga untuk Indonesia. Relativitas hidup memang sudah memaknakan perbedaan dalam kehidupan. Namun, kesulitan hidup dan berpenghidupan yang tak kunjung usai di suatu negeri yang tak ternilai kekayaan sumber dayanya seperti Indonesia adalah suatu hal yang paradoks. Akhirnya, siapapun di negeri ini baik pribadi maupun dengan mengatasnamakan pemerintah bisa saja mengabaikan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab kemudian berdalih dengan menggunakan “kenyataan-kenyataan” hidup tersebut bahwa kekhawatiran teoritis itu benar adanya. Tuntutan-tuntutan rakyat tidak bisa ditangguhkan dari satu periode politik ke periode politik selanjutnya. Penanganan permasalahan kehidupan berbangsa dan bernegara sudah selayaknya dikembangkan secara kontinuitas. Penanganan tersebut harus berorientasi kepada peningkatan kualitas hidup manusia yang terintegrasi satu sama lainnya. Kewajiban meningkatkan kualitas hidup penduduk Indonesia merupakan tanggung jawab bersama namun negara secara praktis memiliki kewajiban tersebut. Kualitas hidup bangsa harus diusahakan dengan berkelanjutan. Untuk itu perlu adanya suatu satuan rencana hidup yang digunakan oleh negara dalam membangun bangsa Indonesia kedepannya. Selama ini, bangsa Indonesia belum memiliki perencanaan hidup yang tersusun secara utuh dan berkala. Sehingga, capaian-capaian pembangunan terkadang berseberangan dengan keinginan rakyat. Rencana hidup bangsa sangatlah penting agar ada sinkronisasi pembangunan. Rencana tersebut bisa di rancang dari ide utama keluarga berencana (KB). Ide keluarga berencana seharusnya tidak hanya mengandung pemikiran berapa anak yang seharusnya ada di satu keluarga, tetapi juga apa-apa saja yang menjadi kebutuhan keluarga jika anak-anak mereka lahir. Ide tersebut dapat dikembangkan menjadi program pembangunan SDM berdasarkan kebutuhan berskala umur. Sehingga, keperluan-keperluan itu jika diakumulasikan akan menggambarkan peran dan fungsi antara bangsa dan negara ke depan. Peran dan fungsi tersebut akan menunjukkan pola hak dan kewajiban yang jelas. Sebagai contoh, untuk SDM yang berumur 0-5 akan berbeda kebutuhannya dengan SDM yang berumur 5-10 tahun dan seterusnya. Sehingga, hak dan kewajiban antara bangsa dan negara dapat terpetakan secara jelas. Artinya, dalam meningkatkan kualitas hidup bangsa ini, negara benar-benar memiliki data base yang jelas agar usaha peningkatannya semakin efektif dan efisien. Dari memuat upaya-upaya yang bersifat reaktif, preventif, difensif, maupun remedial agar kehidupan berbangsa dan bernegara semakin mendapat kepastian yang bisa dirasakan secara nyata. Usaha pemerintah dalam bentuk subsidi yang mencapai Rp. 166,701 triliun di tahun ini sebenarnya sangat membantu rakyat. Jika saja subsidi itu dirancang dengan suatu program yang berkala guna mengatasi permasalahan hidup rakyat dengan muatan pembelajaran maka banyak dari rakyat Indonesia mendapatkan value added dalam hal kemampuan tertentu. Kalau subsidi tersebut kurang dibarangi dengan muatan pembelajaran yang dapat memberikan pemahaman dan keterampilan maka jumlah uang itu akan habis dan meninggalkan permasalahan baru bagi bangsa dan negara ke depan. Sebab, jika tidak dibekali dengan pendidikan dan ketampilan yang
berkelanjutan maka progresifitas rakyat dalam menangani permasalah kehidupannya akan lamban karena masih bergantung pada pengalaman-pengalaman hidup dalam mengatsinya. Walau pengalaman dapat dijadikan pelajaran, tetapi untuk mengatasi kompleksitas permasalahan yang terus berkembang dibutuhkan pemahaman dan keterampilan yang dapat diandalkan. Jika pemecahan persoalan ini hanya diiserahkan kepada rakyat begitu saja akan berdampak kepada penumpukan kendala yang seharusnya sudah bisa dieliminasi. Sebagai contoh, subsidi pangan sebesar Rp. 12,98 triliun yang di adakan pemerintah merupakan usaha yang bersifat reaktif atas krisis yang dampaknya tengah melanda bangsa Indonesia. Untuk selanjutnya usaha itu harus ditingkatkan pada rencana penanganan yang bersifat preventif. Upaya ini bisa dilakukan dengan menetapkan aturan untuk melindungi wilayah yang berfungsi sebagai lumbung pangan agar dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional tetap bisa diusahakan. Ini harus dilakukan dengan sungguh-sungguh agar realitas kehidupan yang dihadapi oleh bangsa dan negara Indonesia tidak sekedar siklus kondisi yang tidak menyenangkan yang bisa dipermainkan oleh pihak-pihak tertentu setiap waktu. Memang mengubah paradigma bahwa bertambahnya jumlah penduduk hanya akan membebani negara menjadi suatu pandangan yang mendudukan jumlah penduduk sebagai kekuatan riil yang akan membangun negeri tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tetapi, tantangan zaman tetaplah harus terjawab oleh kita sebagai pewaris keyakinan dan nilai-nilai kehidupan yang menjadi penggerak lajunya peradaban. __________________________ 1
Penulis adalah instruktur pengembangan ilmu kebangsaan pada Lembaga Pejuang Tanpa Akhir (PETA) Gardu Besar Jakarta. BIODATA PENULIS Nama
: Laili Mubarok
Alamat
: Jln 45 Singandaru Indah, Serang-Banten
No Telepon
: 0813 811 39 728
No Rekening
: 1160001227272 a.n. Dikbal Satya Negara
Bank
: Mandiri Cabang Serang
Lembaga
: Pejuang Tanpa Akhir (PETA) Gardu Besar Jakarta
Alamat
: Gedung Perintis Kemerdekaan Lt. 6 Jl. Proklamasi 56, Jakarta