Memupuk sikap sang juara Leo Sutrisno Judul ini diambil dari buku Quantum learning (Bobbi dePorter dan Mike Hernacki, NY,1992) untuk memahami (dan menerima) suatu kegagalan. Ketika tulisan ini di draf, sebagian para orang tua sedang berharap-harap cemas akan nasib anak-anak mereka yang sedang menanti hasil ujian entah SMP entah SMA/SMK. Bahkan, dalam perjalanan ke Jawa Timur tanggal 14 Jumi 2008 yang lalu mendengar berita bahwa ada seorang kakek, di Malang, yang meninggal karena dua orang cucunya tidak lulus SMK. Ketika tulisan ini sampai di depan pembaca masalah itu sudah lewat. Hasil ujian SMA/SMK dan SMP sudah diumumkan. Ada yang bergembira dan ada yang bersedih tentunya. Mereka yang berjiwa sebagai sang juara tentu ketika memperoleh keberhasilan dalam hal apapun kegembiraannya tidak meledak bagai gunung api mati yang tiba-tiba meletus. Leletusannya tak terkendali. Tetapi sebaliknya, ia bagaikan gunung Merapi, yang perlahan-lahan dan secara terus-menerus dalam waktu yang panjang mengeluarkan asap, abu serta api. Pada saat terjadi letusan orang mengatakan memang pantas meletus, sudah lama berproses. Nah, dalam kontek kelulusan, orang banyak juga akan mengatakan ”Memang pantas dia lulus. Ia belajar sungguh-sungguh, keras dan tekun”. Ia tidak akan hura-hura di jalan dengan telanjang (di Surabaya, ada siswa yang melepas baju dan celana panjangnya ketika melintas dekat kebun binatang) dan mengganggu pemakai lalu lintas yang lain (di Sidoarjo, ada seorang anggota TNI yang dikeroyok karena melawan arus arak-arakan siswa yang merayajkan kelulusan dengan mengendarai sepeda motor). Sebagai ’pemenang’, ia yang bermental sang juara akan duduk tepekur, berlutut mengucap rasa syukur menerima hasil jerih payahnya, karena telh belajar siang malam tanpa menghitung hari. Keberhasilannya nerupakan buah paduan antara kecerdasannya, bakatnya, usaha kerasnya, serta proses pendidikan yang ia ikuti. Tentu saja, juga hasil dari sikap positif yang ia miliki yaitu berpikir sebagai sang juara. Berhasil sebagai buah dari latihan yang tekun bertahun-tahun dalam proses yang panjang. Sebagai contoh, Rudi Hartono merupakan sang juara yang sesungguhnya di bidang bulu tangkis. Ia berhasil menjadi pemegang juara dunia selama delapan kali berturutturut. Keberhasilannya, hingga kini belum tertandingi. Dalam pertandingan, walaupun tertinggal jauh dari lawan ia selalu dapat mengejar dan memenangkannya. Pada saat dia sudah yakin akan menang, dia tidak pernah membuat ’lawan’nya mati tidak berkutik. Dengan rendah hati ia memberi kesempatan lawannya meraih beberapa point. Tentu tidak dengan berpura-pura. Ketika, diumumkan bahwa ia menjadi juara juga tidak melonjak-lonjak kegirangan di lapangan. Sebaliknya, ia tegak berdiri mengucap terima kasih dan menunduk dengan rasa hormat kepada lawan serta penonton. Tentu juga ia mengucap syukur. Namun, apa yang sesungguhnya ia lakukan jauh sebelum muncul sebagai pemenang? Sejak usia lima tahun, di
Surabaya, setiap pukul lima pagi ia berlari mengikuti ayahnya yang naik sepeda selama satu jam sebagai latihan fisik. Siang hari sepulang sekolah, ia berlatih teknis bulu tangkis selama dua-tiga jam, selama tujuh hari dalam satu minggu. Bagaimana bagi mereka yang gagal? Mari kita tengok ke belakang. Bayangkan di waktu balita dulu. Dimulai dari keadaan yang tidak dapat berbuat apa-apa. Minum, mandi, makan, ganti baju dll selalu memperoleh bantuan orang lain, ibu, bapa, saudara atau bahkan orang lain. Ketika kita mulai belajar berjalan, tidak serta merta dapat. Harus jatuh, bangun lagi, jatuh, bangun lagi berulang kali tiada henti. Tentu juga sambil menangis kesakitan. Tetapi, tetap mencoba dan mencoba. Demikian pula ketika belajar hal-hal yang lain. Gagal, ulang, gagal, ulang, dan berhasil. Saat itu kegagalan tidak dipandang sebagai sesuatu yang menakutkan dan memalukan. Sering, bahkan diikuti dengan tawa dan canda. Sudah semestinya, ketidak-lulusan saat ini juga ditanggapi seperti itu. Tidak lulus bukanlah sesuatu yang memalukan. Tidak lulus bukan sesuatu yang menakutkan. Tidak lulus tahun ini, di ulang agar tahun depan dapat lulus. Nah, agar tahun depan tidak gagal lagi, sebaiknya kita periksa lagi berbagai hal yang mungkin menjadi penyebab. Bisa jadi berasal sepenuhnya dari kita sendiri, bisa jadi sebagian besar dari luar diri kita. Kalau sudah ditemukan, lalu dicoba diatasi. ”Berlatih lagi”. Para orang tua ada baiknya kembali ke masa di kala anak-anak kita masih balita. Saat-saat itu kita tidak banyak marah, tidak banyak memerintah, tidak banyak memberi ejekan dan umpatan. Saat itu, yang banyak kita lakukan adalah membimbing dan membantu dengan hati yang damai dan penuh dengan tawa dan senda gurau. Pada masa seperti itu, anak-anak kita terbebas dari rasa takut dan bersalah. Akibatnya, anak-anak kita mempunyai keberanian yang tinggi untuk mencoba dan mencoba. Hasilnya? Sangat luar biasa!. Anak-anak kita membuat lompatan-lompatan yang panjang dalam banyak bidang. Mampu berbicara, mapu bernyanyi, mampu menari, mampu berjalan dan berlari. Juga, mampu bermain serta mengembangkan bakat-bakat yang lain. Dan, yang jauh lebih penting adalah ia menerima keberhasilan itu tanpa perasaan yang meledak-ledak, tanpa kegembiraan yang melampaui batas. Akhirnya, memang kita perlu memupuk jiwa kita dan anak-anak kita memiliki mental sang juara. Berhasil tanpa kegembiraan yang meledak-ledak, gagal juga bukan berarti dunia sudah kiamat. Keberhasilan kita syukuri sebagai hasil kerja keras. Kegagalan kita tempatkan sebagai umpan balik untuk memperbaiki. Semoga!