Seorang penghayal duduk manis di samping sebuah jendela berukuran tidak lebih dari 1 X 2 meter. Sambil menikmati hangatnya cafeein yang ia masukan kedalam sebuah mug porselin putih bergagang, ia melihat seekor burung pipit hinggap dan menghampiri sarangnya di sebuah pohon mangga yang berada di halaman depan rumahnya. Burung itu dengan penuh perhatian membawakan beras muda yang sengaja ia bawakan untuk anak – anaknya. Setelah tidak lama memberikan setiap anaknya beras muda kemudian ia terbang lagi, dan tak lama berselang burung itu datang lagi dengan membawa beras muda yang baru dan ia berikan kembali kesetiap anaknya tanpa ia melupakan satupun, kemudian ia terbang kembali dan membawa beras muda lagi dan ia melakukannya terus menerus. Kemudian si penghayal melihat di sudut sebelah jalan utama dimana setiap orang melakukan aktivitasnya, seorang lelaki tua menarik gerobak lusuh yang penuh dengan tumpukan sampah – sampah yang ia kumpulkan dari setiap rumah di daerah itu. Sengatan mentari dan buaian debu jalanan tidak menghalangi kakinya untuk melangkah pasti. Tepat di depan lelaki tua itu terlihat sepasang muda mudi yang nampaknya sedang berjalan-jalan dengan penuh canda tawa. Sesekali telihat saling menatap penuh kekaguman, dan seakan waktu berhenti sesaat bagi mereka berdua. Terlihat jelas dari wajah mereka sinar kebahagiaan yang tidak awam bagi si penghayal. Kini si penghayal menyipitkan mata, tepat ke ujung kota kecil yang ia singgahi. Disana terlihat hamparan sawah yang menghijau, dan nampak seorang petani yang sedang berdiri tegak dengan tangan di pinggang, ia terlihat sedang mengawasi sesuatu di sekitar sawahnya. Setelah menghela napas panjang si penghayal pun mereguk minuman bercafeein itu dengan mantap. Kemudian ia berpikir tentang apa yang ia lihat barusan. Latihan apa yang telah burung pipit itu lakukan sehingga sepasang sayap kecilnya itu tanpa letih terus mengepak dan membawa pemiliknya terbang kesana kemari dan memberikan anak– anaknya sedikit beras muda? Kekuatan apa yang lelaki tua itu miliki sehingga ia mampu menarik gerobak lusuh yang dipenuhi tumpukan sampah dan melangkahkan kakinya dengan pasti? Apa yang membuat sepasang muda mudi tersebut penuh canda tawa, sehingga waktu serasa berhenti untuk mereka berdua? Lalu sinar kebahagiaan darimana?seakan ia mengenalnya…. Dengan mereguk kembali minuman bercafeeinnya ia pun mengerti satu hal dari dua kejadian yang ia lihat. Burung pipit dan lelaki tua itu mengajarkannya akan sebuah “cinta”. Bukan latihan yang telah burung itu lakukan, tapi cinta kepada anak –anaknya lah yang memberikan keyakinan sepasang sayapnya untuk senantiasa mengepak dan membawa kemana pun burung itu mau. Bukan kekuatan apa yang lelaki tua itu miliki akan tetapi cinta terhadap dirinya sendiri lah yang telah memberikan ia kepastian hidup hingga ia mampu melangkahkan kakinya dengan pasti. Si penghayal pun menyadari betapa besar arti sebuah “cinta”. Jika bukan karena cinta, seorang ibu muda yang biasanya masih terlelap dalam tidurnya ditengah malam harus bangun dengan tanpa penyesalan karena tangisan anaknya. Jika bukan karena cinta seorang yang penakut dan penghianat menjadi seorang yang pemberani dan setia karena seorang gadis cantik yang ia sukai tersenyum kepadanya. Jika bukan karena cinta seorang kolektor barang – barang antik tidak akan mengeluarkan uang berjuta-juta bahkan lebih untuk sebuah lukisan kuno yang ia anggap begitu indah dan berharga.
Dengan menghabiskan minuman bercafeeinnya si penghayal beranjak dari tempat duduknya dan mengampiri kedua orang tuanya yang sedang berbincang-bincang di ruang keluarga, kemudian ia memeluk kedua orang tua yang sudah berusia lanjut itu dengan segenap cinta yang ia miliki, karena ia menyadari ia adalah buah karya kebesaran cinta dan cintalah yang sangat berperan di dunia ini. Ia pun berterima kasih dan bersyukur kepada yang telah menciptakannya. Sungguh Engkau yang maha besar yang telah memberikan cinta kepada setiap makhluk-Nya Ia memutuskan untuk pergi jalan-jalan berkeliling sekitar kota kecil yang ia singgahi. Setelah berpamitan ia pun keluar dari rumahnya. Dalam hati ia berharap akan berjumpa dengan kejadian-kejadian yang dapat menjawab pertanyaannya tentang cinta. Tidak jauh dari muka rumahnya ia melihat kerumunan orang-orang yang keheranan dan tidak sedikit yang kengerian. Jeritan tangis pun ia dengar beberapa kali, saat setelah ia tiba diantara orang-orang disana ia melihat seorang gadis muda dengan penuh darah dipakaiannya merangkul seorang lelaki yang bersimpuh darah yang terkujur kaku. Si penghayal pun bertanya pada seorang pemuda yang nampaknya hapal betul apa yang sebenarnya yang telah terjadi. Menurut keterangan pemuda itu beberapa 5 menit yang lalu gadis itu terlihat sedang berjalan-jalan dengan seorang pemuda tampan yang mungkin adalah kekasihnya. Tak lama dari itu ada seorang lelaki tua mendatangi mereka dan merampok mereka berdua. Karena takut pemuda itu melawan, seketika itu juga lelaki tua itu menusukan pisau yang dari tadi ia sembunyikan dibalik jaketnya tepat di perut pemuda itu. Setelah menyambar tas yang dibawa oleh gadis dan kekasihnya, lelaki tua itu pun melarikan diri dan sampai kini ia pun belum tertangkap. Si penghayal melihat gerobak sampah tidak jauh dari tempat dimana gadis itu sedang menangisi pacarnya yang sudah tiada. Pertanyaan yang tak membinggungkan pun muncul di pikirannya. Apakah lelaki tua yang telah merampok dan sekaligus membunuh salah satu pasangan muda itu adalah seorang lelaki tua penarik gerobak sampah yang ia lihat dari jendela kamarnya?jika benar, kemana arti cinta yang ia lihat dari lelaki tua itu? Apakah langkah pasti lelaki tua itu hanyalah sebuah akal-akalan semata? Dengan tanpa satu pun pertanyaan itu dapat ia jawab, ia pun menjauh dari kerumunan itu dan melanjutkan langkah kakinya. Di tengah perjalanan ia melihat seorang petani dengan tanpa hentinya sedang mengusir burung-burung pipit yang dari tadi mencuri beras dari sawah yang telah ia kelola dengan susah payah. Dengan penuh harapan dapat menangkap salah satu dari burung pengusik itu, beberapa perangkap telah petani itu pasang. Si penghayal pun kembali bertanya pada dirinya sendiri. Apakah burung pipit yang bersarang di pohon mangga itu juga salah satu dari beberapa burung yang telah mencuri beras dari sawah petani itu? Jika benar, kemana arti cinta yang ia lihat dari burung itu? Apakah sayap-sayap kecil yang burung itu miliki hanyalah sepasang alat untuk mencuri? Setelah lama berjalan dan cukup melelahkan, akhirnya ia memutuskan untuk beristirahat, direbahkanlah tubuh lemas itu diatas hamparan rumput hijau. Ia pun teringat semua kejadian yang ia lalui, mulai dari burung pipit yang tak kenal lelah memberi makan anak-anaknya beras muda hasil mencuri, sampai