Edisi II/Oktober 2003
Implementasi Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat
Memberdayakan Tanpa Memaksakan
3
Percik, Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan. Diterbitkan oleh Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan. Kebijakan Nasional Pembangunan Air MInum dan Penyehatan Lingkungan dan Implementasinya
Penasihat/Pelindung: Direktur Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, DEPKIMPRASWIL
Memberdayakan Tanpa Memaksakan
Daftar Isi Dari Redaksi
4
Laporan Utama
5
CWSH
7
ProAir
9
SANIMAS
11
WSLIC 2
13
Wawasan
Cermin
15
18
Sekretaris Redaksi: Essy Aisiyah
21
MCK Jempiring bukan MCK Moerdiono Pembelajaran Lokal
25
Internasional
27
Ragam
Dewan Redaksi: Oswar Mungkasa, Sucipto, Johan Susmono, Supriyanto Budi Susilo Redaktur Pelaksana: Hartoyo, Rheida Pambudhy, Maraita Listyasari, Rewang Budiyana, Handi Legowo
Memberdayakan Tanpa Memaksakan Mencuci Tangan
Penanggung Jawab: Direktur Permukiman dan Perumahan, BAPPENAS Direktur Penyehatan Air dan Sanitasi, DEPKES Direktur Perkotaan dan Perdesaan Wilayah Timur, DEPKIMPRASWIL Direktur Bina Sumber Daya Alam dan Teknologi Tepat Guna, DEPDAGRI Direktur Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup, DEPDAGRI
Sirkulasi: Helda Nusi, Mahruddin, Prapto Alamat Redaksi: Jl. Cianjur No. 4, Menteng, Jakarta Pusat Telp. (021) 3142046 e-mail:
[email protected],
[email protected]
29
Pilihan Teknologi Info Buku
31
Info Situs
32
Agenda
33
Redaksi Percik menerima kiriman artikel/tulisan dari luar. Panjang artikel/tulisan tidak dibatasi. Isi harus berkaitan dengan air minum dan penyehatan lingkungan dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Artikel/tulisan harus disertai identitas yang jelas. Redaksi berhak mengeditnya. Artikel/tulisan bisa dikirimkan melalui surat atau email ke alamat di atas.
4
Dari Redaksi
H
ari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Berangkat dari semangat inilah kami menghadirkan edisi kedua Percik. Beberapa perbaikan telah diusahakan pada edisi ini yang merupakan tanggapan terhadap saran dan kritik yang kami terima dari berbagai pihak. Pertama. Halaman diperbanyak yang memungkinkan makin banyaknya informasi yang dapat ditampilkan. Kedua. Tambahan rubrik seperti Suara Anda, Pembelajaran, dan Opsi Teknologi. Tentunya perbaikan akan kami lakukan secara berkesinambungan. Melanjutkan fokus Percik pada edisi perdana maka pada edisi kedua ini kami mengetengahkan proyek-proyek air minum dan penyehatan lingkungan yang telah mengadopsi prinsip-prinsip yang terkandung dalam kebijakan nasional air minum dan penyehatan lingkungan berbasis masyarakat. Beberapa proyek yang kami tampilkan adalah Water Supply for Low Income Communities 2 (WSLIC 2), Rural and Water Supply in Nusa Tenggara Timur (ProAir), Sanitasi oleh Masyarakat (SANIMAS), dan Community Water Supply and Health (CWSH). Kami mengharapkan sajian ini dapat memberikan gambaran lebih lengkap terhadap implementasi kebijakan nasional tersebut. Berbeda dengan edisi sebelumnya, kali ini Percik menampilkan rubrik Wawasan sebagai pengganti rubrik Opini. Dengan nama baru ini, kami berharap lebih banyak tulisan yang bisa dimuat ini rubrik tersebut. Pada edisi ini, Wawasan memuat tulisan mengenai MPA (Methodology for Participatory Assesment), sebuah metode pemberdayaan masyarakat yang digunakan dalam pembangunan sarana air bersih dan penyehatan lingkungan. Tak kalah menariknya, Wawasan juga mengangkat tema mengenai Mencuci Tangan (Handwashing). Mungkin bagi kita masalah tersebut terlalu sepele, tapi berdasarkan penelitian Mencuci Tangan terbukti memberikan pengaruh yang nyata terhadap pencegahan berbagai jenis penyakit yang ditularkan melalui tangan. Di rubrik Cermin, kami mengetengahkan upaya masyarakat di Gang Jempiring, Bali, membangun MCK. Beberapa tahun sebelumnya mereka sempat memiliki MCK yang dibangunkan pemerintah. Bangunan itu tak terawat dan akhirnya rusak. MCK yang baru tersebut dibangun berdasarkan kesadaran masyarakat setempat untuk hidup lebih baik dan sehat. Kami berusaha menjadikan media informasi ini tersebar secara meluas. Internet menjadi salah satu media yang akan kami pergunakan. Untuk itu, mulai edisi ini kami juga akan menggunakan e-mail untuk mengirimkan Percik. Media informasi ini juga akan ditayangkan lengkap pada situs internet Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (…………………………….) yang baru saja diluncurkan. Terlepas dari semua usaha yang kami lakukan untuk menghadirkan yang terbaik, maka semuanya terpulang kembali kepada anda semua. Masukan, kritik, saran dan bahkan kiriman naskah menjadi suatu keniscayaan bagi kelangsungan media informasi kita ini. Untuk itu, kami ucapkan terima kasih atas kontribusi anda semua. Salam.
5
Laporan Utama
Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan dan Implementasinya
K
ebijakan nasional pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan yang bertujuan meningkatkan pembangunan, penyediaan, pemeliharaan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan serta meningkatkan kehandalan dan keberlanjutan pelayanan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan tersebut lahir melalui proses yang panjang. Proses penyusunan kebijakan nasional tersebut berlangsung dalam kurun waktu lima tahun, dan dipuncaki dengan penandatangan kesepakatan eselon I yang berasal dari Bappenas, Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, Departemen Kesehatan, dan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Direncanakan Kebijakan nasional tersebut akan diformalkan melalui Keputusan Menteri Negara Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Prinsip-prinsip dasar kebijakan terdiri atas delapan butir yakni air merupakan benda sosial dan benda ekonomi; pilihan yang diinformasikan sebagai dasar dalam pendekatan tanggap kebutuhan; pembangunan berwawasan lingkungan; pendidikan perilaku hidup bersih dan sehat; keberpihakan pada masyarakat miskin; peran perempuan dalam pengambilan keputusan; akuntabilitas proses perencanaan; peran pemerintah sebagai fasilitator; peran aktif masyarakat; pelayanan optimal dan tepat sasaran; dan penerapan prinsip pemulihan biaya. Sebagai sebuah kebijakan, butir-butir itu tidak lahir hanya dari hasil diskusi dan perdebatan di ruangan. Namun kebijakan ini telah melalui perjalanan panjang ‘pengujian’ di lapangan baik secara langsung maupun tidak langsung. Proses seperti ini bisa berkat adanya sinergi antara para penyusun kebijakan dan implementasi di lapangan melalui proyek-proyek air minum dan penyehatan lingkungan. Hasilnya, walaupun kesepakatan baru saja ditandatangani tetapi sebenarnya prinsip dasarnya telah jauh hari sebelumnya diadopsi
oleh proyek pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan seperti Water Supply for Low Income Community 2 (WSLIC 2), Rural and Water Supply in Nusa Tenggara Timur (ProAir), Sanimasi oleh Masyarakat (SANIMAS), dan beberapa proyek lainnya. Proyek yang terbaru yang mengadopsi prinsip dasar kebijakan nasional adalah Community Water Supply and Health (CWSH) masih dalam tahap persiapan. Menjadi menarik untuk menyimak apa dan bagaimana proyek tersebut, termasuk juga komentar dari masing-masing pengelola proyek. Tentunya proyek yang satu dengan yang lain mempunyai beragam pengalaman dalam menjalankan prinsip yang tercantum dalam kebijakan nasional tersebut. Soegeng Santoso, pimpinan proyek ProAir, mengatakan kebijakan nasional tersebut sangatlah tepat. ‘’Apa yang kita lakukan sama persis dengan WASPOLA (WASPOLA merupakan nama proyek yang membidani lahirnya kebijakan nasional AMPL. Red), jadi kita tinggal mendiseminasikan saja kebijakan tersebut,” katanya di Jakarta. Menurut Soegeng, kunci keberhasilan sebuah proyek air bersih dan penyehatan lingkungan ada pada masyarakat bukan pemerintah. Karena itu, masyarakatlah yang harus memiliki peran dalam memutuskan sebuah proyek yang ada di lingkungannya. ‘’Tak bisa lagi pemerintah semua, harus demand driven, bukan supply driven,” katanya. Hal senada dikemukakan penanggung jawab proyek CWSH, Hartoyo. Menurutnya, pelaku perubahan adalah masyarakat. ‘’Kalau masyarakat mampu mengelola sumber daya yang dimiliki dengan sendirinya, berarti mereka telah sukses,” katanya. Ia mengatakan peran pemerintah hanya sebagai fasilitator dan motivator. Masyarakat yang merencanakan dan menjalankan hingga terwujud sebuah hasil yang diharapkan. Proses seperti ini akan menjamin keberlangsungan hasil proyek.
6
Desa proyek: Salah satu desa yang mendapat proyek implementasi WASPOLA.
Mengapa harus masyarakat? Kata Hartoyo, mereka memiliki banyak permasalahan. Tentu, masyarakat pula yang paham akan persoalannya dan tahu prioritas mana yang harus didahulukan. ‘’Bantuan pemerintah sekalikali memang diperlukan, tapi bukan hal utama. Bantuan pemerintah hanya sebagai stimulan,” kata Hartoyo. Alfred Lambertus, Rural Water Supply and Sanitation Specialist, yang menangani proyek Sanimas menegaskan pendekatan tanggap kebutuhan sangat penting dalam sebuah proyek jika menginginkan proyek bisa terpelihara secara berkesinambungan. Kebijakan yang dirumuskan melalui WASPOLA, menurutnya, sejauh ini bisa teruji di lapangan kendati memang butuh waktu yang lebih panjang. ‘’Dari sini pelaksanaan proyek terlihat pula betapa pemerintah daerah perlu tanggap terhadap kebutuhan masyarakatnya,” paparnya. Menurutnya, selama ini pengambil kebijakan salah menduga kemampuan masyarakat. Mereka dianggap tak memiliki kemampuan dan inisiatif. ‘’Padahal kemauan masyarakat untuk diberi kepercayaan itu besar sekali. Bahkan terhadap masyarakat miskin sekalipun. Asalkan demi kebutuhan mereka, mereka mau memberikan kontribusi,” jelas Alfred. Namun demikian, menurut pimpinan proyek WSLIC 2, Zainal I Nampira, masyarakat harus disiapkan. Selain membangun sarana fisik, masyarakat harus pula mampu mengelola uang dan mempertanggungjawabkan keuangannya dengan standar akuntansi yang bisa diaudit. ‘’Ini proses pemberdayaan,” tandasnya. Hanya saja, kata Zainal, pemberian wewenang yang besar kepada masyarakat pun perlu disikapi secara
arif. Pengalaman di lapangan menunjukkan, terkadang masyarakat terlalu percaya diri sehingga pendapat mereka mengalahkan argumentasi keilmuan konsultan yang mendampinginya. ‘’Tapi nggak papa, ini kan proses,” katanya. Terlepas dari sinkronisasi antara kebijakan nasional air minum dan penyehatan lingkungan dan proyekproyek di lapangan, masih ada ganjalan yang harus dihadapi ke depan. Pola pikir proyek tampaknya masih belum terkikis habis dari benak para pengambil keputusan. ‘’Kita misalnya dihadapkan pada dua pilihan: mencapai target atau menjaga proses,” kata Zainal. Ia mencontohkan penyerapan awal proyek WSLIC 2 yang didanai Bank Dunia, pemerintah Australia, dan masyarakat, ini sangat rendah. Tahun ke-2 dan ke-3 proyek baru bisa berjalan. Ini tidak lepas dari keterbatasan sumber daya manusia yang mengerti dan memahami metode yang diterapkan sehingga prioritas proyek diarahkan untuk penyiapan sumber daya manusia. Selain itu, proyek WSLIC 2 yang memberikan uang langsung ke rekening masyarakat terkendala peraturan yang ada. Belum lagi baru-baru ini keluar Keppres No 42 yang mengharuskan audit setiap tahun anggaran. ‘’Bisa jadi dengan keluarnya keppres tersebut pola pikir proyek akan muncul kembali. Proyek-proyek akan mengejar target karena pimpro juga dinilai dari target,” jelasnya. Ia mengusulkan agar proyek pemberdayaan masyarakat bersifat multiyear. Pemberdayaan masyarakat melibatkan multisektor. Masing-masing harus memiliki akselerasi yang sama. Dari pengalaman di lapangan, akselerasi masyarakat ternyata lebih cepat dibandingkan yang lain. Sektorsektor harus mampu mengimbangi sehingga terwujud sinergi. Proyek-proyek di atas dalam proses membuktikan apakah kebijakan nasional air minum dan penyehatan lingkungan berbasis masyarakat merupakan kebijakan yang tepat dalam pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan. Memang terlihat ada kendala dan perlu proses implementasi lebih lama. Bagaimana dan seperti apa proyek-proyek tersebut, laporan utama kali ini akan mengungkap satu per satu proyek itu secara garis besar.
7
Community Water Services and Health (CWSH)
B
erdasarkan Memorandum of Understanding (MOU) antara Pemerintah Republik Indonesia dan Asian Development Bank (ADB) telah diperoleh kesepakatan bahwa ADB akan memberikan dukungan terhadap upaya-upaya Pemerintah Republik Indonesia untuk mengurangi berbagai permasalahan dan keterbatasan yang berkaitan dengan pelayanan penyediaan sarana air minum dan peningkatan pelayanan kesehatan, baik di wilayah pedesaan maupun di perkotaan. Berkaitan dengan hal tersebut pada Country Program Mission ADB (CPM) tahun 2002, telah dipastikan bahwa “Community Water Services and Health Project” (CWSHP) masuk pada Country Strategy and Program (CSP) 2003-2005 untuk Indonesia. Selain itu ADB telah memasukkan proyek CWSH sebagai pinjaman yang akan berlaku efektif tahun 2004 kepada Pemerintah Indonesia. Pada saat ini, proyek CWSH sedang dalam taraf persiapan. Salah satu kegiatan utama yang harus dilakukan dalam tahap persiapan proyek CWSH adalah Project Preparation Technical Assistance (PPTA). Secara umum, tujuan PPTA ini adalah membantu pemerintah Indonesia untuk mengidentifikasi dan mempersiapkan proposal proyek yang diharapkan dapat diimplementasikan mulai tahun anggaran 2004. Sedangkan keluaran dari kegiatan PPTA ini akan dipergunakan oleh ADB dan Pemerintah Indonesia untuk memproses dan memformulasikan investasi yang diperlukan dalam meningkatkan pelayanan penyediaan air minum dan pelayanan kesehatan. Tim PPTA mulai efektif bekerja tanggal 16 Juni 2003 dan akan berakhir pada bulan Maret 2004 (10 bulan). Tim ini akan menyusun SPAR (Sub Project Appraisal Report) kabupaten yang berasal dari propinsi-propinsi terpilih.
berpenghasilan rendah melalui perbaikan higinitas dan perilaku sehat keluarga yang berkaitan dengan air, didukung oleh perbaikan akses terhadap air minum dan sanitasi.
Tujuan dan Output
Lokasi Proyek
Tujuan Umum: Meningkatkan kualitas hidup dan derajat kesehatan masyarakat perdesaan dan pinggir perkotaan yang
Tim Teknis Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) Pusat yang beranggotakan sektor-sektor terkait
Tujuan Khusus: Pemerintah daerah mampu meningkatkan pelayanan air minum dan pelayanan kesehatan melalui pelembagaan sistem yang tanggap terhadap kebutuhan dan berbasis keluarga serta program-program yang memfokuskan pada masyarakat berpenghasilan rendah, dan dalam kemitraan dengan masyarakat sipil dan sektor swasta. Output Adapun output yang diharapkan dari proyek ini adalah: a. Pemerintah daerah diberdayakan dan dapat memfasilitasi perencanaan dan pelaksanaan proyek berbasis masyarakat (termasuk manajemen proyek), dan mampu memberikan pelayanan kesehatan berbasis keluarga khususnya terhadap penyakit menular berbasis air. b. Masyarakat dan keluarga diberdayakan sehingga mampu merencanakan, mengadvokasi, mengelola dan memelihara program ABPL, serta meningkatkan perilaku dan higinitas kesehatan. c. Pembangunan sarana dan prasarana air minum dan sanitasi yang memadai, mudah terjangkau dan berkelanjutan bagi masyarakat, di samping pembangunan fasilitas kesehatan lainnya yang berkaitan dengan pengawasan penyakit berbasis air. d. Sistem pelaksanaan dan pengkoordinasian proyek yang efisien, meliputi kegiatan monitoring dan evaluasi dari hasil-hasil proyek.
8
Persiapan: Workshop Nasional Proyek Community Water Services and Health (CWSH) berlangsung 2 Juli 2003 di Bekasi
(Bappenas, Depkes, Depdagri, Depkimpraswil, Depkeu) telah mengembangkan kriteria untuk memilih calon propinsi untuk berpartisipasi dalam proyek berdasarkan angka Human Development Index (HDI), Gender-related Development Index (GDI), Human Poverty Index (HPI), cakupan air minum dan sanitasi, angka diare, dan keberadaan beberapa proyek air minum dan sanitasi serta mempertimbangkan kesempatan untuk perolehan keterkaitan dengan proyek-proyek ADB lainnya, seperti FHN, DHS dan RWSS.
lokakarya lingkup propinsi di Propinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Jambi. Tim Teknis telah berupaya melakukan pembicaraan intensif dengan Propinsi Papua yang menempati ranking ke-2 agar dapat berpartisipasi dalam proyek CWSH. Hal ini dilakukan hingga minggu kedua bulan Agustus 2003. Tim Teknis akhirnya memutuskan untuk mengganti Propinsi Papua dengan Propinsi Bengkulu sebagai propinsi keempat yang akan berpartisipasi dalam proyek ini. Lokakarya Tingkat Propinsi telah diselenggarakan di Palangkaraya, Jambi, Pontianak, dan Bengkulu. Dari lokakarya ini telah ditetapkan kabupaten terpilih sebanyak tiga kabupaten untuk masing-masing propinsi terpilih. Untuk Propinsi Kalimantan Tengah telah dipilih Kabupaten Kapuas, Kotawaringin Timur, dan Barito Selatan. Untuk Propinsi Kalimantan Barat telah ditetapkan Kabupaten Ketapang, Sintang, dan Landak. Untuk Propinsi Jambi telah dipilih Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Bungo, dan Batang Hari. Sedangkan untuk Propinsi Bengkulu telah ditetapkan Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu Selatan, dan Rejang Lebong. Lokakarya tingkat propinsi ini kemudian ditindaklanjuti dengan lokakarya kabupaten dalam rangka proses awal penyusunan proposal proyek (SPAR). Pada acara Tripartite Meeting tanggal 2 September 2003 telah disepakati untuk menambah jumlah keseluruhan kabupaten yang akan berpartisipasi dalam proyek ini menjadi 19 kabupaten yang berasal dari empat propinsi terpilih.
Proses Persiapan
Penutup
Pada tanggal 23 Juni 2003 telah dilakukan peluncuran proyek. Dalam pertemuan ini telah dipilih 12 propinsi yaitu Kalimantan Barat, Papua, Lampung, Sulawesi Tengah, Jambi, Banten, Gorontalo, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Bengkulu, Riau, dan Sulawesi Tenggara. Pada Lokakarya National Proyek CWSH tanggal 2 Juli 2003 telah diundang 12 propinsi tersebut di atas yang terdiri atas unsur Bappeda dan Dinas Kesehatan. Sampai dengan akhir acara, ternyata wakil dari Propinsi Papua tidak ada yang hadir. Tanggal 22 Juli 2003 telah dilakukan rapat koordinasi Tim Teknis AMPL di Bappenas bersama Tim PPTA CWSH. Dalam rapat diputuskan akan dilakukan
Proyek CWSH ini merupakan proyek pertama di tahun 2003 yang dalam penyusunan usulan proyeknya mengikuti prosedur dan ketentuan baru yaitu Keputusan Menteri Keuangan RI No. 35/KMK.07/2003 tentang Perencanaan, Pelaksanaan/Penatausahaan, dan Pemantauan Penerusan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah kepada Daerah. Sesuai dengan ketentuan KMK 35, ada kewajiban bagi Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten untuk menanggung beban bersama dengan Pemerintah Pusat dalam pengembalian pinjaman, sehingga kemungkinan lokasi propinsi yang telah ditetapkan tersebut di atas dapat berubah sejalan dengan kesediaan Pemerintah Daerah untuk menanggung beban bersama.
9
Program Air Bersih dan Sanitasi Perdesaan Propinsi Nusa Tenggara Timur (ProAir)
P
ropinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dikenal sebagai daerah yang angka curah hujannya rendah, oleh karena itu wilayah ini dikenal pula sebagai daerah yang sulit air. Selain kondisi daerah yang sedemikian itu, pengetahuan penduduk tentang higinitas yang masih kurang, serta sebagian penduduk yang masih tinggal di tempat yang belum memenuhi standar lingkungan yang sehat, menyebabkan penduduk Nusa Tenggara Timur berada dalam kondisi rentan terhadap penyakit yang ditularkan melalui air. Memperhatikan keadaan di atas, Pemerintah RI dan Pemerintah Jerman pada tahun 1998 sepakat untuk bekerja sama dalam pembangunan di bidang air minum dan sanitasi di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Menindaklanjuti kerja sama di atas, pada tahun 2001 dilakukan pertemuan antarsektor terkait di tingkat pusat dan daerah dengan German Bank for Reconstruction (KfW) Jerman. Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa German Ministery for Economic Cooperation (BMZ), KfW dan Deutsche Gesselschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) mengkoordinasikan program bantuan teknis dan bantuan keuangan. Kabupaten yang menerima bantuan program adalah Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Sumba Barat, dan Kabupaten Timor Tengah Selatan. Pada tanggal 12 Desember 2001 diterbitkan Grant Agreement “Rural Water Supply and Sanitation”. KfW Jerman memberikan hibah untuk Propinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 15,6 juta DM untuk biaya investasi (pembangunan konstruksi, pengadaan barang dan jasa) serta untuk biaya konsultan. Sedangkan untuk dana pendampingnya, masing-masing kabupaten akan menyediakan dana investasi di dalam Daftar Isian Proyek Daerah (DIPDA) sebesar 10 persen dari nilai hibah yang diberikan oleh KfW Jerman dan dana non investasi yang besarnya sesuai kebutuhan dan
kemampuan masing-masing kabupaten. Selanjutnya kegiatan ini diberi nama khusus yaitu ProAir, untuk membedakannya dengan proyek air minum dan sanitasi perdesaan lainnya.
Tujuan a.
b.
Tujuan Umum Memberikan konstribusi untuk menurunkan risiko kesehatan bagi masyarakat perdesaan akibat penyakit yang ditularkan melalui air yang digunakan melalui peningkatan pelayanan prasarana dan sarana air minum dan sanitasi di masyarakat perdesaan di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Tujuan Khusus Masyarakat perdesaan mampu mengelola sendiri prasarana dan sarana air bersih dan sanitasinya secara berkesinambungan dan diharapkan pemerintah setempat dapat mengadopsi pendekatan ini.
Lokasi ProAir berlokasi pada daerah perdesaan di Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Sumba Barat, dan Kabupaten Timor Tengah Selatan, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pelaksanaan Program Berbeda dengan cara pendekatan yang dilakukan pada masa lalu yang mendasarkan pada standar normatif dari pemerintah (Supply Driven), maka pada pelaksanaan program ProAir menggunakan pendekatan berdasarkan kebutuhan masyarakat (Demand Driven). Ada beberapa tahap yang harus dilalui dalam pelaksanaan program ProAir, yaitu tahap sosialisasi dan diseminasi, tahap permohonan dan penilaian, tahap
10
perencanaan, tahap rancang bangun dan pembuatan kontrak, tahap konstruksi dan tahap pascakonstruksi. Pelaksanaan ProAir dilakukan secara bertahap dimulai dengan pelaksanaan kegiatan di Kabupaten Sumba Timur. Pelaksanaan di Kabupaten Sumba Timur telah sampai pada tahap III. Tahap I, sosialisasi dan diseminasi, telah dilaksanakan melalui kampanye yang dilakukan oleh Tim Koordinasi ProAir Kabupaten (TKK) yang menghasilkan banyak permohonan yang diajukan oleh masyarakat. Selanjutnya dalam tahap II, semua permohonan tersebut diterima oleh ProAir dan dinilai kelayakannya oleh Tim Pelaksana dan Unit Pelaksana Proyek (Project Implementation Unit-PIU). Tahap III berupa perencanaan pelaksanaan yang akan melibatkan kelompok masyarakat dalam rencana pelaksanaan yang sesungguhnya melalui proses partisipatif di bidang higinitas dan sanitasi dengan menggunakan metoda MPA-PHAST yang akan difasilitasi oleh tenaga motivator.
Pemetaan: Pemetaan penduduk menjadi faktor penting dalam menentukan keberhasilan suatu proyek.
Kendala Ada beberapa kendala yang ditemui selama pelaksanaan program, baik yang bersifat fisik maupun non fisik yaitu : A Kendala Fisik - Kondisi geografis, dan lokasi permukiman yang terpencar menyulitkan dalam menentukan pilihan
teknologi yang paling sesuai dengan kondisi masyarakat B Kendala Non Fisik - Kurangnya pemahaman dari pelaksana di daerah terhadap pendekatan demand driven berakibat pada relatif lambatnya tanggapan masyarakat terhadap program ini. - Mekanisme penyaluran dana (Fund Chanelling) masih belum dipahami secara baik, sehingga masih ditemui banyak kendala baik dalam proses pengajuan dana maupun pencairannya. Rencana ke depan Agar kendala–kendala tersebut dapat dilewati dengan baik, maka ke depan direncanakan: a. Melakukan pembinaan secara rutin, termasuk melakukan sosialisasi kembali program ProAir dengan cara advokasi kepada pemerintah daerah dan DPRD Kabupaten b. Mencari pilihan teknologi baru di bidang air minum dan sanitasi yang sesuai untuk diterapkan di NTT.
11
SANIMAS
SANIMAS Sebuah Inisiatif Pengelolaan Sanitasi Berbasis Masyarakat Oleh: A Lambertus, WSP-EAP Apakah SANIMAS? SANIMAS atau Sanitasi oleh Masyarakat merupakan sebuah inisiatif yang dirancang untuk mempromosikan Sanitasi Berbasis Masyarakat (SBM) sebagai pilihan bagi masyarakat miskin perkotaan. Latar Belakang Kondisi sanitasi lingkungan yang buruk di kawasan miskin perkotaan mengakibatkan kerugian ekonomi serta menurunkan kualitas hidup, terutama di kalangan wanita dan anak-anak. Situasi sanitasi yang parah menyebabkan berulangnya epidemi infeksi perut sehingga keberjangkitan penyakit thypus di Indonesia tercatat tertinggi di Asia Timur. Akibatnya kerugian ekonomi yang diderita diperkirakan sebesar 47 triliun rupiah per tahun (4,4% PDB 1997) atau setara dengan Rp 120.000 per rumah tangga per bulan. Kondisi sanitasi lingkungan yang buruk di kawasan miskin perkotaan tentu berkaitan dengan sistem pembuangan limbah tinja yang ada saat ini. Sarana yang umum digunakan di perkotaan bisa dikategorikan dalam: ! Sistim sanitasi terpusat (sewerage system) yang dibangun di beberapa kota besar dengan cakupan pelayanan yang sangat tidak berarti ! Pembuangan limbah tinja setempat (on site) yang pada umumnya terdiri atas jamban dengan atau tanpa tangki septic. Jenis inilah yang populer digunakan saat ini ! Pembuangan limbah langsung ke badan sungai atau lapangan.
Presentase Pembuangan Akhir Limbah Tinja Perkotaan di Indonesia Jenis Sarana
Persen
Tangki Septik Kolam/sawah Sungai/danau Lobang Tanah Pantai/Lapangan Lainnya
63.07 3.28 16.70 14.44 1.28 1.23
BPS2002
Tujuan SANIMAS Dengan terbatasnya opsi pembuangan limbah yang ada saat ini, SANIMAS bertujuan untuk mengenalkan pilihan lain, yaitu Sistem Pembuangan Limbah Berbasis Masyarakat. Upaya ini diharapkan bisa menjadi pilihan pemerintah setempat dalam strategi pembangunan sanitasinya. Pendekatan yang Tanggap Pada Kebutuhan (TPK) Saat ini SANIMAS sedang diujicobakan di tujuh kota, yaitu Blitar, Pasuruan, Kediri, Mojokerto, Sidoarjo, dan Pamekasan di Jawa Timur dan Denpasar di Bali. Lokasi terpilih melalui proses yang cukup panjang. Pertama, dilakukan pengenalan SANIMAS kepada 21 kota di Jawa Timur (15) dan Bali (6) yang berkepadatan penduduk di atas 700 orang per ha. Juga disampaikan bahwa selanjutnya sebuah seminar akan diselenggarakan dengan tujuan mendiskusikan SANIMAS secara lebih rinci. Kota yang berminat dipersilakan berpartisipasi dengan syarat partisipan terdiri atas seluruh sektor terkait dan bersedia menyediakan biaya perjalanan. Ternyata seluruh kota mengirimkan wakil masing-masing dan secara aktif berpartisipasi dalam seminar. Pada akhir pertemuan disampaikan bahwa kegiatan ini juga bertujuan untuk melakukan seleksi kota karena SANIMAS hanya mampu memfasilitasi maksimum delapan kota. Syarat yang disepakati bersama untuk ikut serta: ! Bersedia menyediakan anggaran pendamping ! Menentukan sektor penanggung jawab kegiatan ! Memilih dan menempatkan dua fasilitator pendamping setempat Peminat dipersilakan mengirimkan surat ajuan dengan mencantumkan syarat yang telah disepakati. Ternyata 12 kota menanggapi tawaran tersebut dengan mengirimkan surat minat. Ke-12 kota adalah Bangli, Gianyar, dan Denpasar di Bali, Pamekasan, Mojokerto, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, Blitar, Kediri, Batu, dan Malang di Jawa Timur. Dalam proses seleksi lanjutan kota Probolinggo, Malang, Batu dan Gianyar tidak mencapai skore yang telah ditetapkan. Selanjutnya Nota Kesepahaman (MoU) dengan kedelapan kota tersisa
12
ditanda tangani. Namun, Bangli akhirnya mengundurkan diri karena DPRD setempat tidak setuju untuk menyediakan anggaran pendamping. Dalam proses seleksi masyarakat, pendekatan Tanggap Pada Kebutuhan juga diberlakukan. Selama proses tersebut diselenggarakan sepuluh kelompok masyarakat berkompetisi untuk mendapatkan fasilitasi SANIMAS. Melalui proses kompetisi pada akhirnya delapan kelompok masyarakat terpilih untuk mendapatkan fasilitasi SANIMAS. Selain pendekatan yang tanggap terhadap kebutuhan ada dua prinsip penting lain yang diterapkan SANIMAS. Pilihan teknologi sarana ditentukan oleh masyarakat sendiri. Fasilitator sekadar menyampaikan ragam pilihan teknologi yang ada dan untung rugi dalam penggunaannya. Prinsip lain, masyarakat bertanggung jawab dalam pembangunan fisik sarana dan pengelolaan dana yang bersumber dari swadaya, pemerintah, SANIMAS dan LSM (BORDA) untuk beberapa kasus. Tahapan SANIMAS Ada tiga komponen dalam tahapan pelaksanaan SANIMAS. Pertama: Pengembangan Kapasitas Penerapan SBM. Tujuannya, mendefinisikan aturan-aturan proyek, pengembangan ragam teknologi SBM, dan pembuatan perangkat implementasi untuk diuji dan didemonstrasikan. Keluaran yang dihasilkan dari komponen pertama terdiri atas: ! Kompilasi, analisa dan sintesa pelajaran yang dipetik dari dalam dan luar Indonesia ! Aturan dan persyaratan kelayakan untuk berpartisipasi dalam SANIMAS ! Ragam pilihan teknologi SBM ! Modul pelatihan untuk lembaga fasilitasi dan pemerintah setempat Komponen Kedua: Promosi dan Demonstrasi SBM. Tujuannya adalah pengembangan keahlian, pengetahuan dan kesadaran SBM sebagai pilihan sanitasi yang layak diterapkan di lingkungan miskin perkotaan. Salah satu keluaran dari komponen ini adalah terwujudnya sebuah sistem Sanitasi Berbasis Masyarakat yang merupakan pilihan dan kesepakatan seluruh warga pengguna. Seluruh, perlu digaris bawahi karena satu keluarga yang tidak setuju bisa saja membatalkan pembangunan SBM, walau seluruh proses yang telah dilalui merupakan kesepakatan warga.
Ada dua pilihan menyangkut pelayanan SBM yang umum dipilih oleh warga pengguna. Pada hakekatnya warga memilih sarana sanitasi yang dapat memberi rasa nyaman dan prestisius. Untuk itu warga berharap dapat memilih SBM dengan sambungan rumah, namun kondisi lingkungan setempat ternyata berpengaruh pada pilihan tersebut. Lokasi dengan kondisi: ! Kontur tanah yang relatif rata ! Dilanda banjir rutin ! Tanah terbatas, bahkan untuk pembangunan jamban sekalipun ! Susunan rumah padat/digunakan sebagai rumah sewa Warga tidak mempunyai pilihan selain memilih MC/ MCK sebagai sarananya. Dari tujuh kelompok masyarakat yang difasilitasi SANIMAS, empat kelompok beruntung dapat membangun sarana dengan sambungan rumah sedangkan sisanya terpaksa membangun MC/MCK. Untuk pembangunannya ada empat sumber pendanaan: masyarakat (tunai dan bahan), pemerintah setempat, SANIMAS, dan untuk beberapa kasus kekurangan biaya disediakan oleh BORDA. Secara fisik sarana diperkirakan akan selesai pada bulan November 2003. Komponen Ketiga: Manajemen Pelaksanaan SANIMAS. Dana pelaksanaan SANIMAS yang berupa hibah disediakan oleh Pemerintah Australia melalui AusAID. Penanggung jawab harian kegiatan dikendalikan oleh sebuah LSM, yaitu Bremen Overseas Research and Development Asociation atau biasa disebut BORDA yang bekedudukan di Kayen No. 176, Jl. Kaliurang Km. 6.6, Sleman Yogjakarta. BORDA dibantu oleh tiga LSM lainnya yaitu Lembaga Pengkajian Kemasyarakatan & Pembangunan (LPKP) yang membawahi Pasuruan, Blitar, dan Kediri berkedudukan di Malang, Jawa Timur. Bina Ekonomi Sosial Terpadu (BEST) sebuah LSM lainnya bertanggung jawab untuk Pamekasan, Sidoarjo dan Mojokerto,berkedudukan di Surabaya. Sedangkan untuk Denpasar penanggung jawabnya adalah Bali Fokus yang berkedudukan di Bali. Di tingkat warga, SANIMAS difasilitasi oleh dua fasilator lapangan. Satu orang merupakan staf dari dinas terkait, dan yang lainnya adalah staf yang direkrut dari LSM setempat. Kegiatan SANIMAS akan berakhir April tahun 2004, di mana akan dilaksanakan sebuah seminar tingkat Nasional sehingga pelajaran yang didapat selama uji coba konsep SANIMAS dapat didesiminasikan.
13
Water and Sanitation for Low Income Communities Project (WSLIC) II
B
Tujuan anyak penduduk perdesaan masih tergantung pada sumber air minum tradisional. Padahal Proyek ini bertujuan meningkatkan status kesehatan, sumber air itu tak jarang lokasinya sulit dijangkau, debitproduktivitas serta kualitas hidup masyarakat nya tak mencukupi pada saat musim kering, kualitasnya berpenghasilan rendah melalui perubahan perilaku, belum memenuhi syarat untuk dikonsumsi secara pelayanan kesehatan berbasis lingkungan, penyediaan langsung, dan jumlahnya tidak mencukupi kebutuhan masyarakat desa. Kondisi yang buruk itu menjadi hambatan yang sangat besar bagi wanita dan anak-anak karena waktunya tersita untuk mendapatkan air bagi keperluan mencuci, memasak, dan minum. Selain itu, banyak keluarga berpenghasilan rendah dan berada di lokasi terpencil membuang kotorannya di tempat terbuka atau sungai. Kebiasaan buruk ini sering menimbulkan terjangkitnya penyakit diare atau lainnya ke masyarakat yang sama-sama menggunakan sumber air tersebut. Proyek WSLIC-1 telah ber- Tinjau: Kelompok kerja AMPL sedang meninjau proyek WSLIC di Jawa Timur langsung pada tahun 1993-1999 untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut. Dari air minum dan sanitasi yang aman, cukup dan mudah hasil studi dampak kesehatan terhadap pembangunan dijangkau, berkesinambungan dan efektif melalui sarana air minum dan sanitasi lainnya terlihat adanya partisipasi masyarakat. penurunan tingkat penyakit diare hingga sepertiganya. Namun proyek WSLIC-1 menghadapi kendala Lokasi kerumitan penyaluran administrasi keuangan. Proyek Proyek ini dilaksanakan di tujuh propinsi yakni Jawa ini dilanjutkan kembali dengan WSLIC-2 yang berakhir Timur, Nusa Tenggara Barat, Sumatra Barat, Sumatra pada 2006. Total dana yang disediakan untuk proyek Selatan, Bangka-Belitung, Jawa Barat, dan Sulawesi kedua ini sebesar 106 juta dollar AS dari IDA (World Selatan. Pemilihan propinsi ini didasarkan kriteria: Bank), pemerintah Indonesia, dan pemerintah Australia tingkat terjangkitnya penyakit diare, tingkat kemiskinan, melalui AusAID ditambah dana masyarakat. dan tingkat pelayanan air bersih dan sanitasi.
14
Metoda WSLIC-2 mempunyai empat komponen utama yakni peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat, peningkatan kesehatan dan sanitasi melalui pelayanan kesehatan dan perubahan perilaku, penyediaan sarana air minum dan sanitasi, serta pengelolaan/manajemen proyek. Proyek ini menerapkan suatu metode pendekatan yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Seluruh anggota masyarakat memiliki kesempatan untuk terlibat (berpartisipasi) dalam pemilihan kegiatan untuk kesehatan, air minum dan sanitasi, dengan fokus khusus pada permintaan perempuan dan masyarakat miskin. Metode yang digunakan adalah PHAST (Participatory Health and Sanitation Transformation/ transformasi hidup bersih dan sanitasi dengan menggunakan metode partisipatori). Metode ini didasari oleh metodologi partisipatif lain yakni SARAR (Percaya diri, pemberdayaan budi, perencanaan kegiatan, dan tanggung jawab bersama). Dengan metode tanggap kebutuhan tersebut masyarakat terlibat dari mulai perencanaan, pelaksanaan, sampai pemeliharaan. Masyarakat menentukan sendiri pilihan teknologi sarana yang akan dibangun. Kegiatan mereka didanai oleh hibah desa yang berasal dari Bank Dunia dan bantuan pemerintah daerah yang mencakup 80 persen dari total pembiayaan. Selebihnya dari kontribusi masyarakat berupa 4 persen tunai, dan 16 persen barang dan tenaga (in-kind). Hingga Agustus 2003, tercatat ada 870 desa yang masuk daftar terpilih. Yang sedang berproses ada 779 desa. Yang sudah menandatangani kontrak ada 387 desa. Sedangkan yang telah selesai melaksanakan proyek sebanyak 221 desa. Sampai akhir tahun ini diperkirakan akan ada seribu desa yang terlibat dari 2.000 desa yang ditargetkan proyek WSLIC-2 hingga 2006. Kendala Sebagai sebuah proyek baru yang penuh inovasi aplikasi metode MPA, WSLIC-2 pun menghadapi kendala. Di awal proyek, kendala itu muncul karena keterbatasan sumber daya manusia yang mengerti
metode yang diterapkan. Akibatnya, proyek yang seharusnya telah berjalan pada 2001 tersendat. Proyek harus mempersiapkan sumber daya manusia terlebih dahulu. Proyek merekrut LSM dan konsultan kemudian melatihnya. Mereka kemudian baru melatih para fasilitator. Kendala lainnya adalah sistem administrasi keuangan yang langsung masuk ke rekening masyarakat. Cara seperti ini belum diatur dalam sistem perundangan yang ada. Oleh karena itu, proyek harus mempersiapkan terlebih dahulu agar masyarakat bisa mengelola uang tersebut secara bertanggung jawab dengan standar akuntansi yang bisa diaudit. Audit dilakukan terhadap 60 persen Tim Kerja Masyarakat (TKM) tiap tahun. Ada hal khusus lain yang perlu dipikirkan ke depan yakni berkaitan dengan opsi kesehatan. Apakah komponen kesehatan ini harus dari bawah? Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa Tim Koordinasi Kabupaten (TKK) tak mengikuti proses sejak awal. Tak heran jalinan komunikasi berlangsung kurang harmonis. Rencana ke depan Untuk mengatasi tersendatnya komunikasi di antara pelaksana di tingkat kabupaten maka akan dibentuk semacam tim teknis yang melibatkan pihak-pihak terkait yang menangani aspek teknis kesehatan, pemberdayaan masyarakat dan lainnya agar semuanya mengetahui proses yang terjadi sehingga koordinasi di lapangan berlangsung dengan baik.
15
WAWASAN
Memberdayakan Tanpa Memaksakan Pada tahun 1997-1998, Water and Sanitation Program Bank Dunia dan IRC International Water and Sanitation Center menyusun sebuah metode pemberdayaan masyarakat yang dikenal sebagai Methodology for Participatory Assesment (MPA). Metode ini merupakan gabungan dari metodologi sebelumnya yakni Minimum Evaluation Procedures (MEP) dan SARAR (Self-esteem, Associative strength, Resourcefulness, Action planning, Responsibilty). Metode ini telah diujicobakan pada tahun 1998-1999 di 88 komunitas pengelola air dari 18 proyek di 15 negara. Studi itu dilaksanakan oleh tim dari universitas, LSM lokal dan nasional, instansi terkait, dan pelaksana proyek. Dari studi itu diperoleh pelajaran bahwa Sarana Air Bersih (SAB) yang sinambung adalah SAB yang dapat memuaskan sebagian besar pengguna termasuk mereka yang berpenghasilan rendah. Pelayanan dianggap memuaskan apabila dapat dirasakan manfaatnya dan penggunaan SAB yang efektif, dan hal ini terjadi karena sebagian besar masyarakat memiliki akses (paling tidak 80%). Pelayanan yang sinambung dan penggunaan yang efektif ada kaitannya satu sama lain dengan program yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Hal ini dapat terjadi kalau dari awal para pengguna dilibatkan dalam perencanaan untuk memberikan suara dan mempunyai hak pilih. Selain itu terdapat kesetaraan dalam pengelolaan sarana dan berbagi beban kerja serta manfaat. Kesemuanya mensyaratkan partisipasi masyarakat dalam berkontribusi, pengawasan pada pelaksanaan proyek , dan berbagi tanggung jawab secara transparan . Akhirnya disimpulkan terdapat lima aspek yang mempengaruhi kesinambungan sebuah proyek. Lima aspek itu adalah: Kesinambungan Teknis Kesinambungan tehnis terjadi kalau perencanaan
dilakukan masyarakat dan mempertimbangkan jenis teknologi yang dimanfaatkan sesuai dengan kondisi masyarakat. Kesinambungan Finansial Kesinambungan finansial didapatkan jika masyarakat terlibat dalam perencanaan. Selain itu, dalam menetapkan biaya operasi dan pemeliharaan serta iuran telah melibatkan semua kelompok masyarakat (kaya/ miskin, laki/perempuan). Iuran ditarik berdasarkan tingkat pelayanan yang didapatkan pengguna atau jumlah konsumsi air bersih setiap KK. Kesinambungan Lingkungan Kesinambungan lingkungan akan terjadi bila perencanaan oleh masyarakat telah memperhatikan aspek lingkungan dalam kaitannya dengan sumber air yang dimanfaatkan dan pembuangan air limbah. Kesinambungan Institusi Kesinambungan institusi merupakan proses pembentukan badan pengelola yang telah memperhatikan kesetaraan gender dan pelibatan kelompok miskin, serta mewujudkan nilai-nilai demokrasi dan transparansi Kesinambungan SosialKesinambungan Sosial Kesinambungan sosial akan terjadi kalau seluruh kelompok masyarakat diberikan kesempatan menetapkan pilihan teknologi, jenis sarana, tingkat pelayanan, jenis pelatihan termasuk kelompok masyarakat yang disertakan dengan memperhatikan nilai-nilai Demand Responsive Approach (DRA). Seluruh kelompok masyarakat telah menyumbangkan suaranya dalam pengambilan keputusan (suara dimaksudkan sebagai kondisi ketika seseorang dapat mengeluarkan pendapatnya dan didengar) mengenai bentuk dan besarnya kontribusi dan iuran, penetapan mekanisme pengelolaan sarana, serta pemilihan anggota badan pengelola sarana.
16
Dengan menggunakan kelima aspek ini agar dapat meningkatkan proses perencanaan yang tanggap pada kebutuhan, MPA menggunakan metode partisipatif, yang terdiri dari: Kegiatan
Kenyataan di lapangan memperlihatkan sarana yang dibangun tidak bertahan lama. Atau sering dikatakan menjadi monumen. Mengapa hal ini bisa terjadi? Berdasarkan berbagai studi yang dilakukan oleh WaMetode
Inventarisasi karakteristik desa Diskusi terbuka Klasifikasi sosial Klasifikasi kesejahteraan Pemetaan sosial Diskusi dan menggambar Penilaian penggunan sarana Kantung suara Penilaian pengambilan keputusan Matriks voting Penentuan sampel untuk transect walk dan pertemuan kelompok diskusi terfokus (FGD) menggunakan pemetaan sosial Penilaian pengelolaan, pemeliharaan dan pengelolaan keuangan Diskusi dengan anggota badan pelayanan pengelola (baik laki-laki dan Penilaian sejarah pembangunan pelayanan perempuan) Penilaian divisi pembagian beban kerja dan manfaat Review pekerjaan sistem pelayanan Transect walks, dilengkapi dengan Skala pemeringkatan oleh para pengguna penilaian rating scale dan checklist untuk Penilaian terhadap non-pengguna sarana air bersih dan sanitasi Penilaian kepuasan pengguna terhadap permintaan Ladders, Card sorting Divisi beban kerja dan manfaat Pemilihan kartu (card sorting) Pleno hasil keseluruhan kegiatan oleh masyarakat Presentasi skor-skor dan diskusi terbuka Inventarisasi kelembagaan yang mempengaruhi pelayanan Diskusi terbuka, pen-skor-an, kantung suara Informasi akan berguna untuk membuat dasar karakteristik sosial dan sarana pelayanan di masyarakat menurut pandangan seluruh komponen masyarakat dalam pleno desa. Masyarakat dapat mencocokkan kebutuhannya dengan pilihan teknis, kemampuan dan kemauan untuk membayar di antara kelompok yang berbeda serta menilai tingkat kebutuhannya sendiri. MPA tidak hanya dapat digunakan oleh masyarakat tapi juga bagi semua komponen yang terkait seperti pengelola layanan masyarakat, pelaksana proyek, manajer proyek, dan pengambil keputusan. Bagaimana dengan Indonesia? Di Indonesia sejak tahun 1980 telah banyak dibangun sarana air bersih dan sanitasi. Pembangunan sarana-sarana tersebut dilaksanakan melalu berbagai proyek yang dibiayai baik dari Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara, negara donor, lembaga donor diantaranya bank dunia.
ter Sanitation Program (WSP), kegagalan atau ketidak kesinambungan proyek itu terjadi akibat ketiadaan rasa memiliki masyarakat. Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai lokasi yang sesuai bagi pemanfaatan metode MPA. Bagi Indonesia, metode ini bisa dikatakan baru. Karenanya berbagai kendala muncul di lapangan. Berdasarkan pengalaman, justru yang agak sulit menerima metode ini adalah para pengambil keputusan dan pengelola proyek. Mengapa? Selama ini mereka terbiasa mengambil kebijaksanaan yang top down dan bersifat instruksional sehingga sulit untuk menerima aspirasi masyarakat. Mereka juga jarang turun langsung ke tengah-tengah masyarakat. Banyak di antaranya berpandangan bahwa masyarakat itu tak dapat berdaya dengan sendirinya.
17
Tak Sinambung: Pembangunan yang dipaksakan tidak akan berkesinambungan. Gambar di atas menunjukkan betapa masyarakat tak peduli dengan bangunan fisik yang rusak padahal bangunan tersebut memiliki peran penting bagi kelangsungan hidup mereka.
Dari sisi pelaksanaan MPA, sebenarnya tak ada kendala yang berarti. Hanya saja MPA akan lebih mudah diterapkan oleh fasilitator yang masih mau belajar. MPA sulit diaplikasikan oleh fasilitator yang pola pikirnya telah terbentuk dan cenderung lebih suka mengajar daripada belajar. Pemberdayaan dengan menggunakan MPA itu dimungkinkan dengan kelompok masyarakat manapun. Apakah kelompok miskin, kaya, berpendidikan, bahkan buta huruf sekalipun. Metode itu bisa diterapkan dengan cara-cara yang gampang dimengerti oleh masyararakat. Dengan kata lain MPA dapat disesuaikan dengan kondisi. Sebuah contoh, di Laos, penerapan metode ini menemui kesulitan untuk mengklasifikasikan berapa penduduk kaya dan miskin. Karena di sana pembedaan seperti itu tidak diperbolehkan. Dengan bahasa masyarakat setempat ternyata pembedaan itu bisa terwujud. Disebutkan masyarakat terdidik yang dicirikan misalnya dengan penggunaan perhiasan yang banyak,
punya jabatan sehingga punya penghasilan tetap dan ada masyarakat tidak mengenyam pendidikan karena mereka buruh tani dan tidak punya penghasilan tetap. Bagi masyarakat, yang penting mereka mengerti/ memahami dan mampu mengungkapkan. Dengan simbol/gambar pun tak jadi soal, asalkan mereka bisa menyampaikan suaranya dan menentukan pilihan tanpa paksaan. Melihat keberhasilan penerapan MPA ini secara nyata, bukan teori, banyak permintaan datang dari sektor dan proyek-proyek lain. Negara lain pun seperti Laos, Cambodia juga Vietnam telah mengadopsi metode ini. Metode ini telah memberikan dampak terhadap perkembangan kebijakan pemerintah setempat termasuk juga terhadap lembaga lain yang bergerak di luar sektor air bersih dan sanitasi. Tentang kemungkinan penerapan metode ini bagi sektor lain, tidak ada masalah. Metode bisa sama. Hanya saja perlu penyesuaian indikator. (Disarikan dari wawancara dengan Ratna I. Josodipoero, Hygiene Education Specialist, WSP.)
18
Mencuci Tangan (Handwashing)
A
wal Oktober 2003 kami menerima undangan pertemuan dari WSP-EAP World Bank dengan agenda membahas Program Handwashing. Banyak pertanyaan berseliweran di benak kami. Tentu saja kita semua tahu Mencuci Tangan sudah menjadi bagian dari tradisi umat beradab. Tetapi adakah hal yang demikian penting sehingga Mencuci Tangan perlu dibahas dalam sebuah pertemuan yang dihadiri oleh wakil dari Bank Dunia Jakarta, USAID, UNICEF, John Hopkins University, Universitas Indonesia, Koalisi Untuk Indonesia Sehat, Bappenas, dan Departemen Kesehatan? Apalagi salah satu agenda pertemuan ini adalah menjadikan Indonesia sebagai negara kelima di dunia yang akan terlibat dalam Global Initiative for Handwashing yang dilahirkan oleh Bank Dunia pada tahun 2000. Artikel berikut tidak akan berusaha menjelaskan yang terjadi dalam pertemuan tersebut, tetapi lebih mengantar kita untuk memahami lebih jauh tentang Mencuci Tangan. Kilas Balik Sejarah Mencuci Tangan sebenarnya dimulai pada abad 19 ketika banyak wanita di Eropa dan Amerika meninggal setelah melahirkan. Jumlah yang meninggal mencapai sekitar 25 persen dari jumlah wanita yang melahirkan. Penyebabnya adalah Streptococcus pyogenes bacteria. Kemudian di awal tahun 1843 Dr Oliver Wendell Holmes menganjurkan mencuci tangan sebagai langkah pencegahannya. Ia mempercayai
bahwa kasus tersebut dipicu oleh perilaku dokter sendiri. Adalah Dr Ignaz Semmelweis pada tahun 1850 yang mengamati bahwa tingkat kematian wanita yang melahirkan tiga kali lebih banyak terjadi pada kasus yang ditangani dokter dibanding yang ditangani oleh tenaga non-medis. Hasil pengamatannya kemudian menunjukkan bahwa para dokter tidak mencuci tangan dahulu sebelum membantu ibu melahirkan. Padahal para dokter tersebut baru saja menangani pasien lain atau bahkan baru saja mengotopsi mayat. Ia menganjurkan untuk mencuci tangan terlebih dahulu sebelum para dokter melakukan tindakan. Hasilnya tingkat kematian menurun tajam. Ironisnya, tanpa mempertimbangkan fakta tersebut, Dr Semmelweiss dikucilkan oleh koleganya sendiri. Mungkin saja mencuci tangan masih hal yang aneh pada saat itu. Ketersediaan air bersih yang relatif masih sulit, serta dibutuhkan upaya besar untuk memanaskannya, serta air masih dikaitkan dengan penyakit malaria dan demam tifoid yang ditengarai menjadi penjelasan bagi penolakan dari para dokter. Tentunya kelihatan janggal untuk ukuran kita sekarang bahwa kaum medis justru menolak mencuci tangan. Penolakan terus berlanjut bahkan dalam seminar di Academy of Medicine di Paris pada tahun 1879 penyebaran penyakit melalui tangan masih diragukan. Adalah Louis Pasteur sendiri dalam seminar tersebut yang berteriak lantang mengatakan bahwa “Kalian para dokterlah yang membunuh para wanita yang habis
19
melahirkan tersebut dengan membawa mikroba mematikan dari pasien yang sakit ke wanita yang melahirkan.’’ Kisah di atas memberi gambaran perjalanan awal kesadaran mencuci tangan sebagai suatu langkah pencegahan penyebaran penyakit. Dibutuhkan waktu dan usaha yang tidak sedikit sebelum sampai pada tahap mencuci tangan menjadi bagian dari kebudayaan manusia beradab dan tidak sekadar bagian dari rutinitas para dokter. Mencuci tangan sekarang sudah menjadi materi pelajaran di hampir semua sekolah, bahkan fasilitas mencuci tangan sudah menjadi bagian dari fasilitas publik. Seberapa Pentingkah Mencuci Tangan? Mari kita melihat pada angka yang dapat kita temui pada beberapa hasil penelitian. Pada tahun 1996, dengan tidak mencuci tangan secara baik ternyata menjadi penyumbang 40 persen dari penyakit yang disebabkan makanan yang terkontaminasi termasuk salmonella di Amerika Serikat. Angka ini merujuk pada jumlah 80 juta orang yang mengalami keracunan makanan yang berdampak pada peningkatan biaya kesehatan, berkurangnya produktifitas, dan jumlah yang meninggal mencapai 10.000 jiwa. Lebih dari 2 juta anak-anak meninggal di negara berkembang setiap tahun diakibatkan oleh diare. Setiap menit terdapat 15 orang terkena diare atau 300 kasus per seribu penduduk. Menurut Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan, diare menjadi penyebab kematian kedua pada Balita di Indonesia. Sementara tinjauan terbaru dalam The Lancet Infectious Diseases Journal menyarankan bahwa 42-47 persen dari seluruh insiden diare dapat dicegah hanya dengan mencuci tangan. Hasil penelitian di Pakistan menunjukkan mencuci tangan mengurangi insiden diare sampai sekitar 44 persen. Studi oleh Khan (1982) membuktikan bahwa mencuci tangan merupakan cara efektif mencegah diare. Studi lainnya oleh Alam (1989) dan Clemens (1987) membuktikan bahwa ibu yang mencuci tangan merupakan faktor yang berperan penting untuk menekan tingkat kejadian diare pada anak. Hal ini membuat program penyediaan air bersih
dan perbaikan sanitasi akan lebih efektif jika dilengkapi dengan program mencuci tangan. Penelitian lain lagi menunjukkan bahwa mencuci tangan bisa mengurangi penularan penyakit infeksi hingga 50 persen. Sumber lain menyatakan dapat mengurangi bahkan sampai 65 persen. Selain itu, mencuci tangan secara teratur dapat mengurangi penyebaran bakteri yang tahan terhadap antibiotik. Beberapa fakta di atas menunjukkan pentingnya mencuci tangan sebagai alat pencegahan penularan beragam penyakit. Jadi, cuci tanganlah! Benarkah Mencuci Tangan sudah Membudaya? Sebuah studi oleh Applied Ecology Research Group University of Wesminster Inggris menyatakan bahwa hanya 32 persen (dari 292 pengguna toilet yang dipantau) yang mencuci tangan setelah menggunakan toilet. Sementara hasil pengamatan di 5 (lima) kota metropolitan Amerika Serikat yang dilakukan oleh the American Society of Microbiology’s Clean Hands Campaign menunjukkan bahwa walaupun 95 persen orang yang dijadikan sampel menyatakan bahwa mereka mencuci tangan setelah menggunakan toilet umum, tetapi berdasarkan pemantauan ditemukan bahwa hanya 67 persen yang benar-benar mencuci tangan. Bagaimana di Indonesia? Sebuah lembaga di Indonesia melakukan pengamatan di salah satu toilet Jakarta Hilton Convention Center (JHCC) di bulan Juni 2003 terhadap 33 laki-laki pengguna toilet. Ternyata hanya 8 (delapan) orang yang mencuci tangan setelah menggunakan toilet. Walaupun data ini tidak dapat dikatakan mewakili kondisi Indonesia tetapi ternyata pada toilet yang nota bene berada di Jakarta pun mencuci tangan masih belum banyak yang melakukannya. Apakah mereka tidak mengetahui pentingnya mencuci tangan? Berdasarkan penelitian di Inggris, sepertinya mereka menyadari pentingnya mencuci tangan tetapi mereka mengemukakan beberapa alasan lain seperti toilet yang mereka gunakan kelihatan bersih, mereka tidak menyentuh apapun selain milik sendiri, atau tangannya masih kelihatan bersih—kendati bersih bukan berarti tidak ada kumannya.
20
Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa walaupun mencuci tangan disepakati sebagai tindakan yang perlu tetapi dalam prakteknya masih jarang dilakukan. Bahkan di negara yang kita anggap sebagai sebuah negara maju seperti Inggris sekalipun. Mencuci Tangan Dapat Mencegah Penyebaran Penyakit Bakteri dan virus dapat menyebar melalui beragam cara antara lain melalui air dan makanan yang tercemar; riak batuk atau bersin; tangan kotor; permukaan (tanah, meja dan lainnya) yang tercemar; cairan penderita. Jika kita dengan secara tidak sengaja menyentuh bakteri atau virus melalui sumber di atas maka jutaan mikroba akan berada di tangan kita masing-masing. Sebagian besar tidak berbahaya, tetapi beberapa jenis mikroba dapat menyebabkan flu, dan diare. Hanya dengan menyentuh hidung, mata atau mulut, maka kita akan segera terinfeksi. Mencuci tangan merupakan langkah pertama melawan penyebaran beragam jenis penyakit mulai dari flu, meningitis, hepatitis A, dan diare. Langkah sederhana mencuci tangan ternyata ampuh mencegah penyebaran penyakit. Terlepas dari beragamnya penyakit yang dapat dicegah dengan hanya mencuci tangan. Tetapi yang menjadi sektor perhatian bagi sektor air minum dan penyehatan lingkungan adalah menyangkut penyakit bawaan air seperti diare. Kapan harus mencuci tangan? Tidak dapat ditentukan seberapa sering seharusnya sehari kita mencuci tangan tapi paling tidak kita harus mencuci tangan ketika: · Sebelum makan dan memasak · Setelah dari kamar mandi · Setelah membersihkan rumah · Setelah menyentuh binatang · Setelah menjenguk teman yang sakit · Setelah membersihkan hidung, batuk, atau bersin
·
Setelah aktifitas di luar rumah seperti bermain, berkebun, berolahraga dan seba-gainya. Waktu yang dibutuhkan untuk mencuci tangan tidak lebih dari 2 menit. Cara Benar Mencuci Tangan Terdapat tiga tahapan sederhana mencuci tangan yang benar yaitu (a) cuci tangan melalui kran, pancuran atau gayung pembilas. Sebaiknya mempergunakan air hangat; (b) gunakan sabun (tidak perlu yang anti bakteri) selama 10 sampai 15 detik. Pastikan bagian tersembunyi seperti sela-sela jari dan lipatan buku jari ikut tersabuni; (c) keringkan dengan handuk atau tissu bersih.
21
CERMIN
MCK Jempiring Bukan MCK Moerdiono
S
ebagai daerah tujuan utama wisata dunia, Lombok, dan daerah Bali sekitarnya. Pulau Bali terkenal akan keindahan alam Sedangkan para pemilik tanah di Gang dan kebudayaannya. Namun demikian, di balik Jempiring, rata-rata mengontrakkan rumah atau keindahan yang disajikan, Kota Denpasar tanah mereka untuk tempat tinggal. “Namun sebagai ibukota Provinsi Bali bernasib “naas” sayang, tidak banyak pemilik tanah yang yang hampir sama dengan yang dialami kotamembangun fasilitas sanitasi yang layak bagi kota besar lainnya di penghuninya,” ujar Pulau Jawa. Pesatnya Yasa yang juga pembangunan, bekerja di Kantor pertumbuhan ekonomi Kelurahan Ubung ini. dan penduduk yang Made Yasa mentinggi menyebabkan catat populasi yang sebagian wajah Kota menghuni Gang Denpasar carut marut, Jempiring sekitar terlihat semakin padat 300 Kepala Kedan kumuh. luarga. Mereka rataBerapa lokasi kerata hidup sebagai kumuhan dapat dilihat pedagang kaki lima, secara nyata antara buruh bangunan, dan lain di Banjar Sari dan pekerjaan sektor Banjar Batur di Keinformal lainnya. lurahan Ubung, KecaRendahnya kesadamatan Denpasar Ba- Kumuh: Gang Jempiring terlihat kumuh sebelum ada ran masyarakat dan rat. Bahkan menurut pembangunan MCK. tidak tersedianya keterangan Dinas fasilitas sanitasi yang Lingkungan Hidup dan Pekerjaan Umum, Gang memadai menyebabkan Banjar Sari Jempiring yang terletak di wilayah Banjar Sari berkembang menjadi salah satu kawasan padat menempati urutan pertama kampung kumuh di perkotaan (kampung kumuh) dengan Kota Denpasar. Banjar Sari yang terletak di permasalahan sanitasi terutama akibat belakang Terminal Ubung, terminal antar kota/ buangan tinja manusia. propinsi terbesar di Bali merupakan daerah Sebenarnya pemerintah sempat menaruh transit. Hal inilah yang menyebabkan Ubung perhatian atas kondisi fasilitas sanitasi yang khususnya Gang Jempiring berkembang minim di Gang Jempiring. Yasa mengakui menjadi pemukiman padat yang dihuni oleh masyarakat di sekitar Gang Jempiring pernah berbagai etnis dan daerah. mendapatkan bantuan dari pemerintah Orde I Made Yasa, Kepala Lingkungan Banjar Baru. Tepatnya pada tahun 1980. Saat itu Sari, mengatakan kebanyakan masyarakat pemerintah membangun 4 unit MCK. yang tinggal di Ubung berasal dari Jawa Timur,
22
Bali Fokus bersama BORDA pada bulan Juli tahun 2002 yang lalu. Dari proses identifikasi, perumusan masalah sampai dengan rekomendasi solusi yang pernah dilakukan oleh Bali Fokus, BORDA dan bersama-sama masyarakat Banjar Sari selama kurun waktu bulan Agustus sampai dengan Desember 2002 terungkap bahwa keberadaan MCK-MCK Moerdiono sudah sangat memprihatinkan, seperti kamar mandi dan WC-nya kotor, dan bau tak sedap. Lebih parah lagi, hampir semua MCK itu tanki septiknya jebol sehingga Pertemuan: Masyarakat Gang Jempiring berkumpul untuk kotoran (tinja) langsung dibuang ke saluran drainase terdekat. membicarakan apa yang terbaik bagi tempat tinggalnya. Beberapa hal lain yang “Masyarakat Banjar Sari mengenalnya dengan terungkap dalam perumusan masalah sanitasi sebutan ‘MCK Moerdiono’,” terang Yasa. di Gang Jempiring, Banjar Sari ialah bahwa Hanya saja fasilitas sanitasi tersebut kini tingkat kesadaran masyarakat untuk turut kondisinya sudah sangat memprihatinkan. merawat dan menjaga kebersihan fasilitas ‘’MCK Moerdiono hanya sempat bertahan umum sangat rendah. Penyebabnya rasa selama 4 tahun,” kata I Wayan Gandra salah memiliki fasilitas umum ini sangat rendah. satu pemilik MCK sumbangan tersebut. Gandra Bali Fokus sebagai organisasi swadaya mengakui bahwa selama ini MCK miliknya tidak masyarakat yang bergerak di bidang pernah terawat. Sejak tanki septik MCK penuh lingkungan hidup dan pengembangan dan tidak bisa disedot, Gandra kesulitan untuk masyarakat bekerja sama dengan BORDA mengatasinya, sehingga ia membuang begitu (Bremen Overseas Research Development saja kotoran MCK langsung ke saluran Association) sebuah lembaga non-profit yang drainase. Selain itu, menurut salah satu pemilik berpusat di Bremen, Jerman, menggagas sekitar 20 (dua puluh) rumah kos ini, air PAM sebuah proyek demonstrasi. Proyek yang menyalurkan air bersih untuk MCK jarang demonstrasi ini ditawarkan kepada masyarakat kalau tidak mau disebut tidak pernah mengalir. Gang Jempiring sebagai salah satu solusi dari Kesadaran masyarakat pun disinyalir sebagai permasalahan sanitasi yang mereka alami. penyebab cepatnya kerusakan MCK-MCK Sebuah proyek yang sarat dengan inovasi dan tersebut. Made Yasa yang juga pemilik salah juga teknologi tepat guna yang diyakini dapat satu MCK Moerdiono menceritakan menjaga kondisi MCK Jempiring hingga pengalamannya menemukan pembalut wanita bertahan lama dan berkelanjutan. “terkubur” dan menyumbat saluran pembuangan Proyek ini dikatakan inovatif karena MCK dari kloset. “Kami terpaksa memotong pipa Jempiring lahir dari kebutuhan dan partisipasi saluran air kotor agar tidak menyumbat kloset,” masyarakat. Proses pendekatan nonteknis/ papar Yasa. partisipatif dimulai sejak Juli-Agustus tahun Permasalahan yang berkaitan dengan 2002 yang lalu sampai dengan operasional sanitasi di atas terungkap pada waktu MCK Jempiring yang diresmikan pada hari pertemuan sosialisasi program Community Rabu tanggal 6 Agustus 2003. Dalam proses Based Sanitation yang diselenggarakan oleh
23
pendekatan partisipatif ini, masyarakat diajak Setelah melalui beberapa kali pertemuan, mengidentifikasi permasalahan yang ada dan pada tanggal 31 Januari 2003 yang lalu ditanmenentukan solusi yang dapat mereka lakukan datangani nota kesepakatan antara warga bersama. Masyarakat kemudian merumuskan Banjar Sari dan Bali Fokus yang pada intinya beberapa alternatif solusi permasalahan terdiri atas tiga hal. Pertama, warga Gang sanitasi di lingkungan mereka. Melalui Jempiring, Banjar Sari membutuhkan fasilitas beberapa kali pertemuan intensif, akhirnya pada sani-tasi. Kedua, warga di sekitar Gang akhir Bulan Januari 2003 yang lalu masyarakat Jempiring bersedia untuk berkontribusi dalam Banjar Sari se-pakat untuk membangun MCK pera-watan dan pe-meliharaan MCK dan baru di Gang Jempi-ring. terakhir, warga mendukung dibangunnya MCK Jadi proyek ini bukan lahir dari sebuah ruang baru bersedia untuk memelihara dan turut kosong, seperti yang biasa terjadi di masa lalu. menjaga kebersihan MCK itu. Bu-kanlah model pendekatan top down ala MCK Kemudian berdasarkan peta permasalahan Moerdiono yang membuat MCK Jempiring sanitasi di Gang Jempiring yang disusun oleh dapat berdiri di Banjar Sari. Karena hampir masyarakat, terdapat 3 calon lahan yang seluruh keputusan potensial untuk yang berkaitan dengan dibangun MCK. penyelesaian Setelah satu bulan permasalahan sanitasi survei teknis yang selalu dikonsultasikan lebih detail maka dan dikoordinasikan diperoleh kesepadengan masyakarat. katan lahan milik I “Kami sering melakuKetut Nasib yang kan pertemuan dengan akan dibangun masyarakat Banjar MCK baru. Kedua Sari, khususnya warga lokasi lainnya tidak di Gang Jempiring,” memenuhi syarat ujar Made Yudi Arsana, karena selain terlalu salah seorang prodekat dengan MCK gram officer Bali yang lama juga ada Fokus. “Ada sekitar 10 pemilik lahan yang kali pertemuan dengan Gotong Royong: Warga Gang Jempiring memberikan tidak setuju lahankontribusi tenaga bagi pembangunan MCK. masyarakat sebelum nya dibangun MCK. muncul solusi pemPembangunan bangunan MCK Jempiring,” tambah pria lulusan MCK Jempiring melalui pendekatan berbasis Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya masyarakat hanyalah salah satu keunggulan ini. MCK ini. Karena selain itu, MCK Jempiring Bahkan menurut Yudi, sebelumnya muncul 4 yang diresmikan oleh Walikota Denpasar pada alternatif, yaitu : hari Rabu tanggal 6 Agustus 2003 ini, juga 1. Membuat MCK di Balai Banjar Sari (tepat dilengkapi dengan teknologi pengolahan di balai Banjar Sari) limbah tepat guna (appropriate technology) 2. Membuat MCK umum baru di Gang yang dapat menghasilkan gas methan dan air Jempiring. buangan yang sesuai dengan baku mutu yang 3. Memilih sistem pemipaan bersama ditetapkan oleh pemerintah. Gas methan yang (komunal) dihasilkan oleh bangunan pengolah limbah Bio4. Renovasi MCK yang sudah ada digester yang berada tepat di bawah MCK ini
24
MCK BARU: Warga Jempiring akhirnya mampu membangun MCK baru dan sekaligus menjaga keberadaan MCK tersebut dengan sistem pengelolaan yang baik. Berbeda dengan MCK pada umunya, MCK Jempiring dihiasi lukisan sehingga menghilangkan kesan kumuh dan jorok.
dapat mencukupi kebutuhan memasak tiga keluarga. Selain itu MCK Jempiring juga memperkerjakan dua orang petugas penjaga kebersihan MCK selama 16 jam sehari. Kedua penjaga yang sekaligus merawat dan menjaga kebersihan MCK Jempiring ini dibagi atas dua giliran. Giliran pagi dan malam. Petugas pagi mulai bertugas dari jam 5 subuh sampai dengan jam 1 siang. Sedangkan yang bertugas malam, mulai dari jam 1 siang hingga tutup pada malam hari jam 9. Lalu bagaimana dengan air limbah MCK Jempiring ini? Adalah BORDA Indonesia yang telah berpengalaman selama 20 tahun dalam bidang pengolahan limbah cair yang memberikan dukungan teknis perencanaan IPAL atau Instalasi Pengolahan Air Limbah yang dibangun di bawah struktur MCK Jempiring.
Melalui teknologi yang dikenal dengan sebutan DEWATS (Decentralized Waste Water Treatment System), air limbah buangan dari MCK Jempiring diolah. “Kami memberikan garansi instalasi pengolahan limbah ini dapat berjalan dengan baik,” kata Yuyun Ilham, direktur Bali Fokus. Dan seperti yang dikatakan oleh warga Gang Jempiring, “MCK Jempiring memang bukan sekedar MCK.” Disarikan dari MCK Jempiring, Selayang Pandang, Bali Fokus, Denpasar
25
Pembelajaran Lokal Pada bulan September dan Oktober 2003, Pokja AMPL berkesempatan untuk meninjau lokasi proyek WSLIC-2 di Kabupaten Bima (NTB) dan Kabupaten Ponorogo (Jatim). Berikut laporannya: Air Telah Mengalir Namun Warga Totokan Belum Menetapkan Besaran Iuran Pada 7 Oktober lalu, dilakukan penyerahan sarana air bersih dan sanitasi yang dibangun oleh Proyek WSLIC 2 ke Kepala Desa Totokan di Kabupaten Ponorogo. Acara ini dihadiri oleh Bupati Ponorogo beserta segenap jajaran Pemda Kabupaten Ponorogo, DPRD Kabupaten Ponorogo, Ibu Pengurus PKK; Direktur Penyehatan Air dan Sanitasi (Depkes), Direktur Permukiman dan Perumahan (Bappenas), Tim Koordinasi Pusat, CPMU dan DPMU Kabupaten Ponorogo. Acara ini diselenggarakan oleh ke-7 desa lokasi WSLIC2 yang telah menyelesaikan kegiatan konstruksi sebagai wujud syukur mereka atas tersedianya air bersih bagi masyarakat. Penyerahan aset kepada masing-masing kepala desa dimaksudkan untuk meningkatkan rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat terhadap prasarana dan sarana, khususnya air bersih dan sanitasi, sehingga keberlanjutan pelayanan dapat dicapai. Desa Totokan, di Kabupaten Ponorogo, merupakan satu dari tujuh desa di kabupaten tersebut yang memperoleh proyek WSLIC-2. Selama ini warga desa tersebut, mendapatkan air dari saluran irigasi untuk mengisi sumur-sumur mereka. Pengaliran tersebut dilakukan bergilir setiap bulan sekali. Ada 2 sistem pengadaan air bersih untuk masyarakat Desa Totokan. Yang pertama adalah, perpipaan dengan sumber air berasal dari sumur dalam. Sumber air berada 130 meter di bawah permukaan tanah. Untuk mempompa air diperlukan tiga buah pompa. Air yang ditarik dari sumur dalam ditampung terlebih dahulu di sebuah reservoir besar untuk kemudian ditarik kembali oleh dua unit pompa yang terletak berjauhan. Kedua, pembangunan sumur gali sebanyak 9 unit. Rata-rata kedalaman sumur gali adalah 50-60 meter. Pekerjaan konstruksi kedua sistem ini dilakukan bersama-sama oleh masyarakat. Sedangkan penggalian sumur dilakukan oleh masyarakat sendiri. Untuk mengatasi kekurangan oksigen di dalam lubang sumur, masyarakat membuat saluran dari plastik yang digunakan untuk mengalirkan udara yang berasal dari kipas angin dari atas sumur. Dikarenakan Desa Totokan ini banyak mengandung bebatuan maka tidak jarang dalam menggali sumur sedalam 50 meter didapatkan batu (cadas) sebanyak 3-4 truk.
Hanya saja, sistem iuran dari masyarakat belum dapat diterapkan padahal masyarakat sudah menikmati air bersih. Diharapkan kelompok/unit pengelola bersama masyarakat dapat sesegera mungkin menentukan sistem pengelolaan, termasuk iuran. Yang pasti, salah satu pengaruh dari adanya air bersih adalah meningkatnya produksi bata yang diproduksi oleh masyarakat setempat. Dulunya air untuk mengaduk bata sulit didapatkan. (ML) Perpecahan Masih Rentan Warga Desa Tanah Putih, Kecamatan Sape, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, mengambil air dari sungai. Letaknya tidak jauh dari rumah-rumah mereka, namun agak sulit dijangkau karena konturnya yang terjal. Hanya sebagian kecil warga yang memperoleh air dari sistem perpipaan tetapi dengan debit air yang sangat kecil. Sekitar 5,4 km dari desa itu terdapat dua sumber air tapi dengan tingkat kesulitan tinggi untuk mencapainya. Salah satu sumber air telah digunakan oleh desa tetangganya dengan seizing penduduk desa tanpa kompensasi. Proyek WSLIC-2 berupa penyambungan pipa dari sumber air dan pemasangan public tap pada lima lokasi termasuk satu unit sekolah dasar. Namun terpilihnya kepala desa yang baru ternyata memicu perpecahan warga desa tersebut. Tim Kerja Masyarakat (TKM) akhirnya terpecah menjadi dua. Kondisi ini ditengarai akan berdampak pada keberlangsungan fasilitas yang telah dibangun. Belum lagi pembangunan konstruksinya dilakukan dengan penekanan biaya yang besar sehingga daya tahan bangunan. Dari kondisi ini, ada pembelajaran yang dapat diambil yakni partisipasi masyarakat desa sangat berperan dalam menekan biaya konstruksi khususnya pada lokasi yang sulit. Namun pada kondisi tertentu, penekanan biaya dilakukan dengan mengorbankan kualitas pekerjaan. Terdapat pemahaman yang berlaku umum selama ini bahwa masyarakat desa homogen dan tidak mudah terpecah. Tetapi pada kenyataannya masyarakat desa juga rentan terhadap perpecahan.(OM) Pada bulan September 2003, Pokja AMPL bersama dengan Bank Dunia melakukan peninjauan lapangan ke beberapa lokasi proyek SANIMAS. Berikut laporannya: Perlu Sosialisasi dan Kampanye Sebelum ada proyek SANIMAS, warga Kelurahan Bakalan, Kota Pasuruan biasa buang air di sungai. Dengan adanya SANIMAS, masyarakat diinformasikan mengenai pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat, sehingga
26
hampir seluruh kelompok masyarakat mengubah perilaku mereka dengan membangun sarana sanitasi di rumah mereka dan sambungan ke instalasi pengolahan limbah komunal. Sayangnya, rumah sakit yang berada di lokasi tersebut tidak mau menyalurkan limbah domestiknya ke instalasi pengolahan limbah. Hal ini perlu dikonfirmasikan dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan agar tidak menjadi pertanyaan oleh masyarakat, mengapa dinas kesehatan tidak mendukung proyek ini. Saat ini konstruksi baru dimulai, yaitu penggalian tanah. Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat secara bergotong royong. Kontribusi masyarakat sebesar Rp13.618.500; Pemda Rp174.639.841; SANIMAS Rp 49.985.038; sehingga total dana mencapai Rp 238.243.379. Proyek serupa sedang dibangun di Kelurahan Sukorejo, Kabupaten Blitar. Kegiatan konstruksi belum dimulai. Saat ini masyarakat baru membuat talud penahan bangunan karena instalasi pengolahan berada di sebelah sungai. Sarana sanitasi (jamban) nantinya akan dibangun di setiap rumah karena saat ini masyarakat telah memiliki kamar mandi tanpa jamban. Kontribusi masyarakat sebesar Rp 12.155.000, SANIMAS Rp 49.975.141, dan Pemda Rp 174.436.799. Total Rp 236.007.122. Sedangkan di Kelurahan Balowerti, Kota Kediri, pelaksanaan konstruksi instalasi pengolahan air limbah terkendala dana karena dana hanya berasal dari masyarakat sebesar Rp 7.321.113. Sedangkan kontribusi Pemda Rp 151.976.801 dan SANIMAS Rp 49.892.355 belum diterima oleh masyarakat. Berdasarkan informasi, dana bagi proyek ini telah tercantum dalam Perubahan Anggaran Keuangan (PAK). Beberapa pembelajaran dari proyek SANIMAS di tiga desa tersebut: 1. Kesadaran masyarakat akan pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat, khususnya yang terkait dengan pemakaian jamban dan pengolahan air buangannya (tinja), dapat ditumbuhkan melalui proses sosialisasi dan kampanye. Sehubungan dengan hal tersebut maka diperlukan media sehingga mempermudah proses pemberian informasi kepada masyarakat. 2. Bila masyarakat, termasuk pemerintah daerah, telah memahami pentingnya penyehatan lingkungan, maka willingness to pay dapat ditumbuhkan. Hal ini tercermin dari kontribusi yang diberikan, baik berupa uang (incash) ataupun barang dan tenaga (in-kind). 3. Dengan menginformasikan pilihan mengenai jenis teknologi, kelembagaan dan jenis pembiayaan kepada masyarakat, partisipasi masyarakat dapat lebih efektif.
4.
5.
6.
Detail desain dari jaringan perpipaan ataupun instalasi pengolahan limbah harus dilakukan sebaik mungkin untuk menghindari permasalahan yang mungkin timbul akibat kesalahan desain, misalnya air buangan tidak dapat mengalir karena kurangnya kemiringan pipa dari rumah penduduk ke instalasi pengolahan ataupun munculnya bau dari instalasi pengolahan. Masyarakat perlu diberikan informasi dan penjelasan mengenai pelaksanaan kegiatan operasi dan pemeliharaan agar pelayanan sanitasi tersebut dapat berjalan secara efektif dan berkelanjutan. Misalnya, pembersihan jamban secara periodik, tidak diperbolehkan membuang sampah apapun ke jaringan air buangan, tidak diperbolehkan memasukkan cairan pembersih ke saluran air buangan agar tidak mengganggu proses pertumbuhan mikroorganisme di instalasi. Pelaksanaan pembangunan, khususnya sanitasi berbasis masyarakat, tidak hanya memerlukan partisipasi masyarakat, tetapi juga dukungan dari semua pihak, seperti penyandang dana, pemerintah daerah, DPRD setempat ataupun NGO. (Savitri)
Penolakan Masyarakat Proyek SANIMAS belum selamanya dipahami oleh pihak-pihak terkait. Berdasarkan peninjauan ke Denpasar (Bali), Sidoarjo, dan Pamekasan (Jawa Timur), diperoleh data bahwa ketersediaan lahan menjadi salah satu faktor penentu dalam menentukan keberhasilan proyek. Di tiga tempat di wilayah tersebut, lokasi sulit didapatkan sehingga harus dipindahkan. Di Pamekasan lokasi belum disepakati dan ada kemungkinan proyek dihentikan. Selain itu pengertian kesepakatan masyarakat diterjemahkan sebagai kesepakatan mutlak, sehingga jika satu kepala keluarga saja yang tidak setuju maka dianggap tidak terjadi kesepakatan. Ini yang terjadi dalam pemindahan lokasi. Hal yang menarik adalah bahwa penolakan masyarakat hampir seluruhnya dimotori oleh pihak-pihak yang seharusnya mendukung. Di Denpasar pihak yang menolak adalah pegawai Dinas Kesehatan. Di Pamekasan dimotori oleh Puskesmas Pembantu. Dari kondisi ini diperoleh pembelajaran bahwa perlu disepakati tentang proses pengambilan kesepakatan di tingkat desa, apakah menggunakan prinsip kesepakatan mutlak (100 persen menyetujui) atau sekadar mayoritas (50 persen plus satu). Selain itu, perlu disadari sejak awal bahwa terdapat kondisi ekstrim ketika masyarakat ternyata tidak dapat menyepakati suatu kegiatan. Akibatnya proyek tak terlaksana. (OM)
27
Pembelajaran Internasional
Pemberdayaan di Mancanegara P
embangunan sektor air minum berbasis masyarakat telah dimulai sejak dekade sebelumnya di berbagai tempat di dunia. Menjadi menarik untuk mengetahui pengalaman berharga yang ditemui di dalam pelaksanaan pembangunan sektor air minum tersebut sebagai alat bantu pencerahan wawasan kita. Artikel berikut mengetengahkan beberapa pengalaman terkait tentang sistem pengumpulan denda (Pakistan), pengembangan norma baru (Guatemala); Mesir, Benin, Kamerun, Uganda. Benang merah yang ditarik dari beberapa pengalaman negara lain adalah (a) kearifan lokal yang dapat berupa aturan tradisional dapat diadopsi dan dipergunakan dengan hasil yang efektif seperti kasus Pakistan. Jika kemudian masyarakat menganggap hal aturan yang ada sudah kurang memadai maka dapat saja disusun aturan baru melalui proses konsultasi publik seperti yang terjadi di Guatemala; (b) masyarakat dan penyedia air minum dapat bekerjasama. Bentuk kerja samanya adalah penyedia mendistribusikan sampai titik distribusi utama untuk kemudian dilanjutkan oleh masyarakat ke rumah-rumah. penyedia air minum. Sebagai contoh adalah Mesir; (c) keterlibatan perempuan masih terbatas pada tahapan pengelolaan dan pada posisi tradisional seperti bendahara dan sanitarian. Kasus di Benin; (d) lahan merupakan kendala utama pembangunan air minum di perkotaan karena harganya yang mahal sebagaimana terjadi di Kamerun; (e) LSM dapat berperan dalam memperluas skala kegiatan tetapi terhambat oleh kapasitas yang terbatas seperti kasus di Uganda.
Pakistan: WASEP (Water Supply and Sanitation Extension Programme of the Aga Khan Planning and Building Service) Secara tradisional mereka mempunyai sistem pengaturan pengumpulan denda. Masyarakat mempekerjakan seseorang untuk menagih denda, yang dikenal dengan sebutan Zatoon. Ketika sebuah keluarga tidak berpartisipasi dalam kerja bakti maka Zatoon akan bertugas mengumpulkan denda dari keluarga tersebut. Sistem ini diadopsi oleh program air minum dengan cara
menugaskan Zatoon untuk mengkoleksi denda dari keluarga yang melanggar aturan. Jika keluarga tersebut menolak membayar maka pihak pengelola mempunyai wewenang untuk memutuskan aliran air ke keluarga tersebut. Bentuk denda beragam. Mulai dari denda bagi keluarga yang tidak memperbaiki saluran air yang rusak, denda bagi keluarga yang tidak menghadiri pertemuan. Sebagian dana yang terkumpul diberikan kepada Zatoon sebagai upah kerja, sementara selebihnya dipergunakan untuk operasi dan pemeliharaan.
Guatemala: The Aguacatán Case Study A Participatory Action Research project to support community water supply management in rural communities was implemented in 1994 Pengaturan kewenangan penyelenggaraan sektor air minum di Guatemala telah diatur dengan baik. Negara bagian bertanggungjawab dalam penyediaan pelayanan dasar. Negara bagian menetapkan aturan dan bertanggungjawab melakukan investasi di perdesaan. Pemerintah lokal harus mendukung, memantau dan mengevaluasi penyediaan air minum. Bahkan jika pemerintah lokal tidak menyediakan sendiri, maka mereka bertanggungjawab mengatur dan mendukung penyedia dalam kasus ini adalah masyarakat sendiri. Pusat kesehatan masyarakat mempunyai tenaga sanitarian yang bertanggungjawab memantau kualitas air dan tenaga kesehatan yang secara berkala melakukan kampanye Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat adalah memberi masukan bagi penetapan sasaran strategis untuk membenahi kebijakan di sektor air minum, dan penemuan model partisipatif serta pilihan teknologi yang tepat serta memperluas skala kegiatan. LSM juga memperkuat kapasitas SDM masyarakat. LSM tidak membangun sistem atau pengembangannya. LSM bukan pengganti pemerintah lokal atau negara bagian, tetapi fasilitator yang memastikan semua institusi bekerja sesuai
28
dengan perannya dan pengguna menggunakan haknya dengan benar. Pengelolaan air minum diserahkan pada The community associations yang bekerja setiap hari. Tanggungjawabnya adalah operasi dan pengelolaan, manajemen keuangan, perbaikan sistem dan lainnya. Setelah berjalan beberapa waktu, terdapat keinginan masyarakat untuk mengelola berdasar prinsip perusahaan. Mereka berencana mempunyai perusahaan yang dikelola masyarakat dan menyediakan air minum berkualitas pada harga semurah mungkin. Yang menarik dari pengalaman di Guatemala adalah tentang norma dan aturan tentang pengelolaan air minum. Norma tradisional yang ada tidak cukup untuk mengatur semua aspek. Beberapa norma dan aturan yang tersedia dinilai terlalu teknis sehingga dibutuhkan pembaharuan norma dan aturan. Tahapan yang dilakukan dalam menyusun norma dan aturan melalui pendekatan partisipatif adalah: 1. Pengenalan terhadap masalah yang menyangkut air minum 2. Analisis masalah dan identifikasi masalah kunci 3. Mencari alternatif pemecahan masalah 4. Mencapai kesepakatan tentang norma dan aturan baru 5. Meminta persetujuan masyarakat terhadap norma dan aturan baru melalui konsultasi publik
Mesir Pengalaman menunjukkan bahwa menyerahkan kewenangan pengelolaan dan meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan air minum ternyata memerlukan proses panjang dan bertahap. Pengenalan pendekatan tanggap kebutuhan dan pengelolaan berbasis masyarakat di daerah semi-perkotaan dimungkinkan tetapi memerlukan proses yang lama dan membutuhkan perubahan kebijakan pemerintah dan otoritas pengelola. Di masa depan, otoritas air minum bertanggungjawab hanya untuk memproduksi sampai pada pendistribusiannya ke titik distribusi utama, kemudian dilanjutkan oleh masyarakat sendiri ke rumah-rumah termasuk mengumpulkan iuran.
Benin Partisipasi aktif masyarakat pada setiap tahapan menghasilkan persepsi yang kuat terhadap kepemilikan. Pengelolaan yang bersifat sukarela sulit untuk dimotivasi. Sementara keterlibatan perempuan telah menunjukkan
peningkatan walaupun indikatornya belum menunjukkan keterlibatan perempuan dalam keseluruhan proses. Keterlibatan perempuan hanya ditunjukkan dari proporsi keterlibatan dalam pengelolaan saja, yang mencapai 30% dari jumlah anggota komite pengelola. Itu pun hanya untuk posisi favorit perempuan yaitu tetap saja adalah bendahara dan ahli higinitas. Intensitas kunjungan LSM yang dibiayai oleh proyek/ donor menjamin operasi dan pemeliharaan berjalan baik. Dalam jangka panjang terdapat kemungkinan bahwa kualitas pengelolaan dapat menjadi berkurang. Pada jangka pendek dana yang tersedia di bank masih memadai, tetapi dalam jangka panjang masyarakat mulai tidak menaruh dana lagi di bank. Mereka tidak melihat pentingnya memiliki dana yang besar di bank karena mereka tidak menyadari pentingnya ketersediaan dana pemeliharaan.
Kamerun Masyarakat ternyata tidak bebas dari konflik diantara mereka. Salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah hal tersebut adalah mendorong keterbukaan dan komunikasi diantara masyarakat. Pelaksanaan pembangunan banyak terkendala oleh kurang tersedianya lahan. Salah satu penyebabnya adalah faktor kepemilikan lahan. Faktor utama yang ditengarai menjadi penyebabnya adalah harga lahan yang mahal atau menjadi lebih mahal karena pemilik lahan mengambil keuntungan. Banyak pelanggaran atau ketidakpatuhan dari anggota masyarakat terhadap aturan yang telah disepakati bersama tidak dapat ditindaklanjuti karena sebagian besar unit pengelola bukan merupakan organisasi yang terdaftar secara hukum sehingga kesulitan mengambil tindakan hukum terhadap pelanggaran oleh anggotanya.
Uganda Pemberian kewenangan pada masyarakat untuk mengelola sendiri penyelenggaraan penyediaan air minum kemudian memberi kesempatan bagi LSM untuk berperan. Pada banyak kesempatan, LSM berperan besar dalam memperluas skala kegiatan yang berbasis masyarakat. Namun kendala utama yang dihadapi adalah terbatasnya kapasitas yang dipunyai.
29
RAGAM
Pilihan Teknologi Pilihan-pilihan Alternatif Bagi Masyarakat Sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Dokumen Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat, yaitu dengan menempatkan masyarakat di posisi teratas dalam penentuan keputusan maka salah satu prinsip yang ditawarkan dalam kebijakan nasional AMPL adalah memberikan pilihan teknologi pada masyarakat. Kumpulan pilihan tersebut dituangkan dalam bentuk pilihan yang diinformasikan (informed choice), yang mencakup aspek teknis, lingkungan, pembiayaan, sosial budaya, serta bentuk kelembagaan. Pilihan yang ditawarkan sebaiknya memberikan informasi selengkap mungkin sehingga masyarakat dapat memilih yang sesuai dengan kondisi geografis, sosial budaya, dan ekonomi setempat. Beberapa proyek terdahulu mengenai sanitasi membuktikan bahwa sistem sanitasi yang berbasis masyarakat akan lebih berkelanjutan, yaitu mempunyai umur prasarana yang lebih panjang, berfungsi lebih efisien dan lebih dipelihara secara baik oleh masyarakat, bila prasarana dan sarana yang terbangun lebih sesuai dengan kondisi masyarakat dan pemerintah daerah. Salah satu proyek yang menerapkan prinsip pilihan yang diinformasikan (informed choice) adalah SANIMAS (Sanitasi oleh Masyarakat). Sesuai dengan lingkup proyek SANIMAS, maka pilihan teknologi yang disampaikan pada proyek ini adalah teknologi penanganan sanitasi, mulai dari jamban (toilet), pengumpulan (collection), pengolahan (treatment), pembuangan akhir (disposal) dan pengolahan lumpur tinja (de-sludging). Pilihan teknologi yang tersedia sebenarnya sangat beragam, namun pada edisi kali ini kami hanya menampilkan sebagian saja untuk memberikan gambaran mengenai pilihan teknologi tersebut.
TOILET
WC Sentor Sederhana di luar rumah WC Sentor di Luar Rumah
WC Sentor di Dalam Rumah
30
PENGOLAHAN
Pengolahan Utama dan Pendukung Septiktank Septiktank Bersusun
PEMIPAAN Sistem kondominial Saluran Terbuka
Pengurasan Manual
Sistem pemipaan kombinasi
PEMBUANGAN Dibuang Dengan Truk Tinja
Dibuang ke Sungai
31
INFO Judul
:
Sustainability Planning and Monitoring in Community Water Supply and Sanitation A Guide on the Methodology for Participatory Assessment (MPA) for Community-Driven Development Programs
Editor
:
Nilanjana Mukherjee Christine van Wijk
Penerbit
:
Water and Sanitation Program (WSP). Water Supply and Sanitation World Bank. Washington, 2003
Tebal
:
xii + 157 halaman
Pemantauan dan Perencanaan Keberlanjutan Program Air Minum dan Sanitasi Masyarakat. Petunjuk Penggunaan Methodology for Participatory Assessment (MPA) bagi Program Pembangunan Berbasis Masyarakat. MPA merupakan metode yang dirancang untuk melakukan penilaian agar pembuat kebijakan, manajer program dan masyarakat setempat dapat memantau kesinambungan sarana mereka dan mengambil tindakan perbaikan. MPA dapat memperkuat kemampuan masyarakat miskin untuk merencanakan, mengelola, dan mempertahankan kualitas pelayanan air minum dan sanitasi milik mereka sendiri. Metode ini telah dipergunakan di berbagai negara dan telah menunjukkan hasil yang memuaskan baik di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Di dalam buku ini, WSP dan IRC (International Water and Sanitation Centre) mencoba untuk mengumpulkan pengalaman yang didapatkan selama ini di berbagai negara. Buku ini terdiri atas dua bagian utama. Pertama, menjelaskan kembali tentang MPA terutama dikaitkan dengan keberlanjutan, penanggulangan kemiskinan, kesetaraan gender dan pemberdayaan masyarakat. Kedua, mengemukakan studi kasus penerapan MPA di berbagai negara. Terdapat 7 (tujuh) studi kasus dengan kasus beragam mulai dari perencanaan proyek, evaluasi, pemantauan dan desain; riset yang mengaitkan kebijakan, aturan proyek dan proyek berbasis masyarakat; dan ilustrasi potensi penggunaan MPA sebagai katalisator perubahan sosial dalam masyarakat. Kekuatan dari buku ini terletak pada adanya studi kasus yang bisa memberi gambaran secara lebih utuh bagaimana MPA dapat diimplementasikan. Di samping itu salah satu studi kasusnya berlokasi di Flores Indonesia. Judul
:
Water and Sanitation in the World’s Cities. Local Action for Global Goals
Penulis
:
United Nations Human Settlements Programme (UN-HABITAT)
Penerbit
:
Earthscan Publications Ltd, London, 2003.
Tebal
:
xxv + 274 halaman
Air dan Sanitasi di Kota-kota Dunia. Karya Lokal bagi Tujuan Global Laporan ini merupakan usaha awal dari UN-HABITAT sebagai perpanjangan tangan PBB dalam memantau, menganalisis, dan melaporkan pelaksanaan Agenda Habitat khususnya permukiman yang sehat dan berkelanjutan. Sekaligus juga menanggapi adanya kebutuhan dunia internasional terhadap pencapaian Millenium Development Goals (MDG). Laporan ini pada dasarnya mengemukakan 4 (empat) tema utama yaitu (i) Kekurangcermatan pemerintah dan lembaga internasional dalam mengantisipasi jumlah penduduk kota yang tidak mendapatkan pelayanan air minum dan sanitasi; serta akibatnya terhadap kesehatan dari ratusan juta penduduk dunia; (ii) Ketidakpedulian pemerintah dan lembaga internasional terhadap kondisi di atas, meskipun berbagai studi menunjukkan bahwa penyebabnya lebih pada aspek institusi dan politik; (iii) Kebutuhan akan air minum dan sanitasi harus dilandasi pada kondisi lokal, termasuk prioritas dari masyarakat dan kondisi lingkungan; (iv) Pemenuhan kebutuhan air minum dan sanitasi harus dilakukan dalam kerangka kepemerintahan yang baik (good governance). Keempat tema tersebut dirangkai dalam beberapa bab yang runut mulai dari penyediaan air minum da sanitasi di kota; dampak kekurangan pelayanan air minum dan sanitasi; perubahan perspektif dan peran penyediaan air minum dan sanitasi; pengaturan penyediaan air minum dan sanitasi. Keseluruhan bab menjadi menarik karena dilengkapi dengan perbandingan kondisi dari berbagai negara di dunia termasuk Indonesia, sehingga kita akan mendapatkan gambaran tentang posisi Indonesia dibandingkan dengan negara lain.
32
http://sanimas.waspola.org/ SANIMAS merupakan proyek hibah dari pemerintah Australia dan Bank Dunia yang diberikan kepada komunitas perkotaan melalui kerjasama dengan pemerintah daerah setempat. SANIMAS akan membantu menyiapkan dan mengimplementasikan sistem sanitasi berskala lingkungan yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Secara umum informasi yang dapat diperoleh antara lain (a) penjelasan tentang Konsep Sanitasi Berbasis Masyarakat termasuk program SANIMAS; (b) kondisi sanitasi di Indonesia; (c) produk yang dihasilkan dari SANIMAS seperti brosur, bahan presentasi, pilihan yang diinformasikan (informed choice), modul pelatihan, rekaman video; (d) beberapa kliping tentang SANIMAS. Hal yang menarik dari situs ini adalah bahwa produk seperti brosur, bahan presentasi, pilihan yang diinformasikan (informed choice), modul pelatihan, dan rekaman video, seluruhnya dapat di ‘download’.
http://www.irc.nl/ Situs ini merupakan salah satu situs terbaik dan terlengkap tentang berita dan informasi, saran, riset dan pelatihan dalam bidang air minum dan sanitasi biaya rendah di negara-negara berkembang. Banyak pengalaman, studi kasus, dan artikel tentang pelaksanaan pembangunan air minum dan sanitasi dari seluruh dunia yang dapat di ‘download’. Yang lebih menarik lagi adalah situs ini mempunyai informasi tentang seluruh organisasi air minum dan sanitasi dari seluruh dunia.
Daftar Situs Terkait Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Beberapa informasi tambahan tentang berita yang termuat dalam edisi kali ini dapat diperoleh melalui situs berikut: Lembaga/Negara Donor dan Organisasi Internasional 1.
AusAID in Indonesia. http://www.indo.ausaid.gov.au/ dan http://www.indo.ausaid.gov.au/sectors/ watersupplysanitation.html.
2.
United Nations Human Settlements Programme (UN HABITAT), http://www.unhabitat.org
3.
the United Nations Children’s Fund (UNICEF), http://www.unicef.org/wes/index.html
Instansi Pemerintah 1.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), http://www.bappenas.go.id/
2.
Departemen Kesehatan, http://www.depkes.go.id
3.
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, http://www.kimpraswil.go.id
Program dan Kegiatan 1.
Water Supply and Sanitation Policy Formulation and Action Planning Project (WASPOLA) http://www.waspola.org.
2.
Mencuci Tangan (Handwashing) Clean Hands Campaign, http://www.wasup.org
33
AGENDA AGENDA AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN OKTOBER 2003 Peresmian Proyek Water Supply for Low Income Community 2 Kabupaten Ponorogo Tanggal : 7 Oktober 2003 Lokasi : Desa Totokan, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Penyelenggara : Pemda Kabupaten Ponorogo Penyerahan prasarana dan sarana kepada masyarakat desa. Diskusi Global Handwashing Initiative Indonesia Tanggal Lokasi Penyelenggara
: : :
7 Oktober 2003 Bank Dunia Jakarta Water and Sanitation Program East Asia and the Pacific (WSP-EAP) World Bank Jakarta Indonesia merupakan negara kelima yang akan menjadi tempat kegiatan Global Handwashing Initiative. Ide kegiatan ini adalah menjajaki kemungkinan kerja sama industri swasta dan sektor publik dalam mempromosikan Program Mencuci Tangan (Handwashing). Langkah awal adalah mendiskusikan kegiatan masing-masing pihak yang telah melaksanakan program Mencuci Tangan selama ini di Indonesia, dan kemungkinan melakukan kampanye publik serta keterkaitannya dengan kegiatan skala global. Seminar Sehari tentang “Water and Sanitation for Cities” Tanggal : 9 Oktober 2003 Lokasi : Denpasar, Bali Penyelenggara : Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Seminar dilaksanakan dalam kaitan peringatan hari Habitat. Evaluasi Uji Coba Pelaksanaan Kebijakan Nasional Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat Tanggal : 13-17 Oktober 2003 Lokasi : Kabupaten Solok, Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Subang, Kabupaten Sumba Timur Penyelenggara : WASPOLA Kegiatan ini merupakan tindak lanjut uji coba yang telah dilakukan pada empat lokasi. Evaluasi ini bertujuan menggali informasi atas kemajuan pelaksanaan penerapan kebijakan dan mengidentifikasi kebutuhan daerah dalam upaya penerapan kebijakan. Pelatihan Teknis Pasca Konstruksi Proyek Water Supply for Low Income Community 2 Tanggal : 14-16 Oktober 2003 Lokasi : Senggigi, Mataram, Propinsi NTB Penyelenggara : Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Meningkatkan pemahaman tentang pendekatan pemberdayaan masyarakat, dan meningkatkan ketrampilan bagi tenaga pelaksana Diskusi Berkala Forum Diskusi Air dan Sanitasi bertopik Studi Kasus: Bagaimana Komunitas Kumuh Berjuang Mendapatkan Air Bersih Tanggal Lokasi Penyelenggara
: : :
Advokasi Program Pro-Air
16 Oktober 2003 Bank Dunia Jakarta Water and Sanitation Program East Asia and the Pacific (WSP-EAP) World Bank Jakarta
Tanggal : 16-17 Oktober 2003 Lokasi : Kabupaten Timor Tengah Selatan Penyelenggara : Proyek Pro-Air Mengsosialisasikan pelaksanaan kegiatan Pro-Air khususnya kepada lembaga legislatif di Kabupaten Timor Tengah Selatan Seminar Konsultasi Proyek Peningkatan Layanan Air Kota Tanggal Lokasi Penyelenggara
: : :
20-21 Oktober 2003 Hotel Mandarin Oriental, Jakarta Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (PERPAMSI), Bank Dunia, dan The World Bank Institute.
34
Evaluasi Ujicoba Koordinasi Antar Proyek Tanggal Lokasi
: :
20-23 Oktober 2003 Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Bima (Propinsi Nusa Tenggara Barat) Penyelenggara : WASPOLA Kegiatan ini merupakan tindak lanjut uji coba yang telah dilakukan pada tiga lokasi. Evaluasi ini bertujuan mengetahui tindak lanjut pihak yang terlibat setelah pelaksanaan uji coba dan mendapatkan masukan tentang mekanisme koordinasi antar proyek. Diskusi Laporan Infrastruktur Indonesia tentang Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Tanggal : 22 Oktober 2003 Lokasi : Bappenas Penyelenggara : Deputi Sarana dan Prasarana Bappenas Diskusi ini merupakan lanjutan dari diskusi sebelumnya. Topik utama diskusi adalah membahas rancangan Laporan Infrastruktur Indonesia. Khusus pada kesempatan ini, diskusi hanya membahas salah satu bagian dari isi laporan yang menyangkut air minum dan penyehatan lingkungan. Simposium Internasional “Safe Drinking Water in Indonesia. Challenges for 21 Century” Tanggal : 22-23 Oktober 2003 Lokasi : Lido Lakes Resort, Sukabumi, Jawa Barat Penyelenggara : Departemen Kesehatan, WHO, dan GTZ. Tema yang dibahas adalah pelaksanaan pengawasan kualitas air minum di Indonesia.
NOPEMBER 2003 Pertemuan Pembahasan Rencana WSLIC 2 Tahun 2004 Tanggal : 4 Nopember 2003 Lokasi : Hotel Acacia Jakarta Penyelenggara : Pokja AMPL Agenda pertemuan adalah pembahasan rencana kerja WSLIC 2 Tahun 2004, review koordinasi Tim Pembina Pusat, serta struktur kelembagaan pembinaan teknis WSLIC 2. Lokakarya Visi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Visioning Workshop) Tanggal : 5-6 Nopember 2003 Lokasi : Hotel Hilton, Jakarta Penyelenggara : WASPOLA Tujuan lokakarya adalah menyamakan pemahaman terhadap visi pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan dalam 10-15 tahun mendatang, termasuk pencapaian Millenium Development Goals (MDGs). 1st Southeast Asia Water Forum - Strengthening Regional Capacity through Best Practices in Integrated Water Resources Management Tanggal Lokasi Penyelenggara
: : :
12-21 Nopember 2003 Chiang Mai, Thailand Global Water Partnership Southeast Asia Technical Advisory Committee (GWP SEATEC). Alamat situs internet: http://www.gwpseatac.org/ Forum akan mendikusikan beberapa tema yaitu pelayanan air dan sanitasi untuk kesehatan; penyelesaian sengketa; pengelolaan sumber daya air berbasis komunitas; ekosistem dan lingkungan; air dan makanan
Hari Habitat Sejak pencanangan Hari Habitat oleh Majelis Umum PBB melalui Resolusi No.40/201 A tanggal 17 Desember 1985 maka Hari Habitat Dunia telah diperingati setiap tahun pada Hari Senin Pertama di bulan Oktober. Ide dasar peringatan Hari Habitat adalah untuk menyadarkan masyarakat umum pentingnya memperbaiki kondisi permukiman, khususnya bagi penduduk miskin yang hidup tanpa menikmati air minum, sanitasi yang memadai, dan pelayanan dasar lainnya. Habitat sendiri diartikan sebagai tempat tinggal atau hunian manusia beserta lingkungannya. Tahun ini peringatan hari Habitat Dunia dipusatkan di kota Rio de Janeiro, Brasil pada tanggal 6 Oktober 2003. Tema peringatan adalah Air Minum dan Sanitasi untuk Perkotaan (Water and Sanitation for Cities) untuk mencermati krisis air minum dan sanitasi di perkotaan. Di Indonesia peringatan Hari Habitat dipusatkan di Denpasar Bali. Tema peringatan mengikuti tema yang menjadi kesepakatan dunia. Sub tema peringatan adalah Kota yang Bebas dari Lingkungan Permukiman Kumuh. Beberapa kegiatan yang dilakukan di Indonesia dalam rangkaian peringatan Hari Habitat adalah dialog interaktif di media elektronik, pameran, penyelenggaraan lomba, dan pemberian penghargaan.