FUTUROLOGI SAINS Serta merta, nama Alfin Toffler menjadi begitu populer ketika pada tahun 1970 ia mengejutkan dunia dengan argumennya yang terkenal itu, “The Future Shock”. Katanya, “teknologi mengubah masyarakat dengan sangat cepat hingga suatu ketika seseorang di sebuah masa dan peradaban bisa saja mendapati dirinya sebagai orang yang terasing, lantaran tak mengikuti teknologi yang berkembang itu.” Argumen Toffler itu menandai lahirnya sebuah era disiplin ilmu baru bernama futurologi, sebuah disiplin ilmu meramal masa depan berdasarkan perhitungan multi sudut pandang atas fenomena yang terjadi pada hari ini. Sejak itu otak-atik tentang apa yang akan terjadi di masa depan semakin semarak. Futurologi, tulis Fred Guterl dari Majalah Newsweek, akan semakin berkembang pesat karena optimisme diungkapkan dengan begitu mudahnya. Dalam ulasan Fred Guterl pada sebuah edisi Newsweek terbitan tahun 2002, disebutkan bahwa futurologi lahir sebagai anak dari era perang dingin. Saat itu Laboratorium Riset milik militer Amerika Serikat (AS) dengan berbagai ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu mulai berkerja dengan tren analisa matematikal untuk menjawab berbagai pertanyaan, semacam: seberapa cepat Soviet akan bisa membangun sebuah kapal selam baru? Dilanjutkan dengan AU Amerika yang bekerja sama dengan Rand Coorporation. Bersama seorang visionaris bernama Herman Kahn, mereka mulai membangun skenario tentang apa yang mungkin berlaku pada era paskaperang nuklir. Lalu, sebuah yayasan bernama Institut Riset Stanford mulai menggunakan metoda yang sama untuk memprediksi tren-tren kehidupan baru: seperti apa kelak wajah transportasi kita?
Sejak itu, futurologi masuk ke dalam arus besar dunia dan mulai mendapat tempat utama hingga ketika pada tahun 1970, Toffler yang mantan editor Majalah Fortune itu mempublikasikan sebuah best seller berjudul “Future Shock”, sebuah epik tentang visi bagaimana menggaungkan perubahan mutakhir—mobilitas kerja, penurunan kota-kota kecil, dan lainnya—telah membuat sebagian besar warga Amerika sempat mengalami stress dan disorientasi. Ribuan orang pun bergabung dengan Komunitas Futuris Dunia. *** Apa yang melanda dunia saat itu, ketika analisa kaum futuris menjadi begitu laris manis jelas tak bisa dipisahkan dari gelombang evolusi sains dan teknologi yang begitu dahsyat sejak Albert Einstein merilis teori relativitas yang spesial itu pada tahun 1905. Tak bisa dipungkiri, Einstein sejak ide relativitas yang sebenarnya sangat kompleks itu menjadi sangat simpel dengan sebuah rumusan E = mc², ilmu fisika menjadi sangat dinamis. Dengannya, Einstein telah melempangkan jalan pencerahan bagi dikembangkannya internet hingga aneka senjata perang yang dibuat untuk perang dingin. Kebrilianan Einstein telah menset gerak abad ke-20. Namun yang terpenting, Einstein telah membuat imaje baru tentang cara membentuk masa depan: tidak dengan perang dan revolusi tapi dengan wawasan sains yang dalam. Jadi sangat tepat jika Fred Guterl mengawali tulisannya di Majalah Newsweek dengan kalimat pembuka, “Albert Einstein telah mengubah masa depan tanpa memenangkan sebuah pemilihan umum atau menggerakkan suatu angkatan perang. Segala yang dikerjakannya adalah ide.” Sejak itu abad 20 menjadi abad yang paling inovatif. Penelitian-penelitian tak lagi mengandalkan seorang jenius sekelas Einstein, melainkan sekumpulan ilmuwan cerdas di
bidangnya masing-masing yang bersatu di bawah sebuah bendera penelitian bersama (lihat “Era Penelitian PaskaEinstein”). Hasilnya, sangat dahsyat. Belum pernah sebuah abad menjadi begitu fenomenal seperti abad ke-20. Di abad inilah manusia menjejakkan kaki di bulan, di abad ini pula berbagai prinsip dasar teknologi mutakhir berevolusi dengan cepatnya. Fakta inilah kemudian yang membuat futurologi berkembang. “Akan ada penemuan apa lagi?” begitu pertanyaan yang menggantung di benak mereka. Setiap penemuan akan berdampak pada kehidupan warga dunia, lalu “seperti apa kehidupan manusia akan berubah?” begitu pertanyaan lanjutan yang lantas mereka rumuskan dalam prediksi-prediksi mereka. Namun tak sedikit prediksi para futuris yang gagal. Pada tahun 1970 juga, seorang fisikawan Columbia University memprediksi bahwa pada tahun 2000 akan lahir bayi pertama yang dilahirkan di planet buatan. Tak sedikit para futuris yang tampaknya berteori lebih dengan dasar mimpi-mimpi belaka mereka. Sepuluh tahun saja, para futuris itu begitu mendapat tempat. Sesudah itu, anggota forum futuris internasional merosot drastis dari 60 ribu orang menjadi kurang dari setengahnya. Bahkan Departemen Studi Masa Depan (Futurologi) pada Universitas Carolina Selatan telah membubarkan diri. “Lebih baik menggunakan kepekaan yang lebih riil bagi kita untuk membuatnya,” kata Michael Marien, editor pada majalah Future Survey yang diterbitkan forum futuris. “Sejatinya, futurologi tidak pernah berkembang. Lebih baik bagi kita untuk membelanjakan uang kita untuk masa kini,” lanjutnya. Futurologi yang hanya berdasarkan pada keyakinan saja pun telah ditinggalkan. Toffler, misalnya, tak lagi punya best seller. Tempat bagi kalangan futuris semakin menyempit. Marvin Cetron, satu dari futuris terbaik yang pernah ada memprediksi bahwa Shah Iran akan jatuh. Prediksinya didasarkan atas
beberapa indikator seperti meningkatnya jumlah tentara bayaran di Iran, tingginya angka pengangguran dan jurang pendapatan yang terlalu lebar. Namun masa keemasan mereka telah lewat. Sekarang, Cetron kembali membuat prediksi. Katanya, Kerajaan Arab Saudi akan jatuh, berdasarkan indikasi-indikasi yang hampir sama ketika ia memprediksi kejatuhan Shah Iran. “Namun, siapa yang akan mendengarnya?” tulis Adam Piore, juga diNewsweek. Toh, forum bagi futuris tak mati padam total. Tahun 2002 lalu, mereka masih berkumpul. Sayangnya, prediksi yang tidak relevan masih saja muncul sehingga membuat citra futuris tak kunjung terangkat kembali. Seperti ramalam ‘tak masuk akal’ Joseph Coates, misalnya, bahwa suatu saat tidur akan dimanipulasi menjadi sebuah kegiatan yang bisa meningkatkan produktivitas. Bisakah? Tak urung, pernyataan Joseph itu pun menuai kritik dari rekan sesama futuris. “Joseph telah memprediksi apa yang akan terjadi ‘seribu tahun’ yang akan datang tanpa kepastian,” kata Ann Coombs, seorang futuris lainnya mengomentari Joseph Coates. Seorang futuris lain dari New Jersey membuka forum diskusi tentang kemungkinan kolonisasi di Mars. Bahkan sekelompok lainnya lagi, berdiskusi tentang kemungkinan Menopause bagi Pria. Ada lagi futuris dengan sinisnya memprediksi bahwa di era pascamilenium ini dunia masih akan diasyikkan dengan isu teror Islam fundamentalis dan semakin tidak berharganya portofolio stok pasar. *** Betullah jika begitu analisa bahwa era futurologi telah semakin meredup. Buku Toffler yang dulu begitu dipuja, sekarang tak disepakati oleh sebagian besar orang. Kini, banyak orang telah merasakan bahwa hasil teknologi mutakhir, mulai dari televisi, pil KB sampai transistor, telah membawa perubahan
yang tidak terlalu mengganggu kehidupan mereka. Justru, masyarakat merasa telah belajar mengendarai roket inovasi. Kemajuan sains dan teknologi tidak sepenuhnya mengejutkan pemikiran. Toh, inovasi terus berlanjut. Dalam 10 tahun terakhir ini saja, terlihat bahwa lompatan inovasi dalam sejarah manusia tidak hanya tentang internet tapi juga pada pengkodean gen manusia dan kloning gen yang telah melahirkan domba Dolly. Sangat masuk akal untuk membuat asumsi, seperti yang diungkapkan seorang penulis sains-fiksi, Arthur C. Clarke. “Saya jarang memprediksi masa depan, saya lebih cenderung memprediksi atau memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan dari apa yang terjadi pada hari ini,” katanya. Itu artinya, memprediksi masa depan tetap diperlukan tapi tidak dengan metode kaum futuris yang hanya berlandaskan keyakinan semata, bukan berdasarkan perhitungan matematis. Buktinya, dengan perhitungan matematisnya, teknik meramal yang ditelurkan para futuris itu sekarang banyak digunakan secara luas tak hanya oleh pelaku bisnis, tapi juga oleh lembaga-lembaga pemerintah. Banyak perusahaan mulitinasional mempekerjakan para peramal matematis yang bertugas memprediksi apa yang terjadi di masa depan pada 10, 25 atau bahkan 50 tahun kemudian. Pada dekade yang lalu, ketika perekonomian Jepang terguncang, banyak orang memprediksi bahwa ekonomi Amerika akan sepenuhnya mendominasi perekonomian dunia. Buktinya? Tidak juga. Justru sekarang ini, banyak sekali para visionaris yang berpendapat bahwa pada tahun 2012 mendatang, Eropalah yang akan menggantikan USA sebagai penggerak utama perekonomian dunia (lihat: Eropa, Segera Menjadi Raksasa Baru Dunia). Juga di bidang rekayasa genetika. Berdasarkan atas apa yang telah terjadi hari ini pada banyak laboratorium, sangat mungkin sekali “Sesuatu yang Besar Berikutnya” (The Next Big
Thing) akan datang dari bidang rekayasa genetika. Sistem fertilisasi in vitro telah memberi ruang dan kemampuan yang lebih luas bagi para ilmuwan untuk menciptakan sebuah embrio dalam sebuah petri dish. Bahkan suatu ketika sangat mungkin mereka membuat beberapa embrio sekali jalan. Bahkan, dengan teknologi genetika yang semakin berkembang sangat memungkinkan bagi seorang ilmuwan untuk memperbaiki karakter genetika sesuatu makhluk hidup. Yang ini, sekarang ini sudah terjadiwalaupun kemajuan di bidang ini membuka peluang pelanggaran kode etik ilmu pengetahuan oleh para ilmuwan nakal, misalnya, debut mereka untuk mulai menciptakan manusia kloning pertama yang sangat mengganggu banyak orang itu. Yang jelas, tulis Fred Guterl lagi, setiap inovasi dan perubahan akan memiliki dampak yang sangat luas. Bagaimanapun, dengan cara yang lebih baik, futurologi masih diperlukan tapi dengan asumsi-asumsi ilmiah dan perhitungan yang tepat. Namun, apa yang dikatakan Toffler pun tampaknya masih relevan: siapa tak berteknologi, ia akan merasa terasing di dunia yang penuh dengan kemajuan teknologi (by: LQ alias kalipaksi, 2007)