Makalah_tasawuf_dalam_islam.docx

  • Uploaded by: Affan Tulus Satria
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah_tasawuf_dalam_islam.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,948
  • Pages: 24
i

MAKALAH TASAWUF DALAM ISLAM

Disusun Oleh : Abdullah Al Faruq Fardianto Elma Sya’bani Fahriza Rizki Amalia Istiqomah Nur Aqilah Nurrafika Adha

Guru Pembimbing : Dra. Hj. Commeng Sada

MADRASAH ALIYAH NEGRI 2 PALU

2018

ii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, rasa syukur saya panjatkan kehadirat Illahi Robbi yang senantiasa mencurahkan bimbingan, ilmu, rahmat dan hidayahnya kepada hambanya yang tidak pernah putus, senantiasa memberkahi segala aktifitas dalam keseharian kita, tanpa semua itu segalanya tidak pernah terlaksana. Makalah ini dibuat untuk menyelesaikan tugas mata kuliah materi pendidikan PAI MA Semester IV STAI SUNAN GIRI, dan dengan diadakannya makalah ini gunakan sebagai pengasah otak dan penambah pengalaman. Saya menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan didalamnya untuk itu saya mohon saran dan segala bentuk kritikan lainya yang mengarah kepada kelengkapan. Terakhir kalinya saya ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada pihak yang member sumbangan fikirannya untuk kesempurnaan makalah ini semoga bermanfaat bagi kita semua amin.

Penyusun

iii

DAFTAR ISI

Halaman Judul .................................................................................................... Kata Pengantar ................................................................................................... Daftar Isi .............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ........................................................................................ B. Identifikasi Masalah ............................................................................... C. Rumusan Masalah .................................................................................. D. Tujuan .....................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Tasawuf Secara Lughawi ...................................................... B. Fungsi Tasawuf dalam Kehidupan Manusia ........................................... C. Sejarah Perkembangan Tasawuf ............................................................

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan .............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................

1

TASAWUF DALAM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Dewasa ini, kajian tentang tasawuf semakin banyak diminati orang sebagai buktinya adalah misalnya, semakin banyaknya buku yang membahas tasawuf disejumlah perpustakaan, dinegara-negara yang berpenduduk muslim, juga Negara – Negara barat sekalipun yang mayoritas masyarakatnya non muslim, ini dapat menjadi salah satu alasan betapa tingginya ketertarikannya mereka terhadap tasawuf. Hanya saja, tingkat ketertarikan mereka tidak dapat diklaim sebagai sebuah penerimaan bulat-bulat terhadap tasawuf, jika diteliti lebih mendalam, ketertarikan mereka terhadap tasawuf dapat dilihat pada dua kecenderungan terhadap kebutuhan fitrah atau naluriah dan kedua karena kecenderungan pada persoalan akademis. Kecenderungan pertama mengisyaratkan bahwa manusia sesungguhnya membutuhkan sentuhan-sentuhan spiritual atau rohani, kesejukan dan kedamaian hati merupakan salah satu kebutuhan yang ingin mereka penuhi melalui sentuhan spiritual ini. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Barmawie Umarie bahwa setiap rohani manusia senantiasa rindu untuk kembali ketempat asal, selalu rindu kepada kekasihnya yang tunggal. Adapun kecenderungan yang kedua mengisyaratkan bahwa tasawuf memang menarik untuk dikaji secara akademis-keilmuan. Boleh jadi, dengan kecenderungan yang kedua ini, kajian tasawuf hanya berfungsi sebagai pengayaan keilmuan ditengah keilmuan-keilmuan lain yang berkembang di dunia. Kedua kecenderungan diatas menuntut keharusan adanya pengkajian tasawuf dalam kemasan yang proposional dan fundamental. Hal ini dimaksudkan agar tasawuf yang kian banyak menarik peminat itu dapat dipahami dalam kerangka ideologis yang kuat, disamping untuk memagari tasawuf dalam jalur yang benar. Jika tulisa ini dapat diterima jelas dipandang perlu untuk merumuskan tasawuf dalam islam dalam kemasan yang dilengkapi dengan dasar-dasar atau landasan yang kuat tentang keberadaan tasawuf itu sendiri.

2

B. Identifikasi Masalah Dengan terbukanya era globalisasi membawa pengaruh budaya dan pemikiran-pemikiran salah yang meracuni otak orang Islam, oleh karena itu diperlukan keharusan adanya pengkajian tasawuf dalam kemasan yang proporsional dan fundamental agar generasi muslim pengembangan tasawuf dalam islam yang benar sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits.

C. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian tasawuf secara Lighawi dan berdasarkan istilah ? 2. Apa fungsi tasawuf dalam kehidupan manusia ? 3. Bagaimanakah sejarah dan kedudukan tasawuf dalam islam ?

D. Tujuan -

-

Mewujudkan kepribadian manusia yang makriyah, Mahabbah (cinta) kepada Allah, Tawakkal, Tawadhu, kasih saying terhadap sesama makhluk dan akhlak-akhlak mulia para sufi. Untuk membimbing mental spiritual manusia dalam rangka mencapai derajat insane kamil. Menjadikan manusia lebih dekat dengan Allah dan berhati-hati dalam menjalani kehidupan di dunia ini Agar masyarakat islam mengetahui dan memahami sejarah dan kedudukan tasawuf dalam islam.

3

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasawuf Secara Lughawi Secara etimologi kata tasawuf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan “ahlu Siffah”, yang berarti sekelompok orang dimasa Rasulullah yang hidupnya banyak berdiam diserambi-serambi masjid, dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah.” 1 Ada yang mengatakan tasawuf itu berasal dari “Shafa” kata ini berbentuk Fi’il Mabni Majhul sehingga menjadi isim mulhaq dengan huruf Ya’ Nisbah, yang berarti sebagai nama bagi orang – orang yang “bersih” atau “suci”. Maksudnya adalah orangorang yang menyucikan dirinya dihadapan Tuhan-Nya” -

Pengertian tasawuf berdasarkan istilah Pengertian tasawuf berdasarkan istilah, telah banyak dirumuskan oleh ahli, yang satu sama lain berbeda sesuai dengan selera masing-masing : 1. Menurut Asy-Syaikh Abu Al-Qosim Al Junaidi Al –bagh dadi;-tasawuf adalah kejernihan hubungan bersama Allah SWT. Yang pangkalnya adalah menjauhkan diri dari dunia 2 

Tasawuf adalah ketika engkau bersama Allah, tanpa ada kaitan apa-apa.3



Tasawuf islaa bahwa yang hak adalah yang mematikanmu, dan haklah yang menghidupkanmu.4

2. Menurut Al-Jurairi, Tasawuf adalah memasuki segala budi (akhlak) yang bersifat Sunni dan keluar dari budi pekerti yang rendah. 3. Menurut Amir bin Utsman Al-Makki pernah mengatakan bahwa tasawuf adalah seorang hamba yang setiap waktunya mengambil waktu yang utama. 4. Menurut Muhammad Ali Al-Qassab, tasawuf adalah akhlak yang mulia yang timbul pada masa yang mulia dari seorang yang mulia ditengah-tengah kaum yang mulia.5 1

Rosihan Anwar , Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2004, Hal : 9 Moch. Djamaludin Ahmad, Dua Figur Tokoh Agung, Pustaka Al-Muhibbin, Hal : 86 3 Moch. Djamaludin Ahmad, Dua Figur Tokoh Agung, Pustaka Al-Muhibbin, Hal : 99 4 Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2004, Hal : 12 5 Rasihan Anwar, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Hal : 13 2

4

5. Menurun Syamnun, tasawuf adalah bahwa engkau memiliki sesuatu yang tidak dimiliki sesuatu. 6. Menurut Al-Karakhi, tasawuf adalah mengambil hakikat, dan berputus asa pada apa yang ada di tangan makhluk. Dari ungkapan-ungkapan diatas, lebih utama bila kita memperhatikan kesimpulan yang dibuat oleh Al-Junaedi sebagai berikut : Tasawuf adalah membersihkan hati dari apa yang mengganggu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (instrinsik) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala seruan dari hawa nafsu, mendekati sifat-sifat suci kerohanian, dan bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang penting dan terlebih kekal, menaburkan nasihat kepada semua umat manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat dan mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syari’at. 6 Definisi lain mengatakan, bahwa tasawuf adalah usaha mengisi hati dengan hanya ingat kepada Allah, yang merupakan landasan lahirnya ajaran Al-hubb atau cintah Illahi.7 Tasawuf dipahami sebagai Al-Ma’rifatul Haqq, yakni ilmu tentang hakikat realitas – realitas intuitif yang terbuka bagi seorang sufi.8 Jadi kalau kita simpulkan dari berbagai pengertian dapat kita ringkas sebagai berikut, tasawuf adalah usaha membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan ma’rifat menuju keabadian, saling mengingatkan antara manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah dan mengikuti syari’at Rasulullah dalam mendekatkan diri dan mencapai keridla’an-Nya.

B. Fungsi Tasawuf Dalam Kehidupan Manusia Tasawuf dari semua aurannya memiliki obsesi kedamaian dan kebahagiaan spiritual yang abadi oleh karena itu, tasawuf berfungsi sebagai pengendali berbagai kekuatan yang bersifat merusak keseimbangan daya dan getaran jiwa sehingga ia bebas dari pengaruh yang datang dariluar hakikat dirinya.

6

Ahmad, Op. At.Him.96-98 Ibrahim Basuni, nas-ah Al Tasawuf Al Islam, Per Al-Ma’arif, Kairo, 1969 ; 17-27 8 A Rivary Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke ne-Sufisme, PT. Raja Grafinda Persada, 2002, Hlm 35 7

5

Dalam

kehidupan

manusia

tasawuf

berfungsi

menjadikan

manusia

berkepribadian yang shahih dan berperilaku baik dan mulia serta ibadahnya berkualitas, mereka yang masuk dalam sebauh tarekat / aliran tasawuf dalam mengisi kesehariannya diharuskan untuk hidup sederhana, jujur, istiqhomah, dan tawadhu. Semua itu bisa dilihat diri Rasulullah SAW, yang pada dasarnya sudah menjelma dalam kehidupan sehari-harinya, apalagi dimasa remaja Nabi dikenal

sebagai Al-Amin, Shiddiq,

Fathannah, Tablight, Sabar, Tawakal, Zuhud, dan dan termasuk berbuat baik terhadap musuh dan lawan yang tak berbahaya atau yang bias diajak kembali pada jalan yang benar. Dalam menanamkan nilai-nilai dan konsep pembinaa, khususnya dalam hal pembinaan akhlak melalui ajaran tasawuf dalam merubah perilaku generasi muda dalam kehidupan sehari-hari diperlukan kehati-hatian yang ketat, sebab tujuan utamanya adalah menghasilkan generasi islam yang berakhlaqul karimah. Secara umum fungsi terpenting tasawuf adalah menjadikan mansia betada sedekat mungkin dengan Allah. Akan tetapi apabila tiga sasaran yang menjadi fungsi dari tasawuf yaitu : pertama, tasawuf berfungsi sebagai pembinaan aspek moral, aspek ini meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang berkeseimbangan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga menusia konsisten, dan komitmen hanya kepada keluruhan moral. Kedua, tasawuf yang berfungsi sebagai ma’rifatullah. Ketiga, tasawuf, pengkajian garis hubungan antara Tuhan dengan makhluk itu. Terdapat tiga simbolisme yaitul; dekat dalam arti melihat dan merasakan Tuhan sehingga dekat yang ketiga adalah penyatuan manusia dengan Tuhan sehingga yang terjadi adalah monolog antara manusia yang telah menyatu dalam iradat Tuhan.

C. Sejarah Perkembangan Tasawuf Term Tasawuf dikenal secara luas dikawan Islam sejak penghujung abad dua hijriah,9 sebagai perkembangan lanjut dari kesalehan asketis atau para zahid yang mengelompok diserambi masjid Madinah dalam perjalanan kehidupan kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan duniawi. Pola hidup kesalehan yang demikian

9

Al-Qusyairi, Op Cit ; 138

6

merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembangan dengan pesatnya. Faseini dapat disebut sebagai fase asketisme dan merupakan fase pertama perkembangan tasawuf, yang ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih mengejak kehidupan akhirat sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan keasikan duniawi, fase asketisme ini setidaknya sampai pada keasikan duniawi, fase asketime ini setidaknya smapai pada abad dia hijriah dan memasuki abad tiga hijriah sudah terlihat adanya peralihan konkrit dari asketisme islam kesufisme, fase ini dapat disebut sebagai fase kedua, yang ditandai oleh antara lain peralihan sebutan Zahid menjadi Sufi, disisi lain, pada kurun waktu ini percakapan para zahid sudah sampai pada persoalan apa itu jiwa yang bersih. Apa itu moral dan bagaimana metode pembinaanya dan perbincangan tentang masalah teoritis lainnya. Tindak lanjut dari perbincangan ini, maka bermunculanlah berbagai terori tentang jenjang serta cirri-ciri yang dimiliki seorang sufi (Al-Maqomat) serta ciri – ciri yang harus dimiliki seorang sufi pada tingkat tertentu (Al-Hal). Demikian juga periode ini sudah mulai berkembangan pembahasan tentang al-ma’rifat serta perangkat metodenya sampai pada tingkat fana dan ijtihad. Bersamaan dengan itu, tampil pula para penulis tasawuf, seperti Al-Muhasibi (W 243 H), A;-Kharraj (W 277 H) dan Al-Junaid (W 297 H), dan penulis lainnya. Fase ini ditandai dengan muncul dan berkembangnya ilmu baru dalam khazanah budaya islam, yakni ilmu tasawuf yang tadinya hanya berupa pengetahuan praktis atau semacam langgan keberagamaan, selama kurun waktu itu tasawuf berkembang terus kearah yang lebih spesifik, seperti konsep Intuisi, Al-Kasyf dan Dzauq. 10 Kepesatan perkembangan tasawuf sebagai salah satu kultur keislaman, nampaknya memperoleh infuse atau motivasi dari tiga factor, muncul pertama adalah karena cerak kehidupan uang profan dan hidup kepelesiran yang diperagakan oleh Umat Islam terutama pada pembesar negeri dan para hartawan. Dari aspek ini, dorongan yang paling deras adalah sebagai reaksi terhadap sikap hidup yang sekuler dan gelamour dari kelompok alit dinas penguasa di istana. Protes tersamar itu mereka lakukan dengan gaya murni etis, pendalaman kehidupan spiritual dengan motivasi etika.11 Tokoh populer yang dapat mewakili aliran ini adalah :

10

Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi Al-Taftazani, Op Cit, 80-82 A. Rivary Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2002, hlm : 37-38 11

7

1) Hasan Al-Bashri a) Riwayat Hidup Hasan Al-Bashri, yang nama lengkapnya Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar, adalah seoran Zahid yang sangat mashur dikalangan tabi’in, ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H (632 M) dan wafat pada hari Kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H (728 H) ia dilahirkan dua malam sebelum khalifah Umar bin Khatab wafat, ia di kabarkan berytemu dengan 70 orang sahabat yang turut menyaksikan peperangan Badar dan 300 sahabat lainnya.12 Dialah

yang

mula-mula

menyediakan

waktunya

untuk

memperbincangkan ilmu-ilmu kebatinan, kemurniana akhlak, dan usaha menyucikan pada sunnah Nabi sahabat Nabi yang masih hidup pada zaman itu pun mengakui kebesaranya. Suatu ketika seseorang datang kepada Anas Bin malik-Sahabat nabi yang utama-untuk menanyakan persoalan agama, Anas memerintahkan orang itu agar menghubungi Hasan. Mengenai kelebihan lain dalam diri Hasan, Abu Qatadah pernah berkata, “Bergurulah kepada syekh ini, saya sudah saksikan sendiri (keistimewaanya, tidak ada seorang Tabi’in pun yang menyerupai sahabat nabi selainnya. 13 Karir pendidikan hasa Al-Bashri dimulai dari Hijaz, ia berguru hamper kepada seluruh ulama disana. Bersama ayahnya, ia kemudian pindah ke Bashrah, tempat yang membuatnya masyhur dengan nama Hasan Al-Bashri, puncak keilmuannya ia peroleh disana. 14

b) Ajaran-Ajaran Tasawufnya Abu Nai’im Al-Ashbahani menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan AlBashri sebagai berikut, “Takut (khauf) dan pengharapan (raja’) tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan; tidak pernah tidur senang karena selalu mengingat Allah, “Pandangan yang lain tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larang-Nya.

12

Hamka, Tasawuf : PErkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panji Mas, Jakarta, 1986, hlm : 76 Ibid 14 Umar Farukh, Tarikh Al Fikr Al-A’rabi. Dar Al-‘Ilm li Al-Malayin, Bairut, 1983, hlm 216 13

8

Sya’raniki pernah berkata “demikia takutnya, sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu hanya dijadikan untuk ia (Hasan Al-Bashri)15 Lebih jauh lagi, hamka mengemukakan sebagian ajaran tasawuf hasan Al-Bashri seperti ini. 16 7. “Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari pada rasa tentram yang menimbulkan perasaan takut” 8. “Dunia adalah negeri tempat beramal, barang siapa bertemu dunia dengan perasaan benci dan zuhud, akan berbahafia dan memperoleh faedah darinya. Namun, barangsiapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya terlambat dengan dunia, ia akan sengasara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya” 9. “Tafakur

membawa

kita

pada

kebaikan

dan

selalu

berusaha

untuk

mengerjakanya. Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita bermaksud untuk tidak mengulanginya lagi, sesuatu yang fana’ betatapun banyaknya tidak akan menyamai sesuatu yang baqa’ betapun sedikitnya. Waspadalah terhadap negeri yang cepat datang dan pergi serta penuh tipuan.” 10. “Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggalkan mati suaminya.” 11. “Orang yang beriman senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena berada diantara dua perasaan takut : takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.” 12. “Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya dan juga takut akan kiamat yuang hendak menagih janjinya” 13. Banyak duka cita didunia memperteguh semangyat amal shaleh” Berkaitan dengan ajaran tasawuf hasan Al-Bashri, Muhammad Mustafa, Guru besar filsafat Islam, menyatakan kemungkinan bahwa tasawuf Hasan AlBashri di dasari oleh rasa takut sik Tugan di dalam neraka. Namun, lanjutnya, setelahkami teliti ternyata bukan perasaan takut terhadap siksaanlah yang mendasari tasawufnya, tetapi kebesaran jiwanya akan kekurangan dan kelalaian 15 16

Hamka, op Cit, hlm 77 Ibid, hlm 77-78

9

dirinnya yang mendasari tasawufnya itu. Sikapnya itu senada dengan sabda nabi yang berbunyi “Orang beriman yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya adalah laksana orang duduk dibawah sebuah gunung besar yang senantiasa merasa takut gunung itu akan menimpa dirinya.17 Diantara ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri dan senantiasa menjadi buah bibir kaum Sufi adalah : “ Anak adam ! Dirimu, diriku ! Dirimu hanya satu, Kalau ia binasa, binasalah engkau Dan orang yang telah selamat tak dapat menolongmu Tiap-tiap nikmat yang buka surge, adalah hina Dan tiap-tiap bala bencana yang bukan neraka ada mudah”18

2) Rabi’ah Al-Adawiah a) Riwayat hidup Nama lengkap Rabi’ah adalah Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiyah AlBashriyah Al-Qaisiyah, ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H / 713 M / 99 H / 717 M disuatu perkampungan dekat Kota Bashrah (Irak) dan wafat dikota itu pada tahun 185 H / 801 M. ia dilahirkan sebagai putrid keempat dari keluarga yang sangat miskin. Itulah sebabnya, orang tuanya menamakanya Rabi’ah kedua orantuannya meninggal ketika ia masih kecil. Konon pada saat terjadinya bencana perang diBashrah, ia dilahirkan penjahat dan dijual kepada Keluarga Atik dari Suku Qais banu Adwah. Dari sini ia dikenal dengan Al-Qoisiyah atau Al‘Adawiyah. Pada keluarga ini ia bekerja keras, namun kemudian dibebaskan karena tuannya melihat cahaya yang memancar diatas kepala Rabi’ah dan menerangi seluruh ruangan rumah pada saat ia sedang beribadah. 19

17

Ibid, hlm 79 Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung , 2004, hlm : 100 19 Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung , 2004, hlm : 119-120 18

10

Setelah dimerdekakan tuannya, Rabi’ah hidup menyendiri menjalan kehidupan sebagai seorang zahidah dan sufi’ah, ia menjalani sisa hidupnya hanya dengan ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sebagai kekasihnya, ia memperbanyak tobat dan menjauhi hidup duniawi, ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan oleh orang lain kepadanya. Bahkan dalam doanya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan” Pendapat ini ternyata dipersoalkan oleh Badawi, Rabi’ah menurutnya, sebelum bertobat pernah menjalani kehidupan duniawi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, rabi’ah tidak mendapatkan jalan lain, kecuali menjadi penyanyi dan penari sehingga begitu terbenam dalam kehidupan duniawi. Alasan yang digunakan Badawi untuk menguatkan pendapatnya adalah intensitas tobat Rabi’ah itu sendiri, menurut Badawi, tidak mungkin iman dan kecintaan Rabi’ah kepada Allah begitu ekstrimnya, kecuali bila ia pernah sedemikian jauh menjalan dan mencintai kehidupan duniawinya. 20

b) Ajaran Tasawufnya Dalam perkembanganya mistisisme dalam islam tercatat sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Hal ini karena generasi sebelumnya merintis aliran asketisme dalam islam berdasarkan rasa takut dan pengharapan kepada Allah. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus, ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaa ganti dari Allah. Sikap dan pandanganya tentang cinta dapat dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Diantara syair cinta Rabi’ah yang paling mashur adalah : “Aku mencitaimu dengan dua cinta, Cinta karena diriku dan karena dirimu Cinta karena diriku adalah keadaan senantiasa mengingat-Mu Cinta karena diri-Mu Adalah keadaanku mengungkapkan tabir sehingga engkau kulihat Baik ini maupun untuk itu, pujian bukanlah bagiku

20

Badawi, Op Cit, hlm 20-21

11

Bagi-Mu pujian untuk kesemuanya” 21 Ulasan Al-Ghazali tentang Syair Rabi’ah sebagai berikut : “Mungkin yang dimaksud ole Rabi’ah dengan cinta karena dirinya adalah cinta kepada Allah karena kebaikan dan karunia-Nya didunia ini. Sedangkan cinta kepada-Nya adalah karena ia layak dicintai yang kedua merupakan cinta yang paling luhur dan mendalam serta merupakan kelezatan melihat keindahan Tuhan. Hal ini seperti disebabkan dalam Hadits Qudsi . “Bagi hamba-hamba –Ku yang shaleh aku menyiapkan apa yang tidak terlihat mata, tidak terdengar telinga, dan tidak terbesit dikalbu manusia” 22

3) Ma’ruf Al-Khaki (W 200H) Menggunakan konsepsi Al-Syauq sebagai ajaranya 23 Nampaknya setidaknya pada awal munculnya, gerakan ini semacam gerakan sectarian yang introversiois. Pemisahan dari trend kehidupan, eksklusif dan tegas pendirian dalam upaya penyucian diri tanpa memperdulikan alam sekitar. Keuda timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal kepada radikalisme kaum Khawarij dan polarisasi politik yang ditimbulkannya. Kekerasan pergulatan politik pada masa itu, menyebabkan orang-orang yang ingin mempertahankan kesalehan dan ketenangan rohaniah, terpaksa mengambil sikap menjauhi kehidupan masyarakat ramai untuk menyepi dan sekaligus menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam pertentangan politik sikap yang demikian itu melahirkan ajaran uzlah yang dipelopori oleh Suri Al-Saqathi (W 253 H).

24

apabila diukur dari kriteria

sosiologi, nampaknya kelompok ini dapat dikategorikan sebagai gerakan “Sempalan” satu kelompok umat yang sengaja mengambil sikap Uzlah kolektif yang cenderung eksklusif dan kritis terhadap penguasa. Dalam pandangan ini, kecenderungan memilih kehidupan rohaniah mistis, sepertinya merupakan pelarian, atau mencari konpensasi untuk menang dalam medan perjuangan duniawi. Ketika didunia yang penuh tipudaya ini sudah kering dari siraman cinta sesama. Mereka bangun dunia

21

Abu Bakar Muhammad Al-Kalabzi, At-Ta’arruf li Madzhab Ahl At-Tashawwuf, Isa Al Bab Al Halabi, 1960, Hlm 131 22 Al-Ghazali, Ihya’, ‘Ulum ad Dhin. Musthafa bab Al-Halab, Kairo, 1334, hlm, juid 111 23 R.A. Micho Ison, Cit ; 4 24 Fazlur Rahman, Islam. Tej. Ahsin Muhammad, Bandung, 1984 185

12

baru, reliatas baru yang penuh dengan salju cinta. Factor ketiga, Nampaknya adalah karena corak kadifikasi hukum islam dan perumusan ilmu kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etikal yang menyebabkan kehilangan moralitasnya, mejadi semcam wahana tiada isi atau semacam bentuk tanpa jiwa foralitas paham keagamaan

dirasakan

semakin

kering

dan

menyesakkan

ruhuddin

yang

menyebabkan terputusnya komunikasi langsung suasana keakraban personal antara hamba dan penciptanya. Kondisi hukum dan teologi yang kering tanpa jiwa itu, karena dominannya posisi moral dalam agama, para Zuhhad tergugah untuk mencurahkan perhatian terhadap moralitas, sehingga memacu pergeseran asketisme kesalehan kepada tasawuf. Doktrin Al-Zuhd misalya, yang tadinya sebagai dorongan untuk meningkatkan ibadah semata-mata karena rasa takut kepada siksa neraka, bergeser kepada demi kecintaan dan semata-mata karena Allah agar selalu dapat berkomunikasi dengan-Nya. Konsep tawakal yang tadinya berkonotasi kesalehan yang etis, kemudian secara diametral dihadapkan kepada pengingkaran kehidupan yang profanistik disatu pihak dan konsep sentral tentang hubungan manusia dengan Tuhan, yang kemudian populer dnegan doktrin Al-Hubb. Doktrin ALHubb adalah tingkat konsep sentral tentang hubungan Ma’rifat yang berarti mengenal Allah secara langsung melalui pandangan batin. Menurut sebagian sufi, Ma’rifat Allah adalah tujuan akhir dan sekaligus merupakan tingkat kebahagiaan paripurna yang mungkin dicapai oleh manusia didunia ini. Kondisi yang demikian dapat dicapai hanya sesudah mencitau (Al-Hubb) Allah dengan segenap ekspresinya. Berdasarkan kualitas-kualitas yang demikian, maka gerakan ini dikatakan sebagai gerakan gnotisisme (ilmu ladunni, Al Ma’rifat) atau baangkali dapat disejajarkan dengan maniplationist dalam filsafat kelompok ini kemudian mengklaim memiliki ilmu yang khusus dan tidak dapat diberikan kepada sembarang orang untuk memeiliki kualitas ilmu yang seperti itu, harus melalui proses inisiasi yang panjang dan bertingkat-tingkat. 25 Pada abad itu juga, tampil Dzu al-nun Al-Mishri (W 246H) nama lengkapnya Abu Al-Faidz Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180 H / 796 M. Julukan Dzu An-nun diberikan kepadanya 25

Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. Hlm ; 38-40

13

sehubungan dengan berbagai kekaramatanya yang Allah berikan kepadanya. Dalam perjalanan hidupnya Al-Misri selalu berpindah dari suatu tempat ketempat lain. Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Bait Al-Maqdis, Baghdad, Mekah, Hijaz, Syiria pegunungan libanon, Anthokiah, dan lembah Kan’an. Hal ini memungkinkannya untuk memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalam ia hidup pada masa munculnya sejumlah utama terkemuka dalam bidang ilmu fiqih, ilmu hadits dan guru sufi sehingga ia dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka, ia pernah mengikuti pengajuan Ahmad bin Hanbal. Gurunya dalam bidang tasawuf adalah Syaqrah Al-Abd atau Isragil Al-Maghribiy ini memungkinkan baginya untuk menjadi seorang yang alim, baik dalam ilmu syari’at maupun tasawuf. 26

Al-Misri adalah pelopor paham Ma’rifat penilaian ini sangatlah tepat karena berdasarkan riwayatkan Al-Qathfi dan Al-Mas’udi yang kemudian dianalisis Nichason- dan Abd Al-Qadir dalam falsafah Al-Sufiah fi Al-Islam, Al Misri berhasil memperkenalkan corak baru tentang Ma’rifat dalam bidang sufisme Islam. Pertama ia membedakan antara Ma’arifat sufiah dengan ma’rifat Aqliyah. Ma’rifat yang pertama menggunakan pendekatan qaib yang biasa digunakan para sufi, sedangkan Ma’rifat yang kedua menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan para teolog. Kedua, menurut Al-Misir, Ma’rifat merupakah fitrah dalam hati manusia sejak azali. Ketiga, teori-teori Ma’rifat Al-Misri menyerupai gnosisme ala Neo-Platonik. Teori-teorinya itu kemudian dianggap sebagai jembatan menuju teori-teori wahdat Asy-Syuhud dan Ittihad iapun dipandang sebagai orang yang pertama kali memasukkan unsure falsafah dalam tasawuf.27 Sejak diterimanya secara

luas doktrin Al-Maqomat dan Al-Haj,

perkembangan tasawuf telah sampai pada tingkat kejelasan perbedaan dnegan kesalehan asketis, baik dalam tujuan maupun ajaran, Disisi lain, sejak periode ini kelihatannya untuk menjadi seorang sufi semakin berat dan sulit, hampir sama halnya dengan kelahiran kembali seorang manusia, bahkan jauh lebih berat dari kelahiran pertama. Karena kalau kelahiran pertama justru menyongsong kehidupan duniawi yang mengasikkan. Tetapi pada kelahiran kedua ini, justru melepas dan 26 27

Abd. Al-Mun’in Al Hafani, Al-Mausu’ah Ash-Shuffiyyah, Dar Ar-Rasyad, Kairo, 1992 : hlm 165 Andul Qodir Mahmud, Faisafatu Ash-Shufiyyah fi Al- Islam, 1996 : hlm 306

14

membuang kehidupan materi yang menyenangkan, untuk kembali kealam rohaniah, pengabdian dan kecintaan serta kesatuan dengan alam malakut. Sementara itu, dalam abad tiga ini juga Abu Yazid Al-Bisthomi (874-947 M) melangkah lebih maju dengan doktrin Al-Ittiad melalui Al-Fana, yakni beralihnya sifat kemanusiaan seseorang kedalam sifat Ke-Illahian sehingga terjadi penyatuan manusia dengan Tuhan. 28 Sejak munculnya doktrin fana dan itihad, terjadilah pergeseran tujuan akhir dari kehidupan spiritual kalau mulaya tasawuf bertujuan hanya untuk mencintai dan selalu dekat dengan-Nya sehingga dapat berkomunikasi langsung, tujuan itu telah menarik lagi pada tingkat penyatuan drii dengan Tuhan, konsep ini berangkat dari paradigma, bahwa manusia secara niologis adalah jenis makhluk yang mampu melakukan transformasi atau transendensi melalui Mi’raj spiritual kealam illahiyat, berbarengan dengan itu, terjadi pula sikap pro dan kontra terhadap konsepsi Al-Ittihad yang menjadi salah satu sebab terjadinya konflik dalam dunia pemikiran islam baik intern terakhir menuduh sufisme sebagai gerakan sempalan yang sesat. 29 Apabila dilihat dari sisi tasawuf sebagai ilmu, maka fase ini merupakan fase ketiga yang ditandai dengan mulainya unsur-unsur diluar islam berakulturasi dnegan tasawuf. Ciri lain yang penting pada fase ini adalah timbulnya ketegangan antara kaum orthodox denan kelompok sufi berpaham Ittijad dipihak lain. 30 Akibat lanjut dari perbenturan pemikiran itu, maka seklitar akhir abad tiga hijriyah tampil al-Karraj (W 277 H). bersama Al-Junaidi (yang memiliki nama lengkap Asy-Syaikh Abul Qasim Al-Junaidi Al-Baghdadi adalah guru kelompok ahli tasawuf secara mutlak dan imam Bilittifaq (menurut kesepakatan semua kelompok tasawuf) sehingga mnedapat gelar Sayyidut-Tha’ifah Ash-Shufiyyah. Beliau belajar ilmu kepada pamannya sendiri (adik laku-laki dari ibunya) yang bernama Asy-Syaikh Sirri As-Siathi (W 253 H / 867 M). ayahnya seorang penjual kaca yang mendapatkan julukan al Qawariri (sebangsa kaca). Al Junaedi lahir di Negeri Nahawand dan dibesarkan di Irak. Beliau adalah seorang Ahli fiqih yang memberikan fatwa kepada

28

Ibid ; 186 Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme klasik ke Neo-Sufisme, Rajawali Pers, Jakartam 2002, hlm 41 30 Moch. Djamaluddin Ahmad, dua figure tokoh agung, Pustaka Al-Muhibbin, hlm : 67 - 70 29

15

masyarakat, mengikuti mafzhab Abu Tsaur, yaitu murid Al-Imam Asy-Syafi’I dan yang meriwayatkan

madzab

Asy-Syafi’i

Qaul

Qadim.

Disamping

beliau

belajar

menjadimurid Sirri As-Siqthi, beliau juga menjadi Asy-Syaikh Al-Harits Al Muhabisi dan Asy –Syaikh Muhammad bin Ali Al-Qashshab. Beliau adalah termasuk pembesar imam – imam kauh shufi dan pemimpin mereka. Perkataanya dapat diterima dalam semua bahasa. Beliau wafat pada hari sabtu 297 H). menawarkan konsep-konsep tasawuf yang kompromistis antara sufisme dan ortodoksi. Tujuan gerakan ini adalah untuk menjembatani dan atau bila dapat untuk mengintegrasikan antara kesadaran mistik dengan syari’at islam. Jasa mereka yang paling bernilai adalah lahirnya doktrin Al-Baqa atau subsistensi sebagai imbangan dan legalitas Al-Fana. Hasil keseluruhan dari usaha pemaduan itu, doktrin sufi membuahkan sejumlah besar pasanganpasangan kategori dengan tujuan memadukan kesadaran mistik dengan syari’at sebagai suatu lembaga. Upaya tajdid itu mendapatkan sambutan luas dengan tampilannya penulis. Penulis tasawuf tipologi ini, seperti Al-Sarraj dengan Al-Luma, Al Kalabazi dengan Al Ta’aruf Li Madzab ahl Al Tasawuf dan Al Qusyairi dengan Al Risalah. 31 Sesudah masanya ketiha tokoh sufi ini, muncul jenis jenis tasawuf yang berbeda, yaitu Ibn Masarrah (memiliki nama lengkap Muhammad bin Abdullah bin Masarrah (269-319 H). ia merupakan salah seorang sufi sekaligus filosoft dari Andalusia. Ia memberikan pengaruh yang besar terhadap esoteric Mazhab Al Mariyyah lebih jauh Ibn Hazm mengatakan bahwa Ibn Masarrah memiliki kecenderungan yang besar terhadap filsafat, sedangkan dalam kacamata Mushthafa Abdul Raziq, Ibn Masarrah termasuk sufi aliran Ittihadiyyah berbarengan dengan masa Ibn Masarrah, di Andalusia telah muncul tasawuf filosof. Ia lebih banyak disebut –sebut sebagai filosof ketimbangan seorang sufi Namun, pandangan pandanganya tentang filsafat tertutupi oleh kezahidannya. Pada mulanya, Ibn Masarrah merupakan penganut sejati aliran Mu’tazillah, lalu berpaling pada Madzab neo-Platonisme. Oleh karena itu, ia dituduh mencoba menghidupkan kembali filsafat Yunani Kuno).32 Gagasan Ibn Masarrah ini, sesudah masa Al-Ghazali dikembangkan

31

Ibid ; 187 Ibrahim Hilal, At-Tashawwuf Al islami bain Ad Din Wa Al-Falsasfahm dar Al –Nahdhah Al Arabiyyah, hlm 123124 32

16

oleh Suhrawardi Al-Maqtul ( W 578 H) dengan doktrin Al –Isyraqiyah atau illuminasi. Gerakan orthodoksi sufisme mencapai puncaknya pada abad lima Hijriyah melalui tokoh monumental Al-Ghazali. Berikut biografi singkat tentang Al-Ghazali. Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ta’lis Ath-Thusi Asy-Syafi’I Al Ghazali. Secara singkat dipanggil Al Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghazali. Beliau lahir dikota Thus daerah rasan pada tahun 450 H / 1058 M. ayahnya wafat sebelum ia baligh. Beliau hidup berdikasi, mula –mula ia belajar ilmu Khat dari Ayahnya, kemudian setelah ayahnya wafat ia belajar Mabadi. Al-Lughah. Wa Al-fi’ah di negaranya sendiri kepada Al-Imam Abu Hamid Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani At-Thusi. Kemudian beliah pergi ke Jurja untuk mengaji kepada Abu Nasr Al-Isma’ili. Di Jurjan dalam waktu yang tidak lama beliau sudah mampu mengarang Ta’liqah (Penjabaran) tentang ilmu-ilmu yang diperoleh dari gurunya. Setelah itu beliau kembali ke Thus negeri kelahirannya guna mendalami ilmu-ilmunya selama 3 tahun. 33

Kemudian beliau pergi ke Naisabur mengaji kepada Al-Imam Khilaf. Ilmu Jadal, Ilmu Ushuluddin, Ushul Fiqh , Ilmu Mantiq, Ilmu Hikmah dan filsafat kesemuannya dikuasai secara mendalam hanya selama dua tahun. Memang imam Al-Ghazali orang yang sangat cerdas, tepat pendapatnya, sangat luas pandanganya, dan sangat kuat hafalannya dan pandai mendalami ilmu yang rumit, sehingga imam Haramain memberinya julukan Bahr Mughriq (lautan yang menenggelamkan) AlGhazali wafat pada tahun 503 H. Al-Ghazali berupaya mengikis semua jaran tasawuf yang tidak islami, sufisme hasil rekayasanya itu yang sudah merupakan corak baru, mendapatkan tempat yang terhormat dalam kesejahteraan pemikiran umat islam cara yang ditempuhnya untuk menyelesaikan pertikaian itu. Adalah dengan penegasan bahwa ucapan ekstatik berasal dari orang yang arif yang sedang dalam kondisi sakr atau terkesima, sebab dalam kenyataanya, bahwa kesatuan dengan Tuhan itu bukanlah kesatuan hakiki, tetapi kesatuan simbiolistik. 34

33 34

Moch. Dhamaluddin Ahmad, dua figure tokog Agung, Pustaka Al Muhibbin, hlm 14-15 Al-Ghazali, Al – Munqidz min al-Dhalal, 1316 H ; 76

17

Pendekatan yang dilakukan oleh Al-Ghazali, nampaknya bagi satu pihak memberikan jaminan untukmempertahankan prinsip, bahwa Allah dan alam ciptaan Nya adalah dua hal yang berbeda sehingga satu sama lain tidak mungkin bersatu. Di pihak lain memberikan kelonggaran pula bagi para sufi untukmemasuki pengalamanpengalaman kesufian puncak itu tanpa kekhawatiran dituduh kafir. Gambaran ini menunjukkan tasawuf sebagai ilmu telah sampai ke fase kematangannya atau memasuki fase keempat, yang ditandai dengan timbulnya dua aliran tasawuf, yaitu tasawuf sunni dan tasawuf filsafati. Sebab, ternyata pada akhirnya intisari pengalaman kesufian yang menuru Al-Ghazali tidak mungkin diungkapkan, menerobos juga keluar lewat konsep-konsep Ibn Arabi (W 638 H). Tetapi corak Ma’rifat yang diajarkan Sufi kelahiran Murcia ini tidak sama dengan konsep Ma’rifat yang sebelumnya. Ia bukan saja mengungkapkan kesatuan dirinya dengan Tuhan seperti halnya Abu Yazid Al-Busthomi dan Al-Hallaj, tetapi ia memberikan satu pemikiran yang hamper menyerupai filsafat. Ia menjelaskan hubungan antara fenomena lama semester yang pluralistic dengan tuhan sebagai. Prinsip keesaan yang melandasinya. Bertolak dari pendapat para sufi, bahwa yang ada mutlak hanya Allah, ia lalu mengatakan bahwa ala mini sebagai penampakan (Mazhohir) dari nama dan sifat Allah, yang sebenarnya adalah esensi-Nya keterbatasan. 35 Inti ajaran Ibn Arabi yang dikenal dengan sebutan wahdatul Wujud berkembang pula kemana-mana. Pada abad tujuh hijriyah, ajaran ini berkembang di Mesi melalui sufi penyair Ibn Al Faridh (W 633 H) dan Ibn Saba’in (W 669 H) di Andalusia, serta meluas di Persia lewat syair-syair jalaludin rumi (W 672 H). seperti dinyatakan oleh dengan inti ajaran ma’rifat, menurut ajaran ini Tuhan sebagai esensi mutlak-yang menurut Al-Ghazali dapat dikenal tidak mungkin dikenal oleh siapapun, walau oleh Nabi sekalipun menurut Ibn Arabi, Tuhan sebagai Dzat Mutlak hanya bisa dikenal melalui nama dan Sifat-Sifat-Nya, yakni melalui penampakan lahir dari esensi Dzat-Nya, yang mutlak itu. Unsur-unsur ajaran ini, sebenarnya sudah ditemukan dalam konsep bentuk yang sempurna ditemukan pertama kali didunia islam dalam tulisan Ibn Arabi. 36

35 36

Ibn. Arabi, Futurat Al Makiyah, Vol. I, 1977 ; 90 Ibrahim Basuni, Op, Cit : 115

18

Dari uraian ringkas ini terlihat bahwa lima ciri atau karakteristik tasawuf yang dikemukakan terdahulu, ternyata tidak pernah tampil secara utuh pada satu fase dan disemua kawasan barangkali kemunculan tasawuf yang hamper utuh dengan kelima cirinya itu hanyalah pada abad tiga Hijriyah, pada periode tasawuf meningkat menjadi ilmu tentang moralitas. Fase kejayaan dan kematangan tasawuf berlangsung sampai abad ketujuh hijriyah , sebab sejak abad delapan, nampaknya tasawuf mulai mengalami kemunduran dan bahkan stagnasi karena sejak abad ini tidak ada lagi konsep-konsep tasawuf yang baru, yang tertinggal hanyalah sekedar komentar-komentar dan resensi-resensi terhadap karya-karya lama disisi lain, para pengikut tasawuf sudah lebih cenderung kepada penakanan perhatian terhadap berbagai bentuk ritus dan formalisme yang tidak terdapat dalam substansi ajaran. Kemandikan tasawuf sebagai ilmu moralitas, nampaknya seiring dengan situasi global yang menyelimuti dunia pemikiran islam pada masa itu perkembangan tasawuf selanjutnya sudah berganti baju, yaitu dalam bentuk tarikat sufi, yang lebih menonjolkan perkembangan pada aspek ritus dan pengalamanya, bukan pada aspek subtansi ajarannya. Namun bagaimanapun tasawuf bukanlah ilmu yang statis dan penampilannya adalah dalam cara-cara tertentu yang mencerminkan masanya. Dalam tulisan Abdul Karim Al-Jilli (W 832 H) dalam bukunya Al-Insan Al Kamil yang cukup popular, ternyata ajaranya sudah mengalami perubahan-perubahan tertentu. Demikian pula dengan konsep-konsep tasawuf di Indonesia. Sebagaimana terlihat dalam tasawuf Al Raruri adalah pemaduan antara tasawuf Al-Ghazali dengan Al Fansyuri, atau antara paham kesatuan wujud dengan transentalisme. Hal ini berarti, tasawuf selalu dalam kesejahteraannya, karena memang ia bersifat dinamik bukan statis. Akan tetapi satu hal perlu diingat, bahwa tidak setiap orang yang mengerti tasawuf disebut sufi, karena seseorang tidak mungkin dapat mengetahui bahwa ia benar-benar memahami dan merasakan ap ayang dilihat dan dirasakan oleh sufi dalam mi’raj Spiritualnya. Menjadi seorang sufi berarti menjadikan ajaran itu sebagai penggerak

hidupnya. It is to become and not to learn second hand. Manusia

sempurna adalah idola Sufi, manusia yang telah dapat melepaskan ke – aku – an – nya sehingga ia adalah cermin yang merefleksikan setiap aspek realitas Absolut. 37

37

Rivay Siregar, tasawuf dari sufisme klasik ke Neo-sufisme, rajawali per, hlm : 45-46

19

 Dasar – dasar Tasawuf sudah ada sejak datangnya agama Islam, hal ini dapat diketahui dari kehidupan Nabi Muhammad SAW, cara hidup beliau yang kemudian diteladani dan diteruskan oleh para sahabat selama periode makiyah, kesadaran spiritual Rasulullah SAW. Adalah berdasarkan atas pengalamanpengalaman mistik yang jelas dan pasti, sebagaimana dilukiskan dalam Al-Qur’an surat An Najm : 11 -13, surat At Takwir, 22-23. Kemudian ayat-ayat yang menyangkut aspek moralitas dan asketisme, sebagai salah satu masalah prinsip dalam tasawuf, para sufi merujuk kepada Al-Qur’an sebagai landasan utama karena manusia memiliki sifat baik dan sifat jahat, sebagaimana dinyatakan 38 “ Allah mengilhami (jiwa manusia) kejahatan dan kebaikan : maka harus dilakukan pengikisan terhadap sifat yang jelek dan pengembangan sifat-sifat yang baik. Dalam tasawuf dikonsepkan untuk penyucian jiwa. Proses penyucian jiwa itu melalui dua tahap, yakni pembersihan jiwa dari sifat-sifat jelek yang disebut takhalli. Tahap awal dimulai dari pengendalian dan penguasaan hawa nafsu. Sesuai dengan firman Allah “ ...sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi oleh Tuhanmu …”39 “ dan Adapaun orangorang yang takut pada kebesaran tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka surgalah tempat tinggalnya.” Sedangkan tasawuf memiliki kedudukan yang tinggi dalam islam ajaran pokok dalam tasawuf adalah konsel AlHubb dan Ma’rifat yang merupakan perintah Allah melalui firman-Nya : “kami lebih dekat kepada manusia dari pada urat lehernya sendiri” 40

38

Al-Qur’an, Surat Al-Syams ; 8 Al-Qur’an, Surat Yusuf, 53 40 Al-Qur’an, Surat Al-Qaff ; 16 39

20

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Pengertian tasawuf secara lughawi adalah Ahlu Suffah yang berarti sekelompok orang imasa Rasulullah yang hidupnya hanya berdiam diserambi-serambi masjid, dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah. Sedangkan pengertian tasawuf berdasarkan istilah adalah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan ma’rifat menuju keabadian, saling mengingatkan antara manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah dan mengikuti syari’at Rasulullah dalam mendekatkan diri dan mencapai keridaan-Nya. Fungsi tasawuf dalam kehidupan manusia adalah menjadikan manusia berada sedekat mungkin dengan Allah dan menjauhkan diri dari kehidupan duniawi. Perkembangan tasawuf mengalami kejayaan yaitu pada abad ke-3 hijriah dengan munculnya tokoh monumental Al-Ghazali, tetapi ketika memasuki abad ke-8 tasawuf mengalami kemunduran karena tidak ada lagi konsep-konsep tasawuf yang baru.

21

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihan dan Mukhtar Slihin, 2004. Ilmu Tasawuf. Bandung : “Pustaka Setia” Siregar, A. Rivay. 2002. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke NCO. Sufisme. Jakarta : Rajawali Pers Djamaluddin Ahmad, Moch. 2013. Dua figur tokoh agung, Jombang : Pustaka Al-Muhibbin Zaki Ibrahim, Muhammad. 2004. Tasawuf Hitam Putih. Solo : Tiga Serangkai Qoyyinm Al Jauziyah, Ibn dan Haris bin Asad Al-Muhasibi. 1990. Tasawuf Murni. Surabaya : Al-Ihsan Abdul Khaliq, Dr. Abdurrahman dan Ihsan Ilahi Zhahir. 2001 Abdirrahman Al-Sulami, Abu. 2007. Tasawuf. Jakarta : Erlangga AL-Ghazali. 1961. Ihya’ Ulum Ad-Din, Dar Tsawafah Islamiyah, Kairo. Mesir Umari, Barmawi. 1966. Systematika Tasawuf , Solo : Penerbit Siti Syamsiyah Hamka. 1986. Tasawuf : Perkembangan dan pemurniannya Jakarta : Pustaka Panjimas Nasution, Harun. 1978. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam Jakarta : Bulan Bintang Al-Hafani, Abd. Al-Munin, 1992. Al Mausu’ah Ash-Shufiyah. Kairo. Dar Ar-Rasyad Mahmud, Abdul Qodir. 1966. Falsasafah Ash-Shufiyyah fi Al-Islam. Kairo : Dar Al-Fikr Al-Arab

More Documents from "Affan Tulus Satria"