BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Umat islam merupakan jumlah umat yang paling besar diantara umat bergama
lainnya, bahkan ternasuk jumlah paling banyak umat pemeluk islam dalam suatu negara. Jumlah sebesar tersebut tidak diimbangi dengan kuantitas hukum islam yang berlaku di indonesia sebagai hukum positif.1 Hukum Islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia atas nash al-Qur’an maupun As-Sunnah untuk mengatur kehidupan manusia yang berlaku secara universal-relevan pada setiap zaman (waktu) dan Makan (ruang) manusia. Keuniversalan hukum Islam ini sebagai kelanjutan langsung dari hakekat Islam sebagai agama universal, yakni agama yang substansi-substansi ajaran-Nya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu manusia, melainkan berlaku bagi semua orang Islam di mana pun, kapan pun, dan kebangsaan apapun. Selama ini dalam menyelesaikan perkara-perkara muamalah, hakim pengadilan agama berpedoman kepada kitab fikih yang berasal dari madzhab Syafi'i, yang penggunaannya dapat dipastikan tergantung pada kemampuan hakim-hakim pengadilan agama yang bersangkutan dalam memahami secara utuh dan menyeluruh kitab-kitab fikih tersebut. Dampaknya tidak menutup kemungkinan timbul suatu putusan yang berbeda-beda, walaupun perkara-perkara yang diajukan kepadanya sama. Untuk itu, sudah seyogianya kita memiliki pula hukum materiil berupa hukum islam yang berbentuk kodifikasi yang nantinya dijadikan landasan bersama dalam mengadili, sehingga tidak akan menimbulkan disparitas (perbedaan) putusan lagi.2 Kehadiran Kompilasi Hukum Islam sebagai jaminan pelaksanaan hukum agama Islam dalam kehidupan bernegara, dilihat dari sudut pandang politik hukum 1
Rahadyan Setiawan, Pelaksanaan Pembagian warisan menurut Hukum Islam(Studi pada Pengadilan Agama Sleman, (Semarang: 2003),hal.1 2 Ayobelajaronline69.blogspot.com/2014/01/makalah-sejarah-dan-proses-perumusan-khi.html
1
menampakkan dua hal. Pertama Kompilasi Hukum Islam, yang berlaku khusus bagi umat Islam. Menunjukkan bahwa dalam rangka pembinaan hukum nasional, unifikasi hukum sebagai pelaksanaan wawasan nusantara tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya (secara kaku), demi kepentingan yang harus lebih dijamin yaitu kepentingan untuk memberikan ruang gerak bagi kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum agama. Kedua, adanya hak kelompok tertentu dalam masyarakat dalam hal ini ummat islam untuk melaksanakan hukum agamanya tidak dapat ditawar. Dalam kaitannya dengan slogan bhineka tunggal ika, kesempatan yang diberikan oleh pemerintah bagi dibentuk dan diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam adalah bentuk ke-bhinneka-an dalam kesadaran menjalankan hukum agama, namun tetap tunggal ika dalam wadah Negara Rukum Republik Indonesia.3 B.
Rumusan Masalah Berdasarkan penjelasan di atas, masalah yang akan saya paparkan adalah
sebagai berikut: 1.
Bagaimana Kemunculan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia?
2.
Apakah pengertian Kompilasi Hukum Islam?
3.
Bagaimana Proses Perumusan Kompilasi Hukum Islam?
4.
Bagaimanakah kedudukan dan penerapan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia?
C.
Tujuan Penulisan Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan diatas,maka tujuan yang
hendak dicapai dalam makalah ini adala sebagai berikut : 1.
Untuk mengetahui pengertian dan kemunculan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
2.
Untuk mengetahui Proses Perumusan Kompilasi Hukum Islam
3.
Untuk mengetahui Kedudukan dan Penerapan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
3
Daway1982.blogspot.com/2011/06/blog-post.html
2
B A B II PEMBAHASAN
A.
Kemunculan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Setelah Indonesia merdeka, ditetapkan 13 kitab fikih sebagai referensi hukum
materiil di pengadilan agama melalui Surat Edaran Kepala Biro Pengadilan Agama RI. No. B/1/735 tanggal 18 februari 1985. Hal ini dilakukan karena hukum Islam yang berlaku di tengah-tengah masyarakat ternyata tidak tertulis dan berserakan di berbagai kitab fikih yang berbeda-beda. Akan tetapi penetapan kitab-kitab fikih tersebut juga tidak berhasil menjamin kepastian dan kesatuan hukum di pengadilan agama. Muncul persoalam krusial yang
3
berkenaan dengan tidak adanya keseragaman para hakim dalam menetapkan keputusan hukum terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Berbagai hal dan situasi hukum Islam itulah yang mendorong dilakukannya kompilasi terhadap hukum Islam di Indonesia untuk menjamin kepastian dan kesatuan penerapan hukum Islam di Indonesia. Hal ini disebabkan tidak tersedianya kitab materi hukum Islam yang sama. Secara material memang telah ditetapkan 13 kitab yang dijadikan rujukan dalam memutuskan perkara yang kesemuanya bermazhab Syafi’i. Akan tetapi tetap saja menimbulkan persoalan yaitu tidak adanya keseragaman keputusan hakim. Bustanul Arifin adalah seorang tokoh yang tampil dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Indonesia. Gagasan-gagasan ini didasari pada pertimbangan-pertimbangan berikut: 1. Untuk berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat. 2. Persepsi yang tidak seragam tentang syari’ah menyebabkan hal-hal: a. Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam itu (maa anzalallahu), b. Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syari’at itu (Tanfiziyah) dan c. Akibat kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perundangan lainya. 3. Di dalam sejarah Islam, pernah ada tiga Negara dimana hukum Islam diberlakukan 1. Sebagai perundang-undangan yang terkenal dalam fatwa Alamfiri, 2. Di kerajaan Turki Ustmani yang terkenal dengan nama Majallah alAhkam Al-Adliyah dan
4
3. Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasikan di Subang.4 Gagasan Bustanul Arifin disepakati dan dibentuklah Tim pelaksana Proyek dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No.07/KMA/1985. Dalam Tim tersebut Bustanul dipercaya menjadi Pemimpin Umum dengan anggota Tim yang meliputi para pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Dengan kerja keras anggota Tim dan ulama-ulama, cendikiawan yang terlibat di dalamnya maka terumuslah KHI yang ditindaklanjuti dengan keluarnya instruksi presiden No.1 Tahun 1991 kepada menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, Buku III tentang Perwakafan. Inpres tersebut ditindaklanjuti dengan SK Menteri Agama No.154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991. Kemunculan KHI di Indonesia dapat dicatat sebagai sebuah prestasi besar yang dicapai umat Islam. Setidaknya dengan adanya KHI itu, maka saat ini di Indonesia tidak akan ditemukan lagi pluralisme Keputusan Peradilan agama, karena kitab yang dijadikan rujukan hakim Peradilan Agama adalah sama. Selain itu fikih yang selama ini tidak positif, telah ditransformasikan menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat seluruh umat Islam Indonesia. Lebih penting dari itu, KHI diharapkan akan lebih mudah diterima oleh masyarakat Islam Indonesia karena ia digali dari tradisitradisi bangsa indonesia. Jadi tidak akan muncul hambatan Psikologis di kalangan umat Islam yang ingin melaksanakan Hukum Islam.5 B.
Pengertian Kompilasi Hukum Islam Kata “kompilasi” berasal dari bahasa Latin compilare yang mempunyai arti
mengumpulkan bersama-sama, seperti mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar berserakan dimana-mana. Dalam bahasa inggris “compilation” (himpunan undang-undang). Dalam bahasa belanda ditulis “compilatie” (kumpulan dari lain-lain
4
aafandia.wordpress.com/2009/05/20/instruksi-presiden-ri-nomor-1-tahun-1991-tentang-kompilasihukum-islam/ 5 http://el-ghozali-hasanah.blogspot.com/2011/04/sejarah-terbentuknya-kompilasi-hukum-islam.html
5
karangan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kompilasi berarti kumpulan yang tersusun secara teratur (tentang daftar informasi, karangan dan sebagainya). Koesno memberi pengertian Kompilasi dalam dua bentuk. Pertama sebagai hasil usaha mengumpulkan berbagai pendapat dalam satu bidang tertentu, kedua Kompilasi diartikan dalam wujudnya sebagai suatu benda seperti berupa suatu buku yang berisi kumpulan pendapat-pendapat yang ada mengenai suatu bidang persoalan tertentu.6 Bustanul Arifin menyebut Kompilasi Hukum Islam sebagai "fiqih dalam bahasa undang-undang atau dalam bahasa rumpun Melayu disebut peng-kanun-an hukum syara’’.7 Wahyu Widiana menyatakan bahwa "Kompilasi Hukum Islam adalah sekumpulan materi Hukum Islam yang ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri atas 3 kelompok materi hukum, yaitu Hukum Perkawinan(170 pasal), Hukum Kewarisan termasuk Wasiat dan Hibah (44 pasal), dan Hukum Perwakafan (14 pasal), ditambah satu pasal Ketentuan Penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebut. Rumusan yang sama dikemukakan Muhammad Daud Ali, Kompilasi Hukum Islam adalah kumpulan atau himpunan kaidah-kaidah hukum Islam yang disusun secara sistematis. Isi dari Kompilasi Hukum Islam terdiri atas tiga buku, masingmasing buku dibagi ke dalam beberapa bab dan pasal, dengan sistematika sebagai berikut : Buku I Hukum Perkawinan terdiri dari 19 bab dengan 170 pasal. Buku II Hukum Kewarisan terdiri dari 6 bab dengan44 pasal (daripasal 171 sampai dengan Pasal 214). Buku III Hukum Perwakafan, terdiri dari 5 Bab dengan 14 Pasal (dari Pasal 215 sampai dengan Pasal 228).8 Kebutuhan akan adanya Kompilasi Hukum Islam bagi Peradilan Agama sudah lama menjadi catatan dalam sejarah Departemen Agama.
6
M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama : Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta : Total Media, 2006, hlm. 94. 7 Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah Hambatan dan Prospeknya, Jakarta : Gema Insani Press, 1996, hlm. 49. 8 Mohammad Daud Ali,Hukum Islam,pengantar ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers,2014, hlm 297
6
Secara materi, Kompilasi Hukum Islam dapat dikatakan sebagai hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Dikatakan tertulis sebab sebagian materi Kompilasi Hukum Islam merupakan kutipan dari atau menunjuk materi perundangan yang berlaku, seperti UU Nomor 1 Tahun 1974,tentang Perkawinan, UU Nomor 22 Tahun 1946 jo UU 32 Tahun 1954,tentang Pencatatan Nikah bagi Umat Islam, PP Nomor 9 Tahun 1975, tentang Aturan Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 dan sebagainya. Dikatakan sebagai hukum tidak tertulis sebab sebagian materi Kompilasi Hukum Islam merupakan rumusan yang diambil dari materi fiqh atau ijtihad para ulama dan kesepakatan para peserta lokakarya. Kondisi Kompilasi Hukum Islam yang bukan peraturan perundang undangan itu yang menjadikan Kompilasi Hukum Islam disikapi beragam oleh Pengadilan Agama (PA) maupun Pengadilan Tinggi Agama (PTA). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Kompilasi Hukum Islam itu adalah ketentuan hukum Islam yang ditulis dan disusun secara sistematis menyerupai peraturan perundang-undangan untuk sedapat mungkin diterapkan seluruh umat Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang yang telah diatur Kompilasi Hukum Islam. Oleh para hakim peradilan agama Kompilasi Hukum Islam digunakan sebagai pedoman dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. C.
Proses Perumusan Kompilasi Hukum Islam Untuk melihat gambaran umum hukum islam sebagai bagian hukum nasional,
dengan mengikuti proses perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Untuk mendeskripsikan proses perumusan kompilasi hukum Islam, tidak terlepas pada latar belakang Kompilasi Hukum Islam, Landasan Yuridis dan Landasan Fungsional. 1. Latar Belakang Penyusunan Kompilasi Hukum Islam Lahirnya KHI tidak dapat dipisahkan dari latar belakang dan perkembangan (pemikiran) hukum Islam di Indonesia. Di satu sisi, pembentukan KHI terkait erat dengan usaha-usaha untuk keluar dari situasi dan kondisi internal hukum Islam yang masih diliputi suasana kebekuan intelektual yang akut. Di sisi lain, KHI mencerminkan perkembangan hukum Islam dalam konteks hukum nasional, melepaskan diri dari
7
pengaruh teori receptie, khususnya dalam rangkaian usaha pengembangan Pengadilan Agama. Hukum Islam di Indonesia memang sejak lama telah berjalan di tengah-tengah masyarakat. Namun harus dicatat bahwa hukum Islam tersebut tidak lain merupakan hukum fiqh hasil interpretasi ulama-ulama abad ke dua hijriyah dan abad-abad sesudahnya. Pelaksanaan hukum Islam sangat diwarnai suasana taqlid serta sikap fanatisme mazhab yang cukup kental. Ini makin diperparah dengan anggapan bahwa fiqh identik dengan Syari’ah atau hukum Islam yang merupakan wahyu aturan Tuhan, sehingga tidak dapat berubah. Umat Islam akhirnya terjebak ke dalam pemahaman yang tumpang tindih antara yang sakral dengan yang profan. Situasi tersebut berimplikasi negatif terhadap pelaksanaan hukum Islam di lingkungan Peradilan Agama. Pengidentifikasian fiqh dengan Syari’ah atau hukum Islam sepertiitu telah membawa akibat kekeliruan dalam penerapan hukum Islam yang sangat “keterlaluan”. Dalam menghadapi penyelesaian kasus-kasus perkara di lingkungan peradilan agama, para hakim menoleh kepada kitab-kitab fiqh sebagai rujukan utama. Jadi, putusan pengadilan bukan didasarkan kepada hukum, melainkan doktrin serta pendapat-pendapat mazhab yang telah terdeskripsi di dalam kitab-kitab fiqh. Akibat dari cara kerja yang demikian, maka lahirlah berbagai produk putusan Pengadilan Agama yang berbeda-beda meskipun menyangkut satu perkara hukum yang sama. Hal ini menjadi semakin rumit dengan adanya beberapa mazhab dalam fiqh itu sendiri, sehingga terjadi pertarungan antar mazhab dalam penerapan hukum Islam di Pengadilan Agama. Proses penerapan hukum Islam yang simpang-siur tersebut di atas tentu saja tidak dapat dibenarkan dalam praktek peradilan modern, karena menimbulkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Menjadikan kitab-kitab fiqh sebagai rujukan hukum materiil pada pengadilan agama juga telah menimbulkan keruwetan lain. Kenyataan-kenyataan ini mengharuskan dibentuknya sebuah unifikasi hukum Islam
8
yang akhirnya berhasil disahkan pada tahun 1991, yakni Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan oleh Inpres No. 1 tahun 1991. 2. Landasan Yuridis Landasan yuridis mengenai perlunya hakim memperhatikan kesadaran hukum masyarakat adalah Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 1 yang berbunyi: ” Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Selain itu, Fikih Islam mengungkapkan kaidah:” Hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu, tempat, dan keadaan”. Keadaan masyarakat itu selalu berkembang, karenanya pelaksanaan hukum menggunakan metode yang sangat memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Diantara metode itu ialah maslahat mursalah, istihsan, istishab, dan urf. 3. Landasan fungsional. Kompilasi Hukum Islam adalah fikih Indonesia karena ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. Fikih Indonesia dimaksud adalah fikih yang telah dicetuskan oleh Hazairin dan T.M. Hasbi AshShiddiqi. Fikih sebelumnya mempunyai tipe fikih lokal semacam fikih Hijazy, fikih Mishry, fikih Hindy, fikih lain-lain yang sangat mempehatikan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat setempat. Ia mengarah kepada unifikasi mazhab dalam hukum islam. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum di Indonesia ini merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum nasional di Indonesia.9 D.
Kedudukan Dan Penerapan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia Dalam konteks sosiologis kompilasi yang bersubtansi hukum islam itu jelas
merupakan produk keputusna politik. Instrument hukum politik yang digunakan adalah Inpres no.1 tahun 1991. Selain formulasi hukum Islam dalam tata hukum Indonesia,
9
Saekan dan Erniati Effendi, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Arkola, Surabaya, 1997, hlm. 20-22.
9
KHI bisa disebut sebagai representasi dari sebagian substansi hukum material Islam yang dilegislasikan oleh penguasa politik pada zaman orde baru. Dengan demikian KHI mempunyai kedudukan yang penting dalam tata hukum Indonesia. Karena merupakan sebuah produk hukum dari proses politik orde baru. Karena itu selain bersifat nisbi, KHI dengan segala bentuknya, kecuali ruh hukum Islamnya, merupakan cerminan kehendak social para pembuatnya. Kehadiranya dengan demikian sejalan dengan motif-motif social, budaya dan politik tertentu dari pemberi legitimasi, dalam hal ini rezim politik orde baru. Perkembangan konfigurasi politik senantiasa mempengaruhi perkembangan produk hukum. Konfigurasi politik tertentu senantiasa melahirkan produk hukum yang memiliki karakter tertentu. Konfigurasi politik yang demokratis senantiasa melahirkan hukum-hukum yang berkarakter responsive/populistik, sedangkan konfigurasi politik otoriter
senantiasa
akan
melahirkan
hukum-hukum
yang
berkarakter
konservatif/ortodoks.10 Pengaruh politik hukum terhadap KHI akan menjadi karakter-karakter politik hukum Islam di Indonesia. Pengaruh tersebut akan membawa konsekuensi untuk memperbincangkan kembali diskursus hukum agama dan hukum Negara di dalam wadah Negara Pancasila. Keberadaan hukum islam harus diselaraskan dengan visi pembangunan hukum yang dicanangkan Negara. Disini lalu terjadi proses filterisasi terhadap materi hukum Islam oleh Negara. Dengan demikian, secara ideologis KHI berada pada titik tengah antara paradigm agama dan paradigma Negara. Dalam paradigm agama, hukum Islam wajib dilaksanakan oleh Umat Islam secara kaffah, tidak mengenal ruang dan waktu. Penerapannya dalam kehidupan social menjadi misi agama yang suci. Dengan kata lain bahwa
hukum
Islam
berada
dalam
penguasaan
hukum
Negara
dengan
mempertimbangkan pluralitas agama, etnis, ras dan golongan. Hasil interaksi dari dua paradigma yang berbeda itu merupakan wujud nyata politik Negara terhadap hukum
10
Mahfud, Moh, MD, Perkembangan Politik Hukum, Yogyakarta, 1993, hal, 675, 676.
10
islam di Indonesia. Karena itu KHI merupakan satu-satunya hukum materiil Islam yang memperoleh legitimasi politik dan yuridis dari Negara. Ada dua hal yang menjadi pertimbangan sehingga KHI penting untuk disebarluaskan, pertama karena KHI diterima oleh Majelis Ulama Indonesia. Kedua Karena KHI bisa dipergunaka sebagai pedoman dalam menyelesaikan maslaahmasalah perkawinan, kewarisan dan perwakafan, baik oleh instansi pemerintah maupun masyarakat yang memerlukannya. KHI bisa dijadikan pedoman bagi hakim dilingkungan Badan Peradilan Agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya. Maka tampak sebetulnya fungsi pedoman itu ditujukan bagi para hakim dilingkungan Badan Peradilan Agama. Sedangkan masyarakat yang disebutkan hanya bersifat tawaran alternative. Implementasi Kompilasi Hukum islam bersifat fakultatif, yaitu ketentuanketentuan hukum islam yang boleh dikatakan sebagai hasil ijtihad kolektif ala Indonesia yang tertuang dalam Inpres no. 1 Tahun 1991, itu tidak secara priority mengikat dan memaksa warga Negara Indenesia, khususnya ummat Islam. KHI bersifat anjuran dan alternative hukum.11 E. Kompilasi Hukum Islam dan Fikih Mawaris Kalau dibandingkan KHI mengenai Kewarisan dengan kitab Fiqhul Mawaris karangan Prof.T.M.Hasbie Ash Shiddiqy,misalnya, maka yang tercantum dalam Buku II Kompilasi Hukum Islam itu, hanyalah yang penting-penting saja, berupa pokokpokoknya saja. Ini disebabban karena garis-gari hukum yang dihimpun dalam ‘dokumentasi yustisia’ yang disebut Kompilasi Hukum Islam itu hanyalah sebagai pedoman
dalam
menyelesaikan
perkara-perkara
di
bidang
hukum
perkawinan,kewarisan,dan perwakafan. Pengembangannya diserahkan kepada hakim (agama) yang wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh niai-nilai hukum yang 11
Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi terhadap Legislasi Kompilasi Hukum Islam), Jurnal Mimbar Hukum No. 59 Th. XIV, al-Hikmah, 2003, hal. 74.
11
hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan, seperti yang diharapkan oleh pasal penutup (229) kompilasi. Kendatipun demikian, beberapa catatan berikut perlu dikemukakan. Pertama, karena garis-garis hukum mengenai kewarisan islam sudah ditentukan sudah ditentukan dalam Alquran, maka rumusan kompilasi mengikuti saja garis rumusan yang terdapat dalam al-quran. Mengenai ini tidak ada perbedaan antara kompilasi dengan fikih Mawaris. Sementara itu perlu dicatat bahwa kendati pun semangat perumusan kompilasi mengarah ke sistem bilateral, namun modifikasi dalam masalah kewarisan ini, dibandingkan dengan fiqhul mawaris, tampaknya dilakukan secara hatihati. Kedua, kedudukan anak angkat tetap diletakkan diluar ahli waris, sama dengan yang terdapat dalam fikih mawaris selama ini, namun, dengan mengadaptasi nilai hukum adat secara terbatas kedalam nlai hukum islam karena beralihnya tanggungjawab orang tua asal kepada orang tua angkat mengenai pemeliharaan kehidupan sehari-hari dan biaya pendidikan berdasarkan putusan pengadilan, seperti yang disebutkan dalam huruf h, pasal 171 di ketentuan umum, maka “terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajib sebanyak-banyaknya sepertiga harta warisan orang tua angkatnya”. Demikian disebutkan dalam pasal 209 ayat (2) kompilasi. Dalam Fikih Mawaris selama ini, lembaga wasiat itu di peruntukkan bagi cucu yang orang tuanya telah meninggal lebih dahulu dari pewaris, yang dalam kompilasi ini di tampung oleh lembaga ahli waris pengganti. Ketiga, tentang warisan yang diperoleh anak yang belum dewasa dan karena itu belu atau tidak mampu mengurus hartanya sendiri, berbeda dengan fikih mawaris, KHI mengatur soal itu secara rinci yang tertuang dalam beberapa pasal, misalnya, pasal 184 yang menyatakan bahwa untuk menjamin terpeliharanya harta warisn anak yang belum dewasa ,diangkat wali berdasarkan keputusan hakim. Menurut pasal 107 perwalian mengenai diri dan harta kekayaan anak dan berlangsung sampai anak itu berumur 21 tahun. Walinya sedapat mungkin dari keluarga anak bersangkutan. Wali bertanggungjawab terhadap harta (anak) yang berada dibawah perwaliannya, dilarang mengikat, membebani, dan mengasingkan harta anak yang berada dibawah perwaliannya serta wajib 12
mempertanggungjawabkan perwaliannya yang dipercayakan kepadanya itu dengan pembukuan, sebagai bukti yang ditutup setiap akhir tahun,. Demikianlah beberapa hal yang perlu dikemukakan berkenaan dengan Kompilasi Hukum Islam dan Fikih Mawaris.12
B A B III PENUTUP Kesimpulan
12
Mohammad Daud Ali, ,Hukum Islam,pengantar ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers,Op.cit hlm 330-332
13
Berdasarkan uraian serta pembahasan pada bagian sebelumnya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Kemunculan gagasan KHI di latarbelakangi dan didorong oleh kebutuhan teknis yudisial peradilan agama. Kompilasi Hukum Islam itu adalah ketentuan hukum Islam yang ditulis dan disusun secara sistematis menyerupai peraturan perundangundangan untuk sedapat mungkin diterapkan seluruh umat Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang Perkawinan,Kewarisan dan Perwakafan. KHI mempunyai kedudukan yang penting dalam tata hukum Indonesia.
14
DAFTAR PUSTAKA
Setiawan, Rahadyan, Pelaksanaan Pembagian warisan menurut Hukum Islam, (Semarang: 2003) Ayobelajaronline69.blogspot.com/2014/01/makalah-sejarah-dan-proses-perumusankhi.html Daway1982.blogspot.com/2011/06/blog-post.html aafandia.wordpress.com/2009/05/20/instruksi-presiden-ri-nomor-1-tahun-1991tentang-kompilasi-hukum-islam/ http://el-ghozali-hasanah.blogspot.com/2011/04/sejarah-terbentuknya-kompilasihukum-islam.html M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama : Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta : Total Media, 2006, Arifin, Bustanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah Hambatan dan Prospeknya, Jakarta : Gema Insani Press, 1996 Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam,pengantar ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers,2014 Saekan dan Erniati Effendi, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Arkola, Surabaya, 1997 Mahfud, Moh, MD, Perkembangan Politik Hukum, Yogyakarta, 1993 Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi terhadap Legislasi Kompilasi Hukum Islam), Jurnal Mimbar Hukum No. 59 Th. XIV, al-Hikmah, 2003 KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr.Wb.
15
Puji dan syukur yang tak terhingga kami panjatkan kehadirat Allah SWT,karena atas berkat, rahmat,dan hidayah-Nya jualah sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah “Sejarah Kompilasi Hukum Islam ” sesuai dengan batas yang ditentukan. Sebagai penulis, kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah yang sekarang ada ditangan pembaca yang budiman masih jauh dari kesempurnaan, dimana masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan didalamnya. Maka dari itu,saran dan kritik yang sifatnya membangun dan melangkapi sangat kami harapkan guna menutupi kekurangan dalam penulisan makalah ini. Akhir kata, hanya pembaca budimanlah yang dapat menilai kelebihan dan kekurangan yang terdapat dalam isi makalah ini. Semoga makalah sederhana ini dapat memberikan tambahan ilmu guna memperkaya wawasan pembaca yang budiman termasuk dari kami pribadi.
Gowa, Maret 2014
Kelompok 1
DAFTAR ISI
16
KATA PENGANTAR ----------------------------------------------------------------------- 1 DAFTAR ISI ---------------------------------------------------------------------------------- 2 BAB I PENDAHULUAN ----------------------------------------------------------------- 3 A. Latar Belakang ------------------------------------------------------------------ 3 B. Rumusan Masalah -------------------------------------------------------------- 4 C. Tujuan Penulisan --------------------------------------------------------------- 4 BAB II PEMBAHASAN ------------------------------------------------------------------- 4 A. Pengertian Negara -------------------------------------------------------------- 4 B. Pengertian Negara menurut perspektif Islam ------------------------------- 6 C. Kedaulatan Negara ------------------------------------------------------------- 7 D. Kedaulatan Negara menurut Perspektif Islam ------------------------------ 9 E. Bentuk Negara ------------------------------------------------------------------ 10 F. Bentuk Negara menurut Perspektif Islam ----------------------------------- 12 BAB III PENUTUP -------------------------------------------------------------------------- 14 DAFTAR PUSTAKA ------------------------------------------------------------------------
BAB I PENDAHULUAN
17
D. Latar Belakang Umat islam merupakan jumlah umat yang paling besar diantara umat bergama lainnya, bahkan ternasuk jumlah paling banyak umat pemeluk islam dalam suatu negara. Jumlah sebesar tersebut tidak diimbangi dengan kuantitas hukum islam yang berlaku di indonesia sebagai hukum positif.13 Hukum Islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia atas nash al-Qur’an maupun As-Sunnah untuk mengatur kehidupan manusia yang berlaku secara universal-relevan pada setiap zaman (waktu) dan Makan (ruang) manusia. Keuniversalan hukum Islam ini sebagai kelanjutan langsung dari hakekat Islam sebagai agama universal, yakni agama yang substansi-substansi ajaran-Nya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu manusia, melainkan berlaku bagi semua orang Islam di mana pun, kapan pun, dan kebangsaan apapun. Selama ini dalam menyelesaikan perkara-perkara muamalah, hakim pengadilan agama berpedoman kepada kitab fikih yang berasal dari madzhab Syafi'i, yang penggunaannya dapat dipastikan tergantung pada kemampuan hakim-hakim pengadilan agama yang bersangkutan dalam memahami secara utuh dan menyeluruh kitab-kitab fikih tersebut. Dampaknya tidak menutup kemungkinan timbul suatu putusan yang berbeda-beda, walaupun perkara-perkara yang diajukan kepadanya sama. Untuk itu, sudah seyogianya kita memiliki pula hukum materiil berupa hukum islam yang berbentuk kodifikasi yang nantinya dijadikan landasan bersama dalam mengadili, sehingga tidak akan menimbulkan disparitas (perbedaan) putusan lagi.14 Kehadiran Kompilasi Hukum Islam sebagai jaminan pelaksanaan hukum agama Islam dalam kehidupan bernegara, dilihat dari sudut pandang politik hukum menampakkan dua hal. Pertama Kompilasi Hukum Islam, yang berlaku khusus bagi umat Islam. Menunjukkan bahwa dalam rangka pembinaan hukum nasional, unifikasi hukum sebagai pelaksanaan wawasan nusantara tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya 13
Rahadyan Setiawan,SH, “Pelaksanaan Pembagian warisan menurut Hukum Islam”, (Semarang: 2003),hal.1 14 Ayobelajaronline69.blogspot.com/2014/01/makalah-sejarah-dan-proses-perumusan-khi.html
18
(secara kaku), demi kepentingan yang harus lebih dijamin yaitu kepentingan untuk memberikan ruang gerak bagi kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum agama. Kedua, adanya hak kelompok tertentu dalam masyarakat dalam hal ini ummat islam untuk melaksanakan hukum agamanya tidak dapat ditawar. Dalam kaitannya dengan slogan bhineka tunggal ika, kesempatan yang diberikan oleh pemerintah bagi dibentuk dan diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam adalah bentuk ke-bhinneka-an dalam kesadaran menjalankan hukum agama, namun tetap tunggal ika dalam wadah Negara Rukum Republik Indonesia.15 E. Rumusan Masalah Berdasarkan penjelasan di atas, masalah yang akan kami paparkan adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana Kemunculan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia?
2.
Apakah pengertian Kompilasi Hukum Islam?
3.
Bagaimana Proses Perumusan Kompilasi Hukum Islam?
4.
Bagaimanakah kedudukan dan penerapan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia?
F. Tujuan Penulisan Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan diatas,maka tujuan yang hendak dicapai dalam makalah ini adala sebagai berikut : 1.
Untuk mengetahui pengertian dan kemunculan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
2.
Untuk mengetahui Proses Perumusan Kompilasi Hukum Islam
3.
Untuk mengetahui Kedudukan dan Penerapan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. B A B II PEMBAHASAN
15
Daway1982.blogspot.com/2011/06/blog-post.html
19
F.
Kemunculan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Setelah Indonesia merdeka, ditetapkan 13 kitab fikih sebagai referensi hukum
materiil di pengadilan agama melalui Surat Edaran Kepala Biro Pengadilan Agama RI. No. B/1/735 tanggal 18 februari 1985. Hal ini dilakukan karena hukum Islam yang berlaku di tengah-tengah masyarakat ternyata tidak tertulis dan berserakan di berbagai kitab fikih yang berbeda-beda. Akan tetapi penetapan kitab-kitab fikih tersebut juga tidak berhasil menjamin kepastian dan kesatuan hukum di pengadilan agama. Muncul persoalam krusial yang berkenaan dengan tidak adanya keseragaman para hakim dalam menetapkan keputusan hukum terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Berbagai hal dan situasi hukum Islam itulah yang mendorong dilakukannya kompilasi terhadap hukum Islam di Indonesia untuk menjamin kepastian dan kesatuan penerapan hukum Islam di Indonesia. Hal ini disebabkan tidak tersedianya kitab materi hukum Islam yang sama. Secara material memang telah ditetapkan 13 kitab yang dijadikan rujukan dalam memutuskan perkara yang kesemuanya bermazhab Syafi’i. Akan tetapi tetap saja menimbulkan persoalan yaitu tidak adanya keseragaman keputusan hakim. Bustanul Arifin adalah seorang tokoh yang tampil dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Indonesia. Gagasan-gagasan ini didasari pada pertimbangan-pertimbangan berikut: 4. Untuk berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat. 5. Persepsi yang tidak seragam tentang syari’ah menyebabkan hal-hal: d. Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam itu (maa anzalallahu), e. Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syari’at itu (Tanfiziyah) dan
20
f. Akibat kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perundangan lainya. 6. Di dalam sejarah Islam, pernah ada tiga Negara dimana hukum Islam diberlakukan 4. Sebagai perundang-undangan yang terkenal dalam fatwa Alamfiri, 5. Di kerajaan Turki Ustmani yang terkenal dengan nama Majallah alAhkam Al-Adliyah dan 6. Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasikan di Subang. Gagasan Bustanul Arifin disepakati dan dibentuklah Tim pelaksana Proyek dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No.07/KMA/1985. Dalam Tim tersebut Bustanul dipercaya menjadi Pemimpin Umum dengan anggota Tim yang meliputi para pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Dengan kerja keras anggota Tim dan ulama-ulama, cendikiawan yang terlibat di dalamnya maka terumuslah KHI yang ditindaklanjuti dengan keluarnya instruksi presiden No.1 Tahun 1991 kepada menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, Buku III tentang Perwakafan. Inpres tersebut ditindaklanjuti dengan SK Menteri Agama No.154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991. Kemunculan KHI di Indonesia dapat dicatat sebagai sebuah prestasi besar yang dicapai umat Islam. Setidaknya dengan adanya KHI itu, maka saat ini di Indonesia tidak akan ditemukan lagi pluralisme Keputusan Peradilan agama, karena kitab yang dijadikan rujukan hakim Peradilan Agama adalah sama. Selain itu fikih yang selama ini tidak positif, telah ditransformasikan menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat seluruh umat Islam Indinesia. Lebih penting dari itu, KHI diharapkan akan lebih mudah diterima oleh masyarakat Islam Indonesia karena ia digali dari tradisitradisi bangsa indonesia. Jadi tidak akan muncul hambatan Psikologis di kalangan umat Islam yang ingin melaksanakan Hukum Islam.
21
G.
Pengertian Kompilasi Hukum Islam Kata “kompilasi” berasal dari bahasa Latin compilare yang mempunyai arti
mengumpulkan bersama-sama, seperti mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar berserakan dimana-mana. Dalam bahasa inggris “compilation” (himpunan undang-undang). Dalam bahasa belanda ditulis “compilatie” (kumpulan dari lain-lain karangan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kompilasi berarti kumpulan yang tersusun secara teratur (tentang daftar informasi, karangan dan sebagainya). Koesno memberi pengertian Kompilasi dalam dua bentuk. Pertama sebagai hasilusaha mengumpulkan berbagai pendapat dalam satu bidang tertentu, kedua Kompilasi diartikan dalam wujudnya sebagai suatu benda seperti berupa suatu buku yang berisi kumpulan pendapat-pendapat yang ada mengenai suatu bidang persoalan tertentu. Bustanul Arifin menyebut Kompilasi Hukum Islam sebagai "fiqih dalam bahasa undang-undang atau dalam bahasa rumpun Melayu disebut peng-kanun-an hukum syara’’. Wahyu Widiana menyatakan bahwa "Kompilasi Hukum Islam adalah sekumpulan materi Hukum Islam yang ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri atas 3 kelompok materi hukum, yaitu Hukum Perkawinan(170 pasal), Hukum Kewarisan termasuk Wasiat dan Hibah (44 pasal), dan Hukum Perwakafan (14 pasal), ditambah satu pasal Ketentuan Penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebut.Rumusan yang sama dikemukakan Muhammad Daud Ali, Kompilasi Hukum Islam adalah kumpulan atau himpunan kaidah-kaidah hukum Islam yang disusun secara sistematis. Isi dari Kompilasi Hukum Islam terdiri atas tiga buku, masingmasing buku dibagi ke dalam beberapa babdan pasal, dengan sistematika sebagai berikut : Buku I Hukum Perkawinan terdiri dari 19 bab dengan 170 pasal. Buku II Hukum Kewarisan terdiri dari 6 bab dengan44 pasal (daripasal 171 sampai dengan Pasal 214).
22
Buku III Hukum Perwakafan, terdiri dari 5 Bab dengan 14 Pasal (dari Pasal 215 sampai dengan Pasal 228). Kebutuhan akan adanya Kompilasi Hukum Islam bagi Peradilan Agama sudah lama menjadi catatan dalam sejarah Departemen Agama. Secara materi, Kompilasi Hukum Islam dapat dikatakan sebagaihukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Dikatakan tertulis sebab sebagianmateri Kompilasi Hukum Islam merupakan kutipan dari atau menunjukmateri perundangan yang berlaku, seperti UU Nomor 1 Tahun 1974,tentang Perkawinan, UU Nomor 22 Tahun 1946 jo UU 32 Tahun 1954,tentang Pencatatan Nikah bagi Umat Islam, PP Nomor 9 Tahun 1975, tentang Aturan Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 dan sebagainya. Dikatakan sebagai hukum tidak tertulis sebab sebagian materi Kompilasi Hukum Islam merupakan rumusan yang diambil dari materi fiqh atau ijtihad para ulama dan kesepakatan para peserta lokakarya. Kondisi Kompilasi Hukum Islam yang bukan peraturan perundangundanganitu yang menjadikan Kompilasi Hukum Islam disikapi beragamoleh Pengadilan Agama (PA) maupun Pengadilan Tinggi Agama (PTA). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Kompilasi Hukum Islam itu adalah ketentuan hukum Islam yang ditulis dan disusun secara sistematis menyerupai peraturan perundang-undangan untuk sedapat mungkin diterapkan seluruh umat Islam dalam menyelesaikan masalahmasalahdi bidang yang telah diatur Kompilasi Hukum Islam. Oleh parahakim peradilan agama Kompilasi Hukum Islam digunakan sebagai pedoman dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. H. Proses Perumusan Kompilasi Hukum Islam Untuk melihat gambaran umum hukum islam sebagai bagian hukum nasional, dengan mengikuti proses perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Untuk mendeskripsikan proses perumusan kompilasi hukum Islam, tidak terlepas pada latar belakang Kompilasi Hukum Islam, Landasan Yuridis dan Landasan Fungsional. 1.
Latar Belakang Penyusunan Kompilasi Hukum Islam
23
Setelah Indonesia merdeka, ditetapkanlah 13 kitab fikih sebagai referensi hukum materiil di pengadilan agama melalui Surat Edaran Kepala Biro Peradilan Agama RI. No. B/1/735 tanggal 18 februari 1958. Hal ini dilakukan karena hukum Islam yang berlaku di tengah-tengah masyarakat ternyata tidak tertulis dan berserakan di berbagai kitab fikih yang berbeda-beda. Akan tetapi penetapan kitab-kitab fikih tersebut juga tidak berhasil menjamin kepastian dan kesatuan hukum di pengadilan agama. Berbagai hal dan situasi hukum Islam itulah yang mendorong dilakukannya kompilasi terhadap hukum Islam di Indonesia untuk menjamin kepastian dan kesatuan penerapan hukum Islam di Indonesia. Lahirnya KHI tidak dapat dipisahkan dari latar belakang dan perkembangan (pemikiran) hukum Islam di Indonesia. Di satu sisi, pembentukan KHI terkait erat dengan usaha-usaha untuk keluar dari situasi dan kondisi internal hukum Islam yang masih diliputi suasana kebekuan intelektual yang akut. Di sisi lain, KHI mencerminkan perkembangan hukum Islam dalam konteks hukum nasional, melepaskan diri dari pengaruh teori receptie, khususnya dalam rangkaian usaha pengembangan Pengadilan Agama. Hukum Islam di Indonesia memang sejak lama telah berjalan di tengah-tengah masyarakat. Namun harus dicatat bahwa hukum Islam tersebut tidak lain merupakan hukum fiqh hasil interpretasi ulama-ulama abad ke dua hijriyah dan abad-abad sesudahnya. Pelaksanaan hukum Islam sangat diwarnai suasana taqlid serta sikap fanatisme mazhab yang cukup kental. Ini makin diperparah dengan anggapan bahwa fiqh identik dengan Syari’ah atau hukum Islam yang merupakan wahyu aturan Tuhan, sehingga tidak dapat berubah. Umat Islam akhirnya terjebak ke dalam pemahaman yang tumpang tindih antara yang sakral dengan yang profan. Situasi tersebut berimplikasi negatif terhadap pelaksanaan hukum Islam di lingkungan Peradilan Agama. Pengidentifikasian fiqh dengan Syari’ah atau hukum Islam sepertiitu telah membawa akibat kekeliruan dalam penerapan hukum Islam yang sangat “keterlaluan”. Dalam menghadapi penyelesaian kasus-kasus perkara di 24
lingkungan peradilan agama, para hakim menoleh kepada kitab-kitab fiqh sebagai rujukan utama. Jadi, putusan pengadilan bukan didasarkan kepada hukum, melainkan doktrin serta pendapat-pendapat mazhab yang telah terdeskripsi di dalam kitab-kitab fiqh. Akibat dari cara kerja yang demikian, maka lahirlah berbagai produk putusan Pengadilan Agama yang berbeda-beda meskipun menyangkut satu perkara hukum yang sama. Hal ini menjadi semakin rumit dengan adanya beberapa mazhab dalam fiqh itu sendiri, sehingga terjadi pertarungan antar mazhab dalam penerapan hukum Islam di Pengadilan Agama. Proses penerapan hukum Islam yang simpang-siur tersebut di atas tentu saja tidak dapat dibenarkan dalam praktek peradilan modern, karena menimbulkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Menjadikan kitab-kitab fiqh sebagai rujukan hukum materiil pada pengadilan agama juga telah menimbulkan keruwetan lain. Kenyataan-kenyataan ini mengharuskan dibentuknya sebuah unifikasi hukum Islam yang akhirnya berhasil disahkan pada tahun 1991, yakni Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan oleh Inpres No. 1 tahun 1991. 2.
Landasan Yuridis Landasan yuridis mengenai perlunya hakim memperhatikan kesadaran hukum masyarakat adalah Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 1 yang berbunyi: ” Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Selain itu, Fikih Islam mengungkapkan kaidah:” Hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu, tempat, dan keadaan”. Keadaan masyarakat itu selalu berkembang, karenanya pelaksanaan hukum menggunakan metode yang sangat memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Diantara metode itu ialah maslahat mursalah, istihsan, istishab, dan urf.[4]
3.
Landasan fungsional. Kompilasi Hukum Islam adalah fikih Indonesia karena ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. Fikih Indonesia dimaksud adalah fikih yang telah dicetuskan oleh Hazairin dan T.M. Hasbi Ash25
Shiddiqi. Fikih sebelumnya mempunyai tipe fikih lokal semacam fikih Hijazy, fikih Mishry, fikih Hindy, fikih lain-lain yang sangat mempehatikan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat setempat. Ia mengarah kepada unifikasi mazhab dalam hukum islam. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum di Indonesia ini merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum nasional di Indonesia.[5] I. kedudukan dan penerapan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Dalam konteks sosiologis kompilasi yang bersubtansi hukum islam itu jelas merupakan produk keputusna politik. Instrument hukum politik yang digunakan adalah Inpres no.1 tahun 1991. Selain formulasi hukum Islam dalam tata hukum Indonesia, KHI bisa disebut sebagai representasi dari sebagian substansi hukum material Islam yang dilegislasikan oleh penguasa politik pada zaman orde baru16[4] Dengan demikian KHI mempunyai kedudukan yang penting dalam tata hukum Indonesia. Karena merupakan sebuah produk hukum dari proses politik orde baru. Karena itu selain bersifat nisbi, KHI dengan segala bentuknya, kecuali ruh hukum Islamnya, merupakan cerminan kehendak social para pembuatnya. Kehadiranya dengan demikian sejalan dengan motif-motif social, budaya dan politik tertentu dari pemberi legitimasi, dalam hal ini rezim politik orde baru. Perkembangan konfigurasi politik senantiasa mempengaruhi perkembangan produk hukum. Konfigurasi politik tertentu senantiasa melahirkan produk hukum yang memiliki karakter tertentu. Konfigurasi politik yang demokratis senantiasa melahirkan hukum-hukum yang berkarakter responsive/populistik, sedangkan konfigurasi politik
26
otoriter
senantiasa
akan
melahirkan
hukum-hukum
yang
berkarakter
konservatif/ortodoks17[5] Pengaruh politik hukum terhadap KHI akan menjadi karakter-karakter politik hukum Islam di Indonesia. Pengaruh tersebut akan membawa konsekuensi untuk memperbincangkan kembali diskursus hukum agama dan hukum Negara di dalam wadah Negara Pancasila. Keberadaan hukum islam harus diselaraskan dengan visi pembangunan hukum yang dicanangkan Negara. Disini lalu terjadi proses filterisasi terhadap materi hukum Islam oleh Negara. Dengan demikian, secara ideologis KHI berada pada titik tengah antara paradigm agama dan paradigma Negara.18[6] Dalam paradigm agama, hukum Islam wajib dilaksanakan oleh Umat Islam secara kaffah, tidak mengenal ruang dan waktu. Penerapannya dalam kehidupan social menjadi misi agama yang suci.19[7]. Dengan kata lain bahwa hukum Islam berada dalam penguasaan hukum Negara dengan mempertimbangkan pluralitas agama, etnis, ras dan golongan. Hasil interaksi dari dua paradigma yang berbeda itu merupakan wujud nyata politik Negara terhadap hukum islam di Indonesia. Karena itu KHI merupakan satu-satunya hukum materiil Islam yang memperoleh legitimasi politik dan yuridis dari Negara.
27
Ada dua hal yang menjadi pertimbangan sehingga KHI penting untuk disebarluaskan, pertama karena KHI diterima oleh Majelis Ulama Indonesia. Kedua Karena KHI bisa dipergunaka sebagai pedoman dalam menyelesaikan maslaah-masalah perkawinan, kewarisan dan perwakafan, baik oleh instansi pemerintah maupun masyarakat yang memerlukannya. KHI bisa dijadikan pedoman bagi hakim dilingkungan Badan Peradilan Agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya. Maka tampak sebetulnya fungsi pedoman itu ditujukan bagi para hakim dilingkungan Badan Peradilan Agama. Sedangkan masyarakat yang disebutkan hanya bersifat tawaran alternative. Implementasi Kompilasi Hukum islam bersifat fakultatif, yaitu ketentuan-ketentuan hukum islam yang boleh dikatakan sebagai hasil ijtihad kolektif ala Indonesia yang tertuang dalam Inpres no. 1 Tahun 1991, itu tidak secara priority mengikat dan memaksa warga Negara Indenesia, khususnya ummat Islam. KHI bersifat anjuran dan alternative hukum.20[8]
28
B A B III PENUTUP
Kesimpulan Dari penjelasan di atas ternyata penulis telah menemukan jawabannya dari rumusan masalah yang telah di bentuk sebelumnya, yaitu: a.
Terkait dengan pengertian Negara yang di definisikan oleh beberapa Ilmuan, yaitu: Negara merupakan alat atau wewenang masyarakat ,Negara adalah suatu masyarakat yang di Integrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan secara sahdalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yg diselenggarakan oleh suatu pemerintah yg untuk maksud diberikan kekuasaan memaksa,sedang Negara dalam pandangan islam merupakan suatu alat yang menjamin pelaksanaan hukum islam secara utuh baik hubungan manusia dengan manusia maupun hubungan manusia dengan Sang pencipta, Allah SWT.
b. Setelah negara terbentuk, harus ada kedaulatan didalamnya yang berfungsi sebagai pemegang kekuasaan. Tanpa kedaulatan, suatu negara tidak akan berharga dihadapan rakyatnya. Dan pola hubungan yang berlaku ditengah masyarakat akan terbentuk begitu saja tanpa ada kontrol oleh negara, tidak memliki wewenang terhadap yang dipimpinnya.
29
c. Negara mempunyai 2 bentuk :Bentuk Kesatuan dan Bentuk Serikat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Zainal Abidin. 2001. Membangun Negara Islam. Yogyakarta : Pustaka iqra Busroh, Abu Daud.1990. Ilmu Negara. Jakarta : Bumi Aksara www.google.co.id
30