Makalah.docx

  • Uploaded by: sahda sabilah luhtansa
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,213
  • Pages: 19
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Banyak sekali ayat yang tegas dan muhkam (Qath'i) dalam kitabullah yang mulia, memberikan anjuran untuk puasa sebagai sarana untuk Taqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah Azza wa Jalla dan menjelaskan keutamaan keutamaannya, seperti firman Allah Ta'ala yang artinya : "Sesungguhnya kaum muslimin dan muslimat, kaum mukminin dan mukminat, kaum pria yang patuh dan kaum wanita yang patuh, dan kaum pria serta wanita yang benar (imannya) dan kaum pria serta wanita yang sabar (ketaatannya), dan kaum pria serta wanita yang khusyu', dan kaum priaa serta wanitaa yang bersedeekah, dan kaum pria serta wanita yang berpuasa, dan kaum pria dan wanita yang menjaga kehormatannya (syahwat birahinya), dan kaum pria serta kaum wanita yang banyak mengingat Allah. Allah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar." (Surat Al-Ahzab : 35) Dan firman Allah yang artinya : "Dan kalau kalian puasa itu lebih baik bagi kalian kalau kalian mengetahuinya". (Surat AlBaqoroh : 184) Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam telah menjelaskan dalam hadits yang shahih bahwa puasa adalah benteng dari syahwat, perisai dari neraka, Allah Tabaraka wa Ta'ala telah mengkhususkan satu pintu syurga untuk orang yang puasa, puasa bisa memutuskan jiwa dari syahwatnya, menahannya dari kebiasaan-kebiasaan yang jelek, hingga jadilah jiwa yang tenang. Inilah pahala yang besar, keutamaan yang agung, dijelaskan secara rinci dalam haditshadits shahih berikut ini, dijelaskan dengan penjelasan yang sempurna. 1.2 Rumusan Masalah 

Pengertian Qadha, Kafarat dan Fidyah?



Macam-Macam serta hikmah Qadha, Kafarat dan Fidyah?



Kapan kita yang boleh Mengqadha puasa?



Kapan Kafarat dinyatakan gugur?



Bagi siapa fidyah itu ?

1.3 Tujuan Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memahami Qadha, Kafarat dan Fidyah puasa untuk selanjutnya agar dapat bermanfaat 1

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Qadha a. Pengertian Qadha Yang dimaksud dengan qadha ( Qodho’ ) adalah mengerjakan suatu ibadah yang memiliki batasan waktu di luar waktunya.[ Lihat Rowdhotun Nazhir wa Junnatul Munazhir, 1/58.] Untuk kasus orang sakit misalnya, di bulan Ramadhan seseorang mengalami sakit berat sehingga tidak kuat berpuasa. Sesudah bulan Ramadhan dia mengganti puasanya tadi. Inilah yang disebut qodho’. b. Macam-Macam Qadha 

Orang yang Diberi Keringanan untuk Mengqodho’ Puasa

Ada beberapa golongan yang diberi keringanan atau diharuskan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan mesti mengqodho’ puasanya setelah lepas dari udzur, yaitu: Pertama : Orang yang sakit dan sakitnya memberatkan untuk puasa. Dimisalkan ini pula adalah wanita hamil dan menyusui apabila berat untuk puasa. Kedua : Seorang musafir dan ketika bersafar sulit untuk berpuasa atau sulit melakukan amalan kebajikan. Ketiga : Wanita yang mendapati haidh dan nifas. Dalil golongan pertama dan kedua adalah firman Allah Ta’ala, ‫سفَر َعلَى أَو َم ِريضًا َكانَ َو َمن‬ َ ‫أُخ ََر أَيَّام ِمن فَ ِعدَّة‬ “ Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” ( QS. Al Baqarah: 185 ) Dalil wanita haidh dan nifas adalah hadits dari ‘Aisyah, beliau mengatakan, َ‫ُصيبُنَا َكان‬ ِ ‫ض‬ ِ ‫ض‬ َّ ‫اء نُؤ َم ُر َولَ ال‬ َّ ‫ال‬. َ َ‫صو ِم بِق‬ َ َ‫صالَةِ بِق‬ ِ ‫اء فَنُؤ َم ُر ذَلِكَ ي‬ “ Kami dulu mengalami haidh. Kami diperintarkan untuk mengqodho puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho’ shalat.”[ HR. Muslim no. 335 ] 

Adakah Qodho’ bagi Orang yang Sengaja Tidak Puasa?

Yang dimaksud di sini, apakah orang yang sengaja tidak puasa diharuskan mengganti puasa yang sengaja ia tinggalkan. Mayoritas ulama berpendapat bahwa siapa saja yang sengaja membatalkan puasa atau tidak berpuasa baik karena ada udzur atau pun tidak, maka wajib baginya untuk mengqodho’ puasa.[ Pendapat ini juga menjadi pendapat Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (komisi fatwa di Saudi Arabia) dalam beberapa fatwanya.]

2

Namun ada ulama yang memiliki pendapat yang berbeda. Ibnu Hazm dan ulama belakangan seperti Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin berpendapat bahwa bagi orang yang tidak berpuasa dengan sengaja tanpa ada udzur, tidak wajib baginya untuk mengqodho’ puasa. Ada kaedah ushul fiqih yang mendukung pendapat ini: “ Ibadah yang memiliki batasan waktu awal dan akhir, apabila seseorang meninggalkannya tanpa udzur ( tanpa alasan ), maka tidak disyariatkan baginya untuk mengqodho’ kecuali jika ada dalil baru yang mensyariatkannya”. Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin memaparkan pula kaedah di atas: “ Sesungguhnya ibadah yang memiliki batasan waktu ( awal dan akhir), apabila seseorang mengerjakan ibadah tersebut di luar waktunya tanpa ada udzur (alasan), maka ibadah tadi tidaklah bermanfaat dan tidak sah.” Syaikh rahimahullah kemudian membawakan contoh. Misalnya shalat dan puasa. Apabila seseorang sengaja meninggalkan shalat hingga keluar waktunya, lalu jika dia bertanya, “Apakah aku wajib mengqodho’ ( mengganti ) shalatku ?” Kami katakan, “ Engkau tidak wajib mengganti (mengqodho’) shalatmu. Karena hal itu sama sekali tidak bermanfaat bagimu dan amalan tersebut akan tidak diterima. Begitu pula apabila ada seseorang yang tidak berpuasa sehari di bulan Ramadhan ( dengan sengaja, tanpa udzur, -pen), lalu dia bertanya pada kami, “Apakah aku wajib untuk mengqodho’ puasa tersebut ?” Kami pun akan menjawab, “ Tidak wajib bagimu untuk mengqodho’ puasamu yang sengaja engkau tinggalkan hingga keluar waktu karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‫س َع َمالً َع ِم َل َمن‬ َ ‫َرد فَ ُه َو أَم ُرنَا َعلَي ِه لَي‬ “ Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”[ HR. Muslim no. 1718 ] Seseorang apabila mengakhirkan ibadah yang memiliki batasan waktu awal dan akhir dan mengerjakan di luar waktunya, maka itu berarti dia telah melakukan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut adalah amalan yang batil dan tidak ada manfaat sama sekali.” Mungkin ada yang ingin menyanggah penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin di atas dengan mengatakan, “ Lalu kenapa ada qodho’ bagi orang yang memiliki udzur seperti ketiduran atau lupa ? Tentu bagi orang yang tidak memiliki udzur seharusnya lebih pantas ada qodho’, artinya lebih layak untuk mengganti shalat atau puasanya.” Syaikh Ibnu Utsaimin –alhamdulillah- telah merespon perkataan semacam tadi. Beliau rahimahullah mengatakan, “ Seseorang yang memiliki udzur, maka waktu ibadah untuknya adalah sampai udzurnya tersebut hilang. Jadi, orang seperti ini tidaklah mengakhirkan ibadah 3

sampai keluar waktunya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bagi orang yang lupa shalat, “Shalatlah ketika dia ingat”. Adapun orang yang sengaja meninggalkan ibadah hingga keluar waktunya lalu dia tunaikan setelah itu, maka dia berarti telah mengerjakan ibadah di luar waktunya. Oleh karena itu, untuk kasus yang kedua ini, amalannya tidak diterima.”[ Kutub wa Rosa-il lil ‘Utsaimin, 172/68.] Lalu jika seseorang yang tidak berpuasa dengan sengaja tanpa ada udzur di atas tidak perlu mengqodho’, lalu apa kewajiban dirinya ? Kewajiban dirinya adalah bertaubat dengan taubat nashuha dan hendaklah dia tutup dosanya tersebut dengan melakukan amalan sholih, di antaranya dengan memperbanyak puasa sunnah. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan, “ Amalan ketaatan seperti puasa, shalat, zakat dan selainnya yang telah lewat ( ditinggalkan tanpa ada udzur ), ibadah-ibadah tersebut tidak ada kewajiban qodho’, taubatlah yang nanti akan menghapuskan kesalahan-kesalahan tersebut. Jika dia bertaubat kepada Allah dengan sesungguhnya dan banyak melakukan amalan sholih, maka itu sudah cukup daripada mengulangi amalan-amalan tersebut.”[ Kutub wa Rosa-il lil ‘Utsaimin, 172/68.] Syaikh Masyhur bin Hasan Ali Salman mengatakan, “ Pendapat yang kuat, wajib baginya untuk bertaubat dan memperbanyak puasa-puasa sunnah, dan dia tidak memiliki kewajiban kafaroh.”[ Fatawa Syaikh Masyhur bin Hasan Ali Salman, soal no. 53, Asy Syamilah ] Itulah yang harus dilakukan oleh orang yang meninggalkan puasa dengan sengaja tanpa ada udzur. Yaitu dia harus bertaubat dengan ikhlash ( bukan riya’ ), menyesali dosa yang telah dia lakukan, kembali melaksanakan puasa Ramadhan jika berjumpa kembali, bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan, dan taubat tersebut dilakukan sebelum datang kematian atau sebelum matahari terbit dari sebelah barat. Semoga Allah memberi taufik. 

Qodho’ Ramadhan Boleh Ditunda

Qodho’ Ramadhan boleh ditunda, maksudnya tidak mesti dilakukan setelah bulan Ramadhan yaitu di bulan Syawal. Namun boleh dilakukan di bulan Dzulhijah sampai bulan Sya’ban, asalkan sebelum masuk Ramadhan berikutnya. Di antara pendukung hal ini adalah ‘Aisyah pernah menunda qodho’ puasanya sampai bulan Sya’ban. Dari Abu Salamah, beliau mengatakan bahwa beliau mendengar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan : َ‫ى يَ ُكونُ َكان‬ َّ ‫ضانَ ِمن ال‬ َ ‫ َر َم‬، ‫ى أَن أَست َِطي ُع فَ َما‬ ِ ‫شَعبَانَ فِى إِلَّ أَق‬ َّ َ‫صو ُم َعل‬ َ ‫ض‬ “ Aku masih memiliki utang puasa Ramadhan. Aku tidaklah mampu mengqodho’nya kecuali di bulan Sya’ban.” Yahya (salah satu perowi hadits) mengatakan bahwa hal ini dilakukan 4

‘Aisyah karena beliau sibuk mengurus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[ HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146 ] Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “ Di dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya mengundurkan qodho’ Ramadhan baik mengundurkannya karena ada udzur atau pun tidak.”[ Fathul Bari, 4/191 ] Akan tetapi yang dianjurkan adalah qodho’ Ramadhan dilakukan dengan segera ( tanpa ditunda-tunda ) berdasarkan firman Allah Ta’ala yang memerintahkan untuk bersegera dalam melakukan kebaikan, ِ ‫سابِقُونَ لَ َها َوهُم الخَي َرا‬ َ‫ارعُونَ أُولَئِك‬ َ ُ‫ت فِي ي‬ َ ِ ‫س‬ “ Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al Mu’minun: 61) 

Mengakhirkan Qodho’ Ramadhan Hingga Ramadhan Berikutnya

Hal ini sering dialami oleh sebagian saudara-saudara kita. Ketika Ramadhan misalnya, dia mengalami haidh selama 7 hari dan punya kewajiban qodho’ setelah Ramadhan. Setelah Ramadhan sampai bulan Sya’ban, dia sebenarnya mampu untuk membayar utang puasa Ramadhan tersebut, namun belum kunjung dilunasi sampai Ramadhan tahun berikutnya. Inilah yang menjadi permasalahan kita, apakah dia memiliki kewajiban qodho’ puasa saja ataukah memiliki tambahan kewajiban lainnya. Sebagian ulama mengatakan bahwa bagi orang yang sengaja mengakhirkan qodho’ Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia cukup mengqodho’ puasa tersebut disertai dengan taubat. Pendapat ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ibnu Hazm. Namun, Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i mengatakan bahwa jika dia meninggalkan qodho’ puasa dengan sengaja, maka di samping mengqodho’ puasa, dia juga memiliki kewajiban memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang belum diqodho’. Pendapat inilah yang lebih kuat sebagaimana difatwakan oleh beberapa sahabat seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz –pernah menjabat sebagai ketua Lajnah Ad Da’imah ( komisi fatwa Saudi Arabia )- ditanyakan, “ Apa hukum seseorang yang meninggalkan qodho’ puasa Ramadhan hingga masuk Ramadhan berikutnya dan dia tidak memiliki udzur untuk menunaikan qodho’ tersebut. Apakah cukup baginya bertaubat dan menunaikan qodho’ atau dia memiliki kewajiban kafaroh?” Syaikh Ibnu Baz menjawab, “ Dia wajib bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan dia wajib memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan disertai dengan qodho’ puasanya. Ukuran makanan untuk orang miskin adalah setengah sha’ Nabawi dari 5

makanan pokok negeri tersebut ( kurma, gandum, beras atau semacamnya ) dan ukurannya adalah sekitar 1,5 kg sebagai ukuran pendekatan. Dan tidak ada kafaroh ( tebusan ) selain itu. Hal inilah yang difatwakan oleh beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Namun apabila dia menunda qodho’nya karena ada udzur seperti sakit atau bersafar, atau pada wanita karena hamil atau menyusui dan sulit untuk berpuasa, maka tidak ada kewajiban bagi mereka selain mengqodho’ puasanya.”[ Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, no. 15 hal. 347 ] Kesimpulan: Bagi seseorang yang dengan sengaja menunda qodho’ puasa Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia memiliki kewajiban : (1) bertaubat kepada Allah, (2) mengqodho’ puasa, dan (3) wajib memberi makan ( fidyah ) kepada orang miskin, bagi setiap hari puasa yang belum ia qodho’. Sedangkan untuk orang yang memiliki udzur ( Seperti karena sakit atau menyusui sehingga sulit menunaikan qodho’ ), sehingga dia menunda qodho’ Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia tidak memiliki kewajiban kecuali mengqodho’ puasanya saja. 

Tidak Wajib Untuk Berurutan Ketika Mengqodho’ Puasa

Apabila kita memiliki kewajiban qodho’ puasa selama beberapa hari, maka untuk menunaikan qodho’ tersebut tidak mesti berturut-turut. Misal kita punya qodho’ puasa karena sakit selama lima hari, maka boleh kita lakukan qodho’ dua hari pada bulan Syawal, dua hari pada bulan Dzulhijah dan sehari lagi pada bulan Muharram. Dasar dibolehkannya hal ini adalah : ‫أُخ ََر أَيَّام ِمن فَ ِعدَّة‬ “ Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). Ibnu ‘Abbas mengatakan, “ Tidak mengapa jika ( dalam mengqodho’ puasa ) tidak berurutan”.[ Dikeluarkan oleh Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad- dan juga dikeluarkan oleh Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya (4/241, 243) dengan sanad yang shahih.]

6

2.2 Kafarat a. Pengertian Kafarat Puasa kafarat adalah puasa sebagai penebusan yang dikarenakan pelanggaran terhadap suatu hukum atau kelalaian dalam melaksanakan suatu kewajiban, sehingga mengharuskan seorang mukmin mengerjakannya supaya dosanya dihapuskan, bentuk pelanggaran dengan kafaratnya antara lain : 

Apabila seseorang melanggar sumpahnya dan ia tidak mampu memberi makan dan pakaian kepada sepuluh orang miskin atau membebaskan seorang roqobah, maka ia harus melaksanakan puasa selama tiga hari.



Apabila seseorang secara sengaja membunuh seorang mukmin sedang ia tidak sanggup membayar uang darah (tebusan) atau memerdekakan roqobah maka ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut (An Nisa: 94).

Menurut Imam Syafi’I, Maliki dan Hanafi: Orang yang berpuasa berturut-turut karena Kafarat, yang disebabkan berbuka puasa pada bulan Ramadhan, ia tidak boleh berbuka walau hanya satu hari ditengah-tengah 2 (dua) bulan tersebut, karena kalau berbuka berarti ia telah memutuskan kelangsungan yang berturut-turut itu. Apabila ia berbuka, baik karena uzur atau tidak, ia wajib memulai puasa dari awal lagi selama dua bulan berturut-turut. Kafarat, kafarat itu sendiri terbagi menjadi 3, yaitu : (1) memerdekakan budak; (2) puasa 2 bulan berturut-turut; (3) memberi makan 60 orang miskin, tiap orang 1 mud. Di antara 3 alternatif kafarat tersebut, seseorang harus melaksanakan dari yang pertama secara berurutan: harus memerdekakan budak; bila tidak menemukan atau tidak mampu memerdekakan budak, baru pindah ke alternatif kedua: jika tak mampu berpuasa 2 bulan berturut-turut, baru boleh memilih alternatif ketiga, memberi makan 60 orang miskin (1 orang 1 mud = 675 gram beras). b. Macam – Macam Kafarat a. Kafarat Karena Pembunuhan. Orang yang membunuh selain harus diqishosh atau membayar diyat, ia juga harus membayar kaffarat. Kafarat bagi orang yang membunuh adalah memerdekakan hamba sahaya atau berpuasa selama dua bulan berturut – turut. Sesuai dengan firman Allah Swt: َ ‫ير َخ‬ ‫طأ ً ُمؤ ِمنًا قَتَ َل َو َمن‬ َّ َ‫ُمؤ ِمن َوه َُو لَ ُكم َعد ُو قَوم ِمن َكانَ فَإِن ۚ ي‬ ُ ‫س َّل َمة َو ِديَة ُمؤ ِمنَة َرقَبَة َفتَح ِر‬ َ ‫صدَّقُوا أَن إِ َّل أَه ِل ِه إِلَى ُم‬ ‫ير‬ ُ ‫سلَّ َمة َف ِديَة ِميثَاق َوبَي َن ُهم بَينَ ُكم َقوم ِمن َكانَ َو ِإن ۖ ُمؤ ِمنَة َر َقبَة َفتَح ِر‬ ُ ‫صيَا ُم يَ ِجد َلم َف َمن ۖ ُمؤ ِمنَة َر َقبَة َوت َح ِر‬ َ ‫ير أَه ِل ِه ِإ َلى ُم‬ ِ َ‫ف‬ َّ ۗ َ‫ّللاُ َو َكان‬ َّ ‫َح ِكي ًما َع ِلي ًما‬ ‫ّللاِ ِمنَ تَو َبةً ُمتَتَا ِب َعي ِن شَه َري ِن‬ 7

"...dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS.An-Nisa':92). b. Kafarat Karena Melanggar Sumpah. Yaitu kafarat yang wajib dibayar oleh seorang muslim karena ia melanggar sumpah dengan menggunakan asma Allah. Kafarotnya antara lain : memerdekakan seorang budak, memberi makan 10 orang miskin masing – masing 1 mud, atau pakaian 10 orang miskin atau puasa 3 hari. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw: “Siapa yang bersumpah untuk melakukan sesuatu, kemudian ia melihat ada hal lain yang lebih baik daripadanya, maka tebuslah sumpah itu dengan sesuatu lalu kerjakanlah hal yang ia pandang lebih baik tadi.” (HR. Muslim) Tentang kafarat sumpah, telah diterangkan oleh Allah Swt, sebagaimana dalam Alquran, َّ ‫اخذُ ُكم َولَ ِكن أَي َما ِن ُكم ِفي ِباللَّغ ِو‬ ‫اخذ ُ ُك ُم َل‬ ِ ‫ّللاُ ي َُؤ‬ ِ ‫ارتُهُ ۖ اْلَي َمانَ َعقَّدت ُ ُم ِب َما ي َُؤ‬ َ ‫س ِط ِمن َم‬ َ ‫تُط ِع ُمونَ َما أَو‬ َ َّ‫ساكِينَ َعش ََر ِة ِإط َعا ُم فَ َكف‬ ُ َ‫َكذَلِكَ ۚ أَي َمانَ ُكم َواحف‬ ‫ير أَو ِكس َوت ُ ُهم أَو أَه ِلي ُكم‬ ُ ‫صيَا ُم يَ ِجد لَم فَ َمن ۖ َرقَبَة ت َح ِر‬ ِ َ‫ارة ُ ذَلِكَ ۚ أَيَّام ث َ َالث َ ِة ف‬ َ َّ‫ظوا ۚ َحلَفتُم إِذَا أَي َما ِن ُكم َكف‬ ُ‫ّللاُ يُبَيِن‬ َّ ‫ت َش ُك ُرونَ لَعَلَّ ُكم آيَاتِ ِه لَ ُكم‬ “Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang tidak kalian maksudkan (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang disengaja. Dengan demikian, kafarat (atas pelanggaran, pent.) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin–yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu–, memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan demikian maka kafaratnya berupa puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarat sumpah-sumpah kalian bila kalian bersumpah (dan kalian melanggarnya, pent.). Dan jagalah sumpah kalian. Demikian Allah menerangkan kepada kalian hukum-hukum-Nya agar kalian bersyukur (kepada-Nya, pent.).” (QS. Al-Maidah:89) c. Kafarat Karena Membunuh Binatang Buruan Pada Waktu Ihram. Membayar dam untuk kesalahan melakukan salah satu dari dua perkara yaitu ; memburu binatang darat yang boleh dimakan dagingnya, atau menebang, memotong dan mencabut tanaman di tanah suci. Dendanya adalah salah satu berikut ini : Memotong seekor kambing 8

atau memberi Fidayah kepada fakir miskin senilai satu kambing itu atau berpuasa selama 10 hari. d. Kafarat Karena Dzihar. Yaitu kafarat yang harus dibayar oleh seseorang dengan sebab seseorang telah menyerupakan punggung istrinya dengan punggung ibunya sendiri. Kaffaratnya adalah memerdekakan budak atau berpuasa dua bulan berturut – turut, jika tidak mampu maka harus memberi makan makan kepada 60 fakir miskin. Kafarat tersebut dijelaskan dalan Al-Quran : ُ ‫ّللاُ ۚ بِ ِه تُو َع‬ َ ُ‫سائِ ِهم ِمن ي‬ َّ ‫َخبِير تَع َملُونَ بِ َما َو‬ َ‫ظاه ُِرونَ َوالَّذِين‬ َ ِ‫ظونَ ذَ ِل ُكم ۚ يَت َ َماسَّا أَن قَب ِل ِمن َرقَبَة فَت َح ِري ُر قَالُوا ِل َما يَعُود ُونَ ث ُ َّم ن‬ َّ ِ‫سو ِل ِه ب‬ ‫صيَا ُم يَ ِجد لَم فَ َمن‬ ُ ‫َوتِلكَ ۚ َو َر‬ ِ َ‫اّللِ ِلتُؤ ِمنُوا ذَ ِلكَ ۚ ِمس ِكينًا ِستِينَ فَإِطعَا ُم يَست َِطع لَم فَ َمن ۖ يَتَ َماسَّا أَن قَب ِل ِمن ُمتَتَا ِبعَي ِن شَه َري ِن ف‬ َّ ۗ َ‫أ َ ِليم َعذَاب َو ِللكَافِ ِرين‬ ُ‫ّللاِ ُحدُود‬ "Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih." (QS. Al-Mujadilah:3-4). e. Kafarat Ila’ Yaitu kafarat yang wajib dibayar lantaran suami melanggar sumpahnya bahwa ia tidak akan menggauli istrinya selama waktu tertentu. Kafaratnya sama dengan kaffarat sumpah. Karena ila’ itu adalah bersumpah untuk tidak menggauli istri. f. Kafarat Karena Melakukan Hubungan Suami Istri Disiang Hari Bulan Ramadhan. Dalil oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah ra. berkata, ”Disaat kami dudukduduk bersama Rasulullah Saw Datang seoang laki-laki kepada Nabi Saw dan berkata, ‘Aku telah binasa wahai Rasulullah!’ Nabi menjawab, ’Apa yang mencelakakanmu?’ Orang itu berkata, ’Aku menyetubuhi isteriku di bulan Ramadhan.’ Nabi bertanya, ’Adakah kamu memiliki sesuatu untuk memerdekakan budak?’ Orang itu menjawab, ’Tidak.’ Nabi bertanya lagi, ’Sanggupkah kamu berpuasa dua bulan terus-menerus?’ Orang itu menjawab, ’Tidak,’

9

Nabi bertanya, ’Apakah kamu memiliki sesuatu untuk memberikan makan enam puluh orang miskin?’ Orang itu menjawab, ’Tidak.’ Kemudian Nabi terdiam beberapa saat hingga didatangkan kepada Nabi sekeranjang berisi kurma dan berkata, ‘Nah sedekahkanlah ini.’ Orang itu berkata, ‘Adakah orang yang lebih miskin daripada kami? Maka tidak ada tempat di antara dua batu hitam penghuni rumah yang lebih miskin dari kami.” Dan Nabi pun tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya kemudian berkata, ’Pergilah dan berikanlah kepada keluargamu.’” Dalil didalam hadits ini adalah bahwa Nabi Saw tidak memerintahkannya agar menyuruh istrinya untuk membayarkan kafarat juga. Sebagaimana diketahui bahwa mengakhirkan penjelasan diluar waktu yang dibutuhkan tidaklah dibolehkan maka hadits itu menunjukkan tidak ada kafarat terhadap istri. Yang paling tepat pengetahuan tentang ini ada pada Allah Swt bahwa tidak wajib kafarat atasnya (istri) akan tetapi diwajibkan atasnya qadha saja karena puasanya telah batal dengan berjima. c. Hikmah Kafarat. 1.Dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT 2. Dapat menimbulkan kesadaran untuk tidak mengulangi perbuatannya 3. Mendidik manusia untuk bertanggung jawab 4. Terciptanya kehidupan yang aman, damai sejahtera dalam keluarga dan masyarakat.

10

2.3 FIDYAH a. Definisi Fidyah Fidyah (‫ )فدية‬atau fidaa (‫ )فدى‬atau fida` (‫ )فداء‬adalah satu makna. Yang artinya, apabila dia memberikan tebusan kepada seseorang, maka orang tersebut akan menyelamatkannya [1]. Di dalam kitab-kitab fiqih, fidyah, dikenal dengan istilah “ith’am”, yang artinya memberi makan. Adapun fidyah yang akan kita bahas di sini ialah, sesuatu yang harus diberikan kepada orang miskin, berupa makanan, sebagai pengganti karena dia meninggalkan puasa. b. Tafsir Ayat Tentang Fidyah

Allah telah menyebutkan tentang fidyah dalam KitabNya Yang Mulia. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: َ َ‫ط َعا ُم ِمس ِكين فَ َمن ت‬ َ ُ‫سفَر فَ ِعدَّة ِمن أَيَّام أُخ ََر َو َعلَى الَّذِينَ ي ُِطيقُونَهُ فِد َية‬ ‫ع‬ َ ‫ط َّو‬ َ ‫أَيَّا ًما َّمعد ُودَات فَ َمن َكانَ ِمن ُكم َّم ِريضًا أَو َعلَى‬ َ‫صو ُموا خَي ُرُُ لَّ ُكم إِن ُكنتُم تَعلَ ُمون‬ ُ َ‫خَي ًرا فَ ُه َو خَي ُرُُ لَّهُ َوأَن ت‬ ‫”ا‬Beberapa hari yang telah ditentukan, maka barangsiapa di antara kalian yang sakit atau dalam bepergian, wajib baginya untuk mengganti pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang yang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya), untuk membayar fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin. Barangsiapa yang berbuat baik ketika membayar fidyah (kepada miskin yang lain) maka itu lebih baik baginya, dan apabila kalian berpuasa itu lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui”. [Al Baqarah : 184]. Ulama telah berbeda pendapat dalam hal firman Allah : َ ‫َو َعلَى الَّذِينَ ي ُِطيقُونَهُ فِديَة‬ ‫طعَا ُم ِمس ِكين‬ “(Dan wajib bagi orang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya), maka dia membayar fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin)”. Apakah ayat ini muhkamah atau mansukhah? Jumhur ulama berpendapat, bahwa ayat ini merupakan rukhshah ketika pertama kali diwajibkan puasa, karena puasa telah memberatkan mereka. Dahulu, orang yang telah memberikan makan kepada seorang miskin, maka dia tidak berpuasa pada hari itu, meskipun dia mampu mengerjakannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Salamah bin Akwa`, kemudian ayat ini telah dimansukh dengan firman Allah: َّ ‫ش ِهدَ ِمن ُك ُم ال‬ ُ‫صمه‬ َ ‫فَ َمن‬ ُ َ‫شه َر فَلي‬ “(Maka barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan Ramadhan, maka hendaklah dia berpuasa -Al Baqarah ayat 185-)”.

11

Telah diriwayatkan dari sebagian ahli ilmu, bahwa ayat di atas tidak dimansukh, akan tetapi sebagai rukhshah, khususnya untuk orang-orang tua dan orang yang lemah, apabila mereka tidak mampu mengerjakan puasa kecuali dengan susah payah. Makna ini sesuai dengan bacaan tasydid, yakni ‫ يطوقونه‬. Artinya, bagi orang yang merasa berat untuk mengerjakannya.[2] Dari ‘Atha, sesungguhnya dia mendengar Ibnu Abbas membaca ayat: َ ُ‫َو َعلَى الَّذِينَ ي ُِطيقُونَهُ فِديَة‬ ‫ط َعا ُم ِمس ِكين‬ Tentang ayat ini, Ibnu Abbas berkata: “Ayat ini tidaklah dimansukh. Yang dimaksud ialah orang tua laki-laki dan wanita, yang keduanya tidak mampu untuk berpuasa, maka ia memberi makan untuk satu hari kepada satu orang miskin”. [Dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam kitab Tafsir]. [3] Berkata Syaikh Abdur Rahman As Sa’di di dalam tafsirnya: “Dan ada pendapat yang lain, bahwa ayat : َ ُ‫َو َعلَى الَّذِينَ ي ُِطيقُونَهُ فِد َية‬ ‫ط َعا ُم ِمس ِكين‬ Maksudnya mereka yang merasa terbebani dengan puasa dan memberatkan mereka, sehingga tidak mampu mengerjakannya, seperti seorang yang sudah tua; maka dia membayar fidyah untuk setiap hari memberi makan kepada satu orang miskin. Dan ini adalah pendapat yang benar”.[4] Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata: “Penafsiran Ibnu Abbas dalam ayat ini menunjukkan kedalaman fikihnya, karena cara pengambilan dalil dari ayat ini; bahwa Allah menjadikan fidyah sebagai pengganti dari puasa bagi orang yang mampu untuk berpuasa, jika dia mau maka dia berpuasa; dan jika tidak, maka dia berbuka dan membayar fidyah. Kemudian hukum ini dihapus, sehingga diwajibkan bagi setiap orang untuk berpuasa. Maka ketika seseorang tidak mampu untuk berpuasa, yang wajib baginya adalah penggantinya, yaitu fidyah”.[5] c. Orang-Orang Yang Diwajibkan Untuk Membayar Fidyah

1. Orang yang tua (jompo) laki-laki dan wanita yang merasa berat apabila berpuasa. Maka ia diperbolehkan untuk berbuka, dan wajib bagi mereka untuk memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin. Ini merupakan pendapat Ali, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Anas, Sa’id bin Jubair, Abu Hanifah, Ats Tsauri dan Auza’i.[6] 2. Orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya. Seperti penyakit yang menahun atau penyakit ganas, seperti kanker dan yang semisalnya.

12

Telah gugur kewajiban untuk berpuasa dari dua kelompok ini, berdasarkan dua hal. Pertama, karena mereka tidak mampu untuk mengerjakannya. Kedua, apa yang telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dalam menafsirkan ayat fidyah seperti yang telah dijelaskan di muka. Masalah : Apabila orang sakit yang tidak diharapkan sembuh ini, setelah dia membayar fidyah kemudian Allah menakdirkannya sembuh kembali, apa yang harus dia lakukan? Jawab : Tidak wajib baginya untuk mengqadha puasa yang telah ia tinggalkan, karena kewajiban baginya ketika itu adalah membayar fidyah, sedangkan dia telah melaksanakannya. Oleh karena itu, dia telah terbebas dari kewajibannya, sehingga menjadi gugur kewajibannya untuk berpuasa.[7] Ada beberapa orang yang diperselisihkan oleh para ulama, apakah mereka membayar fidyah atau tidak. Mereka, di antaranya ialah : 1.

Wanita Hamil Dan Wanita Yang Menyusui.

Bagi wanita hamil dan wanita yang menyusui dibolehkan untuk berbuka. Karena jika wanita hamil berpuasa, pada umumnya akan memberatkan dirinya dan kandungannya. Demikian pula wanita yang menyusui, jika dia berpuasa, maka akan berkurang air susunya sehingga bisa mengganggu perkembangan anaknya. Dalam hal apakah wajib bagi mereka untuk mengqadha` dan membayar fidyah? Dalam permasalahan ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi. Pendapat Pertama : Wajib bagi mereka untuk mengqadha` dan membayar fidyah. Pada pendapat ini pun terdapat perincian. Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir akan dirinya saja, maka dia hanya wajib untuk mengqadha` tanpa membayar fidyah. Dan apabila mereka takut terhadap janin atau anaknya, maka dia wajib untuk mengqadha` dan membayar fidyah. Dalil dari pendapat ini ialah surat Al Baqarah ayat 185, yaitu tentang keumuman orang yang sakit, bahwasanya mereka diperintahkan untuk mengqadha` puasa ketika mereka mampu pada hari yang lain. Sedangkan dalil tentang wajibnya membayar fidyah, ialah perkataan Ibnu Abbas: َ ‫لى أو َل ِد ِه َما أف‬ ‫ط َرتا َ َوأَطعَ َمتَا‬ ِ ‫اَل ُمر‬ َ ‫ض ُع َوال ُحبلَى إذَا خَافَـت َا َع‬ “Wanita menyusui dan wanita hamil, jika takut terhadap anak-anaknya, maka keduanya berbuka dan memberi makan”. [HR Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil, 4/18]. Makna yang semisal dengan ini, telah diriwayatkan juga dari Ibnu Umar; dan atsar ini juga dishahihkan Syaikh Al Albani di dalam Irwa’.

13

Ibnu Qudamah berkata,”Apabila keduanya khawatir akan dirinya saja, maka dia berbuka, dan hanya wajib untuk mengqadha`. Dalam masalah ini, kami tidak mengetahui adanya khilaf di antara ahlul ilmi, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan dirinya. Namun, jika keduanya takut terhadap anaknya, maka dia berbuka dan wajib untuk mengqadha` dan memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari. Inilah yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan yang mashur dari madzhab Syafi’i. [8] Pendapat Kedua : Tidak wajib bagi mereka untuk mengqadha’, akan tetapi wajib untuk membayar fidyah. Ini adalah pendapat Ishaq bin Rahawaih. Dalil dari pendapat ini ialah hadits Anas: َّ َ ‫إن هللاَ َو‬ ِ ‫ـيام َع ِن ال ُحبلَى َو ال ُمر‬ ِ ‫ض َع‬ َ ‫الص‬ ِ‫ضع‬ “Sesungguhnya Allah menggugurkan puasa dari wanita hamil dan wanita yang menyusui”. [HR Al Khamsah]. Dan dengan mengambil dari perkataan Ibnu Abbas, bahwa wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anaknya, maka dia berbuka dan memberi makan. Sedangkan Ibnu Abbas tidak menyebutkan untuk mengqadha’, namun hanya menyebutkan untuk memberi makan.[*] Pendapat

Ketiga

:

Wajib

bagi

mereka

untuk

mengqadha’

saja.

Dengan dalil, bahwa keduanya seperti keadaan orang yang sakit dan seorang yang bepergian. Pendapat ini menyatakan, Ibnu Abbas tidak menyebutkan untuk mengqadha’, karena hal itu sudah maklum, sehingga tidak perlu untuk disebutkan. Adapun hadits “Sesungguhnya Allah menggugurkan puasa dari orang yang hamil dan menyusui”, maka yang dimaksud ialah, bahwa Allah menggugurkan kewajiban untuk berpuasa, akan tetapi wajib bagi mereka untuk mengqadha’. Pendapat ini merupakan madzhab Abu Hanifah. Juga pendapat Al Hasan Al Bashri dan Ibrahim An Nakha’i. Keduanya berkata tentang wanita yang menyusui dan hamil, jika takut terhadap dirinya atau anaknya, maka keduanya berbuka dan mengqadha’ (dikeluarkan oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya). Menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, pendapat inilah yang paling kuat [9]. Beliau (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin) mengatakan, seorang wanita, jika dia menyusui atau hamil dan khawatir terhadap dirinya atau anaknya apabila berpuasa, maka dia berbuka, berdasarkan hadits Anas bin Malik Al Ka’bi, dia berkata, Rasulullah telah bersabda: ‫صو َم‬ َّ ‫ضعِ ال‬ َّ ‫سافِ ِر شَط َر ال‬ َ ‫ض َع‬ َ ‫ِإ َّن الهَ َو‬ ِ ‫صالَ ِة َو َعن ال ُحب ُِلَى َوال ُمر‬ َ ‫عن ال ُم‬ “Sesungguhnya Allah telah menggugurkan dari musafir setengah shalat, dan dari musafir dan wanita hamil atau menyusui (dalam hal, Red) puasa”. [HR Al Khamsah, dan ini lafadz Ibnu Majah. Hadits ini shahih], akan tetapi wajib baginya untuk mengqadha’ dari hari yang dia

14

tinggalkan ketika hal itu mudah baginya dan telah hilang rasa takut, seperti orang sakit yang telah sembuh.[10] Pendapat ini, juga merupakan fatwa dari Lajnah Daimah, sebagaimana akan kami kutip nash fatwa tersebut dibawah ini. Pertanyaan Yang Ditujukan Kepada Lajnah Daimah.

Soal : Wanita hamil atau wanita yang menyusui, jika khawatir terhadap dirinya atau terhadap anaknya pada bulan Ramadhan dan dia berbuka, apakah yang wajib baginya? Apakah dia berbuka dan membayar fidyah dan mengqadha’? Atau apakah dia berbuka dan mengqadha’, tetapi tidak membayar fidyah? Atau berbuka dan membayar fidyah dan tidak mengqadha’? Manakah yang paling benar di antara tiga hal ini? Jawab : Apabila wanita hamil, dia khawatir terhadap dirinya atau janin yang dikandungnya jika berpuasa pada bulan Ramadhan, maka dia berbuka, dan wajib baginya untuk mengqadha’ saja. Kondisinya dalam hal ini, seperti orang yang tidak mampu untuk berpuasa, atau dia khawatir adanya madharat bagi dirinya jika berpuasa. Allah berfirman: ‫سفَر فَ ِعدَّة ِمن أَيَّام أُخ ََر‬ َ ‫فَ َمن َكانَ ِمن ُكم َّم ِريضًا أَو َعلَى‬ “Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya untuk mengganti dari harihari yang lain”. Demikian pula seorang wanita yang menyusui, jika khawatir terhadap dirinya ketika menyusui anaknya pada bulan Ramadhan, atau khawatir terhadap anaknya jika dia berpuasa, sehingga dia tidak mampu untuk menyusuinya, maka dia berbuka dan wajib baginya untuk mengqadha’ saja. Dan semoga Allah memberikan taufiq.[11] 2. Orang Yang Mempunyai Kewajiban Untuk Mengqadha’ Puasa, Akan Tetapi Dia Tidak Mengerjakannya Tanpa Udzur Hingga Ramadhan Berikutnya. Pendapat Yang Pertama : Wajib baginya untuk mengqadha’ dan membayar fidyah. Hal ini merupakan pendapat jumhur (Malik, Syafi’i, dan Ahmad). Bahkan menurut madzhab Syafi’i, wajib baginya untuk membayar fidyah dari jumlah ramadhan-ramadhan yang dia lewati (yakni jika dia belum mengqadha’ puasa hingga dua Ramadhan berikutnya, maka wajib baginya fidyah dua kali). Dalil dari pendapat ini adalah: Hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memberi makan dan mengqadha’ bagi orang yang mengakhirkan hingga Ramadhan

15

berikutnya. (HR Ad Daraquthni dan Al Baihaqi). Akan tetapi, hadits ini dha’if, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Ibnu Abbas dan Abu Hurairah meriwayatkan tentang orang yang mengakhirkan qadha’ hingga datang Ramadhan berikutnya, mereka mengatakan, agar (orang tersebut, Red) memberi makan untuk setiap hari kepada seorang miskin.[12] Pendapat Kedua : Tidak wajib baginya membayar fidyah, akan tetapi dia berdosa, sebab mengakhirkan dalam mengqadha’ puasanya. Ini merupakan madzhab Abu Hanifah, dan merupakan pendapat Al Hasan dan Ibrahim An Nakha’i. Karena hal itu merupakan puasa wajib, ketika dia mengakhirkannya, maka tidak wajib membayar denda berupa fidyah, seperti dia mengakhirkan ibadah yang harus dikerjakan sekarang atau menunda nadzarnya.[13] Berkata Imam Asy Syaukani: “Maka yang dhahir (pendapat yang kuat) adalah tidak wajib (untuk membayar fidyah)”. [14] Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin: “Adapun atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah, mungkin bisa kita bawa hukumnya menjadi sunnah, sehingga tidak wajib untuk membayar fidyah. Sehingga, pendapat yang benar dalam masalah ini (ialah), tidak wajib baginya kecuali untuk berpuasa, meskipun dia berdosa karena mengakhirkan dalam menngqadha”. [15] Hal ini (berlaku, Red) bagi orang yang mengakhirkan tanpa udzur. Berarti, (bagi) orang yang mengakhirkan mengqadha’ hingga Ramadhan berikutnya karena udzur, seperti karena sakit atau bepergian, atau waktu yang sangat sempit, maka tidak wajib juga untuk membayar fidyah. Masalah : Apabila ada orang yang mengalami sakit pada bulan Ramadhan, maka dalam masalah ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama : Jika penyakitnya termasuk yang diharapkan untuk sembuh, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa hingga dirinya sembuh. Apabila sakitnya berlanjut kemudian dia mati, maka tidak wajib untuk membayar fidyah. Karena kewajibannya adalah mengqadha’, kemudian mati sebelum mengerjakannya. Kedua : Jika penyakitnya termasuk yang diharapkan untuk sembuh, dan dia tidak berpuasa kemudian dia terbebas dari penyakit itu, namun kemudian mati sebelum mengqadha’nya, maka diperintahkan untuk dibayarkan fidyah dari hari yang dia tinggalkan, diambilkan dari hartanya. Sebab pada asalnya, dirinya mampu untuk mengqadha’, tetapi karena dia mengakhirkannya hingga mati, maka dibayarkan untuknya fidyah. Ketiga : Jika penyakitnya termasuk yang tidak diharapkan untuk sembuh, maka kewajiban baginya untuk membayar fidyah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.[16]

16

d. Jenis Dan Kadar Dari Fidyah.

Tidak disebutkan di dalam nash Al Qur`an atau As Sunnah tentang kadar dan jenis fidyah yang harus dikeluarkan. Sesuatu yang tidak ditentukan oleh nash maka kita kembalikan kepada ‘urf (kebiasaan yang lazim). Oleh karena itu, dikatakan sah dalam membayar fidyah, apabila kita sudah memberikan makan kepada seorang miskin, baik berupa makan siang atau makan malam, ataupun memberikan kepada mereka bahan makanan sehingga mereka memilikinya. Pendapat Ulama Tentang Kadar Dan Jenis Fidyah. Berkata Imam An Nawawi: “(Pendapat pertama), kadar (fidyah) ialah satu mud dari makanan untuk setiap hari. Jenisnya, seperti jenis makanan pada zakat fithrah. Maka yang dijadikan pedoman ialah keumuman makanan penduduk di negerinya. Demikian ini pendapat yang paling kuat. Dan ada pendapat yang kedua, yaitu mengeluarkan seperti makanan yang biasa dia makan setiap hari. Dan pendapat yang ketiga, diperbolehkan untuk memilih di antara jenis makanan yang ada”. Imam An Nawawi juga berkata: “Tidak sah apabila membayar fidyah dengan tepung, sawiq (tepung yang sangat halus), atau biji-bijian yang sudah rusak, atau (tidak sah) jika membayar fidyah dengan nilainya (uang, Pen.), dan tidak sah juga (membayar fidyah) dengan yang lainnya, sebagaimana yang telah dijelaskan. Fidyah tersebut dibayarkan hanya kepada orang fakir dan miskin. Setiap satu mud terpisah dari satu mud yang lainnya. Maka boleh memberikan beberapa mud dari satu orang dan dari fidyah satu bulan untuk seorang faqir saja”. [17] Ukuran Satu Mud. Satu mud adalah seperempat sha’. Dan sha’ yang dimaksud ialah sha’ nabawi, yaitu sha’-nya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Satu sha’ nabawi sebanding dengan 480 (empat ratus delapan puluh) mitsqal dari biji gandum yang bagus. Satu mitsqal, sama dengan 4,25 gram. Jadi 480 mitsqal seimbang dengan 2040 gram. Berarti satu mud adalah 510 gram. [18] Menurut pendapat Syaikh Abdullah Al Bassam, satu sha’ nabawi adalah empat mud. Satu mud, sama dengan 625 gram, karena satu sha’ nabawi sama dengan 3000 gram. [19] Berdasarkan ukuran yang telah disebutkan, maka kita bisa memperkirakan bahwa satu mud dari biji gandum bekisar antara 510 hingga 625 gram. Para ulama telah menjelaskan, fidyah dari selain biji gandum, seperti beras, jagung dan yang lainnya adalah setengah sha’ (dua mud). Dan kita kembali kepada ayat, bahwa orang yang melebihkan di dalam memberi makan kepada 17

orang miskin, yaitu dengan memberikan kepada orang miskin lainnya, maka itu adalah lebih baik baginya. e. Bagaimana Cara Membayar Fidyah

Cara membayar fidyah bisa dilakukan dengan dua hal. Pertama : Memasak atau membuat makanan, kemudian memanggil orang-orang miskin sejumlah hari-hari yang dia tidak berpuasa, sebagaimana hal ini dikerjakan oleh sahabat Anas bin Malik ketika beliau tua. Disebutkan dari Anas bin Malik, bahwasanya beliau lemah dan tidak mampu untuk berpuasa pada satu tahun. Maka beliau membuatkan satu piring besar dari tsarid (roti). Kemudian beliau memanggil tigapuluh orang miskin, dan mempersilahkan mereka makan hingga kenyang. (Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil). Kedua : Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Para ulama berkata: “Dengan satu mud dari burr (biji gandum), atau setengah sha’ dari selainnya. Akan tetapi, sebaiknya diberikan sesuatu untuk dijadikan sebagai lauknya dari daging, atau selainnya, sehingga sempurna pengamalan terhadap firman Allah yang telah disebutkan”. f. Waktu Membayar Fidyah.

Adapun waktu membayar fidyah terdapat pilihan. Jika dia mau, maka membayar fidyah untuk seorang miskin pada hari itu juga. Atau jika dia berkehendak, maka mengakhirkan hingga hari terakhir dari bulan Ramadhan sebagaimana dikerjakan sahabat Anas ketika beliau tua. Dan tidak boleh mendahulukan fidyah sebelum Ramadhan, karena hal itu seperti mendahulukan puasa Ramadhan pada bulan Sya’ban.

18

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Qadha adalah mengganti hutang puasa dengan puasa di kemudian hari. Fidyah, mengganti hutang puasa dengan memberi makan untuk orang miskin. Kafarat: Menebus pelanggaran membatalkan puasa dengan sejumlah ketentuan yang ditetapkan syariat. Beda fidyah dengan kafarat adalah; Fidyah menebus puasa yang ditinggalkan karena uzur syar’i, maksudnya memang boleh berbuka. Sedangkan kafarat adalah menebus puasa yang batal karena pelanggaran

3.2 Saran Pada kenyataannya, pembuatan makalah ini masih bersifat sangat sederhana dan simpel. Serta dalam Penyusunan makalah inipun masih memerlukan kritikan dan saran bagi pembahasan materi tersebut.

19

More Documents from "sahda sabilah luhtansa"