1
Seminar Nasional Pengembangan Model Pembelajaran Sastra yang Komunikatif dan Kreatif
BANYAK MEMBACA BUKU DAN TERUS BERLATIH MENULIS: MENGEJAR KETERTINGGALAN LEBIH SETENGAH ABAD LAMANYA Taufiq Ismail (Bahan masukan dari sudut pandang sastrawan) (Universitas Negeri Semarang) Ahad, 7 Juni 2009
[Versi pdf, dibuat oleh http://doniriadi.blogspot.com, Juni 2009 ]
DARI PASAR DJOHAR KE DJALAN KEDJAKSAAN Sekolah saya berpindah-pindah, sejak Sekolah Rakjat (sekarang SD) sampai dengan SMA. SR saya di Solo, Semarang, Salatiga, Yogya, SMP di Bukittinggi, SMA di Bogor, Pekalongan dan Whitefish Bay, Wisconsin. Pertumbuhan diri saya berlangsung di delapan kota itu, dan masing-masing kota itu memberi kenangan indah tersendiri. Kedua orangtua saya guru di Pekalongan di masa penjajahan Belanda. Mulai zaman pendudukan Jepang ayah saya jadi wartawan di Semarang, di harian Sinar Baroe (belakangan menjadi Suara Merdeka). Saya belajar di Sekolah Rakjat Indonesia di Bergota, rumah kami di Redjosari Gang I nomor 6. Ayah dan ibu suka membaca. Lemari buku ayah saya besar. Biasanya sekali sebulan saya dibawa ke toko buku di Pasar Djohar, dibonceng naik sepeda. Ikut ayah yang membeli buku, saya boleh memilih dua buku untuk dibawa pulang. Pada umur masih kecil begitu saya sudah mulai membaca roman Tak Putus Dirundung Malang, karya St. Takdir Alisjahbana. Ketika masih pelajar SMP Negeri 1 di Bukittinggi, dan SMA Negeri Pekalongan pada tahun 1950an, di kedua sekolah saya itu tidak ada perpustakaan. Karena suka membaca, saya jadi anggota Perpustakaan Kota, di Bukittinggi di Jalan Lurus, di Pekalongan di Kali Loji. Kedua-duanya dekat dari sekolah. Sangat kebetulan, ketika di Pekalongan, Djawatan Pendidikan Masjarakat memberikan kepercayaan kepada beberapa LSM, untuk masing-masing mengelola sebuah perpustakaan kecil. Kepada Peladjar Islam Indonesia, diserahkan kl 300 judul buku. Karena beranda rumah orangtua saya besar di Djalan Kedjaksan 52, PII menaruhnya di sana dalam sebuah lemari. Saya dan S.N. Ratmana mengelola perpustakaan yang dibuka sehari seminggu, tiap hari Ahad pagi sampai sore itu. Kawan-kawan di sekolah yang suka membaca, datang meminjam buku. Favorit saya buku-buku petualangan Winnetou karangan Karl May. Lalu puisi Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, cerpen Idrus, Pramudya Ananta Tur, antologi Gema Tanah Air H.B. Jassin, novel Hamka, Takdir Alisjahbana, Abdul Muis, dan seterusnya. Puisi Dunia, terjemahan Taslim Ali, 2 jilid sangat saya sukai. Karena kunci lemari buku saya yang memegang, dan lemari itu terletak di beranda rumah, saya leluasa betul membaca buku dari hari Senin sampai Sabtu. Saya membaca agak sembarangan.
2
Misalnya tuntunan bertanam anggrek Sutan Sanif dan prosedur mengecor beton bertulang Prof. Rooseno pun saya baca. Buku Pak Rooseno yang merupakan buku teks mahasiswa fakultas teknik itu saya bawa-bawa ke sekolah, dilagak-lagakkan kepada teman-teman. Mereka heran. “Kau baca buku itu?” “Ya.” “Tamat?” “Ya.” “Apa isinya?” “’Nggak ‘ngerti.” Mereka pun batal, tak jadi kagum. Beberapa kawan yang gemar membaca ini terdorong pula menulis. Kami penggemar majalah Mimbar Indonesia dan Kisah, yang memuat sajak dan cerpen. Pak H.B. Jassin duduk sebagai redaktur sastra di kedua majalah tersebut. Kami berlomba-lomba mengirim karangan ke sana. Lima orang berhasil menembus kedua majalah itu. Muhsin Djalaludin Zuhdy (sajak), Hadi Utomo (cerpen), Sukamto A.G. (sajak), S.N. Ratmana (cerpen) dan saya (sajak). Yang bertahan terus menulis sampai sekarang adalah dua orang yang terakhir ini. Pada masa bersamaan Ajip Rosidi (Jakarta), W.S. Rendra (Solo), Motinggo Busye (Bukittinggi), Alwi Dahlan (Bukittinggi), Suwardi Idris (Bukittinggi), Nh. Dini (Semarang), S.M. Ardan (Jakarta) juga mulai menulis ketika masih jadi pelajar SMA. Bahkan Ajip dan Busye sudah mencuri start ketika masih di SMP.
Kami menulis karena dirangsang bacaan. Buku dan majalah memberi stimulasi besar untuk mengarang. Buku yang kami baca tidak dari perpustakaan sekolah. Karangan yang kami tulis bukan karena dibimbing guru mengarang di kelas bahasa. Guru Bahasa Indonesia saya di SMA Pekalongan lebih mengajarkan tatabahasa dan tak ada perhatian pada pelajaran mengarang. Kami kebetulan saja senang perpustakaan. Kebetulan pula bersaing-saing sesama teman, sehingga berlatih menulis sendiri tanpa dibimbing guru. Beratus-ribu tamatan SMA Indonesia sejak pengakuan kedaulatan 1950 sampai sekarang menjadi Generasi Nol Buku, yang rabun membaca dan lumpuh menulis. Nol Buku karena tidak mendapat tugas membaca melalui perpustakaan sekolah, sehingga rabun membaca. Lumpuh menulis karena hampir tak ada latihan mengarang di sekolah.
MEMBANDING DENGAN NEGARA-NEGARA LAIN Antara Juli-Oktober 1997 saya melakukan serangkaian wawancara dengan tamatan SMA 13 negara. Saya bertanya tentang 1) kewajiban membaca buku, 2) tersedianya buku wajib di perpustakaan sekolah, 3) bimbingan menulis dan 4) pengajaran sastra di tempat mereka. Berikut ini tabel jumlah buku sastra yang wajib dibaca selama di SMA bersangkutan (3 atau 4 tahun), yang tercantum di kurikulum, disediakan di perpustakaan sekolah, dibaca tamat lalu siswa menulis mengenainya, dan diuji:
3
Buku Sastra Wajib di SMA 13 Negara Tabel 1 NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
ASAL SEKOLAH SMA Thailand Selatan SMA Malaysia SMA Singapura SMA Brunei Darussalam SMA Rusia Sovyet SMA Kanada SMA Jepang SMA Internasional, Swiss SMA Jerman Barat SMA Perancis SMA Belanda SMA Amerika Serikat AMS Hindia Belanda-A AMS Hindia Belanda-B SMA Indonesia
BUKU WAJIB 5 judul 6 judul 6 judul 7 judul 12 judul 13 judul 15 judul 15 judul 22 judul 30 judul 30 judul 32 judul 25 judul 15 judul 0 judul
NAMA SMA / KOTA Narathiwat Kuala Kangsar Stamford College SM Melayu I Uva Canterbury Urawa Jenewa Wanne-Eickel Pontoise Middleburg Forest Hills Yogyakarta Malang Di Mana Saja
TAHUN 1986-1991 1976-1980 1982-1983 1966-1969 1980-an 1992-1994 1969-1972 1991-1994 1966-1975 1967-1970 1970-1973 1987-1989 1939-1942 1929-1932 1943-2008
Catatan: Angka di atas hanya berlaku untuk SMA responden (bukan nasional), dan pada tahuntahun dia bersekolah di situ (bukan permanen). Tapi sebagai pemotretan sesaat, angka perbandingan di atas cukup layak untuk direnungkan bersama. Apabila buku sastra 1) tak disebut di kurikulum, 2) dibaca cuma ringkasannya, 3) siswa tak menulis mengenainya, 4) tidak ada di perpustakaan sekolah, dan 5) tidak diujikan, dianggap nol. Angka nol buku untuk SMA Indonesia sudah berlaku 65 tahun lamanya, dengan kekecualian luarbiasa sedikit pada beberapa SMA tertentu saja.
Bila siswa AMS Hindia Belanda wajib membaca buku 25 judul dalam masa 3 tahun, bagaimanakah wajib menulis mereka? Siswa AMS wajib menulis 1 karangan seminggu. Karangan disetor, diperiksa guru, diberi angka, minggu depannya satu karangan lagi, minggu depannya satu karangan lagi. Panjang karangan satu halaman. Jumlahnya 18 karangan satu semester, 36 karangan setahun, 108 karangan 3 tahun. Menurut observasi saya pada beberapa SMA, kewajiban mengarang berlangsung 3-5 kali setahun. Banyak SMA yang cuma sekali setahun, mirip sholat Idulfitri. Jadi dalam 3 tahun paling banyak 15 karangan. Dibanding dengan AMS, jatuhnya serendah 5,2 %. Tabel berikutnya: Tabel 2
1 2
SEKOLAH MENENGAH ATAS HINDIA BELANDA REPUBLIK INDONESIA
WAJIB BACA BUKU (TIGA TAHUN) 25 JUDUL BUKU NOL BUKU
WAJIB MENULIS KARANGAN (TIGA TAHUN) 108 KARANGAN 3 – 15 KARANGAN
4
Tabel 3 TUGAS MENULIS SISWA AMS HINDIA BELANDA 1 KARANGAN / MINGGU
TUGAS MENULIS SISWA MALAYSIA (SMA KOLEJ MELAYU) 14 HALAMAN KETIK / MINGGU 504 HALAMAN KETIK / TAHUN 2016 HALAMAN KETIK / 4 TAHUN
36 KARANGAN / TAHUN 108 KARANGAN / 3 TAHUN
TUGAS MEMBACA BUKU SISWA SMA AMERIKA SERIKAT 44 HALAMAN / MINGGU 1584 HALAMAN / TAHUN 6336 HALAMAN / 4 TAHUN
Tabel 4 PERBANDINGAN LIMA KOMPONEN kelas 9 – 12 (S MA AS 4 tahun), di 1210 SMA, 1989 1 2 3 4 5
SASTRA MENGARANG TATABAHASA BICARA LAIN-LAIN
50 % 28 % 10 % 9% 3%
(Arthur Applebee, Literature in the Secondary Schools -- Studies of Curriculum and Instruction in the United States, National Council of Teachers of English, Urbana, Illinois, 1993. Angka-angka merupakan hasil penelitian Applebee di 1210 SMA, 1989).
BILAKAH MUSIBAH BESAR NOL BUKU & 15 KARANGAN, YANG DULU 25 BUKU & 108 KARANGAN ITU BERMULANYA? Tragedi Nol Buku ini berlangsung pada awal 1950. Ketika seluruh aparat pemerintahan sudah sepenuhnya di tangan sendiri, demi mengejar ketertinggalan sebagai bekas negara jajahan, yang mesti membangun jalan raya, bangunan, rumah sakit, jembatan, pertanian, perkebunan, kesehatan, perekonomian, maka yang diunggulkan dan disanjung adalah jurusan eksakta (teknik, kedokteran, pertanian, farmasi), ekonomi dan hukum. Wajib baca 25 buku sastra dan bimbingan menulis digunting habis, karena dipandang tidak perlu. Ini kesalahan peradaban luar biasa besar. Ketika saya perlihatkan hasil observasi (dalam tabel) itu kepada Menteri Wardiman Djojonegoro (1997), beliau terkejut. “Sudah demikian burukkah keadaannya?” tanyanya. “Ya,” jawab saya.
APA TUJUAN MEMBACA 25 BUKU DAN MENULIS 108 KARANGAN? Kedua kewajiban itu tidak bertujuan menjadikan siswa sastrawan. Tidak. Kemampuan membaca dan menulis diperlukan di setiap profesi. Membaca buku sastra mengasah dan menumbuhkan budaya baca buku secara umum. Latihan menulis mempersiapkan orang mampu menulis di bidangnya masing-masing.
5
Seorang Anak Baru Gede dari Padang pada tahun 1919 masuk sekolah SMA dagang menengah Prins Hendrik School di Batavia. Wajib baca buku sastra menyebabkannya ketagihan membaca, tapi dia lebih suka ekonomi. Dia melangkah ke samping, lalu jadi ekonom dan ahli koperasi. Namanya Hatta. Seorang siswa yang sebaya dia, di AMS Surabaya, juga adiksi buku. Kasur, kursi dan lantai kamarnya ditebari buku. Tapi dia lebih suka ilmu politik, sosial dan nasionalisme. Insinyur teknik ini melangkah ke samping dan jadi politikus. Namanya Soekarno.
Sastra menanamkan rasa ketagihan membaca buku, yang berlangsung sampai siswa jadi dewasa. Rosihan Anwar (kini 87) tetap membaca 2 buku seminggu. Buku apa saja. “Jiwa saya merasa dahaga kalau saya tak baca buku,” kata beliau. Demikianlah rasa adiksi yang positif itu bertahan lebih dari setengah abad, bahkan seumur hidup. Latihan menulis 108 karangan membekali Hatta, Sukarno, Muhammad Natsir, Sjahrir, Haji Agus Salim, Muhammad Yamin, Tan Malaka dan kawan-kawan seangkatan mereka menulis buku di bidang masing-masing. Yamin jadi sastrawan, tapi juga penulis sejarah. Tragedi Nol Buku ini, yang sudah berlangsung 65 tahun lamanya, dengan mudah dapat dijelaskan kini akibatnya. Tamatan SMA Nol Buku sejak 1950 (saya tak sempat menghitung dengan teliti tapi pastilah meliputi beberapa juta orang), dengan rentang umur antara 35 – 70 tahun, mereka inilah yang kini jadi warga Indonesia terpelajar serta memegang posisi menentukan arah negara hari ini di seluruh strata, pemerintah dan swasta. Beberapa sebab mendasar amburadulnya Indonesia sekarang, mungkin sekali karena dalam fase pertumbuhan intelektual mereka, orangorang itu membaca nol buku di sekolah. Mereka Generasi Nol Buku. Kita Generasi Nol Buku. Generasi yang Rabun Membaca dan Pincang Menulis. Kalau pun ada sebagian kecil dari kita yang banyak membaca dan mampu menulis, pasti itu dilakukan dengan ikhtiar sendiri di luar ruang sekolah (bukan dibimbing oleh sebuah sistem pendidikan nasional) atau karena beruntung mendapat kesempatan belajar ke luar negeri. DENGAN SANGAT SEDIKIT KEKECUALIAN, KITA SEMUA BERBEKAL NOL BUKU KETIKA BERSEKOLAH, TIDAK MENDAPAT KESEMPATAN UNTUK DITANAMKAN RASA KETAGIHAN MEMBACA BUKU, KECINTAAN PADA BUKU, KEINGINAN BERTANYA KEPADA BUKU DALAM SEMUA ASPEK KEHIDUPAN DAN KEBIASAAN MENGUNJUNGI PERPUSTAKAAN SEBAGAI TEMPAT MERUJUK SUMBER ILMU, DAN KONSEKWENSINYA MEMBIASAKAN MENULIS SEBAGAI EKSPRESI PERASAAN SERTA PERNYATAAN KECENDEKIAAN. Agaknya kita mengabaikan firman Allah paling awal yang diturunkan ke bumi, yaitu Kata paling nomor satu berupa perintah membaca kepada seluruh ummat manusia, dan mengajarkan penggunaan pena untuk menulis. Kita tidak cerdas menafsirkannya dan kita sangat terlambat di Indonesia memperbaikinya. Dalam mendiskusikan pengajaran sastra yang apresiatif dan kreatif, sebagaimana tujuan majelis kita ini, maka mari kita perbaiki bersama pengajaran membaca dan menulis di lembaga pendidikan kita, sejak dari SD, SMP, SMA sampai perguruan tinggi.
6
CARA PANDANG (PARADIGMA) BARU DALAM MENGAJARKAN SASTRA Untuk meletakkan dasar yang kuat suatu program kegiatan mengatasi keterbelakangan kita, maka tentulah lebih dahulu ditetapkan cara pandang, paradigma baru sebagai acuan dalam membantu memperbaiki pengajaran membaca, mengarang dan apresiasi sastra di SMA kita. Ko-insidensi sangat menguntungkan yang terjadi adalah gelombang reformasi 1998, yang melepaskan Indonesia dari monolithisme politik 39 tahun Orde Lama dan Orde Baru, sehingga terbuka luaslah peluang bagi paradigma ini, yang tidak akan mungkin terbuka di kedua Orde terdahulu tersebut: 1.
Siswa dibimbing memasuki sastra secara asyik, nikmat dan gembira. Pendekatannya bukan pendekatan keilmuan seperti memahami fisika, dan juga bukan pendekatan penghafalan seperti penghafalan tahun-tahun sejarah. Kita harus mampu membentuk citra sastra di hati siswa sebagai sesuatu yang menyenangkan, yang membuat mereka antusias, dan yang mereka rasa perlukan.
2.
Siswa membaca langsung karya sastra puisi, cerita pendek, novel, drama dan esai, bukan melalui ringkasan. Karena itu, buku-buku yang disebut dalam kurikulum, mesti tersedia di perpustakaan sekolah.
3.
Kelas mengarang harus diselenggarakan secara menyenangkan, sehingga tidak terasa jadi beban, baik bagi siswa, maupun untuk guru. Mengarang mesti dirasakan sebagai ekspresi diri yang melegakan perasaan. Kiat atau metodanya harus ditemukan, dan itu sudah ditemukan, serta dipraktekkan 3 tahun dalam pelatihan MMAS. Cara kuno memberi judul klise seperti “Cita-citaku” atau “Pengalaman Berlibur di Rumah Nenek” mesti diganti dengan imajinasi yang kaya, yang sesuai dengan fantasi siswa. Mengarang bukan cuma menulis laporan, tapi menggugah imajinasi dan menuntun siswa berfikir.
4.
Ketika membicarakan karya sastra, aneka-ragam tafsir harus dihargai. Tidak ada tafsir tunggal terhadap karya sastra. Guru harus terbuka terhadap pendapat siswa yang berbeda, sepanjang pendapat itu dikemukakan dalam disiplin berfikir yang logis. Dalam hal ini kelas sastra adalah kelas pendidikan demokrasi, ketika antara umur 16-19 tahun siswa mulai diperkenalkan kepada perbedaan pendapat dan belajar menghargai pendapat yang lain itu. Ebtanas dengan soal pilihan ganda untuk tafsir karya sastra adalah kekeliruan yang harus diperbaiki.
5.
Pengetahuan tentang sastra (teori, definisi, sejarah) tidak utama dalam pengajaran sastra di SMU, cukup tersambil saja sebagai informasi sekunder ketika membicarakan karya sastra. Siswa jangan terus-terusan dibebani dengan hafalan teori dan definisi. Tatabahasa tidak lagi diberikan secara teoretis, tapi dicek penggunaannya dalam karangan siswa.
6.
Pengajaran sastra mestilah menyemaikan nilai-nilai yang positif pada batin siswa, yang membekalinya menghadapi kenyataan kehidupan masa kini yang keras di masyarakat. Keimanan, kejujuran, ketertiban, pengorbanan, demokrasi, tanggung-jawab, pengendalian diri, kebersamaan, penghargaan pada nyawa manusia, optimisme, kerja keras, keberanian mengubah nasib --- adalah antara lain nilai-nilai luhur yang hancur di masa kini, terutama dalam 5 tahun terakhir ini. Karena itu, karya sastra yang relevan dengan nilai-nilai itulah yang harus kita pilih untuk disajikan kepada siswa, dan didiskusikan di kelas. Kemudian akan tumbuh kearifan siswa kepada manusia dan kehidupan, terasah sensitivitas estetiknya, dan terpupuk empatinya pada duka-derita nasib orang-orang yang malang.
7
Rangkaian cara pandang segar atau paradigma anyar ini, baru akan benar-benar tercapai maksudnya apabila ditunjang oleh kurikulum yang sejalan dan serasi dengan paradigma ini.
GERAKAN SASTRA MAJALAH HORISON, 1996 - SEKARANG Sehubungan dengan masalah di atas, majalah sastra Horison menggerakkan enam butir kegiatan gerakan sastra, dengan sasaran dunia pendidikan, yang bertujuan meningkatkan: budaya membaca buku, kemampuan mengarang, dan apresiasi sastra. Rangkaian aktivitas tersebut adalah sebagai berikut ini: NO
KEGIATAN
SASARAN
PENDANAAN
1 2 3 4 5 6
Sisipan Kakilangit Pelatihan MMAS Kegiatan SBSB Kegiatan SBMM LMKS dan LMCP SSSI
Siswa dan Guru Guru Siswa dan Guru Mahasiswa Guru Siswa
Majalah Sastra Horison Depdiknas The Ford Foundation The Ford Foundation Depdiknas The Ford Foundation
Sisipan Kakilangit ditujukan untuk siswa SMA dan sederajat, dilaksanakan sejak 1996. Pelatihan MMAS (Membaca, Menulis dan Apresiasi Sastra) selama 7 hari untuk guru bahasa dan sastra SMA se-Indonesia, 1999-2008, diikuti k.l. 2.000 guru di 11 kota. Kegiatan SBSB (Sastrawan Bicara Siswa Bertanya) mendatangkan sastrawan ke SMA dan Pondok Pesantren, membacakan karya dan berdiskusi dengan siswa serta guru. Dalam rentang masa 2000-2008 telah dikunjungi 213 sekolah di 164 kota, 31 provinsi, oleh 113 sastrawan dan 11 aktor/aktris, bertemu dengan k.l. 100.000 siswa dan guru. Mahasiswa Fakultas Sastra dan Fakultas Bahasa & Seni menjadi sasaran kegiatan SBMM (Sastrawan Bicara Mahasiswa Membaca), 2000-2002 di 9 universitas, dengan mendatangkan 18 sastrawan yang berbicara tentang bukunya. Guru distimulasi mengarang dengan Lomba Mengulas Karya Sastra dan Lomba Menulis Cerita Pendek, 2000-2008, diikuti oleh sekitar 300 guru setiap tahunnya. Untuk menampung energi kegiatan sastra siswa dibentuk 30 Sanggar Sastra Siswa Indonesia (SSSI) di 30 kota (sejak 2002), berbasis di SMA.
8
Rumah Puisi Berdasarkan pengalaman kegiatan sekitar 10 tahun di atas, yang memancar dari ibukota ke 164 kota Indonesia, maka saya dan isteri saya Ati, bercita-cita mencoba menghimpun kegiatan tersebut di sebuah titik lokasi, diberi nama Rumah Puisi, tanpa menghentikan atau mengganti kegiatan yang sudah terselenggara sejak 1998 hingga kini itu. Lokasi yang dipilih adalah kawasan pertemuan dua kaki gunung, yaitu Singgalang dan Merapi, yaitu Nagari Aie Angek, km 6 Jalan Raya Padang Panjang – Bukittinggi. Mohon didoakan, semoga peningkatan budaya baca buku, kemampuan menulis dan apresiasi sastra anak bangsa tercapai, sehingga terbentuk manusia terpelajar, bermartabat dan dinaungi keteduhan ridha Ilahi. Amin.*** Jakarta, Mei 2009.
9
KUPU-KUPU DI DALAM BUKU Ketika duduk di setasiun bis, di gerbong kereta api, di ruang tunggu praktek dokter anak, di balai desa, kulihat orang-orang di sekitarku duduk membaca buku, dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang, Ketika berjalan sepanjang gang antara rak-rak panjang, di perpustakaan yang mengandung ratusan ribu buku dan cahaya lampunya terang benderang, kulihat anak-anak muda dan anak-anak tua sibuk membaca dan menuliskan catatan, dan aku bertanya di perpustakaan negeri mana gerangan aku sekarang, Ketika bertandang di sebuah toko, warna-warni produk yang dipajang terbentang, orang-orang memborong itu barang dan mereka berdiri beraturan di depan tempat pembayaran, dan aku bertanya di toko buku negeri mana gerangan aku sekarang, Ketika singgah di sebuah rumah, kulihat ada anak kecil bertanya pada mamanya, dan mamanya tak bisa menjawab keinginan-tahu puterinya, kemudian katanya, “tunggu, tunggu, mama buka ensiklopedia dulu, yang tahu tentang kupu-kupu,” dan aku bertanya di rumah negeri mana gerangan aku sekarang, Agaknya inilah yang kita rindukan bersama, di setasiun bis dan ruang tunggu kereta-api negeri ini buku dibaca, di perpustakaan perguruan, kota dan desa buku dibaca, di tempat penjualan buku laris dibeli, dan ensiklopedia yang terpajang di ruang tamu tidak berselimut debu karena memang dibaca. Taufiq Ismail, 1996.
10
PENGAJARAN SASTRA… OH, PENGAJARAN SASTRA… (Oleh: S. Suharianto) [Versi pdf, dibuat oleh http://doniriadi.blogspot.com, Juni 2009 ] 1.
Entah sudah berapa puluh kali seminar pengajaran sastra seperti ini diadakan sejak mata pelajaran tersebut dicantumkan di dalam kurikulum sekolah kita dari sekolah dasar sampai ke sekolah menengah atas. Akan tetapi dampaknya, sepengetahuan saya, belum seperti yang diharapkan. Pengajaran sastra di sekolah-sekolah tetap terengah-engah berjalan di tempat. Para siswa yang pernah mengikutinya tetap tidak tahu manfaat pengajaran sastra itu, kecuali sekadar untuk melengkapi jumlah mata pelajaran rapornya atau tanda kelulusannya.
2.
Kesalahan tafsir terhadap kata “sastra” dalam konteks pengajaran sastra menjadi penyebab utama pelaksanaan pengajarannya menjadi salah. Ditambah dengan kurangnya perhatian pemerintah dan kurangnya guru sastra yang baik, maka sempurnalah “penderitaan” pengajaran sastra tersebut. Kalau keadaan seperti itu tidak segera diperbaiki, jangan bermimpi pengajaran sastra yang kita laksanakan akan menghasilkan para lulusan yang menyenangi sastra. Memang, kehidupan ini akan terus berjalan meski tanpa sastra. Akan tetapi, Mukti Ali, ketika menjabat Menteri Agama dulu pernah mengingatkan: hidup tanpa seni itu kasar. Oleh karena sastra itu merupakan bagian dari seni, tentulah dapat pula kita katakan hidup tanpa sastra itu kasar.
3.
Yang dimaksud “sastra” oleh pembuat kurikulum dalam konteks pengajaran sastra itu ialah karya sastra; yaitu puisi, prosa, dan drama. Akan tetapi oleh para pengajarnya diartikan sebagai “ilmu sastra”. Oleh karena itu yang mereka ajarkan pengertian puisi, ciri-ciri puisi, jenis-jenis puisi, dan seterusnya. Demikian halnya untuk prosa dan drama. Kalaupun sempat diperkenalkan karyanya hanya sebatas judul dan pengarangnya saja. Oleh karenanya tidak mengherankan bila pengajaran sastra tidak disenangi oleh anak-anak karena tidak mendapatkan apa-apa dari mata pelajaran itu, kecuali tambah beban hafalan.
4. Perhatian pemerintah, dalam hal ini Depdiknas, terhadap pengajaran sastra dapat dikatakan sedikit sekali, untuk tidak mengatakan tidak ada. Alokasi waktu yang disediakan dalam kurikulum sangat sedikit, kalau tidak salah hanya satu jam pelajaran nunutan. Penyediaan
11
buku-buku bacaan seperti kumpulan puisi, cerpen, novel, dan drama tampaknya tidak pernah dipikirkan; terbukti amat sangat jarang sekolah yang memiliki perpustakaan yang memadai persediaan buku-buku sastranya. Seingat saya belum pernah ada ide dari pemerintah menyediakan “buku murah”. Mengharapkan anak senang sastra tanpa disediakan perpustakaan yang memadai dan harga buku-buku sastra mahal, hanyalah sebuah mimpi. 5.
Untuk dapat mengajarkan sastra yang betul dan menarik diperlukan guru sastra yang baik; yaitu yang (a) menyenangi sastra, (b) memiliki pengetahuan sastra yang memadai, (c) memiliki kemampuan mengapresiasi sastra yang lumayan, (d) memahami benar tujuan pengajaran sastra, (e) menguasai metode pengajaran sastra, dan syukur disempurnakan dengan (f) dapat menulis karya sastra. Pertanyaan kita, berapa persenkah guru sastra yang ada di seluruh Indonesia ini yang memiliki ciri-ciri seperti itu?
6. Bahwa anak didik harus memiliki pengetahuan mengenai sastra, memang tidak dapat dibantah karena mereka pada saatnya nanti harus menghadapi soal ujian akhir yang kebanyakan soalnya berupa pengetahuan. Akan tetapi agar pengajaran sastra tersebut benar-benar membawa manfaat bagi anak didik, tumpuan pengajarannya dijatuhkan pada memberikan pengalaman bersastra; yaitu pengalaman (a) mengapresiasi, dan (b) berekspresi. Yang dimaksud dengan pengalaman mengapresiasi ialah pengalaman merasakan indahnya karya sastra; sedangkan pengalaman berekspresi ialah pengalaman mengungkapkan pikiran dan perasaannya melalui karya sastra. Untuk mencapai kedua tujuan tersebut kiranya tak ada jalan kecuali dengan “mempertemukan” mereka dengan karya-karya sastra baik puisi, prosa, maupun drama. Melalui cara itu mereka kita perkenalkan dengan keindahan yang ada pada setiap karya sastra; baik keindahan estetisnya maupun keindahan etisnya. 7.
Pengajaran sastra harus bertolak dari “karya sastra”. Itu berarti anak didik harus kita ajak berkomunikasi langsung dengan karya sastra. Perlu kita ketahui bahwa sastra yang baik itu sudah “berkomunikasi” sebelum dipahami. Komunikasinya yaitu melalui unsur-unsur instrinsik karya sastra bersangkutan. Jika puisi melalui rima dan irama yang ada pada puisi bersangkutan, melalui pengimajian yang menciptakan penyair, melalui suasana yang tercipta
12
akibat pilihan kata-kata penyair. Jika prosa melukiskan gaya bahasa yang digubah sang pengarang, alur cerita yang digunakan, lukisan settingnya, dan perwatakan para tokoh ceritanya. Jika drama, melalui dialog-dialog yang dibuat si penulis drama bersangkutan, perwatakan para pelakunya, konflik yang dimunculkan dan sebagainya. Dengan bimbingan guru sastra yang baik anak didik dapat mendiskusikan semua hal tersebut. Melalui kegiatan Tanya jawab kepada anak diperkenalkan “ilmu atau teori sastranya”. Melalui pelatihan dan penugasan anak dapat “berkreasi” mengubah puisi menjadi prosa atau sebaliknya. Juga dapat mengubah sebuah cerpen menjadi teks drama. 8. Melalui kegiatan di atas anak kita pertemukan dengan keindahan estetis yang terdapat pada setiap jenis karya sastra. Selanjutnya, anak harus pula kita pertemukan dengan keindahan etis yang terdapat pada setiap karya sastra yang kita ajarkan. Yang dimaksud dengan keindahan etis ialah nilai-nilai yang terdapat pada karya sastra bersangkutan, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Melalui kegiatan itu anak didik akan memperoleh banyak manfaat: mengenal manusia dengan berbagai sisi kehidupannya, watak-wataknya, sikapnya menghadapi masalah, memahami kekerdilan dirinya di hadapan Sang Pencipta, dan sebagainya. 9. Mengacu pada butir 7 dan 8 di atas, kembali kita ingat apa yang seharusnya kita butuhkan; yaitu (a) perhatian pemerintah yang sungguh-sungguh, (b) penafsiran kata sastra yang tepat dalam kaitan istilah atau nama mata pelajaran sastra, (c) alokasi waktu yang cukup untuk mata pelajaran sastra, (d) soal-soal ujian yang dapat meningkatkan pengalaman bersastra anak didik, (e) guru-guru sastra yang baik, dan (f) perpustakaan yang memiliki buku-buku karya sastra yang memadai. 10. Tanpa terpenuhinya apa-apa yang tersebut di atas, siapa pun sudah dapat “meramalkan” bagaimana hasil pembelajaran sastra yang kita laksanakan. Kalau ada seorang dua dari anak didik kita kemudian “menyenangi” sastra atau malah dapat “menulis karya sastra” itu dapat dipastikan bukan merupakan hasil pengajaran sastranya di sekolah.
Bumi Tanah Mas, 1 Juni 2009