Makalah Penimbunan Limbah 1.docx

  • Uploaded by: syarifatul ulya nur isnaini
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Penimbunan Limbah 1.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,840
  • Pages: 16
I. PENDAHULUAN Penimbunan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) harus dilakukan secara tepat, baik tempat, tata cara maupun persyaratannya. Walaupun limbah B3 yang akan ditimbun tersebut sudah diolah (secara fisika, kimia, biologi) sebelumnya, tetapi limbah B3 tersebut masih dapat berpotensi mencemari lingkungan dari timbulan lindinya. Untuk mencegah pencemaran dari timbulan lindi,maka limbah B3 tersebut harus ditimbun pada lokasi yang memenuhi persyaratan. Penimbunan hasil dari pengolahan limbah B3 merupakan tahap akhir dari pengelolaan limbah B3 di tempat yang diperuntukkan khusus sebagai tempat penimbunan limbah B3 dengan desain tertentu yang mempunyai sistem pengumpulan dan pemindahan timbulan lindi dan mengolahnya memenuhi kriteria limbah cair yang ditetapkan sebelum dibuang ke lingkungan. Tujuan dari penimbunan limbah B3 di tempat penimbunan (landfill) adalah untuk menampung dan mengisolasi limbah B3 yang sudah tidak dimanfaatkan lagi dan menjamin perlindungan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan dalam jangka panjang.Selain itu lokasi bekas (pasca) pengolahan dan penimbunan limbah B3 pun harus ditangani dengan baik untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

II. PEMBAHASAN A. TATA CARA DAN PERSYARATAN PENIMBUNAN LIMBAH B3 1. Pemilihan Lokasi Landfill Penimbunan limbah B3 harus dilakukan pada lokasi tepat dan benar yang memenuhi persyaratan lingkungan. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam pemilihan lokasi adalah: a. Lokasi yang akan dipilih harus merupakan daerah yang bebas dari banjir seratus tahun. b. Geologi lingkungan 1) Daerah dengan litologi batuan dasar adalah batuan sedimen berbutir sangat halus (seperti serpih, batu lempung), batuan beku, atau batuan malihan yang bersifat kedap air (k<10-9 m/detik), tidak berongga, tidak bercelah dan tidak berkekar intensif.

2) Tidak merupakan daerah berpotensi bencana alam : longsoran, bahaya gunung api,gempa bumi dan patahan aktif. c. Hidrogeologi. 1) Bukan merupakan daerah resapan (recharge) bagi air tanah tidak tertekan yang penting dan air tanah tertekan. 2) Dihindari lokasi yang dibawahnya terdapat lapisan air tanah (aquifer). Jika dibawah lokasi tersebut terdapat lapisan air tanah maka jarak terdekat lapisan tersebut dengan bagian dasar landfill adalah 4 meter. d. Hidrologi Permukaan Lokasi penimbunan bukan merupakan daerah genangan air, berjarak minimum 500 m dari: aliran sungai yang mengalir sepanjang tahun, danau, atau waduk untuk irigasi pertanian dan air bersih. e. Iklim dan curah hujan Diutamakan lokasi dengan: 1) Curah Hujan : kecil, daerah kering; 2) Keadaan angin : kecepatan tahunan rendah, berarah dominan ke daerah tidak berpenduduk atau berpenduduk jarang. f. Lokasi penimbunan harus sesuai dengan rencana tata ruang yang merupakan tanah kosong yang tidak subur, tanah pertanian yang kurang subur, atau lokasi bekas pertambangan yang telah tidak berpotensi dan sesuai dengan rencana tata ruang baik untuk peruntukan industri atau tempat penimbunan limbah. Selain itu harus memperhatikan flora dan fauna; 1) Flora : merupakan daerah dengan kesuburan rendah, tidak ditanami tanaman yang mempunyai nilai ekonomi dan bukan daerah/kawasan lindung; 2) Fauna : bukan merupakan daerah margasatwa/cagar alam. 2. Persyaratan Rancang Bangun/Desain Landfill Limbah B3 a. Rancang Bangun/Desain Bagi Masing-masing Kategori Landfill Rancang bangun/desain bagi masing-masing kategori landfill yang digunakan untuk tempat penimbunan limbah B3 Gambar 1, adalah: 1) Pelapisan Dasar a. Kategori I (Secure Landfill Double Liner)

b. Kategori II (Secure landfill single liner) c. Kategori III (Landfill Clay Liner) 2) Pelapisan Penutup Akhir (Final Cover) bagi Landfill Kategori I, II, III. Setelah landfill diisi penuh dengan limbah, landfill harus ditutup dengan pelapis penutup akhir (PPA), PPA tersebut harus dirancang sedemikian rupa sehingga mampu: a. Memiminimumkan perawatan di masa yang akan datang setelah landfill ditutup; b. Memimimumkan infiltrasi air permukaan ke dalam landfill, dan c. Mencegah lepasnya unsur-unsur limbah dari landfill. 3. Persyaratan Konstruksi dan Instalansi Komponen-Komponen Landfill Pemilikan fasilitas landfill wajib memenuhi ketentuan: a. Sebelum memulai konstruksi dan instalansi komponen-komponen landfill, harus membuat dan menyerahkan Rencana Konstruksi dan Instalansi Landfill serta Rancangan Jaminan Kualitas komponen-kompenen landfill yang dibangun memenuhi standar yang telah dipersyaratkan; b. Pada saat konstruksi dan instalansi komponen-komponen landfill, harus melakukan kegiatan inspeksi, uji kualitas komponen-komponen landfill, dan melaporkan hasil kegiatan inspeksi dan uji kualitas tersebut kepada Bapedal; c. Setelah membuat

konstruksi

dan

instalansi

landfill

selesai

dilaksanakan,

harus

danmeyerahkan laporan hasil kegiatan konstruksi dan instalansi

komponen-komponen landfill yang dibangun Bapedal; d. Mengikutsertakan Bapedal atau pihak ketiga yang ditunjuk oleh Bapedal sebagai pengawas dalam setiap kegiatan pelaksanaan konstruksi dan instalansi landfill. 4. Persyaratan Peralatan dan Perlengkapan fasilitas Landfill Pengoperasian fasilitas landfill harus didukung peralatan atau perlengkapan perlengkapan sebagai berikut: a. kantor administrasi; b. gudang peralatan; c. fasilitas pencucian kendaraan dan perlengkapannya; d. tempat parkir;

e. peralatan dan perlengkapan untuk mengatasi keadaan darurat; f. peralatan .emergency shower.; g. peralatan penimbunan limbah di lokasi landfill (contoh : buldoser); h. perlengkapan pengamanan pribadi pekerja; i. perlengkapan PPPK (pertolongan pertama pada kecelakaan). 5. Perlakuan Limbah B3 Sebelum Ditimbun Perlakuan limbah B3 yang memerlukan pengolahan awal sebelum ditimbun dilakukan melakukan tahapan sebagai berikut: a. Melakukan uji analisa limbah B3 di laboratorium untuk menentukan cara pengolahan awal yang sesuai dan tepat, misalnya : antara lain dengan cara solidifikasi/stabilisasi. b. Melakukan pengolahan limbah B3 yang sesuai dan tepat berdasarkan hasil analisa butiran diatas, hingga memenuhi persyaratan untuk dapat ditimbun di landfill limbah B3. Untuk limbah B3 yang tidak memerlukan pengolahan awal tetapi telah memenuhi baku mutu uji TCLP, lolos uji paint filter dan uji kuat tekan, dapat ditimbun langsung di landfill. 6. Persyaratan Limbah B3 yang Dapat Ditimbun di Landfill. Limbah B3 yang dapat ditimbun di landfill wajib memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Memenuhi baku mutu uji Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) tabel 3; lolos uji paint Filter Test dan uji kuat tekan (compressive strength); b. Sudah melalui proses stabilisasi/solidifikasi, insinerasi atau pengolahan secara fisika atau kimia; c. Tidak bersifat: 1) Mudah meledak. Limbah mudah terbakaradalah limbah yang apabila bertekanan dengan api, percikan api, gesekan atau sumber bunyi nyala lain akan mudah menyala atau terbakar dan apabila telah menyala akan terus terbakar hebat dalam waktu lama.

2) Mudah terbakar. Limbah mudah terbakar adalah limbah yang apabila bertekanan dengan api, percikan api, gesekan atau sumber nyala lain akan mudah menyala atau terbakar dan apabila telah menyala akan terus terbakar hebat dalam waktu lama. 3) Reaktif. Limbah yang bersifat reaktif adalah limbah yang meyebabkan kebakaran karena melepaskan atau menerima oksigen atau limbah organik peroksida yang tidak stabil dalam suhu tinggi. 4) Menyebabkan infeksi. Biasanya limbah Rumah sakit dimana limbahnya terdiri dari bagian tubuh manusia yang terkena infeksi kuman penyakit yang dapat menular. d. Tidak mengandung zat organik lebih besar dari 10 persen; e. Tidak mengandung PCB; f. Tidak mengandung dioxin; g. Tidak mengandung radio aktif; h. Tidak berbentuk cair atau lumpur. Pada saat penimbunan limbah B3 di landfill harus dilakukan pencatatan yang memuat informasi (waste tracking form) mengenal asal penghasil limbah B3, karakteristik awal limbah B3, volume, tanggal, dan lokasi (koordinat) penimbunan. 7. Persyaratan untuk Sistem Pengelolaan Lindi. Lindi yang timbul dari kegiatan penimbunan limbah B3 harus dikelola dengan baik. Sistem pengelolaan lindi harus dirancang dan dioperasikan sesuai dengan ketentuan dibawah ini: a. Aliran air hujan (run-on dan run-off) di dalam sistem landfill harus dikendalikan; b. Sistem yang digunakan harus dapat memperkecil jumlah air yang masuk ke dalam landfill. Air yang terkumpul di landfill dan berkontak dengan limbah B3 harus dipindahkan ke tempat penampungan/pengumpulan lindi., misalnya air dari pencucian truk pengangkut limbah B3.

c. Air diluar landfill yang kontak dengan limbah B3 harus dikumpulkan dan dipindahkan ke tempat penampungan/pengumpulan, misalnya air dari pencucian truk pengangkut limbah B3. d. Timbulan lindi dalam lapisan pengumpulan lindi dan lapisan pendeteksi kebocoran landfill harus dipindahkan ke tempat penampungan/pengumpul lindi; e. Tempat pengumpul lindi (Leachate Collection Vessel or Pits); Tempat pengumpul lindi (TPL) jika berupa bak atau kolam harus dirancang beratap dan jika berupa tangki harus dipasang tanggul disekeliling tangki dengan volume 110% volume tangki. Baik

tangki maupun kolam

tersebut harus

dirancang mampu menampung lindi yang timbul selama seminggu. Selain TPL utama harus disediakan TPL cadangan; f. Pengaliran/pembuangan timbulan lindi dari TPL ke perairan bebas dapat dilakukan setelah lindi diuji kualitasnya dan memenuhi baku mutu limbah cair sebagaimana tercantum dalam Tabel Baku Mutu Limbah Cair bagi kegiatan PPLIB3 (Tabel 5 BMLCK-PPLIB3). Jika tidak memenuhi mutu limbah cair maka timbunan lindi harus diolah terlebih dahulu, hingga memenuhi baku mutu limbah cair; g. Uji kualitas lindi dan laju alir lindi yang dibuang keperairan bebas dicatat dan catatannya disimpan untuk kemudian dilaporkan kepada Bapedal; h. Wajib melakukan uji kualitas lindi yang berasal dari lapisan sistem pendeteksi kebocoran sebelum dipindahkan ke TPL sebagaimana tercantum pada Tabel 4; i. untuk mencapai melakukan

kualitas

pengenceran.

baku mutu Selama

limbah

Bapedal

cair

belum

tidak

diperbolehkan

menentukan

metode

pengambilan dan analisa contoh, maka metode pengambilan contoh mengikuti .Standar Methods for the Examination of Water and waste water. yang dipublikasikan oleh American Public Health Association dan American Water Works Association. Kemudian untuk metode analisis parameter-parameter sebagaimana tercantum dalam

tabel 5 BMLTK-PPLI-B3 digunakan Standar

Nasional Indonesia (SNI), sedangkan parameter-parameter yang belum ada SNI-nya maka mengikuti .Standard Methods. diatas;

i. volume laju lindi yang dibuang harus dibatasi dan disesuaikan dengan daya dukung lingkungan dan kapasitas pengolahan. 8. Persyaratan untuk Sistem Pemantauan Air Tanah dan Air Permukaan Sarana penimbunan limbah B3 harus dilengkapi dengan sistem pemantauan kualitas air tanah zona jenuh dan tidak jenuh serta air permukaan disekitar lokasi. Sistem pemantauan tersebut harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Jumlah, kedalaman, dan lokasi sumur pantau air tanah harus dipasang sesuai dengan kondisi hidrogeologi setempat (jumlah minimum sumur pantau 3 buah, satu sumur pantau up-stream dan 2 sumur pantau downstream) dan harus mendapat persetujuan Bapedal. b. Contoh air tanah harus diambil dari sumur pantau dan contoh air permukaan dari sungai yang berada disekitar landfill, setiap bulan selama 2 tahun pertama beroperasinya kegiatan penimbunan limbah B3 dan setiap 3 bulan untuk tahuntahun berikutnya. Contoh air tanah tersebut dianalisis sesuai dengan parameter sebagaimana dimaksud pada tabel 3. c. Hasil uji analisa contoh air tanah dan air permukaan harus dicatat dan catatannya disimpan untuk dilaporkan ke Bapedal setiap 3 (tiga) bulan sekali. Jika parameter atau lebih dari parameter indikator lindi Tabel 4, dari contoh air sumur pantau melewati (*) kisaran air tanah alam maksimum yang diizinkan, maka harus dilakukan analisis total parameter sebagaimana dalam Tabel 5 BMLCKPPLIB3. kemudian dicari penyebab dilampauinya baku mutu maksimum tersebut dan harus dilakukan langkah-langkah perbaikan yang diperlukan. Langkah-langkah perbaikan yang diambil harus ditetapkan bersama Bapedal atau oleh Bapedal.

B. HAL-HAL

YANG

DIFOKUSKAN

PADA

PENGELOLAAN

DAN

PENGENDALIAN LIMBAH B3 Hal-hal yang difokuskan pada pengelolaan dan pengendalian limbah B3: 1. Dilarang membuang limbah B3 langsung ke lingkungan. Limbah B3 sudah diketahui sangat berbahaya bagi lingkungan, maka dalam hal ini industry-industri atau kegiatan yang menghasilkan limbah B3 dilarang untuk

membuang limbah secara langsung ke lingkungan karena akan berdampak buruk apabila proses pembuangan tanpa adanya pengolahan terlebih dahulu. Terdapat metode-metode pembuangan limbah B3: 1) Sumur dalam/ Sumur Injeksi (deep well injection) Salah satu cara membuang limbah B3 agar tidak membahayakan manusia adalah dengan cara memompakan limbah tersebut melalui pipa kelapisan batuan yang dalam, di bawah lapisan-lapisan air tanah dangkal maupun air tanah dalam. Secara teori, limbah B3 ini akan terperangkap dilapisan itu sehingga tidak akan mencemari tanah maupun air. Namun, sebenarnya tetap ada kemungkinan terjadinya kebocoran atau korosi pipa atau pecahnya lapisan batuan akibat gempa sehingga limbah merembes kelapisan tanah. 2) Kolam penyimpanan (surface impoundments) Limbah B3 cair dapat ditampung pada kolam-kolam yang memang dibuat untuk limbah B3. Kolam-kolam ini dilapisi lapisan pelindung yang dapat mencegah perembesan limbah. Ketika air limbah menguap, senyawa B3 akan terkosentrasi dan mengendap di dasar. Kelemahan metode ini adalah memakan lahan karena limbah akan semakin tertimbun dalam kolam, ada kemungkinan kebocoran lapisan pelindung, dan ikut menguapnya senyawa B3 bersama air limbah sehingga mencemari udara. 3) Landfill untuk limbah B3 (secure landfils) Limbah B3 dapat ditimbun pada landfill, namun harus pengamanan tinggi. Pada metode pembuangan secure landfills, limbah B3 ditempatkan dalam drum atau tong-tong, kemudian dikubur dalam landfill yang didesain khusus untuk mencegah pencemaran limbah B3. Landffill ini harus dilengkapi peralatan moditoring yang lengkap untuk mengontrol kondisi limbah B3 dan harus selalu dipantau. Metode ini jika diterapkan dengan benar dapat menjadi cara penanganan limbah B3 yang efektif. Namun, metode secure landfill merupakan metode yang memliki biaya operasi tinggi, masih ada kemungkinan terjadi kebocoran, dan tidak memberikan solusi jangka panjang karena limbah akan semakin menumpuk.

2. Dilarang melakukan pengenceran limbah B3 Hal ini dilarang, karena pengenceran tidak akan menghilangkan sifat berbahaya beracunnya Limbah B3. Pengengenceran adalah menanbahakan cairan atau zat lainnya pada limbah B3 sehingga konsentrasi zat racun dan tau tingkat bahanyanya turun, tetapi beban pencemarannya masih tetap sama dengan sebelumnya dilakukan pengenceran. 3. Dilarang melakukan impor limbah B3 Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001 Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun pada Pasal ayat 1, pengertian B3 adalah sebagai berikut: Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat dengan B3 adalah bahan yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya. Dasar-dasar hokum ekspor-impor B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya): Pada Undang-Undang No. 23 Tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat larangan tegas untuk melakukan ekspor-impor limbah B3, seperti yang tercantum dalam Pasal 21: “Setiap orang dilarang melakukan impor limbah bahan berbahaya dan beracun” Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 18 Tahun 1999, tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun, pada Bagian Ketiga Ketiga, perihal Perpindahan Lintas Batas, Pasal 53 (1) Setiap orang dilarang melakukan impor limbah B3 (2) Pengangkutan limbah B3 dari luar negeri melalui Wilayah Negara Indonesia dengan tujuan transit, wajib memiliki persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Kepala instansi yang bertanggung jawab. (3) Pengangkutan limbah B3 dari luar negeri melalui Wilayah Negara Republik Indonesia wajib diberitahukan terlebih dahulu secara tertulis kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab.

(4) Pengiriman limbah B3 ke luar negeri dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari pemerintah negara penerima dan Kepala instansi yang bertanggung jawab. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata niaga limbah B3 ditetapkan oleh Menteri yang ditugasi dalam bidang perdagangan setelah mendapat pertimbangan dari Kepala instansi yang bertanggung jawab.

C. PENGAWASAN DAN PENGELOLAAN LIMBAH B3 Pengelolaan pencemaran yang efektif memerlukan pengetahuan mengenai pengaruh buruk yang terjadi dalam lingkungan alamiah dan faktor pencemaran yang menyebabkan pengaruh ini. Holdgate (1979) telah menyarankan bahwa suatu pengetahuan mengenai faktor berikut ini, dibutuhkan untuk suatu program pengawasan yang efektif: 1. Pencemaran yang memasuki lingkungan, dan jumlahnya, sumbernya, serta penyebarannya. 2. Pengaruh zat-zat itu 3. Kecenderungan dalam kepekatan dan pengaruh derta penyebab perubahan tersebut. 4. Seberapa

jauh

masukan,

kepekatan,

pengaruh

dan

kecenderungan

dapat

dimodifisikasi, dan dengan cara bagaimana dan berapa biayanya Faktor-faktor tersebutlah yang yang membentuk bagian dari suatu program pengolahan limbah yang lebih luas, yang tidak hanya melibatkan pengawasan dan pengamatan namun juga penilaian risiko dan kebutuhan untuk setiap tindakan yang diambil. Sebagai tambaha, terdapat aspek hukum, administratif, sosial, ekonomi, teknik dan lain sebagainya yang harus diperhitungkan dalam program keseluruhan. Jika suatu pembuangan dilakukan pada lingkungan tetapi tidak ada pengaruhyang merugikan yang teramati, maka tidak dianggap sebagai pencemarandan tidak memerlukan tindakan perbaikan. Jadi dalam pengelolaan limbah ini, kualitas lingkungan merupakan perhatian utama. D.

Strategi pengawasan Tujuan pengelolaan lingkungan, dalam kaitannya dengan pengawasan, dapat bertemu dengan memusatkan padadua aspek:

1. Pengawasan pencemaran dalam bagian lingkungan yang berberda, umumnya diperlukan sebagai pengawasan faktor. 2. Pengawasan pengaruh pencemar pada ekosistem alamiah dan biota yang berhubungan, yang umumnya dikenal sebagai pengawasan sasaran. Pengawasan pencemaran biasanya mencangkup pengukuran kimiawi dan fisika dalam berbagai solusi atau situasi, sebagai contoh, proses produksi, emisi ke lingkungan, keberadaan dalam lingkungan, pada permukaan suatu sasaran, di dalam suatu makhluk hidup, dan sebagainya (Goldberg, 1979). Terdapat banyak contoh yang berhasil mengenai penerapan metode pengawasan fisikakimia, dalam penilaian dan pengelolaan pencemaran, sebagai contoh, pengelolaan kualitas air untuk keperluan rumahtangga dan industri, pemakaian baku, dan penggunaan pertanian. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kasus ini, terdapat keterbatasan parameter kunci yang diperhatikan (misalnya, kadar garam, koliform pada benih , kepekatan nitrat dan logam), serta pengaruhnya hanya terbatas pada ranah makhluk hidup, (misalnya manusia, hewan peliharaan, tanaman holtikultura) dianggap penting. Keuntungan teknik fisika-kimia dan mikrobiologi yang berkaitan dapat dirangkum sebagai berikut: 1. Penilaian cepat dapat dibuat 2. Sifat kuantitatif penilaian ini memungkinkan perbandingan dengan susunan bakuan dan suatu evaluasi yang cepat dari kadarpencemaran dalam suatu daerah. 3. Evaluasi fisika-kimia biasanya menampakkan sifat pencemar. 4. Penyebaran pencemar dapat dikaitkan dengan pengukuran kontrol yang diperkenalkan. Kerugian metode ini dapat dirangkum sebagai berikut: 1. Terdapat kekurangan data mengenai tanggapan makhluk hidup terhadap faktor lingkungan untuk banyak daerah. 2. Data yang yersedia mengenai tanggapan mahluk hidp dikaitkan dengan waktu kontak yang singkat serta sangat sedikit data yang dikaitkan dengan kontak mahluk hidup terus menerus jangka panjang yang tersedia. 3. Data yang sangat terbatas tersedia mengenai pengaruh subletal seperti pengaruh mengenai perkembangbiakan dan sebagainya. 4. Data yang sangat terbatas tersedia mengenai pengaruh gabungan campuran pencemaran.

5. Seringkali terdapat informasi terbatasyang tersedia mengenai bentuk kimia zat toksikyang ada ini diterapkan khususnya dengan logam. Tabel 1. Sasaran pengawasan Sasaran Sistem atmosfer Sistem muara dan laut Sistem air tawar Sistem tanah Struktur dan bahan

Ekosistem Spesies dan populasi Manusia Tanaman pangan (termasuk tanaman pangan yang tumbuh di kebun dan hutan) serta ternak Kehidupan liar “Spesies inikator” Individu sasaran atau spesies indikator

Pengukuran Sistem-sistem fisik Sirkulasi, komposisi Sirkulasi, komposisi Sirkulasi, komposisi Pola, komposisi Korosi, pemakaian, soiling Sistem-sistem Biologis Distribusi, komposisi, penampilan keseluruhan (fluks utama) Penyebaran, penampilan Penampilan dan penyebaran

Penampilan dan penyebaran Penampilan dan penyebaran Parameter fisiologis dan biologis, indikator penampilan, residu sebagai alat bantu dalam analisis

Sumber: Holdgate (1979).

Tabel 15.1. memperlihatkan sasaran yang mungkin diawasi dan pengukuran yang dapat dibuat mengenai pengawasan limbah. Sistem biologis yang diperlihatkan dalam Tabel 15. 1 merupkan perhatian pengelolaan pertama karena merupakan sektor lingkungan yang biasa terkena dampak merugikan. Keuntungan dari evaluasi sistem biologis sebagai suatu strategi pengawasan adalah sebagai berikut: 1. Suatu evaluasi akibat biologis pencemaran yang merupakan area perhatian yang utama dalam pengelolaan lingkungan. 2. Suatu evaluasi menyeluruh mengenai pengaruh campuran pencemar. 3. Dalam beberapa keadaan, teknik ini merupakan indikator peka dari pencemaran. Kerugian dari evalusai ini adalah sebagai berikut: 1. Mahal dan memakan waktu. 2. Terdapat kekurangan kriteria kuantitatif.

3. Tidak mencirikan sifat zat yang menyebabkan pencemaran, sehingga memungkinkan sumber tidak dapat dicirikan. 4. Penggunaanya dalam penilaian kualitas air untuk penggunaan rumah tangga dan industri sebagai konsumsi baku dan pertanian terbatas. Namun pada dasarnya evaluasi fisika-kimia dan biologis saling mengisi dan saling keterkaitan. Kedua metode membentuk suatu landasan penting untuk menyusun kriteria dan evaluasi kualitas air. Dalam setia penemuan, teknik yang digunakan adalah yang paling tepat guna untuk sumber daya dan tujuan studi. E.

Baku mutu, kriteria dan indeks Batu mutu dan kriteria memberikan suatu ciri kadar yang dapat diterima mengenai keberadaan suatu pencemar untuk pemeliharaan kualitas lingkungan. Kwalitas air dikaitkan dengan penggunaan dalam pasokan rumah tangga, industri dan pertanian. Pengaruh merugikan telah diperhatikan dengan pengaruh toksik jangka pendekterhadap manusia dan persediaan atau hilangnya produksi pertanian. Hubungan sebab dan pengaruh telah cukup dimantapkan untuk berbagai pencemar yang umum secara fisika-kimia serta jasad renik. Sehingga telah dikembangkan baku mutu dan kriteria yang cukup mantap (USEPA, 1979). Pengelolaan lingkungan ldan kualitas air, pada khususnya telah meluas. Pengelolaan kualitas air pada saat ini juga memperhatikan rekreasi, daya tarik estetis, dan pengawetan sistem alamiah. Dengan aspek baru tersebut, semakin sulit untuk mengidentifikasi kriteria dan baku mutu. Aspek yang lebih baru mengenai pengelolaan kualitas air dimana kriteria fisikakimiawi telah memiliki paling sedikit keberhasilan dan pengawasan mungkin paling baik dilakukan dengan pengawasan ekosistem alamiah. Baik pengawasan faktor dan sasaran, keduanya menghasilkan sejumah besar data fisika, kimia dan biologi. Namun pada kenyataannya sulit untuk menggabungkan, mengintepretasi, dan memahami informasi dari data ini. Tetapi, terdapat kebutuhan untuk memahami data agar secara efektif membangun pengelolaan limbah pada lingkungan. Dalam banyak kasus, untuk mengevaluasi data ini, mereka telah dimampatkan menjadi pengukuran yang disederhanakan yang dapat digunakan untuk keperluan pengelolaan. Pengukuran ini biasanya mengacu pada indeks yang dapat dihitung dengan menggabungkan berbagai pengukuran lingkungan yang ada.

Tabel 15.2 mengandung suatu rangkuman indeks kualitas air (Ott, 1978). Beberapa dari indeks ini telah dikembangkan untuk tujuan yang spesifik dengan menggabungkan faktor kualitasair dengan cara sedemikian rupa sehingga aspek yang paling penting ditentukan. Indeks lainnya adalah suatu sifat umum dan menyediakan suatu penilaiaan kualitas air secara menyeluruh. Dalam kasus lain, indeks telah dikembangkan untuk penggunakan dalam area yang spesifik, dan faktor kualitas air tertentu ditimbang untuk memperhitungkan masalah-masalah khusus yang ada dalam area itu. Tabel 15.3 mengandung sederetan indeks yang digunakan dalam evaluasi kualitas air. indeks baku mutu pencemar yang seragam secara nasional (PSI) telah dikembangkan oleh Amerika Serikat (Ott, 1978) Nama Indeksa Indeks perencanaan Indeks intensitas jangka waktu yg lazim (PDI) Indeks prioritas perencanaan nasional (NPPI) Indeks tindakan prioritas (PAI) Indeks evaluasi lingkungan (EES) Indeks nasional Kanada Indeks pencemaran potensi (PPI) Indeks Pencemaran (PI) Pendekatan statistik Indeks pencemaran gabungan (CPI) Indeks hara makanan parsial Indeks hara makanan total Analisis komponen utama Indeks harkins (rangking kendals) Indeks fungsi beta

Ʃ variabel

Skala

Ranah

b b b 78c b 3 b

Bertambah Bertambah Bertambah Berkurang Bertambah Bertambah Bertambah

0-1 0-1 0-1 0-1000 0-1 0-1000+ 0-100+

18 5 5 b b b

Bertambah Berkurang Berkurang Bertambah Bertambah Bertambah

-2- 2 0-100 0-100 N.A.d 0-100+ 0-1

Indeks kualitas air umum Indeks kualitas (QI) Indeks kualitas air (NSP WQI) Indeks implisit pencemaran Indeks pencemaran sungai (RPI) Sistem akunting sosial

10 9 13 8 11

Berkurang Berkurang Bertambah Bertambah Berkurang

0-100 0-100 0-15+ 0-1000+ 0-100

Indeks kualitas air penggunaan khusus Indeks ikan dan satwa liar (FAWL) Indeks posokan air umum (PWS) Indeks untuk pasokan air umum Indeks untuk rekreasi Indeks penggunaan air ganda

9 13 11/13 12 31

Berkurang Berkurang Berkurang Berkurang Berkurang

0-100 0-100 0-100 0-1 -100-100e

Indeks penggunaan air ganda tiga 14 Bertambah 0-1+ Sumber: Ott (1978) a pada saat nama yang tepat pada suatu indeks tidak tersedia, sifat indeks didaftar. b setiap jumlah variabel dapat dicakup c variabel kualitas air mencakup 14 dari 78 variabel yang digunakan dalam siste d N.A = tidak tersedia e indeks dapat kurang dari -100 dan dapat menjadi angka negatif yang besar

F.

Metode Pengawasan Berbagai faktor yang dapat digunakan dalam pengawasan adalah faktor fisika-kimia, pengaruh biologis dan ekologis. Dalam faktor peairan, faktor fisika-kimia yang sering digunakan dalam pengawasan adalah suhu, kadar garam, kekeruhan, kepekatan klorofil, kepekkatan oksigen terlarut, kepekatan hara makanan, dan kepekatan zat racun yang terpilih. Ini telah diukur dalam ranah komponen biotik dan abiotik yang luas dari lingkungan. Banyak metode pengawasan biologis yang telah digunakan, termasuk indeks diversitas dan indeks biotik lainnya, produktivitas primer dan biomassa. Metode bioessay yang mencangkup evaluasi tanggapan makhluk hidup terhadap pencemar lingkungan atau sampel juga digunakan. Beberapa pengumpulan metode pengawasan dan rincian tata cara penggunaannya telah tersedia (Grenberg, dkk. 1980) Dalam lingkungan atmosfer berbagai faktor fisika-kimia seringkali diawasi, termasuk sulfur dioksida, oksidan, dan sebagainya. Manning dan Feder (1980) telah menjelaskan penggunaan pabrik untuk mengevaluasi keberadaan

pencemar kimia, seperti oksidan,

hidrogen fluorida, logam berat, etilena, dan debu. Pencemar dapat diukur langsung dari jumlah yang diakumulasi dalam pabrik atau dievaluasi dari suatu tanggapan fisiologis atau biologis, sebagai contoh cedera. Burg dan Willhm (1977) menjelaskan suatu metode untuk sampel yang digunakan, atau suatu substrat buatan, yang dikolonikan dalam suatu ekosistem dan dipindahkan ke suatu situasi air buangan. Kemudian dapat diterapkan pada perubahan pada ekosistem uji untuk menilai kualitas air buangan. Sistem yang lebih canggih sedang dikembangkan, dimana tanggapan ikan yang dikurung diawasi secara elektronik. Sistem ini biasanya digunakan dalam suatu sistem laboratorium untuk mengawasi kualitas buangan dari industri atau sumber lainnya. Widdows, 1981 telah menerapkan sistem ini dengan faktor yang diukur seperti ruang lingkup pertumbuhan, angka

banding oksigen terhadap nitrogen dan efisiensi pertumbuhan yang dikaitkan pada perhitungan kondisi fisiologis dengan pencemaran dalam lingkungan.

Related Documents


More Documents from "Ainul Mardiah"