Maafkan Aku

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Maafkan Aku as PDF for free.

More details

  • Words: 1,772
  • Pages: 5
“Maafkan Aku, Nak!”…Kisah Nyata (?) Oleh elha - 5 Maret 2009 - Dibaca 9538 Kali Dik Doang, Seorang presenter dan artis penyanyi balada, dalam satu kesempatan (malam hari) di televisi swasta mengatakan, “Sebelum saya menyanyi, saya ingin mengucapkan selamat kepada para orang tua yang masih berada di kantor. Anak-anak menanti Anda di rumah” . Ya, kita seringkali terlena dengan pekerjaan kita hingga menghabiskan banyak waktu yang seharusnya untuk anak-anak kita. Untuk keluarga kita. Seolah-olah kita berkata kepada keluarga, “Apa yang kurang dari kalian, uang sudah cukup. Rumah sudah mewah. Apa yang kurang?”… . Yang kurang adalah kasih sayang. Yang dicari adalah kesempatan untuk bercengkerama dan bersenda gurau. Sesuatu yang kini menjadi barang langka di kota besar. . Mengapa anak-anak? Mengapa bukan isteri atau suami? Anak – anak adalah amanah yang Allah titipkan kepa kita. Mereka bukan milik kita. Tidak ada hak kita untuk merubah fitrahnya, tidak juga hak utk memaksakan kehendak kepadanya. Yg ada adalah amanah kasih sayang, amanah pendidikan, amanah uluhiyyah, dinniyyah dan masa depan. . ADA SEBUAH (mungkin banyak kaliee yah) KISAH NYATA TENTANG HARAPAN KECIL SANG ANAK KEPADA ORANG TUANYA…. Kisah tersebut kami kemas dalam satu dialog singkat. Semoga bermanfaat. —oooOooo— Seperti biasa Rudi, kepala cabang di sebuah perusahaan swasta terkemukadi Jakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Ikhsan, putra pertamanya yang baru duduk di kelas dua SD yang membukakan pintu. Ia nampaknya sudah menunggu cukup lama. . “Kok, belum tidur?” sapa Rudi sambil mencium anaknya. Biasanya, Ikhsan memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari. Sambil membuntuti sang ayah menuju ruang keluarga, Ikhsan menjawab, “Aku nunggu Ayah pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Ayah?” . “Lho, tumben, kok nanya gaji Ayah? Mau minta uang lagi, ya?” “Ah,enggak. Pengen tahu aja.” “Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hariAyah bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp 400.000,-. Dan setiap bulanrata-rata dihitung 25 hari kerja. Jadi, gaji Ayah dalam satu bulan berapa, hayo?” .

Ikhsan berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar,sementara ayahnya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Rudi beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Ikhsan berlari mengikutinya. . “Kalau satu hari ayah dibayar Rp 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam ayah digaji Rp 40.000,- dong,” katanya. “Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, bobok,” perintah Rudi. . Tetapi Ikhsan tak beranjak. Sambil menyaksikan ayahnya berganti pakaian, Ikhsan kembali bertanya, “Ayah, aku boleh pinjam uang Rp 5.000,- nggak?” . “Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini? Ayah capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah.” “Tapi, Ayah…” Kesabaran Rudi habis. “Ayah bilang tidur!” hardiknya mengejutkan Ikhsan. Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya. . Usai mandi, Rudi nampak menyesali hardikannya. Ia pun menengok Ikhsan di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Ikhsan didapatinya sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp 15.000,- di tangannya. . Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Rudi berkata, “Maafkan Ayah, Nak. Ayah sayang sama Ikhsan. Buat apa sih minta uang malammalam begini? Kalau mau beli mainan, besok’ kan bisa. Jangankan Rp5.000,lebih dari itu pun ayah kasih.” . “Ayah, aku nggak minta uang. Aku pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini.” “Iya,iya, tapi buat apa?” tanya Rudi lembut. . “Aku menunggu Ayah dari jam 8. Aku mau ajak Ayah main ular tangga. Tiga puluh menit saja. Ibu sering bilang kalau waktu Ayah itu sangat berharga.Jadi, aku mau beli waktu ayah. Aku buka tabunganku, ada Rp 15.000,-. Tapi karena Ayah bilang satu jam Ayah dibayar Rp 40.000,-,maka setengah jam harus Rp 20.000,-. Duit tabunganku kurang Rp 5.000,-.Makanya aku mau pinjam dari Ayah,” kata Ikhsan polos. Rudi terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat. Sebuah kisah yang menyentuh sebagai renungan tuk kita semua sob, megingatkan bahwasannya harta & tahta itu bukanlah segalanya. Keluarga disana selalu merindukan kehadiran kita. Semoga kisah ini dapat membuka mata hati & nurani kita… Promosi jabatan? siapa yang ngak mau. Setiap orang yang bekerja pasti mengharapkan itu. Tapi apa artinya sekarang, karena aku harus jaim (jaga image), aku harus kehilangan anakku yang no-3. Dia begitu lucu,baik, ramah, walaupun agak nakal, tapi itu wajar.

Oh ya…aku belum perkenalkan diri. Sebut saja namaku Dira. Aku bekerja di sebuah Bank Pemerintah. Walaupun aku sudah bekerja kurang lebih 5 tahun, tapi statusku masih karyawan kontrak. Aku bekerja di bagian umum, dan untuk mendampingi atasanku, aku sering bepergian ke luar kota. Atasanku seorang Wanita yang sangat cekatan, dan cerdas, tapi di belum menikah walaupun usianya hampir senja. Hari Rabu tanggal 3 Januari 2008, anakku yang no.3 sebut saja namanya Ayu umurnya baru 4 tahun. Badanya panas tinggi dengan 39-40 Derajat Celsius. Malamnya aku bawa dia ke RS dekat rumahku. Setelah diberi obat. Panasnya belum turun juga. Tapi aku harus berangkat kerja, karena aku harus menjaga konditeku di mata atasan, apalagi dia sudah bilang, bahwa aku akan dipromosikan sebagai karyawan tetap. Masih terbayang dimataku, pagi itu masih dengan badan panas Ayu menangis, ingin ditemani oleh ku, dia pegang tanganku erat sekali agar aku tidak berangkat kerja. Ku gendong dia, kemudian kubaringkan ditempat tidur kutemani sampai tidur. Setelah tidur baru ku tinggal pergi ke kantor. Siang itu aku menanyakan keadaan Ayu lewat telp, dia masih panas, walaupun sudah diberi obat, panasnya belum turun juga. Keadaan seperti itu berlangsung sampai 2 hari. Kamis malam tanpa perintah dokter saya bawa dia cek darah di Lab. dekat rumah saya takut, dia kena demam berdarah. Yang saya periksa hanya pemeriksaan RUTIN saja, dan hasilnya trombosit masih dalam keadaan bagus (diatas 200). Saya agak tenang apalagi paginya panas anak saya sudah turun. Jadi saya agak tenang untuk pergi bekerja. Sekilas kuusap wajahnya yang sedang tertidur pulas kupandangi dia, dalam hati kecilku berkata “kenapa wajah anakku agak kebiruan, walaupun panasnya sudah jauh berkurang”. Kutepis prasangka yang bukan-bukan, kukuatkan hatiku untuk terus berjalan. Siangnya ku dapat telp dari rumah….Ayu pingsan dan mimisan, sekarang sedang menuju RS terdekat. Karena ada rapat yang tidak bisa aku tinggalkan, aku baru bisa pulang setelah jam kantor, itupun langsung ke RS. Disana ku lihat Ayu sudah tidak sadar dan banyak selang yang ada ditubuhnya, ku pegangi tangannya, kuusap wajahnya, tapi dia tidak bergerak sedikitpun. Jam 8 malam Ayu batuk tapi yang keluar darah segar dia terbangun dari pingsannya, matanya memandangku dengan tajam. Seakan berkata “kenapa mama baru ku lihat”, “kemana saja mama waktu ku sakit?”. Tapi keadaan itu hanya sebentar, kemudian kulihat senyumnya, dia ulurkan tangannya… kupeluk dia, kuusap wajahnya dan diapun memelukku dengan erat. Kami berpelukan untuk beberapa saat sebelum dia tertidur lagi. Aku sama sekali tak mengira, bahwa itu pelukan Ayu yang terakhir. Jam 5 sore Ayu sesak nafas, wajah dan bibirnya membiru. Ku berteriak memanggil dokter dan suster. Saat itu juga Ayu masuk ruang ICCU. Ditubuh yang mungil itu banyak sekali selang, hidungnya diberi oksigen, dan alat pantau jantung yang terus berbunyi. Saat itu kami dipanggil oleh dokter untuk diberi pernyataan atas hasil pemeriksaan yang sudah di dapat. Dari pemeriksaan secara menyeluruh ternyata Ayu menderita virus demam berdarah yang no.3. Dimana virus itu dalam waktu sekejap dapat merusak organ dalam tubuh. Dalam hal ini Ayu sudah diserang paru-paru dan livernya. Kami hanya diminta untuk berpasrah diri. Karena untuk dapat melewati

masa kritis ini dokter hanya memperkirakan 25% saja, dilihat dari kerusakan paru dan liver yang sudah ditimbulkan. Tapi dokter masih terus berusaha, walaupun darah Ayu sudah mulai mengental, dan menolak semua cairan infus yang masuk. Dokter tetap berusaha. Aku sekeluarga hanya bisa melihat Ayu dari luar kaca. Jam 6.20 sore, kami semua diperbolehkan masuk ke ruangan. Ku pegang kaki mungil yang sudah mulai dingin, tangaan kecil yang tadi pagi memelukku juga mulai dingin, tapi tiba-tiba jemari tanganku dipegang erat oleh Ayu, dia bangun dari tidur. Dia bilang dia haus……tapi kami tidak boleh memberinya air. Ingin rasanya ku lari dan memberikan segelas susu kesukaan Ayu. Tapi semua itu tidak bisa ku lakukan. Yang kulakukan hanya memeluknya, dan memberikan semangat dan harus tabah menjalani ini semua. Dia menatap kami bergantian sambil tersenyum. Aku tau dia akan pergi. Ku bisikan kata ditelinganya bahwa kami sudah iklas bila Ayu mau pergi. Tunggu mama di surga ya….. dia tersenyum dan mengangguk. Jam 6.45 sore Ayu pergi untuk selamanya. Meninggalkan kami dengan senyum tersungging. Meninggalkan kami dengan kenangan yang terindah, kenakalan yang lucu. Tidak ada lagi si nenek cerewet yang selalu menyambutku bila pulang kantor. Banyak yang aku pelajari dari kejadian ini, bahwa anak segalanya, karena promosi jabatan itu aku lalai memantau kondisi anakku. Bahkan pada saat anakku sakitpun masih sempatsempatnya mengikuti rapat. Karena takut kondite kerjaku ku dikantor menurun. Untuk siapa sebenarnya semua ini, untuk anakkah, untuk keluargakah, atau untuk memenuhi egoku saja. Sekarang Ayu sudah tenang bersamaNYA. Sisa susu kesukaan Ayu masih utuh belum terjamah. Aku belum berani untuk berkemas. Aku merasa Ayu masih ada di sini. Selama 1 minggu setelah kepergian ayu, aku dan suami seakan terhanyut dalam kesedihan yang berkepanjangan, badanku sudah mulai kurus, aku dan suami jadi jarang bicara, kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai suatu malam, ayu datang lewat mimpi, dia cantik dengan baju putihnya, kami berada dalam sebuah taman dan anehnya suamiku juga ada bersama kami. Kami bertiga bercanda sangat bahagia, sampai ayu berkata ” Mama, papa sekarang ayu sudah sangat bahagia disini, mama dan papa jangan mikirin ayu terus, kan mama dan papa masih punya kakak, kasihan kakak dia ngak ada yang merhatiin lagi. Mama dan papa harus sehat terus biar bisa cari uang lagi. Mama dan papa kirim do’a aja buat ayu, karena itu berarti mama dan papa sayang ayu dan tidak akan melupakan ayu. Oh ya….sebentar lagi ayu mau punya adik loh….da… da…..mama. …papa.. …” aku terbangun mendengar teriakan suamiku memanggil nama ayu. Ternyata kami berdua mengalami mimpi yang sama. Kami menangis berpelukan dan berjanji untuk lebih memperhatikan kesehatan kami dan menjaga anak kami yang lain, yang seakan terabaikan karena kesedihan yang berlarut. Sebulan sudah berlalu….. .kecerian sudah kembali ada dalam keluarga ini. Oh ya, saat ini saya sedang mengandung 7 minggu, jadi ini yang dikatakan Ayu dalam mimpi kami, bahwa dia akan punya adik. Ayu adalah anak kami yang tak akan pernah

aku lupakan, karena dia kami mempunyai semangat hidup, karena dia kami sadar, bahwa keluarga adalah no 1. Bukan uang yang mereka butuhkan, bukan uang yang membuat kami bahagia, tapi kerukunan dan kasih sayang yang dapat mempererat tali batin diantara kami. Terima kasih ya Allah kau sudah memberikan kami karunia yang sangat berarti. Terima kasih Ayu….kami semua sayang kamu dan tidak akan melupakan kamu. Semoga cerita ini dapat menambah kewaspadaan kita akan bahayanya demam berdarah serta semakin membuat kita lebih peduli terhadap keluarga kita, karena walau bagaimanapun kita berasal dari sana. Kiranya kisah ini dapat kita ambil hikmahnya sob, jangan pernah abaikan keluarga kita!

Related Documents

Maafkan Aku
June 2020 22
Tolong Maafkan Aku
April 2020 23
Maafkan Aku,adam
June 2020 20
Maafkan
November 2019 37
Maafkan Ibu
December 2019 60