Lo.docx

  • Uploaded by: Anonymous K4vIXB
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lo.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,340
  • Pages: 5
LO. 1. 2. 3. 4. 5.

Acuan pembuatan CP, PPK diera BPJS Perbedaan BPJS, KIS, Kartu sehat lainnya. (system pullingnya) Manajemen strategi di era BPJS Contoh negara yang berhasil dan gagal dalam penerapan UHC. Apa kiat2nya ihihiy 😊 BPJS yay/nay? Bedanya implementasi di swasta dan pemerintah apa?

Langkah Penyusunan Clinical Pathway dalam Rangka Kendali Mutu & Kendali Biaya 06/09/2014 Alur Penyusunan CP

dr. Windi Pertiwi, MMR Berdasarkan PERMENKES Nomor 1438/MENKES/PER/IX/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran, dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran termasuk di Rumah Sakit harus sesuai dengan standar. Standar tersebut meliputi Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) dan SPM (Standar Pelayanan Medis). PNPK merupakan standar pelayanan kedokteran yang bersifat nasional dan dibuat oleh organisasi profesi serta disahkan oleh menteri, sementara SPM dibuat dan diterapkan oleh pimpinan pelayanan kesehatan. Selanjutnya, Rumah Sakit sebagai pemberi pelayanan kesehatan perlu menyusun langkah pelayanan yang lebih detail yang diberikan pada masing-masing pasien berdasarkan PNPK dan SPO yang diwujudkan dalam clinical pathway. Clinical pathway adalah sebuah pemetaan mengenai tindakan klinis untuk diagnosis tertentu dalam waktu tertentu, yang mendokumentasikan clinical practice terbaik dan bukan hanya clinical practice sekarang. Clinical pathway yang diterapkan dengan baik dapat menjadi “alat” kendali mutu pelayanan kesehatan RS. Di sisi yang lain, dalam era JKN yang dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan kini, penerapan clinical pathway dapat menjadi salah satu upaya kendali biaya. Biaya yang dikeluarkan dari pemberi pelayanan kepada pasien dapat dihitung berdasarkan clinical pathway dan dibandingkan dengan tarif INA CBG’s yang telah ditetapkan. Sehingga, jika biaya pelayanan yang diberikan kepada pasien melebihi tarif INA CBG’s yang telah diterapkan maka rumah sakit dapat segera mengupayakan efisisensi, tanpa perlu melakukan Fraud. Setelah memahami pentingnya clinical pathway, masalah baru yang muncul adalah bagaimana membuat clinical pathway dengan benar? Clinical pathway masih merupakan hal yang baru bagi sebagian besar rumah sakit di Indonesia. Di sini akan dibahas langkah-langkah dalam membuat clinical pathway yang mungkin dapat berguna bagi rumah sakit. 1. Menentukan Topik Topik yang dipilih terutama yang bersifat high volume, high cost, high risk dan problem prone. Dapat pula dipilih kasus-kasus yang mempunyai gap yang besar antara biaya yang dikeluarkan dengan tarif INA CBG’s yang telah ditetapkan.

2. Menunjuk koordinator (penasehat multidisiplin) Kordinator utama bertugas sebagai fasilitator, sehingga tidaklah harus memahami clinical pathway secara konten. Sebelum menunjuk koordinator, terlebih dahulu dikumpulkan anggota yang berasal dari berbagai disiplin yang terlibat dalam pemberi pelayanan pasien. Tim multidisiplin tersebut wajib menyampaikan item-item pelayanan yang diberikan kepada pasien berdasarkan SPO kepada masing-masing tim profesi dan mengikuti rangkaian rapat dalam kelanjutan membuat clinical pathway. 3. Menentukan Pemain Kunci Pemain kunci adalah siapa saja yang terlibat dalam pelayanan yang diberikan kepada pasien. Misal, pemain kunci dalam pemberian pelayanan kepada pasien Appendicits Akut tanpa komplikasi adalah dokter umum, dokter spesialis bedah, dokter spesialis anastesi, perawat, dan ahli gizi.

Langkah Penyusunan CP

4. Melakukan Kunjungan Lapangan Setelah menentukan anggota dalam penyusunan clinical pathway, maka selanjutnya dilakukan kunjungan lapangan untuk mencari pedoman praktik klinis (PPK), misalnya dalam bentuk SPO atau SPM dan SAK (Standar Asuhan Keperawatan). Kunjungan lapangan dilakukan agar dapat menilai sejauh mana pelayanan yang didapatkan oleh pasien. Juga menilai hambatan yang terjadi di bangsal dalam menjalankan SPO atau SPM sehingga dapat dibuat rekomendasi dalam menyusun clinical pathway. Dalam mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya, dapat pula dilakukan dengan melakukan benchmarking terhadap penerapan clinical pathway di tempat lain. Perlu diingat bahwa, clinical pathway untuk kasus dengan diagnosis yang sama yang diterapkan di rumah sakit lain belum tentu dapat serta-merta diterapkan di rumah sakit kita. Hasil benchmarking perlu dipadukan dengan kemampuan manajerial dan SDM RS serta kondisi-kondisi lain yang terkait. 5. Mencari Literatur Dalam mencari literatur dapat mencari best practice dalam skala nasional yaitu PNPK, ataupun sumber-sumber guideline/ jurnal penelitian internasional dan disesuaikan dengan kemampuan masing-masing rumah sakit. Evidence Based Medicine diperlukan bilamana PNPK belum/ tidak dikeluarkan oleh organisasi profesi ybs.

6. Melaksanakan Customer Focus Group Langkah ini bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan pelanggan disesuaikan dengan kemampuan rumah sakit sehingga, kesenjangan antara harapan dan pelayanan yang didapatkan pasien dapat diketahui dan dapat diperbaiki. 7. Telaah Pedoman Praktik Klinis (PPK) Langkah awal dalam tahap ini adalah melakukan revisi PPK (SPM dan SAK), namun jika sebelumnya rumah sakit belum mempunyai PPK, maka PPK harus dibuat, karena tidak ada clinical pathway tanpa adanya PPK. Berdasarkan Permenkes. No 1438 tahun 2010, clinical pathway bersifat sebagai pelengkap PPK. Menurut Permenkes tersebut, PPK harus di-reviewsetiap 2 tahun sekali, sehingga secara tidak langsung pembuatan clinical pathway dapat meningkatkan kepatuhan review PPK. 8. Analisis casemix Dalam pengembangan clinical pathway, perlu dilakukan mengumpulkan aktivitas-aktivitas untuk dikaitkan dengan besarnya biaya, untuk mencegah adanya Fraud. Dalam hal ini perlu dilakukan identifikasi LoS suatu diagnosis, biaya per-kasus, penggunanan obat apakah sudah sesuai dengan formularium nasional, maupun tes penunjang diagnostik suatu penyakit. 9. Menetapkan Desain Clinical Pathway serta Pengukuran Proses dan Outcome Dalam menetapkan desain, hal yang terpenting adalah beberapa informasi yang harus ada dalam clinical pathway, yaitu kolom pencatatan informasi tambahan, variasi, kolom tanda tangan, serta kolom verifikasi dari bagian rekam medis. Kemudian, ditetapkanlah item-item aktivitas dari masing-masing penyakit sesuai dengan literatur yang telah dipilih dan disesuaikan dengan keadaan rumah sakit. Item aktivias ini sebaiknya mudah dimengerti, sehingga meningkatkan kepatuhan dalam menjalankannya. 10.Sosialisasi dan Edukasi Tahap terakhir dalam membuat clinical pathway adalah, melakukan sosialisasi dan edukasi kepada para pengguna, dalam hal ini berbagai profesi yang berhubungan langsung pada pasien. Dalam tahap awal dapat dilakukan uji coba penerapan clinical pathway yang telah disusun guna mendapatkan feedback untuk mendapatkan bentuk yang user friendly serta konten yang sesuai dengan kondisi di lapangan dalam rangka mencapai kepatuhan penerapan clinical pathway yang lebih optimal. Sosialisasi clinical pathway ini harus dilakukan intensif minimal selam 6 bulan. Perlu ditekankan bahwa clinical pathway adalah “alat.” Efektifitas dalam kendali mutu dan kendali biaya amat tergantung pada user yang menerapkannya. Sehingga, perlu disusun strategi sedemikian rupa agar alat tersebut diterapkan sebagaimana mestinya dalam kepatuhan maupun ketepatan penggunaannya. Sumber: Pelatihan Penyusunan Clinical Pathway Pra-Forum Mutu IHQN X

Dasar Kelompok Diagnosis INA-CBG menggunakan system kodifiaksi dari diagnosis akhir dan tindakan/prosedur yang menjadi output pelayanan dengan acuan ICD-10 untuk diagnosis dan ICD9CM untuk tindakan/prosedur. Sejak implementasi sudah mengalami 3 kali perubahan besaran tarif. Terdapat kode untuk rawat inap dan rawat jalan. Ada sejumlah aspek yang mempengaruhi besar kecilnya biaya INA-CBG’s, beberapa diantaranya yaitu diagnosa utama, adanya diagnosa sekunder berupa penyerta (comorbidity) atau penyulit (complication), tingkat keparahan, bentuk intervensi, serta umur pasien.

Komponen Medis Tarif INA-CBGS Tarif INA-CBG’s adalah tarif dengan sistem paket yang dibayarkan per episode pelayanan kesehatan, yaitu suatu rangkaian perawatan pasien sampai selesai, besar kecilnya tarif tidak akan dipengaruhi oleh jumlah hari perawatan. komponen-komponen medis yang sudah terhitung ke dalam tarif ini CBG's adalah sebagai berikut: 

Konsultasi dokter,



Pemeriksaan penunjang, seperti laboratorium, radiologo (rontgen), dll,



Obat Formularium Nasional (Fornas) maupun obat bukan Fornas,



Bahan dan alat medis habis pakai,



Akomodasi atau kamar perawatan



Biaya lainnya yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan pasien.

Metode perhitungan biaya menggunakan SISTEM INA-CBG’S yang digunakan oleh Rumah Sakit maupun pihak pembayar (pemerintah selaku pihak BPJS) tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian pelayanan yang diberikan, tapi ditentukan oleh beberapa data penting yaitu : 1. Kode DRG (Disease Related Group) 2. Diagnosis keluar pasien tanpa melibatkan jumlah hari perawatan (length of stay). 3. Regional Rumah sakit (regional 1-5) 4. Kualifikasi rumah sakit (rujukan nasional, kelas A-D) Cukup menggunakan data di atas, sistem INA-CBG's akan mampu menentukan besaran tarif yang harus dibayar untuk biaya pasien sesuai dengan diagnosa penyakit. Jika anda ingin menghitung sendiri biaya rawat inap rumah sakit sesuai dengan tarif ina cbgs, silahkan download file PDF data tarif INA CBG's di bawah ini kemudian gunakan datadi atas untuk mendapatkan informasi biayanya.

sumber: http://www.depkes.go.id/resources/download/peraturan/pmk-59-thn-2014-ttgstandar-tarif-jkn.pdf

Sebenarnya kembali mutu dan kendali biaya itu sudah tercantum eksplisit dalam UU Praktik Kedokteran 29/2004, jadi tidak ada alas an untuk mengatakan gara2 JKN dokter jadi susah karena harus berpikir soal biaya. Jadi tinggal pengembangan pola tarif pembayaran dan manajemen pelayanan dengan baik saja harusnya sudah mampu mengatasi masalah “kerugian” yang muncul.

Remunerisasi prinsipnya saling memberi maupun saling menguntukan. System remunerasi untuk pegawai dilayanan kesehatan belum di tetapkan dalam perundang-undangan, jadi lebih fleksibel di masing2 RS, karen itu juga merupakan kebijakan internal masing2 RS/institusi dalam melakukan perhitungan imbalan jasa pegawai.

More Documents from "Anonymous K4vIXB"

Tutor Week 3.pdf
December 2019 7
2.2 Respiratory System.docx
December 2019 8
Lo.docx
December 2019 3
Community.docx
December 2019 5
December 2019 6