Lingkar Hidup Yang Tidak Kian Membulat

  • Uploaded by: amadtattoo
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lingkar Hidup Yang Tidak Kian Membulat as PDF for free.

More details

  • Words: 522
  • Pages: 2
Lingkar hidup yang tidak kian membulat, melainkan menikung, menyerong dan akhirnya perlahan pudar menjadi garis kembali. Singgasana itu harus ditebus, dengan jalan darah, mengandaskan diri dalam ketidakwarasan tak terbaca. Pertanyaan tentang negeri diri sendiri yang begitu terhampar luas, panjang, sejauh mata memandang semua hanyalah langit dan samar. Jika bahasa tidak bisa lagi sebagai penyampai pesan atas keinginan diri, dimanakah kiranya mulut-mulut harus dinyalakan ulang? Sungguh pertanyaan abadi tentangnya adalah juntaian keemasan yang tak mampu disulam menjadi sekedar ketenangan. Gelisah terus menunggu. Kelip lampu kota, diantara temaram malam, lamunan tentang bulan purnama yang tak kunjung datang, sesak mengisi dada sekenanya. Ketika saat-saat lelah begitu histeris menuntut sebuah peristirahatan agung. Jeritan yang begitu dekil dan kumal. Meninggi, diatas kepala dengan rambut yang semakin beruban karena ketuaan yang tak disadari. Disebelah manakah tulang yang keropos itu tertelungkup, terburai seperti usus habis ditikam. Adakah yang tidak jenuh dengan persoalan yang terus bertalu-talu, bukan karena mengeluh, bukan karena mengaduh, bukan, melainkah terkadang betapa saktinya kedirian itu, dan betapa murungnya ketika diri yang paling dalam itu ditinggalkan disela gegap gempita kedirian yang sedang lupa dari mana ia datang. Ketika sepi memenjarakan diri, mengunci rapat pintu dan jendela, begitu gaduh lolongan dan jeritan pilu berkumandang. Pada siapa pembicaraan harus disampaikan, ketika kesadaran menyatakan bahwa tidak ada lagi telinga yang bersedia mendengar. Segalanya telah bosan dengan ketidakwarasan ini, semuanya, kecuali diri sendiri, yang memang tidak mungkin mungkir dari corong muram itu. Setengah berlari, dengan jantung berdegup kencang, dada yang semakin tipis, jiwa yang semakin runtuh, pola pikir yang tersingkap dengan buas oleh tembakan prasangka. Terjerembab dan jatuh. Tersungkur dan bernanah. Terkutuk dan tak ditemani. Luka dan berdarah. Wajah yang telah kehilangan kerling cantik, semua lunas terbayar. Haruskah belati karatan itu ditanjapkan di ulu hati? Jika mata sudah tak sanggup terpejam menghindar. Daratan yang amis. Anyir derita, seperti padang gersang. Fatamorgana terbentuk dari air mata yang menggumpal. Sesak. Air begitu sunyi dibayangkan. Terhisap. Lenyap untuk ada yang lebih lama. Aku dimana? Jika candu pemikiran sudah terasa hambar dan tidak berguna apa-apa. Sekedar asap, berlalu menuruti angin, kemudian pergi begitu saja. Diam itu akan tidak berkesudahan. Sebuah mozaik terlempar dari susunannya, sebuah gambar tak mampu lagi dinilai dengan mata, sebuah kalimat tak lagi dapat dibaca dengan mengeja aksara. Sebuah diri yang tidak mampu lagi merasa. Kosong itu sangat menghantam. Mengingatkan diri pada sungai kecil yang redup dan tidak begitu panjang, dimana ikan-ikan begitu mudah menyerah dan tidak malu-malu untuk menampakkan kesetiaanya untuk sekedar pura-pura tidak tahu apa-apa tentang jebakan. Keheningan yang nyaris tanpa darah atasnya. Waktu akan akan sangat deras mengalir. Ruang akan begitu bergegas menata diri, bagi semua yang tulus atas kesendirian. Namun semua itu sudah tak ada.......... Ya, aku disini. “Ah, mengapa Engkau tidak faham juga. Sesungguhnya dalam kebisuan yang banyak kuperdengarkan kepadamu, bahkan kediaman-kediaman itu, aku sebenarnya menahan ribuan rindu. Hingga dengan yakin kusadari, kudapati, aku hanya seorang

pelamun, pemimpi yang terpelanting. Sampai akhirnya aku menyerah tanpa syarat terhadap ini semua, meskipun aku tetap enggan melucuti tragedi itu” Kiranya pembacaan ulang diri akan membawakan sebuah jalan keluar yang lebar. Lorong yang mampu melontarkan, menuju belahan dunia baru, yang bisa ditiduri tanpa harus bertegur sapa berlama-lama. Dari manakah datangnya sepi?

Related Documents


More Documents from ""

13 Februari 08 Menjelang Ta
October 2019 18
Painting Of Absurdity
June 2020 13
Aris Jakarta
June 2020 18
Concept
June 2020 35
Concept #2
June 2020 8