Lin

  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lin as PDF for free.

More details

  • Words: 2,534
  • Pages: 13
BAB I PENDAHULUAN

Karet alam adalah salah satu komoditas utama sub sektor perkebunan di Indonesia. Data tahun 2006 menunjukkan luas areal tanaman karet di Indonesia adalah seluas 3,31 juta hektar (ha) dan menempati areal perkebunan terluas ketiga setelah kelapa sawit (pertama) dengan luas 6,07 juta ha dan kelapa (kedua) dengan luas 3,82 juta ha. Setelah karet, kopi adalah tanaman perkebunan yang menempati posisi keempat dengan areal penanaman seluas 1,26 juta ha dan kakao (kelima) seluas 1,19 juta ha (Deptan, 2006). Produksi nasional karet pada tahun 2006 adalah sebesar 2,27 juta ton karet kering (KK) dengan produksi terbanyak berasal dari Sumatera (termasuk Bangka-Belitung dan Riau Kepulauan) dengan total produksi sebesar 1,66 juta ton. Produktivitas karet nasional pada tahun tersebut mencapai 868 kg KK / ha dan telah mengalami peningkatan yang signifikan bila dibandingkan dengan satu dekade yang lalu yang hanya mencapai 575 kg KK / ha (tahun 1996). Bila dibandingkan produktivitas areal tanaman karet antar propinsi, terdapat kecenderungan produktivitas tertinggi berasal dari propinsi-propinsi di Sulawesi dan Jawa yang mencapai lebih dari 1000 kg KK / ha, sedangkan di pulau-pulau lainnya hanya mencapai kurang dari 1000 kg KK / ha (Gb.1). Hal ini diperkirakan sangat terkait dengan kondisi kesuburan lahan yang berbeda di kepulauan yang ada di Indonesia.

1

Bila ditinjau lebih spesifik lagi dengan mengambil kasus pada daerah yang lebih sempit lagi dibandingkan dengan daerah sekitarnya, akan tampak adanya pengaruh keadaan iklim (agroklimat) lokal terhadap produktivitas areal tanaman karet. Setidaknya hal ini dapat dilihat dengan rendahnya produktivitas lahan kebun karet di lokasi studi yang terletak di Kabupaten Bogor, yang pada saat studi dilakukan pada tahun 1997 memiliki produktivitas rata-rata sebesar 771 kg KK / ha sedangkan produktivitas tingkat propinsi Jawa Barat pada saat itu adalah sebesar 804 kg KK / ha dan produktivitas sementara karet nasional pada saat itu adalah sebesar 601 kg KK / ha. Berdasarkan studi tersebut, tulisan ini akan menguraikan bagaimana pertumbuhan dan produksi tanaman karet di wilayah bercurah hujan tinggi. Karet adalah polimer hidrokarbon yang terbentuk dari emulsi kesusuan (dikenal sebagai latex) di getah beberapa jenis tumbuhan tetapi dapat juga diproduksi secara sintetis. Sumber utama barang dagang dari latex yang digunakan untuk menciptakan karet adalah pohon karet Para. Hevea brasiliensis (Euphorbiaceae). Ini dikarenakan melukainya akan memberikan respons yang menghasilkan lebih banyak latex lagi.

2

BAB II ISI (ULASAN)

1.

Morfologi Tanaman Karet

Tanaman karet berasal dari bahasa latin yang bernama Havea brasiliensis yang berasal dari Negara Brazil. Tanaman ini merupakan sumber utama bahan tanaman karet alam dunia. Padahal jauh sebelum tanaman karet ini dibudidayakan, penduduk asli diberbagai tempat seperti: Amerika Serikat, Asia dan Afrika Selatan menggunakan pohon lain yang juga menghasilkan getah Getah yang mirip lateks juga dapat diperoleh dari tanaman Castillaelastica(family moraceae). Sekarang tanaman tersebut kurang dimanfaatkan lagi getahnya karena tanaman karet telah dikenal secara luas dan banyak dibudidayakan. Sebagai penghasil lateks tanaman karet dapat dikatakan satu-satunya tanaman yang

dikebunkan

secara

besar-besaran(nazarudin

dkk1992). Tanaman

karet

merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 meter. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi diatas. Dibeberapa kebun karet ada beberapa kecondongan arah tumbuh tanamanya agak miring kearah utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks. Daun karet terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang tangkai daun utama 3-20cm. Panjang tangkai anak daun sekitar 3-10cm dan pada ujungnya terdapat kelenjar. Biasanya ada tiga anak daun yang terdapat pada sehelai daun karet. Anak daun berbentuk eliptis, memanjang dengan ujung meruncing.Tepinya rata dan gundul Biji

3

karet terdapat dalam setiap ruang buah. Jadi jumlah biji biasanya ada tiga kadang enam sesuai dengan jumlah ruang. Ukuran biji besar dengan kulit keras. Warnaya coklat kehitaman dengan bercak-bercak berpola yang khas. Sesuai dengan sifat dikotilnya, akar tanagaman karet merupakan akar tunggang. Akar ini mampu menopang batang tanaman yang tumbuh tinggi dan besar. Lebih lengkapnya, struktur botani tanaman karet ialah tersusun sebagai berikut (APP,2008): Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Hevea Spesies : Hevea brasiasiliensis

2.

Jarak Tanam

Produktivitas satuan luas dipengaruhi oleh jarak tanam dan kerapatan tanaman, disamping faktor-faktor yang lainya. Jarak yang lebih sempit akan berdampak negative dengan beberapa kelemahannya. Beberapa kerusakan yang akan terjadi akibat jarak yang lebih sempit adalah: Kerusakan mahkota tajuk oleh angin Kematian pohon karena penyakit menjadi lebih tinggi Tercapainya lilit batang sadap lebih lambat Hasil getahnya akan berkurang Oleh sebab itu, dalam melakukan penanaman, sangat tidak dianjurkan terlalu rapat jarak antara satu pohon dengan pohon yang lainnya. Melihat hal tersebut diatas, maka dewasa ini kepadatan kerapatan pohon setiap hektarnya tidak melebihi dari jumlah 400 sampai dengan 500 pohon. Hal itu berarti jarak tanamnya perhektar adalah 7x3 m, 7, 14x 3, 33 m atau 8x2,5 m.

4

3.

Bibit

Usaha peningkatan produktivitas tanaman karet baik pada tingkat perusahaan swasta maupun secara nasional, harus dilaksanakan dengan menanam klon-klon unggulan terbaru pada saat penanaman baru ataupun pada saat peremajaan. Klon adalah keturunan yang diperoleh secara pembiakab vegetatif suatu tanaman . sehingga, cirri-ciri darti tanaman tersebut sama persis dengan tanaman induknya.. Klon-klon anjuran yang dianjurkan untuk digunakan pada saat okulasi maupun penanaman bibit unggul adalah bahan tanaman karet. Adapun bahan tanaman yang dianjurkan adalah: Klon GT1, Klon PR 107, Klon PR 228, Klon PR 261, Klon PR 300, Klon PR 255, Klon PR 303, Klon AVROS 2037, Klon BPMI. REKOMENDASI KLON KARET oleh asosiasi penelitian dan nperkebunan Indonesia padfa tahun 2000 adalah sebagai berikut: Sistem rekomendasi klon karet 1999-2001, disesuaikan dengan undang-undang no 12 tahun 1992 tentang sistem budidaya tanaman. Rekomendasi klon unggulan dikelompokan menjadsi dua, yaitu: Kelompok klon anjuran komersil Kelompok klon anjuran harapan Kon anjuran komeresil dibagi menjai 3 yaitu: Klon penghasil lateks Klon penghasil latekskayu Klon penghasil kayu Sedangkan klon anjuran harapan terdiri dari beberapa klon yaitu: IRR 2, IRR5, IRR13, IRR17, IRR21, IRR24, IRR41, IRR42, IRR54, IRR1OO, IRR104, IRR105, IRR107, IRR111 dan IRR 118.

5

4.

Penyadapan

Pemungutan hasil tanaman karet disebut penyadapan karet. Penyadapan merupakan salah satu kegiatan pokok dari pengusahaan tanaman karet. Tujuan dari penyadapan karet ini adalah membuka pembuluh lateks pada kulit pohon agar lateks cepat mengalir. Kecepatan aliran lateks akan berkurang apabila takaran cairan lateks pada kulit berkurang Kulit karet dengan ketinggian 260 cm dari permukaan tanah merupakan bidang sadap petani karet untuk memperoleh pendapatan selama kurun waktu sekitrar 30 tahun. Oleh sebab itu penyadapan harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merisak kulit tersebut. Jika terjadi kesalahan dalam penyadapan, maka produksi karet akan berkurang(santosa, 1986) Untuk memperoleh hasil sadap yang baik, penyadapan harus mengikuti aturan tertentu agar diperoleh hasil yang tinggi, menguntungkan, serta berkesinambungan dengan tetap memperhatiakan factor kesehatan tanaman Perbaikan cara menyadap karet Awalnya petani menyadap karet dari kiri atas ke kanan bawah dan dari kanan atas ke kiri bawah dengan menyebabkan 2 mata luka, atau menyadap dari

6

kanan atas ke kiri bawah (lihat foto ). Sering juga hasil torehan menimbulkan pelukaan sampai ke jaringan kayu, sehingga menimbulkan kerusakan bidang sadap. Ini mengakibatkan masa panen yang seharusnya bisa mencapai 30 tahun menjadi hanya 5 tahun atau tidak berkelanjutan. Setelah memahami teori tentang pohon karet dan membandingkan hasilnya dengan kebiasaan menyadap sebelumnya, kini masyarakat menyadap karet dari kiri atas ke kanan bawah dengan seminim mungkin menimbulkan pelukaan sehingga akan menghemat bidang sadap. Hal ini diakui pula oleh Tondan (45 thn), petani karet dari Desa Tumbang Manyoi. Menurutnya, teknik penyadapan yang benar seperti yang disampaikan oleh fasilitator dari YTS, menjadikan proses penyadapan lebih efektif dan menguntungkan. Kearifan lokal dalam cara membekukan latex Setelah melakukan perbandingan kebiasaan setempat membekukan latex menggunakan saing/umbi gadung (Dioscorea hispida Dennst) dengan tempat lain yang menggunakan tawas, masyarakat akhirnya memutuskan bahwa lebih baik menggunakan saing. Karena hasil pembekuannya ternyata lebih baik. Selain itu, bahannya berasal dari tumbuhan yang banyak hidup di daerah setempat, sehingga mudah didapat dan tidak memerlukan biaya. Teknik okulasi sebagai salah satu cara meningkatkan produktivitas karet lokal. Dari pengalamannya selama ini, para petani mengetahui bahwa di kebun karet mereka terdapat beberapa pohon karet yang memiliki latex yang cukup banyak, melebihi dari pohon-pohon yang lainnya. Oleh karenanya untuk meningkatkan

7

produktivitas karet lokal, dilakukan pembudidayaan dengan mengambil mata entris dari dahan pohon karet tersebut untuk ditempelkan pada bibit karet yang telah disiapkan sebelumnya pada lahan pembibitan karet lokal. Lalu tanaman tersebut dipergunakan sebagai batang entris yang akan diambil mata entrisnya untuk ditempelkan pada bibit persemaian lokal selanjutnya. Dengan demikian diharapkan karet lokal yang bermutu tinggi akan cepat dihasilkan dan dibudidayakan masyarakat setempat secara luas. Sehingga terjadi kenaikan tingkat produksi dan mutu karet, yang selanjutnya akan meningkatkan pendapatan petani.

5. Ethrelisasi/Stimulansia Pada prinsipnya ethrelisasi adalah bukan untuk peningkatan produksi, tetapi bertujuan untuk substitusi tenaga manusia, dengan memperoleh produksi yang sama.

6. Memungut dan Menyerahkan Hasil Untuk menjaga agar produksi mutu tinggi (lateks) tidak banyak yang berhasil menjadi mutu kurang/rendah (lump) perlu ditaati peraturan pemakaian solet/kuas diwaktu menunggu hasil. Pada transportasi hasil ke THP, hendaknya lump tidak diacampurkan dengan lateks, untuk menjaga peninggian VFA dan pra coagulasi.

7. Penerimaan Hasil Di THP lateks setelah disaring akan dibubuhi anti coagulant. Pengolahan produksi sebenarnya telah dimulai di lapangan, dengan tetesan lateks kedalam cup. Pada pengolahan sheet, kesalahan yang terjadi dilapangan, masih dapat ditolong sedikit di pabrik. Pada pengolahan lateks pusingan, angka VFA menjadi salah satu

8

factor yang menentukan mutu produksi. Disini kesalahan lapangan praktis tidak dapat ditolong diperbaiki oleh pabrik. 8. Daftar Premi. Daftar premi dapat berfungsi sebagai alat control untuk kesamaan besarnya ancak, prestasi penderes,dll. 9. Premi Deres Premi deres yang menarik akan merangsang penderes untuk menaikkan produksinya. Harus diperhatikan keseimbangan antar premi kalitas dan premi kuantitas. 10. Sarana Penunjang Banyak hal – hal yang sebenarnya non tehnis panen, yang dapat menjadi srana penunjang bagi kelancaran dan peningkatan produksi, misalnya :  Tersedianya sarana pendidikan untuk anak karyawan, baik bersifat umum maupun bersifat tersendiri.  Adanya koperasi yang dikelola dengan baik.  Dll.

11. Hubungan

Antara

Parameter-Parameter

Iklim

dengan

Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Karet Parameter lingkungan khususnya iklim dapat mempengaruhi produksi tanaman karet (Raj et al. 2005 ; Rao et al, 1998). Curah hujan yang terlalu tinggi di atas 4000 mm mengakibatkan penurunan produktivitas tanaman karet per pohon. Parameter hari hujan pada frekuensi kurang dari 190-200 hari hujan per tahun cenderung meningkatkan produktivitas tanaman karet per hektar lahan kemudian

9

menurun setelah melampaui 200 hari hujan, hal ini terkait pula dengan lama penyinaran matahari di mana peningkatan produktivitas lahan tanaman karet kuadratik terhadap lama penyinaran matahari. Sedangkan kecepatan angin yang tinggi cenderung meningkatkan jumlah kerusakan tanaman karet dalam bentuk patah batang ataupun tumbang. Curah hujan yang cukup sebetulnya dapat meningkatkan produktivitas setiap tanaman karet akan tetapi pada kasus di kebun lokasi studi secara jelas mengalami penurunan, hal ini diduga karena curah hujan di atas 4000 mm per tahun sudah melampaui curah hujan optimal untuk produksi tanaman karet. Penyebab lainnya yaitu bahwa sebagaimana digambarkan di awal yaitu, di kebun lokasi studi sering terjadi hujan di sore hari. Hal ini menyebabkan saat dilakukan sadap pada keesokan harinya, keadaan tanaman karet masih belum kering dan kadar air dalam lateks yang dihasilkan masih tinggi, akibatnya kadar karet kering relatif lebih rendah daripada keadaan normal. Produktivitas per pohon karet dan produktivitas per hektar lahan tanaman karet agak berbeda parameter iklim yang mempengaruhinya. Jika produktivitas per pohon dipengaruhi langsung oleh curah hujan, maka produktivitas per hektar lahan sebetulnya dipengaruhi langsung oleh lama penyinaran matahari, hal ini diduga karena kepadatan populasi tanaman karet turut berpengaruh di dalam keefektifan dan efisiensi fotosintesis tanaman karet. Berhubung lama penyinaran matahari mempunyai korelasi linier yang kuat dengan frekuensi hari hujan, maka di sini ditampilkan pula hubungan antara hari hujan dengan produktivitas lahan. Menurut Darmandono (1995) produksi karet menurun dengan semakin banyaknya hari hujan setahun. Dalam penjelasannya

10

disebutkan bahwa hal tersebut disebabkan karena semakin tingginya resiko kerusakan lateks sebelum dikumpulkan atau meningkatnya serangan penyakit daun dan bidang sadap seiring dengan meningkatnya curah hujan. Kecepatan angin yang tinggi telah banyak dilaporkan mengakibatkan kerusakan terhadap tanaman karet dalam bentuk pohon tumbang, patah batang, patah cabang dan terpuntir / bengkok sebagaimana dilaporkan pula oleh Thomas (1993) di Sumatera Utara dengan gambaran keadaan angin yang disebabkan oleh pergerakan angin muson barat. Pada kasus di kebun lokasi studi, ditemukan hubungan langsung (korelasi polynomial kuadratik) antara semakin cepatnya rata-rata kecepatan angin dengan kecenderungan semakin banyaknya tanaman karet yang rusak. Berhubung korelasi pula dengan frekuensi hari hujan, maka diperkirakan ada hubungan tidak langsung antara frekuensi hari hujan dengan jumlah tanaman karet yang rusak. Kerusakan tanaman karet ini mengakibatkan rendahnya populasi tanam kebun lokasi studi yaitu hanya rata-rata 271 pohon karet/ha, sementara potensi populasi dapat mencapai 400-450 pohon/ha sesuai perhitungan jarak tanam yang umum di perkebunan karet. Di samping karena kerusakan tanaman karet akibat angin, kerusakan tanaman karet juga terjadi akibat serangan penyakit. Di berbagai tempat terlihat adanya tanaman karet yang menderita penyakit batang dan ditambah dengan penyakit akar yang turut mengakibatkan mudah patah atau tumbangnya pohon karet. Di pembibitan tanaman karet, serangan penyakit yang terjadi saat curah hujan tinggi mengakibatkan keadaan bibit yang tidak seragam. Serangan-serangan penyakit ini juga diduga terkait dengan keadaan iklim yang bercurah hujan tinggi dan menjadi tempat yang nyaman bagi bakteri dan cendawan penyebab penyakit.

11

BAB III KESIMPULAN Penyadapan Pemungutan hasil tanaman karet disebut penyadapan karet. Penyadapan merupakan salah satu kegiatan pokok dari pengusahaan tanaman karet. Tujuan dari penyadapan karet ini adalah membuka pembuluh lateks pada kulit pohon agar lateks cepat mengalir. Usaha peningkatan produktivitas tanaman karet baik pada tingkat perusahaan swasta maupun secara nasional, harus dilaksanakan dengan menanam klon-klon unggulan terbaru pada saat penanaman baru ataupun pada saat peremajaan. Curah hujan berpengaruh terhadap produktivitas tanaman karet. Kabupaten Bogor mempunyai keunikan karena curah hujannya yang relatif sangat tinggi. Curah hujan yang tinggi ini mengakibatkan produktivitas tanaman karet di kebun karet yang terdapat di dalamnya menjadi relatif lebih rendah dibandingkan produktivitas tingkat Propinsi Jawa Barat meskipun bila dibandingkan dengan skala nasional masih lebih tinggi. Selain faktor utama curah hujan yang tinggi, penyebab produktivitas yang relatif rendah ini juga disebabkan karena inefisiesi fotosintesis akibat rendahnya intensitas / lama penyinaran matahari, dan rendahnya populasi tanaman per hektar akibat rusaknya tanaman karet yang merupakan pengaruh langsung dari tingginya kecepatan angin selama hujan. Faktor penyebab lainnya adalah serangan penyakit, yang selain mempengaruhi produksi karet juga turut mengganggu pertumbuhan tanaman karet. Kesemua

faktor-faktor

penyebab

tersebut,

ternyata

bermuara

pada

permasalahan parameter iklim curah hujan yang parameter iklim lainnya turut terkait. Demikian pula dengan fluktuasi produksi tanaman karet turut dipengaruhi pula oleh musim yang dikaitkan pula dengan volume curah hujan yang terjadi setiap bulannya.

12

BAB IV Daftar Pustaka 1. Darmandono. 1995. Pengaruh Komponen Hujan Terhadap Produktivitas Karet. Jurnal Penelitian Karet, 13(3), 223-238. 2.

Deptan. 2006. Basis Data Statistik Pertanian ( http://database.deptan.go.id/ )

3. Direktorat Topografi AD. 1955. dalam T. Sopian. 1998. Laporan Keterampilan Profesi Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian IPB( data sekunder). 4. P.S. Rao, C.K. Saraswathyamma, M.R. Sethuraj. 1998. Studies on the Relationship Between Yield and Meteorological Parameters of Para Rubber Tree (Hevea brasiliensis), Agric. & For. Meteorol, 90(3), 235-245. 5. S. Limkaisang, S. Kom-un, E.L. Furtado, K.W. Liew, B. Salleh, Y. Sato & S. Takamatsu. 2005. Molecular Phylogenetic and Morphological Analyses of Oidium heveae, a Powdery Mildew of Rubber Tree. Myoscience, 46(4), 220226. 6. S. Raj, G. Das, J. Pothen, S.K. Dey. 2005. Relationship Between Latex Yield of Hevea brasiliensis and Antecedent Environmental Parameters. Int’l J. Biometeorol, 49 (3), 189-196. 7. Thomas. 1993. Beberapa Usaha untuk Mengatasi Kerusakan Tanaman Karet Karena Angin. Warta Perkaretan, 12(2), 27-29.

13

Related Documents

Lin
December 2019 43
Lin Do Lin Do
November 2019 36
Lin A
May 2020 25
Lin Aung
May 2020 26
Rosa Lin
November 2019 22
Lin Program
October 2019 21