SERIAL AYAT-AYAT DHU’AFA Lecet Sandal Jepit Oleh : Syamsi Sarman, BAZ Tarakan
Seorang laki-laki kulihat duduk di ruang tamu kantor BAZ (Badan Amil Zakat), diterima oleh rekan kerjaku. Usianya sekitar duapuluhan, badannya sedang dengan rambut pendek keriting kecil-kecil. Kupandangi gerak-geriknya dari pintu ruang kerjaku. Kulihat temanku berbicara dengan nada tinggi dan agak tegang. Ketika kuhampiri, temanku tadi langsung menyodorkannya padaku. ”Nah ini, bicara saja pada Bapak ini” katanya sambil meninggalkan kami di ruang tamu itu. Ternyata tak salah temanku tadi, orang ini rada susah diajak bicara. Matanya melotot kosong seakan penuh curiga. Raut wajahnya dingin dan tampak ketakutan. Aku menangkap kesan seperti ada sesuatu yang telah terjadi pada dirinya. Dan aku yakin sesuatu itu pasti teramat berat sehingga ia trauma. Ia juga tampak kebingungan. Kalau ditanya dia tidak langsung menjawab. Lama ia cerna pertanyaan itu. Dahinya mengkerut dan matanya terus melotot. Bibirnya seperti mau berucap tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Setelah beberapa detik berselang barulah ia menjawab, itupun jawabannya tidak nyambung. Tiba-tiba aku teringat soal ulangan di sekolah, pernyataan benar dan jawaban benar tetapi tidak ada hubungan sebab akibat, mirip itulah. Terpaksa harus kugunakan ucapan yang agak keras dan menekan walaupun sebetulnya bukan marah. Karena tidak enak dengan tamu-tamu yang lain, lalu aku ajak ia masuk ke ruang kerjaku dan kulanjutkan tanya jawabnya, walaupun kadang nyambung kadang bengkok dan kadang lepas sama sekali. Tapi aku terus mengajaknya bicara ingin tahu keadaannya yang sebenarnya. Ternyata, ia korban deportasi negara jiran Malaysia. Namanya Abdul Ghoni berasal dari Pekalongan. Ia mengaku diajak teman mengadu nasib di sana. Karena masuk secara ilegal, akhirnya ia diusir oleh Polis Diraja Malaysia. Syukur ia punya paspor sehingga tidak sampai dipenjara dan ia dupulangkan lewat Nunukan kemudian ke Tarakan. Ia sepertinya enggan menceritakan kejadiannya secara detail saat ditangkap polis, ia hanya tertunduk sedih, ketakutan dan kebingungan. Begitulah akhirnya ia terdampar di Tarakan, di masjid agung Al Ma’arif kemudian diantarkan orang ke kantor BAZ. Ia betul-betul tak punya apa-apa, selain sepasang pakaian yang melekat di badanya. Sebuah paspor dan sandal jepit yang agak kebesaran. Tak lagi berpikir panjang, kusuruh ia menunggu di kantor kemudian aku pulang untuk mengambil pakaian di rumah. Kubawakan beberapa baju, celana, sarung dan perlengkapan seharihari seperti odol, sikat gigi dan sabun. Kubelikan juga ia beberapa lembar pakaian dalam. Tak sulit bagiku untuk mengetahui size yang cukup untuknya, karena badannya tak jauh beda denganku. Bagus dialah sedikit tapi aku banyak, he he .. Maksudnya kalau dia masih muda, jadi masih langsing, sedangkan aku sudah punya empat orang anak dan perutku sudah mulai membuncit. Seketika aku agak heran melihat ia berjalan. Ia melangkah pincang seakan manahan sakit di kakinya. ”Kenapa kakimu ? tanyaku. Ia tidak langsung menjawab (memang begitu orangnya). ”Sakit” katanya pelan sambil mengangkat celana panjangnya. Disorongkannya sandal jepit dari kakinya dan Masya Allah, kakinya lecet. Tampak kulit arinya merah terkelupas persis dibagian kaki yang terkena tali sandal jepit. Aku terkejut dan terenyuh, tak tahu mau bilang apa. Jelas ia habis melakukan perjalanan jauh. Aku bahkan tak sanggup membayangkan apa yang
dilakukannya selama dua hari tedampar di Tarakan atau beberapa hari sebelumnya di Nunukan. Kemana ia berjalan, apa yang ia makan dan dimana ia tidur. ”Ayo kita jalan,” kataku memecah kebisuan. Kuajak ia dan temanku ke luar. Tujuanku adalah toko sepatu H.Karno di pasar batu (=pasar sebengkok). Kusuruh ia memilih sendiri sepatu atau sandal yang ia mau. Kubiarkan ia mencari sendiri, bahkan aku tak peduli ketika kulihat yang dicarinya adalah sepatu yang mahal-mahal. Aku sendiri mencari tas untuk tempat perbekalan pakaiannya. Dan wow, seleranya tinggi juga. Ia memilih sepatu eksekutif warna hitam lengkap dengan kaos kakinya. Kucoba menyapa, ”Apa tidak sakit kena lecetnya ?” Tumben, kali ini jawabannya cepat, ”Kan pakai kaos kaki” katanya. Aku hanya geli-geli aja dalam hati, tidak masalah yang penting ia senang, gumamku. Memang rezeki Allah untuknya. Si pedagang sepatu hanya memberikan harga yang sangat murah dari harga yang sebenarnya. Bahkan tas yang akan kuberikan kepadanya pun gratis. H.Sukasni si pedagangnya menyumbangkan tas itu. Kami pulang dengan rasa senang, ia senang aku juga senang. Setiba di kantor, ia mandi dan berganti pakaian. Kulihat kegembiraan padanya, sorot matanya mulai berisi harapan. Ia tampak lebih segar dibanding Abdul Ghoni yang pertama kulihat. Begitu semangatnya, sampai label stiker yang melekat di sepatu tak lagi dilepasnya. Entah karena saking gembiranya, atau memang rada-rada stres saat kujenguk ia semalam, eh tidur dengan sepatu lengkap. Aku berusaha menyembunyikan kegelianku. Kumunculkan dalam hati prasangka positif, mungkin karena banyak nyamuk sehingga ia pakai semua pakaiannya. Malam itu kubelikan ia nasi lalap dan sebotol air. Dua hari berlalu ia dalam pelayanan BAZ, hingga malam Jumat tiba kami akan memberangkatakannya ke Surabaya dengan KM Tidar. Rekanku yang mengantarkannya ke pelabuhan. Kami beri ia tiket dan sejumlah uang tunai sekiranya cukup untuk bekal di pejalanan pulang sampai ke Pekalongan. Kata temanku, ia merasa senang sekali. Dan tidak lagi gugup seperti mulanya dulu. Berkali-kali ia mengucapkan terima kasih dan mencium tangan temanku itu sebelum naik ke kepal. Baguslah kataku, kalau tanganmu di cium, kan lama-lama kamu bisa jadi Kiyai.