Kontribusi Pekerja Seks Komersial dalam Aktivitas Ekonomi dan Aktivitas Rumah Tangga ( Kasus Pekerjaan sebagai Penjaja Seks di Kecamatan Rantau Utara dan Kecamatan Rantau Selatan di Kabupaten Labuhanbatu ) Yos Batubara Direktur Eksekutif Lembaga Bina Masyarakat Indonesia PENDAHULUAN Krisis ekonomi yang berdampak di Indonesia, yang mulai terasa sejak awal tahun 1998 selain langsung pada kehidupan ekonomi bangsa, juga secara jelas berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Krisis ini sudah barang tentu mengakibatkan turunnya pendapatan nyata masyarakat yang diakibatkan antara lain oleh hilangnya kesempatan kerja. Kemudian, dampak lanjutan dari krisis ini tak lain adalah kerawanan yang menyangkut berbagai hal, salah satu di antaranya adalah bidang ekonomi dan sosial. Dengan adanya krisis ekonomi ini maka dapat meningkatkan jumlah pekerja seks komersial (PSK). Terlebih di era penuh kemajuan seperti sekarang ini, tentunya sangat beragam macam jenis pekerjaan yang kita kenal. Dan hampir semua jenis pekerjaan mempunyai semangat mendapatkan imbalan, baik imbalan materi maupun immateri dan ada yang mengharapkan imbalan dari keduanya. Hal ini berdasarkam atas manusia yang diberi kebebasan untuk memilih jenis pekerjaannya masing-masing sesuai dengan kemampuan dan kesenangannya. Tetapi hidup di dunia ini tentunya tidak tanpa batasan. Paling tidak, kalaupun bukan kita sendiri yang membatasi namun kita akan mendapatkan batasan-batasan tertentu misalnya batasan atas dasar norma sosial atau norma agama. Sehingga dari batasan seperti itu ada pekerjaan yang nampaknya masih dalam batas boleh dilakukan dan ada juga yang tidak boleh. Masalahnya, ketika sudah bicara mengenai batasan normatif, atau berkaitan dengan rujukan aturan-aturan agama maka pandangan mengenai pekerjaan akan menjadi beragam. Tetapi, Kenyataannya, walau dengan batasan-batasan yang ada tidak sedikit orang pula yang memilih “bekerja” sebagai PSK. Sebuah pekerjaan yang kontroversial dan sarat masalah, terutama masalah berkaitan dengan batasan tadi. Bukan berarti pula bahwa para perempuan yang memilih pekerjaan ini tidak tahu batasan yang ada atau tidak peduli. Bahkan ada beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa tidak sedikit dari perempuan yang memilih menjadi PSK adalah orang-orang yang taat menjalankan sholat. Di sela-sela kesibukan “pekerjaan”nya, mereka kerap melelehkan air mata di hadapan Tuhan-Nya dan mengadukan nasibnya. Banyak faktor mengapa seseorang menjalani pekerjaan sebagai PSK. Masyarakatpun mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang pekerjaan itu yang tentu saja sarat dengan pro dan kontra. Ada yang berpendapat bahwa pekerjaan sebagai pekerja seks adalah bagian dari penyakit sosial yaitu kemiskinan. Sehingga jika tidak setuju dengan pekerjaan PSK maka bukan PSK yang ditangkapi akan tetapi bagaimana masalah kemiskinan itu sendiri yang diatasi. Namun ada pula yang menanggapi bahwa masalah PSK bukan masalah kemiskinan akan tetapi masalah moralitas. Sehingga solusi bagi PSK adalah memang
1
dengan menyadarkan untuk tidak lagi bekerja sebagai PSK akan tetapi bekerja di bidang pekerjaan lain. Bahkan masalah lokalisasi bagi para pekerja seks inipun sesungguhnya bukan solusi satu-satunya. Meskipun ide lokalisasi bukan ide yang berdiri sendiri, namun ia sangat terkait dengan bisnis yang tentunya akan melibatkan banyak orang selain pekerja seks itu sendiri. Karena bagaimanapun juga sebagai sebuah pekerjaan yang jelas menghasilkan upah, pekerja seks jelas masuk sebagai pekerjaan. Namun di sisi lain, pekerjaan ini memang sangat sarat dengan masalah yang juga membahayakan si pekerjanya seperti kekerasan, penindasan, pelecehan bahkan penyakit menular yang mengundang maut. Menghapuskan sama sekali kegiatan para PSK seperti misalnya rencana penutupan lokalisasi atau operasi penertiban tampaknya tidak mungkin. Justru ini akan menimbulkan dampak lain dan tidak menyelesaikan masalah. Barangkali yang paling mungkin adalah tindakan agar dampak negatif yang ditimbulkannya tidak meluas ke masyarakat, misalnya dampak kesehatan yaitu munculnya Penyakit Menular Seksualitas (PMS) termasuk HIVAIDS dicegah melalui penggunaan kondom. Untuk itu perlu dipahami latar belakang dan motivasi mereka menjadi PSK ; apakah oleh faktor ekonomis akibat krisis, faktor psikologis, biologis, bahkan mungkin politis. Demikian pula motivasi dan alasan mereka menggunakan dan tidak menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual dengan pelanggannya. Kemudian bagaimana karakteristik mereka dalam lingkungan rumah tangga dan masyarakat ; apakah mereka berterus terang kepada keluarga dan lingkunganya sebagai PSK. Selain itu bagaiman pola alokasi waktu mereka pada aktivitas ekonomi dan aktivitas rumah tangganya. Dan terahir, berapa banyak kontribusi yang mereka berikan untuk rumah tangga atas pendapatan sebagai PSK. Tulisan ini merupakan hasil penelitian tahun 2007. METODOLOGI Desain Studi Penelitian bersifat studi eksploratif atau bersifat penggalian dengan metoda pengumpulan data kualitatif terutama dengan menggunakan pemahaman langsung dan tidak langsung. Sumber data yaitu orang-orang yang diminta memberikan informasi yaitu responden. Responden pada penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang apa yang ia ketahui dan juga sedapat mungkin tentang apa yang ia alami. Maka penelitian lebih banyak tergantung pada bahasa responden. Selain informasi diri, responden juga diharapkan dapat memberikan keterangan lain. Metode penelitian yang akan dilaksanakan adalah metode Survei. Penelitian dilaksanakan pada beberapa tempat yang di duga sebagai tempat mangkal dan juga lokalisasi di 2 (dua) kecamatan (Kecamatan Rantau Utara dan Kecamatan Rantau Selatan). Lokasi penelitian ini dipilih secara purposive berdasarkan pertimbangan bahwa dua kecamatan ini adalah sentra pemerintahan Kabupaten Labuhanbatu. Sasaran Penelitian dan Tehnik Pengumpulan Data Sasaran utama penelitian ini adalah wanita yang berprofesi sebagai PSK, yaitu mereka yang berpraktek liar dan selalu mangkal di hotel, salon, dan café. Sasaran penelitian lain adalah mucikari (germo) atau orang-orang yang diasumsikan mengetahui praktek keseharian wanita penjaja seks. Penentuan responden dilakukan melalui pendekatan lokasi yang diduga sebagai sentinel dan dipilih secara purposif. Pemilihan sasaran dilakukan secara
2
insidental. Semua PSK pada saat pelaksanaan penelitian mendapatkan kesempatan yang sama untuk diambil sebagai sampel penelitian. Jumlah sampel ditentukan secara kuantum yaitu 10 orang PSK yang berparkatek di beberapa hotel di Kecamatan Rantu Utara, 5 orang PSK yang mangkal dan praktek di beberapa salon di Kecamatan Rantau Utara dan 10 orang yang mangkal di beberapa café di Kecamatan Rantau Selatan. Pengumpulan data lebih ditekankan melalui wawancara yaitu berupa dialog secara individu maupun kelompok menggunakan pertanyaan- pertanyaan bebas agar informan mengutarakan pandangan, pengetahuan, perasaan serta sikap dan perilaku berupa pengalaman pribadi yang berkaitan dengan profesi sebagai PSK. Selain itu metoda pengamatan digunakan untuk melengkapi data terutama yang tidak dapat terkumpul melalui wawancara meliputi data fisik dan perilaku keseharian PSK terutama saat menjalankan profesinya. Dalam pengamatan, peneliti berupaya melibatkan diri dalam kehidupan obyek yang diteliti yaitu PSK. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik sosial demografi, motivasi dan lama menjadi PSK, cara membagi waktu untuk keluarga, penyaluran dan penggunaan penghasilan, perilaku yang berkaitan dengan risiko tertular PMS termasuk HIV-AIDS yang meliputi pengetahuan, sikap dan perilaku penggunaan kondom, modus transaksi jasa dan frekuensi hubungan seksual, latar belakang sosial dan pengaruh lingkungan atau rumah tangga. Data diperoleh langsung dari informan yang terdiri dari PSK, mucikari (germo) dan orang-orang kunci yang diasumsikan mengetahui kegiatan/praktek keseharian PSK Selain itu data sekunder juga diperoleh dari keterangan instansi terkait seperti Satpol Pamong Praja dan Bagian Sosial Setkab dan sumber lain. Dari berbagai gambaran obyektif yang diperoleh, diadakan interpretasi menggunakan beberapa teori perilaku PSK dan teori perubahan sosial (social change). HASIL DAN PEMBAHASAN Latar belakang karakteristik sosial demografi Latar belakang karakteristik sosial demografi meliputi daerah asal, usia, pendidikan, pekerjaan, penghasilan serta alasan atau motivasi menjadi PSK dan pengetahuan tentang PMS, lama menjadi PSK, cara membagi waktu untuk keluarga, penyaluran dan penggunaan penghasilan, perilaku yang berkaitan dengan risiko tertular PMS termasuk HIV-AIDS yang meliputi pengetahuan, sikap dan perilaku penggunaan kondom, modus transaksi jasa dan frekuensi hubungan seksual, latar belakang sosial dan pengaruh lingkungan atau rumah tangga. Para PSK yang ditemui dan berhasil diwawancarai baik di lokasi penelitian di Kecamatan Rantau Utara dan Kecamatan Rantau Selatan asalnya sangat heterogen, umumnya berasal dari Kabupaten Labuhanbatu ada juga yang dari daerah Kabupaten Asahan dan Bagan Batu. Sesuai dengan yang diharapkan, PSK yang berhasil diwawancarai untuk daerah penelitian di Kecamatan Rantau Utara berjumlah 15 orang, dan di lokasi penelitian di Kecamatan Rantau Selatan 10 orang. Daerah asal 15 PSK yang ditemui dan diwawancarai di beberapa hotel dan salon di Kecamatan Rantau Utara sebagian besar berasal dari Kabupaten Labuhanbatu seperti Rantauprapat, Sigambal, Aek Nabara, dan Aek Kanopan. Sebahagian kecil dari Kabupaten
3
Asahan dan Bagan Batu. Demikian juga halnya dengan 10 PSK yang ditemui dan diwawancarai di beberapa cafe di Kecamatan Rantau Selatan yang umumnya berasal dari Rantauprapat. Sebahagian kecil dari Kabupaten Asahan. Dilihat dari tingkat ekonomi orang tua, umumnya berasal dari keluarga kurang mampu. Namun, ada juga beberapa PSK yang berprofesi sebagai pekerja salon mengaku dari kalangan kelas menengah. Mereka umumnya mengaku bekerja sebagai tukang pijat, pelayan cafe, dan pekerja salon. Latar belakangnya beragam; 10% tukang pijat, 5% pelayan cafe, 15% pekerja salon, 45% ibu rumah tangga, sisanya setelah tidak bersekolah langsung menjalani profesi sebagai PSK. Alasan mereka menjalani profesi sebagai PSK ada yang karena frustasi, perceraian, disakiti suami atau desakan ekonomi. Umur responden antara 21 tahun sampai 40 tahun, sebagian besar di bawah 30 tahun. Umur sangat berpengaruh terhadap banyaknya pelanggan atau tingkat kelarisan di samping faktor lainnya seperti faktor fisik, penampilan, selera tamu dan lain-lain.
Modus transaksi jasa yang umum dilakukan oleh para PSK adalah bermacammacam. Umumnya transaksi jasa seks dilakukan langsung oleh PSK dengan tamunya. Namun dalam hal pencarian tamu PSK yang mangkal atau berpraktek di hotel tak jarang juga dibantu oleh germo. PSK yang mendapat tamu melalui jasa germo wajib memberikan upah tamu kepada germo. Umumnya upah pencarian tamu yang diberikan PSK kepada germo adalah rata-rata dua puluh ribu rupiah pertamu. Jumlah ini biasanya sebagai imbalan bagi tamu yang Short Time atau “sekali main”. Pemberian uang jasa untuk germo biasanya diberikan setelah PSK usai melakukan transaksi seks. Upah bagian untuk germo biasanya bukan hanya dalam melakukan pencarian tamu, terkadang juga merental kamar hotel milik germo. Hal ini biasanya dilukan bila si tamu tidak memiliki kamar. Mampir ke hotel hanya khusus untuk “main”. Jika tamu yang melakukan transaksi seks Long Time atau biasa disebut “booking”, maka pembayaran upah untuk jasa germo biasanya dilakukan di depan yaitu melalui si tamu. Besaran uang jasa untuk germo biasanya lima puluh ribu rupiah.
4
Bagi tamu yang long time biasanya PSK diuntungkan, sebab tidak lagi melakukan pembayaran uang jasa kepada germo. Hal ini uang jasa untuk germo telah didahulukan oleh si tamu. Tarif jasa seks yang biasanya ditawarkan oleh PSK kepada tamu adalah rata-rata sebesar seratus lima puluh ribu rupiah untuk sekali main. Sedangkan tarif long time sekitar empat ratus lima puluh ribu sampai enam ratus ribu rupiah. Kecuali bagi tamu yang dikategorikan langganan oleh si PSK tarif jasa seks sekali main bisa sekitar seratus ribu rupiah. Para PSK yang mangkal atau berpraktek di hotel biasanya selalu berkumpul dikios rokok di sekitar hotel sambil menunggu tamu yang mau duduk gabung. Atau duduk ditangga dan duduk disekitar reseptionis. Bagi PSK yang berprofesi sebagai tukang pijat hotel, biasanya mencari tamu yang menginap di hotel dengan dalih menawarkan jasa pijitan. Selain itu, PSK yang merangkap profesi sebagai tukang pijat biasanya juga merangkap sebagai germo yang dipanggil “mami”. Bagi PSK yang mangkal di cafe biasanya mendapatkan tamu tanpa bantuan germo. Perkenalan antara PSK dengan tamu umumnya disaat tamu sedang menikmati minuman ataupun hibufran cafe. Disaat seperti ini, PSK datang menghampiri. Terkadang ada juga pengunjung cafe yang meminta bantuan kepada pelayan cafe lainnya (sejenis bar tender) untuk dicarikan pasangan. Bagi pelayan cafe yang memberikan bantuan pencarian jarang mendapatkan “upah pencarian “ dan biasanya tergantung kemurahan hati sipengunjung cafe untuk memberikan tips. Setelah pengunjung cafe dan PSK ketemu, maka dilakukanlah perjanjian untuk transaksi seks. Biasanya pengunjung cafe mengajak PSK tersebut ke hotel. Tarif bagi PSK yang mangkal di cafe rata-rata antara seratus lima puluh ribu sampai dua ratus ribu untuk sekali main. Jarang PSK yang mangkal di cafe mau melakukan jasa seks long time. Walaupun tak jarang para PSK yang mangkal di cafe adalah PSK yang juga mangkal di hotel. Namun, biasanya PSK yang mangkal di cafe berusia antara 20 – 29 tahun. Sedangkan PSK yang berprofesi sebagai pekerja salon dalam melakukan praktek seks biasanya dilakukan dikamar salon. Praktek seks disalon ini, umumnya dilakukan pada saat “pasien” salon sedang creambath ataupun sedang facial. Disaat proses facial sedang berlangsung, biasanya PSK mengawali pembicaraan dengan si pasien semisal menawarkan jasa pijitan atau dengan dalih mencari “uang tambahan pribadi”. Dari awal pembicaraan inilah biasanya berkembang menjadi tawar-menawar jasa syahwat. Besaran tarif jasa seks PSK salon rata-rata dua ratus sampai dua ratus lima puluh ribu rupiah sekali main. Sama halnya dengan PSK yang magkal di cafe, jarang mau melakukan jasa seks long time. Kecuali janjian untuk ketemu disuatu tempat setelah selesai jam kerja salon. Untuk long time biasanya antara enam ratus ribu sampai tujuh ratus ribu rupiah. Namun, besaran tarif jasa seks yang diperoleh PSK umumnya berdasarkan keahlian merayu si tamu. Cafe dan salon biasanya hanya sebagai tempat transit transaksi seks antara PSK dan tamu atau pelanggan. Bagi PSK baik yang mangkal di hotel, cafe, ataupun salon umumnya lebih memilih tamu yang sekali main. Hal ini umumnya dipengaruhi oleh pemanfaatan waktu bagi PSK itu sendiri. Sebab semakin cepat waktu dalam melakukan hubungan seks, maka semakin berpeluang untuk mencari tamu yang lain. Bagi PSK baik yang mangkal di hotel dalam melakukan hubungan seks sekali main rata-rata memakan waktu sekitar tiga puluh sampai enam puluh menit. Hampir sama dengan PSK yang mangkal cafe ynag melakukan
5
hubungan seks di hotel. Berbeda halnya dengan PSK yang berprofesi sebagai pekerja salon. Batas waktu hubungan seks yang ditawarkan oleh PSK kepada pasiennya biasanya tidak sampai lebih dari tiga puluh menit. Alasan yang biasanya digunakan oleh PSK kepada pasiennya antara lain adalah agar orang lain yang sedang salon tidak terlalu mencurigai. PSK yang biasanya mangkal dihotel umumnya lebih banyak menerima tamu seks dibanding dengan PSK yang mangkal di cafe dan salon. Walaupun umumnya tingkat kelarisan seorang PSK di dominasi oleh faktor usia disamping faktor lainnya seperti faktor fisik, penampilan, selera tamu dan lain-lain. Hal ini bukan berarti PSK yang kerap mangkal di hotel adalah yang memiliki usia muda atau faktor lainnya. Hal ini di karenakan PSK yang bekerja di salon lebih jarang menerima tamu seks yang disebabkan oleh batas waktu melakukan hubungan seks dan tingginya tarif jasa seks yang ditawarkan. Demikian juga halnya PSK yang mangkal di cafe. PSK yang mangkal di hotel mengaku mampu menerima tamu satu malam sekitar tiga sampai enam tamu seks. PSK yang mangkal di cafe tiap hari menerima tamu namun tidak seperti PSK yang mangkal di hotel. Rata-rata PSK yang mangkal di cafe menerima tamu hanya satu sampai dua orang tamu saja. Sedangkan PSK yang mangkal di salon belum tentu menerima setiap hari menerima satu orang tamu. Hal ini kemungkinan dikarenakan oleh waktu dan besaran tarif. Bagi PSK yang mangkal di cafe lebih banyak menghabiskan waktu dengan menikmati aneka hidangan cafe dan hiburan musik. Para PSK yang mangkal di hotel umumnya beroperasi pada malam hari. Sedangkan pada siang hari mereka mengaku diam dirumah dan menghabiskan waktu dengan keluarga. Pengakuan kepada kelurga ataupun lingkungan sekitar tempat tinggalnya, PSK biasanya mengaku sebagai pekerja di rumah makan atau cafe. Sama halnya dengan PSK yang mangkal di cafe biasanya juga mengaku sebagai pekerja rumah makan kepada keluarga ataupun kepada lingkungan tempat tinggalnya. Sedangkan PSK yang mangkal di salon, tetap mengakui sebagai pekerja salon atau sebagai tata rias kepada lingkungan tempat tinggal ataupun kepada keluarganya. PSK juga kadang sering berkelahi gara-gara tamu atau pelanggan. Pertengkaran biasanya betengkar mulut, yang dikarenakan salah seorang tamu yang dianggap oleh salah satu PSK “diserobot” atau diambil oleh PSK yang lain. Karna tamu atau pelanggan adalah merupakan sumber rezeki bagi PSK. Dan ini biasanya terjadi bagi PSK yang mangkal di hotel. Setiap penghasilan yang didapat dari jasa seks, PSK mengaku menggunakannya selain untuk kebutuhan pribadi, juga digunakan untuk biasa sekolah anak, atau hal-hal lain untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bagi PSK yang berasal dari luar Kabupaten Labuhanbatu, umumnya menyalurkan sendiri penghasilannya kepada anggota keluarganya dengan cara pulang ke kampung sebulan sekali. Seedangkan PSK yang mangkal di cafe ataupun yang mangkal disalon umumnya menitipkan anaknya kepada pengasuh. Jadwal mengunjungi anak biasanya dilakukan tiga atau tujuh hari sekali dalam seminggu. PSK umumnya mengetahui dan mengenal PMS termasuk HIV-AIDS. PSK umumnya mengaku belum pernah terindikasi PMS trmasuk HIV-AIDS walau belum pernah memeriksakan secara medis. Pengetahuan dan pengenalan terhadap PMS termasuk HIVAIDS umumnya diketahui PSK melaluii pemberitaan (koran dan televisi) dan juga dari
6
penyuluhan ketika pemerintah melakukan razia. Namun, razia ini umumnya dianggap PSK sebagai penghalang rezeki. Dalam melakukan hubungan seks, PSK yang mangkal di hotel kebanyakan pelanggan yang dilayaninya tidak menggunakan kondom. Bahkan PSK juga jarang menawarkan penggunaan kondom kepada pelanggannya sebelum melakukan hubungan seks. Hal ini kemungkinan dinilai wajar karena kebanyakan pelanggan yang biasanya main dengan PSK yang mangkal di hotel biasanya dari kalangan menengah ke bawah. Bagi PSK yang mangkal di salon, umumnya sebelum melakukan hubungan seks terlebih dahulu menawarkan apakah lawan mainnya menggunakan kondon atau tidak. Demikian juga halnya bagi PSK yang mangkal di cafe walau lebih banyak PSK yang mangkal di cafe ini mengaku jarang menyediakan kondom. Tingkat Pendidikan PSK Kebanyakan responden hanya berpendidikan SLTP. Namun ada juga yang hanya berpendidikan SD. Bahkan ada yang tidak tamat SD. Ada juga di antara mereka menamatkan SLTA. Pendidikan mempengaruhi cara penampilan dan bicara yang terlihat pada saat transaksi dan atau saat penyambutan calon pelanggan atau pasangan. Pekerja seks termuda yang berhasil diwawancarai di daerah penelitian di Kecamatan Rantau Utara berumur 21 tahun. Dia berpendidikan hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. (SLTA) di daerah asalnya Kabupaten Asahan. Wajahnya tergolong cantik. Pengakuannya mulai menjalani profesi sebagai PSK komersial sejak tahun 2006. Setiap melakukan transaksi dia menawarkan harga (memasang tarif) Rp. 250.000. Biasa mangkal di salon kecantikan setiap harinya karena dia sekalian bertempat tinggal di salon tersebut. Dia datang ke Labuhanbatu pengakuannya karena frustasi sebab pacar yang berjanji akan menikahinya lari dan tidak bertanggung jawab. Selain alasan frustasi dia juga mengaku ingin mencari pekerjaan. Namun kepada keluarga dia mengaku telah memiliki pekerjaan tetap sebagai penata rias. Mau kembali ke orang tua, bagi dia bukan solusi, karena selain malu jadi gunjingan tetangga, orang tua juga tergolong tidak mampu. Uang yang didapat dari menjalani profesi sebagai PSK sebagian dikirim untuk orang tuanya. Dia tidak pernah menyesali apa yang telah menimpa dirinya meskipun masih berharap untuk kembali ke jalan yang benar. Lain halnya PSK yang biasa mangkal di cafe kecamatan Rantau Selatan. Di kawasan tersebut para PSK memasang tarif sekitar Rp 150.000 – Rp. 200.000 setiap transaksi. Salah seorang PSK yang berhasil diwawancarai berusia sekitar 22 tahun. Ia lulusan SLTP. Untuk mendapatkan calon pelanggan (pasangan seksnya) biasanya tanpa dibantu oleh germo. Dia menjalani profesi sebagai PSK disebabkan oleh suami yang menikah lagi dan jarang memberikan nafkah. Alasan suaminya ber polygami dikarenakan dia dituding mandul. Walaupun tudingan itu belum pernah di chek kebenarannya oleh ahli kandungan. Salah seorang PSK yang mangkal dan berpraktek di sebuah hotel di daerah Rantau Utara yang berhasil ditemui dan diwawancarai mengaku lulusan SLTP dan berstatus janda beranak dua. Mantan suaminya berprofesi sebagai sopir truk lintas antar pulau yang belakangan diketahuinya telah menikah lagi dengan salah seorang pelayan warung di
7
Kabupaten lain. Kebiasaan suaminya selalu mabok-mabokan dan kerap memukuli dirinya. Kedua orang tuanya tergolong dari kalangan yang kurang mampu sebagai buruh tani. PSK ini berwajah manis dan bertubuh langsing. Penampilan yang lumayan manarik membuatnya kerap mendapat tamu sekitar tiga sampai lima tamu tiap malamnya. Tarif seks yang ditawarkan kepada pelanggan adalah Rp.150.000 sekali main. PSK tertua yang berhasil diwawancarai berusia sekitar 41 tahun dilokasi yang sama. Dia adalah ibu rumah tangga berputra 3 orang, mulai menjalankan profesi sebagai PSK dan tukang pijat sejak tahun 1997 sejak suaminya meninggal karena kecelakaan. Status Perkawinan PSK PSK yang diteliti sebagian besar bertatus belum menikah (10 orang – 40 %). Sementara yang berstatus janda beranak 1 sebanyak 5 orang (20%), 4 orang janda beranak 2 (16%), 2 orang janda beranak 3 (8%), dan janda yang belum memiliki anak 1 orang (4%). Sedangkan menikah dan masih bersuami 3 orang (12%). Alasan Menjadi PSK Pekerjaan mereka sebelum menjadi PSK sangat beragam antara lain sebagai ibu rumah tangga, pelayan di cafe, rumah makan, toko, dan sebagai petani dan ada yang pernah belum bekerja karena baru manamatkan sekolah. Faktor ekonomi merupakan alasan klasik (99%). Pada umumnya mereka berasal dari keluarga kurang mampu atau miskin. Alasan lain kejiwaan atau frustrasi. Faktor pendorong untuk bekerja sebagai PSK sangat bervariasi antara lain terkena PHK, diajak teman, paling mudah mendapatkan uang, sebagai janda ditinggal suami, tidak dapat memenuhi kebutuhan anak-anak dan kehidupan sehari-hari, frustrasi karena pernah digauli oleh laki-laki, dibohongi untuk dikawin/ditinggal pacar, membantu beban orang tua yang tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, sulit mencari pekerjaan lain, ingin kecukupan supaya tidak ketinggalan dengan teman-teman sebayanya. Penghasilan PSK Pekerja-pekerja seperti mereka penghasilannya tidak menentu. Semakin lihai merayu, semakin lancar rezeki. Tingkat ekonomi rata-rata meningkat sesudah menjadi PSK bila dibandingkan sebelum menjadi PSK. Mereka dapat membiayai kehidupan keluarga termasuk menyekolahkan anak. Sebagian dari mereka ada juga menabung untuk rencana setelah mengakhiri profesi PSK. Penghasilan mereka tidak tetap. Tarif umum rata-rata Rp. 150.000,- hingga Rp 250.000. Penghasilannya sebesar Rp. 450.000 sampai Rp 8.000.000 tiap bulan, sebagian dikirim ke orang tua dan sebagian lagi untuk kebutuhan hidup sendiri. Tetapi banyak juga yang tidak tertabung, karena sangat konsumtif dan perlu mempercantik diri misalnya untuk membeli pakaian dan lain-lain. Sikap dan Perilaku Penggunaan Kondom Tingkat penggunaan kondom dalam malakukan hubungan seks di daerah penelitian sangat rendah. Berbagai alasan sebagai pengakuan yang diutarakan PSK umumnya pelanggan ogah mengunakan kondom karena akan mengurangi kenikmatan dan keyakinan bahwa pelanngan yang sudah kenal dengan PSK tidak perlu menggunakan kondom untuk menghindari PMS dan HIV-AIDS. Alasan utama bagi PSK dalam melakukan hubungan seks tanpa menggunakan kondom adalah keyakinan bahwa orang Indonesia asli dan pelanggan yang kelihatan sehat dan tidak menularkan PMS. Alasaan lain adalah bahwa wanita pekerja seks telah melakukan upaya-upaya pencegahan lain seperti minum obat antibiotik.
8
Ada juga PSK yang mengetahui bahaya atau resiko dari hubungan seks tanpa menggunakan kondom. Namun hal tersebut baginya adalah kebebasan pelanggan, mau pakai kondom atau tidak. Bahkan pengakuan mereka kebanyakan pelanggan yang tidak mau menggunakan kondom. Hal itu mungkin dinilai wajar karena kebanyakan pelanggan yang datang khusus untuk main ke hotel berasal dari kalangan menengah ke bawah Namun faktor yang mendorong untuk pemakaian kondom berkaitan dengan pengetahuan mereka yaitu kuatir terkena PMS dan tertular penyakit HIV-AIDS, kuatir hamil. Peran Media Komunikasi. Sebagian besar PSK mengakui mengetahui informasi tentang penyakit diperoleh melalui televisi dan membaca kadang juga dari penyuluhan ketika razia PSK digelar oleh pemerintah. Mereka mengenal penyakit HIV-AIDS akibat hubungan seks berganti-ganti dan penyakit ini tidak atau belum ada obatnya. Selain itu sebagian dari mereka juga pernah membaca bahwa untuk menghindari penularan penyakit kelamin adalah memakai kondom. Faktor Keterberdayaan Dalam Tatanan Sosial. Mereka umumnya mengakui bahwa keberadaan mereka sebagai PSK tidak dikehendaki oleh tatanan baik keluarga maupun masyarakat. Mungkin sebagian dari mereka merasa berdosa dan malu menjalani profesi sebagai PSK. Bila ditanya mereka mengatakan yang tidak sebenarnya, misalnya bekerja di restoran atau di cafe, rumah makan, sebagai tukang pijat bahkan juga mengaku sebagai petata rias. Harapan PSK Sarana yang diperlukan setiap PSK adalah kemudahan untuk mendapatkan obat jika terkena PMS akibat hubungan seks atau PMS. Jika perlu gratis, dapat ikut program KB (keluarga berencana) secara murah terutama melalui suntikan. Mereka juga mengharapkan bantuan dana (modal) saat berhenti dari profesinya. Informasi ini diperoleh dari hampir semua PSK yang sudah janda dan mereka yang sudah mendekati usia 30 tahun. PSK yang relatif masih muda lebih menghendaki pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan tingkat pendidikannya. Bahkan ada yang bercita-cita menjadi pedagang atau membukan usaha setelah mempunyai modal kerja. PSK pada umumnya ingin kembali ke jalan yang benar, setidaknya ingin kembali menjadi wanita yang baik. Mereka umumnya menginginkan pekerjaan dan membentuk keluarga yang sejahtera. Menurut pengakuan mereka hanya kesempatan yang belum muncul. Mereka pada dasarnya mempunyai naluri kewanitaan yang baik dan ingin menjalani hidup seperti wanita atau ibu-ibu rumah tangga secara normal di masyarakat lingkungannya dan disayang oleh suami. Dengan perkataan lain munculnya PSK merupakan bentuk kekalahan perempuan dalam persaingan di lapangan pekejaan yang lebih dikuasai laki-laki. Dalam kondisi demikian, perempuan selalu tersisihkan dengan gaji lebih sedikit dan mudah terancam PHK Di sisi lain tumbuh pusat-pusat hiburan dan selalu ada saja PSK yang muncul.Pada dasarnya kehadiran PSK adalah sebagai korban pembangunan dan korban pandangan masyarakat, baik sebagai akibat kekerasan yang dialaminya seperti perkosaan atau penganiayaan.
9
Semuanya itu berakar pada kuatnya konsep patriarki sebagai bagian budaya dalam masyarakat. Konsep patriarki menganggap laki-laki mempunyai hak poligami. Inilah yang menumbuhkan kontradiksi manakala dihadapkan pada masalah PSK
KEPUSTAKAAN
Kasnodihardjo dkk, dalam Dinamika Pelacuran di Wilayah Jakarta dan Surabaya dan Faktor Sosio Demografi yang Melatarbelakanginya, Cermin Dunia Kedokteran, Nomot 151, Tahun 2006 Endang R Sedyaningsih, Perempuan-Perempuan Kramat Tunggak, Penerbit Suara Pembaharuan, 1999. Maman A Rahman, Mengapa Pekerja Seks, 2003 Ayatrohaedi, Pekerja Seks Komersial, 2006 Culture, Health & Sexuality, 1999, Vol. 1, No. 1, 39- 53
10