Laporan-lokakarya-ai-lowres

  • Uploaded by: rahadian p. paramita
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan-lokakarya-ai-lowres as PDF for free.

More details

  • Words: 13,105
  • Pages:
Menanam Benih Perubahan Rekaman Proses Lokakarya Pengenalan Appreciative Inquiry bagi LSM di Kawasan Mutis, Nusa Tenggara Timur.

Pencatat proses: Meidy Pratama S. Enni Widyastuti

Disusun oleh: Rahadian P. Paramita

Foto-foto: S. Enni Widyastuti Tj - Nur Tjahjo Rahadian P. Paramita

Tataletak & Perwajahan: Rahadian P. Paramita

Didukung oleh: The Ford Foundation

Studio Driya Media Bandung, 2007

Menanam Benih Perubahan Pengantar Laporan Lokakarya Pengenalan Appreciative Inquiry

Studio Driya Media bersama beberapa mitra di wilayah Timor, Nusa Tenggara Timur telah melaksanakan kegiatan pelatihan pengembangan media bagi para pendamping lapangan. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka pengembangan kapasitas para pendamping lapangan, terutama dalam hal proses pembelajaran bersama masyarakat. Adapun lokakarya ini untuk memperkenalkan konsep pendekatan Appreciative Inquiry (yang dalam laporan ini selanjutnya akan disebut AI). Peserta dikenalkan pada konsep, filosofi, dan aplikasi AI untuk dipertimbangkan sebagai pendekatan baru dalam membudayakan kegiatan belajar dalam masyarakat. Bahwa latar belakang peserta berbeda-beda, ada yang bergerak di wilayah Community Development (CD), maupun Community Organizing (CO), kedua gerakan ini diyakini pada dasarnya adalah gerakan untuk memberdayakan masyarakat. Proses pemberdayaan ini yang dipahami sebagai sebuah proses pembelajaran tiada henti, sepanjang hayat, dan sudah seharusnya membebaskan. Pendekatan AI diyakini dapat mengembangkan program pengembangan masyarakat yang berkelanjutan, dan tidak sekedar adaptif, dalam arti sekedar merespon pada apa yang terjadi. Proses pembelajaran yang diimpikan adalah sebuah proses yang inovatif, mampu menghasilkan hal-hal baru yang melampaui peristiwa hari ini, apalagi masa lalu. Proses lokakarya yang dihadiri 28 orang ini berlangsung cukup singkat namun padat, selain dihadiri lembaga mitra dari NTT, juga mitra SDM di Bandung, dan hampir seluruh staf SDM Bandung. Dimulai dengan hal-hal yang bersifat paradigmatis, seperti perbandingan dua paradigma berpikir dalam memecahkan masalah, cara berpikir dalam Problem Solving dengan AI, lalu dilanjutkan dengan perkenalan AI secara metodologis. Daur 4-D, Discovery, Dream, Design, dan Delivery dibahas cukup intensif, meski hanya simulasi di dalam kelas. Simulasi dikembangkan sesuai dengan kondisi peserta yang latar belakangnya berbeda-beda. Diskusi-diskusi yang berkembang dan kemudian dirangkum dalam laporan singkat ini, semoga dapat memberikan gambaran terhadap perubahan pandangan peserta, mengenai proses pembelajaran dalam masyarakat. Perubahan itu semoga sudah mulai tertanam benihnya, dan tinggal disemai serta ditumbuhkembangkan.

Bandung, September 2007

i

Daftar Isi

Menanam Benih Perubahan!!

!

!

Keluar dari “Zona Nyaman”!

!

!

!

!

ii 1

Alur Kegiatan Lokakarya

1

Perkenalan Peserta Lokakarya

4

Prinsip-prinsip Appreciative Inquiry

8

Mengasah Cara Berpikir

10

The Power of Appreciation

12

Problem Solving vs Appreciative Inquiry Problem Solving vs Appreciative Inquiry (lanjutan)

12 17

Mulai dengan Siklus 4-D!

21

Tentang Daur 4-D

21

Tahap I: Discovery

22

Tahap II: Dream

27

Benih itu mulai bersemi...!

33

Tahap III: Design

35

Tahap IV: Delivery

37

Penutup Lokakarya

38

ii

Komentar & Pertanyaan Peserta

38

Rencana Tindak Lanjut

40

Evaluasi Pelatihan

42

Daftar Tabel Tabel-1 Perbedaan paradigma Problem Solving dengan Appreciative Inquiry! !

!

13!

Tabel-2 Alur pendekatan Problem Solving vs AI! !

!

!

!

!

14

Tabel-3 Hasil diskusi kelompok pada tahap Discovery!

!

!

!

!

25

Tabel-4 Hasil diskusi kelompok mengenai pondasi-pondasi penting! !

!

!

27

Tabel-5 Pernyataan Dream dari tiap kelompok!

!

Tabel-6 Penyepakatan mimpi dalam kerangka waktu!

!

!

!

!

28

!

!

!

!

33-34

!

!

!

36

Tabel-7 Hasil latihan merancang kegiatan dalam tahap Design!

Tabel-8 Jawaban peserta terhadap RTL pada diri sendiri, dan pada lembaga !

!

!

!

!

41

Lampiran-1 Kisah nyata dari Lakota, New Mexico!!

!

!

!

!

47

Lampiran-2 Kisah Sekolompok Katak kecil !

!

!

!

!

!

49

Lampiran-3 Pikiran yang Terkondisi - Permainan!!

!

!

!

!

53

Lampiran-4 Daftar Peserta Lokakarya! !

!

!

!

!

57

!

setelah lokakarya!

!

!

Daftar Lampiran

!

iii

Keluar dari “Zona Nyaman” Rekaman Proses Kegiatan Hari Pertama

Hari pertama ini diawali dengan pembukaan, oleh Eddie B. Handono, selaku Koordinator Umum Studio Driya Media (SDM) Bandung. Eddie menekankan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari proses belajar kita semua, belum ada janji apapun setelah kegiatan ini. Harapan SDM sebagai penyelenggara semoga kegiatan ini menjadi inspirasi bagi semua yang hadir, menuju perubahan yang lebih baik. Setelah Eddie, kemudian Rahadian menjelaskan secara singkat mengenai latar belakang kegiatan ini.

Rahadian, mewakili penyelenggara kegiatan, menyampaikan pengantar kepada peserta.

Rahadian mengingatkan kembali, bahwa kerja-kerja LSM di lapangan pada dasarnya adalah proses pembelajaran yang berlangsung seumur hidup. Dari sinilah kemudian muncul dua pertanyaan, yaitu mengenai proses pembelajaran seperti apakah yang paling “tepat” dan “sesuai” dengan kondisi masyarakat. Pertanyaan kedua adalah mengenai keberlanjutan, bagaimana proses pembelajaran itu bisa langgeng, berlangsung terus menerus tanpa tergantung pada kehadiran lembaga dari luar. “Lokakarya ini diharapkan dapat memberi petunjuk, bagaimana menjawab kedua pertanyaan tersebut”, demikian Rahadian.

Alur Kegiatan Lokakarya Kemudian Rahadian juga menjelaskan kembali mengenai keluaran kegiatan yang diharapkan oleh panitia. Setelah itu, Rahadian langsung memberikan kesempatan pada

1

fasilitator kegiatan, Carlo Purba. Setelah memperkenalkan diri, Carlo mengajak peserta menyepakati jadwal waktu yang akan digunakan selama lokakarya ini.

Ada jadwal untuk sesi malam, yang akan digunakan jika dianggap perlu. Mengingat jadwal yang cukup padat, maka sesi malam tampaknya akan dibutuhkan. Kesepakatan bersama sementara di awal sesi hanya ada satu sesi malam. Kemudian Carlo menyampaikan menyampaikan secara umum proses kegiatan lokakarya ini. Adapun alur kegiatan hari pertama yang disampaikan oleh Carlo adalah sbb.: 1.

Penyampaian kerangka lokakarya. Penjelasan mengenai alur kegiatan, dan perkenalan di antara peserta kegiatan.

2.

Pengantar AI. Berisi cerita-cerita nyata tentang momen pembelajaran penting yang berkaitan dengan paradigma AI.

3. Refleksi Diri. Pembahasan tanggapan peserta secara pleno mengenai bahan bacaan, “The Power of Appreciation”. 4. Tanggapan Pleno. Setelah disampaikan mengenai AI, kemudian akan didiskusikan bersama-sama mengenai tanggapan peserta terhadap AI.

Carlo Purba, fasilitator lokakarya, memberikan penjelasan mengenai alur lokakarya secara umum. Dari 3 hari kegiatan, hari pertama lebih banyak bersifat paradigmatis, sementara hari kedua dan ketiga lebih praktis pada simulasi penerapan AI.

Sedangkan hari berikutnya, setelah menyepakati topik bersama, akan langsung mulai dengan simulasi penerapan daur 4-D dalam AI.

2

Selanjutnya Carlo mengajak peserta untuk menyepakati nilai-nilai yang akan dikembangkan dalam lokakarya kali ini. Nilai-nilai diharapkan menggantikan aturan-aturan yang biasanya lebih bersifat mengikat dan mengatur.

“Mari kita mulai dengan mencoba menyepakati nilai-nilai, yang sekiranya bisa membantu kita berproses dalam lokakarya ini...” !

- D’Carlo Purba, Yabima Lampung (Fasilitator).

Setelah bersama-sama berdiskusi, berhasil dihasilkan tiga nilai yang disepakati akan dipraktekkan bersama-sama dalam lokakarya, yaitu; (1) Saling berbagi, (2) Kebersamaan, dan (3) Partisipasi. Sebagai salah satu cara untuk mengimplementasikan nilai-nilai tersebut, Fasilitator kemudian mengajukan gagasan “Shadow Friend”. Setiap orang akan mendapat ‘pasangan’, yang dipilih secara acak. “Tugas masing-masing adalah membantu ‘pasangan’nya tersebut, tanpa sepengetahuan orang yang dibantu. Membantu dalam hal apa saja, termasuk dalam hal memahami materi dalam lokakarya ini,” demikian Fasilitator. Fasilitator dibantu panitia kemudian mendistribusikan kartu kecil berwarna merah dan kuning. Setiap orang menuliskan namanya di atas kartu yang diterimanya, lalu kartu dikembalikan kepada panitia. Setiap orang yang menuliskan namanya di atas kartu merah, mengambil satu kartu kuning, demikian sebaliknya. Kini, setiap orang telah memiliki ‘pasangan’ berdasarkan nama yang tertera pada kartu yang diterimanya.

Panitia membagikan kartu yang sudah berisi nama-nama peserta. Yang perlu dipastikan adalah seseorang tidak mengambil kartu yang berisi namanya sendiri.

3

Perkenalan Peserta Lokakarya Untuk sesi perkenalan, Fasilitator meminta peserta menjawab tiga pertanyaan yang ditampilkan di layar melalui LCD proyektor: 1. Bagaimana rasanya setelah bertahun-tahun organisasi saya bekerja? Apa yang patut dibanggakan dan patut disyukuri – patut saya bagikan di sini? 2. Mengapa saya melihat keberadaan saya begitu penting di dalam organisasi ini? Hal menyenangkan yang patut saya bagikan... 3. Jika saya dapat membuat satu perubahan penting, apa perubahan itu – karena itu pasti baik untuk memberi inspirasi / bagi kawan-kawan di sini? Peserta kemudian berkumpul dalam kelompok, sesuai asal lembaga masing-masing. Fasilitator menyediakan beberapa gambar yang dapat digunakan peserta untuk memperkenalkan diri & lembaganya masing-masing.

Kelompok berebut mencari gambar yang tepat untuk memperkenalkan diri. Mungkin tak ada yang persis dapat merepresentasikan lembaga masing-masing, tapi mirip pun tak masalah.

Satu persatu kemudian peserta memperkenalkan diri dan lembaganya, sambil menyajikan gambar yang sudah dipilihnya. Masing-masing menjawab tiga pertanyaan yang diajukan oleh fasilitator.

YKBH Justicia, Kupang. Yos Patibean & Robert Ikun. YKBH Yustitia terdiri dari empat bagian, yaitu: (1) Pendidikan dan latihan;(2) Penanganan kasus; (3) Media; dan (4) Keuangan. Hal yang dibanggakan adalah ketika melakukan program dan berhasil mewujudkan keterbukaan para penegak hukum. Kemudian perubahan yang diinginkan adalah terjadinya pendekatan positif ketika melaksanakan program di masyarakat.

4

LENTERA - CIDEC, Atambua. Mecky Wenyi Rohi & Blasius Manek.1 Hal yang membanggakan kami adalah memiliki pemimpin yang arif bijaksana, tapi tegas. Kemudian beberapa teman berswadaya dalam menggalang dana. Adapun hal yang membanggakan, ketika mengembalikan warga eks Timtim seperti semula dan berhasil mengembangkan sarana air bersih dengan teknologi pompa tali.

Gasingmas, Kupang. Krispinus & Evaldina Pai. Baru berdiri tahun 2000 dan efektif tahun 2004. Hal yang dibanggakan adalah para pendirinya yang pernah bekerja di LSM Internasional yang sebelumnya juga pernah bekerja di LSM Lokal serta mereka menciptakan pekerjaan. Saya bisa membuat sesuatu, terutama dalam pengaturan aset-aset lembaga dan mendampingi masyarakat supaya hidupnya lebih baik. Berharap adanya program pendampingan pemasaran dari Gasingmas.

“Kami bangga karena pendiri Gasingmas pernah bekerja di LSM Internasional, bahkan sampai sekarang...” !

- Evaldina Pai, Gasingmas.

Yayasan Timor Membangun (YTM), TTU. Marten Duan. Yang patut dibanggakan adalah YTM dapat menemukan nilai-nilai dasar masyarakat setempat. Publikasi buku hasil kajian yang dapat memberikan informasi tentang Timor dan kerja kami yang sudah dilakukan.

Yayasan Bahana Mandiri (YBM), TTS. James Tahun. Merasa penting karena orang lain memerlukan kita. Perubahan yang dicita-citakan adalah banyaknya perencanaan yang dilakukan masyarakat dengan melakukan kajian terlebih dahulu.

PPSE – KA ATB, Belu. Eman Nurak. Lembaga ini banyak bekerja dengan LSM luar. Program yang dikembangkan merupakan program murni pemberdayaan. Perubahan yang diharapkan adalah kerjasama banyak pihak yang memotivasi untuk saling berbagi pengalaman. Kalau ini dilaksanakan terus Kabupaten Belu akan berhasil.

1

Pada saat diundang sebagai peserta dalam rangkaian pelatihan pengembangan kapasitas, Blasius masih terdaftar sebagai salah satu staf Lentera CIDEC. Pada saat lokakarya ini berlangsung, yang bersangkutan sudah tidak lagi menjadi staf Lentera CIDEC.

5

Konsorsium Pengembangan Masyarakat Nusa Tenggara (KPMNT), Kupang. Yulius Kono. Hal yang membanggakan dari KPMNT adalah terdiri dari banyak mitra sehingga kita dapat saling belajar. Yuko bangga sekali bergabung di KPMNT karena merupakan staf baru/ junior. Berharap keinginan untuk belajar selalu ada.

LAKMAS, TTU. Victor Manbait. Hal yang membanggakan adalah ketika masyarakat mampu mengadvokasi dirinya sendiri, seperti dalam kasus anak dan perempuan. Di dalam bekerja bersama, teman-teman dalam lembaga kami tercipta suasana keterbukaan dan kekeluargaan. Yang dicita-citakan adalah banyaknya LSM di Kab. TTU yang dapat bekerja bersama melakukan perubahan.

LBH Timor, TTS. Samuel “Semi” Sanam. Hal yang membanggakan adalah memiliki latar belakang keilmuan yang sama kemudian bergabung dan membentuk sebuah lembaga.

Studio Driya Media (SDM), Kupang. Rita Kefi, Nelson Riberu, & Eldy Diaz. Keberadaan Buletin Lestari merupakan sebuah produk kebanggaan dari SDM Kupang karena mampu mendistribusi informasi kepada berbagai pihak. Kemudian staf dalam lembaga adalah aset yang sangat penting. Perubahan penting yang dicita-citakan adalah dalam penilaian secara internal di SDM Kupang, terutama untuk menilai positif terhadap sesama teman.

PIAR NTT, TTS . Elly Neonufa. Hal yang membanggakan yaitu, program yang kami laksanakan adalah program yang non hutang luar negeri. Kami memiliki nilai komitmen yang tinggi dan kami tidak bisa menerima suap. Dalam program, kami melakukan intervensi terhadap Bupati Kupang dalam kebijakannya. Pola pendekatan yang berubah dengan lebih persuasif dengan tidak meninggalkan konfrontatif, tapi lebih kontekstual. Tanpa ada saya, PIAR yang di Kupang tidak ada. Harapan saya adalah agar kita dari LSM dapat menembus jalur birokrasi agar dapat melayani masyarakat dengan baik.

“Tanpa ada saya, PIAR yang di Kupang tidak akan pernah ada...” !

6

- Elly, PIAR NTT.

Yayasan Pancaran Kasih (YPK), Soe. Tuche/Eliswinfried Kitu & Dan Daud Taneo. Lembaga ini selalu bekerja bersama-sama dan saling membantu dan setiap staf memiliki potensi yang berbeda. Perubahan yang diinginkan adalah masyarakat mandiri. Perlu mengidentifikasi siapa sasaran yang harus dibantu dan juga memperhatikan aspek sosial budaya.

Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM), TTU. Jhony Manek. Hal yang membanggakan adalah program pertanian lahan kering cukup membantu kehidupan petani. Mampu menghilangkan kebiasaan tebas bakar yang dilakukan oleh masyarakat setempat melalui pendampingan yang dilakukan oleh YMTM.

kalyANamandira. Dan Satriana & Fahmi. Hal yang membanggakan berupa kebebasan dalam menentukan program, belajar dan program kami bebas dari pengaruh lembaga penyandang dana (funding). Yang dicita-citakan adalah semua orang memberikan kontribusi pada lingkungannya.

Kelompok Tani Mutis. Novemris Tefa. Kami dapat dampingan dari WWF, berupa pelatihan kerajinan tangan dan lebah madu. Terus kami juga memiliki dampingan dalam hal pemasaran.

Yayasan Alfa Omega (YAO), Kupang. Rembrand Ludji Haba & Junus B. Loelan. Hal yang sangat membanggakan, yaitu: (1) Rasa kebersamaan; (2) Kepemimpinan ketua; (3) Banyak alumnus YAO yang kini menjadi aktivis di LSM. Dalam setiap tahun selalu diadakan penggiliran tugas, sehingga setiap individu dapat saling mengenal tugas.

Studio Driya Media (SDM), Bandung. Dwi Joko Widyanto, dkk. Hal yang membanggakan adalah SDMB selalu ada ruang yang terbuka, SDM adalah sebuah ruang publik. Siapa saja boleh masuk, dan belajar di sana.

“SDM Bandung itu tempat untuk meragukan sesuatu. Karenanya orang-orang terdorong untuk terus belajar...” !

- Dwi Joko, SDM Bandung.

7

Prinsip-prinsip Appreciative Inquiry Setelah perkenalan, Fasilitator kemudian membagikan naskah cerita, dan mengajak peserta mencermati cerita tersebut. Sementara, Fasilitator memandu peserta, berperan sebagai narator bagi cerita tersebut. Cerita itu berkisah tentang perlakuan yang berbeda terhadap bengalnya seorang anak muda bernama Joel, dan tentang seorang anak lain yang tak kalah bengalnya dari Lakota, New Mexico. 2

“Tatkala orang tua ini selesai, ia memberi tanda kecil. Lingkaran orang-orang itu tetap tidak bergerak, seperti tetap teringat sesuatu...” !

- Fasilitator. Berdasarkan cerita ini Fasilitator mengajak peserta menyimpulkan, kontras perlakuan

terhadap anak muda dari Lakota itulah pendekatan apresiatif yang dimaksud. Sebagai pengantar untuk membahas AI, Fasilitator kemudian menampilkan slide tentang 5 prinsip AI. Lima prinsip tersebut adalah: 1. Prinsip Konstruktif. KEBENARAN adalah soal kesepakatan, semakin banyak kita yang sepakat – maka itulah Kebenaran! Dialog-dialog yang dibangun antar orang, komunitas, masyarakat, selalu memunculkan gagasan-gagasan baru. Dialog 3 (dialogue dalam Bahasa Inggris), dari kata Dia & Logos, berarti ilmu bersama, atau pengetahuan yang diciptakan bersama-sama. Jika gagasan itu disepakati bersama, itulah kebenaran mereka. Kenyataannya, gelas ini adalah gelas setengah kosong, sekaligus setengah penuh.

“ Kita tidak menafikan kebenaran. Kita sadar bahwa ada dua kebenaran, tetapi kita memilih untuk fokus pada apa yang sudah baik bagi kita...” ! 2

- Fasilitator.

Cerita lengkap dapat dibaca pada Lampiran-1

3 Menurut Wikipedia, dalam bahasa Yunani, kata Dialog berasal dari kata ‘dia’ yang berarti melalui (through), dan kata ‘Logos’ yang berarti kata-kata atau berbicara (words/speech). http://en.wikipedia.org/wiki/Dialogue

8

2. Prinsip Keserempakan. Kata inquiry, yang bisa diterjemahkan secara bebas menjadi penjelajahan atau penyelidikan, mengarahkan pemahaman kita pada sebuah proses mencari tahu. Pada saat mencari tahu, kita mengajukan pertanyaan. Setelah kita mendapatkan apa yang kita cari, muncul pengetahuan baru. Dari pengetahuan baru inilah perubahan bisa terjadi. Menurut prinsip keserempakan ini, perubahan tidak perlu menunggu hingga pengetahuan baru dilahirkan. Pada saat kita mengajukan pertanyaan, sebenarnya pada saat itu pula benih-benih dan arah perubahan mulai tumbuh. 3. Prinsip Puitis. Organisasi adalah kumpulan orang dan pustaka tak terkira akan masa lalu, sekarang dan masa depan untuk dipelajari dan memberi inspirasi. Tanpa orangorang, organisasi tidak akan pernah ada. Karenanya, orang-orang di dalam organisasi itulah inspirasi utama bagi tumbuh-kembangnya organisasi. 4. Prinsip Antisipatif. Sumber utama untuk menciptakan masa depan adalah: Gambaran saat ini mengenai masa depan itu sendiri!! Perubahan terhadap gambaran itu merupakan perubahan yang mendasar terhadap masa depan. 5. Prinsip Positif. Menjadi pengapresiasi aktif, bukan sekedar karena keadaan sudah baik dan menyenangkan. Selalu ada hal yang bisa diapresiasi, selain hal-hal yang buruk. Dari sini, diskusi pun mulai menghangat. Ida (SDMB) misalnya, memulai diskusi dengan pertanyaan, “Kita spontan akan mencari kekurangan dan kesalahan. Lalu bagaimana merubah cara berpikir seperti itu?” Lalu Yuko (KPMNT) ikut memberi komentar, “Waktu SMP saya mengikuti pembelajaran secara baik ketika saya dipuji. Kemampuan saya jadi bertambah. Setelah itu, saya merasa tidak lagi memiliki potensi di dalam diri saya. Kalau pelatihan ini mantap, saya pikir ini akan baik untuk kita semua.“ Eddie (SDMB) menambahkan, “Ada berbagai cerita yang menarik memang, sebagai contoh cerita dari militer. Apabila seorang tentara melakukan tugasnya sesuai prosedur, ya sudah, tidak pernah dipuji. Lalu bagaimana kita mengapresiasi sesuatu, tetapi kita tahu persis kapan hal itu memang perlu diapresiasi? Tidak artifisial?”

“ Bisa menembak sasaran dengan tepat, ya sudah, selesai. Itulah tugasnya seorang tentara, apa perlu lagi diapresiasi..?” !

- Eddie, SDM Bandung.

Tanggapan Fasilitator cukup singkat dan sederhana. Ia menekankan bahwa disana (di lembaga kita masing-masing -peny) ada sesuatu yang membanggakan dan juga indah yang bisa diapresiasi, dan dijadikan fokus utama. Masalah memang ada, tetapi bukan itu fokus utama dalam berorganisasi. Karenanya kunci perubahan ada di dalam diri masing-masing anggotanya, bagaimana mereka memandang masa depan organisasinya.

9

Mengasah Cara Berpikir Fasilitator kemudian mengajak peserta menyimak sebuah kisah mengenai seekor katak kecil. Dalam sebuah perlombaan lari mencapai menara yang tinggi, sekumpulan katak berlomba dan ditonton oleh katak-katak yang lain. Di dalam hati para penonton, tak satupun yang meyakini bahwa katak-katak itu akan sanggup mencapai puncak menara itu. Pada saat perlombaan, penonton menyuarakan keraguannya. Para peserta lomba pun tampaknya “termakan”, dan satu persatu mulai tumbang. Tetapi ada satu katak kecil yang tetap maju, tak kenal menyerah. Dan akhirnya ia-lah yang memenangkan lomba tersebut. Setelah diperiksa, ternyata katak kecil yang menang itu sebenarnya tuli, dan tidak bisa mendengarkan keraguan penonton sewaktu lomba. Ia hanya konsentrasi untuk mendaki. Dan itulah yang ia lakukan hingga akhirnya memenangkan lomba. 4 Setelah istirahat makan siang, peserta kembali diberi permainan kecil mengenai pikiran yang dikondisikan. Fasilitator menampilkan soal geometri melalui LCD proyektor, peserta diberi kertas kosong dan diminta mengerjakannya.

“Lihatlah dengan teliti diagram di

B

A

C

D

samping ini. Sekarang, saya akan mengajukan 4 pertanyaan di tiap kotak itu...” !

- Fasilitator.

Berikut instruksi yang diberikan fasilitator: 5 1. Bagi wilayah putih di kotak A menjadi 2 bagian dengan luas yang sama! 2. Bagi wilayah putih di kotak B menjadi 3 bagian dengan luas yang sama! 3. Bagi wilayah putih di kotak C menjadi 4 bagian dengan luas yang sama! 4. Bagi wilayah putih di kotak D menjadi 7 bagian dengan luas yang sama! Jawaban dari pertanyaan 1-3 adalah sebagai berikut:

4

Cerita lengkap dapat dibaca pada Lampiran-2

5

Paparan lengkap dalam bentuk slide presentasi dapat dilihat pada Lampiran-3

10

Lalu bagaimana dengan pertanyaan ke-4? Bagaimana caranya membagi kotak D menjadi 7 bagian dengan luas yang sama?

“Ayolah, tidak begitu sulit... Record dunia bisa menjawab ini dalam waktu 7 menit...! Inilah jawabannya. Mudah kan...?!” !

- Fasilitator.

Takjub dengan hasil akhir yang ditampilkan, peserta langsung tersenyum-senyum dan memberi applaus. Fasilitator kemudian membahas refleksi dari permainan ini, bahwa pikiran kita sesungguhnya bisa dikondisikan. Ketika berusaha menjawab instruksi ke-3, pikiran telah terkondisi pada pemecahan masalah yang rumit. Ketika menghadapi instruksi ke-4, pikiran tidak cukup jernih lagi untuk melihat bahwa masalahnya sangat sepele, dan dapat diselesaikan tanpa berpikir panjang. Inilah cara berpikir problem solving, yang terlalu fokus pada masalah yang lalu, sehingga kemungkinan-kemungkinan menakjubkan yang mungkin muncul saat ini atau di masa depan, tidak ‘sempat’ terpikirkan.

Cara berpikir yang terkondisi untuk selalu memecahkan masalah, cenderung melihat masa depan sebagai potensi masalah baru yang ‘lebih rumit’, dan membutuhkan pemikiran yang lebih mendalam. Permainan kotak telah berhasil mensimulasikan dampak cara berpikir seperti itu.

11

The Power of Appreciation Peserta kemudian diberi bahan bacaan mengenai The Power of Appreciation, dan diberi waktu membaca isinya, untuk kemudian didiskusikan dalam pleno. Dikaitkan dengan bahan bacaan, Fasilitator kemudian mengajak peserta curah pendapat mengenai sebuah pernyataan yang ditampilkan pada layar proyektor. “Berdasarkan pernyataan tersebut, pengaruh paling kuat apa yang Anda rasakan? Bagikan kepada kami...,” kata Fasilitator. Dan Satriana (KM), berpendapat bahwa pengaruh paling kuat yang dirasakan adalah memberi penghargaan kepada masyarakat atas apa yang dilakukan. Senada dengan komentar Dan, Victor (Lakmas) berpandangan untuk mulai berpikir tepat dan mendahulukan orang lain dengan tetap menghargai diri sendiri. Krispinus (Gasingmas) juga setuju. “Kita harus menghargai orang,” demikian Krispinus. Melengkapi komentar tentang penghargaan, Elly (PIAR) & Ria Djohani (SDMB) menyampaikan perlunya memulai menghargai diri sendiri, orang lain, dan tidak saling memperbandingkan orang lain. “Sebagai pemimpin, sangat perlu memberi penghargaan pada orang lain,” tegas Elly. Yuko (KPMNT), Sami (LBH Timor), dan Marten (YTM) memiliki pendapat yang hampir senada, berkaitan dengan cara pandang yang dipengaruhi cara kita mengelola pikiran. Bahwa dunia ini baik atau buruk tergantung pada cara pandang kita. “Kita harus lebih serius pada peluang, bukan berhenti pada peluang,” demikian Marten. Sementara Nelson (SDMK) berpendapat bacaan itu bisa menumbuhkan kepercayaan diri dan juga memberikan kebahagiaan. “Jangan pernah mengeluh,” tambah Eldy (SDMK). Menurut Dwi (SDMB), ia terkesan dengan kata getar. Yang penting menghasilkan getaran, pertanyaan yang mengggetarkan itu harus dimulai dengan sesuatu yang otentik, bukan basa-basi. Eddie (SDMB) berpandangan lain, kesimpulannya mengarah pada nasehat tentang kesehatan. Berpikir positif mengurangi tekanan psikis, sehingga dapat memperpanjang usia kita. Setuju dengan Eddie, Robert (LBH Justitia) menambahkan dengan ketulusan hati. Akhirnya Elly menutup dengan pernyataan, “Jangan ada dusta diantara kita,” yang disambut senyum dan tawa kecil oleh peserta lainnya.

Problem Solving vs Appreciative Inquiry Fasilitator kemudian melanjutkan dengan pemaparan tentang AI. Landasan berpikir AI antara lain seperti yang dikemukakan Einstein, bahwa tidak mungkin memecahkan masalah dengan pola pikir mencari masalah. Kita harus mencoba berpikir di luar kebiasaan kita selama ini. Seperti asal muasal pengetahuan, cara berpikir lama selalu fokus pada pathologi (ilmu penyakit), dan identifikasi pada penyakit. Orientasinya pada masalah (problem-oriented), berusaha mengidentifikasi penyebab-penyebab, dan para ahli/konsultan bekerja dengan pendekatan “memberi” pengobatan.

12

Sementara perubahan paradigma yang muncul, lebih fokus pada kesehatan, tentang perbaikan cara hidup. Orientasinya pada impian (goal), berusaha mencari solusi-solusi (jalan terbaik). Agen-agen perubahan bekerja dengan pendekatan menciptakan suasana (yang memungkinkan pemecahan masalah). Tampaklah perbedaan antara pendekatan Problem Solving, yang fokus pada masalah, dengan pendekatan AI, yang fokus pada apa yang sudah baik. Dalam slide yang ditampilkan, Fasilitator juga menampilkan perbandingan antara pendekatan Problem Solving, dengan pendekatan AI.

Problem Solving

Appreciative Inquiry

Menetapkan masalah terkini. Apa masalah yang anda miliki?

Mencari apa yang sudah baik dan solusi-solusi yang sudah dimiliki. Apakah yang berjalan baik di sekitar sini?

Memperbaiki apa yang rusak. Belajar dari kesalahan/kekeliruan kita.

Mengembangkan apa yang sudah berjalan. Belajar dari apa yang sudah berhasil, bekerja dan bermanfaat baik.

Fokus pada yang rusak/busuk. Siapakah yang perlu disalahkan?

Fokus pada semangat saling berbagi kehidupan. Siapa yang perlu diyakinkan?

Tabel 1. Perbedaan paradigma Problem Solving dengan Appreciative Inquiry.

Secara umum, AI bekerja dengan pendekatan: 1. Fokus pada kualitas yang paling positif – di organisasi. 2. Memanfaatkan kualitas itu untuk mendorong organisasi. 3. Studi tentang apa yang telah berjalan baik. Sedangkan asumsi-asumsi yang dibangun atas pendekatan AI ini antara lain:

❖ ❖ ❖ ❖

Di masyarakat, kelompok, organisasi – pasti telah ada sesuatu yang berjalan baik!



Rakyat akan percaya diri dan nyaman untuk menuju masa depan – jika ia membawa masa lalu bersamanya. Masa lalu yang dibawanya – sebaiknya masa lalu tentang kegemilangan & kebaikan!

❖ ❖

Adalah penting menghargai kepelbagaian dan perbedaan – Mulailah menghargai!

Fokus perhatian kita – akan menjadi kenyataan kita! Kenyataan adalah peristiwa – berwajah majemuk – tergantung bagaimana melihatnya! Mengajukan pertanyaan adalah keajaiban. Ia mempengaruhi dan akan menanam benihbenih perubahan!

Bahasa yang kita gunakan sama seperti cat yang kita gunakan untuk menggambar! Pemaparan tentang pendekatan AI berakhir pada saat istirahat sore. Setelah istirahat,

Fasilitator membuka sesi diskusi bersama mengenai paparan tentang Problem Solving vs AI. Yuko memulai dengan pengalamannya ketika membaca buku berjudul Awareness, karya Anthony de Mello. “Kita tidak boleh tenggelam pada apa kata orang, tetapi harus tenggelam dalam kenyataan,” ungkapnya.

13

Lalu muncul sebuah pertanyaan dari Ria, “Apakah masalah dalam AI tidak ditangani?” Menanggapi pertanyaan itu, Tuche berpandangan bahwa persoalan tetap selalu ada, dan perlu mengerahkan potensi yang ada untuk menyelesaikan persoalan itu. Fasilitator kemudian menanggapi dengan pertanyaan, “Apakah visi Anda sehingga itu menjadi persoalan?” Menurut Fasilitator, bisa jadi visi itu tidak ada kaitannya dengan persoalan yang ada. Visi atau impian menjadi fokus utama, sehingga energi dikerahkan untuk mencapai visi tersebut. “Karena sekali lagi, yang mewarnai kehidupan Anda adalah impian Anda, masalah hanyalah bagian terkecil. Memang ada realitas, dan masalah adalah bagian (kecil) dari realitas itu. Masih ada realitas yang lain, yaitu potensi,” lanjutnya. Kemudian dengan tabel, Fasilitator menjelaskan perbedaan alur pendekatan Problem Solving vs AI.

Problem Solving

Appreciative Inquiry

Masalah

Potensi

Akar Masalah

Impian (visi)

Solusi

Dialog

Program

Program

Tabel 2. Alur pendekatan Problem Solving vs AI

Jika Problem Solving memulai sesuatu dengan analisa masalah, maka AI memulai sesuatu dengan analisa potensi. Dalam Problem Solving, usaha yang dilakukan hanya akan berakhir dengan pemecahan masalah. Program dikembangkan untuk memberikan solusi, lalu solusi diharapkan dapat menyelesaikan akar masalah. Dan seterusnya. Sedangkan dalam AI, awalnya adalah mengidentifikasi potensi. Potensi-potensi ini menjadi landasan untuk membangun mimpi bersama, visi tentang masa depan. Visi ini kemudian dibicarakan dan dikembangkan situasi idealnya, apa yang seharusnya, bagaimana, dan seterusnya. Program dikembangkan semata-mata untuk mencapai mimpi bersama.

14

“Lalu ‘masalah’ diletakkan dimana?” tanya Fasilitator. Menurut Fasilitator, ‘masalah’ bukan agenda utama dalam alur pengembangan program dalam AI. Tetapi tidak berarti dilupakan, karena disadari bahwa ‘masalah’ selalu ada. Jadi, pada dasarnya ini adalah perbedaan cara pandang saja. Menanggapi paparan Fasilitator, Victor lalu mengemukakan pandangannya. Menurut Victor, pendekatan AI ini pendekatan baru yang ingin membalikkan (cara pandang) pendekatan yang sudah ada selama ini. Komentar ini ditanggap oleh Fasilitator, bahwa AI memandang pentingnya menanamkan nilai atau prinsip cara pandang positif ke dalam diri orang-orang yang terlibat. Ini sekaligus menjelaskan cara AI dalam merubah cara pandang pengelolaan program selama ini. “Jadi, harus dimulai dari diri kita sendiri,” demikian penjelasan Fasilitator. Eddie mencoba membandingkan keduanya (Problem Solving vs Appreciative Inquiry), dengan memberi ilustrasi mesin yang rusak. Pendekatan PS (problem solving - peny.) hanya akan memperbaiki mesin saja, tetapi tidak menjadi lebih bagus atau mesinnya tidak akan bertambah jumlahnya. Dengan AI, keinginan (mimpi) manusia itu bisa menghasilkan mesin yang lebih bagus – lebih cepat, lebih awet, lebih kuat, dst. - atau bahkan mesin menjadi dua. Elly kemudian ‘memanaskan’ sesi diskusi dengan pertanyaan mengenai indikator. “Apa perbedaan antara akar masalah dengan impian? Apakah ada indikator untuk mengukur keberhasilan? Apabila tidak ada indikator atau standar yang jelas, bagaimana ini akan tercapai (kalau tidak jelas)?”, tanya Elly bersemangat. Pertanyaan ini mengundang perhatian peserta untuk memberi pendapat. Beberapa peserta langsung mengacungkan tangannya untuk bicara. Rahadian mendapat kesempatan pertama. “Saya ingin kembali ke permasalahan sebelumnya. Mungkin kalau AI lebih dari sekedar menyelesaikan masalah. Apa yang kita lakukan dengan action plan atau program adalah mencapai mimpi. Pada saat kegiatan-kegiatan sudah berlangsung, masalah–masalah akan teratasi secara tidak langsung. Itupun kalau kita ‘masih’ mencoba melihat ‘masalah’. Karena energi kita tidak difokuskan kepada masalahnya, melainkan pada mimpinya, kita tidak ‘merasakan’ bahwa masalah itu ada,” demikian Rahadian.

“Dalam kondisi sekarang, makan untuk besok saja sulit. Bagaimana bisa bermimpi yang jangka panjang...?” !

- Ria, SDM Bandung.

15

Menyambung pernyataan Rahadian, Ria lalu bertanya, “Mimpi itu kan jangka panjang. Sementara kita harus hidup hari ini, juga besok. Ada masalah riil yang dihadapi sehari-hari, dan itu mendesak. Hari ini kita harus makan, besok juga, boro-boro memikirkan mimpi yang panjang, untuk makan besok saja belum jelas. Lalu bagaimana dengan masalah-masalah seperti itu?” Tj (SDMB) lalu ‘masuk arena’ diskusi, dan mencoba menjelaskan kembali kontra Problem Solving dengan AI, menggunakan tabel yang dibuat Fasilitator. Menurut Tj, Problem Solving menempatkan visi di akhir alur. Dalam alur ini (lihat Tabel 2 - peny.) saja visi belum tampak. Sedangkan dalam AI, visi sudah ditetapkan duluan. Ini memperlihatkan bahwa Problem Solving pada akhirnya akan mencapai visi, tetapi jalannya cukup panjang karena sibuk dengan memecahkan berbagai permasalahan yang muncul. Sedangkan dalam waktu yang sama, AI mungkin sudah bisa melangkah maju ke arah visi yang ingin dicapai, karena masalah-masalah yang ada tidak diperbincangkan. Lalu berturut-turut, Sami dan John Olla (LBH Timor) menyampaikan pendapatnya. “Sebenarnya antara PS dan AI kita harus melihatnya sebagai satu kesatuan. Hanya sering kita melihatnya dari segi masalahnya, padahal keduanya berbicara tentang perubahan. Kalau kita hanya melihat dari segi masalah, maka perubahan ini hanya pada sampai pada tingkat sini,” ujar Sami. “Bagi saya sebenarnya, tanpa sadar kita harus menyangkal sebuah realitas. Ketika ada persoalan, AI harus memandangnya dari sisi positif. Ketika nilai positif yang kita kembangkan juga tidak berkembang. Ini juga akan menjadi sebuah masalah,” kata John. Fasilitator kemudian mencoba menjelaskan ulang. Pada saat memandang situasi, selalu ada sudut pandang. Akan berbeda kalau memandang situasi dengan cara pandang masalah, atau dengan cara pandang positif. Dengan cara pandang positif yang tampak adalah potensi yang dimiliki. Potensi-potensi ini dapat dibangun untuk menyelesaikan masalah. Mengenai indikator, Fasilitator tidak menjelaskan secara langsung, tapi disinggung bahwa dalam proses berikutnya (Daur 4-D dalam AI - peny.) akan dibahas lebih detil, dan disana akan muncul indikator-indikator yang dimaksud. Diskusi pun semakin bergairah. Mulai dari Dwi yang menyinggung tentang lembaga donor sebagai faktor yang mempengaruhi cara berpikir LSM, dan Elly yang masih merasakan dilema dengan pendekatan AI. Sementara Marthen (YAFA), berbagi pengalaman mereka yang baru mempraktekkan AI di lapangan. Marthen berpendapat, selama ini LSM terusterusan memandang masalah, sehingga masyarakat ikut merasa ‘pusing’ oleh berbagai masalah yang muncul. Sementara Fasilitator mengingatkan lagi mengenai fakta bahwa pikiran manusia bisa terkondisi, sehingga tidak mustahil jika masyarakat fokus pada potensi yang dimilikinya, mereka dapat membangun dirinya sendiri. Meski Ria masih merasa belum cukup jelas dengan indikator pencapaian tujuan, Tj kemudian mengingatkan, bahwa diskusi agaknya mulai membicarakan detil dari proses AI. Tj menyarankan upaya diskusi dengan topik yang detil bisa dilanjutkan nanti, karena masih ada sesi tentang Daur 4-D yang akan mengupas lebih detil mengenai cara kerja AI. Tj juga 16

mengingatkan bahwa kata ‘mimpi’ jangan diartikan sebagai sesuatu yang ‘utopis’, sesuatu yang di angan-angan dan tidak terjangkau. Kata ‘mimpi’ yang digunakan sebenarnya mengacu pada pengertian visi. Eddie lalu menyampaikan pandangannya, “Saya sangat tertarik dengan diskusi ini, yang ingin saya garisbawahi adalah, AI tampaknya dapat mengurangi ketergantungan masyarakat yang berlebihan terhadap pihak luar.” Penyampaian Eddie sekaligus menjadi akhir diskusi, karena waktu sudah habis. Peserta pun dipersilakan istirahat dan makan malam, dan bertemu kembali pada sesi malam.

Problem Solving vs Appreciative Inquiry (lanjutan) Menyambung diskusi di akhir sesi sore, Sami memulai dengan komentar bahwa AI tampaknya menghendaki kemandirian LSM. Menyambung komentar Sami, John Olla menambahkan bahwa funding/lembaga donor merupakan batu loncatan untuk menjalankan idealisme, artinya funding merupakan jalan untuk menjalankan apa yang sebenarnya diinginkan LSM. Tapi tidak dipungkiri bahwa LSM juga adalah perpanjangan dari pemikiran mereka (baca: funding). Rahadian juga menambahkan bahwa dengan AI, agaknya programprogram pengembangan masyarakat lebih berkelanjutan. Peran lembaga donor akan semakin berkurang, bahkan mungkin saja bisa hilang sama sekali. Jika masyarakat sudah benar-benar mampu mendayagunakan berbagai potensi yang ada di sekitar mereka, maka program-program yang dikembangkan relatif berbasis potensi yang ada. Rahadian juga menambahkan bahwa belum banyaknya penerapan AI di Indonesia, terutama yang berbasis masyarakat, beberapa pandangan tentang AI masih didapat dari berbagai literatur. Menurut Victor, PS dan AI hanya model pendekatan. “Kita ingin menguji seberapa canggih pendekatan yang baru ini. Seringkali pendekatan-pendekatan yang lama ini sudah tidak relevan lagi.” Victor juga memandang bahwa AI sebenarnya pendekatan yang baru dalam rangka mendukung kerja-kerja advokasi. Sementara Krispinus (Gasingmas), menyampaikan bahwa sebenarnya pendekatan AI sudah dipergunakan dalam program kesehatan. Bahkan AI dalam sektor profit sudah banyak berkembang dibanding dengan di sektor non-profit. Elly, masih dengan dilemanya. Baginya, selama masyarakat masih dilihat sebagai obyek, maka ketergantungan selalu akan muncul.

“Tampaknya AI bisa menjadi pendekatan baru dalam gerakan advokasi...” !

- Victor, LAKMAS.

17

Fasilitator kemudian menampilkan presentasi mengenai berbagai perspektif dalam pendekatan program pengembangan masyarakat. Berikut adalah risalah presentasi tersebut: 1. Perspektif Modernisasi. Transfer teknologi dan ilmu pengetahuan. Agar orang miskin dapat terangkat akibat kolonialisme. Sejumlah besar dana digunakan untuk membangun berbagai infrastruktur: irigasi, jalan, dam, dll. Meskipun produksi & pendapatan meningkat – tetapi hanya bagi sebagian kecil orang. Perspektif ini bahkan cenderung mengabaikan petani kecil dan para pihak yang tidak punya akses atas kredit, technical assistance dan kekuatan politik. 2. Community Development berbasis Kebutuhan. Mulai dengan identifikasi kebutuhan dan masalah yang ada di masyarakat. Diagnostico – melakukan diagnosa seumpama dokter sementara proses partisipatif digunakan untuk memprioritaskan masalah dan kebutuhan. Implikasinya – sejak awal mengidentifikasi apa yang kurang dan tidak bekerja dengan baik. Terbukti ada rintangan dan batasan eksternal/internal penyebab kemiskinan yang berhasil dibongkar. Tetapi pendekatan ini kurang melihat pentingnya memulai dengan pendekatan positif dan kekuatan-kekuatan yang ada di masyarakat (apa yang telah berjalan baik dan yang memberi hidup dan pengharapan bagi rakyat). Kecenderungan lain – pada akhir analisa muncul kebutuhan yang sifatnya materil dan fisik, mengabaikan sisi spiritual, kultural dan psikologi masyarakat. 3. Pembangunan Pedesaan Terpadu. Kolaborasi lintas-sektoral – dengan pengandaian bahwa peningkatan dampak berbagai lintas sektoral akan meningkatkan livelihood pedesaan. Namun terlihat beban berat untuk menjaga komunikasi dan koordinasi lintas sektoral ini. Memakan banyak waktu, mahal dan kurang efektif. Belum lagi ada kompetisi para pemain. Berbagai sumber dana dipakai untuk berkoordinasi, rapat-rapat, administrasi – semakin sedikit sumber dana yang langsung bagi masyarakat. 4. Pendekatan Berbasis Pemenuhan “Basic Needs”. Kacamata ekonomi tidaklah cukup. Orang yang “The Have” (kaya-peny.) harus mendistribusikan ke “The Have Not” (miskin-peny.). Orientasinya agar kebutuhan dasar seperti air bersih, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan non-materil (politik dan berorganisasi) bisa terpenuhi. Kita berjuang di kemiskinan yang berlimpah ruah – tetapi tetap saja kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi berada di tangan sebagian kecil orang. Mereka harus mendistribusikan. Ada perdebatan - mengenai apa saja yang dimaksud kebutuhan dasar – di tengah-tengah konsumerisme negara kaya dimana bumi sendiri tidak cukup memenuhi keinginan mereka. Ada pula kekhawatiran: Para pengorganisir kurang merancang programnya dan bekerja bersama “poorest-of-the-poor” (kalangan yang paling miskin di antara masyarakat miskin-peny.). 5. Pendekatan Berbasis Pemenuhan “Hak-hak Dasar”. Perspektif ini bergerak dari “Menjawab kebutuhan-kebutuhan dasar” ke “Menguatkan masyarakat untuk pemenuhan hak-hak dasar mereka”. Konsensus cukup besar bahwa pemenuhan hak-hak dasar cukup menjawab isu keadilan sosial. Muncul istilah Development Community vs Human Rights Community (Social & Economic Rights -- Civil & Political Rights). Akhirnya agak kabur bagaimana model pendekatan ini untuk pengembangan masyarakat miskin. 6. Advokasi. Pendekatan ini terkait erat dengan pendekatan pemenuhan hak-hak dasar. The Universal Declaration of Human Rights mengalir dari pendekatan ini dan menegaskan pentingnya Freedom of Expression (civil and political rights) dan Freedom from Want (economic and social rights). 7. Sustainable Development. Strateginya menjamin ketersediaan ekologi, ekonomi dan sosial secara berkesinambungan. Memang berupaya melibatkan teknologi terapan baru

18

dan struktur sosial yang baru, tetapi cenderung kembali ke “masa lalu”, indigenous, metode-metode yang lebih alamiah dan kultural. 8. A Values-based Development. Pendekatan ini mulai dengan kekuatan-kekuatan dan nilai yang ada di dalam setiap budaya dan masyarakat. Mulai dengan diri mereka sendiri dengan kapasitas, kekuatan dan nilai – daripada melihat diri mereka begitu memiliki banyak kebutuhan. Karena, jika kita melihat kebutuhan-kebutuhan dan realitas “ketidakadilan” - kita mungkin cenderung menyimpulkan bahwa solusi-solusi dibutuhkan dari luar.

“Siapapun kita yang hadir disini, apapun pendekatannya, pada intinya sama-sama memperjuangkan peningkata kapasitas manusia...” !

- Marthen, YAFA.

Sesudah pemaparan, tidak banyak diskusi yang terjadi. Sebuah komentar dari Marthen, menyatakan bahwa semua yang hadir memperjuangkan kapasitas manusia dengan pendekatan yang berbeda, tetapi intinya sama, peningkatan kualitas manusia. Juga Marthen mengingatkan supaya tidak perlu khawatir, terdapat beberapa lembaga donor yang siap menerima AI ini. Sesi malam kemudian ditutup dengan pemutaran film berjudul The Secret, sebuah film yang menampilkan bukti-bukti bahwa manusia memiliki kekuatan pikiran yang dapat mewujud dalam kenyataan. Melalui kekuatan pikiran, manusia dapat ‘merancang’ masa depannya sendiri.

19

20

Mulai dengan Siklus 4-D Rekaman Proses Kegiatan Hari Kedua Hari kedua ini dimulai dengan presentasi program slide dari Fasilitator, yang mengajak para peserta merenungkan apa-apa yang sedang terjadi dewasa ini. Betapa beruntungnya kita dibandingkan orang lain di belahan dunia sana. Program slide ini mengajak para peserta mensyukuri apa yang sudah didapat sekarang, dan bagaimana kita bisa berbuat sesuatu.

Tentang Daur 4-D Selesai dengan program slide, lokakarya dilanjutkan dengan pemaparan Fasilitator mengenai Daur 4-D yang digunakan dalam AI. Daur 4-D yang dimaksud adalah: 1. Discovery. Mengungkap faktor-faktor yang menyebabkan sesuatu berjalan dengan baik. 2. Dream. Menemukan gambaran masa depan. 3. Design. Kerangka kerja untuk mencapai masa depan. 4. Delivery. Aksi-aksi apa yang akan harus dilakukan (mulai sekarang). Sebelum dimulai dengan daur 4-D, Fasilitator lalu mengingatkan peserta untuk:

❖ ❖ ❖

Sepakat akan berusaha melihat hal-hal baik yang telah terjadi dan yang akan terjadi; Merayakan kehidupan dimana Tuhan telah bekerja….(melalui kita); Menyadari betul bahwa orang-orang di sini adalah aset yang sangat berharga. Kemudian dilanjutkan dengan penentuan topik yang akan diperbincangkan lebih lanjut

dalam proses 4-D ini. Fasilitator mengajukan topik tentang “Proses Pembelajaran Kelompok Yang Mengagumkan”. Topik ini sebelumnya sudah dibicarakan bersama panitia, dan Rahadian kemudian juga menyampaikan latar belakang pemilihan topik ini. Rahadian menyampaikan bahwa topik ini dipilih atas beberapa pertimbangan, antara lain: 1. Cukup relevan dengan latar belakang peserta. Pada awal lokakarya, Rahadian juga sudah menyampaikan bahwa apapun cara kerja lembaga peserta lokakarya, pada dasarnya semua bekerja untuk masyarakat, dan polanya adalah belajar bersama masyarakat. Topik pembelajaran menjadi cukup relevan, sehingga bisa dipakai dan dijalankan ketika peserta kembali ke lembaga masing-masing. 2. Proses pembelajaran memerlukan metode yang terus berkembang. Kata pembelajaran tidak diartikan sempit seperti pelatihan atau belajar bersama, tetapi juga melingkupi proses pemberdayaan itu. Selama ini banyak sekali metode pembelajaran yang dilakukan, tetapi pertanyaan yang menarik adalah, “Adakah model pembelajaran yang asli dan memang selama ini sebenarnya sudah berjalan di dalam masyarakat?” Tantangan lokakarya ini adalah mencoba menemukan model pembelajaran yang paling sesuai dengan kondisi masyarakat dampingan masing-masing lembaga. 3. Dapat melibatkan semua peserta. Karena latar belakang yang berbeda-beda, pemilihan topik yang cukup “umum” ini diharapkan memungkinkan peserta dapat terlibat aktif dalam proses lokakarya karena semua memahami konteks di lapangan. 21

Tahap I: Discovery Mulailah lokakarya bergerak ke tahap pertama dari 4 tahapan dalam AI, yaitu Discovery. Berdasarkan topik yang sudah disepakati, lalu Fasilitator menjelaskan apa yang harus dilakukan dalam tahap ini. Peserta akan dikelompokkan dalam kelompok kecil, yang memungkinkan anggotanya untuk saling diskusi. Akan ada tim yang bertugas mewawancarai teman-teman dalam kelompoknya, tetapi tim juga bisa turut berbagi pengalaman sesuai pertanyaan yang diajukan. Kemudian Fasilitator menyampaikan pertanyaan untuk Discovery: 1. Kapan anda merasa begitu menyenangkan dan berhasil mengembangkan proses pembelajaran kelompok? (bisa waktu ataupun situasi). 2. Apa saja hal-hal yang ada waktu itu mendorong keberhasilan? 3. Apa saja aset-aset yang sudah dioptimalkan dan anda begitu bangga dengan mereka? 4. Apa saja elemen-elemen utama (hal-hal utama yang dapat dipertahankan dari masa lalu ke masa kini sebagai proses pembelajaran) yang akan menjamin berlanjutnya keberhasilan-keberhasilan anda? 5. Apa pelajaran berharga dari pengalaman anda selama ini? (satu pernyataan). 6. Apa yang perlu Anda tingkatkan agar dapat mengembangkan proses pembelajaran di kelompok? Sebelum pembagian kelompok, Ria sempat mengusulkan apakah perlu pembagian berdasarkan isu cara kerja para peserta di lapangan dulu, baru kemudian dibagi dalam kelompok kecil. Tetapi ketika peserta dikonfirmasi, tampaknya pembagian kelompok akan dilakukan sederhana saja, dengan cara berhitung. Akhirnya terbentuk 3 kelompok besar, yang akan dibagi lagi ke dalam kelompok-kelompok kecil. Tiga kelompok besar itu adalah: 1. Kelompok 1. Tim yang akan mengajukan pertanyaan adalah Robert, Sami, & Marthen. Anggotanya adalah Victor, John Olla, Fahmi, Nelson, Lorens, Novemris, Yulius Kolo, & Fidelis Kehi.

Inilah Kelompok 1, sedang mendiskusikan proses penggalian dalam tahap Discovery.

22

Kelompok 1 kemudian memecah diri dalam 3 kelompok kecil, yang masing-masing akan difasilitasi oleh Robert, Sami, dan Marthen. Masing-masing kelompok kecil kemudian dipersilakan mencari tempat yang nyaman untuk saling berdiskusi berdasarkan pertanyaan yang diajukan Fasilitator. 2. Kelompok 2. Tim yang akan mengajukan pertanyaan adalah Dan, Dwi dan Elly, Anggotanya adalah Erni, Eldy, Jun, Dan Daud, Dina, Yos Pati Bean, Tuche, & Marten Duan.

Kelompok 2, sedang menggabungkan temuan dalam diskusi kecil.

Kelompok 2, juga terbagi lagi menjadi tiga kelompok kecil, masing-masing difasilitasi oleh Dan, Dwi, dan Elly. Masing-masing kelompok juga mencari tempatnya sendiri-sendiri, dan langsung mulai berdiskusi. 3. Kelompok 3. Tim yang akan mengajukan pertanyaan adalah Ria, Ida, dan Rita. Anggotanya adalah Eman, Krispinus, Blasius, Jhony, Rembrand, James, & Mecky.

Kelompok 3, mendiskusikan hasil dalam kelompok kecil, untuk disepakati dalam presentasi.

23

Sebelum mulai, Fasilitator mengingatkan agar jawaban yang hendak dituliskan & dibagikan disepakati dalam kelompok. Diharapkan pula agar cerita yang muncul tetap mempertahankan hal-hal yang spesifik & konkrit. Di setiap kelompok kecil, tidak semua mengalami hal yang sama. Ada yang merasa mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan, ada juga yang merasa bingung dengan arah pertanyaan yang diajukan. Kelompok Dan, misalnya, di awal sesi perlu bercerita panjang lebar mengenai masa lalu, baru menukik ke pertanyaan yang diajukan oleh Fasilitator.

Dan Satriana, memfasilitasi kelompok kecil bagian dari Kelompok 1. Dan meminta anggotanya bercerita lepas dulu, baru mengarah pada pertanyaan dari Fasilitator agar dapat berdiskusi dengan lancar.

Di kelompok Ida, pertanyaan mengenai saat yang paling mengagumkan juga tidak bisa langsung terjawab. Ida mencoba memperluas pertanyaan agar anggotanya dapat menyimpulkan sendiri, bagian mana yang dianggap mengagumkan menurut peserta.

Kelompok Ida, perlu mengajukan pertanyaan-pertanyaan tambahan agar jawaban peserta terarah.

24

Akhirnya, inilah hasil dari diskusi tahap diskusi kelompok dalam Discovery:

Kelompok 1

Kelompok 2

Kelompok 3

• Ketika anak dampingan mampu mengklasifikasi kata dalam bahasa Inggris

Pertanyaan No. 1 Kapan anda merasa begitu menyenangkan dan berhasil mengembangkan proses pembelajaran kelompok?

• Potensi yang sudah dioptimalkan adalah Kemampuan analitik dalam pengelompokan dan kosa kata (oleh anak), kemampuan diskusi antar kelompok, dan sumber daya alam

• Ketika kita menemukan bersama dengan masyarakat dan menembus keterbatasan bersama. Ketika fasilitator menemukan masalah dan menembus pengetahuan baru dan kerja bersama-sama. Alasannya bawa perencanaan sendiri. Tapi realitasnya kita menemukan masyarakat. Potensi ditemukan bersama masyarakat. Pada awalnya sulit dan ragu, pada kenyataannya, ternyata kita mampu mengatasi keraguan dan keterbatasan fasilitator dan masyarakat

• Elemen utama yang perlu dipertahankan adalah penggunaan media dan ketersediaaan komitmen fasilitator dan kebutuhan peserta belajar

• Hal yang menyebabkan adalah adanya prinsip mengalami bersama dan kemauan tulus untuk mau belajar dan nilai-nilai setempat

• Pelajaran yang penting adalah prinsip partisipatif menjadi unsur utama dalam belajar.

• Orang adalah aset yang paling penting. Aset-aset lain mendukung. Kemauan keras dari orang, tekad untuk terus belajar.

• Aset penggunaan media sederhana • Kebersamaan dan ketulusan dari fasilitator

• Yang harus dipertahankan adalah nilai-nilai lokal, gotong-royong, aturan-aturan adat, peradilan tradisional adat, ada pembagian peran. Juga ada kemitraan dengan lembaga lokal, pendampingan yang berlanjut, militansi dari anggota, serta punya cita-cita yang tegas • Pelajaran yang diperoleh antara lain warga belajar yang tidak bisa bicara (keterbelengguan dalam posisi tidak berdaya takut untuk mengungkapkan sejujurnya) menjadi fasih dan kebiasaan untuk mengungkap pikirannya. Ini sebuah kemajuan. Kemudian pentingnya mengorganisir ibu-ibu untuk keberlanjutan penghidupan ekonomi dan kemitraan (UB), dan fasilitator tinggal dan belajar bersama-sama • Perlu ditingkatkan adalah pengalihan peran dari fasilitator ke masyarakat itu sendiri.

• Ketika masyarakat semangat berkelompok • Ketika usaha dilakukan sama-sama • Ketika ada diskusi dan berlajar bersama • Ketika keberhasilan merupakan hasil bersama • Ketika bebas mengemukakan pendapat • Ketika terjadi analisis dan diskusi yang bebas • Ketika ada hasil/manfaat yang dirasakan langsung oleh masyarakat • Ketika masyarakat dilibatkan dalam perencanaan untuk ikut menentukan program/kegiatan • Ketika terjadi pembelajaran antara masyarakat, antar desa, jejaring • Ketika terjadi perubahan masyarakat (tadinya menolak menjadi kerjasama) • Ketika muncul fasilitator dari masyarakat sendiri Pertanyaan No. 2 Apa saja hal-hal yang ada waktu itu mendorong keberhasilan? • Diberi kesempatan bicara • Masyarakat diberi peluang untuk menjadi pemimpin, pemandu, presentator • Teknologi yang diperkenalkan ke masyarakat di ujicoba dulu supaya berhasil • Menjawab kebutuhan masyarakat (air, pangan, pendapatan) • Ada budaya gotong royong • Ada kebun contoh untuk belajar • Inisiatif, usul dari masyarakat untuk ikut merencanakan program/ kegiatan • Ada pelatihan • Ada bantuan PMT (Pemberian Makanan Tambahan) untuk kelompok Posyandu • Program/kegiatan disesuaikan dengan kondisi lokal • Ada kerjasama lembaga program dengan pihak-pihak terkait.

Tabel-3. Hasil diskusi kelompok pada tahap Discovery. 25

Setelah berhasil menyelesaikan hasil diskusi kelompok, kemudian peserta kembali ke diskusi pleno dan mendiskusikan beberapa hal. Fasilitator kembali melontarkan beberapa pertanyaan kepada peserta: 1. Apa potensi yang sudah ada dan yang sudah berjalan baik? 2. Apa sesungguhnya yang kita percaya, bagaimana itu tampil pada yang kita lakukan? 3. Pondasi (nilai-nilai) yang diatasnya kehidupan yang lebih baik sedang kita bangun? 4. Elemen-elemen utama yang harus ada yang akan menjamin berlanjut keberhasilan ini?

“Ternyata, warga belajar sekarang sudah mampu mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya. Ini yang kita sebut kemajuan!” !

- Dan Satriana, kalyANamandira.

Dan Satriana, memulai dengan penjelasan hasil kelompoknya, bahwa menemukan bersama dan menembus keterbatasan maksudnya adalah biasanya setiap orang datang dengan membawa rencana sendiri, padahal jika persoalan/potensi itu ditemukan bersamasama itu membuat pendamping merasa bangga. Pendamping mampu mengatasi keraguan dan keterbatasan fasilitator dan masyarakat. Warga belajar yang tadinya tidak bicara (keterbelengguan dalam posisi tidak berdaya-takut untuk mengungkapkan sejujurnya) kini menjadi fasih dan memiliki kebiasaan untuk mengungkapkan pikirannya. Ini yang disebut sebagai sebuah kemajuan. Ketika Rahadian meminta klarifikasi mengenai nilai lokal seperti apa yang dimaksud, ternyata menurut Tuche adalah semangat gotong royong dan aturanaturan adat. Ungkapan menarik muncul dari Dwi, yang mempertanyakan, “Bagaimana kalau pengalaman itu munculnya dari masalah?” Kasus ini muncul karena hal-hal yang membanggakan dalam kelompok Dwi, adalah pengalaman Dina yang berhasil mengorganisir ibu-ibu korban tidak langsung dari kerusuhan di Kupang beberapa waktu yang lalu. Fasilitator menanggapi bahwa itu tidak jadi masalah. Dan Satriana menambahkan bahwa inti dari pengalaman itu bahwa lembaga percaya masyarakat mau dan mampu untuk berusaha sendiri. Rahadian sebelumnya juga menyampaikan bahwa yang dilihat adalah keberhasilan dari sisi pengorganisiran kelompok. Pendapat Ria turut menguatkan, yang akan digali justru kepercayaan apa, keyakinan seperti apa yang ada pada diri Dina atau lembaganya, yang membuat mereka berhasil mengorganisir ibu-ibu tersebut. Di akhir sesi sebelum istirahat makan siang, Fasilitator juga mengingatkan bahwa yang mau kita lihat dulu adalah apa yang ada pada diri kita. Kita belum membicarakan

26

masyarakat yang di luar sana. Sangat penting mengapresiasi keyakinan yang telah mendorong kita bekerja dalam masyarakat, melakukan pembelajaran bersama mereka. Seusai istirahat makan siang, Fasilitator memberi tugas bagi kelompok, untuk menemukan apa yang dipercayai, pondasi dan elemen-elemen utama yang bermakna bagi organisasi masing-masing. Meskipun dalam diskusi muncul banyak sekali permasalahan, tetapi kita sepakat untuk mencoba mengapresiasi yang sudah baik. Berikut hasil diskusi kelompok:

Kelompok 1

Kelompok 2

• partisipasi

• Ketulusan

• menghargai keberagaman

• Panggilan pengabdian

• keberpihakan

• Menjunjung nilai-nilai lokal

• obyektifitas

(hukum adat)

• Mempercayai kemampuan masyarakat untuk merubah dirinya sendiri.

Kelompok 3 • Kebebasan untuk mengungkapkan pendapat

• Belajar bersama masyarakat • Panggilan hidup/solidaritas sosial

• Bekerja di dalam realitas yang ada

Tabel-4. Hasil diskusi kelompok mengenai pondasi-pondasi penting.

Pada saat diskusi pleno mengenai apa yang dipercayai, terjadi perdebatan yang cukup ‘panas’. Beberapa peserta memahami kepercayaan selayaknya ‘agama’ atau keyakinan dalam hal spiritualisme. Sedangkan beberapa orang yang lain memandang ini seperti spirit, atau semangat yang membuat semua orang masih mau bekerja bersama masyarakat. Bahwa ada panggilan ‘hati’ yang mendorong aktivis untuk bekerja di lapangan, tetapi tidak berhubungan langsung dengan terminologi dalam agama tertentu. Akhirnya istilah Panggilan Pengabdian tidak digunakan, menghindari salah pengertian di antara peserta. Diskusi pun berlanjut hingga istirahat sore, dan akhirnya pleno setuju untuk mengangkat 3 pondasi bersama yang dianggap paling utama, yaitu: 1. Solidaritas dan keberpihakan pada mereka yang lemah; 2. Partisipasi (menghargai keberagaman); 3. Belajar bersama masyarakat, dengan menjunjung nilai-nilai lokal.

Tahap II: Dream Memasuki sesi sore terakhir, Fasilitator menjabarkan mengenai proses dalam tahapan Dream. Dream, atau mimpi, atau lebih tepat disebut sebagai visi, adalah sebuah pernyataan tentang gambaran masa depan yang menantang, menggairahkan, menyemangati atau memberi inspirasi. Pernyataan itu disebut juga provocative proposition, karena ia harus sangat provokatif, memberi dorongan semangat yang tinggi, tetapi berbasis pada kekuatan/ pengalaman terbaik yang pernah ada, dan seolah-olah sudah terjadi sekarang. Fasilitator juga membacakan beberapa contoh, misalnya “Getaran saling menghargai dan martabat begitu kuat terasa saat mereka membicarakan kemampuan dan masa depan mereka!” 27

Fasilitator juga memberikan beberapa pernyataan yang membantu peserta menemukan pernyataan visi masiang-masing:



Ada sesuatu….tapi sekarang belum ada, yang akan membuat anda, organisasi anda dan kelompok benar-benar berbeda dalam proses belajar.



Anda bangun pagi….dan ini tahun 2012…apa sesuatu yang baru anda lihat, perubahan baru yang mengagumkan (suatu ‘dunia yang sama sekali baru’). Berikut tabel hasil diskusi kelompok:

Kelompok 1

• Pengalaman hidup warga belajar adalah sumur belajar yang tidak pernah kering. Kami meyakini hakikat pembelajaran adalah pertukaran pengalaman hidup. Dari pertukaran pengalaman hidup itu kami maju dan menggali sumur pengetahuan lebih dalam. • Kami mempunyai sebuah bangunan sederhana tempat kami belajar yang kami bangun dengan keringat kami sendiri. • Dengan potensi yang dimiliki kelompok, tahun 2012 semua anggota kelompok mempunyai rumah tinggal permanen. • Semua warga belajar baru yang menjadi dampingan kami mempunyai lahan garapan yang tetap sehingga tidak menggantungkan nasibnya kepada siapapun. • Sumberdaya alam di seluruh desa dampingan dapat dikelola secara berkelanjutan sesuai dengan nilai-nilai adat setempat. • KPMNT menjadi simpul kolaborasi antara LSM, pemerintah, legislatif, dunia usaha, dan pers dalam program pengembangan masyarakat di Nusa Tenggara. • Pengalaman petani yang berhasil dalam mengembangkan kebun tetap didokumentasikan secara baik di tingkat desa dan menjadi bahan belajar bagi petani lainnya, baik di tingkat desa, maupun tingkat kabupaten. • Sebanyak 75 % petani organizer mampu menduduki jabatan kepala desa dan BPD di desadesa dampingan. • Kami mampu mengembangkan kurikulum sendiri, memiliki sekolah yang bisa diakses semua orang. • Kami mempunyai media-media pembelajaran yang kreatif, dan semua orang memiliki kebebasan untuk belajar apapun. • Kecamatan kami (Nekmese) menjadi lumbung pangan Kota Kupang.

Kelompok 2

• Tahun 2012 ada kemandirian kelompok dalam membuat perencanaan kegiatan sendiri tanpa ada pendampingan yang intensif. • 5 tahun mendatang ada peningkatan pendapatan/ekonomi karena ada inisiatif dari masyarakat untuk memperjuangkan kepentingan bersama sehingga bisa tersenyum bahagia.

Kelompok 3

• Proses belajar tidak dibatasi oleh ruangan! Mereka bisa belajar dari siapa saja! • Komunitas belajar bangga mendiskusikan nilai-nilai lokal dan mengembangkannya sebagai sumber belajar masa depan. • Pertemuan-pertemuan selalu dinamis, padat perdebatan kritis dan sangat demokratis!

Kelompok 4

• Pelayanan kesehatan merata dan terjangkau oleh seluruh masyarakat. • 2012 pendidikan gratis bagi semua usia anak sekolah (SD-SMP-SMA). • 2012 hutan terjaga dan air melimpah.

Tabel-5. Pernyataan Dream dari tiap kelompok.

Semua kelompok berhasil merumuskan mimpi-mimpi mereka, yang dibatasi untuk 5 tahun ke depan. Meski proses berjalan agak lambat pada sesi ini, tapi peserta sudah berusaha mengerjakan dengan kemampuan terbaiknya. Sesi merumuskan pernyataan ini sekaligus menutup sesi hari kedua ini. Sesi malam akan diadakan untuk pembahasan selanjutnya. 28

Sesi malampun dimulai dengan aksi Fasilitator mengelompokkan mimpi peserta ke dalam beberapa kolom. Ada kolom yang bertuliskan IMPACT, OUTCOME, OUTPUT, KEGIATAN, & INPUT. Masing-masing kolom juga menunjukkan skala waktu, skala 5 tahun, 4 tahun, dan 3, 2, dan 1 tahun. Mimpi-mimpi tersebut dikelompokkan oleh Fasilitator, dan ada beberapa mimpi yang tidak masuk ke dalam kategori yang dibuat. Fasilitator kemudian menyamakan persepsi peserta mengenai istilah yang digunakan, dengan menampilkan gambar orang yang melempar batu ke dalam air.

Layaknya air meluber akibat batu yang dilemparkan ke genangan air, yang disebut Impact adalah dampak yang dirasakan karena suatu kegiatan/aktivitas, demikian paparan Fasilitator.

Berikut risalah penjelasan dari Fasilitator mengenai masing-masing elemen: 1. Impact. Adalah dampak yang terjadi akibat suatu kegiatan. Impact hanya akan terjadi jika ada Outcome yang cukup. Impact biasanya dapat kita lihat pada masyarakat luas. Pada ilustrasi orang melempar batu, Impact adalah melubernya air ke luar wadah. 2. Outcome. Adalah akibat langsung yang dirasakan dari sebuah kegiatan. Akibat langsung ini terjadi pada lingkungan di sekitar penerima manfaat dari kegiatan yang dilakukan. Dari ilustrasi Fasilitator, Outcome adalah air yang bergelombang karena terkena lemparan batu. 3. Output. Adalah hasil langsung, akibat dari kegiatan yang dilakukan. Biasanya Output dirasakan oleh, atau tampak dari penerima manfaat/peserta dari kegiatan. Dari ilustrasi Fasilitator, Output adalah cipratan air akibat batu yang dilemparkan dan mendarat di permukaan air pada wadah. 4. Activity. Adalah kegiatan, atau aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang. Biasanya staf program bersama penerima manfaat/partisipan. Sedangkan dari ilustrasi Fasilitator, Activity adalah kegiatan orang melemparkan batu ke arah air dalam wadah. 5. Input. Adalah sumberdaya yang dibutuhkan demi terlaksananya kegiatan. Berdasarkan contoh ilustrasi Fasilitator, maka Input yang dimaksud adalah batu, air beserta wadahnya, orang yang akan melempar, lokasi, dst.

29

Fasilitator kembali mengingatkan peserta mengenai pendekatan ABCD (a Value Based Community Development) yang sudah ditayangkan pada sesi sebelumnya. Fasilitator kemudian mengajak peserta untuk mengelompokkan kartu-kartu berisi mimpi, dengan mengajukan pertanyaan, “Provocative proposition mana yang benar-benar relevan? Apakah impian yang telah dibuat sudah relevan dengan nilai-nilai yang ditetapkan pada setiap tahapan desain program?”

Victor, Ely, dan Tuche, hanya duduk di tepi memperhatikan proses diskusi penempatan mimpi pada kerangka waktu yang ditetapkan.

Pada awalnya peserta sempat bingung, dan tidak tahu harus berbuat apa. Lalu beberapa orang mencoba menanggapi apa yang sedang terjadi. Tj mempertanyakan, kenapa mimpi ini kemudian digolongkan berdasarkan pembagian waktu, karena secara kontekstual, mimpi-mimpi itu dapat dicapai pada kurun waktu yang mana saja, tergantung si pembuat mimpi. Yang terjadi saat itu adalah banyak sekali mimpi, dan mimpi-mimpi itu lintas geografis, isu, dan sektor. Sementara, proses yang berlangsung dalam lokakarya saat itu adalah mencoba menempatkan mimpi-mimpi sesuai jangka waktu yang ditentukan setelah mimpi dituliskan. Sami merasa ada kendala yang dihadapi ketika menyusun Dream ini justru karena kerangka fikir sudah terpola pada masalah-masalah yang diungkapkan pada tahap Discovery. Suasana mendadak ramai ketika Yuko dengan jujur mengungkapkan perasaannya. Pernyataan ini muncul ketika mimpi yang ditulis Yuko mengenai KPPMNT dianggap “tidak relevan” dengan pengelompokan yang ada. Marthen mencoba memberi tanggapan bahwa tidak ada yang salah, tetapi justru inilah proses belajar dengan menggunakan AI. Jika mimpi itu belum mendekati Dream yang sebenarnya, itupun baik. “Tidak ada yang salah!” tegasnya. Sependapat dengan Marthen, Ria juga menyatakan bahwa tidak ada mimpi yang salah, tetapi hanya masalah penempatan kartu dalam kurun waktu tertentu.

30

“Tadi kita diajak bermimpi, tetapi rasanya mimpi itu malah dipersalahkan...” !

- Yuko, KPMNT.

Sementara Eddie mengingatkan kembali, bahwa ini hanyalah sebuah latihan. Jika banyak mimpi berasal dari berbagai lembaga, justru itu mungkin bisa saling melengkapi sehingga ke depannya bisa menjadi mimpi bersama, dan banyak pihak yang menjadi pengendali. Rahadian turut menegaskan, “Andai saja kita berasal dari satu lembaga yang sama, maka Dream yang akan kita buat tentu tidak akan se-liar ini, sehingga tidak akan banyak perbedaan pandangan. Sementara, jika mimpi yang ada bisa merepresentasikan Mutis (posisi geografis yang lebih luas), maka mimpi-mimpi ini sebenarnya seperti mimpi kolaboratif.” Kemudian dicoba untuk menempatkan skala waktu yang lebih panjang, 20 tahun. Berdasarkan periode yang baru itu, beberapa kartu mimpi lalu dipindahkan sehingga kartu yang tadinya “tidak relevan” menjadi “tampak relevan.” Hingga sesi malam berakhir, untuk sementara diputuskan untuk melihat pembagian kartu mimpi berdasarkan kerangka waktu yang ada.

31

32

Benih itu mulai bersemi... Rekaman Proses Kegiatan Hari Ketiga Hari ketiga ini dimulai dengan permainan yang merefleksikan apa-apa yang mengesankan dalam dua hari lokakarya yang sudah berjalan. Peserta berdiri dalam lingkaran besar, kemudian berdasarkan spidol yang dilemparkan, si penerima spidol harus mengungkapkan pendapatnya. Tuche yang mendapat giliran pertama mengungkapkan bahwa yang mengesankan adalah belajar dan berpikir positif. Jhony merasa bahwa AI sudah dilaksanakan di lembaga, hanya saja selama ini tidak tahu itu namanya AI. Yang bikin pusing adalah ketika membuat Dream (redaksional untuk mimpi). Jhon Olla kemudian mengungkapkan bahwa pendekatan yang selama ini digunakan di lembaga selalu pendekatan masalah dan di sini belajar yang lain. Kemudian Dan, ia merasa bahwa pendekatan ini tidak boleh melihat masalah sebagai titik utama tetapi memulai dengan sesuatu yang sudah baik. Sementara Marten merasa mendapatkan pencerahan baru melalui pendekatan AI dalam tahapan program. Memulai kembali penyepakatan mimpi dalam kerangka waktu, Fasilitator meyampaikan tentang pendekatan Result-based Management (RBM), dimana fokus pengelolaan adalah pada hasil akibat & dampak. Orientasi pengembangan program jangan sampai terfokus pada kegiatannya, tetapi pada dampak yang diharapkan. Kegiatan hanyalah cara untuk mencapai dampak yang diinginkan. Kemudian bersama-sama peserta, kartukartu mimpi kembali disusun, dan ditempatkan dalam kerangka waktu. Akhirnya semua sepakat bahwa kurun waktu yang digunakan paling lama 5 tahun. Berikut hasil dari penempatan kembali kartu-kartu mimpi dalam kerangka waktu:

Output (1-3 tahun)



Punya bangunan sederhana tempat belajar yang kami bangun sendiri.



Kami mampu mengembangkan kurikulum sendiri.



Kami punya media-media pembelajaran kreatif dan semua orang memiliki kebebasan untuk belajar apapun.



Pengalaman hidup warga belajar kami mayakini hakekat pembelajaran adalah pertukaran pengalaman hidup. Pertukaran pengalaman hidup itu kami maju dan menggali sumur pengalaman lebih dalam.

Outcome (4 tahun)



Memiliki sekolah yang bisa diakses semua orang (kurikulum).



Pertemuan-pertemuan selalu dinamis padat perdebatan kritis dan sangat demokratis.

• •

Impact (5 tahun)



2012 semua anggota kelompok mempunyai rumah tinggal permanen.



Proses belajar tidak dibatasi ruang, mereka bisa belajar dari siapa saja.

Pelayanan kesehatan merata dan terjangkau oleh seluruh masyarakat.



Keberhasilan dalam mengembangkan kebun tetap didokumentasikan dengan baik di tingkat desa dan jadi bahan belajar bagi semua.

Ada peningkatan pendapatan karena ada inisiatif dari masyarakat untuk memperjuangkan kepentingan bersama sehingga bisa tersenyum bahagia.



2012 hutan terjaga dan air melimpah.

33

Output (1-3 tahun)

Outcome (4 tahun)



Komunitas belajar bangga mendiskusikan nilai-nilai lokal dan mengembangkannya sebagai sumber belajar masa depan.



Semua warga belajar baru yang menjadi dampingan mempunyai lahan garapan yang tetap sehingga mandiri.





KPMNT menjadi simpul kolaborasi antar LSM, pemerintah, dunia usaha dan perusahan dalam program pengembangan masyarakat di NTT.

Impact (5 tahun)



Kecamatan kami (Nekmese) menjadi lumbung pangan kota kupang.



2012 pendidikan gratis bagi semua usia anak sekolah.



Sebanyak 75% petani penggerak mampu menduduki jabatan kepala desa dan BPD di desa-desa dampingan.



Sumberdaya alam di seluruh dampingan dapat dikelola secara berkelanjutan sesuai dengan nilainilai adat setempat.

2012 ada kemandirian kelompok dalam membuat perencanaan kegiatan sendiri tanpa pendampingan yang intensif.

Tabel-6. Penyepakatan mimpi dalam kerangka waktu.

Elly kemudian bertanya, “Apakah output dan outcome dapat menjawab jangka pendek dan menengah?” Menurut Fasilitator, istilahnya memang tampak berbeda, tetapi istilah Output dapat saja disebut sebagai capaian jangka pendek, dan Outcome sebagai capaian jangka menengah. Tetapi yang penting fokus pada hasil dan dampak. Menurut Marthen, yang penting referensi dan argumentasi dari cita-cita itu ditempatkan dimana. Pernyataan ini dikuatkan juga oleh Fasilitator yang menyatakan bahwa memang sebaiknya ada proses klarifikasi dari masing-masing kartu. Ada banyak sekali kartu, dan ketika dituliskan mungkin ada konteks yang tidak tercantum secara eksplisit. Sementara Victor mengungkapkan bahwa pada saat membuat mimpi tidak diberi arahan dalam bentuk tahapan-tahapan sehingga ketika disuruh membuat mimpi, yang terbayang adalah Impact. Menanggapi pertanyaan Sami tentang kriteria mimpi yang provokatif, Fasilitator menjelaskan bahwa provokatif tergantung sekali dengan konteksnya. Intinya, situasi perubahan seperti apa yang akan dicapai? Marten menanggapi juga bahwa provokatif itu kata yang memiliki daya untuk mendorong orang. Sedangkan mengenai kaitan potensi dengan proses membangun mimpi, Fasilitator menyatakan bahwa biasanya mimpi dibangun setelah melihat beberapa potensi, meski demikian bisa juga sebaliknya. Yang terpenting adalah mengapresiasi pada hal yang ada dulu. Istirahat pagi sekaligus menutup sesi pertama, sehingga diskusi akan dilanjutkan lagi setelah istirahat. Masuk kembali di ruangan, peserta kini sudah memiliki mimpi yang dikelompokkan. Fasilitator memandu peserta mengurutkan kartu mimpi pada kolom Outcome, dan didapatkan sebuah urutan yang dianggap paling logis berdasarkan capaian yang ingin ditentukan. Dari urutan itu kemudian Fasilitator menggabungkannya & merumuskan sebuah pernyataan provokatif:

34

“Proses Pembelajaran Kelompok Begitu Mengagumkan: Mereka belajar dari siapa saja dan dengan bangga mereka mengembangkan sumber-sumber belajarnya dari nilai-nilai lokal. Pertemuanpertemuan mereka mencerminkan kedewasaan budaya belajar yang ada. Hasil pembelajaran mereka terdokumentasi begitu baik sehingga parapihak dapat belajar dari mereka. Bahkan mereka punya kurikulum yang dapat diakses siapapun.” Tahap III: Design Setelah selesai dengan pernyataan provokatif, lokakarya kemudian dilanjutkan merancang rencana aksi untuk mencapai mimpi tersebut. Tahapan Design, merupakan tahapan merancang kegiatan, apa saja yang harus dilakukan demi mencapai mimpi bersama. Apa strategi dan proses pendekatan yang akan dirancang agar menjamin peningkatan proses-proses pembelajaran kelompok. Karena ada beberapa mimpi yang dihasikan kelompok, maka diputuskan untuk mencoba merancang kegiatan untuk satu mimpi saja. Mimpi yang dipilih adalah pernyataan mimpi yang sudah dirumuskan berdasarkan beberapa mimpi yang berkaitan. Untuk menghemat waktu, peserta tidak dikelompokkan, tetapi bekerja dalam diskusi pleno untuk merancang kegiatan yang mungkin dilakukan. Menggunakan pendekatan logical framework (Impact, Outcome, Output, Activity, & Input), Fasilitator lalu memandu peserta bekerja dengan disain program. Mimpi yang digunakan sebagai bahan merancang merupakan Outcome, sehingga tinggal menentukan Output dan bentuk kegiatannya. Setelah diidentifikasi, Output yang dibutuhkan adalah: 1. Mereka mau dan terampil menggali pengalaman-pengalaman hidup. 2. Mereka tahu dan bisa mengembangkan kurikulum. 3. 20% dari mereka bisa mengembangkan dan punya media-media pembelajaran kreatif. 4. Mampu memfasilitasi pertemuan dan diskusi yang partisipatif. 5. Mampu mendokumentasikan pengalaman-pengalaman belajar mereka. 6. Mereka mampu mengkomunikasikan pengalaman dan hasil belajar mereka pada para pihak. 7. Mereka mampu mengidentifikasi dan meletakkan pengelolaan sumberdaya atas nilainilai lokal. Sebagai bahan latihan dalam lokakarya ini, tidak semua Output yang akan diuraikan ke dalam kegiatan-kegiatan. Fasilitator kemudian menawarkan kepada peserta, dan akhirnya Output nomor 1 & 4 yang akan diuraikan menjadi kegiatan. Yang terpenting, peserta sudah memahami cara kerja pendekatan logical frame ini dalam merancang kegiatan dalam tahapan Design. Berikut hasil diskusi pleno peserta:

35

Outcome “Proses Pembelajaran Kelompok Begitu Mengagumkan: Mereka belajar dari siapa saja dan dengan bangga mereka mengembangkan sumber-sumber belajarnya dari nilainilai lokal. Pertemuan-pertemuan mereka mencerminkan kedewasaan budaya belajar yang ada. Hasil pembelajaran mereka terdokumentasi begitu baik sehingga parapihak dapat belajar dari mereka. Bahkan mereka punya kurikulum yang dapat diakses siapapun.”

Output Mereka mau dan terampil menggali pengalaman-pengalaman hidup.

Mampu mendokumentasikan pengalaman-pengalaman belajar mereka.

Kegiatan



Pelatihan bagaimana mendengarkan dan POD.

• •

Diskusi kelompok.



Pelatihan tentang bagaimana menulis.



Pendampingan pendokumentasian hasil kegiatan dan succes story.



Ada perlombaan menulis pengalaman hidup.

Kunjungan silang antar kelompok belajar.

Tabel-7. Hasil latihan merancang kegiatan dalam tahap Design.

Setelah berhasil merancang contoh disain program, Fasilitator mengingatkan peserta untuk membuat analisa resiko, maksudnya agar sesuatu hal yang akan membawa resiko

Dampak

terhadap keberlangsungan rencana dapat diantisipasi sedini mungkin.

Kecenderungan Matriks Analisa Resiko

Analisa resiko ini menggunakan dua komponen, yaitu Dampak dan Kecenderungan. Dampak, adalah suatu peristiwa/situasi yang mempengaruhi pencapaian mimpi/visi/citacita. Semakin grafiknya ke atas, artinya dampak dari situasi tersebut semakin membahayakan pencapaian mimpi. Komponen selanjutnya adalah Kecenderungan, yaitu seberapa tinggi kecenderungan terjadinya suatu peristiwa/situasi di masa datang. Semakin 36

Contoh Kasus Pada tahun 2009 Indonesia akan melakukan Pemilu, dan sudah terlihat indikasi bahwa pemenangnya adalah partai yang anti demokrasi. Partai itu berpeluang menang karena sanggup menyediakan dana yang sangat besar untuk membeli suara rakyat. Melihat situasi ini, maka dapat ditetapkan bahwa akan ada perubahan dalam sistem demokratisasi di Indonesia, dan kecenderungan terwujudnya situasi tersebut tinggi. Jika perubahan pada sistem demokratisasi di Indonesia akan membahayakan pencapaian mimpi organisasi/kelompok kita, bahkan akan membubarkan organisasi-organisasi rakyat, maka dapat ditetapkan bahwa perubahan situasi tersebut berdampak sangat besar. Sangat disarankan untuk segera mengambil tindakan yang perlu, untuk mengantisipasi terjadinya situasi tersebut.

letaknya ke arah kanan, artinya kecenderungan terjadinya sangat tinggi, atau hampir pasti terjadi. Rekomendasi dari analisa ini adalah, jika dampaknya cukup besar terhadap pencapaian mimpi, dan kecenderungan terjadinya cukup tinggi (gambaran analisanya seperti pada Matriks Analisa Resiko), disarankan untuk segera mengambil tindakan yang perlu untuk mengantisipasi. Sedangkan jika situasinya di luar kotak yang diarsir tebal, maka situasi tersebut dapat diabaikan, atau mengambil tindakan seperlunya saja. Dalam diskusi terungkap bahwa biasanya analisa resiko ini dilakukan pada tahap Outcome, karena sebelumnya potensi sudah dianalisa. Tetapi akan baik juga jika dilakukan pada tahapan Impact. Situasi atau peristiwa yang mungkin terjadi, bisa bermacammacam bentuknya. Misalnya terjadi pergolakan politik di tingkat lokal maupun global, pergantian kekuasaan, dll. Sedangkan resiko bencana alam, jika sulit diprediksi, seperti gempa bumi, tidak perlu dianalisa. Tetapi bencana alam yang bisa diprediksi, seperti banjir tahunan, dapat dianalisa lebih lanjut.

Tahap IV: Delivery Selesai dengan analisa resiko, maka tahapan Design sudah selesai. Kini, pada tahapan Delivery, adalah memulai bekerja. Pada tahap ini tidak ada pembahasan, karena pada dasarnya adalah tahap implementasi. Memobilisasi sumberdaya, meyakinkan orang-orang, dan seterusnya. Daur akan kembali ke tahap Discovery, dan menggali lagi hal-hal yang sudah baik, dan dikembangkan menjadi lebih baik lagi. Terutama tentang nilai-nilai/pondasi yang sudah ditemukan pada awal proses, apakah pondasi itu terus berkembang dalam perjalanan program? Pada saat implementasi program ini penting untuk mengapresiasi pondasi-pondasi yang sudah ada. Sangat baik jika bisa tumbuh dan berkembang, tetapi lebih baik lagi jika pondasi itu semakin kaya dengan pemaknaan baru. Perlu diingat, kebenaran adalah soal kesepakatan, dan dialog antar manusia adalah kuncinya! Fasilitator kemudian mengingatkan kepada peserta mengenai dua hal; 1. Lihatlah diri & dunia Anda dengan pikiran baru! 2. Teman-teman kantor Anda - Jadikan kelompok pengapresiasi! Selesailah sesi lokakarya pengenalan Appreciative Inquiry. Fasilitator kemudian menutup sesi dan menyerahkan kepada panitia.

37

Penutup Lokakarya Komentar & Pertanyaan Peserta Sesi penutupan diawali dengan curah pendapat dari peserta mengenai komentarkomentar, atau pandangan dari peserta mengenai materi lokakarya. Karena pada sesi awal banyak sekali pertanyaan yang masih “mengganjal”, pada kesempatan itu dibuka juga sesi tanya jawab melalui kartu-kartu metaplan. Peserta menuliskan pertanyaan atau komentarnya, dan sesi jawaban akan dilakukan setelah istirahat makan siang.

Kartu-kartu metaplan hasil komentar peserta.

Setelah masuk kembali, Tj membuka sesi jawaban dari panitia dan Fasilitator. Carlo memulai dengan menjawab beberapa pertanyaan tentang AI. Menurut Carlo, AI sebuah paradigma sama seperti problem solving, sebuah cara pandang atau perspektif. Kalau 38

problem solving berfokus kepada masalah dan akar masalah, tetapi AI lebih berfokus kepada apa yang sudah dicapai. Pada tingkat paradigma AI bisa dikembangkan oleh siapapun oleh setiap lembaga. Saat ini sedang dikembangkan bagaimana mengembangkan aset-aset yang terdapat di masyarakat. Monitoring dan evaluasi dalam AI sederhana saja, hanya menggunakan dua pertanyaan, (1) Apa yang sudah baik, dan (2) Apa yang dapat ditingkatkan. Secara prinsipil, evaluasi menyangkut nilai-nilai apa yang sudah dikembangkan. Mengenai rancangan program, AI dan PS tampaknya tidak bisa dipergunakan keduanya secara bersamaan. Meski demikian, keduanya memiliki konteks yang berbeda, jadi tidak ada yang lebih baik. “Jangan pernah menganggap bahwa selama ini organisasi Anda tidak appreciative. Saya kira kondisi ideal tidak ada. Walaupun tidak ideal, pasti ada hal-hal positif yang terdapat dalam masyarakat,” ujar Carlo memberi dukungan kepada peserta. Mengenai AI di Indonesia, Carlo melanjutkan bahwa AI sebenarnya sudah berkembang di Nusa Tenggara. Di NTT sudah berkembang pendekatan PRA, dan dalam Participatory Rural Appraisal (PRA), ada penekanan kepada appraisal-nya. Tentang cerita sukses yang sudah mengembangkan AI sebenarnya ada, tapi masalahnya adalah lembaga-lembaga profit. AI sendiri berkembang sejak tahun 1980-an. Pembahasan dilanjutkan dengan pertanyan mengenai tindak lanjut lokakarya ini. Tj menjelaskan bahwa SDMB memang sangat berminat, tetapi minat SDMB lebih kepada bagaimana AI dipergunakan pada tingkat masyarakat. Mungkin ada sedikit tantangan, karena teman-teman yang sudah bertahun-tahun dengan pendekatan PS, maka harus berhati-hati dalam penggunaan AI di tingkat lapangan. Lokakarya ini sengaja dirancang sebagai pengenalan. “Saya hanya bisa mengatakan, suatu saat nanti kami akan kesana kemudian mengajak teman-teman yang bersedia menggunakan metode AI di lapangan,” papar Tj.

“Kami ini memang bermaksud ‘mengganggu’ teman-teman, agar hal baru yang dipertimbangkan di masa depan...” !

- Tj - Nur Tjahjo, SDMB.

Menjawab pertanyaan lain mengenai kapan mendalami AI, Tj menanggapi bahwa SDMB belum merencanakan pelatihan seperti ini dalam waktu dekat. Apa yang dicita-

39

citakan oleh SDMB dengan pelatihan AI adalah memperkenalkan sebuah pendekatan yang berbeda kepada teman-teman di NTT agar “terganggu” dan mendapat pencerahan baru. Pertanyaan mengenai apakah AI adalah metode yang kompromistis, lalu ada apa dengan dan kemana arah aktivis, Carlo yang mencoba menanggapi, “Satu kata yang saya senang adalah idealisme. Ketika Orba berkuasa, kita punya idealisme, ketika reformasi idealisme turun. Kemudian seperti apakah gambaran negara ini 10 tahun ke depan. Dengan AI kita bisa membangun idealisme bersama untuk ke depan.” Tanggapan Carlo dilanjutkan oleh komentar dari Elly, bahwa memang benar perjuangan 98 hanya modal semangat, tetapi tidak pernah memikirkan apa yang harus kita buat. Elly mengajak semua bersama-sama melihat apa yang terjadi, dan bagaimana posisi kita saat ini. “Yang menjadi mimpi saya, bagaimana memperkuat masyarakat yang saya dampingi,” ujarnya menutup komentar. Menyoal masalah dana, tampaknya semua sepakat bahwa tidak harus dimulai dengan dana. Peserta lokakarya sudah memiliki wilayah dampingan masing-masing, dan bisa mulai menerapkan AI dari hal yang kecil, tanpa harus menunggu proposal dana. Banyak cerita sukses dimana masyarakat sebenarnya cukup berdaya dalam mengembangkan program untuk mereka. Apalagi AI sebagai pendekatan, dapat diintegrasikan dengan pendekatan PRA yang selama ini sudah berjalan. Proses mempelajari AI, sebagai rencana tindak lanjut juga mendapat perhatian peserta. Banyak usulan mengenai bagaimana antar peserta dapat berbagi pengalaman, misalnya melalui Buletin Lestari yang dikelola SDM Kupang, atau pertemuan-pertemuan informal di antara para fasilitator/pendamping lapangan. Jika ada lembaga yang mengujicoba penggunaan AI di lapangan, lembaga lain bisa diundang sebagai proses belajar bersama.

Rencana Tindak Lanjut Kemudian Tj melanjutkan dengan meminta peserta menuliskan pada kartu metaplan, untuk menjawab dua pertanyaan yang diajukan, setelah lokakarya ini, apa yang bisa anda lakukan pada (1) Diri anda sendiri? dan (2) Lembaga Anda? Pesertapun diberi kesempatan menuliskan jawaban untuk pertanyaan no. 1 pada kartu hijau, dan pada kartu merah untuk pertanyaan no. 2. Berikut rangkuman hasil jawaban peserta terhadap 2 pertanyaan di atas:

Untuk diri sendiri

40

Untuk Lembaga

Mencoba menerapkan metode AI dalam lingkungan keluarga

Mendokumentasikan pengalaman AI mitra

Mulai dari dalam diri sendiri

Publikasi penerapan AI mitra (melalui buletin, milis, website)

Sharing AI kepada sesama staf lembaga

Membawa ‘virus’ AI sebagai perspektif baru

Memperdalam AI melalui diskusi dan buku-buku

Sosialisasi & sharing AI di lembaga

Untuk diri sendiri

Untuk Lembaga

Membuat rencana tindak lanjut

Ujicoba penerapan AI di Nekmese, Kupang

Berpikir positif untuk mengembangkan diri dan keluarga

Mengumpulkan bahan bacaan tentang AI

Menerapkan konsep AI untuk diri sendiri

Merekomendasikan konsep AI kepada pengambil kebijakan di lembaga

‘Memprovokasi’ teman-teman di lembaga untuk menjalankan AI

Mengenalkan AI pada rapat-rapat lembaga

Mulai menerapkan manfaat dan tujuan AI

Meningkatkan AI yang sudah diterapkan di lembaga

Mengubah pola pikir

Mencoba menerapkan AI pada kegiatan/program lembaga

Pendampingan kelompok, membuat rencana kegiatan menggunakan metode AI

Mendiskusikan perencanaan program dengan metode AI

Menerapkan pendekatan AI mulai dari diri, keluarga, baru ke orang lain

Menggunakan pendekatan AI untuk evaluasi program

‘Memprovokasi’ teman-teman di lembaga untuk yakin bahwa lembaga mampu menerapkan AI di tingkat masyarakat

Membuat perencanaan program jangka pendek, menengah, dan panjang (MPP) dengan AI

Mengujicoba AI di lingkungan kerja sendiri

Memfasilitasi renstra desa dengan AI

Refleksi dan mendalami AI untuk diimplementasi

Menerapkan AI di desa dampingan

Menggunakan metode AI pada saat mendampingi masyarakat

Menggunakan perspektif AI dalam PRA & lokakarya 3 desa di Belu

Mengembangkan kegiatan pembelajaran kelompok tani di desa

Mengubah strategi advokasi di wilayah tambang

Menggali potensi diri, dan mewujudkan mimpi besar kelompok dampingan Introspeksi diri Tabel-8. Jawaban peserta terhadap rencana tindak lanjut pada diri sendiri, dan pada lembaga setelah lokakarya.

Sedangkan mengenai bentuk kegiatan seperti lokakarya AI, beberapa peserta beranggapan bahwa situasi yang cair, ada awal dan akhir yang jelas, merupakan kelebihan bentuk lokakarya ini. Tetapi masalah waktu dan lokasi, peserta merasa kalau lebih dekat dengan wilayah dampingan lebih baik, karena bisa ujicoba langsung ke lapangan. Lagipula dari sisi waktu bisa lebih longgar/panjang. Ada juga usulan dari peserta untuk melakukan kegiatan bersama di Belu atau Kefa. Peserta dari Belu menyarankan agar di Belu saja, karena selama ini rencana berkegiatan di Belu selalu dibatalkan.

41

Evaluasi Pelatihan Sesi terakhir sebelum lokakarya ditutup, Rahadian mengajak peserta untuk melakukan evaluasi kecil mengenai nilai-nilai yang ingin dikembangkan dalam lokakarya ini. Salah satu implementasi yang dicoba adalah penerapan Shadow Friend, atau teman bayangan. Dari hasil diskusi kecil beberapa hal menarik muncul, misalnya ada peserta yang tidak tahu siapa yang harus dibantunya, karena belum kenal betul dengan semua peserta. Ada juga yang sudah mencoba membantu, tetapi ketika dikonfirmasi, si penerima bantuan ‘kurang’ merasa dibantu. Eddie, yang juga baru tahu siapa teman yang harus dibantunya, serta merta menyerahkan microphone kepada teman yang harus dibantunya, Dan Daud, dan menyatakan kali ini ia berusaha membantu Dan supaya turut berbicara menyumbangkan pendapat. Untuk tiga nilai yang sepakat akan dikembangkan dalam lokakarya ini, Rahadian memberi dot sticker kepada peserta, dan diminta mengisi di masing-masing kolom. Hanya ada dua kolom yang disediakan, yaitu kolom (+) dan (++). Kolom (+) jika menurut peserta pengembangan nilai-nilai ini belum maksimal, dan kolom (++) jika menurut peserta pengembangan nilai-nilai tersebut sudah dianggap cukup baik.

Seluruh peserta lokakarya berbondong-bondong menempelkan dot stiker pada papan.

Berikut hasil penilaian peserta terhadap pengembangan nilai-nilai yang disepakati dalam lokakarya:

42

Penilaian peserta terhadap pengembangan nilai-nilai yang disepakati dalam lokakarya.

Kemudian evaluasi lokakarya dari sisi penyampaian, materi, panitia, dan akomodasi. Secara umum materi memang masih baru, dan sebagai sebuah paradigma cukup ‘kontroversial’ bagi peserta. Tetapi respon dari peserta cukup baik, materi dapat dipahami bahkan ada yang menyatakan cukup menyadarkan dalam hidup. Sedangkan kelemahan yang paling menonjol dari sisi akomodasi adalah makanan yang terlalu manis, sehingga kurang cocok dengan kebiasaan peserta dari Timor. Berikut hasil evaluasi peserta dalam bentuk kartu-kartu metaplan.

43

Hasil evaluasi lokakarya dalam 4 komponen, materi, penyampaian, panitia, & akomodasi.

44

Demikianlah, lokakarya inipun berakhir. Semangat kebersamaan yang tinggi telah membantu proses sehingga bisa saling memperkaya pengetahuan, dan memperluas pandangan. Harapan pada Nusa Tenggara yang lebih baik, semoga semakin tampak jelas menggetarkan. Eddie yang menutup kegiatan ini, mengutip lagu kenangan indah Yuko semasa kecil, Otobis, dan menyatakan betapa hal-hal yang bersifat dramatis, mengharukan, dan membahagiakan selalu akan tetap diingat. Begitupun AI, semoga dapat mendorong energi baru dalam kerja pengembangan masyarakat di Nusa Tenggara, khususnya Timor. “Otobis... otobis... Diapung nama medali Tiba di Mutis, langsung buka tep Kadis tum-tum... Kadis tum-tum...”

Seluruh peserta, panitia, dan fasilitator didaulat foto bersama untuk kenang-kenangan. “Otobis... otobis...,” beberapa peserta masih menyanyikan lagu Yuko yang tulus itu.

45

46

Lampiran-1 Kisah nyata dari Lakota, New Mexico Rosemary Willson adalah seorang penerbit yang cukup terkenal. Ia telah bercerai 3 tahun yang lalu, dan sekarang ia menjadi single parent bagi anaknya yang berumur sebelas tahun – Joel seorang anak laki-laki. Disamping upaya Rosemary memberikan sebaik mungkin kebutuhan material dan emosional sang anak, Joel tampaknya memiliki masa sulit dalam masa pertumbuhannya sebagai anak yang kesepian dengan single parent. Sudah cukup lama ia memiliki masalah tingkah laku di sekolah. Ia menjadi pemberontak, marah, dan semakin menjadi-jadi jika perilakunya disinggung di rumah. Joel juga tidak pernah menunjukkan empati-nya terhadap pengasuhnya – Ibu Joane. Meskipun ibu ini cukup terlatih dan telah melakukan banyak hal untuk memenangkan hati dan perhatian anak ini. Rosemary memutuskan bahwa waktunya untuk melakukan tindakan secara serius dan sistamatis. Rosemery meminta Joane mencari dan mendaftar beberapa perilaku Joel. Dan memastikan untuk bertanya kepada gurunya – bagaimana Joel seharian berperilaku – pada saat menjemput Joel di sekolah. “Dia harus mulai belajar,” kata Rosemary. “Melalui daftar ini, saya akan mendekati Joel – pelan-pelan, metodologis, mendalam dan menjelaskan kepada Joel bahwa apa yang dilakukannya adalah tidak baik dan salah”. Percayalah kita akan melihat ada perkembangan. Dia adalah anak yang pintar dan cerdas untuk seusianya; dia hanya perlu ditunjukkan dan dipandu secara konsisten apa yang harus dilakukan. Tatkala dia melihatnya – dan memastikan kita bersamanya – dia akan berubah…” Tingkah laku Joel tidak menunjukkan perubahan pada perbaikan; bahkan dalam beberapa hal menjadi memburuk – sejak diterapkannya regime daftar-dan menunjukkan daftar. Dua ribu mile kearah Selatan, sebuah desa kecil yakni Lakota di New Mexico juga memiliki seorang anak yang seusia Joel – yang sama perilakunya. Dia sering terlihat merusak mobil-mobil orang diparkiran depan sebuah minimarket. Tatkala ia diingkatkan, tingkah lakunya juga semakin menjadi-jadi dan memberontak terhadap orang tuanya. Seluruh kerabat – sukunya – diminta kumpul pada suatu sore – duduk membetuk lingkaran. Paman dari anak ini mengajak sang anak maju dan duduk ditengah-tengah lingkaran. Tiga orang pemuda tampak ikut duduk disamping sang paman. Sang Paman mulai berbicara: “Engkau adalah anak kami yang pertama lahir. Anak yang bagitu berharga bagi kami. Saat pertama kali terasa engkau di rahim ibumu mulai menendang-nendang perutnya – ibumu begitu bersukacita. Waktu itu ayah dan ibumu lari-lari dari rumah ke rumah– memberi tahu kami semua bahwa kamu hidup!! Demikian indahnya…Saat kau lahir dengan tangisan yang bagitu kuat – sampai terdengar ratusan meter – radio tetangga berhenti dan 47

mereka berhamburan ingin melihatmu. Ah.. betapa bangganya bapakmua dan ibumu – dan kami semua waktu itu….. (sang paman seperti menerawang ke masa lalu nya yang indah) seperti nya ia mau berhenti. Tetapi tidak bisa – ia cerita lagi “Waktu kau mulai belajar berjalan !!! terjatuh direrumputan lembut dan melihat wajahmu yang terkejut bingung – kami semua tertawa… Terus sang paman bercerita, mengingat masa indah, ia terus membagikan memorimemori terbaiknya mengenai anak kecil ini. Tidak ada kritikan yang terungkapkan. Sang paman terus mengingatkan anak muda yang kecil ini tentang keberartian hidupnya bagi seluruh keluarga, suku dan masyarakat disekitar; segala kebahagiaan dan canda yang telah ia bawa; segala sukacita yang tercipta dalam suku karena kahadirannya. Saat sang paman selesai. Seorang bapak (abang dari sang paman) maju dan diikuti sang kakek. Langit mulai redup dan gelap, bintang-bintang mulai kelihatan di langit. Malam pelan-pelan berlalu tetapi belum menjelang tengah malam, sebelum mereka menutup ceritanya. Setelah mereka, sang ibu bercerita, dengan nada yang rendah hati, lembut dalam nada – walau terlihat sesekali raut beban bekerja dan menabung untuk sekolah sang anak – tetapi cepat hilang karena bahasa yang terungkap berisi kebaikan dan hasrat merawat dalam kebahagiaan… Akhirnya, kepala suku mulai berbicara. Ia menyimpulkan segala hal yang telah dikatakan. Ia berbicara pelan..dengan beberapa kali terhenti..karna ia mencari cara yang paling dalam untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan. Temanya sama, dan tidak berubah: Kebanggaan dan kebahagiaan yang dibawa anak muda kecil ini kepada seluruh desa Lakota; kepada orang yang sekarang hidup, yang telah pergi merantau dan kepada mereka yang belum terlahir. Sama seperti yang sebelumnya, ia tidak menyinggung kebrutalan dan perusakan yang telah dilakukan anak ini, rasa malu, kemarahan dan kebodohan. Semua itu dibiarkan, tidak ingin dikatakan dan apalagi ditunjukkan. Berulang-ulang bahasa dan ekspresi yang muncul adalah betapa anak ini adalah hadiah yang indah bagi segenap orang, harta berharga yang tak terkatakan. Tatkala orang tua ini selesai, ia memberi tanda kecil. Lingkaran orang-orang itu tetap tidak bergerak, seperti tetap teringat sesuatu sambil melihat anak muda kecil ini. Pelan-pelan lingkaran itu undur di ruang malam yang mulai semakin gelap…tetapi bintang memberi ruang lain untuk menampung cahanya… Anak muda kecil mana yang memiliki kesempatan terbaik untuk transformasi diri…??? Apakah yang kesalahannya terkatalog dan di review setiap hari? Atau anak muda yang secara ritual diyakinkan tempatnya dihati kerabat dan masyarakatnya? Tatkala anda melihat kontras cerita ini……….ITULAH BEDA PENDEKATAN APPRECIATIVE INQUIRY.

48

Lampiran-2 Kisah Sekelompok Katak Kecil

49

50

51

52

Lampiran-3 Pikiran yang Terkondisi - Permainan

53

54

55

56

Lampiran-4 Daftar Peserta Lokakarya No

Nama

Asal Lembaga

Alamat Kontak

Telepon

Email

1

Yulius Kono

KPMNT

Jl. Ade Irma (SDMK) – Kupang

081339003360

2

Mecky Wenyi Rohi

Lentera - CIDEC

Jl. Tugu Kirab Remaja 081339398437 Motabuik-Atambua-Belu

3

Krispinus

Gasingmas

Jl. Shoping centerbelakang Pasar Oebobo – Kupang

(0380) 8555151 [email protected] 081339417527 [email protected]

4

Yos Pati Bean

YKBH - Justitia

Jl. Eltari II Gang Akper No. 1 Liliba – Kupang

08124674039

5

Marten Duan

YTM – Kefa

Jl. Kartini Box 116

085253228100 biinmaff[email protected]

6

Victor Manbait

Lakmas

Jl. A. Yani – Fatuteke-Kefa 085228048248 [email protected]

7

Eman Nurak

PPSE – KA ATB

Jl. Maromakoan Atambua

8

Blasius Manek

Alumni Pelatihan Media

Jl. Timtim Km. 12 Lasiana 085253239431

9

Marthen Son Tnaob

[email protected] Yayasan An Feot Jl. Cengkeh Kenari – Kefa (0380) 31762 Ana (YAFA) Tengah Po.Box:130 085239410226

081339006918 [email protected]

10 Rita Kefi

SDM Kupang

Jl. Ade Irma II No. 30 A Walikota Baru – Kupang

081339332012

11 Nelson Riberu

SDM Kupang

Jl. Ade Irma II No. 30 A Walikota Baru – Kupang

085239131032

12 Erny Meyok

JARPUK

Jl. Tim Tim No. 42 Camplong - Kupang

085253032265

13 Lorens Djami

KSM

Jl. Tim Tim No. 42 Camplong - Kupang

085239166103

14 Dan Daud Taneo

Yayasan Pancaran Kasih (YPK)

Jl. Ki Hajar Dewantara No. 26 Soe - TTS

085239151783

15 Tuche / Eliswinfried Kitu

Yayasan Pancaran Kasih (YPK)

Jl. Ki Hajar Dewantara No. 26 Soe - TTS

(0380) 21272

16 Evaldina Pai

Gasingmas

Jl. Shoping centerbelakang Pasar Oebobo – Kupang

(0380) 8555151

Pendamping kelompok Tani

Dusun Harekain

081393226122

18 Novemris Tefa

JARMUT – Fatumnasi

Desa Fatumnasi – TTS

085253311828

19 D’Carlo Purba (Fasilitator)

Yabima – Lampung

Jl. Yos Sudarso 15 Polos Kodya Metro - Lampung

(0725) 42872

17 Fidelis Kehi

081339211937

081339001019

Desa Builaran

[email protected]

085669771322

57

No

Nama

Asal Lembaga

Telepon

20 James Tahun

Yayasan Bahana Jl. Hayamwuruk No. 56 Mandiri B2 Soe - TTS

081339289093

21 Rembrand Ludji Haba

YAO

Jl. Timor Raya – Tarus – Kupang KM. 13

081339339603

22 Jhony Manek

YMTM – TTU Kefamenanu

Jl. Basuki Rahmat

085253394954

23 Eldy Diaz

SDM Kupang

Jl. Ade Irma II No. 30 A Walikota Baru – Kupang

085239377293

Jl. Oelan III No. 27 Sikumana – Kupang

081339406889

24 Junus B. Loelan YAO 25 Samuel Sanam LBH Timor

58

Alamat Kontak

26 Elly Neonufa

PIAR NTT

27 Robert Ikun

YKBH - Justitia

28 John Olla

LBH Timor

Email

More Documents from "rahadian p. paramita"