BAB I KARAKTERISTIK DEMOGRAFI KELUARGA
Alamat lengkap
: Kebonromo 005/001 Ngrampal Sragen
Bentuk Keluarga
: Nuclear Family
Tabel 1.1. Daftar anggota keluargayang tinggal dalam satu rumah No
Nama
Kedudukan
L/P
Umur
1.
Tn. S
Kepala Keluarga
L
65
2.
Ny. S
Anggota(istri)
P
61
3.
Tn. A
Anggota (anak)
L
4.
Tn. J
Anggota (anak)
L
5.
Tn. D
Anggota (anak)
L
Pendidikan Tidak tamat SD SD
Pekerjaan
Ket
Buruh tani
TB Paru
Buruh
-
Tidak tinggal 1 rumah Tidak tinggal 33 SMP 1 rumah Tidak Buruh 30 SMA tinggal 1 Bangunan rumah (Sumber: Data Primer, Desember 2015). 35
SMP
Buruh Pabrik Buruh Pabrik
Kesimpulan : Keluarga Tn. S termasuk ke dalam nuclear family.Tn. S berstatus sebagai seorang suami dan kepala keluarga. Tn. S mempunyai 3 orang anak. Ketiga orang anak pasien telah berkeluarga dan mempunyai tempat tinggal
yang berbeda dengan
pasien.
Namun,Tn. S masih rutin dikunjungi dan ditelpon oleh ketiga anaknya.
1
BAB II STATUS PASIEN
A. PENDAHULUAN Laporan ini dibuat berdasarkan kasus seorang laki-laki 65 tahun dengan diagnosis tuberkulosis paru. Pasien tinggal di wilayah kerja Puskesmas Ngrampal Kabupaten Sragen.
B. IDENTITAS PASIEN Nama
: Tn. Suroto Winarno (65 tahun)
Jenis kelamin
: Laki-laki
Pendidikan
: Tidak tamat SD
Pekerjaan
: Buruh tani
Agama
: Islam
Alamat
: Kebonromo 005/001 Ngrampal Sragen
Tanggalperiksa
: 15 Desember 2015
C. ANAMNESIS 1.
Keluhan Utama
: Batuk berdarah
2.
RiwayatPenyakitSekarang
:
Pasien mengeluh batuk sejak tiga bulan yang lalu. Batuk dirasakan terus menerus sepanjang hari. Keluhan batuk disertai dengan dahak berwarna kekuningan dan agak kental. Pasien juga mengeluhkan batuk darah sekitar ± ¼ gelas belimbing setiap hari. Batuk tidak berkurang dengan meminum obat batuk yang dibeli di warung dan bertambah parah ketika malam hari. Selain itu, pasien juga mengeluhkan sesak nafas yang hilang timbul terutama ketika batuk terus menerus. Sesak nafas berkurang dengan istirahat. Sehari-hari pasien tidur menggunakan 1 bantal. Pasien mengalami penurunan nafsu makan dan juga penurunan berat badan. Berat badan pasien turun ± 7 kg dalam waktu 3 bulan. Pasien juga mengeluhkan sering berkeringat saat malam hari dan demam sumer2
sumer. Selain itu, pasien juga mengeluhkan badan sering terasa lemas dan mudah lelah. Pasien kadang-kadang juga merasakan sakit kepala. Keluhan dirasakan berkurang dengan istirahat. Pasien kemudian memeriksakan diri ke Puskesmas Ngrampal dengan keluhan masih didapatkan batuk yang berdahak warna kuning agak kental dan kadang bercampur dengan darah. Keluhan sesak nafas sudah berkurang, namun nafsu makan pasien masih menurun. Pasien masih merasakan keluar keringat dingin saat malam hari dan disertai demam yang tidak terlalu tinggi. Pasien mengatakan bahwa tetangganya juga ada yang mengalami keluhan batuk yang lama seperti pasien. Namun, pasien tidak mengetahui penyakit yang diderita oleh tetangga pasien. Oleh petugas puskesmas, pasien dilakukan pemeriksaan dahak 2 kali dan dinyatakan menderita TB Paru BTA (+). Istri pasien yang tinggal satu rumah juga melakukan pemeriksaan sputum BTA dengan hasil negatif. Kemudian pasien menjalani pengobatan rutin untuk penyakit TB nya selama 3 bulan. Pasien setelah pengobatan selama 2 bulan melakukan pemeriksaan sputum BTA kembali dan didapatkan hasil negatif. Pasien saat ini masih merasa khawatir kalau penyakit yang dideritanya bisa menular ke istri atau bahkan tetangganya. Sehingga pasien membatasi dirinya dalam mengikuti kegiatan kemasyarakatan seperti pengajian dan kerja bakti. Pasien sekarang ingin agar dirinya bisa sembuh dan menjadi sehat seperti sebelumnya. Ditambah dukungan dari istrinya yang selalu menyemangati dan menemaninya dalam sehari-hari, pasien menjadi semangat untuk menjalani pengobatan.
3.
Riwayat Penyakit Dahulu
:
a. Riwayat sakit tekanan darah tinggi
: disangkal
b. Riwayat sakit gula
: disangkal
c. Riwayat sakit asma
: disangkal
d. Riwayat sakit jantung
: disangkal 3
e. Riwayat keluhan serupa 4.
5.
: disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga a. Riwayat keluhan serupa
: disangkal
b. Riwayat sakit asma
: disangkal
c. Riwayat sakit jantung
: disangkal
d. Riwayat tekanan darah tinggi
: disangkal
e. Riwayat sakit gula
: disangkal
Riwayat Kebiasaan a. Riwayat minum jamu
:disangkal
b. Riwayat makan-makanan ringan
: pasien sangat jarang mengonsumsi makanan ringan
c. Riwayat olahraga
:jarang
d. Riwayat merokok
: (+) sejak ± 30 tahun yang lalu, ½ - 1 bungkus perhari
6.
Riwayat Gizi Pasien makan 2-3 kali sehari. Pasien makan nasi dengan tahu atau teme ditambah dengan sayuran seperti bayam, daun singkong atau kangkung. Jarang makan telur, ikan, daging sapi atau ayam. Pasien jarang makan buah-buahan. Pasien tidak memiliki alergi atau pantangan makanan.
7.
Riwayat Sosial Ekonomi Pasien bekerja sebagai buruh tani dan tidak setiap hari bekerja. Pasien memiliki penghasilan tidak menentu ± Rp. 200.000 – Rp. 500. 000 perbulan. Pasien terdaftar sebagai peserta Jamkesda Kabupaten Sragen, Saraswati Melati. Pasien jarang mengikuti kegiatan-kegiatan sosial di lingkungan RT seperti pengajian.
D. ANAMNESIS SISTEM 1.
Keluhan utama
: Batuk berdarah
2.
Kulit
: Kering (-), pucat (-), menebal (-), gatal (-), bercakbercak kuning (-), kuning (-)
3.
Kepala
: Pusing (-), nggliyer (-), kepala terasa berat (-), 4
perasaan berputar-putar (-), nyeri kepala (-), rambut mudah rontok (-) 4.
Mata
: Mata berkunang (-/-), pandangan kabur(-/-), gatal (-/-), mata kuning (-/-), mata merah (-/-)
5.
Hidung
: Tersumbat (-), keluar darah (-), keluar lendir atau air berlebihan (-), gatal (-)
6.
Telinga
: Telinga berdenging (-/-), pendengaran berkurang (-/-), keluar cairan atau darah (-/-)
7.
Mulut
: Bibir kering (-), gusi mudah berdarah (-), sariawan (-), gigi mudah goyah (-)
8.
Tenggorokan
: Rasa kering dan gatal (-), nyeri untuk menelan (-), sakit tenggorokan (-), suara serak (-)
9.
Sistem respirasi
: Sesak nafas (-),batuk (+), dahak (+), darah (+), nyeri dada (-), mengi (-)
10. Sistem kardiovaskuler : Nyeri dada (-), terasa ada yang menekan (-), sering pingsan (-), berdebar-debar (-), keringat dingin (-),bangun malam karena sesak nafas (-) 11. Sistem gastrointestinal : Diare (-),perut mrongkol (-),mual (-), muntah (-), nafsu makan berkurang (+), nyeri ulu hati (-), BAB seperti petis (-), BAB cair (-), lendir darah (-),rasa penuh di perut (-), cepat kenyang (-), sulit BAB (-), nyeri perut setelah makan (-), berat badan menurun progresif (-) 12. Sistem muskuloskeletal : Lemas (-), leher kaku(-), kaku sendi (-), nyeri sendi (-), bengkak sendi (-), nyeri otot (-), kaku otot (-), kejang (-) 13. Sistem genitourinaria : BAK 4 kali/hari @¼-½ gelas belimbing, warna kuning (+), nyeri saat BAK (-), panas saat BAK (-), sering buang air kecil (-),BAK berbusa (-), BAK darah (-), nanah (-), anyang-anyangan (-), sering menahan kencing (-), rasa pegal di pinggang (-), rasa gatal pada alat kelamin (-). 5
14. Ekstremitas Atas
: Ujung jari keriput (-/-), bengkak (-/-), lemah (-/-), luka (-/-), kesemutan (-/-), tremor (-/-), ujung jari terasa dingin (-/-), nyeri (-/-), lebam kulit (-/-)
Bawah
: Ujung jari keriput (-/-), bengkak (-/-), lemah (-/-), luka (-/-), kesemutan (-/-), tremor (-/-), ujung jari terasa dingin (-/-), nyeri (-/-), lebam kulit (-/-)
E. PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 15 Desember 2015: 1.
Keadaan Umum Kesadaran compos mentis, gizi kesan cukup.
2.
Tanda Vital Tensi
: 120/80mmHg
Nadi
:86 kali/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup
Denyut jantung :86 kali/menit, irama reguler Frekuensi nafas :20 kali/menit, pernafasan torakoabdominal Suhu 3.
:36,7°C per aksiler
Status Gizi BB
: 49 kg
TB
:160 cm
BMI
: 19.14 kg/m2(normal = 18,5-22,5 kg/m2) Kesan : normoweight
4.
Kulit Warna coklat, turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-),petechie (-), ikterik (-).
5.
Kepala Mesocephal, rambut warna hitam, uban (+), mudah rontok (-), luka (-).
6.
Wajah Simetris, eritema (-).
6
7.
Mata Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), perdarahan subkonjungtiva (-/-), pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm, reflek cahaya (+/+) normal, edema palpebra (-/-), strabismus (-/-).
8.
Telinga Membran timpani intak, sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-), gangguan fungsi pendengaran (-).
9.
Hidung Deviasi septum nasi (-), epistaksis (-), nafas cuping hidung (-), sekret (),fungsi pembau baik, foetor ex nasal (-).
10. Mulut Sianosis (-), papil lidah atrofi (-),gusi berdarah (-), bibir kering (-), stomatitis (-), pucat (-), lidah tifoid (-), luka pada sudut bibir (-). 11. Leher Jugularis venous pressure tidak meningkat, trakea di tengah, simetris, pembesaran tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening (-), leher kaku (), dan distensi vena leher (-). 12. Thoraks Bentuk normochest, simetris, retraksi intercostalis (-), pernafasan thorakoabdominal. a. Jantung : Inspeksi : ictus cordis tidak tampak Palpasi
: ictus cordis teraba di SIC V 1 cm lateral linea midclavicularissinistra, ictus cordis tidak kuat angkat, thrill (-)
Perkusi
:
kiriatas : SIC II linea sternalis sinistra kiri bawah
: SIC V 1 cm medial linea midclavicularis sinistra
kanan atas
: SIC II linea parasternalis dextra
kanan bawah : SIC V linea parasternalis dextra konfigurasi jantung kesan tidak melebar 7
Auskultasi
: HR 86 kali/menit, bunyi jantung I-II intensitas normal, regular,bising (-), gallop (-)
b. Pulmo : Anterior Inspeksi : Statis
: normochest, simetris kanan-kiri, retraksi (-),
Dinamis: simetris, pengembangan dada kanan = kiri, retraksi (-), Palpasi : Statis
: simetris, sela iga tidak melebar, retraksi (-), tidak ada yang tertinggal
Dinamis: pengembangan paru simetris, tidak ada yang tertinggal, fremitus raba kanan = kiri Perkusi : Kanan : sonor hingga SIC III, batas paru – hepar redup. Kiri
: sonor, sesuai batas paru jantung.
Auskultasi : Kanan : suara dasar vesikuler (↓), suara tambahan wheezing (-), ronki basah kasar (+) pada apeks, ronki basah halus (-), krepitasi (-) Kiri
: suara dasar vesikuler (↓), suara tambahan wheezing (-), ronki basah kasar (+) pada apeks, ronki basah halus (-), krepitasi (-)
Posterior Inspeksi Statis
: Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, igatidak mendatar
Dinamis: Pengembangan dada simetris kanan=kiri, sela igatidak melebar, retraksi intercostal (-) Palpasi Statis
: Simetris
Dinamis
: Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan =kiri
8
Perkusi Kanan
: Sonor.
Kiri
: Sonor.
Peranjakan diafragma 5 cm Auskultasi Kanan
: Suara dasar vesikuler (+) menurun, suara tambahan wheezing (-), ronkhi basah kasar (+) di apeks, ronkhi basah halus (-), krepitasi (-)
Kiri
: Suara dasar vesikuler (+) menurun, suara tambahan wheezing (-), ronkhi basah kasar (+) di apeks, ronkhi basah halus (-), krepitasi (-)
13. Punggung Kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-), nyeri ketok kostovertebra (-/-). 14. Abdomen Inspeksi
: dinding perut setinggi dinding dada, distended (-)
Auskultasi
: peristaltik (+) 12 kali/menit
Perkusi
:tympani, pekak sisi (-), pekak alih (-)
Palpasi
:supel (+), nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba.
15. Genitourinaria Ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-). 16. Ekstremitas: Akral dingin -
sianosis
-
-
-
oedem -
-
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan dahak pasien saat awal terapi yaitu tiga bulan yang lalu menunjukkan BTA (+) dan pemeriksaan dahak pasien setelah 2 bulan pengobatanmenunjukkan BTA (-).
9
G. RESUME Pasien mengeluh batuk berdahak disertai darah dimulai sejak tiga bulan yang lalu. Pasien juga mengeluh sesak nafas dan nyeri dada disertai penurunan berat badan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tidak tampak sakit, compos mentis (GCS E4V5M6), status gizi baik. Tanda vital: tensi 120/80 mmHg, nadi 86 x/menit (reguler, isi cukup, simetris), pernafasan 20 x/menit, suhu 36,70C per axiler. Status Gizi, berat badan (BB) : 49 kg, tinggi badan(TB) : 160 cm, BMI : BB/TB2 = 49/(1,60)2= 19,14 kg/m2. Status gizi : baik. Pada pemeriksaan mata didapatkan konjungtiva pucat. Pada pemeriksaan paru anterior didapatkan suara dasar vesikuler (/), ronkhi basah kasar (+/+). Pemeriksaan paru posterior didapatkan suara dasar vesikuler (/), ronkhi basah kasar (+/+). Pemeriksaan BTA sebelum memulai terapi yaitu tiga bulan yang lalu BTA (+), kemudian pemeriksaan BTA setelah pengobatan 2 bulan menjadi BTA (-). Pasien didiagnosis menderita Tuberkulosis paru sejak 3 bulan yang lalu dan mendapat terapi rifampisin dan isoniazid 1x300 mg 3x seminggudi puskesmas Ngrampal Sragen.
10
BAB III IDENTIFIKASI FUNGSI-FUNGSI KELUARGA
A. FUNGSI HOLISTIK 1.
Fungsi Biologis Keluarga terdiri pasien sebagai kepala keluarga (Tn. Suroto, 65 tahun) dan istri Ny. Sutinem (60) tahun. Kedua orang ini tinggal dalam satu rumah dan keluarga ini cukup sehat. Pasien memiliki tiga orang anak laki-laki yang tidak tinggal serumah dengan pasien.
2.
Fungsi Psikologis Pasien tinggal serumah dengan istri.Hubungan pasien dengan anggota keluargacukup harmonis.Penyelesaian masalah keluarga yang ada didiskusikan bersamadengan istri.Pengambil keputusan utama dalam keluarga diserahkan pada pasien selaku kepala keluarga. Komunikasi dengan anak pasien yang tinggal berbeda kota berjalan baik.
3.
Fungsi Sosial Budaya Keluarga ini tidak mempunyai kedudukan sosial tertentu dalam masyarakat melainkan hanya sebagai anggota masyarakat biasa.Pasien jarang mengikuti kegitana sosial di lingkungannya.Keluarga ini tidak mempunyai kedudukan sosial tertentu dalam masyarakat. Pekerjaan pasien adalah sebagai buruh tani. Interaksi antara pasien dengan keluarga lain cukup harmonis. Sedangkan dalam segi budaya, pasien dan keluarga masih menjunjung budaya setempat, yaitu Budaya Suku Jawa.
4.
Fungsi Ekonomi dan Pemenuhan Kebutuhan Penghasilan pasien tidak menentu setiap bulannya karena tergantung oleh hasil panen. Menurut pasien penghasilan setiap panen berkisar diantara Rp 250.000 – 300.000 per bulan. Untuk biaya pengobatan pasien menggunakan Jamkesda Kabupaten Sragen yaitu kartu Saraswati Melati. Sementara istripasien bekerja serabutan dengan penghasilan sekitarRp 250.000 – 300.000 per bulan. Kadang-kadang anak pasien yang bekerja di luar kota juga mengirimkan uang, namun jumlahnya tidak tentu. 11
5.
Fungsi Penguasaan Masalah dan Kemampuan Beradaptasi Keputusan–keputusan penting dalam keluarga dipegang oleh pasien. Dalam kesehariannya, pasien dan keluarganya tidak ada masalah namun pasien jarang berinteraksi dengan masyarakat. Hubungan antar tetangga sekitar terjalin dengan baik. Fungsi holistik keluarga : Cukup baik, karena fungsi biologis, psikologis sosial budaya, penguasaan masalah dan adaptasi baik.
B. FUNGSI FISIOLOGIS Fungsi fisiologis diketahui dengan menggunakan alat APGAR. ADAPTATION Pasien cukup mendapatkan perhatian dari anggota keluarga yang lain. Penyakit yang diderita pasien mengganggu aktifitas sehari-hari.Pasien dan istrinya pernah beberapa kali mendapat penyuluhan tentang penyakitnya. PARTNERSHIP Pasiensering berkumpul dan bercanda dengan istrinya.Jika sedang tidak bekerja, pasien dan istri sering berinteraksi dengan tetangga sekitar rumahnya. Anak pasien yang tinggal di daerah lain sesekali berkunjung ke rumah pasien. Komunikasi dengan anak pasien yang tinggal di luar kota berjalanbaik. GROWTH Perkembangan penyakit pasien dirasakan oleh keluarganya membaik setelah pemberian medikamentosa dari dokter Puskesmas.Pasien sudah menjalani pengobatan selama tiga bulan dan mendapat semangat untuk terus meminum obat dari istri yang juga berperan sebagai pengawas minum obat. AFFECTION Hubungan kasih sayang antara pasien dengan anggota keluarga yang lain cukup baik. RESOLVE
12
Pasien tampak puas dan gembira dengan kebersamaan dan waktu yang dihabiskan dengan keluarganya. Sejak sakit pasien mendapat kasih sayang dan kepedulian dari keluarga. Tabel 3.1. APGAR Score keluargaTn. S dan Ny. S Tn. S APGAR A Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga saya bila saya menghadapi masalah P Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan membagi masalah dengan saya G Saya puas dengan cara keluarga saya menerima dan mendukung keinginan saya untuk melakukan kegiatan baru atau arah hidup yang baru A Saya puas dengan cara keluargasaya mengekspresikan kasih sayangnya dan merespon emosi saya seperti kemarahan, perhatian dll R Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya membagi waktu bersama-sama Total poin = 9, fungsi keluarga dalam keadaan baik
Sering /selalu
Kadangkadang
Jarang/ti dak
Ny. S APGAR A Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga saya bila saya menghadapi masalah P Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan membagi masalah dengan saya G Saya puas dengan cara keluarga saya menerima dan mendukung keinginan saya untuk melakukan kegiatan baru atau arah hidup yang baru A Saya puas dengan cara keluargasaya mengekspresikan kasih sayangnya dan merespon emosi saya seperti kemarahan, perhatian dll
Sering /selalu
Kadangkadang
Jarang/ti dak
13
R Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya membagi waktu bersama-sama Total poin = 9, fungsi keluarga dalam keadaan baik
Fungsi fisiologis keluarga = (9+9)/2 = 18/2 = 9 (BAIK)
C. FUNGSI PATOLOGIS Fungsi patologis diketahui dengan menggunakan alat SCREEM.
Tabel 3.2. Fungsi Patologis KeluargaTn. S Sumber Social
Cultural
Religius
Economic
Education
Medical
Patologi Interaksi sosial keluarga pasien baik. Partisipasi keluarga pasien dalam masyarakat baik. Belum mengerti kebudayaan daerah dengan baik. Namun banyak tradisi budaya yang masih diikuti. Saat hari raya, tahun baru, ulang tahun, ada perayaan khusus meskipun sederhana. Pemahaman agama baik ditandai dengan penerapan ajaran agama yang baik, kelurga pasien menjalankan sholat lima waktu danberpuasa. Ekonomi keluarga kurang stabil. Pemasukan relatif kurang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari seluruh anggota keluarga. Tidak ada sisa uang untuk ditabung. Pendidikan anggota keluarga tidak memadai. Tingkat pendidikan dan pengetahuan pasien dan keluarga masih rendah. Keinginan untuk memiliki fasilitas pendidikan seperti buku-buku, koran rendah. Pasien selalu memeriksakan diri ke Puskesmas dan menjalani pengobatan dengan menggunakan kartu Saraswati Melati sehingga tidak mengeluarkan uang.
Keterangan Patologis -
+
+
+
+
-
14
Kesimpulan : Fungsi patologis keluarga :cukup baik, karena fungsi social, cultural, religius,danmedicalbaik
sementara
untuk
fungsieconomicdan education kurang. D. GENOGRAM Alamat lengkap: RT 005 RW 001 Kebonromo, Sragen Bentuk Keluarga :Nuclear Family
Gambar 3.1. Genogram Keluarga Tn. S
Keterangan:
Laki-laki
Perempuan
Tinggal Meninggal Pasien Tuberkulosis serumah Paru Sumber : Data Primer, Desember 2015 15
Kesimpulan : Tidak terdapat anggota keluarga dalam satu rumah yang memiliki penyakit yang sama.
E. INFORMASI POLA INTERAKSIKELUARGA Tn. S
Ny.S
Sumber : Data Primer, Desember 2015 Gambar 3.2. Pola interaksi keluarga Tn. P
Keterangan: : Harmonis : Tidak harmonis
Kesimpulan : Hubungan pasien dengan anggota keluarga yang lain harmonis, hubungan anggota keluarga yang satu dengan yang lain harmonis.
F. FAKTOR PERILAKU DAN NON PERILAKU KELUARGA 1. Faktor Perilaku Keluarga Perilakukeluarga ini untuk hidup sehat sudah cukup baik karena jika ada anggota keluarga sakit segera diperiksakan ke Puskesmas. Keluarga ini sudah menyadari bahwa sakit dari pasien merupakan suatu penyakit medis dan bukan karena hal-hal mitos maupun tahayul.
16
2. Faktor Non Perilaku Rumah yang dihuni keluarga ini kurang memadai.Lantai rumah masih tanah, dinding dari bata yang tidak dilapisi semen, pencahayaan ruangan cukup, ventilasi kurang. Sumber air berasal dari sumur, listrik sudah ada,kamar mandi berjamban. Pembuangan limbah keluarga sudah memenuhi sanitasi lingkungan.Sampah keluarga dibuang ke kebun dan dibakar.
G. IDENTIFIKASI LINGKUNGAN RUMAH 1. Denah Rumah Kamar mandi dan jamban
Pintu Belakang
Dapur
Gudang
Jendela
Kamar Tidur
Pintu
Kamar Tidur
Kamar Tidur Pintu depan
Ruang TV Teras
Gambar 3.3. Denah Rumah Tn. S
Kesimpulan : Lingkungan indoorkurang baik, tempat tinggal kurang memadai, dan lingkungan outdoor cukup baik.
17
2. Gambaran Lingkungan a. Indoor Rumah terdiri dari tiga kamar tidur, semuanya bisa digunakan untuk
tidur.
Ruang
tamu
dan
ruang
keluarga
menyatu.Dapurmenyambung dengan ruang penyimpanan kayu.Lantai rumah masih tanah, ventilasi rumah kurang, penerangan kurang, dinding dari bata yang tidak dilapisi semen, atap dari genteng tanpa langit-langit.Kamar mandi milik sendiri dan tidak bercampur dengan tetangga.Kamar mandi sudah berjamban. b. Outdoor Keluarga ini tinggal di sebuah rumah berukuran 8 mx 10m dengan total luas tanah 100m2 menghadap ke selatan, dalam lingkungan pemukiman biasa di jalan desa. Pekarangan terdapat pada bagian depan dan belakang dengan kandang ayam dan tempat berjemur dibagian depan.
Tabel 3.3. Kesimpulan Fungsi Keluarga Tn S No.
Fungsi
1. 2. 3.
Holistik Fisiologis Patologis
4. 5.
Genogram Pola interaksi
6. 7 8 9
Perilaku Non Perilaku Indoor Outdoor
Keterangan Baik, Baik (+) pada faktor economic daneducation Baik Baik, interaksi antar anggota keluarga berlangsung harmonis Baik Kurang Baik Kurang Baik Baik Sumber: Data Primer, Desember 2015
Kesimpulan : Secara keseluruhan, fungsi keluarga Tn.S Baik.
18
H. PATIENT CENTERED DIAGNOSIS 1.
Diagnosis Holistik Tn. S yang berusia 65 tahun dalam nuclear family dengan diagnosis tuberkulosis paru dalam pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) bulan ketiga. Keluarga cukup harmonis dengan kehidupan sosial kurang aktif sebagai anggota masyarakat. Berinteraksi dengan tetangga dengan baik namun kurang aktif mengikuti kegiatan kemasyarakatan. Tn. S tidak menjabat sebagai pengurus pemerintahan dalam lingkungan tempat tinggalnya.
2.
Diagnosis Biologis Tuberkulosis paru dalam pengobatan OAT bulan ketiga.
3.
Diagnosis Psikologis Hubungan Tn. S dengan istri, anak, dan menantu cukup harmonis.
4.
Diagnosis Sosial, Ekonomi, dan Budaya Pasien kurang aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, sehari-hari hanya melakukan aktivitas bertani di sawah.Pasien jarang mengikuti kegiatan-kegiatan sosial di lingkungan RT seperti pengajian maupun kegiatan lainnya. Dari segi ekonomi, pendapatan pasien masih cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dan pasien menjadi peserta Saraswati Melati. Sedangkan dari segi budaya, pasien belum menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan pasien yang jarang berolahraga serta kondisi rumah pasien yang kurang ventilasi dan pencahayaan.
19
I. PROGRESS NOTE Nama
: Tn. S
Diagnosis
: Tuberkulosis paru
Tabel Progress Note Kunjungan
Tabel 3.4. Progress Note Kunjungan Tn. S Tanggal 15 Desember 2015
Catatan terintegrasi S: lemas O: BB: 50 Kg TB: 160 cm BMI: 19.5 kg/m2 Kesadaran : Compos mentis (GCS E4V5M6) Tanda Vital: Tensi :120/80 mmHg Nadi : 86 x/menit, reguler, isi cukup, simetris Pernafasan: 20 x/menit Suhu : 36,70C per axiler Status lokalis Konjungtiva pucat (+/+) R. Thoraks Inspeksi : pengembangan dada kanan=dada kiri Perkusi : fremitus raba kanan=kiri Palpasi : sonor/sonor Auskultasi : suara dasar vesikuler menurun, ronkhi basah kasar (+/+) di apeks, wheezing (-/-) A : TB paru kasus baru P : Edukasi pada pasien mengenai: - Efek samping obat yang mungkin akan muncul selama pengobatan dan segera mencari layanan kesehatan jika hal itu terjadi. - Pentingnya lingkungan yang lebih baik seperti perlunya pencahayaan yang lebih baik dari sekarang, perlunya jendela dan kebersihan rumah. Terapi Medikamentosa Rifampisin 300 mg Isoniazid 300 mg Sulfosferosus 1x200 mg Piridoksin 1x10 mg
20
16 Oktober 2015
17 Desember 2015
S: lemas O: BB: 50 Kg TB: 160 cm BMI: 19.5 kg/m2 Kesadaran : Compos mentis (GCS E4V5M6) Tanda Vital: Tensi : 120/90 mmHg Nadi : 92 x/menit, reguler, isi cukup, simetris Pernafasan : 19 x/menit Suhu : 36,70C per axiler Status Lokalis: Konjungtiva pucat (+/+) R. Thoraks Inspeksi: pengembangan dada kanan=dada kiri Perkusi : fremitus raba kanan=kiri Palpasi : sonor/sonor Auskultasi : suara dasar vesikuler menurun, ronkhi basah kasar (+/+) di apeks, wheezing (-/-) A: TB paru kasus baru P: Edukasi pada pasien mengenai: - Cara membuang dahak pasien yang benar. - Peranan istri yang baik dan benar sebagai PMO pasien. Terapi Medikamentosa Rifampisin 300mg Isoniazid 300mg Piridoksin 1x10mg Sulfosferosus 1x200mg S: tidak ada keluhan O: BB : 50 Kg TB : 160 cm BMI : 19.5 kg/m2 Kesadaran : Compos mentis (GCS E4V5M6) Tanda Vital: Tensi : 120/80 mmHg Nadi : 86 x/menit, reguler, isi cukup, simetris Pernafasan: 20 x/menit Suhu : 36,50C per axiler Status lokalis Konjungtiva pucat (+/+) R. Thoraks Inspeksi: pengembangan dada kanan=dada kiri 21
Perkusi : fremitus raba kanan=kiri Palpasi : sonor/sonor Auskultasi :suara dasar vesikuler menurun, ronkhi basah kasar (+/+) di apeks, wheezing (-/-) A : TB paru kasus baru P : Edukasi pada pasien mengenai: - BTA pasien yang sudah konversi menjadi negatif menandakan sudah tidak tahap infeksius sehingga pasienbisa mengikuti kegiatan di masyarakat lebih tenang. Terapi Medikamentosa Rifampisin 300mg Isoniazid 300mg Piridoksin 1x10mg Sulfosferosus 1x200mg Sumber: Data primer, Desember 2015
22
BAB IV PEMBAHASAN DAN SARAN KOMPREHENSIF
A. Pembahasan TB paru hingga saat ini masih merupakan masalah penting bagi kesehatan. Insidens TB diperkirakan meningkat. Penyebab paling penting peningkatan TB di seluruh dunia adalah ketidak patuhan terhadap program, diagnosis dan pengobatan tidak adekuat, migrasi, HIV, dan Multi Drug Resistance TB (MDR-TB) (Aditama dan Priyanti, 2008). Penderita TB paru paling banyak terjadi pada usia produktif dan lakilaki. Penderita TB paru usia tua berhubungan dengan penurunan kekebalan tubuh yang disebabkan penyakit kronik dan pada usia tua juga sering menimbulkan efek samping. HIV juga cukup memberikan peran penting dalam meningkatkan risiko terjadinya reaktivasi infeksi TB laten yang mengakibatkan timbulnya infeksi paru yang progresif dan reinfeksi (Aditama, 2000). Berdasarkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) tahun 2011 klasifikasi gejala klinis TB dapat dibagi menjai 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai dengan organ yang terlibat). Gejala respiratori tersebut adalah batuk ≥2 minggu, batuk darah, sesak napas, dan nyeri dada (Amin dan Bahar, 2006). Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. Gejala respiatori yang dirasakan pasien adalah batuk dengan dahak dan darah. Hal ini sesuai dengan gejala respiratori TB paru. Hal ini menandakan telah terjadi iritasi bronkus. Gejala sistemik terdiri dari demam, malaise keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun. Gejala sistemik ini sebagian besar dialami oleh 23
pasien. Sedangkan gejala TB ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis TB akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening. Meningitis TB akan terlihat gejala meningitis dan pada pleuritis TB terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan. Gejala sistemik yang diapatkan pada pasien adalah penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan sebanyak 7 kg dalam 3 bulan. Pasien juga mengeluh keringat malam hari dan demam sumer. Pasien tidak mengeluhkan adanya benjolan yang mengarah pada limfadenitis TB. Kelainan yang didapat pada TB paru tergantung luas kelainan struktur paru. Perkembangan awal penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) ditemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2) serta daerah apeks lobus inferior (S6). Kelainan pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronkhi basah, tanda- tanda penarikan paru, diafragma, dan mediatinum. Kelainan yang didapatkan pada pemeriksaan fisik pasien ini adalah berupa suara ronkhi basah kasar di bagian apeks pulmo dekstra dan sinistra dan suara dasar vesikuler yang menurun pada kedua lapang paru (PDPI, 2011). Suara tambahan berupa ronkhi basah kasar yang ditemukan pada pasien, cirinya suara gelembung udara besar yang pecah, terdengar pada saluran napas besar bila terisi banyak secret, hal ini muncul pada infeksiinfeksi jaringan parenkim paru contohnya pneumonia dan TB paru. Ronkhi basah terdapat pada dinding yang meradang atau penumpukan sekret atau dihasilkan oleh inspirasi paksa yang panjang. Suara dasar vesikuler yang menurun dalam keadaan adanya cairan (efusi), udara, atau jaringan padat dalam rongga pneumothoraks. Sebagian besar dari getaran suara harus melalui keadaan ini, yang akan dipantulkan atau direapsorpsi, sehingga intensitas getaran akan menurun (Hariadi et al, 2012). Sebelum menjalani pengobatan TB di puskesmas. pasien sudah mencoba mencari pengobatan ke posyandu lansia, namun keluhan hanya hilang sementara dan keluhan batuk tersebut semakin lama semakin 24
bertambah parah dalam 2 minggu terakhir sebelum menjalankan pengobatan TB di Puskesmas. Saat menjalani pengobatan dengan dokter di Puskesmas, pasien disarankan untuk menjalankan pemeriksaan dahak terlebih dahulu. Pasien TB dapat digolongkan berdasarkan riwayat penyakitnya, yaitu kasus baru yaitu pasien yang tidak mendapat obat anti TB lebih dari 1 bulan. Kasus kambuh yaitu pasien yang pernah dinyatakan sembuh dari TB tapi timbul lagi. Kasus gagal yaitu pasien yang sputumnya tetap positif setelah mendapatkan obat anti TB >5 bulan atau pasien yang menghentikan pengobatannya setelah mendapatkan obat anti TB 1-5 bulan dan sputumnya masih positif. Kasus kronik yaitu pasien yang sputumnya tetap positif setelah mendapatkan pengobatan ulang lengkap yang disupervisi dengan baik.12 Berdasarkan riwayat pasien yang belum pernah mendapatkan terapi obat anti TB secara lengkap, maka dapat disimpulkan diagnosis pasien merupakan TB paru kasus baru dengan BTA positif. Pasien pada kasus ini termasuk kasus baru, yang selanjutnya mendapatkan obat anti TB selama 2 bulan. Penatalaksanaan TB meliputi penemuan pasien dan pengobatan yang dikelola dengan menggunakan strategi Directly Observed Treatment Short Course (DOTS). Tujuan utama pengobatan pasien TB adalah menurunkan angka kematian dan kesakitan serta mencegah penularan dengan cara menyembuhkan pasien. Penatalaksanaan penyakit TB adalah menurunkan angka kematian dan kesakitan serta mencegah penularan dengan cara menyembuhkan pasien. Penatalaksanaan penyakit TB merupakan bagian dari surveilans penyakit, tidak sekedar memastikan pasien menelan obat sampai dinyatakan sembuh tetapi juga berkaitan dengan pengelolaan sarana bantu yang dibutuhkan petugas yang terkait, pencatatan, pelaporan, evaluasi kegiatan dan rencana tindak lanjutnya (DEPKES RI, 2008). Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pengobatan tahap intensif penderita TB paru mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya resistensi terhadap OAT.9 Fase awal/intensif diperlukan kombinasi bakterisidal dan pencegahan resistensi obat Rifampisin, INH, Pirazinamid, Etambutol, dan Streptomisin (RHZES) untuk membunuh kuman dalam jumlah besar dengan cepat yaitu 25
populasi Mycrobacterium tuberculosis yang mempunyai kemampuan multiplikasi cepat dan mencegah terjadinya resistensi obat, selanjutnya pada fase lanjutan diberikan obat yang mempunyai aktivitas sterilisasi (RHZ) untuk membunuh kuman yang kurang aktif atau populasi kuman yang membelah secara intermiten dan mencegah terjadinya kekambuhan (Levinson, 2008). Pasien Tn S masih dalam tahap intensif yang mendapatkan pengobatan Rifampisin, INH, Pirazinamid, dan Etambutol. Pada negara berkembang terjadi gagal pengobatan karena hilangnya motivasi penderita, informasi mengenai penyakitnya, efek samping obat, problem ekonomi, sulitnya transportasi, faktor sosiopsikologis, alamat yang salah, komunikasi yang kurang baik antara penderita TB paru dengan petugas kesehatan. Ketidakpatuhan untuk berobat secara teratur bagi penderita TB paru tetap menjadi hambatan untuk mencapai angka kesembuhan yang tinggi. Kebanyakan penderita tidak datang selama fase intensif karena tidak adekuatnya motivasi terhadap kepatuhan berobat dan kebanyakan penderita merasa enak pada akhir fase intensif dan merasa tidak perlu kembali untuk pengobatan selanjutnya (Iseman, 2000). O’Boyle dkk (2002) melaporkan di kota Kinabalu Sabah Malaysia bahwa kepatuhan dapat ditingkatkan dengan peningkatan edukasi penderita, keluarga dan populasi umum, mengurangi biaya transportasi dan lamanya perjalanan. Nuwaha (1999) melaporkan di Uganda 92% penderita menyelesaikan pengobatannya. Hal tersebut disebabkan karena pengobatan penderita pada satu fasilitas kesehatan, baik pada fase intensif maupun fase lanjutan, pengobatan penderita dekat rumah. Pelatihan dan supervisi pekerja kesehatan dan penggunaan kemoterapi jangka pendek. Comolet (1998) melaporkan peningkatan komunikasi dan perhatian dari petugas kesehatan dapat meningkatkan penderita untuk menyelesaikan pengobatannya. Directly observed therapy (DOT) merupakan salah satu komponen dari DOTS. Sistem DOTS terdiri dari 5 komponen yaitu perlunya komitmen politik penentu kebijaksanaan, diagnosis mikroskopik yang baik, pemberian obat yang baik dan diawasi secara baik, jaminan ketersediaan obat serta pencatatan dan pelaporan yang akurat. DOT merupakan tehnik pengobatan 26
dengan cara di lakukan supervisi dalam mengawasi penderita menelan obatnya secara teratur dan benar oleh Pengawas Minum Obat (PMO). Keberadaan PMO ini memastikan penderita menelan obat dan dapat diharapkan sembuh pada akhir masa pengobatan. Pengawas menelan obat merupakan elemen yang sangat menentukan dalam DOTS (DEPKES RI, 2008). Pada kasus Tn S, istri pasien bertindak sebagai pengawas menelan obat (PMO). Pengawas menelan obat yang paling ideal sebaiknya dapat mengawasi secara langsung setiap penderita menelan obat setiap hari terutama pada fase awal yaitu pada 2 bulan pertama. DOTS merupakan strategi WHO yang paling efektif untuk memastikan kepatuhan berobat dan kelengkapan pengobatan, dapat mengurangi biaya pengobatan TB paru, mengurangi frekuensi resistensi obat, resistensi MDR- TB, kasus kambuh, kasus gagal pengobatan dan meningkatkan angka kesembuhan. Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Pengawasan terhadap efek samping obat dan bagaimana penanganannya sangat perlu diketahui sehingga lebih terjamin keteraturan berobat, karena ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya resistensi obat (PDPI, 2011). Pengobatan yang tidak teratur, memakai paduan OAT yang tidak atau kurang tepat maupun pengobatan yang terputus telah mengakibatkan resistensi kuman terhadap obat. Resistensi adalah keadaan kuman dalam situasi yang tidak peka lagi terhadap suatu obat meskipun dalam kadar yang tinggi. Dasar-dasar yang ditempuh oleh mikroorganisme sehingga resisten antara lain melalui proses adaptasi dan mutasi. Adaptasi terjadi karena lingkungan baru sebagai efek kemoterapi sehingga kuman tersebut mengalami perubahan enzimatik yang selanjutnya diturunkan ke generasi selanjutnya. Mutasi pada keadaan ini adalah terjadi proses perubahan genetik pada kuman secara spontan atau mutasi. Makin banyak jumlah kuman makin mudah timbul mutasi. Mekanisme resistensi kuman TB terhadap OAT terjadi umumnya melalui proses tersebut yang bervariasi tergantung dari jenis OAT (Aditama, 2008; PDPI, 2011). 27
Kebiasaan merokok, usia yang sudah tua, status gizi yang kurang, pendidikan yang rendah dan lingkungan rumah yang kurang ventilasi dan pencahayaan menjadi suatu hal yang perlu diperhatikan apakah hal tersebut menjadi salah satu factor resiko pada pasien ini. Mengingat secara patogenesis kuman TB yang dapat bertahan selama 1-2 jam dalam udara terbuka, maka dilakukan konseling edukasi akan pentingnya penggunaan masker baik di dalam rumah maupun diluar rumah saat beraktifitas (Boehme et al, 2010). Pasien Tn S sudah berhenti merokok setelah mengetahui penyakitnya. Beberapa masalah pada pasien yaitu penyakit TB, pola hidup, pola makan dan kebersihan rumah, maka dilakukan beberapa rencana intervensi berupa edukasi pada pasien dan keluarga untuk memberikan pemahaman pada pasien dan keluarga bahwa sakit yang diderita pasien yaitu tuberkulosis paru yang merupakan penyakit yang serius dan dapat menular yang dapat mengakibatkan komplikasi yang berat apabila tidak ditangani secara cepat dan tepat. Dibutuhkan kesadaran dan disiplin pada pasien serta dukungan dari keluarga untuk mengontrol penyakit TB pada pasein. Pemberian edukasi secara intensif sangatlah diperlukan bagi para penderita TB guna meningkatkan keinginan untuk patuh terhadap pengobatan penyakit TB paru sehingga yang lama sesuai patofisiologi penyakit dan kerjasama antara pasien, keluarga dan provider pelayanan kesehatan. Keluarga pasien yang telah mendapatkan edukasi mengenai penyakit pasien hanya istri pasien yang tinggal serumah. Anak-anak pasien yang merantau belum mendapatkan edukasi mengenai penyakit TB dari tenaga kesehatan.
B. Saran Komprehensif Saran yang dapat diberikan kepada pasien dan keluarganya adalah: Promotif dan preventif Edukasi kepada keluarga pasien untuk: 1.
Menjelaskan kepada keluarga pasien mengenai pencegahan, faktor risiko penyakit, komplikasi, dan penatalaksanaan TB.
2.
Pemeriksaan dahak satu keluarga serumah 28
3.
Menutup mulut ketika batuk atau menggunakan masker.
4.
Tidak meludah di sembarang tempat. Ludah bisa dibuang pada pot khusus kemudian dibakar.
5.
Meninggalkan kebiasan gaya hidup yang tidak sehat, seperti merokok dan memasak menggunakan kayu.
6.
Makan makanan bergizi dan olah raga teratur.
7.
Membiarkan matahari masuk dengan membuka jendela dan pintu secara teratur terutama pagi hari.
8.
Tetap menjaga kebersihan rumah jika belum mampu memperbaiki keadaan rumah agar memadai.
9.
Memeriksa kesehatan secara teratur dan taat anjuran dokter
10. Memastikan pasien menelan obat anti TB yang diberikan 11. Keluarga dan tenaga kesehatan terkait mengawasi efek samping obat anti TB 12. Keluarga yang tinggal satu rumah segera mendatangi fasilitas kesehatan jika mengalami gejala yang sesuai dengan gejala TB
Kuratif 1.
2.
Non Medikamentosa a.
Makan makanan yang bergizi
b.
Olahraga teratur
Medikamentosa OAT dari Puskesmas a.
Rifampisin 1 x 300 mg (3 kali seminggu)
b.
Isoniazid 1 x 300 mg (3 kali seminggu)
Rehabilitatif Bagi penderita TB paru yang tidak memiliki komplikasi, tidak ada rehabilitasi medis yang perlu dilakukan.
29
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Pelaksanaan kunjungan rumah pasien(home visit) di Puskesmas Ngrampal Kabupaten Sragen pada tanggal 15 Desember 2015 pada pasien rawat jalan Puskesmas Ngrampal Kabupaten Sragen, dengan kasus TB paru. Dalam pelaksanaan kunjungan rumah, kami melakukan tanya jawab kepada pasien di keluarga yang dikunjungi beserta melakukan pengamatan seputar lingkungan tempat tinggal pasien. Berdasarkan tanya jawab kepada pasien dan pengamatan seputar lingkungan pasien didapatkan: 1.
Tidak diketahui secara pasti sumber penyakit TB paru pasien, karena ada berbagai faktor yang memungkinkan pasien terkena TB paru, seperti lingkungan rumah yang kurang ventilasi, penerangan dan lembab, lingkungan kerja pasien sebagai buruh tani, dan tidak kalah pentingnya sistim imun tubuh pasien.
2.
Pasien tinggal bersama istri dimana fungsi holistik keluarga, fungsi fisiologis keluarga baik, fungsi patologis keluarga dari segi fungsi social, cultural, religius,danmedicalbaik sementara untuk fungsieconomicdan education kurang, genogram pasien tidak bisa dibaca, pola interaksi baik, dimana interaksi antar anggota keluarga berlangsung harmonis, perilaku baik, non perilaku kurang baik, lingkungan rumah indoor kurang baik, lingkungan rumah outdoor baik.
3.
Peran istri pasien sebagai pengawas minum obat (PMO) dalam mendukung kesembuhan pasien baik.
B. Saran 1.
Untuk puskesmas: a.
Perlu meningkatkan program surveillance terhadap kejadian TB paru di wilayah kerja puskesmas sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
30
b.
Mengadakan penyuluhan mengenai pencegahan, deteksi dini, dan pengobatan TB paru di wilayah kerja puskesmas.
2.
Untuk pasien a.
Melakukan pengobatan teratur dan kontrol rutin dalam rangka mengembalikan fungsi kesehatan.
b.
Menjaga kebersihan baik diri sendiri maupun lingkungan untuk mendukung kesembuhan pasien dan mencegah terjadinya kejadian serupa di kemudian hari.
31
DAFTAR PUSTAKA
Aditama TY, Priyanti M. Tuberkulosis Masalah dan Perkembangannya. www.fk.ui.ac.id. 2008. Aditama TY. Tuberkulosis: Diagnosis, terapi dan masalahnya. Edisi 3, Jakarta: Lab. Mikrobiologi Collaborating 2000.p.12–95. RS Persahabatan, WHO Center for Tuberculosis; Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis paru. Dalam Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II Edisi ke-4 Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.2006. hal 988. Boehme CC, Nabeta P, Hillemann D, et al. Rapid molecular detection of tuberculosis and rifampin resistance. N Engl J Med 2010; 363: 1005–1015. Comolet TM, Rakotomalala, Rajaonarioa H. Factors determining compliance with tuberculosis treatment in an urban environment, Tamatave, Madagascar. Int J Tuberc Lung Dis 1998; 2:891-7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (DEPKES RI). Pedoman nasional: penanggulangan tuberkulosis. Cetakan ke-2. Jakarta:2008;hal.8- 14. Hariadi S, Amin M, Wibisono JM, Hasan H. Dasar-Dasar Diagnostik Fisik Paru. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya: Universitas Airlangga; 2012. Isbaniyah F. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011. Iseman MD. Tuberculosis epidemiology. In: A clinician’s guide to tuberculosis. Philadelphia: Williams & Wilkins, 2000;p.97- 128. Levinson W. Review of Medical Microbiology and Immunology. United States,The McGraw-Hill Companies, Inc. 2008. p.164. Nuwaha F. High compliance in an ambulatory tuberculosis treatment programme in a rural community of Uganda. Int J Tuberc Lung Dis 1999; 3:79-81. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Pedoman dan diagnosis penatalaksanaan TB Indonesia. Jakarta: 2011. Diakses pada September 2016. http://www. klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html Suliastomo A. Penerapan pelayanan dokter keluarga, kedokteran okupasi, dan kedokteran lingkungan masa kini. Kuliah Modul Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: FKUI, 2010. WHO. Guidance for National Tuberculosis Programme on theManagement of Tuberculosis. WHO, 2010.
32