Langit Dan Kodrat Manusia

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Langit Dan Kodrat Manusia as PDF for free.

More details

  • Words: 5,308
  • Pages: 10
Langit dan Kodrat Manusia Ketika konfusius berbicara tentang Langit, ia memaksudkan peraturan atau pribadi Langit. Langit menurut Mencius kadang-kadang personal, kadang fatalistik dan kadang etis. Langit menurut Xunzi bersifat naturalistik, suatu poin yang nampaknya dipengaruhi oleh Lao Tzu dan Chuang Tzu. Chuang Tzu, sebagai contoh , ketika berbicara tentang gerakan langit, bumi, matahari dan bulan, mengatakan: “Mungkinkah ada suatu pengaturan/arrangement mekanis yang membuat benda-benda ini bergerak pasti seperti adanya? Mungkinkah mereka tetap beredar tanpa dat menghentikan diri sendiri?” Ini jelas adalah kosmologi naturalistik, demikian juga dengan Xunzi: “Langit memiliki keteraturan aktivitas yang konstan. Ia tidak berada demi Yao tidak pula berhenti demi chieh. Tanggapilah ia dengan pengaturan yang baik, sukses akan dihasilkan. Tanggapilan dengan pengaturan yang salah, malapetaka akan dihasilkan….Jadi untuk memahami perbedaan antara Langit dan manusia: itulah seorang besar/agung. Menyempurnakan tanpa bertindak (wu wei), dan memperoleh tanpa mencari: itulah yang dimaksud dengan aktivitas-aktivitas langit. Ketika sepertinya, walaupun ia dalam, manusia tidak akan memberikan pemikiran yang dalam padanya; walaupun ia besar, ia tidak akan menggunakan kemampuannya (untuk investigasinya); walaupun misterius, tidak akan memeriksanya dengan teliti: inilah apa yang dimaksud dengan menahan diri dari menentang langit dalam aktivitas seseorang. Langit memiliki musimnya, bumi memiliki sumber-sumber materialnya dan manusia memiliki pengaturannya. Ini adalah apa yang dimaksudkan (ketika disebutkan bahwa manusia) mampu membentuk trinitas (dengan Langit dan Bumi). To give up that wherewith seseorang dapat membentuk trinitas seperti itu, dan untuk menginginkannya yang dengannya orang dapat membentuk trinitas, akan terarah pada kekeliruan. The fixed star membuat perputarannya, matahari dan bulan bersinar bergantian; empat musim bergantian satu sama lain, yin dan yang mengalami mutasi besar mereka, agin dan hujan tersebar luas, semua benda membutuhkan harmoni mereka dan memiliki hidup mereka; masingmasing memperoleh asupannya dan berkembang pada keadaannya yang ditentukan. Kita tdak dapat melihat/mencari peristiwa-peristiwa ini, tetapi kita dapat melihat efek-efeknya. Inilah yang dimaksud dengan menjadi seperti roh (spirit-like). Hasil dari semua perubahan ini diketahui, tetapi kita tidak tahu sumber-sumber yang tidak nampak: inilah yang disebut langit. Hanya orang bijaksana yang tidak berusaha mengetahui Langit. Gerakan-gerakan bintang, matahari dan bulan semuanya direpresentasikan di sini sebagai proses natural. Orang bijaksana tidak berusaha mengetahui sebab-sebab yang membuat mereka sebagaimana adanya, tetapi sebagai gantinya menguras energinya “untuk mencari kebahagiaan yang lebih bagi dirinya”, yang setelahnya “ia akan mampu untuk mengontrol musim-musim dan sumber-sumber material bumi, dan memanfaatkan mereka.” dalam cara inilah manusia dapat membentuk suatu trinitas dengan langit dan Bumi. Karena itu: “Daripada mengagungkan langit dan berpikir tentangnya, mengapa tidak menimbun kekayaan dan menggunakannya secara berfaedah? Sebagai ganti menaati langit dan memujinya, mengapa tidak mengadaptasi Takdir Langit (T’ien Ming) dan menjadikannya berguna? Sebagai ganti mencari waktu yang tepat dan menunggunya, mengapa tidak meraih kesempatan dan menggunakannya? Daripada menyandarkan diri pad benda-benda untuk meningkat diri mereka sendiri, mengapa tidak mengusahakan kemampuan seseorang dan mengembangkan mereka? daripada berpikir tentang benda-benda dan memandang mereka sebagai benda, mengapa tidak mengatur mereka dalam tantanan yang tepat dan menganggap mereka sebagai milik seseorang? Daripada mengharapkan bahwa benda-benda akan memiliki alat yang diperlukan untuk hidup,

mengapa tidak mengenggam mereka sebagai milik yang membuat benda-benda menjadi matang? Jadi jika seseorang mengabaikan apa yang dapat manusia lakukan dan peikirkan tentang Langit, ia gagal memahami hakekat benda-benda.” “Inilah cara untuk mengendalikan musim-musim langit dan sumber-sumber material bumi dan menggunakan mereka.”

(JeeLoo Liu) Xun Zi tentang Kodrat Manusia Bertentangan dengan teori Mencius tentang kebaikan kodrat manusia, Xun Zi mengatakan bahwa: “Kodrat manusia adalah buruk; kebaikannya adalah hasil dari usaha sengaja manusia.” Xun Zi mendefiniskan “kodrat/natura” sebagai “ whatever one is born with; apapun yang berasal dari seseorang secara kodrati dan bukan dari apa yang tindakan seseorang.” Xun Zi berpikir bahwa kodrat manusia adalah apa yang seseorang terima dari Langit (Tian). Langit baginya adalah totalitas dari fenomena alam yang dihubungkan dengan langit/angkasa. Karena itu, tidak ada design teleologis atau konotasi moral yang berkaitan dengan kodrat manusia. Apa yang seseorang miliki saat kelahiran secara mendasar adalah karakteristik biologis, yang tidak demikian berbeda dari karakteristik binatang lain. Xun Zi berkata: “kodrat dasar manusia adalah apa yang ia terima dari Langit. Emosi adalah substansi dari kodrat dan keinginan adalah responsrespons dari emosi.” Dengan kata lain, ia menganggap isi dari kodrat manusia mencakup hasrat dan emosi manusia. Hasrat dihubungkan dengan organ inderawi kita: mata memilih pemandangan yang menyenangkan, telinga memilih musik yang cocok; mulut (lidah) memilih rasa yang lezat; hidung meilih aroma-aroma harum. Hasrat ini bersifat kodrati bagi kita. Kita tidak perlu belajar untuk memiliki hasrat-hasrat ini, karena semua organ inderawi secara kodrati memilih hal-hal yang cocok pada indera. Pada saat yang sama, pikiran/hati kita juga memiliki emosi kodrati, yang di dalamnya Xun Zi memasukan “cinta, benci, gembira, marah, sedih dan bahagia.” Ketika pikiran/hati mencintai hal-hal tertentu atau menyenanginya, ia membangkitkan hasrat yang berkaitan. Karena itu, Xun Zi menyebut hasrat sebagai “respon dari emosi-emosi.” Xun Zi mendefinisikan “kebaikan” dan “keburukan” dalam cara ini: “semua manusia di dunia, dulu dan sekarang, setuju mendefiniskan kebaikan sebagai itu yang adalah jujur, masuk akal, damai, teratur, dan keburukan sebagai itu yang adalah tidak seimbang, berbahaya, merusak dan kacau balau. Itulah perbedaan antara baik dan buruk.” Jika kebaikan didefiniskan sebagai keteraturan dan harmoni, sementara keburukan didefiniskan sebagai kekacauan dan kekerasan, apa yang perlu kita temukan adalah apakah dunia akan damai dan teratur, atau rusak dan kacau, ketika setiap orang mengikuti kodrat bawaannya. Xun Zi mengatakan bahwa semua manusia egois karena mereka pertama dan terutama ingin memuaskan hasrat mereka sendiri. Jika manusia mengikuti emosi dan hasrat kodrati mereka tanpa suatu pengendalian, dunia akan dibawa kepada kekacauan total dan akhirnya hancur. Tanpa modifikasi yang tepat atas kodrat bawaaan, setiap orang akan menjadi penjahat. Kodrat manusia itu buruk dalam hal bahwa secara kodrati ia mengarah pada suatu keadaan buruk. Sumber dari kebaikan manusia, Xun Zi menghubungkannya pada usaha sengaja manusia (wei). Istilah asli wei secara hurufiah berarti “buatan manusia” atau “artifisal”, diterjemahkan sebagai “aktivitas sadar”, “aktivitas”, kecerdasan manusia”, atau “usaha sengaja”. Xun Zi tidak mengasosiasikan suatu konotasi negatif dengan istilah “artifisial”; apa yang ia maksudkan

adalah apapun yang campurkan dengan usaha manusia. Karena kebaikan manusia adalah hasil dari usaha sengaja manusia, usaha msengaja ini yang membentuk basis kebudayaan manusia adalah baik. Xun Zi mendefinisikannya sebagai tindakan atas keputusan kesengajaan pikiran suatu kebiasaan atau rutinitas yang dikembangkan dari akumulasi dari kesengajaan dan praktekpraktek. Di antara usaha-usaha sengaja manusia , Xunzi mendaftar, ritus-ritus, kebajikankebajikan, prinsip-prinsip dan pengajaran moral, hukum dan regulasi. Apa yang usaha sadar kerjakan adalah semua bentuk perilaku dan sentimen moral. Seluruh proses peradaban manusia bertindak melawan hasrat batiniah manusia untuk memperbanyak kepemilikan dan memuaskan indera-inderanya. Karena itu, Xun Zi mengatakan kebaikan manusia adalah hasil dari usaha sengaja (sadar) mereka. Dalam pengertian ini, kebaikan manusia adalah buatan manusia, artifisial. Bersama dengan kebaikan-kebaikan atau atribut-atribut moral secara umum, atribut manusia kultural lainnya, seperti taat hukum, sopan santun, dll, juga didaftar sebagai artifisal oleh Xun Zi. Perbedaan antara atribut natural dan atribut artifisal hanyalah perbedaan antara kodrat dan usaha, antara apa yang diberikan dan apa yangdikerjakan. Xun Zi mengatakan: Mencius mengatakan bahwa manusia mampu belajar karena kodratnya adalah baik, tetapi aku mengatakan bahwa ini salah. Hal itu menunjukkan bahwa dia tidak sungguh-sungguh mengerti akan kodrat manusia dan tidak pula membedakan dengan tetapt antara kodrat dasar dan kativitas sadar (wei). Kodrat adalah apa yang diterima dari Langit, anda tidak dapat mempelajarinya, anda tidak dapat meraihnya dengan usaha. Prinsip-prinsip ritual, di lain sisi, adalah ciptaan orang bijaksana; anda dapat belajar menggunakannya, anda dapat berusaha menyelesaikannya. Bagian dari manusia yang tidak dapat dipelajari dan diraih dengan usaha disebut kodrat; bagian dari manusia yang dapat diraih melalui pembelajaran dan diselesaikan dengan usaha disebut kegiatan sadar. Ini adalah perbedaan antara kodrat dan kativitas sadar.

Dari kririk atas mencius ini kita dapat melihat bahwa Xun Zi menggunakan “kodrat” untuk memaksudkan sebagai sesuatu yang berbeda. Mencius menggunakan “kodrat” sebagai inklinasi (kecendrungan) potensial atau batiniah – itu yang dapat diolah dan dimatangkan oleh usaha seseorang. Di sini kita melihat apa yang Xun Zi maksudkan dengan “kodrat” adalah apa yang diberikan atau disempurnakan saat kelahiran – itu yang tidak dapat dikembangkan lebih lanjut melalui pendidikan kemudian atau usaha sadar. Xun Zi mendaftar kemampuan mata untuk melihat atau telinga untuk mendengar sebagai bagian dari kodrat seseorang, karena “anda tidak dapat memperoleh pandangan yang jelas dan pendengaran yang jelas melalui belajar.” Pandangan kapasitas kodrati manusia ini tidak dapat akurat secara sempurna melalui standar masa kini. Bagaimana pun, nampak ada suatu perbedaan antara apa yang kita miliki sebagai atribut kodrati dan apa yang kita miliki sebagai atribut kultural. DC. Lau meringkas pembedaan Xun Zi antara kodrat manusia dan usaha sengaja manusia (ia menyebutnya “kecerdasan manusia”) dalam cara demikian: Kodrat manusia adlah itu yang (1) diberikan oleh Langit, (2) tidak dapat dipelajari, (3) tidak dapat dikembangkan melalui ketekunan (4) bukanlah hasil dari refleksi oleh akal budi. Sementara kecerdasan (artifice) adalah itu yang (1) ditemukan oleh para bijak, (2) dapat dipelajari, (3) dapat dikembangkan melalui ketekunan, dan (4) hasil dari refleksi melalui akal budi.

Kita dapat mengatakan bahwa bagi Xun Zi kodrat manusia adalah apa yang manusia sharingkan ??? dengan binatang lain, sementara kebaikan manusia adalah apa yang manusia kembangkan melalui proses lama dari peradaban. Karena itu, adalah usaha sadar manusia, lebih daripada kodrat manusia, yang membedakan manusia dari binatang lain. Ini persis bertentangan dengan klaim mensius. Setelah menguji pandangan Xun Zi tentang kodrat manusia, sekarang kita akan melihat argumennya melawan teori mensius: Xun Zi mengatakan:

Kodrat manusia adalah jahat; kebaikannya adalah hasil dari [usaha sadar] dirinya. Sekarang, kodrat bawaan manusia dicari untuk memperoleh keuntungan. Jika tendensi ini diikuti, perselisihan dan nafsu merampas dihasilkan dan rasa hormat dan kerelaan menghilang. Dengan kodrat bawaan seseorang iri dan marah terhadap orang lain. Jika tendensi ini diikuti, luka dan kehancuran dihasilkan, dan loyalitas dan kesetiaan menghilang. Dengan kodrat bawaan seseorang memiliki hasrat telinga, dan mata dan orang menyukai suara-suara dan pemandangan yang indah. Jika tendensi ini diikuti kekotoran dan kejangakan (ketidaksenonohan) dihasilkan dan tatanan kesopanan dan kebajikan menghilang. Karena itu, jika manusia mengikuti kodrat dan perasaannya, secara tak terelakan ia akan menghasilkan perselisahan dan nafsu merampas. Saat mentalitas seperti itu dikombinasikan dengan pemberontakan dan ketidakacuhan terhadap tatanan sosial, ia akan berakhir dengan kekerasan. Karena itu harus ada pengaruh yang mengadabkan dari para pengajar dan hukum, dan panduan kesopanan dan kebajikan. Di bawah pengaruh-pengaruh itu, manusia akan mengembangkan sikap hormat dan kerelaan, yang dikombinasikan dengan budaya dan tatanan akan membimbingnya pada kedisiplinan. Dari titik ini, jelaslah bahwa kodrat manusia itu jahat dan bahwa kebaikannya adalah hasil dari [usaha sadarnya].

Marilah kita memformulakan argumen ini sebagai berikut (argumen satu): 1. (a) dengan kodrat bawaan, seseorang sangat mencintai keuntungan; (b) iri dan marah terhadap orang lain; (c) memiliki hasrat kesenangan inderawi. 2. (a) jika tendensi mencari keuntungan diikuti, perselisihan dan nafsu merampas dihasilkan, dan hormat dan kerelaan menghilang; (b) jika tendensi untuk iri dan marah pada orang lain diikuti, luka dan kerusakan akan dihasilkan sementara kepatuhan dan kesetiaan hilang; (c) jika tendensi untuk memenuhi hasrat inderawi diikuti, kekotoran dan kejangakan dihasilkan sementara kesopanan dan kebajikan hilang. 3. Karena itu, jika seseorang mengikuti kodrat bawaannya, kejahatan akan terjadi. 4. Keutamaan yang kita lihat dalam diri manusia seperti, sikap hormat, kesetiaan, kepatuhan, kesopanan dan kebenaran, semuanya harus berasal dari pengaruh para pengajar dan hukum. 5. Karena itu, manusia dri kodratnya adalah buruk, kebaikan dirinya dihasilkan oleh usaha sadar. Untuk menguji argumen ini kita harus melihat jika kita menerima premis pertama Xun Zi, yang adalah suatu claim empiris atas emosi manusia. Suatu klaim empiris yang luas…… dengan klaim ini sendiri, Xun zi tidak menyangkal/membuktikan salah observasi mensius tentang kecendrungan moral yang manusia miliki secara kodrati. Ia melulu menunjukkan kecendrungan lain yang tidak mensius tekankan. Jika mensius dapat membuat klaim empiris yang luas tentang kecendrungan manusia yang baik, Xun Zi juga dapat membuat klaim empris yang luas tentang kecendrungan buruk yang manusia miliki. Argumennya kuran glebih sama kuat dan lemahnya dengan argumen mensius. Premise kedua dalam argumen ini menyatakan suatu klaim kondisional dengan asumsi tersembunyi bahwa sumber daya di bumi ini terbatas. Jika orang-orang menginginkan barang-barang yang sama dan hasrat mereka tidak dapat semuanya dipuaskan, lalu nampak dapat diprediksi bahwa mereka akan berakhir dengan bertarung untuk hal-hal yang mereka semua inginkan. Karena itu, jika manusia semua mengikuti sikap egoistik dan antagonistik mereka yang kodrati, lalu dunia akan berakhir dalam keadaan perselisihan dan kekacauan. Dari kesimpulan pertama ini yang dinyatakan dengan (3), Xun zi memperkenalkan premise (4), yang tidak nampak melngikuti secara langsung dari apa yang telah dinyatakan sejauh ini. Kita dapat menganggapnya sebagai suatu supposisi yang terpisah. Ditambahkan dengan klaim baru ini, Xun Zi mengambil kesimpulannya bahwa kodrat manusia adalah jahat. Lebih lanjut Xun Zi memberikan suatu argumen paradoks. Ia mengatakan:

Setiap orang yang ingin melakukan hal yang baik melakukannya sedemikian tepat karena kodratnya adalah jahat. Seorang yang kepandaiannya tidak lengkap/kurang menginginkan kebesaran; seorang yang jelek merindukan ketampanan; seorang dalam tempat tinggal yang terkekang merindukan keleluasaan; seorang yang miskin merindukan kekayaan; seorang yang rendah merindukan kemahsyuran. Apapun yang kurang pada diri seseorang akan dicarinya di luar dirinya. Tetapi jika seseorang telah kaya, ia tidak akan merindukan kekayaan, dan jika ia telah termahsyur, ia tidak akan merindukan kekuasaan yang besar. Apa yang telah dimilikinya di dalam dirinya sendiri ia tidak akan diganggu untuk mencari diluar. Dari sini kita dapat melihat bahwa hasrat manusia untuk melakukanyang baik secara tepat karena kodratnya adalah jahat.

1. Seorang yang prestasinya kurang merindukan kebesaran; seorang pribadi yang jelek merindukan ketampanan; seorang yang terkekang merindukan keleluasaan; seorang yang miskin merindukan kekayaan, seorang yang rendah merindukan kemashyuran. 2. Jadi, apapun yang kurang dalam diri seseorang akan dicarinya di luar dirinya; apa yang telah ia punyai tidak akan menyusahkannya untuk mencari di luar. 3. Karena itu, jika orang ingin menjadi baik, mereka belum belum memiliki kebaikan dalam diri mereka sendiri. Untuk argumen ini A.C.Cua memberikan kritik yang baik: Jika dikatakan bahwa seorang terpelajar menginginkan dan mengusahakan pembelajaran, orang dapat menunjukkan bahwa obyek dia inginkan dan usahakan adalah pengetahuan yang lebih, dan secara logis menyatakan bahwa ia tidak memiliki apa yang ia cari….Poinnya adalah bahwa jika aku menginginkan dan mencari suatu obyek X, yang menyatakan bahwa secara jelas aku mengetahui X….lalu aku tidak dapat dikatakan menginginkan dan mencari X jika aku memiliki X. tetapi tiu berarti juga bahwa seorang yang baik dapat mencari dan menginginkan kebaikan, dalam arti kebaikan yang lebih, tanpa dirinya sendiri kekurangan dari suatu derajat kebaikan. Ada perbedaan derjaat kebaikan moral. Dari observasi konseptual tentang gagasan hasrat sebagai yang secara logis mencakup kurangnya obyek yang hasratkan, [Xun Zi] tidak dapat membangun klaim bahwa “manusia ingin melakukan yang baik secara tepat karena kodratnya buruk.”

Dengan kata lain kita dapat menginginkan uang lebih, tetapi tidak berarti bahwa kita tidak mempunyai uang; kita dapat ingin menjadi baik, tetapi tidak menyatakan bahwa kita belum sungguh baik. Argumen Xun Zi gagal membangun klaimnya. Dua Argumen berikutnya dapat didiskusikan bersamaan. Argumen ketigadi dasarkan pada asumsi bahwa apa itu kodrat adalah apa yang tidak dapat dipelajari atau diajarkan. Argumen keempat didasarkan pada asumsi bahwa apa itu kodrat adalah apa yang menyertai kelahiran seseorang. Pertama, argumen ketiga: 1. Dengan kodrat manusia kita memkasudkan hasil dari Langit bukan sesuatu yang dipelajari atau diusahakan. 2. Tetapi kita belajar menjadi baik dan bekerja keras untuk membuat diri kita lebih baik. 3. Karena itu, kodrat manusia adalah buruk; kebaikannya berasal dari usaha sadar manusia. Kemudian, argumen keempat: 1. Mencius mengklaim bahwa kejahatan datang dari hilangnya kodrat asali kita. 2. Tetapi segera setelah kita dilahirkan, kita mulai terpisah dari keadaan asali naivete dan simplisitas dan mesti tak terelakkan kehilangan apa yang mesisu sebut sebagai kodrat asali. 3. Karena itu, jika mensius benar, semua manusia secara tak terelakan menjadi jahat. 4. Tetapi pandangan bahwa semua manusia secara tak terelakkan menjadi jahat adalah absurd. 5. Karena itu, kejahatan tidak dapat berasal dari hilangnya kodrat-kodrat asali; sebagai gantinya itu harus menjadi bagian dari kodrat asali kita.

Kedua argument itu secara jelas didasarkan pada definisi Xunzi tentang Kodrat. Mensisu pastilah tidak setuju dengan premis pertama Xunzi dalam argumen ketiga, atau premis kedua dalam argumen keempat karena bagi mensisus, kodrat manusia ada dalam suatu keadaan perkembangan. Orang dapat menyadari, mengolah atau memajukan kodrat seseorang. Jadi, tidaklah benar bahwa keadaan kelahiran seseorang menentukan keseluruhan dari kodrat seseorang sehingga orang tidak dapat belajar untuk mengembangkannya. Sebagai suatu sangkalan atas pandangan mensius, dua argumen ini adalah… Xun Zi bertanya: “jika kesopanan dan kebajikan adalah produk usaha yang terakumulasi dan dipandang sebagai [inheren] dalam kodrat manusia, mengapa Yao dan Yu dihormati sedemikian tinggi, dan mengapa orang bijaksana dihargai demikian tinggi”. Dia menjawab: Yao, Yu dan orang bijaksana dihargai sedemikian tinggi karena mereka dapat mentransformasi kodrat dan membangunkan usaha keras. Ketika usaha terbangun, kesopanan dan kebajikan dihasilkan. Jadi relasi antara orang-orang bijaksana dan kesopanan dan kebajikan yang dihasilkan melalui usaha yang terakumulasi, adalah seperti

3. Human Nature, Education, and the Ethical Ideal a. Human Nature As Mencius is known for the slogan “human nature is good,” Xunzi is known for its opposite, “human nature is bad.” Mencius viewed self-cultivation as developing natural tendencies within us. Xunzi believes that our natural tendencies lead to conflict and disorder, and what we need to do is radically reform them, not develop them. Both shared an optimism about human perfectability, but they viewed the process quite differently. Xunzi envisioned that humanity was once in a state of nature reminiscent of Hobbes. Without study of the Way, people’s desires will run rampant, and they will inevitably find themselves in conflict in trying to satisfy their desires. Left to themselves, people will fall into disorder, poverty and conflict, living a life that would be, as Hobbes put it, “poor, nasty, brutish, and short.” It was this insistence that human nature is bad that was most often condemned by later thinkers, who rejected Xunzi’s view in favor of the idea, traced to Mencius, that people are naturally good.

Xunzi offers several arguments against Mencius’s position. He defines human nature as what is inborn and does not need to be learned. He argues that if people were good by nature, there would be no need for ritual and social norms. The sages would not have had to create them, and they would not need to have been handed down through the generations. They were created precisely because people do not act in accordance with them naturally. He also notes that people desire the good, and on the principle that one desires what one doesn’t already have, this shows that people are not good. He gives several illustrations of what life is like in the state of nature, without any education on ritual and morality. Xunzi does not believe that people are evil, that they deliberately violate the rules of morality, taking a perverse pleasure in doing so. They have no natural conception of morality at all: they are morally blind by nature. Their desires bring them into conflict because they don’t know any better, not because they enjoy conflict. In fact, Xunzi believes people do not enjoy it at all, which is why they desire the kind of life that results from good order brought about through the rituals of the sages. Like Mencius, Xunzi believed human nature is the same in everyone: no one starts off with moral principles. The original nature of Yao (a legendary sage king) and Jie (a legendary tyrant) was the same. The difference was in how they cultivated themselves. Yao reformed his original nature, Jie did not. In this way, Xunzi emphasizes the essential perfectability of everyone. Human nature is bad, but it is not incorrigible, and in fact Xunzi was rather optimistic about the possibility of overcoming the demands of desires that result in the state of nature. Though Confucius suggests that some people are better off by nature than others, Mencius and Xunzi seem to agree that everyone starts out the same, though they differ on the content of that original state. Though Xunzi believes that it is always possible to reform oneself, he recognizes that in reality this will not always happen. In most cases, the individual himself has to make the first step in attempting to reform, and Xunzi is rather pessimistic about people actually doing this. They cannot be forced to do so, and they may in practice be unable to make the choice to improve, but for Xunzi, this does not mean that in principle it is impossible for them to change. b. Education Like Confucius and Mencius, Xunzi is much more concerned with what kind of person to be than with rules of moral behavior or duty, and in this respect his view is similar to Western virtue ethics. The goal of Xunzi’s ethics is to become a person who knows and acts according to the Way as if it were second nature. Because human nature is bad, Xunzi emphasizes the importance of study to learn the Way. He compares the process of reforming one’s nature to making a pot out of clay or straightening wood with a press-frame. Without the potter, the clay would never become a pot on its own. Similarly, people will not be able to reform their nature without a teacher showing them what to do. Xunzi’s concern is primarily moral education; he wants people to develop into good people, not people who know a lot of facts. He emphasizes the transformative aspect of education, where it changes one’s basic nature. Xunzi laid out a program of study based on the works of the sages of the past that would teach proper ritual behavior and develop moral principles. He was the first to offer an organized Confucian curriculum, and his curriculum became the blueprint for traditional education in China until the modern period.

Practice was an important aspect of Xunzi’s course of education. A student did not simply study ritual, he performed it. Xunzi recognized that this performative aspect was crucial to the goal of transforming one’s nature. It was only through practice that one could realize the beauty of ritual, ideally coming to appreciate it for itself. Though this was the end of education, Xunzi appealed to more utilitarian motives to start the student on the program of study. As noted above, he discussed how desires would inevitably be frustrated in the state of nature. Organizing society through ritual was the only way people could ever satisfy even some of their desires, and study of ritual was the best way to achieve satisfaction on a personal level. Through study and practice, one could learn to appreciate ritual for its own sake, not just as a means to satisfy desires. Ritual has this power to transform someone’s motives and character. The beginning student of ritual is like a child learning to play the piano. Maybe she doesn’t enjoy playing the piano at first, but her parents take her out for ice cream after each lesson, so she goes along with it because she gets what she wants. After years of study and practice, she might learn to appreciate playing the piano for its own sake, and will practice even without any reward. This is what Xunzi imagines will happen to the dedicated student of ritual: he starts out studying ritual as a means, but it becomes an end in itself as part of the Way. c. The Ethical Ideal Xunzi often distinguishes three stages of progress in study: the scholar, the gentlemen, and the sage, though sometimes the sage and the gentleman seem to be equivalent for him. These were all terms in common use in philosophical discourse of the time, especially in Confucian thought, but Xunzi gives them a unique twist. He describes the achievements of each stage slightly differently in several places, but what he seems to mean is that a scholar is someone who has taken the first step of wishing to study the Way of the ancient sages and adopts them as the model for correct conduct; the gentleman has acquired a good deal of learning, but still must think about what the right thing to do is in a situation; and the sage has wholly internalized the principles of ritual and morality so that his action flows spontaneously without the need for thought, yet never goes beyond the bounds of what is proper. Using the piano analogy, the scholar has made up his mind to study the piano and is practicing basic scales. The gentleman is fairly skilled, but still needs to look at the music in front of him to know what to play. The sage is like a concert pianist who not only plays with perfect technique, but also adds his own style and unique interpretation of the music, accomplishing all this without ever consciously thinking about what notes to play. As the pianist is still playing someone else’s music, the sage does not make up new standards of conduct; he still follows the Way, but he makes it his own. Yet even then, at this highest stage, Xunzi believes there is still room for learning. Study is a lifelong process that only ends at death, much as concert pianists must still practice to maintain their skills. The teacher plays an extremely important role in the course of study. A good teacher does not simply know the rituals, he embodies them and practices them in his own life. Just as one would not learn piano from someone who had just read a book on piano pedagogy but never touched an actual instrument, one should not study from someone who has only learned texts. A teacher is not just a source of information; he is a model for the student to look up to and a source of inspiration of what to become. A teacher who does not live up to the Way of the sages in his own life is no teacher at all. Xunzi believes there is no better method of study than learning from such

a teacher. In this way, the student has a model before of him of how to live ritual principles, so his learning does not become simple accumulation of facts. In the event that such a teacher is unavailable, the next best method is to honor ritual principles sincerely, trying to embody them in oneself. Without either of these methods, Xunzi believes learning degenerates into memorizing a jumble of facts with no impact on one’s conduct. d. Discovering the Way Given Xunzi’s insistence on the importance of teachers to transmit the Way of the sages of the past and his belief that people are all bad by nature, he must face the question of how the first sages discovered the Way. Xunzi uses the metaphor of a river ford for the true Way: without the people who have gone before to leave markers, those coming after would have no way of knowing where the deep places are, and they would be in danger of drowning. The question is, how did the first people get across safely, when there were no markers? Xunzi does not address the question in precisely this way, but we can piece together an answer from his writings. Examining the analogies Xunzi uses is instructive here. He talks about cultivating moral principles as a process of crafting, using the metaphors of a potter shaping and firing clay into a pot, or using a press-frame to straighten a bent piece of wood. Just as the skill of making pottery was undoubtedly accumulated through generations of refining, Xunzi appears to think that the Way of the sages was also a product of generations of development. According to Xunzi’s definition of human nature, no one could say people know how to make pots by nature: this is not something we can do without study and practice, like walking and talking are. Nevertheless, some people, through a combination of perseverance, talent, and luck, were able to discover how to make pots, and then taught that skill to others. Similarly, through generations of observing humanity and trying different ways of regulating society, the sages hit upon the correct Way, the best way to order society in Xunzi’s view. David Nivison has suggested that different sages of the past contributed different aspects of the Way: some discovered agriculture, some discovered fire, some discovered the principles of filiality and respect between husband and wife, and so on. Xunzi views these achievements as products of the sage’s acquired nature, not his original nature. This is another way of saying these are not products of people’s natural tendencies, but the results of study and experimentation. Accumulation of effort is an important concept for Xunzi. The Way of the sages was created through accumulation of learning what worked and benefited society. The sages built on the accomplishments of previous sages, added their own contributions, and now Xunzi believes the process is basically complete: we know the ritual principles that will produce a harmonious society. Trying to govern or become a moral person without studying the sages of the past is essentially trying to re-invent the wheel, or discover how to make pots on one’s own without learning from a potter. It is conceivable (though Xunzi is very skeptical about anyone actually being able to do it), but it is much more difficult and time-consuming, when all one has to do is study what has already been created. e. The Heart In addition to having a teacher, a critical requirement for study is having the proper frame of mind, or more precisely, heart, since early Chinese thought considered cognition to be located in

the heart. Xunzi’s philosophy of the heart draws from other contemporary views as well as Confucian philosophy. Like Mencius, Xunzi believed that the heart should be the lord of the body, and using the heart to direct desires and decide on right and wrong accords with the Way. However, like Zhuangzi, Xunzi emphasizes that the heart must be tranquil and concentrated to be able to learn. In the view of the heart basically shared by Xunzi and Mencius, desires are not wholly voluntary. Desires are part of human nature, and can be activated without our necessarily being conscious of them. The function of the heart is to regulate the sense faculties and parts of the body, so that though one may have desires, the heart only acts on those desires when it is right to do so. The heart controls itself and directs the other parts of the body. This ability of the heart is what allows humanity to create ritual and moral principles and escape the state of nature. In the chapter “Dispelling Blindness” Xunzi discusses the right way to develop the heart to avoid falling into error. For study, the heart needs to be trained to be receptive, focused, and calm. These qualities of the heart allow it to know the Way, and knowing the Way, the heart can realize the benefits of the Way and practice it. This receptivity Xunzi calls emptiness, meaning the ability of the heart to continually store new information without becoming full. Focus is called unity, by which Xunzi means the ability to be aware of two aspects of a thing or situation without allowing them to interfere with each other. “Being of two hearts” was a common problem in Chinese philosophical writings: it could mean being confused or perplexed about something, as well as what we would call being two-faced. Xunzi addresses the first aspect with his discussion of unity, a focus that keeps the heart directed and free from perplexity. The final quality the heart needs is stillness, the quality of moving freely from task to task without disorder, remaining unperturbed while processing new information. A heart that has the qualities of emptiness, unity, and stillness can understand the Way. Without these qualities, the heart is liable to fall into various kinds of “blindness” or obsessions that Xunzi attributes to his philosophical rivals. Their hearts focus too much on just one aspect of the Way, so they are unable to see the big picture. They become obsessed with this one part and mistake it for the entirety of the Way. Only with the proper attitudes and control of one’s heart can one perceive and grasp the Way as a whole.

Related Documents