L. P. Mta.docx

  • Uploaded by: Yani Nurbaini
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View L. P. Mta.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,055
  • Pages: 24
LAPORAN PRAKTIKUM MANAJEMEN TANAH DAN AIR KELOMPOK 2

DOSEN : Ir. Bambang Widiarso., MP

DI SUSUN OLEH : ADE FITRIANA

C1051151005

ALVIN JOSUA M.

C1051151014

ASNADA

C1051151008

TIKA LIYANI

C1051151007

YANNI NURBAINI

C1051151033

ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK 2018

KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan laporan praktikum Manajemen Tanah dan Air. Laporan ini di susun sebagai tugas akhir laporan praktikum mata kuliah Manajemen Tanah dan Air program studi Ilmu Tanah. Laporan ini membahas tentang hasil yang telah di lakukan dalam proses praktikum ini. Kami menyadari dalam penyusunan laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritikan yang sifatnya membangun sangat di perlukan demi kesempurnaan penulisan laporan pada masa yang akan mendatang. Akhir kata dengan segala kerendahan hati, kami mengucapkan mohon maaf dan terima kasih, semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Pontianak, 16 Juli 2018

Penyusun

i

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................. i DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii DAFTAR TABEL .................................................................................................. iii BAB I.PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 1.1.

Latar Belakang ......................................................................................... 1

1.2.

Manfaat ..................................................................................................... 2

1.3.

Tujuan ....................................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 3 2.1.

Karakteristik Lahan Gambut .................................................................... 3

2.2.

Pengelolaan Lahan Gambut Untuk Perkembangan Pertanian .................. 4

2.3.

Pengelolaan Air pada Lahan Gambut ....................................................... 5

BAB III METODE PRAKTIKUM ......................................................................... 6 3.1.

Tempat dan Waktu Praktikum .................................................................. 9

3.2.

Bahan dan Alat Praktikum ....................................................................... 9

3.3.

Langkah Kerja ........................................................................................ 10

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 13 4.1.

Hasil........................................................................................................ 13

4.2.

Pembahasan ............................................................................................ 14

BAB V PENUTUP ................................................................................................ 13 4.1.

Kesimpulan ............................................................................................. 13

4.2.

Saran ......................................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 10 LAMPIRAN .......................................................................................................... 10

ii

DAFTAR TABEL Tabel 1. Hasil Tinggi Tanaman Kedelai ............................................................... 13 Tabel 2. Jumlah Bintil Akar Total dan Efektif ...................................................... 14 Tabel 3. Hasil Pembuatan MOL............................................................................ 14 Tabel 4. Hasil Kompos .......................................................................................... 14

iii

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP, 2008). Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal pertanian. Dari 18,3 juta ha lahan gambut di pulau-pulau utama Indonesia, hanya sekitar 6 juta ha yang layak untuk pertanian. Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian melalui reklamasi dari hutan rawa gambut (peat swamp forest) mengakibatkan perubahan ekosistem alami (gambut sebagai restorasi dan konservasi air) menjadi ekosistem lahan pertanian mempunyai konsekuensi perubahan sifat bawaan (inherent) seperti biofisk dan kimia gambut dan lingkungan. Banyak dan beragam kendala yang dihadapi dalam pengembangan

lahan

rawa

ini

baik

teknis,

sosial,

ekonomi

maupun

budaya. Masalah teknis utama termasuk adalah pengelolaan lahan dan air. Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dimaksudkan menghilangkan kelebihan air permukaan dan air dibawah permukaan serta mengendalikan muka air tanah. Tanah dan air sebagai sumberdaya alam lahan yang terbatas luas dan kualitasnya

serta

tidak

dapat

diperbaharui,

sedangkan

kehidupan

dan

kelangsungan hidup manusia dan seluruh mahluk hidup lainnya sangat tergantung dari hasil eksploitasi tanah dan air. Karena itu tanah dan air yang terbatas ini perlu dikelola secara benar, tepat dan efisien secara berkesinambungan dan berkelanjutan agar dapat dimanfaatkan terus. Dari tahun ke tahun informasi tentang lahan kritis semakin meluas adalah indikator adanya pengelolaan tanah dan air yang keliru. (tidak benar, tidak efektif dan tidak efisien). Penggunaan lahan dengan teknik pengelolaan yang keliru akan menyebabkan produktivitas tanah semakin menurun sampai ke titik hampir tidak mampu lagi mendukung produksi (kritis) dan akhirnya menjadi tanah rusak jika terus dikelola secara tidak benar. Hal ini terjadi karena dalam pengelolaanya tanah 1

diperlakukan diluar batas tingkat kemampuan lahan, sekalipun dengan input biaya produksi yang tinggi seperti penterasan dan pengolahan tanah secara mekanis. 1. 2 Manfaat 1. 3 Tujuan

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Karakteristik Lahan Gambut Bahan induk pembentuk tanah adalah bahan organik hasil akumulasi bagian – bagian tanaman hutan hujan tropika. Gambut tropika mumnya berukuran kasar sekasar batang, dahan dan ranting tumbuhan, sehubungan hal itu maka penetapan karakteristik gambut dengan metode konvensonal menjadi bias. Tanah gambut umumnya terbentuk karena kondisi jenuh air atau karena temperatur yang rendah, sehingga proses dekomposisi berlangsung nisbi lambat dibanding proses akumulasi. Tanah ganbut terbentuk dari endapan bahan organik sedenter (pengendapan setempat) yang berasal dari sisa jaringan tumbuhan yang menumbuhi dataran rawa dengan ketebalan bervariasi, tergantung keadaan topografi/tanah mineral di bawahnya. Bahan dasar penyusun tanah gambut didominasi oleh lignin dengan lingkungan yang kahat oksigen, sehingga proses dekomposisi bahan organiknya lambat. Sifat fisika tanah gambut, khususnya hidrolikanya

ditentukan

oleh

tingkat

pelapukan

bahan

organiknya.

Pengelompokan tanah gambut berdasarkan tingkat dekompoisi bahan organik dan berat volume menghasilkan tiga macam tanah gambut,yakni fibrik, hemik, dan saprik. Pengendalian drainase lahan gambut, dimaksudkan untuk mencegah terjadinya oksidasi gambut sehingga dapat menurunkan dekomposisi gambut. Hal ini dapat dimungkinkan dengan penggenangan, menghindari pengusikan (distrubance) dan mengatur tinggi permukaan air tanah (ground water level) di daerah rhizosfer. Drainase gambut harus didekati dengan perspektif total pengelolaan air yaitu dengan meminimalisir “stress” lengas tanah. 2. 2 Pengolahan Lahan Gambut Untuk Pengembangan Pertanian 

Pengelolaan lahan gambut tradisional untuk tanaman padi Di dalam sistem handil, parit utama dibuat kurang lebih tegak lurus badan sungai, ukuran parit utama lebar 2 m dalam 1 – 2 m, Setiap sekitar 200 m dibuat parit parit sekunder tegak lurus parit utama. Pada parit utama sebelum di persimpangan parit sekunder dibuat tabat untuk mengatur air. Di hulu parit utama selalu disisakan parit utama sebagai tandon (”reservoir”) air

3

untuk menggelontor air masam dan kemudian mengairi lahan untuk tanaman padi lokal yang olah tanahnya dilaksanakan secara tradisional. Dengan sistem ini pertanian padi dapat lestari (sustainable) sampai saat ini dengan tingkat produktivitas antara 2,0 – 2,5 t/ha tiap tahun. 

Pengelolaan lahan gambut tradisional untuk tanaman kelapa Parit dibuat ukuran minimal, pengaturan air dibuat dengan menerapkan sistem tabat, produktivitas tanaman kelapa dapat kontinu sampai saat ini.



Pengelolaan lahan gambut untuk tanaman perkebunan kelapa Pengelolaan lahan gambut dalam satu ekosistem pulau. Sistem drainase dikendalikan dengan baik untuk menjaga muka air dalam tanah disesuaikan dengan ruang perakaran yang diperlukan oleh tanaman. Produksi kelapa dapat menopang industri perkebunan.



Pengelolaan lahan gambut tradisional untuk tanaman sagu Parit dibuat ukuran kecil dan pengaturan air dibuat dengan menerapkan sistem tabat, produktivitas tanaman sagu dapat dikelola dalam skala industri.



Pengelolaan lahan gambut untuk hutan tanaman industri Pengembangan hutan tanaman industri (HTI) tanaman Acasia mangium dan Acasia crasicarpa di kaki kubah gambut. Parit (saluran) primer cukup besar lebar antara 8 – 10 meter karena selain untuk drainase juga untuk transportasi (navigasi), namun permukaanair dijaga ketat. Saluran sekunder (lebar 2 – 3 meter) dan saluran tertier (1 – 2 meter) cukup kecil untuk mengendalikan permukaan air tanah. Perkebunan ini telah memasok pabrik pulp.

2. 3 Pengelolaan Tata Air Pada Lahan Gambut Pengelolaan air pada lahan gambut pada prinsipnya adalah pengaturan kelebihan air sesuai dengan kebutuhan tanaman yang dibudidayakan.Tanah gambut mempunyai kemampuan menyimpan air yang besar dan tergantung tingkat kematangan gambut. Salah satu sistem yang diterapkan untuk pengelolaan air di lahan gambut adalah sistem drainase terkendali. Pada dasarnya sistem ini untuk mengatus air secara terkendali mulai dari tanggul dipasang bangunan pengendali (kontrol) agar dasar saluran relatif datar dan bangunan pengandali

4

kedua sebelum air dari air keluar dari lahan menuju ke sungai dengan maksud untuk mengendalikan elevasi muka air relatif. Bila aliran air keluar tidak akan drastis sehingga dapat mengendalikan ”overdrained” dan mencegah kekeringan yang akhirnya mempertahankan kondisi lahan tetap terpenuhi keperluan airnya. Ukuran bangunan pengendali terutama lebar saluran tergantung komoditas yang diusahakan, untuk tanaman padi memerlukan kondisi lahan tetap tergenang sehingga relatif sempit agar aliran muka air relatif terkendali, dan untuk tanaman perkebunan yang memerlukan kedalaman muka air tanah relatif dalam sehingga perlu dikendalikan sesuai dengan kedalaman zona perakarannya. Pengelolaan air diperlukan karena: a. Kondisi alami dan restorasi terutama kegiatan koservasi air . b. Pengelolaan air diperlukan untuk menghilangkan kelebihan air permukaan (drainase) dan air dibawah permukaan terutama untuk pertanian. c. Pengecegahan kebakaran dan pertanian : yaitu pengendalian muka air tanah.

Pengelolaan tata air mikro ialah pengelolaan air pada skala petani. Dalam hal ini, pengelolaan air dimulai dari pengelolaan saluran tersier serta pembangunan dan pengaturan yang

lebih

saluran

kuarter

dan

saluran

lain

kecil. Saluran tersier umumnya dibangun oleh pemerintah

tetapi pengelolaannya diserahkan kepada petani. Pengelolaan air di tingkat petani bertujuan untuk mengatur agar setiap petani memperoleh air irigasi dan membuang air drainase secara adil. Untuk itu diperlukan organisasi di tingkat desa.Kemudian, pengelolaan di tingkat petani juga menciptakan kelembaban tanah di lahan seoptimal mungkin bagi pertumbuhan tanaman serta mencegah kekeringan lahan sulfat asam dan lahan gambut. Pengelolaan tata air yang dimaksud di sini adalah pengelolaan air skala mkro,yaitu yang berada di tingkat petani yang meliputi pembuatan saluran-saluran keliling, pengatusan dan kemalir, tabat, dan pintu air. Pengelolaan air di lahangambut terutama dimaksudkan untuk mempertahankan muka air tanah pada bataslayak untuk tanaman pangan. Untuk padi, muka air tanah perlu dipertahankan pada jeluk antara 30-40 cm dan untuk palawija 4050 cm. (Rafieq, Achmad. 2004).

5

Pengelolaan air juga penting untuk menjaga agar tidak terjadi amblesan yang besar. Sistem tabat lazim digunakan oleh petani tradisional untuk mempertahankan air selama musim tanam (lacak) bagi padi lokal berumur 8-10 bulan, yang bersifat peka fotoperiod pada sekitar bulan Maret-April. Tabat dibuka pada akhir musim kemarau

atau menjelang musim hujan untuk

mengeluarkan unsur dan senyawa racun berupa asam-asam organik dan ion-ion logam lainnya. Sistem tabat ini memberikan peluang bagi pengembangan padi sekaligus perbaikan mutu lahan, terutama dalam menurunkan kadar unsur pencemaran (Al, Fe, dan H2S). Dalam budidaya tanaman palawija, pembuatan saluran pengatusan keliling dan kemalir di lahan gambut dari hasil penelitian terbukti dapat memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah serta hasil tanaman jagung dan kedelai (Vadari et al.,1995). Dimensi ukuran saluran kemalir lebar 40 cm, dalam 30-50 cm, dengan jarak antara kemalir

9

m.

Penerapan

sistem

pengatusan dangkal untuk pengembangan tanaman palawija di lahan pasang surut Tipe B Unit Tatas, Kapuas (Kalimantan Tengah) dan Tipe C Unit Barambai (Kalimantan Selatan) memberikan hasil kedelai rata-rata sebesar 1,99 ton/ha, kacang tanah 1,53-2,70 ton/ha, dan jagung 4,32-4,69 ton/ha (Sarwani et al., 1994). Pengelolaan air tingkat mikro atau tingkat petani ini dianjurkan menerapkan sistem tata air satu arah sehingga pelindian senyawa atau unsur racun yang menghambat pertumbuhan tanaman lebih mempan. Pintu air yang dipasang di muara saluran tersier (handil) dapat bersifat semi-otomatis (aeroflapgate) yang bersifat membuka ke dalam (tersier) untuk pintu air irigasi dan membuka ke luar untuk pintu air drainasi/pengatusan. Hasil padi juga dipengaruhi oleh mutu air yang dipergunakan.

6

BAB III METODE PRAKTIKUM 3. 1 Tempat dan Waktu Praktikum Pelaksanaan praktikum Manajemen Tanah dan Air dilakukan di Desa Banjar Sari Kecamatan Rasau Jaya II. dan Pelaksanaan praktikum di lakukan pada hari Sabtu, 30 Juni 2018.

3. 2 Bahan dan Alat Praktikum Bahan :  Saluran

Alat : 

Meteran



Kayu Ukur



Alat Tulis



Camera

3. 3. Langkah Kerja

7

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1 Hasil Adapun hasil yang diperoleh dari pengukuran dan pengamatan saluran pada masing-masing jalur dilapangan yaitu sebagai berikut : PENGAMATAN JALUR I HIDROLOGI Pengamatan Titik Pertama Air tanah/Genangan (cm) 26 cm Muka air saluran 75 cm Beda tinggi ait tanah dan saluran 49 Drainase banjir/genangan (tnggi, frekuensi Kadar garam (uS/cm) Dimensi saluran (L x D) 389 cm Kondisi saluran Bersih Luapan dari sekunder Titik koordinat 49 M 0322395 / UTM 9972620 Pengamatan Titik Kedua Air tanah/Genangan (cm) 60 cm Muka air saluran 77 cm Beda tinggi ait tanah dan saluran 17 Drainase banjir/genangan (tnggi, frekuensi Kadar garam (uS/cm) Dimensi saluran (L x D) 390 cm Kondisi saluran Bersih Luapan dari sekunder Titik koordinat 49 M 0322462 / UTM 9972633 Pengamatan Titik Ketiga Air tanah/Genangan (cm) 28 cm Muka air saluran 74 cm Beda tinggi ait tanah dan saluran 46 cm Drainase banjir/genangan (tnggi, frekuensi Kadar garam (uS/cm) Dimensi saluran (L x D) 420 cm Kondisi saluran Bersih

8

Luapan dari sekunder Titik koordinat

49 M 0322572 / UTM 9972644

Tabel 1. Pengukuran dan Pengamatan Saluran Jalur I

TABEL PENGAMATAN JALUR II HIDROLOGI Pengamatan Titik Pertama Air tanah/Genangan (cm) 24 cm Muka air saluran 85 cm Beda tinggi ait tanah dan saluran 62 cm Drainase banjir/genangan (tnggi, frekuensi Kadar garam (uS/cm) Dimensi saluran (L x D) Kondisi saluran Kurang baik Luapan dari sekunder Titik koordinat S 00º 14.923 / E 109º 24.337 Pengamatan Titik Kedua Air tanah/Genangan (cm) 34 cm Muka air saluran 72 cm Beda tinggi ait tanah dan saluran 38 cm Drainase banjir/genangan (tnggi, frekuensi Kadar garam (uS/cm) Dimensi saluran (L x D) Kondisi saluran Kurang baik Luapan dari sekunder Titik koordinat S 00º 14.910 / E 109º 24.368 Pengamatan Titik Ketiga Air tanah/Genangan (cm) 32,5 cm Muka air saluran 77 cm Beda tinggi ait tanah dan saluran 44,5 cm Drainase banjir/genangan (tnggi, frekuensi Kadar garam (uS/cm) Dimensi saluran (L x D) cm Kondisi saluran Kurang baik Luapan dari sekunder Titik koordinat S 00º 14.891 / E 109º 24.441

9

Pengamatan Sekat Kanal Titik 1 Lebar sekat kanal 4,7 meter Titik tengah sekat kanal 2,35 meter Titik koordinat S 00º 14.933 E 109º 24.294 1. Bagian penampungan saluran sekat kanal: (sisi sebelah kanan) - Kedalaman air saluran 40 cm - Tinggi muka air saluran 88 cm (bagian tengah saluran) - Kedalaman air saluran 24 cm - Tinggi muka air tanah saluran 85 cm (sisi sebelah kiri) - Kedalaman air saluran 33 cm - Tinggi muka air saluran 100 cm 2. Bagian pembuangan saluran sekat kanal: (sisi sebelah kanan) - Kedalaman air saluran 49 cm - Tinggi muka air saluran 97 cm (bagian tengah saluran) - Kedalaman air saluran 66 cm - Tinggi muka air tanah saluran 92 cm (sisi sebelah kiri) - Kedalaman air saluran 50 cm - Tinggi muka air saluran 92 cm Pengamatan Sekat Kanal Titik 2 Lebar sekat kanal 4,4 meter Titik tengah sekat kanal 2,2 meter Titik koordinat S 00º 14. 797 E 109º 24. 375 3. Bagian penampungan saluran sekat kanal: (sisi sebelah kanan) - Kedalaman air saluran 80 cm - Tinggi muka air saluran 56 cm (bagian tengah saluran) - Kedalaman air saluran 59 cm

10

- Tinggi muka air tanah saluran (sisi sebelah kiri) - Kedalaman air saluran - Tinggi muka air saluran 4. Bagian pembuangan saluran sekat kanal: (sisi sebelah kanan) - Kedalaman air saluran - Tinggi muka air saluran (bagian tengah saluran) - Kedalaman air saluran - Tinggi muka air tanah saluran (sisi sebelah kiri) - Kedalaman air saluran - Tinggi muka air saluran

59 cm 86 cm 62 cm

105 cm 48 cm 88 cm 49 cm 45 cm 51 cm

Tabel 2. Pengukuran dan Pengamatan Saluran Jalur II

TABEL PENGAMATAN JALUR 3

HIDROLOGI Pengamatan titik pertama Air tanah/Genangan (cm) 14 cm Muka air saluran 21 cm Beda tinggi air tanah dan saluran 7 Drainase banjir/genangan (tnggi, frekuensi Kadar garam (uS/cm) Dimensi saluran (L x D) 51 cm Kondisi saluran Bersih Luapan dari sekunder Titik koordinat 49 M / UTM 9972347 Pengamatan titik kedua Air tanah/Genangan (cm) 25 cm Muka air saluran 21 cm Beda tinggi air tanah dan saluran 4 Drainase banjir/genangan (tinggi, frekuensi Kadar garam (uS/cm) Dimensi saluran (L x D) 49 cm Kondisi saluran Bersih Luapan dari sekunder -

11

Titik koordinat

49 M / UTM 9972379 Pengamatan titik ketiga Air tanah/Genangan (cm) 19,5 cm Muka air saluran 21 cm Beda tinggi ait tanah dan saluran 1,5 cm Drainase banjir/genangan (tnggi, frekuensi Kadar garam (uS/cm) Dimensi saluran (L x D) 44 cm Kondisi saluran Bersih Luapan dari sekunder Titik koordinat 49 M 0322887 / UTM 9972445 Pengamatan sekat kanal titik 1 Lebar sekat kanal (HULU) 4,3 meter Lebar pintu air 82 cm Titik koordinat UTM 9972408 Lebar sekat kanal (HILIR) 4,6 m Lebar pintu air 84 cm Titik koordinat UTM 9972408 5. Bagian penampungan saluran sekat kanal: (sisi sebelah kanan) - Kedalaman air saluran 59 cm - Tinggi muka air saluran 20 cm (bagian tengah saluran) - Kedalaman air saluran 70 cm - Tinggi muka air tanah saluran 17,2 cm (sisi sebelah kiri) - Kedalaman air saluran 52 cm - Tinggi muka air saluran 24 cm 6. Bagian pembuangan saluran sekat kanal: (sisi sebelah kanan) - Kedalaman air saluran - Tinggi muka air saluran (bagian tengah saluran) - Kedalaman air saluran - Tinggi muka air tanah saluran (sisi sebelah kiri)

68 cm 45 cm 83 cm 52 cm

12

-

Kedalaman air saluran Tinggi muka air saluran

72 cm 60 cm

Pengamatan sekat kanal titik 2 Lebar sekat kanal (HULU) 4,6 m Lebar pintu air 84 cm Titik koordinat Lebar sekat kanal (HILIR) 4,6 m Lebar pintu air 84 cm Titik koordinat 1. Bagian penampungan saluran sekat kanal: (sisi sebelah kanan) - Kedalaman air saluran 72 cm - Tinggi muka air saluran 15 cm (bagian tengah saluran) - Kedalaman air saluran 96 m - Tinggi muka air tanah saluran 13 cm (sisi sebelah kiri) - Kedalaman air saluran 52 cm - Tinggi muka air saluran 21 cm 2. Bagian pembuangan saluran sekat kanal: (sisi sebelah kanan) - Kedalaman air saluran - Tinggi muka air saluran (bagian tengah saluran) - Kedalaman air saluran - Tinggi muka air tanah saluran (sisi sebelah kiri) - Kedalaman air saluran - Tinggi muka air saluran

125 cm 73 cm 160 cm 75 cm 127 cm 77 cm

Tabel 3. Pengukuran dan Pengamatan Saluran Jalur III

13

TABEL PENGAMATAN JALUR 4 HIDROLOGI Pengamatan titik pertama Air tanah/Genangan (cm) 23 cm Muka air saluran 71 cm Beda tinggi ait tanah dan saluran 52 cm Drainase banjir/genangan (tnggi, frekuensi Kadar garam (uS/cm) Dimensi saluran (L x D) 284 cm Kondisi saluran Baik Luapan dari sekunder Titik koordinat 49 M 0322916 / UTM 9972301 Pengamatan titik kedua Air tanah/Genangan (cm) cm Muka air saluran cm Beda tinggi ait tanah dan saluran Drainase banjir/genangan (tnggi, frekuensi Kadar garam (uS/cm) Dimensi saluran (L x D) Kondisi saluran Baik Luapan dari sekunder Titik koordinat 49 M / UTM Pengamatan titik ketiga Air tanah/Genangan (cm) 28 cm Muka air saluran Beda tinggi ait tanah dan saluran Drainase banjir/genangan (tnggi, frekuensi Kadar garam (uS/cm) Dimensi saluran (L x D) Kondisi saluran Baik Luapan dari sekunder Titik koordinat 49 M 0323039 / UTM 9972345 Tabel 4. Pengukuran dan Pengamatan Saluran Jalur IV

14

4. 2 Pembahasan Pada pertanian lahan rawa pasang surut, tanaman akan tumbuh dan berkembang dengan baik apabila kedalaman muka air tanah dapat diatur sesuai dengan zona perakaran tanaman, dan pirit yang ada di dalam tanah tidak teroksidasi. Penanaman muka air tanah hingga di bawah lapisan tanah yang mengandung pirit akan

menyebabkan

menghasilkan

sulfat. Asam sulfat bersifat racun, sehingga dapat

senyawa

terjadinya

oksidasi

pirit

yang

mengganggu pertumbuhan tanaman. Oksidasi pirit dapat dikendalikan dengan menekan kandungan oksigen yang tersedia di dalam tanah, yaitu dengan mengatur kedalaman muka air tanah. Adapun laporan data yang kami temukan di lapangan ini yaitu : 1. Dimensi saluran Dari kegiatan pengukuran dimensi saluran sekunder dan didapatkan data yaitu pada tabel 1, 2, 3 & 4. Dimensi saluran di setiap jalur berbeda-beda. Pada jalur I titik pertama saluran tersier, dimensi salurannya adalah 389 cm, tinggi muka air pada saluran tersier adalah 75 cm. Pada titik kedua, dimensi salurannya adalah 390 cm dengan tinggi muka air pada saluran tersier adalah 77 cm. Pada titik ketiga, dimensi salurannya adalah 420 cm dengan tinggi muka air pada saluran tersier adalah 74 cm. Pada jalur II titik pertama saluran kuarter, dimensi salurannya setiap titik tidak ada. Hal ini dikarenakan kendala keterbatasan alat dilapangan. Pada titik pertama, tinggi muka air pada saluran kuarter adalah 85 cm. Pada titik kedua, tinggi muka air pada saluran kuarter adalah 72 cm. Pada titik ketiga, tinggi muka air pada saluran kuarter adalah 77 cm. Pada jalur III titik pertama saluran kuarter, dimensi salurannya adalah 51 cm, tinggi muka air pada saluran kuarter adalah 21 cm. Pada titik kedua, dimensi salurannya adalah 49 cm dengan tinggi muka air pada saluran kuarter adalah 21 cm. Pada titik ketiga, dimensi salurannya adalah 44 cm dengan tinggi muka air pada saluran kuarter adalah 21 cm. Pada jalur IV titik pertama saluran kuarter, dimensi salurannya adalah 284 cm, tinggi muka air pada saluran kuarter adalah 71 cm. Pada titik kedua dan titik ketiga tidak ditemukan adanya saluran.

15

Dimensi saluran dan bentuk saluran perlu diperhatikan agar didapatkan saluran stabil yaitu tidak mengganggu masalah erosi maupun sedimentasi. Persoalan pada saluran yang perlu mendapat yaitu penentuan kecepatan terpakai, agar tidak timbul erosi, sedimentasi, maupun longsoran - longsoran. Dimensi saluran sekunder ditentukan berdasarkan kebutuhan air dari seluruh petak tersier setiap titik yang dilayani dengan memperhitungkan kehilangan air banyak di petak sekitar vegetasi maupun pada saluran tersier. saluran sekunder merupakan batas dari petak tersier, sehingga penentuan dari petak tersier diusahakan berbentuk persegi panjang (memanjang arah aliran) dengan luas disesuaikan dengan keadaan topografi daerah.

2) Tinggi muka air pada saluran a. Pengamatan tinggi muka air pada saluran dilakukan dengan menggunakan kayu. Meteran digunakan untuk permukaan saluran air, panjangnya mengikuti bentuk saluran. b. Banyaknya jalur pengamatan adalah 4. 1 jalur yang terbagi atas 3 titik pengamatan. Saluran sekunder yaitu sebagai pengairan di Desa Banjar Sari. c. Pengamatan tinggi muka air pada saluran dilakukan pada pukul 09.0011.00 WIB. Agar kondisi muka air tanah dapat mendukung sistem usahatani, maka perlu dibuat panduan pengoperasian pintu air di saluran sekunder sesuai dengan sistem usahatani yang diterapkan. 3). Tinggi muka air tanah Menurut Susanto (2000), pengendalian muka air tanah di blok tersier merupakan suatu proses kunci yang harus dilakukan dengan tepat melalui pengendalian air di saluran tersier. Namun, teknik pengelolaan air yang dilakukan hingga saat ini masih bergantung pada pengamatan muka air tanah secara langsung di lapangan, yaitu dengan membuat sumur-sumur pengamatan di petak lahan. Meskipun memiliki akurasi yang tinggi, tetapi pengamatan muka air tanah secara langsung memerlukan waktu, tenaga, dan biaya yang besar. Selain itu,

16

informasi yang diperoleh juga sangat terbatas, yaitu hanya pada titik pengamatan dan jangka waktu pengamatan tertentu.

Pengamatan

tinggi

muka

air

tanah

dilakukan

melalui

sumur

pengamatan (wells) yang dibuat dari pipa paralon dengan panjang 3 m dan diameter 2,5 inchi. Pipa tersebut dilubangi pada bagian sisi-sisinya kemudian dilapisi dengan ijuk dan ditanam dengan kedalaman 2,5 m dari permukaan tanah. Lubang pipa bagian atas ditutup dan hanya dibuka pada saat melakukan pengukuran. Untuk pengukuran muka air tanah, kami menggunakan pipa wells sebanyak empat buah dan diletakkan pada empat titik yang berbeda. Pipa wells dibuat dari pipa paralon dengan panjang 3 meter dan diameter 2,5 inchi. Pipa tersebut dilubangi pada bagian sisi – sisinya kemudian dilapisi dengan ijuk dan ditanam dengan kedalaman ± 2,5 meter dari permukaan tanah. Pengukuran muka air tanah dengan pipa wells ini setiap titiknya kami letakkan pada bagian tepi lahan, dikarenakan lahan tersebut lahan yang basah. Serta pengamatan ini seharusnya didiamkan dulu ± 24 jam baru lah diukur muka air tanahnya. Namun, fieldtrip ini hanya dilakukan satu hari maka hanya kami diamkan selama ± 5 menit. Jika pengamatan dilakukan ± 24 jam, maka seharusnya pipa wells ini ditutup supaya tidak tercampur serasah atau kotoran darib luar. Data yang didapat dari pengukuran muka air tanah, pada titik pertama adalah –4 cm, pada titik kedua adalah – 10 cm, pada titik ketiga adalah – 74 cm, dan pada titik keempat adalah – 34 cm. setiap titik yang kami amati didapatkan setiap titik bernilai minus yang berarti bahwa muka air tanahnya berada dibawah permukaan tanah.

17

BAB V PENUTUP 5. 1 Kesimpulan 5. 2 Saran

18

DAFTAR PUSTAKA Endah, N. 2002. Tinjauan Teknis Tanah Gambut Dan Prospek PengembanganLahan Gambut Yang Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Guru Besar ITSSurabaya.Hidayanti, N., dan Riwandi. 2011. Laju subsiden pada drainase dan pengapurantanah gambut fibrik dengan penanaman jagung. Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Bengkulu. Prosiding Seminar Nasional Budidaya Pertanian. Najiyati. 2003. Mengenal Perilaku Lahan Gambut. Seri Pengelolaan Hutan danLahan Gambut, Bogor. Nurzakiah, S. dan Achmadi J. 2004. Potensi dan kendala pengelolaan lahangambut untuk pertanian. Balai Penelitian Pertanin Lahan Rawa (Balitra).Kalimantan Selatan. Agroscientiae. Rieley, J.O., R.A.J. Wüst, J. Jauhiainen, S.E. Page, H. Wösten, A. Hooijer, F. Siegert, S.H. Limin, H. Vasander, and M. Stahlhut. 2008. Tropical peatlands: carbon stores, carbon gas emissions and contribution to climate change processes. Pp. 148-182. In M. Strack (Ed.) Peatlands and Climate Change. International Peat Society, Vapaudenkatu 12, 40100 Jyväskylä, Finland.

Page, S.E., S. Siegert, J.O. Rieley, H.D.V. Boehm, A. Jaya, and S.H. Limin. 2002. The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997. Nature (420):6165. Rieley, J.O., A.A. Ahmad-Shah, and M.A. Brady. 1996. The extent and nature of tropical peat swamps. In E. Maltby, C.P. Immirzi, R.J. Safford (Eds.). Tropical Lowland Peatlands of Southeast Asia. Proceedings of a Workshop on Integrated Planning

19

LAMPIRAN    

Jalur I Jalur II Jalur III Jalur IV

20

Related Documents

P&l
July 2020 35
L. P. Mta.docx
December 2019 36
12month P&l Projection
November 2019 22
Audited P&l Trends
November 2019 12
P&l Statement
December 2019 17
Tata P&l Account
July 2020 14

More Documents from ""

Cover Tmp.docx
December 2019 16
L. P. Mta.docx
December 2019 36
Jurnal 5.pdf
June 2020 26
348-839-1-pb.pdf
June 2020 31