Kumpulan Cerpen

  • Uploaded by: chytra
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kumpulan Cerpen as PDF for free.

More details

  • Words: 10,510
  • Pages: 43
KUMPULAN CERPEN

by: Chytra Bertdiana E.

PadanK Sept2009

[email protected]

Page 1

For First…. Menulis adalah impianku sejak dulu. Keinginan terbesar yang selalu menghiasi setiap perjalanan hidup. Sulit memang, tapi bukankah setelah kesulitan akan datang kemudahan?

Alhamdulillah, untuk kedua kalinya aku mencoba membuat e-book sederhana. Memang, masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Tapi setidaknya telah mengisi sebuah harapan di hatiku, menggumpalkan semangat di dadaku, untuk terus belajar.

Tidak ada yang lebih kuharapkan melainkan kritikan dan saran dari siapapun yang berkenan membaca tulisan sederhana ini. Semoga Allah SWT memberikan petunjuk bagi kita semua. Amin…

Penulis

[email protected]

Page 2

Daftar Isi 1. Bukan Bapak 2. Bisikan Malam 3. Dimensi 4. Plat Putih 5. Lukisan Sampah

[email protected]

Page 3

BUKAN BAPAK Datang dan pergi seperti waktu. Dia tidak pernah mau berhenti dan menengok sejenak. Meskipun benar-benar melelahkan perjalanan panjang itu. Aku bukan Kau dan Kau bukanlah Aku. Lalu hal aneh apalagi yang menggerakkanmu berpikir bahwa aku ingin menjadi dirimu. Seperti kemarau beberapa musim lalu di bulan Januari…. “Aku pergi tidak akan lama!” bisikmu kala itu. Tapi batinku sudah berkata lain. Merah putih tidak hendak melepasmu kembali. Ia merindukanmu. “Tunggulah disini dan jaga Ibumu, nak!” Itulah bait syairmu yang terakhir setelah buku-bukumu tertutup. Habis itulah kebisuan datang dari bibirmu yang kaku kering. Tidak ada kata atau rona. Pedang panjang keangkuhan dan cerita itu berakhir. Tentang seorang pejuang yang mencium bibir bumi yang kering. Keras batu-batu liat kuning coklat. bergumpal-gumpal seperti darah bekumu yang menyisakan kisah terlupakan disudut bibirmu. Sedang aku diam saja mengiringi kepergianmu. Buku sudah tertutup. Januari akhir sepuluh tahun setelah kau pergi kering kerontang. Panas menyesak hingga ke dada. Paru-paruku ditiup udara bergelombang karena beban kayu-kayu lapuk yang kupikul. Nafasku turun naik, begitupun ketika ibu memanggil dari sudut rumah. “Aliii, aliii…” Ia berseru dan aku berlari menghampir. Tak kugubris udara panas yang menggelitik saraf-saraf otak. Mata tuanya terlihat setengah beku menatap selembar kertas dihadapannya. Putih bergaris biru dan deretan huruf-huruf tak beraturan. “Rahmat….surat…nak!” Aku teringat pada seorang pemuda tinggi kurus yang mengangkut jenazahmu sepuluh tahun silam. Ibu menyuruhku memanggilnya kakak, meski sudah sepuluh tahun pula tak pernah kulihat seperti apa rupanya. “Abangmu..ayo baca!” Aku sudah nyaris lupa pada pelajaran membacaku dulu yang kupikir tak akan banyak berguna. Tapi huruf-huruf jelek yang membelintang itu seperti memberi nafas bagi Ibu. Kubaca kuat semampuku mengeja, seharusnya aku berterimakasih pada Guru SD ku dulu. “Abang baikbaik saja bu, tapi bulan ini belum bisa mengirim uang!” Ibu mengangguk-angguk seolah mengerti benar. Tapi senyumnya penuh harap dan rindu pada kepulangannya yang entah kapan. Kapan kau akan datang lagi. Aku rindu pada nafas tembakaumu dan cerita usang pejuang 45. Kau belum bercerita mengapa sekutu tak berhasil berkuasa, juga tentang pejuang jepang. [email protected]

Page 4

Entah kenapa, aku sempat rindu pada batukmu yang sesekali itu, hingga tanpa sadarpun aku meniru-meniru. Tapi aku bukan kau. Bukan. Mereka menakutimu. Kenapa? Karena kau angkat senjata dan aku tidak? Kubelai lembut senapang panjangmu yang tergantung di belakang gudang. Kutarik pelatuknya namun yang terdengar malah teriakan bergetar,”Jangan, Ali jangan sentuh itu nak! Buang saja! Ayo!” Ibu menarik lenganku cepat. Apakah Ibu juga menarik lenganmu dulu. Ketika kau memutuskan untuk memilih jalanmu? Ia mendekapku erat seperti melepas luka yang bergantungan. “Ayahmu sudah lama pergi, dan Hasan abangmu telah pergi juga, karena senapang ini.” Ia menatap mataku lekat ,”Ibu..”desisku. “Berjanjilah tidak menggunakannya nak!” Aku diam. Diam. Apakah Ibu menanyakan hal yang sama padamu dulu? Apakah kau juga Diam? Senja mulai menapak Desa Tanah Merah, tempat dimana rumah gubuk tua yang kau sisakan untuk kami bertengger. Tanah rencong di pedalaman hutan belukar makin menghitam. Ah, andai saja kau melihat warna langit tahun ini, andai kau cium aroma padi yang mulai menguning. Aku yang membajaknya, karena Ibu sudah merungkuk pada pinggangnya. Kapan kau pulang? Akan kuceritakan tentang kerbau yang beranak kembar. Juga tentang paman Samid yang turun gunung. Mereka menetap di Meulaboh, menjadi Pe eN eS. Ibu bilang sejak kau pergi, ia tak pernah masuk ke pedalaman rimba lagi. Ia tak angkat senjata lagi. Maka aku tak pernah lagi berjumpa dengannya. Apa kau tahu sekarang kami menanam tomat, semangka, sayur mayur dan tanaman obat. Tapi tak lagi ada yang menetap disini. Aku sungguh enggan membiarkan Ibu sendiri dalam sepi. Pohon-pohon pun sudah merindukan seruling bambumu. Aku sudah lama ingin belajar membuatnya bersamamu, supaya burung-burung iri padaku. Tapi kau belum kembali juga. Hingga padi menguning dan siap panen. Hingga anak-anak kerbau dijual di pasar Tanah Merah, hingga kulit Ibu mengeriput dan matanya merabun, hingga penat tulangku berkurang dan betisku tumbuh kokoh. Tapi aku bukan kau, aku tidak angkat senjata dan menghilang di hitamnya malam. Aku disini diam menunggui bidadariku yang sendiri, dalam tuanya yang sepi. Aku menunggui tiap nafasnya yang satu-satu dan merapikan rambutnya yang memutih. Bagaimana denganmu? Aku tak pernah mengerti mengapa ia masih merindukanmu. Dalam mimpinya dan dalam sepinya. Meski aku selalu disini, menunggui letihnya dan mencoba menghapus laranya. Apa [email protected]

Page 5

hebatmu? Apa karena kau angkat senjata dan aku tidak? Apa karena kau menghilang di hutan rimba, menyelusup di gua-gua dan aku tidak? Apa karena kau berlari tanpa alas kaki, pergi dan tak kembali untuk sebuah kemenangan yang belum juga kumengerti? Lantas kenapa kau tak pernah mengatakannya padaku? Udara malam pekat cepat berganti menjadi remang oranye kebiruan. Matahari pagi baru kembali menyentuh langit-langit kamarku. Tubuh kurusku yang ringkih beranjak pada medan pertempuranku. Ternak, kebun, kolam dan bidadari cantikku yang makin gamang. Aku tidak iri padamu. Meski pagi ini aku kembali mengingatmu, sama seperti pagi-pagi sebelumnya bertahuntahun lalu ketika kau pergi. Bapak, ternyata pagi ini perang belumlah usai. Meski kau telah terhenti di pinggir medan. Aku tak pernah tahu apakah kepergianmu pernah kusesali tapi rona mata Ibu menyiratkan kerinduan terdalam. Apakah telah benar jalan yang kau tempuh? Andai saja aku tahu, maka berdiriku tak lagi gamang. Andai aku mengerti tiap kata tentang kemerdekaan dan arti perjuangan. Tapi aku lemah, lelah dan linu setiap melihat tubuh tuanya yang merindumu. Maka tak kujejali jalanmu, tidak seperti Hasan. Seorang pemuda yang pernah singgah dalam bayang kenanganku. Ibu bilang dia adalah putra sulung, kesayanganmu. Tinggi, tegap, kokoh, dan berani, maju berjuang disampingmu untuk sebuah kemenangan yang belum juga kumengerti. Aku yang mungkin bodoh. Pagi ini warna langit masih biru, sama seperti tahunan silam sebelum kau pergi. Sama persis seperti suatu pagi November ketika kau menyulut rokok kesayanganmu dan mengeluhkan penat pinggangmu. Aku rasanya masih bisa mendengar desahmu kala itu. Tahukah kau musim telah jauh berganti? Tapi aku masih saja menjadi si bodoh yang meringkuk pada sawah dan kebun tomat. Kurecoki ayam-ayam dengan sisa dedak kemarin. Kerbau yang kembar itu telah kujual seekor, untuk membeli minyak tanah. Aku yang memasak, karena ibu sudah terlalu ringkih. Taukah kau masa jauh berganti sekarang. Harga-harga naik dan segalanya semakin sulit. Mungkin karena itu pagi ini putramu yang lain datang padaku, menarik lenganku untuk bersembunyi di belakang gudang. “Kemarin paman Samid mendatangiku, Aku akan ke pedalaman, naik gunung.” Ia mencoba berbisik padaku. Tapi bagiku seperti teriakan ke saraf pendengaranku. Kalau saja ibu tahu maka,”jangan beritahu ibu!” sambungnya lagi dan masih berbisik padaku. Aku yang bodoh, karena aku hanya mengangguk, tidak mencegahnya dan bahkan tak sepatah pun kuucap. Persis [email protected]

Page 6

sama ketika terakhir kali kau pergi. Ia menyelinap dan merenggut senjata yang tergantung di bibir dinding. Aku ingin berkata,”jangan!” seperti yang dikatakan Ibu. Tapi aku hanya diam, entah karena ia lebih kuat dan lebih tahu atau karena aku yang bodoh dan belum juga mengerti apa yang kau perjuangkan. Aku letih mencoba memahami jalanmu, maka kuputuskan untuk lupakan saja. Kubiarkan waktu merampas kedatangannya dan kata-katanya pagi itu. Hingga bulan demi bulan merangkak pada Desember. Ibu masih kulihat menunggui surat-suratnya, sama seperti ketika menunggui kepulanganmu dulu. Maka aku terkadang bertanya pada otakku yang beku, pernahkah ibu menungguiku seperti ia menunggui kalian. Aku hanya si bodoh yang terlalu lemah untuk pergi ke medan perang. Melawan Pemerintah demi perjuangan kemerdekaan. Aku tak ingin membiarkan bidadariku menunggui tuanya menjadi debu, bersama celoteh ayam dan jamurjamur di belakang gudang. Bolehkah aku berkata aku lelah memikirkan kau, Hasan dan Rahmat, aku lelah mencemburuimu dan semua kehebatanmu. Maka kuputuskan untuk pergi dari tanah ini. Tepat ketika kabar keguguran Rahmat kuterima dari ibu dengan air matanya tanpa suara. Ia bisu, beku, sesaat aku tiba-tiba mengenang kepergianmu. Maka aku pun gamang, bumi seperti bergetar di telapak kakiku. Tahukah kau, aku masih selemah dulu. Kupeluk bidadariku dan kubiarkan isakannya memenuhi rongga dadaku. “Ibu,”bisikku pelan lalu diam. Tubuhnya ditemukan beberapa meter sebelum hilir, terdampar dan membusuk. Jauh lebih mengerikan daripada kau dan Hasan. Seorang petani dari Lok Ngah yang menceritakannya padaku. Mereka membawanya dan menidurkannya disampingmu. Dadaku penuh dan sesak, entah kenapa otakku berputar-putar dan kepalaku sakit. Tapi aku tak akan jatuh. Tidak karena Ibu menggenggam erat jemariku. Seperti bertumpu menguatkan lututku. Malam itu aku menangis, aneh memang. Karena ketika kau dan Hasan pergi aku tak menangis melainkan menatap heran tak mengerti. Baru sekarang kusadari kau pun telah pergi, artinya tak kembali. Betapa bodohnya aku. Baru kusadari hanya tersisa aku dan Ibu. Hanya kami berdua, dan taukah kau aku gamang sebab jalan yang kau retas terlalu curam. Dua malam setelah ia pergi aku meretas jalanku, kebun dan ternak. Mentari demi mentari kulewati dengan tumpukan kayu di punggung. Jalanku juga berat, bahkan jauh lebih berat. Aku mulai merasa tenang. Mungkin ia memang harus pergi agar tak membuat Ibu menanti lagi. Agar tak membuat aku iri. Tahukah kau sekarang Ibu terlihat cantik. Pagi hari sekali ia bersamaku [email protected]

Page 7

memberi dedak ayam-ayam. Membantuku memotong sayur meski aku sudah berkeras melarangnya. Ibu masih suka teh kelat manis, aku yang membikinkan setiap pagi. Ia bersenandung, lagu lama ketika aku masih kecil dulu. Tapi ia jauh lebih cantik, jauh lebih anggun ketimbang ketika luka membiluri rona matanya ungu. Aku yang menatapnya dari bilik bamboo dan berharap kau tak pernah ada. Bapak, tahukah kau lukanya mulai sembuh. Tapi entah kenapa setiap kali senyumnya kutangkap, seperti ada bilur kelabu dibalik garis bibirnya. Aku ragu, benarkah ia sudah sungguhsungguh melupakanmu. Aku ragu pada jalannya yang makin tegap, pada nafasnya yang makin kuat, pada geriknya yang makin cepat dan pada matanya yang hilang nanar. Entah kenapa aku ragu pada bahagianya yang tiba-tiba. Desember adalah lukaku, luka ibu dan luka kami berdua. Menunggu waktu berputar cepat. Tapi entah apa yang kutunggu. pagi minggu itu adalah linu, biru seperti lagumu yang lalu. Tahukah kau kami meringkuk diantara puing-puing pondok tuamu, ketika bumi bergetar marah, menyemburkan luka terangkuh. Mencabik dan menyayat cinta tersisa, tanpa ampun. Angin adalah goresan luka pada hati yang rapuh. Meniupkan gelisah dan ketakutan teramat. Udara tenggelam bersama ribuan bulir-bulir padi, hilang ketika geriaknya menghempaskan semua sisa kehidupan. Bumi mati. Menyeruakkan sisa-sisa cintanya dan membunuh asa. Aku tenggelam dalam kekalutan manusiaku. Bertarung demi arti yang tersisa. Ibu, bisikku ketika gelombang menampar bibir bumi yang basah. Ia menengadah seperti tersenyum menatap langit yang biru angkuh. Tahukah langit, bumi meradang Dalam tubuhnya yang tercabik, mengerang. Tapi langit tetap bisu.. Udara beku.. Waktu seperti terhenti dalam detiknya kesatu.. Setiap nafas adalah harap Bumi mati dalam angkuhnya Meninggalkan cinta tanpa tanya Aku adalah luka yang tersisa, Desember meninggalkan bilur kepergiannya. Bidadariku tak hendak mengirimkan surat perpisahan. Aku bahkan tak tahu ia ada dimana. Kaki-kakiku yang kokoh kembali tertatih, seperti aku dulu yang ringkih. Wajah-wajah asing menebarkan [email protected]

Page 8

tanya pada asa. Adakah? Maka yang kuingat adalah ibu dalam tenangnya. Akan desah nafasnya meminta pada Sang Pencipta. Entah apa gerangan pintanya buatku, karena aku disini. Aku bukan Bapak, bukan Rahmat dan bukan Hasan. Aku hanya aku, sekarang pun hanya aku. Pemuda kurus ringkih yang terisak ditinggal ibunya pergi. Bersama entah ratusan atau ribuan pengungsi. Diantara tenda-tenda kehidupan dan ribuan isi bumi yang mati…….

24 januari – 19 desember 2005 my room---chy2

[email protected]

Page 9

BISIKAN MALAM On 19 December 2003 Ketika matahari terbenam, maka saat itulah suatu kehidupan di dunia lain dimulai. Taukah kau kalau mereka bermain bersama bintang-bintang dan sama sekali tidak merasa sedih atau kesepian. Ada yang percaya tentang kehidupan di dunia lain yang lebih abadi. Merekalah yang tertegun dalam sepinya malam yang sesungguhnya sedang berbisik lembut. Seperti seorang ibu yang menenangkan jiwa anaknya yang gelisah. Aku yang berada di laut kegelisahan itu. Tapi malam tidak kudengar berbisik melainkan sepi menyayat. Tidak ada kedamaian dalam sepi itu yang meski semakin pekat dan kental. Jatuhlah ia kedalam jurang kebodohan dan terombang ambing ombak keraguan. Lalu dimanakah aku sekarang? Masihkah di dalam cermin kaca yang kelabu atau di dunia lain dimana kebencian adalah mimpi? Kemanakah kau membawaku? Semua seperti rekayasa dengan naskah yang Maha Besar. Akulah bagian dari satu kepingan kecil itu. Tapi bukankah tiap bagian adalah potongan, dan tiap potongan akan merangkai satu kesimpulan. Tidak ada yang dapat menyimpulkan tanpa bagian kecil itu. Lalu mengapa harus berpiki bahwa kau tidak berarti?

On 20 December 2003 Dia datang dengan selembar kertas kosong. “Biar aku yang menuliskan”suara hatiku lirih. Tapi tangan-tangan ini kaku. Semakin dia mendekat, semakin lekatlah segala cinta yang pernah kucampakkan. Apakah aku terlalu angkuh? Kenapa sekarang kau bisu? Kenapa dulu kau begitu yakin, ataukah hanya menutupi kelemahan dan kerapuhanmu dengan berteriak pada langit? Begitukah caranya? Lantas mengapa detik-detik terasa begitu perlahan? Dan kau kenapa tidak bicara lagi. Aku tahu dia diam tidak berkata. Takutkah ia pada malam yang menceritakan kejujuran? Terlalu angkuh dan hitamkah ia sehingga kelemahannya pun tak menggetarkan? Suara-suara dari ruang hitam pekat menerpa seperti menghangatkan. Aku ingin kembali pada tempat dimana cinta pernah kusia-siakan. Aku ingin bertarung pada hidup yang [email protected]

Page 10

pernah kucampakkan. Biarkan aku kembali pada sepi yang mengajarkan kejujuran. Ijinkan aku. Kumohon pada-Mu.

On 21 December 2003 “Jikalau kau tahu semua awal pasti berujung Maka kenapa kau berlari dari cinta Yang Maha Agung Bukankah Dia yang menguasai semua jiwa Lalu kemana lagi gelisahmu akan kau tepikan Karena aku adalah jiwa… Yang sepertimupun mencari makna..

On 22 December 2003 Apa lagi yang dibisikkan malam padamu? Ceritakanlah dan aku akan menunggu. Biar malam ini habis. Biar aku menunggu dalam erangan perihnya luka yang kau torehkan. Kenapa diam? Berceritalah! Berceritalah lagi! Aku akan menunggu!

On 23 December 2003 Dia bisu

On 24 December 2003 …………………………..Aku……….. ……..Aku disini…………..

on 25 December 2003 Aku lah yang selalu membenci! Akulah yang selalu iri. Ya Aku yang selalu gelisah. Karena kau membuatku gelisah. Apa kau yang bicara? Ceritakanlah padaku apa yang dibisikkan malam? Ya Berceritalah! Malam berbisik tentang cinta-Nya yang telah melimpah untukmu yang kau campakkan. Dan kau terlalu penuh dengan rasa kehampaan. Bukankah kau menutup telingamu ketika malam berbisik tentang kejujuran? Lantas mengeluh kenapa dia tak berbisik padamu. Kau [email protected]

Page 11

terlalu rapuh namun angkuh! Membunuhku dengan selembar torehan hitam yang semakin pekat. Dan aku bisu. Tapi Akulah yang selalu merindukan kedamaian, tapi mengapa keangkuhanmu itu tak berujung juga? Kenapa tidak mendengarkan jiwamu sendiri yang berbisik dan dia tidak akan berdusta.

On 25 Dec 2003 Putih. Seperti kertas kosong tanpa garis-garis. Tempat apa lagi kau membawaku? Semua mengabur dan membentuk garis-garis bertepi. Ujung batas manakah lagi? “Karina?” Hangat. Aku merasa jari-jariku hangat. Sentuhan lembut yang pernah kukenal. Apakah ini? Aku mengenalnya, seperti benar-benar mengenalnya. “Ini Mama sayang, ini mama. Kamu sudah sadar? Alhamdulillah…” Mereka siapa? Akukah Karina? Aku melihatnya, berpakaian putih dan tersenyum hangat lantas berkata,”Dia akan baik-baik saja, untuk saat ini sebagian ingatannya hilang akibat benturan. Tapi tidak usah khawatir dia sudah sadar.” “Kakak sudah tidur selama seminggu. Lamaaa sekali!” Gadis kecil dengan rambut sebahu bergelombang. Matanya coklat tua. Ya coklat tua sekali. “Beberapa hari lagi dia boleh pulang!” Pria berstelan putih itu keluar ruangan. Lalu disana siapa? Dia tersenyum dan mendekat, “Ini Ayah nak! Dan tidak lama lagi kita akan pulang kerumah!”

05 Januari 2005 Aku punya Ayah Ibu dan seorang adik. Aku punya banyak cinta disini yang tidak akan kusia-siakan. Tidak akan ada hidup lagi yang kucampakkan. Kudengar dulu ada seorang gadis yang bernama Karina, ia lupa akan keberuntungannya dan memilih narkotika sebagai sahabatnya. Ia menggelutinya dan mengacuhkan suara-suara kejujuran hatinya. Ia berpikir tidak mungkin lagi malam berbisik untuknya. Bagaimana menurutmu? Ya tidak ada yang akan menceritakan kejujuran padamu melainkan hatimu. Dengar? Dia bicara padaku. PadanK Jan2005 [email protected]

Page 12

DIMENSI Udara yang kulewati terasa panas dan bergelombang, menerbangkan debu-debu yang mencekoki tenggorokan. Beberapa kali roda besar hartop hitam ini tergelincir dan Hasan berulang pula menekan gas. Ia berkeringat tapi tak sebanyak keringatku yang membanjir atau Alex yang memilih tidur terlentang di tengah sengatan gurun. Dia persis seperti unta yang akan segera dehidrasi. Masalahnya ini adalah pertama kalinya tugasku ke negeri bergurun yang benar-benar punya matahari. “Kau tahu Don, aku pernah ke khatulistiwa dan mendaki gunung di Alaska. Tapi tidak ada yang lebih buruk daripada dehidrasi,” Will terkekeh, wajahnya memerah persis sekali udang rebus setengah matang. “Yah, kuharap ini tidak akan lama. Seburuk apa keadaan disini?” jawabku. Hartop berjalan dan tergelincir lagi lalu terantuk pada lobang kecil hingga melambungkan kami semua.”Woooiii cool!” Will berseru seperti biasa seruan-untuk-apa-saja. Alex terbangun dan mencelingukkan kepalanya. “Sudah sampai?” tanyanya dengan mata setengah terbuka, “oh alangkah baiknya kalau ada jus jeruk dingin. Siapapun penemunya aku berterimakasih padanya,” sambungnya yang dijawab dengan ledekan Will,”maann, berhentilah menggigau tentang jus jeruk di planet mars.” Udara semakin panas menyengat disertai kepulan debu berhamburan membuat kami terbatuk-batuk dan berusaha menutupi mulut.“Ribuan mil dari rumah, oh ya ampun rasanya aku benar-benar merindukan Chicago dan rumah kami yang nyaman, istriku Sarah dan ….” Will terbahak-bahak dibangku belakang mendengar ucapanku. “Halllo Mayor ini tugas….!” Aku angkat bahu, “apa boleh buat, itulah yang tak kumengerti kenapa orang-orang menciptakan perang?” “Jangan tanya padaku Mayor, kau tahu jawabannya!” [email protected]

Page 13

Hartop hitam meluncur semakin cepat ketika suhu gurun nyaris membuat kami jadi ayam panggang. Will terus menerus mengeluhkan lambatnya pengemudi yang menurutku sudah melebihi kecepatan di alam berpasir. Ia selalu berusaha memastikan kompas dan peralatan minumnya masih berada di tempat yang benar. Sedangkan Alex sama sekali tidak mempedulikan hal itu, ia sibuk dengan mimpinya menyelam di samudra atlantik pada suhu 37 derajat, hal yang sama sekali tidak mungkin. “Berapa lama lagi?” tanyaku pada pengemudi yang bernama Hasan. Pria berjanggut putih lebat itu mengacungkan dua jarinya. Aku langsung paham, artinya pasti 20 menit, tapi rasanya akan menjadi 20 jam terpanjang. Ya ampun bagaimana bisa orang-orang ini hidup dibawah oven pemanggang tanpa mengeluh sedikitpun. Sesaat kemudian, dua mobil lain di depan kami memperlambat lajunya. Sersan Fick yang mengawal kami dari perbatasan hingga Baghdad menjengukkan kepalanya dari mobil di depanku. “Jembatan, Mayor!” Ia menunjuk ke arah depan, aku mengangguk mengiyakan. “Oh God! Apa lagi ini?!”ujar Will dari balik bahuku. “maaann, apa kau tak bisa berhenti mengoceh barang satu menit? Kau mengacaukan mimpiku dengan seruan konyolmu itu!” serobot Alex lantas beringsut dari kursinya dan menegakkan lehernya. Ia berusaha memastikan bahwa uraturat lehernya masih berada di tempat semestinya. “Berapa lama lagi?” “Entahlah, Hasan mengatakan kira-kira 20 menit tapi sekarang aku tidak yakin,” jawabku sekenanya. “Ya ampun, entah apa yang sedang terjadi di depan sana?” baru saja Will berkata begitu, sersan Fick langsung berlari mendekat. Nafasnya tersengal-sengal, kata-kata seperti berebutan dari mulutnya,”Jembatan dirusak, entah siapa yang melakukan ini yang jelas ini akan memperlambat kita,” ujarnya. Alex menepuk keningnya,”sudah kuduga, sebagai mana mestinya mereka tidak begitu menyukai kehadiran kita disini. Yah tak ada yang mengherankan.” Kali ini Will hanya mengangguk setuju.

[email protected]

Page 14

Kami tidak harus menunggu selama sepuluh menit untuk melewati jembatan ataupun untuk memperbaikinya. Karena selang beberapa menit saja terdengar sebuah dentuman yang berasal dari mobil di depan kami, seperti ledakan besar yang langsung disertai kobaran api menyala-nyala. Warna hitam hartop di depanku langsung menjadi merah kekuningan. Aku tercekat, sesaat tidak ada yang berkata-kata. Sepertinya jantungku memompa darah langsung ke ubun-ubun dan membiarkannya menekan urat saraf. Sersan Fick tidak berkedip dan beku di tempatnya beridiri. Rasanya begitu lama hingga salah satu diantara kami berkata,”oh, God!” kurasa Alex yang mengucapkannya. Kemudian entah darimana dalam sekejap saja semua sudah berhamburan keluar mobil. “Hubungi pos komando terdekat!” teriakku pada Will. Ia tidak mengangguk melainkan langsung menyerbu alat komunikasi di belakang mobil. “Alex, siagakan pasukan! Mungkin ada serangan!” “Fick! Lihat berapa orang yang selamat!” Kobaran api tiba-tiba saja sudah memanaskan udara dan membuatku mual. Sayangnya tidak ada cara terbaik yang dapat kami lakukan untuk memadamkan api ditengah negeri bergurun. Otakku berfikir keras seperti melompat-lompat dari tempatnya. Dua orang pria berhamburan dari mobil yang terbakar, tubuh mereka dipenuhi api dan selama beberapa lama keduanya bergulingan di pasir. Orang-orang seperti berlomba menyiramkan pasir ke tubuh keduanya yang sesaat berhenti bergerak. Beberapa waktu kupikir kami telah kehilangan mereka, namun petugas medis menyatakan mereka masih punya harapan. Sepuluh menit berlalu seperti merangkak. Suara-suara kecemasan, rintihan kesakitan dan laporan dari pos terdekat meruntuti otakku. Rentetan lima hartop berubah seperti deretan mobil pemakaman. Sejak beberapa menit lalu mereka mengatakan pasukan bantuan akan datang dengan kendaraan dan paramedis. Tapi hingga saat ini yang kudengar tak lain hanya jeritan

[email protected]

Page 15

kesakitan. Ingin rasanya kusarangkan peluru M-16 ku ke mulut mereka agar diam. Laporan dari sersan Fick menyatakan dua orang tewas dan tiga luka parah, bagiku itu sudah cukup mengerikan. Bagaimanapun juga tragedi pengeboman dan penembakan tidak pernah bisa menjadi suatu hal yang biasa bagiku. Rasanya sudah cukup buruk, tapi ternyata belum. Sekejap saja, tepat ketika Alex menyerahkan alat komunikasi padaku, sebutir peluru nyaris menyusur bahu kirinya dan menembus dinding Hartop. Tiba-tiba saja rintihan kesakitan berganti dengan teriakan makian dan tembakan bertubi-tubi. Orang-orangku mengejarnya. Seorang laki-laki yang menutupi wajahnya dengan sorban putih kotak-kotak hitam. Ia menghambur secepat kilat mencoba mengalahkan peluru yang menyongsong betisnya. Gila dan konyol, orang bodoh mana yang masih mencoba merecoki kami dengan sekumpulan pasukan bersenjata dan granat tangan. Hingga ketika pasukan bantuan datang Will masih dalam operasi pengejaran laki-laki asing itu. Aku tak mau dipusingkan dengan hal itu. Walaupun Mayor Jack Nicholson menawarkan kendaraan baru bagiku, aku sengaja menolak. Kendaraan yang terlalu mencolok akan mengundang perhatian dan kesalahpahaman. Kurasa ia mengerti, karena itu lima menit kemudian aku sudah berada di hartop yang sama bersama Alex, Will dan supir kami Hasan. ***

“Kita sudah sampai,” Hasan memberi aba-aba. Beberapa orang berseragam militer mendekat. “Selamat datang Mayor Donlett!” seorang pria gemuk putih menyambut dengan hormat khas militer dan salam hangat. “Anda akan segera terbiasa di sini,” ia tersenyum ramah dan membukakan pintu mobil. “Ini Alex dan Will, anggota pasukan khusus pengawasan yang ikut bersamaku,”Aku memperkenalkan kedua teman lamaku itu padanya. Kemudian kami masuk ke sebuah rumah yang penuh barang-barang dan senjata, juga tumpukan karung-karung tepung yang entah apa isinya. [email protected]

Page 16

“Disini pos pengawasan, pos utama ada di belakang jalan! Oh ya nama saya Jansen….sersan Jansen!” ia menunjuk pangkat kuning yang menempel di bahu kirinya. Aku mengangguk. Beberapa menit kemudian seorang pria berpakaian putih-putih keluar dengan cangkir-cangkir teh dingin, aku tahu dari uap yang menempel di cangkirnya. “Silahkan!”ujarnya tersenyum dan tanpa pikir dua kali kami langsung menenggaknya. *** Sebuah ruangan khusus yang sejuk di belakang dekat pos utama dengan tiga tempat tidur, rasanya tidak benar-benar untukku. Apalagi dengan tugas khusus. Alex dan Will tidak banyak komentar. Toh dua minggu lagi kami akan benar-benar pulang bukannya dipindahtugaskan. Pulang ke Chicago sepertinya sudah lama tidak kulakukan. Juga menemui putraku Tom, ia sudah tujuh belas tahun, dan oh ya.. minggu depan ulang tahunnya. Oh no, aku pasti tidak bisa pulang dan lagi-lagi kami akan bertengkar. Selalu begitu sejak… entahlah kurasa sejak ia tumbuh menjadi remaja dan mengenal pesta, alcohol ya ampun…apakah dulu aku seburuk itu. Kurasa aku akan bicara dan menjelaskan kalau ia akan berumur 18 tahun dan bahwa aku menyayanginya. “Kudengar mereka belum bisa membuatnya buka mulut!” Will mengangkat cerutunya. Lagi-lagi pagi itu ia merokok dan menebarkan asap cerutunya yang bau ke semua ruangan. Selera rokoknya memang buruk. “Siapa?” tanyaku. “Ya ampun Mayor! Apa kau tidak tahu, si biang kerok!” Aku mengerutkan kening. “Ia berniat meledakkan jalan tempat kita lewati kemarin. Hebatnya aksi konyol itu segera diketahui.” Will tersenyum. “Kita tidak punya urusan disini, melainkan menciptakan perdamaian,” jawabku. “Ya, kau benar Mayor, tapi kurasa dia tidak akan mengerti.”

[email protected]

Page 17

Jansen yang kemudian merinci berita penangkapan itu kepadaku. Ia melampirkan nama dan foto pelakunya. Seorang pria bukan..bukan tapi seorang pemuda karena kulihat ia berumur 17 tahun. “17 tahun, astaga?” Aku teringat pada putraku Tom. Ia juga berada pada usia yang sama ketika melakukan suatu hal yang gila. Apa aku harus berhati-hati pada pemuda manapun yang berusia 17 tahun, yang benar saja. Jansen mengantarku menemui pemuda itu, yang ternyata bernama Ali. Entah darimana yang jelas beberapa data tentang pemuda ini sudah ditanganku pagi itu. Mereka pikir ledakan itu ditujukan untukku, berikut tembakan yang nyaris mengenai Alex. Kami berjalan menyusuri lorong belakang gudang dan turun ke ruang bawah tanah. Menyusuri jeruji-jeruji besi dan deretan lilin, sama sekali tidak ada penerangan listrik. Ruangan itu segiempat dan tidak begitu besar., dengan dua kamar tahanan dan lima bangku kayu yang berderet. Salah satunya berderit ketika kududuki. “Ia bisa bicara Inggris,” bisik Jansen kemudian,”kurasa ia terpelajar!” aku mengangguk dan menyuruhnya meninggalkan kami. “Namamu Ali?” tanyaku hati-hati. Ia mengangkat kepalanya sedikit dan menatapku dengan sorot aneh, seolah aku ini bodoh dan tidak tahu apaapa. Persis tatapan ibuku dulu ketika aku bertanya padanya kenapa ia harus bekerja keras hingga larut. Tapi anak itu tidak menjawabku. “Kau tahu aku, adalah Mayor Donlett yang ingin kau bunuh. Aku tidak mengenalmu dan tidak punya permusuhan apa-apa denganmu. Kami datang dengan misi perdamaian dan membantu kalian. Nak, kau baru saja membuat kesalahan, apa kau tahu itu?” Ia diam. “putraku seusiamu dan yah, kami sering bertengkar karena berbagai hal..dan…” aku mengamati wajahnya. Dulu sebelum karir militerku, aku pernah menjadi guru sekolah dasar dan menghadapi seorang anak dengan senjata di kelas, seorang anak dengan wajah tertekan dan

[email protected]

Page 18

ketakutan. Tapi dia sama sekali tidak terlihat seperti itu. “Aku tidak peduli dengan putramu,”desisnya. Aku tersentak akhirnya ia mau bicara juga. “Tentu saja, kau tidak mengenalnya, ia pintar, suka basket kau tahu nak…” Ia menatapku lagi dengan pandangan yang sama,” Beberapa bulan yang lalu kami hanya salah satu keluarga biasa saja sebelum kemudian mereka meledakkan senjata dan membunuh saudaraku Karim juga Anwar dan Mahmud temanku, mereka menangkap Fatimah dan keluargaku tercerai berai” Ia tertawa meringis. “Apa alasan itu belum cukup?” Dia tidak seperti yang kuduga bahasa Inggrisnya amat lancar, tutur katanya teratur dan seperti yang dikatakan Jansen kurasa ia terpelajar. ”kau tahu nak, jika kau tidak memberi informasi maka resikonya akan sangat besar sekali.” Ia tersenyum setidaknya berusaha seperti itu,”aku tahu jalan apa yang telah kupilih, dan aku akan membayar ini dengan resiko apapun. Aku buka mulut atau diam apa bedanya, kalian akan tetap membunuhku.” “Tentu saja tidak, aku berjanji kalau kau memberi tahu kami siapa otak semua ini, maka kami akan menyelamatkanmu atau setidaknya memperingan hukumanmu. Aku adalah Mayor Donlett dan kau bisa pegang kata-kataku,”jelasku. “Mayor?!”sergahnya meringis,”kalau begitu kembalikan saja keluargaku!” Aku diam dan ia terus menatapku dengan pandangan yang sama,”Benar-benar tidak tahu terimakasih!” ujarku kemudian sebelum meninggalkan ruangan itu. ***

Will seperti yang sudah kuduga terkekeh mendengar ceritaku itu. Sedang Alex menurutnya anak itu pantas dihajar dan kubilang tidak.”Kurasa dia mata-mata, dan kita tidak mungkin membebaskannya,”kata Alex. “Rasanya aneh, huh, apa tidak ada cara lain?” Will menggeleng, “menurut Jansen dari tiga belas mata-mata yang tertangkap tak seorangpun buka mulut. Jaringan mereka sangat rapi.” “Lalu kemana mereka semua?” tanyaku. Will nyengir, “seperti cara yang biasa Mayor!”ia mendelik padaku dan aku tidak ingin mengingat cara itu. [email protected]

Page 19

Pagi itu sudah diadakan inspeksi rutin dan tidak seorangpun melihat peristiwa aneh. Semalam Sarah menelponku dan mengeluhkan soal Tom yang minum minuman keras. Lalu laporan terakhir yang kuterima sebelum tengah malam adalah tentang anak bernama Ali yang belum juga buka mulut. Sedang Alex mencurigainya sebagai mata-mata. Pagi itu sama panasnya dengan pagi kemarin. Jalanan berdebu dan matahari terik. Aku berkeliling untuk memeriksa keadaan ke beberapa pos yang berjarak tidak begitu jauh. Kembali Hasan yang mengantar kami untuk melakukan inspeksi. Will ikut bersamaku sedang Alex masih disibukkan urusan pengiriman tambahan tenaga ke beberapa wilayah. Kami baru saja melewati jalan menuju pos kedua di sebelah selatan Baghdad ketika sebuah ledakan besar terdengar yang diikuti kepulan api melambung ke langit-langit kota. “What!!OH God!!” Seperti terpaku aku menatap kepulan asap dan orang-orang yang berhamburan menyelamatkan diri. Api menyala-nyala tapi bukankah beberapa menit yang lalu disana masih tegak pos utama, bukankah beberapa menit lalu aku masih berdiri dan mengeluhkan panas dari jendelanya sedang Alex menelepon kantor pusat dan Kopral Jansen…Alex…Mobil melaju kencang ke tempat kejadian. Keadaan terlihat jauh lebih buruk jika dilihat dari dekat. Aku dan Will melompat membantu menyelamatkan orang-orang yang keluar. Petugas paramedis berhamburan dan beberapa tubuh tampak berserakan. Aku menatap Will,”Alex?” Ia menelan ludah. Pahit. Malam itu kami berkumpul di sebelah selatan pos utama. Seorang Kopral lain yang tidak sempat kutanyakan namanya menyebutkan ledakan itu disebabkan bom. Seorang pemuda yang diperkirakan ada hubungannya dengan penangkapan Ali. Sayangnya baik pemuda ataupun Ali tewas dalam kejadian itu. Begitupun Alex, entah apa yang akan kukatakan pada istri dan anaknya nanti.

[email protected]

Page 20

“…kembalikan saja keluargaku…”kata-katanya terngiang di telingaku. Aku tidak mengerti kenapa ia melakukan ini. Ia terlihat begitu yakin, apa ia pernah tahu kalau pemuda seusianya di belahan bumi lain sibuk dengan pesta dan alkohol? Dengan mobil terbaru, musik, film dan trend. Ya ampun, aku benar-benar tidak mengerti. Apa dia pikir……”Mayor, mayor..!” Aku tersentak,”ya!” Kopral itu lagi, kurasa aku akan menanyakan namanya nanti,”Anda melamun, ada telepon untuk anda dari Chicago.” Aku beranjak ke gagang telepon, pasti Sarah dan pasti mengadu tentang kelakuan Tom. Aku akan menjelaskan pada anak itu nanti. “Hallo,” ujarku yang tidak disambut dengan perkataan yang sama melainkan sebuah isakan. “Sarah, kau baik-baik saja?” terdengar isakan lagi.”Tom, tom….” Aku mendengus,”ya ya nanti setelah pulang aku akan menghajarnya.” “Kurasa kau tidak perlu melakukan itu…Tom… Tom sudah meninggal.” Aku beku. Tom. Tidak. Ya ampun. Tidak mungkin. Isakan Sarah terdengar jelas,”ia overdosis. Ini sangat buruk Don. Sangat buruk,” suaranya semakin tidak jelas ditengah isakan dan teriakan Anne putriku dibelakangnya.

Padang, 24 Jan till 15 Sept 2005 “my room”

[email protected]

Page 21

PLAT PUTIH

Malam di kota Padang menyelinap diam. Jalanan mulai lengang dari asap polusi. Tokotoko sudah tutup dan wajah kelelahan mulai terlihat di setiap persimpangan jalan. Berbeda halnya dengan seorang pria dengan angkot hijaunya yang sama sekali tidak terlihat lelah. Ia malah mengulum senyum penuh harap membayangkan kehidupannya yang akan lebih baik dengan mobil angkotnya yang baru saja diambil dari dealer. Sebuah angkot hijau daun berplat putih yang meluncur dengan tenang. Walaupun begitu berkas-berkas kegundahan ternyata masih terlintas di wajah tua yang masih merisaukan kredit jangka panjang dan bunga cicilan dari dealer itu. Belum lagi pinjaman dari kerabat dekatnya yang digunakan untuk membayar uang muka. Padahal gajinya sebagai seorang Guru tidak tetap di sebuah SLTA semakin terkikis seiring waktu. Tidak ada yang peduli, meskipun ia adalah Guru Rahman, seorang yang telah mengabdi lebih dari lima belas tahun di sekolah itu. Karena memang menggaji guru terbang jauh lebih murah dibandingkan guru tetap. Lagipula ia tidak sendiri, banyak teman-teman seangkatannya yang telah mengabdi lebih lama darinya namun masih harus menelan kepahitan pensiun sebagai guru terbang. Waktu mulai beranjak ke pukul delapan malam ketika akhirnya Guru Rahman sampai dirumah mungilnya di sebuah perumnas, tentunya kreditan juga yang Alhamdulillah sudah berhasil dilunasinya. Ia segera turun dan langsung disambut istrinya di depan pintu rumah, “bagaimana?” tanya istrinya bergegas. “Aku lapar,” Guru Rahman mengalihkan pembicaraan. Ia memang senang melihat wajah istrinya yang penuh tanda tanya itu. “Apa uangnya cukup?” Leili istrinya mengikuti langkahnya dari belakang. Guru Rahman mengalihkan pandangannya pada

[email protected]

Page 22

makanan yang terhidang di atas meja. Perutnya serasa menggeleguk minta diisi segera. “Ayolah, ceritakan!” istrinya mendesak. Guru tergelak melihat wajah penuh ingin tahu yang ada di hadapannya itu. “Alhamdulillah, cukup. Tidak usah khawatir, nanti surat-suratnya akan diurus,” Leili bernafas lega mendengar perkataan suaminya itu. Akhirnya mereka benar-benar bisa memiliki angkot. “Ayah? Mobilnya sudah datang ya?” Anton anak pertama mereka melongok dari kamarnya. Guru mengangguk dan mulai menyuap nasi ke mulutnya. “Nanti,” katanya dengan penuh antusias tanpa mempedulikan perutnya yang terus bergelinjak, ”kita bisa dapat uang setoran dan separuhnya untuk biaya cicilan,” jelas Guru. “Alhamdulillah, aku bisa kuliah, Yah?” Anton tersenyum senang. “Iya, ya, nanti itu dibicarakan, sekarang ayo makan mana adik-adikmu?” sela Ibunya. Anton menyelinap ke kamar kedua adik perempuannya. “Woi jangan pura-pura tidur, mau makan tidak? Ayah sudah pulang bawa mobil baru!” teriaknya. Kedua tikus kecil yang berkumul dengan selimut itupun langsung berhamburan. “Mobil? Yes!Yes!” mereka meloncat girang. “Besok ke sekolah naik mobil baru, asyik!” Anton geleng-geleng kepala melihat tingkah kedua adik perempuannya itu. Di meja makan Rina dan Alin, kedua anak perempuan bersaudara itu sibuk membicarakan tentang mobil baru yang dibawa ayahnya. Berulang kali Ibu menegur mereka tetapi tetap saja beberapa saat setelah diam mereka akan mulai lagi membicarakan tentang mobil. Hingga Guru Rahman merasa bahwa keputusannya untuk membeli angkot dengan uang pinjaman itu adalah keputusan terbaik yang pernah dibuatnya seumur hidupnya. Ia tidak peduli, segera ia akan mengurus surat-suratnya dan melunasi uang kreditan itu. Guru merasa benarbenar optimis.

[email protected]

Page 23

Pagi itu sehabis sarapan Rina dan Alin langsung mendesak ayah mereka untuk mengantarkan mereka ke sekolah dengan angkot baru itu. “Biasanya juga jalan kaki,” Anton sengaja berbisik keras agar kedua adiknya itu mendengarkan. Tapi mereka sama sekali tidak peduli. “Ayah, ayolah, kan hemat ongkos mobil,” rengek si kecil Alin. “Iya Yah, uangnya kan bisa ditabung,” sambung Rina. “Ayah tau, tapi angkotnya belum bisa digunakan sekarang. Suratsuratnya belum lengkap, lagipula masih plat putih kan?” Guru berusaha menjelaskan. Tapi tetap saja kedua anak itu merengek. Hingga akhirnya Ibulah yang turun tangan membujuk mereka untuk berangkat ke sekolah. Hari itu Guru Rahman tidak mengajar seperti biasa. Mata pelajaran yang diasuhnya sudah jauh berkurang. Itu menyebabkan ia punya lebih banyak waktu luang yang tentu saja membuatnya merasa gelisah memikirkan hari tuanya. Setengah jam setelah kedua putrinya berangkat ke sekolah istrinya pun berangkat ke rumah sakit kota untuk bekerja. Sedangkan Anton, putra sulungnya itu sudah tenggelam kembali dengan buku-buku pelajarannya. Katanya akan ada ulangan siang ini. Guru terduduk di kursi tamu birunya yang sudah memipih dan keras. Pikirannya menerawang pada surat-surat mobil dan plat putih. Menurut pegawai yang ditemuinya kemarin dalam tiga atau lima hari lagi ia sudah bisa menggunakan mobil angkot barunya. Tapi tiga sampai lima hari itu akan terasa sangat lama. Ingatannya beranjak lagi pada deretan angka yang harus dilunasinya setiap bulan. Kalau ia tidak salah berkisar satu juta tiga ratus lima puluh ribu. Pasti bisa desaknya pada pikirannya sendiri. Cukup dengan menyisihkan uang setoran lima puluh ribu sehari ia sudah bisa mengumpulkan uang sejuta lima ratus ribu. Tapi uang sekolah anak-anak belum dibayar bulan ini, sementara semua uang sudah dipakai untuk uang muka

[email protected]

Page 24

mobil. Kali ini Guru mengerutkan kening, Sebaiknya ditunda sampai bulan depan, sampai ada setoran mobil pikirnya kemudian. Selama tiga hari akhirnya angkot hijau itu tetap terparkir di halaman rumah. Maka selama tiga hari itu pula Anton menaikinya dan bertingkah seperti sopir yang membawa kedua adik perempuannya sebagai penumpang. Itu satu-satunya cara agar mereka berdua tidak merengek lagi minta diantar dengan angkot hijau plat putih itu. Selama tiga hari itu pula rasa penasaran beberapa orang terjawab sudah dan sebagian mereka umumnya berkata ,”oo angkot kreditan.” Lalu setelah itu tidak ada lagi yang menanyakan tentang asal usul angkot hijau itu. Namun hingga lima hari kemudian proses pergantian plat putih angkot Guru Rahman belum tahu ujungnya. Sementara uang gajinya sebagai guru terbang boleh dikatakan sama dengan nol untuk saat ini. Sedangkan uang gaji istrinya bulan ini sudah dipotong untuk pembayaran listrik, air dan angsuran ke Bank, yang tentunya hanya menyisakan sedikit uang untuk makan sehari-hari. Guru Rahman mulai berpikir keras, ia melirik angkot hijaunya yang seperti tertawa mengejek. Angan-angannya tentang uang setoran dan kehidupan yang lebih baik malah terasa seperti kapas yang akan segera melayang. Hidangan di atas meja yang semakin hari semakin berkisar pada ikan asin dan teri tak pelak lagi membuat kesabarannya habis. Belum lagi mata pelaran yang diasuhnya hanya tiga jam seminggu. Ia seperti sedang menunggu detik-detik bom pensiunnya meledak dan meluluh lantakkan keluarganya. Guru Rahman tidak hendak menunggu hingga saat-saat itu terjadi atau saat jadwal cicilan pertamanya datang. Pagi ini ia berkeras mengantarkan kedua putrinya ke sekolah sebelum kemudian menarik tumpangan dengan angkot barunya itu, meskipun sedikit khawatir dengan plat putih yang belum juga berganti kuning. Sebenarnya tidak apa-apa batinnya. Satu atau dua hari lagi akan beres juga, toh banyak sekali angkot berplat putih yang tetap menarik tumpangan,

[email protected]

Page 25

Guru Rahman membantin meyakinkan hatinya bahwa apa yang dilakukannya adalah hal yang biasa dan bukanlah suatu kesalahan. Pagi itu kehidupan Guru Rahman seperti baru dimulai. Beban pikirannya sedikit berkurang mengenai plat putih dan kuning. Ia mengantarkan kedua putrinya ke sekolah , kemudian mulai menarik tumpangan. Namun ia tidak berani sampai ke pasar kota Padang. Ia masih takut kalau kalau izinnya dipertanyakan. Tapi nafasnya terasa mulai lega ketika uang recehan yang terkumpul seperti tersulap menjadi puluhan ribu. Hingga akhirnya ia pulang dengan uang delapan puluh ribu rupiah dan sebuah senyuman yang sudah lima hari ini dilupakannya. Alhamdulillah, Guru berbisik di dalam hati. Tiba-tiba ia merasa baru saja melewati sebuah ujian panjang. Ia benar-benar bersyukur telah melewatinya. Besok ia memutuskan untuk menarik tumpangan lagi. Tapi sebelumnya ia berencana akan kembali menanyakan tentang kejelasan plat putih angkot hijaunya itu. Ia yakin hanya satu atau dua hari lagi, ia akan resmi menarik tumpangan hingga ke pasar Padang. Terbayang banyaknya penumpang yang menunggu angkot hijaunya, hingga ia melupakan penat betis dan nyeri di pinggulnya. “Tiga hari lagi pak!” kata itulah yang diterimanya dari pegawai administrasi yang membuat Guru Rahman meniup nafas kesal. Tapi ia sudah bertekad untuk sabar. Hari itu senin dan ia memutuskan pergi ke sekolah tempatnya mengajar, karena ada jam pelajarannya. Maka dengan angkot hijaunya itu ia berangkat ke sekolah tempatnya mengajar. Ia tidak habis pikir kenapa ia harus diributkan mengenai plat putih dan surat-surat mobil. Sementara ia sendiri sudah melunasi uang-uang administrasinya. Tapi apa boleh buat, ia tetap harus bersabar dengan angkot plat putihnya.

[email protected]

Page 26

“Maaf pak! Bisa berhenti sebentar!” Tiga orang pria tiba-tiba menyerunya dari sebuah persimpangan. Guru tersentak dan menepikan angkotnya. “Kami dari pihak kepolisian. Bapak telah melanggar aturan. Mobil berplat putih belum boleh digunakan apalagi untuk menarik penumpang!” Guru Rahman seperti tersedak, ia seperti baru saja dijatuhi bom granat tepat di kepalanya. “Saya hanya mau pergi mengajar, tidak menarik tumpangan pak!”jawabnya jujur karena hari itu ia memang hendak pergi mengajar. “Apapun penjelasan Bapak mobil ini kami tahan dan nanti bapak bisa ke kantor menyelesaikannya!” Dengan terpaksa Guru Rahman pun turun dari angkot hijaunya. Ia seperti terhuyung-huyung, terbayang-bayang di otaknya anak dan istrinya di rumah, juga murid-murid yang menunggu kedatangannya di sekolah. Hari itu kembali ada teri dan ikan asin, juga tiga hari berikutnya setelah Guru Rahman berhasil mendapatkan ijin untuk plat kuning angkotnya. Dan hari-hari berikutnya ia menghabiskan waktunya setelah mengajar dengan bolak-balik ke kantor polisi. “Maaf pak belum bisa hari ini, belum ada perintah atasan untuk menangani masalah ini!” lalu ia pun kembali dengan kesal. Lalu hari berikutnya dan berikutnya hingga setelah seminggu ia kembali lagi, akhirnya Guru Rahman mulai mendapat harapan,”Boss ada di dalam, silahkan masuk pak!” ujar pegawai di ruang terima. Di sudut ruangan di balik sebuah meja, tepatnya di atas kursi putar seorang kepala yang dipanggil Boss tersenyum ramah. “Silahkan duduk pak…begini,” ia mengatur kata-kata, “kami tidak hendak mempersulit bapak, sebenarnya banyak kasus seperti ini yang harus kami tangani, jadi….istilahnya mengantri, begitu pak!” Guru Rahman mengangguk-angguk, “ya, ya, saya paham pak! Tapi ijinnya sedang diurus dan sekarang sudah keluar!” jelasnya. Kepala polisi itu tersenyum lagi,”Bapak punya BPKBnya?” “Oh itu, belum pak!” “wah wah wah, kalau begitu tidak bisa pak, harus ada bukti mobil ini milik bapak! Baru bisa kami keluarkan!” Guru

[email protected]

Page 27

membalas dengan senyum hambar,”mobil ini kreditan pak! Bagaimana mungkin saya punya BPKBnya, tentunya masih dipegang oleh dealernya pak!” Kepala polisi itu menganggukangguk,”tetap saja bapak bersalah telah membawa mobil berplat putih!” Guru tidak menjawab kali ini, ia hanya diam. Setelah pembicaraan yang tidak begitu panjang, Guru pun mendapat jawaban bahwa angkotnya akan keluar tiga hari lagi, tepatnya setelah urusan administrasi selesai. Ia pun pulang dengan perasaan bercampur kesal dan sedikit senang, tiga hari lagi pikirnya penuh harap. *** Tepat tiga hari, sepulangnya dari mengajar Guru Rahman kembali ke kantor polisi. Ia sudah benar-benar bertekad untuk membawa pulang angkotnya kemudian setelah itu ia akan membayar uang sekolah ketiga anaknya. Guru tersenyum puas dengan amplop putih yang berisi uang sejumlah seratus lima puluh ribu yang baru diterimanya sebagai hasil kerjanya menjadi guru terbang. Setidaknya uang sekolah anak-anaknya akan terlunasi hari ini, pikirnya. ”Aduh pak! Maaf belum bisa sekarang, surat keluarnya belum ditandatangani atasan!” Guru tersentak, ia tidak mengira akan menerima jawaban sumbang seperti itu. “Tapi pak, sudah dijanjikan akan keluar hari ini.” “Iya, prosesnya sudah selesai tapi surat ijin keluar belum ditandatangani atasan!” Guru terduduk, ia merasa seperti bulan-bulanan. Dua minggu sudah sejak angkot hijaunya itu ditahan di kantor polisi dan ia masih harus bersabar lebih lama lagi. “Kapan bisa keluarnya pak?” Pegawai itu mengerutkan dahi,”saya tidak tahu pasti pak, mungkin beberapa hari ke depan!” Guru Rahman tidak beranjak dari bangku di sudut ruangan, otaknya mulai berpikir dan membuatnya gelisah. Kesal dan marah, apa kesabarannya selama ini belum cukup juga? Ingin rasanya ia langsung membawa pergi angkot hijaunya yang terparkir begitu saja di halaman

[email protected]

Page 28

kantor. Ia yakin tidak ada yang perduli kalau kulit-kulit angkotnya mengelupas terkena hujan dan matahari. Ya siapa peduli dengan SK istrinya dan pinjaman Bank atau uang sekolah anakanaknya. Siapa yang peduli dengan ikan asin dan teri atau uang listrik dan air atau angsuran bunga pada dealer, atau cicilan bulanan, atau……”Pak apa tidak bisa saya dibantu?” pegawai itu bergeming. Nekat, Guru meyodorkan amplop putihnya, “Ini.. hanya segini pak! Tolong saya dibantu pak!” pegawai itu memandang sesaat dan beranjak ke kantor atasan yang dipanggil Boss itu. Dari balik jendela Guru mengamati mereka berdua berbincang-bincang sesaat sebelum akhirnya orang yang dipanggil Boss itu menandatangani secarik kertas. Beberapa menit kemudian pegawai itu keluar dengan secarik kertas yang kemudian diserahkan kepada Guru Rahman. Sebagian dirobeknya dengan alasan sebagai dokumen penting. Guru tidak peduli seberapa penting sobekan kertas yang ditangannya itu. Ia langsung membuangnya ke tong sampah di dekat koridor. Baginya yang terpenting adalah angkotnya sudah kembali. Artinya ia akan menarik tumpangan hari ini untuk membayar kembali uang sekolah anak-anaknya. Pikiran itu membuatnya sedikit lega menyusuri jalan-jalan padat di sepanjang pasar kota Padang. Teriakan-teriakan, suara klakson mobil dan bau amis ikan terasa jauh lebih nikmat. Dari kejauhan tampak meluncur sebuah angkot biru gelap dengan plat putih. Ya……. Plat berwarna Putih dan Bukannya Kuning. Padang, 16-28 Januari 2005

[email protected]

Page 29

LUKISAN SAMPAH “Bodoh! Lebih baik kau berhenti saja sekolah!” Ucapan semacam itu memang bukan yang pertama, dan pula bukan yang terpahit. Bahkan Ibunya sendiri, wanita yang melahirkannya juga memakinya dengan perkataan yang jauh lebih buruk. Memang, dia, anak laki-laki sebelas tahun, kurus dengam mata setengah sayu itu adalah pemalas. Tak sekalipun angka di rafornya bebas dari merah. Dan tak sekalipun guru, maupun kepala sekolah yang tidak mengeluhkan anak itu pada Ibunya. Ibunya dan selalu saja Ibunya sehingga wanita itu memakinya karena membuat malu. Sedang Ayahnya seorang petani bayaran, meskipun hanya diam, tidak berbuat lebih baik. Pria itu mirip dengannya, sama-sama bertubuh kurus, berambut hitam masai dan bermata setengah sayu, dan tidak banyak bicara. Buruknya, ia membiarkan saja istrinya memaki-maki anak itu. “Bodoh!” memang, sebab ia tidak bisa dikatakan pintar, selain pelajaran menggambar, ia tidak punya prestasi membanggakan di sekolah yang terletak di Kabupaten Agam, kota Bukittinggi tersebut. Sekolahnya pun bukanlah sekolah yang terbaik, tapi sekolah yang biasa saja. Bagi ibunya tidak berprestasi, apa lagi memberikan hasil jelek di sekolah yang biasa saja adalah hal yang mengerikan. Mengingat, Ronni,, anak laki-laki itu, adalah putra satu-satunya diantara kelima anak perempuan di keluarga mereka. Berarti Satu-satunya harapan yang tersisa. Sepanjang waktunya ia habiskan untuk menggambar dengan pensil pemberian ibunya. Untung saja, wanita itu sibuk dengan pesanan jahitan sehingga tidak memperhatikan pekerjaan anaknya. Kalau saja ia tahu pensil pemberiannya untuk belajar di sekolah itu, lebih banyak digunakan untuk mencorat-coret yang disebutnya tak karuan, maka ia akan sangat marah. Mungkin bisa saja benda itu dilemparnya ke selokan kecil di depan rumah mereka, tapi lebih

[email protected]

Page 30

buruknya mungkin ia bisa mematahkannya atau bisa saja memberikannya kepada adik perempuan Ron. Minggu pagi ini, salah seorang guru yang mengajar di Sekolah Ron mendatangi rumahnya. Anak itu sedang bekerja di sawah membantu Ayahnya, daripada duduk belajar ia lebih suka bekerja di sawah, berlarian bermain layang-layang seharian atau bermain-main di lumpur basah. Ia sebenarnya jago membuat layang-layang. Tapi bagi ibunya membuat layanglayang bukanlah prestasi yang membanggakan, jadi percuma saja meskipun berulang kali ia menunjukkan kreasi layangannya pada Ibu, pada malam hari setelah magrib. Ibunya akan selalu berkata,”lebih kau belajar! Jauh lebih berguna untuk masa depanmu daripada mengurusi benda tak berguna itu.” Setelah itu dengan harapan pudar ia akan menggantung layang-layangnya dengan setengah bangga sambil berharap suatu saat Ibu akan menengok ke kamarnya dan mengagumi layang-layang raksasa berbentuk burung rajawali yang dilukisnya sendiri. Tapi tentu saja hal itu tidak pernah terjadi. Guru yang datang hari itu adalah Pak Alex, guru Matematika dan sekaligus wali kelas Ron selama dua tahun di kelas III, karena sebenarnya Ron seharusnya sudah berada di kelas IV, akan tetapi tahun lalu ia tidak lulus ujian kenaikan kelas. “Prestasinya di sekolah sangat mengkhawatirkan, kami berharap Ibu mau membimbing dan lebih memperhatikannya.” Ibu Ron menghembuskan nafas. Kata-kata Pak Alex sama persis dengan kata-kata beberapa guru sebelumnya yang pernah berkunjung ke rumah mereka. Tapi tak satupun yang berhasil membuat anak itu berubah, tidak satu cara pun. Seperti biasa setelah Guru Matematika itu pergi, Ron harus mendengar ratusan kata-kata beruntun yang tak keseluruhannya dipahaminya. Ibu mengancam akan membuang layanglayangnya, atau mencampakkan kertas-kertas lukisannya kalau ia tidak mau memperbaiki nilai-

[email protected]

Page 31

nilainya. Ia mendengar semua itu hingga kupingnya terasa panas dan memerah, kemudian beranjak ke kamarnya dan kembali mengagumi layang-layang rajawalinya. Berfikir apakah benda itu akan bisa diterbangkan kelak atau tidak, sejak dibuatnya minggu lalu, ia belum pernah mencoba menerbangkannya. Meskipun sangat ingin tapi untuk saat ini, hal itu tidak mungkin, sebelum ia memperbaiki nilai-nilainya. Ibu pasti akan sangat marah. Satu minggu setelah kedatangan Wali kelasnya dan peringatan dari Ibu, setelah membantu Ayahnya, Ron mulai membuka lembaran buku-bukunya. Ia belajar, dan mencoba mengenyampingkan ide baru membuat lukisan pemandangan di pematang sawah, atau gambar langit di sore hari. Sementara dua adik perempuannya bermain di sampingnya, karena mereka memang masih terlalu kecil untuk sekolah, baru tiga dan lima tahun. Di rumah itu, Ron memang anak tertua, tapi sebenarnya tidak. Tiga orang kakak perempuannya tinggal di kota lain. Ada yang sekolah di SMU di Kota Padang atas biaya Pamannya, sedangkan dua lagi, bekerja di kota Bandung bersama salah satu keluarga Ibu yang cukup berhasil di rantau. Dan sekarang, Ron adalah harapan Ibunya. Dulu, sewaktu ia masih kecil, Ibu pernah berharap ia kelak menjadi Dokter, cita-cita yang wajar dan selalu nyaris sama bagi hampir semua Ibu-Ibu di kampung. Tapi setelah ia masuk sekolah, nyaris tak satupun hal yang bisa dibanggakan Ibu darinya, Ia tidak punya prestasi akademis maupun olahraga, tubuhnya kurus dan tidak atletis. Satu-satunya kegemarannnya adalah menggambar dan menurut Ibu itu adalah hal terkonyol dan paling bodoh yang pernah ada. Tidak ada tempat untuk hal semacam itu. Sejak saat itu harapan demi harapan semakin memudar. Ibu tidak pernah berharap ia menjadi sesuatu yang hebat seperti yang ada di pikirannya dulu. Atau mungkin sekarang harapan itu telah diturunkan kepada adik perempuannya yang masih berumur lima tahun. Masih setahun

[email protected]

Page 32

atau dua tahun lagi sebelum adiknya masuk sekolah, jadi masih ada harapan untuk melihatnya menjadi anak yang lebih pintar daripada kakak-kakaknya. Malam ini Ron belajar, dan juga malam sebelumnya dan mungkin malam berikutnya. Ini saja sudah membuat Ibu semakin senang, tapi Ayahnya, pria itu tidak pernah terlalu ambil pusing. Ia sendiri hanya lulus Sekolah Dasar, itupun dengan nilai pas-pasan. Jadi ia pikir belajar adalah hal yang sama sulitnya seperti dulu, mungkin itu sebabnya ia dapat sedikit memahami kesulitan Ron. Hanya saja Ayah selalu diam dan tidak menunjukkan tanda-tanda memahami atau kecewa, ia lebih terlihat tidak peduli. “ayo terbangkan!” teman-temannya berteriak. Ron berlari menghambur, sekencangkencang kaki kecilnya bisa berlari. Ia tergelak ketika layangan itu semakin tinggi, girangnya bukan main. Layangan itu bisa terbang! Yah! Seperti sebuah keajaiban luar biasa. Minggu ini ia sengaja berlatih menerbangkan layangannya karena, Toni, salah satu temannya mengatakan akan diadakannya lomba melukis layangan tingkat Kabupaten, dan pemenangnya akan mendapatkan hadiah yang lumayan. Sejak saat itu hingga beberapa hari kemudian, ia kembali disibukkan oleh impian besarnya akan layang-layangnya. Ia percaya benar bisa memenangkan pertandingan itu, setidaknya juara ketiga. Hal itu seperti pompa yang menghembuskan semangat besar pada tubuh kecilnya. Ia berlari lebih cepat dari sebelumnya dan begitupun ketika sampai dirumah. “jadi ini saja pekerjaanmu? Ini saja?” Ibu berkacak pinggang, benar-benar marah di depan rumah. Ia menjewer telinga anak itu. “Ibu dan Ayah bekerja keras untuk apa? Untukmu main layangan? Hah!! Apa ini gunanya?!” “Tapi bu… ada pertandingan…”, ia meringis karena jeweran Ibu. “Pertandingan apa? Apa pertandingan itu bisa memberikan masa depan buatmu? Bisa??” teriak ibu semakin keras. Ia hanya bisa merengek dan mengeluh. “Ibu bilang apa? Belajar Ron!

[email protected]

Page 33

Belajar!!! Lihat kedua kakakmu! Jadi apa sekarang? Karena apa? Hah!! Karena malas!! Mau begitu??” seret Ibu ke dalam rumah. “Aku bukan pemalas, Bu! Aku Bantu Ayah di sawah, aku mengambil air dari sumur!” “eeh.. malah melawan kamu!” Ibu mengambil layangan raksasa di tangannya. “Kalau benda ini yang akan menghancurkan masa depan kamu! Lebih baik dihancurkan saja sekarang, biar kamu ngerti!!” teriak Ibu. Ron seperti bermimpi, Ia melihat Ibu mengambil layangan itu dan mematahkannya menjadi….. Astaga! Bukankah layangan itu raksasa, tapi dalam secepat kilat, penuh marah, dengan mata berkilat-kilat ibu mematahkannya menjadi kepingan-kepingan yang bersisa. Robekan-robekan tak karuan dan gambar lukisannya telah hilang, lenyap begitu saja. Ron seperti limbung, ia seperti bermimpi. Layang-layang itu adalah kesayangannya, lukisan hebat perdananya, karya terbesarnya, dan Ibu sama sekali mencampakkannya. Anak itu sadar Ibu tidak pernah mengerti dunianya. Sama sekali tidak! Malam itu ia hanya tersedu, Ayah mencoba bicara padanya. Tapi ia masih sedih. Ibu bilang,”itu pelajaran, supaya dia lebih belajar, jangan cuma main layangan.” Ibu tidak mengerti, ada lomba di kabupaten, ada lomba dengan hadiah uang, dan Ron bisa membeli cat air dan kuas dengan uang itu, ia tidak lagi harus menggambar dengan pensil atau pensil warna murahan, kalau saja ia memenangkan lomba itu, kalau saja ibu mau mengerti bahwa Ron adalah lukisan. Ron adalah lukisan. Sekolah adalah sekolah. Sama membosankannya seperti hari biasanya. Bagi Ron amat jauh membosankan begitu mengingat, layangan kebanggaannya tidak bisa lagi di pamerkan ke teman-temannya. Bahkan Boim, teman sekelasnya pernah yang menawar dengan harga yang mahal, tapi tentu saja, orang besar tak menjual karya besarnya, pikir Ron saat itu. Sekarang ia

[email protected]

Page 34

cukup menyesal begitu melihat temannya itu duduk di sudut ruangan di kelas yang sama dengannya. Kalau saja ia menjual layangan itu dulu, sebelum Ibu merobek dan menghancurkannya, kalau saja ia tidak begitu egois, dengan berfikir layangannya adalah karya besarnya. Maka mungkin ia sekarang sudah punya uang untuk membeli kuas dan cat air. Mungkin benda-benda itu sudah di tangannya dan sudah akan senang dengan hanya mengingatnya saja. Sayangnya hal itu tidak mungkin lagi. Hari-hari Ron kembali belajar, tapi tetap saja, ia adalah anak yang sangat biasa, sama seperti kebanyakan anak-anak lainnya seusianya. Ia punya mimpi, sama juga seperti anak-anak lain seusianya. Tapi ia sendiri merasa harus melepaskan keinginannya membeli kuas dan cat air. Ia ingat pernah memintanya pada ibu dulu, tapi tentu saja seperti yang sudah diperkirakannya, Ibu menolak! Dan menurutnya sekarang ibu pasti akan jauh lebih menolak lagi. “Lombanya minggu ini, tinggal dua hari lagi, gimana Ron? Jadi ikut tidak layangannmu yang dulu itu??” Tanya Yanto teman sekelasnya. “sepertinya nggak bisa, layanganku itu sudah diberikan ke adik sepupuku,” bohongnya dan untungnya Yanto percaya. “Yah, kok dikasih, nanti saja, kalo lombanya sudah selesai baru dikasih,” Yanto terlihat kecewa. “Aku nggak jadi ikut,” ujar Ron sekenanya. “eh, bagaimana kalau kita tawarkan pada Boim untuk melukis layangannya, untuk perlombaan, dulu kan dia pernah mau membeli layangan Rajawalimu itu.” Ron langsung teringat pada Boim teman sekelasnya, yang bisa dikatakan memiliki keluarga berada, dan ia sangat tertarik pada layangan Ron. Boim bilang ingin ikut lomba, tapi ia tidak bisa membuat lukisan yang bagus. “Okey! Ide bagus, kita bisa dapat uang dari lukisan layangan Boim.” Jadilah keduanya menemui anak yang sebenarnya bernama Iman itu, yang lebih sering dipanggil Boim. Dan tentu saja, anak itu langsung menyambut baik ide Ron. “kalau menang baru dibayar,” kata Boim yang terang membuat Ron sedikit kecewa karena karyanya agak

[email protected]

Page 35

diremehkan. Tapi siapa peduli, toh Boim lah yang akan menyediakan perlengkapan karyanya, mulai dari cat dan kuas serta makanan kecil untuk mereka, selangkah lagi, Ron bisa membeli kuas dan cat airnya. Lalu dengan sedikit mengarang alasan belajar di rumah teman, yang tentu saja membuat Ibu senang, Ron bekerja keras dengan karyanya. Menurutnya ini adalah karya besar keduanya. Hari pertandingan tiba. Pada minggu pagi, Ron, Yanto dan Boim bersama ratusan anak sekolah dasar

dengan layangan beraneka karya

berkumpul di lapangan di alun-alun.

Pertandingan dinilai oleh lima orang juri yang sudah berpengalaman. Hingga siang hari, peserta yang berjumlah dua ratusan itu, masih berkumpul menunggu penilaian juri. Hingga matahari berada di tengah ubun-ubun dan sedikit merendah, hingga lima orang juri bergantian ketempat mereka bertiga berdiri, hingga perut mereka keruyukan dan baru ingat tidak membawa bekal, ketiga anak itu bertahan menunggu keputusan juri yang memenangkan layang-layang ikan, kereta, dan layangan gelembung. Layangan Ron hanya mendapat harapan ke-2. jauh dari perkiraannya untuk mendapatkan posisi memenangkan tempat pertama. Ron merasa sedikit kecewa, tapi bagi kedua temannya hal itu bukan masalah, karena mereka tetap mendapatkan hadiah uang tunai, meskipun tidak begitu banyak tapi cukup berarti untuk membeli apa yang mereka inginkan. Tentu saja, Ron lega meski sedikit kecewa. Tapi bayangan Cat air dan kuas, serta kertas gambar jauh lebih menggiurkan dan membuat matanya berbinar-binar. Tidak ada yang lebih membahagiakan Ron daripada menimang-nimang benda yang sudah diimpikannya nyaris setengah umurnya. Cat air, Kuas, lengkap dengan kertas gambarnya. Rasanya ia bermimpi. Ia mengelus-ngelus benda itu, membolak-balik halaman kertas gambar dan memastikan aroma kertasnya masih baru. Apa yang akan dilukisnya nanti? Apa hal pertama

[email protected]

Page 36

yang akan dilukisnya? Sawah, ya, sawah tempat Ayah bekerja, atau rumah mereka, atau bungabunga, mungkin ia bisa memperlihatkannya kepada kedua adiknya. Mereka sangat suka dibuatkan gambar bunga dan pemandangan. Ron memasukkan benda-benda itu ke dalam tas sekolahnya dan bergegas pulang ke rumah. Ia sangat girang, sangat senang, meski entah akan mengatakannya pada siapa. Ron menyembunyikan benda-benda itu beberapa lama di kamarnya, hingga tangannya sendiri sudah merasa gatal hendak menggunakannnya. Maka di suatu siang di hari minggu setelah ia membantu Ayah bekerja di sawah, Ron memutuskan pergi ke salah satu sisi dimana ia bisa melihat langit dan hamparan padi hijau, kuning dan rumah-rumah. Ia menghabiskan waktunya berjam-jam, menorehkan pensil, kuas dan menyapukan warna sekena hatinya. Ada sesuatu perasaan seperti menenggelamkannya begitu saja ke dalam warna-warna yang berbaur itu. Sebuah rasa tenang, senang yang lembut, gembira yang halus, yang terukir di sapuan kuasnya. Ron merasa semua masalah sekolah, Ibu dan Gurunya telah seperti kertas gambar yang warnanya hilang begitu saja ketika ia menyapukan kuas ke semua sisi. Mencampurkan warna, menyapu ringan, membasahkan kuas dan menatap tajam ke dalam ingatannya. Ron adalah Lukisan. Ya! Ron adalah Lukisan. Hari-hari setelah cat air adalah hari-hari yang merah jambu, hari-hari yang senyum dan hari-hari yang bersemangat. Ia belajar di malam-malam hari dan sepulangnya sekolah di harihari biasa. Lalu menyisakan waktu di akhir minggu setelah membantu ayah di sawah untuk melukis. Kemudian menyimpan karya-karyanya di bawah dipan tempat tidur di dalam kotak kardus raksasa, dan terkadang menggambar bunga untuk diperlihatkan kepada kedua adiknya. Ibu sebenarnya tahu Ron melukis, ia juga tahu anak itu punya cat air dan juga tahu tentang kemenangan anaknya itu di lomba layang-layang. Wanita itu tahu dari beberapa tetangga, tapi ia

[email protected]

Page 37

tidak ambil pusing. Baginya selama Ron terlihat lebih rajin belajar, dan nilai-nilainya membaik, melukis dan segala hal semacam itu adalah selingan yang pantas diacuhkan. Hal yang tidak penting yang kelak, menurutnya, Ron sendiri akan melupakannya di masa depan. Tapi bagi Ron, ia berjanji tidak akan melupakannya, tidak akan pernah. Ia bermimpi ketika melihat sebuah Koran yang didapatnya dari Yanto, sebuah artikel raksasa menyatakan bahwa sebuah lukisan karya Pelukis bernama Wiryando Hardisastra telah terjual dengan harga fantastis, menyentuh angka 150 juta rupiah. “minggu depan?” tanya Ron ketika Yanto mengatakan akan adanya lomba dan pameran lukisan Pemula. Yanto mengangguk cepat mengiyakan. “dimana Yan?” “ di kota Padang, di gedung Bagindo Azizchan, katanya Pelukis terkenal Wiryando Hardisastra yang kamu bilang itu juga akan hadir, sebagai tim penilai.” Ron mengerjap tak percaya, kota Padang? Yah dekat sekali, hanya berjarak dua jam dari Bukittingi. Kesempatan ini jarang sekali, Pelukis sehebat dan setenar Wiryando akan ke Sumatera Barat? Hanya dengan uang tiga puluh ribuan Ron membayangkan ia sudah bisa mengikutkan karya-karyanya. Apa gerangan pendapat Pelukis ternama itu tentang karya-karyanya? Apa sama dengan pendapat ibu? Semoga tidak, karena kalau ya, harapannya akan benar-benar putus, hilang di tengah jalan, dan karir terbesarnya sebagai pelukis akan hancur sebelum dimulai. Satu minggu adalah waktu yang sangat lama untuk penantian, namun waktu yang sangat singkat untuk Ron mengumpulkan uang tiga puluh ribu. Agar bisa ke kota Padang, agar ikut pagelaran itu, agar bertemu dengan pelukis yang berhasil menjual lukisannya dengan harga mahal. Ron ingin membuktikan pada Ibu bahwa pekerjaannya itu bukan sia-sia, bukan hal konyol dan bukan sesuatu yang bodoh. Karena Ron tidak Bodoh, ia tidak pernah merasa Bodoh.

[email protected]

Page 38

Yanto membantunya selama beberapa hari kemudian sepulang sekolah. Mereka bekerja mengangkat karung-karung pasir membantu pekerja bangunan di dekat sekolah. Membantu panen di ladang, berjualan di Pasar Atas dan berbagai pekerjaan lain yang jelas menghasilkan uang. Hingga Jumat itu mereka berkumpul di kamar Ron dan menghitung penghasilan yang telah mereka peroleh. “Empat puluh dua ribu lima ratus rupiah,” Mereka berdua tersenyum girang. “Minggu subuh kita bisa berangkat dengan bis,” ujar Ron senang. Tapi Yanto terlihat ragu, “eee, Ron. Kayaknya aku tidak pergi,” Ron terkejut, beberapa uang receh terjatuh dari tangannya,”Tidak pergi?” “Aku sudah bilang ke Ibuku dan Ibu bilang, itu hanya buang-buang uang. Ibu tidak mengijinkanku pergi, apalagi tidak ada keluarga di Padang. Nanti kita nyasar bagaimana?” “kita tidak akan nyasar, kita kan bisa bertanya ke orang-orang.” Yanto hanya menunduk,”maaf ya Ron, tapi aku kan sudah bantu kamu nyari uang, semoga kamu bisa menjual lukisan kamu disana. Maaf ya Ron!” Setelah temannya itu pulang ke rumah yang hanya berjarak beberapa meter dari rumahnya, Ron termangu sendirian. Yanto tidak diijinkan oleh Ibunya untuk pergi, dan Ron pun setelah berusaha mendapatkan uang untuk berangkat, ikut merasa ragu apakah Ibu akan mengijinkannya. Ibu pasti tidak akan mengijinkannya. Hari sabtu keesokan harinya Ron mengatakannya pada Ibu. Meski dengan susah payah dan meski dengan mengenyampingkan kemarahan ibu yang akan meledak. Ia dengan sedikit sisa keberanian meminta Ibu mengijinkannya. Tapi tentu saja Ibu tidak setuju. Tidak ada jalan untuk pergi. Meskipun dengan uang yang ada di tangannya, dengan uang hasil usahanya dan Yanto, Ibu tetap tidak mengijinkan. Menurut Ibu, ia harus berhenti menjadi anak bodoh, Ia harus sungguh-sungguh belajar, daripada memimpikan seseorang membeli lukisannya dengan harga

[email protected]

Page 39

yang mahal. “Pelukis terkenal itu punya bakat, sedangkan kamu? Apa?!! Lebih baik bantu ayah daripada buang-buang uang percuma. Dan ingat Ibu tidak mengijinkanmu ke Padang. Tidak dengan alasan apapun. Karena kita tidak punya keluarga disana!!” Ketika Ibu menyuruhnya belajar, Ron mendengar, ketika ia disuruh berhenti main layangan, walau harus dijewer ia akhirnya mendengar, tapi sekarang ketika disuruh berhenti menjalankan mimpi yang diinginkannya, Ron ingin sekali mendengar tapi bayangan pagelaran itu seperti meletup-letup di sel otaknya. Ia ingin ke Padang, ingin dan sangat Ingin. Melebihi keinginannya mendapatkan angka delapan di dalam rafornya untuk menyenangkan Ibu. Aku pergi, yah, aku harus pergi. Ia memasukkan pakaiannya ke dalam tas sekolahnya, mengepak beberapa barang, dan berusaha tidak mengeluarkan suara apapun. Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Ron tidak peduli. Ia menunggu dan kemudian menyelinap diam. Aku harus pergi, harus. Ia menutup pintu rumah sepelan mungkin dan berjalan nyaris berjingkat. Tak seorang pun boleh tahu. Tidak boleh gagal. Udara dingin menyelinap, Ron bergidik. Ia menyelinap ke rumah Yanto. Temannya itu telah berjanji akan membantunya untuk pergi esok subuh. Tentunya tanpa sepengetahuan Ibu Yanto. Wanita itu tidak akan senang menerima penyelinap di tengah malam. Lagipula jika ia tahu maka dalam sekejap, ibu Ron juga akan langsung tahu dan Ron tidak ingin Ibunya tahu. Esok subuh, ia akan ke kota Padang. Yanto sudah berjanji akan menemaninya ke terminal. Yah, akhirnya! esok pagi ia akan mengikuti pagelaran lukisan itu. Ron tersenyum. “kecelakaan yang terjadi di jalur Padang-Bukittinggi ini merenggut tiga korban jiwa salah satunya adalah anak laki-laki berusia belasan tahun…….” Laporan dari TV lokal mengejutkan Yanto. Beberapa keluarga lainnya di kampung itu juga terperanjat ketika salah satu nama yang disebutkan siang itu diantaranya adalah Ron, anak laki-laki kurus yang masih duduk di Sekolah

[email protected]

Page 40

Dasar dengan alamat tepatnya di kampung mereka. Hanya perlu beberapa menit kemudian hingga akhirnya Ibu Ron tahu dari beberapa tetangga, ia sendiri tidak menonton berita di TV karena memang keluarga mereka tidak memilki Televisi. Wanita itu tidak percaya hingga Yanto sendir yang datang ditemani ibunya untuk memberitahukan hal tersebut. Ibu Ron bukan wanita cengeng, tapi ia seperti berada di dalam cawan raksasa yang memutar isi perutnya, ia mual dan terhuyung-huyung. Wanita itu melemparkan jahitannya begitu saja, terduduk dan baru menyadari Ron tidak bangun pagi-pagi tadi dan tidak ke sawah bersama Ayahnya setelah subuh, Ron tidak dimana-dimana. “Adakah yang memiliki impian? Anak ini berusaha mewujudkannya…..” kecelakaan yang merenggut Ron dari hari-hari keluarganya tertulis besar di Koran Minggu itu. Seorang wartawan mendatangi rumah keluarga mereka untuk meminta keterangan. Para guru mengatakan ia bukan anak yang nakal, tapi tidak bisa dibilang pintar. Tony mengatakan Ron adalah teman yang baik, dan juga menjelaskan betapa kawannya itu sangat senang melukis, “ia ingin ke Padang, hanya agar Pak Wiryando melihat lukisannya.” Adik-adik Ron dan kedua kakaknya yang sudah pulang ke kampung hanya bisa menangis terisak ketika adik mereka dikembalikan. Tubuh yang sudah beku itu tidak berkata-kata lagi. Ron adalah Lukisan. Ayah, seperti biasa, diam, sedangkan Ibu, wanita itu menatap nanar. Ia telah kehilangan putra satu-satunya. Ini bukan tentang impian menjadi dokter, ini bukan tentang belajar giat, ini bukan tentang nilai-nilai rafor, ini tentang Ron, tentang Ron dan lukisannya. Wanita itu tertunduk dalam. Ron adalah Lukisan. Ia menangis dalam hati. Senin Pagi, masih di sela-sela kesibukan pameran lukisan yang megah di kota Padang, Wiryando disodorkan sebuah Koran lokal oleh asistennya. Pria muda itu menunjukkan artikel tentang nasib tragis kecelakaan yang terjadi di jalan Bukittingi-Padang, juga seorang anak laki-

[email protected]

Page 41

laki yang gemar melukis. Pria itu, dengan penuh kesadaran, bahwa ia dulu juga adalah seorang anak laki-laki yang bermimpi menjadi pelukis, hanya saja lebih beruntung hingga saat ini masih hidup untuk melihat lukisannya dikagumi, langsung tersentuh. “siapkan mobil untukku Ril, cari alamat anak itu, aku ingin mengunjunginya untuk melihat lukisannya. Aku ingin sekali melihat lukisan seorang anak yang begitu teguh pada impiannya.” Setelah menempuh dua jam perjalanan, hari itu juga Wiryando menemui Keluarga Ron, Pria itu menyatakan keinginannya untuk melihat lukisan Ron pada Ibunya. Wanita itu terisak dalam, membawa Wiryando ke kamar putranya itu. Membuka ransel dengan tumpukan lukisan yang dipersiapkanya untuk pagelaran. Wiryando membuka lembar demi lembar. Ia menatap takjub pemandangan dunia yang berbeda dari gambar-gambar itu, bukan dunia anak sebelas tahun saja, tapi dunia hati. Dunia yang bercerita, sesuatu yang bersuara. Lukisan yang berasa. Matanya berkaca-kaca, lalu mengangguk pada asistennya. Pria itu kemudian menyerahkan sebuah amplop coklat pada Ibu Ron. “Ini..?” tanya wanita itu ragu. “Katakan pada putramu, aku membeli lukisannya.” Wiryando tersenyum. Ibu Ron menatap tak percaya. “Apa ini?” gagapnya. “Putra anda adalah pelukis muda yang sangat berbakat, sangat berbakat. Sayangnya ia sendiri tak punya banyak kesempatan.” Wiryando melengus,”Sayang…,” ujarnya kemudian berlalu.

Padang, 11 mei 2007

[email protected]

Page 42

PENUTUP Demi melihat lebih banyak keajaiban hidup dari satu jendela mungil yang dihadiahkan Tuhan untukku… Maka aku pun menulis….

[email protected]

Page 43

Related Documents

Kumpulan Cerpen
May 2020 6
Kumpulan Cerpen
April 2020 14
Kumpulan Cerpen 9999
April 2020 10
Cerpen
November 2019 40

More Documents from ""

Kumpulan Cerpen
May 2020 6