KUALITAS RENDAH NASYITH MAJIDI PERTUMBUHAN AWALIL RIZKY EKONOMI
This Analysis Brief is part of the BRIGHT Indonesia research brief series. It present policy‐oriented summaries of individual published, peer review documents or of body of published work. BRIGHT Indonesia is a private institute devoted to independent & non‐partisan economic research. We provide high quality research analysis and recommendations for decision makers on the full range of challenges facing and increasingly interdependent world. Our innovative policy solutions to inform the public discussions.
www.brightindonesia.com © 2009 BRIGHT Indonesia . All rights reserved. No part of this publication may be used or reproduced in any manner whatsoever without permission in writing from BRIGHT Indonesia except in the case of brief quotations embodied in critical articles and reviews. Cover: Anton & Berty
Analysis Brief | 2
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa pertumbuhan Produk Domestik bruto (PDB) Indonesia pada triwulan IV‐2008 dibanding triwulan III‐2008 adalah sebesar minus 3,6%. Jika dilihat secara tahunan (y‐o‐y), PDB Indonesia triwulan IV‐2008 dibandingkan dengan triwulan III‐2007 tumbuh sebesar 5,2%. Secara kumulatif, pertumbuhannya selama tahun 2008 terhadap tahun 2007 mencapai 6,1%.
IKHTISAR •
•
Pertumbuhan PDB tahun 2008 sebesar 6,1% lebih rendah dari target otoritas ekonomi (pemerintah dan Bank Indonesia). APBN 2008 yang ditetapkan pada akhir tahun 2007 mengasumsikan pertumbuhan sebesar 6,8%, direvisi menjadi 6,4% pada RAPBN‐P pada bulan Mei 2008, dan pada bulan Agustus 2008 realisasinya masih diperkirakan sebesar 6,2%. Sepanjang era pemerintahan Presiden SBY‐Kalla, pertumbuhan ekonomi relatif lebih tinggi dibanding pemerintahan lainnya selama era reformasi. Pertumbuhan ekonomi berturut‐turut adalah sebesar 5,6% (2005), 5,48% (2006), 6,32% (2007) dan 6,1% (2008).
•
Laju pertumbuhan PDB perkapita menurut harga konstan yang biasa pula dipakai sebagai angka pertumbuhan ekonomi menunjukkan angka yang lebih rendah, yaitu : 4,85% (2008), 4,95% (2007), 3,93% (2006), dan 4,49% (2005).
•
Jika ada tekanan kuat atas sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan maka penurunan laju pertumbuhan akan sangat signifikan.
•
Tekanan pada sektor pertanian perkebunan dan kehutanan akan terjadi akibat perkembangan harga dan melemahnya permintaan dunia, dan masih ada ancaman bencana alam seperti banjir dan kekeringan.
•
Rendahnya kualitas pertumbuhan ekonomi di Indonesia antara lain diindikasikan oleh masalah pengangguran dan kemiskinan yang belum teratasi. Hal ini dikuatkan oleh analisis mengenai sebaran pertumbuhan antar sektor usaha dan sisi penggunaan yang terlampau mengandalkan
konsumsi.
Analysis Brief | 3
Pada tanggal 16 Februari 2009, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa pertumbuhan Produk Domestik bruto (PDB) Indonesia pada triwulan IV‐2008 dibanding triwulan III‐2008 adalah sebesar minus 3,6%. Jika dilihat secara tahunan (y‐o‐y), PDB Indonesia triwulan IV‐2008 dibandingkan dengan triwulan III‐2007 tumbuh sebesar 5,2%. Secara kumulatif, pertumbuhannya selama tahun 2008 terhadap tahun 2007 mencapai 6,1%. Pencapaian angka 6,1% lebih rendah dari target otoritas ekonomi (pemerintah dan Bank Indonesia). Sebagai contoh, APBN 2008 yang ditetapkan pada akhir tahun 2007 mengasumsikan pertumbuhan sebesar 6,8%, kemudian direvisi menjadi 6,4% pada RAPBN‐P pada bulan Mei 2008. Data Pokok APBN yang dikeluarkan bersamaan dengan Nota Keuangan dan RAPBN 2009 pada bulan Agustus 2008 mencantumkan perkiraan realisasi pertumbuhan ekonomi 2008 sebesar 6,2%. Bagaimanapun, angka itu masih sesuai dengan harapan otoritas ekonomi dan prediksi para ekonom pada beberapa bulan terakhir yang menyadari akan adanya dampak buruk dari kondisi perekonomian global. Faktor krisis global berdampak lebih buruk dan berlangsung lebih cepat pada perekonomian Indonesia daripada yang diperkirakan. Pukulan bagi banyak negara lain berlangsung lebih dini dan lebih cepat lagi. Dampak buruk bagi Indonesia dikhawatirkan banyak pihak belum mencapai puncaknya, justeru karena baru dimulai. Sebagai ilustrasi, pertumbuhan pada triwulan IV‐2008 dibanding triwulan III‐2008 adalah minus 3,6%, jauh lebih lebih buruk daripada keadaan selama beberapa tahun terakhir yang tumbuh secara negatif di kisaran angka 2% (lihat grafik 1). Datanya antara lain adalah : minus 2,18% (2005), minus 1,96% (2006) dan minus 2,1% (2007). Untuk data rentang waktu yang lebih lama (sejak tahun 2000) pun pertumbuhan triwulan keempat yang terburuk hanyalah minus 2,87%. Sebenarnya perlambatan pertumbuhan ekonomi sudah dimulai sejak pertengahan bulan Agustus 2008, yang diindikasikan oleh relatif stagnannya pertumbuhan tahunan (y‐on‐y) triwulan III‐2008 terhadap triwulan III‐2007 di angka 6,4%. Pada Grafik 1 tampak bahwa pertumbuhan triwulanannya sebesar 3,5% juga sudah lebih rendah daripada kurun dua tahun sebelumnya, yakni 3,7% (2006) dan 3,9% (2007), meski lebih tinggi daripada tahun 2005 sebesar 3,05%. BRIGHT Indonesia memperkirakan trend pelemahan akan berlanjut pada triwulan I‐2009. Pertumbuhan triwulanan diperkirakan di kisaran 1‐1,5%, yang berarti lebih rendah dari rata‐rata di atas 2% selama era pemerintahan SBY‐Kalla. Sedangkan pertumbuhan tahunannya diprediksi sudah mulai menembus angka di kisaran atau di bawah 5%, atau yang terburuk untuk triwulan pertama selama era pemerintahan ini. Grafik 1 Pertumbuhan Produk Domestik Bruto 2005 – 2008
Analysis Brief | 4
8 6
6.19 5.84 5.63
4 2
2.68 1.36
5.52 4.9 4.7 5.22 3.7 3.05 2.14 1.96
6.1 6
6.28 6.5 6.32 6.3 6.4 6.1 3.9
2
2.4
2.2 2.5
5.2
3.5 y to y
0
q to q Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 ‐1.9 ‐2 ‐2.1 ‐2.18 2005 2006 2007 2008 ‐3.6 ‐4 ‐6
Sumber : BPS, diolah BRIGHT Indonesia
Pertumbuhan ekonomi sebagai Pertumbuhan PDB dan PDB per kapita Angka laju pertumbuhan PDB sebesar 6,1 % pada tahun 2008 terhadap tahun 2007 di atas biasa disebut sebagai pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sepanjang era pemerintahan Presiden SBY‐Kalla, yang dilantik pada bulan Oktober 2004, pertumbuhan ekonomi relatif lebih tinggi dibanding pemerintahan lainnya selama era reformasi. Pertumbuhan ekonomi berturut‐turut adalah sebesar 5,6% (2005), 5,48% (2006), 6,32% (2007) dan 6,1% (2008). Analisis jarang dilakukan dalam laporan perekonomian Indonesia, padahal biasa di negara lain dan dijelaskan berbagai textbook ilmu ekonomi adalah menghubungkan PDB dengan jumlah penduduk, sehingga akan didapat angka PDB per kapita. Sering pula dikaitkan dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar, agar bisa diperbandingkan dengan negara‐negara lain. Angka PDB per kapita yang biasa diumumkan oleh BPS adalah PDB atas dasar harga berlaku dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. Sebagai contoh, pada tahun 2008, PDB per kapita mencapai Rp21,7 juta atau sekitar USD 2.271,2. Sepintas, dengan angka yang sedemikian maka rakyat Indonesia tidak bisa disebut miskin. Angka agregatnya jauh melampaui garis kemiskinan pada waktu itu, baik diukur dengan ukuran BPS (yang sekitar Rp 2 juta per kapita jika disetahunkan) maupun ukuran Bank Dunia (USD 730 – PPP per kapita setahun). Sayangnya, itu adalah angka agregat, yang tidak mencerminkan distribusinya. BPS menyediakan data tersendiri berkaitan dengan penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan) yang masih mencapai 35 juta jiwa. Laju pertumbuhan PDB perkapita, tetapi yang besarannya menurut harga konstan, biasa pula dipakai sebagai angka pertumbuhan ekonomi, yang dalam istilah teknis disebut pertumbuhan output per kapita. Logikanya, pendapatan atau produksi nasional itu akan dinikmati oleh berapa banyak penduduk. Bagi negara industri maju
Analysis Brief | 5
yang pertumbuhan penduduknya mendekati nol atau stagnan maka tidak akan ada perbedaan dalam dua versi itu. Jika diterapkan di Indonesia, maka akan ada angka yang berbeda dengan laju pertumbuhan ekonomi yang biasa dipublikasikan (lihat tabel 1), karena laju pertumbuhan penduduk yang masih relatif tinggi. Sebagai contoh, pertumbuhan ekonomi 2008 menjadi hanya sebesar 4,85% berbanding 6,1% yang dipublikasikan secara luas. Sedangkan pada tahun‐tahun lainnya adalah : 4,95% berbanding 6,3% (2007), 3,93% berbanding 5,48% (2006), dan 4,49% berbanding 5,68% (2005). Tabel 1 Pertumbuhan ekonomi (persen) Pertumbuhan 2005 2006 2007 2008 PDB riil 5,68 5,48 6,3 6,1 PDB riil per kapita 4,49 3,93 4,95 4,84 Sumber: BPS, diolah oleh BRIGHT Indonesia
Pertumbuhan PDB sektoral Pertumbuhan PDB Indonesia selama era Pemerintahan SBY‐Kalla didukung oleh pertumbuhan relatif tinggi di semua sektor lapangan usaha, kecuali sektor pertambangan dan penggalian (lihat grafik 2). Sektor pengangkutan dan komunikasi mengalami rata‐rata pertumbuhan tertinggi, dan terus meningkat. Sektor perdagangan, hotel dan restoran tumbuh cukup tinggi tetapi fluktuatif. Sektor konstruksi tumbuh cukup tinggi namun cenderung menurun. sektor keuangan, real estat dan jasa perusahaan tumbuh cukup tinggi dan cenderung meningkat. Sektor jasa‐jasa tumbuh cukup tinggi namun cenderung stabil. Sementara itu, sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan tumbuh tidak terlampau tinggi, namun cenderung meningkat. Grafik 2 Pertumbuhan Sektoral Pertumbuhan Antar Sektor 18 16 14 Persen
12 10 8 6 4 2 0 Pertanian
Pertambangan
Industri
Listrik
Bangunan
2005
2006
Perdagangan
2007
komunikasi
Keuangan
Jasa
2008
Sumber : BPS diolah BRIGHT I ndonesia
Analysis Brief | 6
Selama beberapa tahun terakhir, sektor‐sektor tertentu hampir selalu tumbuh positif pada tiap triwulan, serta menjadi sumber pertumbuhan ekonomi yang besar, yaitu: sektor keuangan, real estat dan jasa perusahaan, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor industri pengolahan, dan sektor jasa‐jasa. Khusus, sektor industri pengolahan sempat tumbuh negatif pada triwulan IV‐2007 dan triwulan I‐2008, positif pada triwulan II‐2008 dan III‐ 2008, untuk kemudian turun drastis pada triwulan IV‐ 2006 (grafik 3). Sektor perdagangan, hotel dan restoran juga kerap menjadi sumber pertumbuhan yang besar, meskipun dalam beberapa triwulan sempat tumbuh negatif. Pangsa sektor ini terhadap struktur PDB menjadi sangat penting, setara dengan sektor pertanian, dan hanya berada di bawah sektor industri pengolahan. Jika ada tekanan kuat atas sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan maka penurunan laju pertumbuhan akan sangat signifikan. Sebagai contoh, Pelemahan ekonomi dunia diprediksi akan amat berpengaruh kepada kedua sektor itu pada tahun 2009, sehingga keduanya sulit diharapkan menyumbang laju PDB sebesar biasanya. Grafik 3 Pertumbuhan triwulanan PDB beberapa sektor (2005‐2008) 8 6 4 2 0 ‐2 ‐4 Keuangan
Q1 Q2 2005 0.8
Q3
Q4
Q1 Q2 2006
3.1 2.39 0.18 0.59 1.79
Q3
Q4
2
Q1 Q2 2007
Q3
Q4
1.9
3.1
Q1 Q2 Q3 2008
2.2
1.8
1.8
Industri Pengolahan 0.87 1.05 1.42 0.53 0.06 1.45 3.6
0.6
0.6
1.5
3
‐0.2 ‐0.2
Pengangkutan
1.07 3.64 4.27 1.79 1.62 4.53 4.5
3.9
2
4.3
6.5
6.8
1.1
Jasa jasa
1.4 0.85 1.8 1.73 0.67 1.54 2.4
0.8
1.9
1.7
0.7
2.9
0.3
2.5
Sumber : BPS, diolah BRIGHT Indonesia
1.8
1.6
Q4
1.8
2
1.3
3.2
‐2.5
4.1
4.2
4.8
0.9
1.7
Sektor pertanian sendiri secara triwulanan cenderung tumbuh amat berfluktuatif, karena faktor musim yang amat dominan. Sedangkan dilihat dari data pertumbuhan tahunan, sektor ini selalu tumbuh dan cenderung meningkat. Akan tetapi BRIGHT Indonesia memperkirakan pertumbuhan tahun 2009 akan melambat, dan besar kemungkinan akan kembali ke angka di kisaran 3,0%, setelah secara mengejutkan tumbuh 4,8% pada tahun 2008. Tekanan adalah pada melemahnya sektor pertanian perkebunan dan kehutanan, terkait perkembangan harga dan melemahnya permintaan dunia. Perlu pula diwaspadai bahwa ancaman bencana alam seperti banjir dan kekeringan masih bisa terjadi secara hampir bersamaan di wilayah
Analysis Brief | 7
yang berbeda. Selama tahun 2008, alam relatif bersahabat bagi pertanian di Indonesia. Tabel 2 Sumber Pertumbuhan PDB secara Sektoral, 2005‐2008 Sektor Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, gas, air bersih Bangunan Perdagangan, hotel dan restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa‐jasa Produk Domestik Bruto Sumber : BPS, Diolah BRIGHT Indonesia
2005 0.41 0.31 1.3 0.04 0.44 1.36 0.75 0.61 0.48 5.69
2006 0,49 0,16 1,29 0,04 0,49 1,08 0,89 0,50 0,57 5,50
2007 0,49 0,18 1,30 0,07 0,52 1,42 0,95 0,74 0,61 6,28
2008 0,66 0,05 1,00 0,08 0,45 1,25 1,21 0,77 0,60 6,06
Pertumbuhan PDB menurut Penggunaan Sementara itu, analisis pertumbuhan PDB Indonesia menurut komponen penggunaannya pada tahun 2008 hanya memperlihatkan sedikit perubahan dari pola tahun‐tahun sebelumnya. Seluruh komponen tumbuh sejalan dengan laju keseluruhan yang cepat. Investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) mengalami pertumbuhan yang lebih baik. Konsumsi Pemerintah yang dalam dua tahun sebelumnya sempat tumbuh minus pada triwulan ketiga, tumbuh positif sejak triwulan ketiga dan naik pesat pada triwulan keempat 2008 sebagaimana biasanya. Namun, konsumsi rumah tangga tetap saja memegang peranan penting, dan masih terus tumbuh secara cukup stabil. Sedangkan pertumbuhan ekspor mulai menurun dan negatif pada triwulan III‐2008 dan triwulan IV‐2008 (lihat grafik 4). Grafik 4 Pertumbuhan PDB triwulanan Menurut Komponen penggunaan 40 30 20 Konsumsi RT
10
Konsumsi Pemerintah
0 Q1 2005Q2 Q3 Q4 Q1 2006Q2 Q3 Q4 Q1 2007Q2 Q3 Q4 Q1 2008Q2 Q3 Q4
‐10
Investasi Ekspor
‐20 ‐30 ‐40
Sumber : BPS, diolah BRIGHT Indonesia
Analysis Brief | 8
Dilihat secara tahunan, seluruh komponen tumbuh sejalan dengan laju keseluruhan yang cepat. Namun, konsumsi tetap saja memegang peranan penting. Fenomena konsumsi sebagai sumber pertumbuhan terpenting telah bertahan sekitar sembilan tahun terakhir, sejak era krisis moneter. Dan yang paling luar biasa adalah konsumsi rumah tangga, meskipun konsumsi pemerintah juga kadang terhitung besar. Sekalipun angka kontribusi ekspor adalah yang tertinggi, namun jika dilihat ekspor netto yang telah memperhitungkan impor, maka angkanya masih lebih rendah daripada konsumsi rumah tangga. Kontribusi net ekspor bahkan sempat negatif pada tahun 2004. Keadaan konsumsi sebagai sumber pertumbuhan belum banyak berubah, bahkan meningkat kembali sejak tahun 2007. Konsumsi (rumah tangga dan pemerintah) masih menyumbang lebih dari separo angka pertumbuhan ekonomi, dimana konsumsi rumah tangga masih juga menjadi kontributor tertinggi. Grafik 5 Pertumbuhan PDB tahunan menurut penggunaan 30 20 10 Konsumsi RT 0 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Konsumsi Pemerintah Investasi
‐10
Ekspor ‐20 ‐30 ‐40
Sumber : BPS, diolah BRIGHT Indonesia
Jika data dicermati, konsumsi rumah tangga memang sempat sedikit terpukul pada tahun 2005 dan 2006, akibat kenaikan harga BBM. Namun, komponen lain selain konsumsi pemerintah juga ikutan terpuruk. Ditambah dengan kemungkinan adanya dampak buruk pada berbagai sektor yang mendukung pertumbuhan konsumsi rumah tangga, maka laju konsumsi rumah tangga yang mulai sedikit tertahan pada triwulan III‐2008 dan triwulan IV‐2008. Pangsa pengeluaran konsumsi rumah tangga terhadap PDB menurut harga berlaku memang masih amat besar, rata‐rata di kisaran 63% selama beberapa tahun
Analysis Brief | 9
terakhir. Rata‐rata pangsa komponen lainnya adalah : pengeluaran konsumsi pemerintah 8,5%, PMTB 24 %, dan ekspor bersih sekitar 4 %. Sebenarnya, pemerintah berulang kali merencanakan atau mengharapkan agar sumber pertumbuhan utama beralih kepada investasi. Target tinggi selalu dikemukakan, dan berbagai paket kebijakan dikeluarkan. Meskipun belum bisa melampaui konsumsi rumah tangga, kontribusi investasi sepanjang tahun 2007 sudah jauh lebih baik daripada tahun 2006, dan berlanjut pada tahun 2008. Namun, BRIGHT Indonesia memeperkirakan akan menurun lagi pada tahun 2009. Tabel 3 Sumber Pertumbuhan PDB Menurut Penggunaan Pengeluaran 2005 2006 2007 2008 Pengeluaran Konsumsi 2,90 2,63 3,23 3,89 Investasi 2,84 0,33 0,47 2,84 Ekspor Bersih 0,99 1,13 0,64 0,69 Produk Domestik Bruto 5.69 5,50 6,28 6,06 Sumber : BPS, diolah BRIGHT Indonesia
Kontribusi investasi masih lebih bersifat harapan daripada kenyataan, dan sangat mungkin terhadang oleh kondisi perekonomian global yang memburuk. Bahkan, investasi yang dirangsang untuk tumbuh pun terkesan asal besar nominalnya saja, dan tidak bersifat selektif. Sebagai contoh, kebijakan makroekonomi yang mendorong investasi tersebut sama hampir tidak memperhitungkan ketersediaan teknologi atau berdimensi teknologis. Padahal, penambahan modal secara agregat an sich akan kurang efektif jika tidak disertai perencanaan pengembangan teknologi yang tepat. Yang kemudian terjadi adalah dinamika produksi yang bersifat saling meniadakan atau substitutif, bukannya komplementer untuk menambah kapasitas produksi. Suatu investasi mungkin segera menambah kapasitas produksi, namun karena berdampak pada matinya kelompok usaha produktif yang lain, maka hasil akhirnya tidak bisa dihitung sebesar tambahan investasi itu saja. Masih beruntung jika hasil bersihnya adalah positif. Perhitungannya menjadi sulit, ketika sektor usaha modern yang lebih tercatat secara tata keuangan modern menggusur banyak usaha yang kurang terbukukan. Sementara itu, sumbangan konsumsi telah terbukti dan nampaknya masih (terpaksa) akan diandalkan. Dalam arahan mewaspadai krisis pun, secara eksplisit akan diupayakan peningkatan arti konsumsi pemerintah. Kontribusi konsumsi Pemerintah memang meningkat signifikan pada tahun 2008 menjadi sebesar 0,8%. Perkembangan kontribusi sebelumnya terhadap pertumbuhan PDB adalah: 0,51% (2005), 0,74% (2006), dan 0,31% (2007). Sekalipun direncanakan digenjot habis‐ habisan, BRIGHT Indonesia memperkirakan kontribusinya tetap sulit mencapai 1% pada tahun 2009. Alasan utamanya, tidak mudah mengubah haluan kebijakan fiskal dari orientasi memelihara stabilitas menjadi pendorong pertumbuhan. Amat
Analysis Brief | 10
diragukan kemampuan birokrasi menterjemahkannya, mengingat laporan realisasi anggaran Kementerian/Lembaga dan realisasi Belanja oleh Daerah masih belum bisa optimal. Kualitas Pertumbuhan Ekonomi Yang rendah Rendahnya kualitas pertumbuhan ekonomi di Indonesia antara lain diindikasikan oleh masalah pengangguran dan kemiskinan yang belum teratasi. Sebagai contoh, isyu kontroversial adalah hubungan antara angka pertumbuhan ekonomi dengan angka pengangguran. Korelasi negatif antara keduanya diakui secara luas dalam teori ekonomi. Artinya, peningkatan laju pertumbuhan ekonomi akan menambah terciptanya lapangan kerja baru atau mengurangi angka pengangguran. Yang kemudian menjadi masalah adalah bagaimana fakta empirisnya dalam dinamika perekonomian, dan seberapa besar kecenderungan korelasinya. Untuk data yang terpublikasi luas di Indonesia, kita bisa membandingkan dengan sedikit penyesuaian, sebagaimana telah dilaporkan dalam Analysis Brief BRIGHT Indonesia pada tanggal 5 Januari 2009 lalu. Hasilnya, tidak ada ”rumus” yang pasti, melihat perbedaan korelasi yang begitu besar pada setiap tahunnya. Yang jelas, ada banyak kelemahan dalam konsep dan metode perhitungan soal ketenagakerjaan. Sebagai contoh, soal besarnya penciptaan lapangan kerja antara Agustus 2007 sampai dengan Februari 2008 dijelaskan oleh BPS bahwa yang terjadi adalah penyerapan yang sangat besar oleh sektor informal. Hal ini diperkuat oleh data bahwa sektor‐sektor padat modal seperti telekomunikasi, keuangan, konstruksi, realestat, dan jasa ritel tumbuh lebih tinggi dari rata‐rata pertumbuhan ekonomi nasional. Fenomena ini akan lebih kentara jika dianalisis pada pertumbuhan subsektor. Sementara itu, sekalipun tumbuh, sektor industri pengolahan dan sektor pertanian cenderung lebih rendah dari rata‐rata nasional. Perlu diingat bahwa sektor industri pengolahan dan sektor pertanian adalah sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja, menjadi sumber penerimaan devisa dan penerimaan pajak, serta memiliki kaitan ke sektor pensuplai inputnya (backward linkage) dan kaitan ke sektor yang memanfaatkan pada proses produksi selanjutnya (forward linkage) yang tinggi. Analisis semacam ini menguatkan kesimpulan mengenai kurang berkualitasnya pertumbuhan ekonomi indonesia selama beberapa tahun terakhir. Fenomena tersebut sejalan dengan perkembangan komposisi antara pekerja formal dan informal selama empat tahun pemerintahan SBY‐Kalla, meski sempat ada sedikit perbaikan dalam dua tahun pertama. Jumlah pekerja formal pada Agustus 2004 adalah sebanyak 28,43 juta orang atau sebesar 30,33%, sedangkan pekerja informal adalah sebanyak 65,30 juta orang atau sebesar 69,67% dari mereka yang bekerja. Dengan kata lain, kurang berhasil diciptakan lapangan kerja baru di sektor formal yang banyak diinginkan oleh para pencari kerja dan para pekerja informal (yang sebagian cukup besarnya berstatus setengah penganggur). Proses informalisasi
Analysis Brief | 11
ketenagakerjaan di Indonesia dilihat dari status pekerjaan didukung pula oleh data penyebaran pekerja berdasar lapangan pekerjaan. Sekalipun tidak sepenuhnya bisa diartikan bahwa mereka yang bekerja di sektor industri pengolahan adalah formal, sedangkan yang di sektor jasa‐jasa (masyarakat) adalan informal. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dianggap kurang berkualitas pula jika dilihat dari sumbernya (sisi permintaan). Kenyataan bahwa konsumsi bertahan begitu lama menggerakkan pertumbuhan merupakan keanehan, dan hanya mungkin dijelaskan dengan berkembangnya kegiatan ekonomi tersembunyi (hidden economy). Hidden economy yang dimaksud adalah kegiatan ekonomi yang tidak tercatat karena bersifat “bawah tanah”, tetapi berskala besar, seperti : penyelundupan, bisnis narkotik, perjudian, dan pornografi. Namun, diduga pula bahwa kegiatan ekonomi yang tersembunyi sebenarnya tidak seluruhnya berkaitan dengan urusan terlarang. Pencatatan kegiatan ekonomi secara formal kerap dihindari oleh pelaku usaha karena berhubungan dengan birokrasi yang dirasa menyulitkan. Jumlah keseluruhan dari sektor nonformal yang tergolong usaha mikro dan kecil pun menjadi cukup signifikan. Aktivitas ekonomi tersembunyi juga kian berkembang karena praktik ekonomi biaya tinggi dan ketidakpastian hukum. Kualitas tersebut mungkin menjadi lebih rendah lagi bila arahan mewaspadai krisis terlampau mengandalkan pengeluaran pemerintah, yang notabene lebih banyak berkategori konsumsi. Estimasi dan Rekomendasi BRIGHT Indonesia Pada tanggal 27 Nopember 2008 lalu, BRIGHT Indonesia mempublikasikan Economi Outlook 2009 yang memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2009 adalah di kisaran 4,4%. Pada saat itu asumsi pemerintah dalam RAPBN 2009 masih sebesar 6,2%, yang kemudian direvisi menjadi 6,0% dalam APBN yang ditetapkan. Kebanyakan estimasi, dari lembaga atau perorangan ekonom sampai dengan waktu itu masih di kisaran 5,5% – 6%, dimana estimasi Consensus Forecast yang dikeluarkan bulan September adalah sebesar 5,6%. Menteri keuangan sendiri sebagai pribadi memang mulai mengemukakan angka 5% pada awal Nopember 2008. Hanya Economist Intelegent Unit (EIU) yang secara mengejutkan menurunkan angka proyeksinya mengenai pertumbuhan ekonomi Indonesia 2009 menjadi 3,7%, setelah sebelumnya masih menyatakan angka sebesar 5,5% pada bulan September. Bank Dunia pada bulan Desember 2008 mengeluarkan angka proyeksi 4,4%, sama dengan prediksi BRIGHT setengah bulan sebelumnya. Beberapa hari belakangan ini, Pemerintah telah merevisi proyeksinya menjadi 4,5%, dan Gubernur Bank Indonesia bahkan telah menyebut angka kisaran 4,0%. Para ekonom pun umumnya menyebut angka 5% sebagai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi yang mungkin dicapai. BRIGHT Indonesia masih belum merasa perlu mengubah prediksinya. Begitu pula dengan rekomendasi yang telah disampaikan dalam Economic Outlook 2009.
Analysis Brief | 12
Salah satu yang perlu diulangi lagi adalah rekomendasi agar otoritas ekonomi tidak memberi pernyataan yang terlampau optimis, meskipun juga berhati‐hati sehingga tak mendorong kepanikan kepada pasar dan masyarakat luas. Kenyataan bahwa krisis global cukup berpengaruh buruk kepada perekonomian domestik tidak bisa ditutupi, dan bisa dipastikan memperlambat pertumbuhan ekonomi 2009, dan jika tidak hati‐ hati masih berlanjut pada tahun 2010. Bright Indonesia menyarankan upaya yang lebih berorientasi pada perbaikan kualitas pertumbuhan daripada bersikeras memacu angka agregatnya. Upaya menahan perlambatan secara agregat ditengah tekanan eksternal saat ini akan berbiaya amat tinggi. Selain memperbaiki kualitas pertumbuhan, otoritas ekonomi dapat memulai menata ulang fundamental ekonomi, khususnya aspek struktur dan infrastruktur produksi barang dan jasa. 000
Analysis Brief | 13