PENGARUH KRISIS PANGAN DUNIA TERHADAP INDONESIA
Artikel Disusun untuk Memenuhi tugas Bahasa Indonesia
Oleh
Nikko Adhitama NIS. 16475
SMA NEGERI 1 PATI 2008
Krisis pangan yang melanda dunia ini benar-benar membuat semua negara berpikir keras untuk mencari solusi yang tepat. Kerja keras negara-negara ini dipicu dengan kenaikan harga pangan dan kekhawatiran akan bencana kelaparan global yang semakin hari semakin nyata. Hal ini semakin diperkuat dengan turunnya daya beli masyarakat dunia diakibatkan oleh resesi ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa yang kini mulai merambat ke negara-negara berkembang di kawasan Asia Pasifik. Sebenarnya krisis pangan ini sudah mulai terjadi sejak tahun 2005. Namun baru booming pada tahun 2008 ini. Pada tahun 2005, banyak negara yang mulai curiga dikarenakan semakin langkanya bahan pangan yang memicu kenaikan harga pangan dunia. “Setidaknya 36 negara, termasuk Indonesia, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB, mengalami lonjakan harga pangan luar biasa yang berkisar antara 75 persen hingga 200 persen, sehingga negaranegara
tersebut
rentan
terjadi
gejolak
sosial
dan
politik”
(http://www.antara.co.id/print/?i=1208673076). Pada dasarnya, krisis terjadi karena keterbatasan bahan pangan yang tersedia sedangkan jumlah populasi dunia semakin bertambah dari waktu ke waktu. Seperti pernyataan berikut, “...population, when unchecked, goes on doubling its self every twenty-five years, or increases on geometrical ratio” (Malthus, 1826: 6). Lalu, “It may be fairly pronounced, therefore, that, considering the present average state of theearth, the means of subsistence, under circumstances the most favourable to human industry could not possibly be made to increase faster than in an arithmetical ratio” (Malthus, 1826: 10) .
Kedua pernyataan diatas menunjukkan bahwa pertumbuhan populasi manusia bertambah mengikuti deret geometri (deret ukur). Sedangkan produksi bahan pangan tidak pernah akan mencapai lebih dari ukuran deret aritmatika. Sedangkan di Indonesia, dengan melihat ketidakseimbangan pertumbuhan populasi dan produksi pangan nasional, diramalkan bahwa krisis pangan akan melanda pada tahun 2017. Berdasarkan proyeksi kebutuhan beras bangsa Indonesia tahun 2009, diperlukan penambahan sekitar 1,9 juta ton beras atau setara dengan tiga juta ton gabah kering digiling tiap tahunnya. Dan untuk memproduksi tiga juta ton gabah tersebut, diperlukan kurang lebih satu juta hektar lahan sawah. Impor beras bukanlah solusi yang baik untuk mengatasi masalah ini. Kebijakan pemerintah mengimpor beras justru akan menyengsarakan petanipetani Indonesia khususnya dikarenakan hal-hal berikut: •
Impor beras pemerintah selalu diikuti dengan impor beras ilegal yang jumlahnya cukup besar.
•
Impor beras secara psikologis menekan harga domestik.
•
Impor beras tidak memberi kepastian usaha dan insentif kepada petani dan tidak ada kepastian berapa harga gabah setelah panen.
•
Impor beras tidak berpihak dalam membantu kegiatan ekonomi dipedesaan dan justru mensubsidi petani negara lain. Solusi yang paling baik untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan
menggalakan program large scale farmers (pertanian skala besar) dengan cara mengolah lahan-lahan yang tersedia sebaik mungkin dan mengolah lahan yang
masih mentahan menjadi siap tanam. Namun, perlu diperhatikan bahwa program ini harus diperhitungkan secara tepat baik diatas kertas atau di lapangan agar tragedi PLG Sejuta Hektar -yang sekarang menjadi PLG Sejuta Sengsara- tidak terulang lagi. Saat ini, lahan yang tersedia hanya sekitar 7,7 juta hektar. Namun, “Terdapat lahan sekitar 1,7 juta hektar yang selama ini sudah mendapat ijin untuk dilepas guna keperluan non-hutan, namun tengah terbelit masalah birokrasi macet dan akhirnya terbengkalai” (Djalal, 2008: 68). Bertolak dari pendapat tersebut, jika lahan seluas 1,7 juta hektar itu dapat diolah dengan baik, maka dengan demikian Indonesia akan mampu untuk mandiri (berswasembada) dibidang ketahanan pangan dalam arti yang sebenarnya, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani, dan lebih jauh lagi surplus yang dihasilkan akan mampu mengubah Indonesia menjadi salah satu kekuatan pangan dunia yang dapat meringankan krisis pangan saat ini. Jika rata-rata kebutuhan pangan per orang Indonesia sekitar 180 kg per tahun dan jumlah penduduk Indonesia sebesar 237.152.355 orang (US Census Bureau, International Data Base, 2008). Sedangkan setiap hektar sawah dapat memproduksi 4,5 ton padi, maka jumlah beras yang dapat diproduksi Indonesia adalah sebesar 4,5 ton/Ha x 7.700.000 Ha = 34.650.000 ton. Jumlah ini belum bisa memenuhi kebutuhan pangan nasional sebesar 237.152.355 x 0,18 ton = 42.687.424 ton. Namun jika lahan seluas 1,7 juta hektar tersebut berhasil diolah, maka jumlah produksi beras akan meningkat menjadi 4,5 ton/Ha x 9.700.000 Ha
= 43.650.000 ton. Jumlah itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Jadi, sebenarnya Indonesia tidak perlu takut dan khawatir akan krisis pangan yang sedang melanda dunia saat ini asalkan mampu mengolah sumber daya yang ada dengan sebaik-baiknya. Mengingat luas wilayah daratan Indonesia sekitar 1.811.831 km2 (US Census Bureau, International Data Base, 2008), keadaan Indonesia jauh lebih beruntung daripada negara-negara lain seperti Arab Saudi yang tanahnya tandus dan Singapura yang tidak punya lahan untuk pertanian. Tinggal tindakan apa yang kita realisasikan untuk mendapatkan opportunities in crisis.
REFERENSI Antara. Ancaman Kemiskinan Global Baru Akibat Krisis Pangan. http://www.antara.co.id/print/?i=1208673076 diakses pada tanggal 28 Oktober 2008. Djalal, Dino Patti. 2008. Pasti Bisa! Seni Memimpin ala SBY. Jakarta: Red & White Publishing. Malthus, Thomas Robert. 1826. An Essay on the Principle of Population. London: John Murray, Albemarle Street.