Koreksi Mental

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Koreksi Mental as PDF for free.

More details

  • Words: 885
  • Pages: 2
Pannavaro

Koreksi Mental, Awal perbaikan bangsa

Opini - Kompas Senin, 23 Mei 2005 Koreksi Mental, Awal Perbaikan Bangsa Oleh: Sri Pannyavaro Mahathera MULAI penghujung tahun 2004 hingga awal tahun 2005, Indonesia dilanda berbagai bencana alam. Ratusan ribu saudara kita meninggal dan hilang dalam waktu sekejap. Berjuta yang lain menderita. Kepedihan bangsa masih diperberat dengan perilaku tidak peduli penderitaan, yang belum tampak surut: mencuri, korupsi, dan memanfaatkan tiap kesempatan untuk kepentingan pribadi. Banyak artikel dan wacana mengulas bencana, menjadi keprihatinan dunia. Ulasan filosofis dan teologis menjadi wacana di Tanah Air maupun di negara-negara lain. Bahasan itu bahkan berkembang menjadi perdebatan tak berujung. Pandangan Buddhis menunjukkan, perdebatan tentang bencana itu bukan sikap yang tepat untuk menghadapi penderitaan yang sedang terjadi di tengah-tengah kita. Saat Malunkyaputta menuntut Buddha Gautama menjelaskan mengapa alam semesta ini terjadi, beliau tidak memenuhi tuntutan itu. Buddha Gautama menyatakan, bila seorang terkena panah beracun, anak panah harus secepatnya dicabut, sang korban segera diselamatkan, dan bukan mencari jawaban mengapa dia terpanah dan menuntut si pemanah lebih dulu. Penderitaan manusia yang amat luas dan tidak pernah berhenti di depan kita harus membuat tiap orang apa pun agama, budaya, dan kedudukan sosialnya tersentak nuraninya untuk ikut menolong dan meringankan beban kemanusiaan itu. Penderitaan harus dihadapi sekarang, bukan merentang pandangan mengapa bencana hebat bisa terjadi, mengapa alam semesta harus dibuat.

Solidaritas Sungguh mengharukan sekaligus melegakan, kita menyaksikan dan ikut bersama mereka yang tatkala bencana-bencana itu datang, silih

berganti spontanitas rasa kemanusiaannya timbul menjadi perilaku bijak. Banyak pihak di dunia ini, dari kanak-kanak hingga yang berusia lanjut, mereka yang tergolong mampu maupun yang miskin, rakyat biasa, rohaniawan maupun birokrat; turut serta memberikan bantuan untuk meringankan penderitaan saudaranya, sesame manusia. Wujud nyata kasih sayang itu tidak sedikit, amat banyak. Bukan bantuan materi semata, tetapi juga kehadiran mereka di tengah bencana untuk meringankan penderitaan itu dengan tulus hati. Solidaritas yang terjadi adalah nilai kemanusiaan universal yang menjadi nyata dalam penderitaan, sungguh merupakan permata kehidupan. Kasih saying itu permata bagi ajaran semua agama. Tidak hanya dalam bencana, seperti tsunami, gempa, dan banjir, tetapi juga banyak kelompok masyarakat maupun perorangan mempunyai kepedulian terhadap sesamanya yang menderita memberikan pertolongan kepada mereka sepanjang tahun. Selain doa bersama, kita memberi bahan makanan, pakaian, biaya sekolah, obat-obatan, sampai perumahan yang cukup baik. Dalam skala besar, negara-negara sahabat juga mencurahkan bantuan untuk kemanusiaan itu. Mampukah segala uluran bantuan itu mengurangi penderitaan? Ketulusan memberi bantuan bukanlah akhir kebajikan, bukan pula puncak kasih sayang dalam ikut serta menyelamatkan saudara kita yang menderita. Bila bantuan diulurkan, tetapi perilaku buruk tidak dihentikan, bantuan kemanusiaan itu tidak banyak artinya. Bila kita trenyuh melihat penderitaan sesama, lalu spontan ingin ikut meringankan mereka, maka sudah seharusnya kita menghentikan perilaku tidak bermoral yang juga membuat orang lain menderita.

Hal 1 dari 2

Pannavaro

Koreksi Mental, Awal perbaikan bangsa

Pengendalian diri Bolehkah kiranya bila berdoa bersama untuk yang menderita, membagikan bantuan untuk yang sedang sengsara, menyekolahkan anakanak telantar, membangun perumahan bagi yang miskin; tetapi perilaku tidak terpuji, mencuri, korupsi, meraup yang terbanyak untuk diri tidak kunjung henti? Patutkah kiranya bila negara-negara kaya membantu negara-negara yang sedang berkembang bahkan miskin, tetapi tetap membiarkan keserakahannya terhadap negara lain? Masih benarkah uluran tangan mereka itu untuk disebut: kasih sayang yang bersemi dari nilai-nilai kemanusiaan? Realitas awal kasih sayang sejati adalah kesanggupan untuk mengendalikan diri dari segala perilaku yang tidak bermoral. Sekecil apa pun perilaku yang buruk akan memberi keburukan pula bagi lingkungan. Saling bergantungan adalah keniscayaan alam semesta ini. Tidak tahan melihat mereka yang menderita mendorong perilaku kasih, tetapi nafsu kenikmatan indriawi lebih kuat ketimbang kasih terhadap sesama. Meski institusi-institusi baru dilahirkan, sistem diatur kembali dalam sinar keadilan, perundangan dilengkapi; bila moral masih berorientasi pada kenikmatan indriawi, keserakahan akan menghancurkan segala harapan baik. Akan menjadi lebih parah lagi bila semua perilaku buruk itu dianggap bukan keburukan (ditthi-asava). Si pelaku tidak terbebani mentalnya dengan keburukan yang dilakukan. Kini saatnya kita yang masih ingin mempunyai kasih sayang sebenarnya terhadap sesama, yang ingin membangun kembali kesejahteraan bersama bagi bangsa ini; peduli kepada sesama yang menderita tidak hanya dengan mencurahkan pertolongan, tetapi juga menghentikan segala perilaku tidak bermoral. Seringan apa pun perbuatan jahat yang kita lakukan, sama dengan membagi penderitaan kepada sesama manusia.

Meruntuhkan tembok egosentris Siddharta memulai perjuangannya mencari jalan untuk membebaskan makhluk-makhluk dari penderitaan karena tidak tahan melihat penderitaan di luar dinding istana Kapilavastu. Siddhartha meninggalkan istana bukan karena cita-cita mencapai kesempurnaan, tetapi karena penderitaan yang mengalahkan pikirannya atas kenikmatan di dalam istana. Amat sedikit manusia yang lebih peduli pada penderitaan daripada kenyamanan istana. Banyak di antara kita teriris hatinya dengan penderitaan orang lain, tetapi kecintaannya terhadap keserakahan tidak pernah berkurang. Egosentris sering tidak peduli dengan ajaran agama, tidak goyah melihat orang lain sengsara, rela menghancurkan yang lain demi kepentingan pribadi. Saat Siddharta mencapai Pencerahan Sempurna (Samma Sambodhi), tembok istana Kapilavastu masih berdiri. Tetapi, bagi Siddharta, tembok itu telah lama runtuh. Siddharta telah melihat penderitaan dan menemukan Dharma untuk menjawab penderitaan itu. Sudahkah kita berusaha meruntuhkan tembok keserakahan, kebencian, serta egosentris yang selalu mengelilingi dan memenjara kita meski tembok itu tidak kasatmata? Bangsa ini harus dibangun kembali menjadi bangsa sejahtera dengan koreksi moral terhadap diri kita semua, siapa pun juga. Kita runtuhkan tembok kenikmatan pribadi, di atasnya kita bangun perilaku kasih sejati, kebajikan, keadilan, serta kesejahteraan bagi semua orang. Selamat Trisuci Waisak 2549. Semoga semua makhluk berbahagia. Sri Pannyavaro Mahathera Bikkhu Kepala Vihara Mendut, Kota Mungkid, Magelang

*****&&&&&*****

Hal 2 dari 2

Related Documents

Koreksi Mental
November 2019 5
Koreksi Ulang0003
November 2019 13
Koreksi Kalium.doc
May 2020 7
Jurnal Koreksi
June 2020 7
Mental
November 2019 55