Kompas_29mrt09_f_4_media_menonton Musibah

  • Uploaded by: lp3y.org
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kompas_29mrt09_f_4_media_menonton Musibah as PDF for free.

More details

  • Words: 317
  • Pages: 1
Kompas.Com

Page 1 of 1

Print

Send

Close

Menonton Musibah Minggu, 29 Maret 2009 | 04:36 WIB

Suasana temaram yang sebagian diwarnai cahaya lilin, Jumat (27/3) malam itu, tak menyurutkan rasa haru. Hingga larut, di lingkungan Kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ahmad Dahlan, puluhan muda-mudi masih mondar-mandir turun-naik menyusuri jalan berlumpur tebal, mengantar bermacam bantuan. Polisi, tentara, mahasiswa, dan sukarelawan dari berbagai organisasi masih terus bekerja merancang tugas untuk esok. Saat pagi mengembang, sikap saling membantu dan mau berempati itu berganti. Kawasan berubah menjadi arena wisata. Berbondong-bondong orang datang ingin membandingkan apa yang mereka lihat di televisi dengan apa yang akan mereka rasa dan lihat sendiri di sana. Peluang mengabadikan kehadiran mereka di tengah lokasi bencana bak wajib hukumnya. Sebagian keluarga nekat membawa serta anggotanya yang sudah berusia lanjut atau balita (di bawah lima tahun), naikturun, menyusur titian dan jalan licin. Menuruti hukum pasar, pedagang makanan dan mainan anak-anak pun berdatangan. Sampah di mana-mana. Bibir Situ Gintung, yang awalnya ditutup untuk publik, ”jebol” oleh serbuan ”wisatawan” dadakan. Mengapa mereka datang ke sana? ”Mereka ingin merasakan sensasinya. Merasakan sensasi saudara-saudaranya yang sedang susah. Merasakan sensasi kengerian melihat kiamat di satu tempat,” kata sutradara dan budayawan Garin Nugroho saat dihubungi, Sabtu (28/3). ”Inilah maximum reality show televisi,” lanjutnya. Ia mengatakan, bangsa Indonesia sudah mulai terbiasa sebagai penonton, konsumen, atau komentator. Penyebabnya, tumbuhnya tradisi televisi dan birokrasi negara yang buruk. Menurut Emha Ainun Nadjib, hal itu bisa terjadi karena bangsa Indonesia sudah kehilangan anatomi nilai. ”Mereka tak bisa lagi membedakan dan merasakan apa itu malu, penyesalan, kerendahan hati, kesombongan, kesusahan, atau kegembiraan,” tegas Emha. Meski demikian, kata Emha, itu menjadi cara bangsa Indonesia memelihara daya tahan mereka terhadap penderitaan yang bukan karena tindakan mereka. Mereka sadar, suatu saat, mereka akan kena bencana dan ditonton. ”Dalam tataran etiket dan kesantunan, hal ini memang menjadi absurd,” ucap Emha. (WINDORO ADI)

Dapatkan artikel ini di URL: http://entertainment.kompas.com/read/xml/2009/03/29/04364982/Menonton.Musibah

http://cetak.kompas.com/printnews/xml/2009/03/29/04364982/Menonton.Musibah

4/2/2009

Related Documents