Kiki

  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kiki as PDF for free.

More details

  • Words: 2,138
  • Pages: 5
Khilafah Islam Adalah Tuntutan Syari�ah Allah Sharim Abdul Matiin Pembina Buletin Al-Ummah Harian Al-Qabas terbitan Kuwait dalam edisinya hari Jum�at 20 September 1996 telah memuat pernyataan-pernyataan Syaikh Muhammad Sayyid Thanthawi --Rektor Universitas Al-Azhar Mesir-- mengenai dua topik, yaitu masalah Khilafah dan ekstrimisme. Khusus mengenai topik Khilafah, Syaikh Al-Azhar itu antara lain menyatakan bahwa masalah Khilafah sebenarnya lebih merupakan masalah politik daripada masalah agama, terutama setelah banyak terdapat negeri-negeri Islam. Dia mengatakan pula bahwa masalah Khilafah sesungguhnya bukanlah suatu keharusan dalam Syari�at Islam. Syaikh Al-Azhar itu kemudian melanjutkan: "Tak ada larangan bagi setiap negeri-negeri Islam untuk memiliki pemimpinnya sendiri yang akan bertanggung jawab terhadap negerinya itu. Hal ini terutama setelah banyak terdapat negeri-negeri Islam dan tersebarnya kaum muslimin di belahan bumi Timur, Barat, Utara dan Selatan. Jadi tak ada larangan bagi setiap negeri Islam itu untuk mempunyai presiden, raja, atau emir �yang akan dibantu oleh para menteri�dan para penguasa (ulil amri) di negara tersebut" Selanjutnya Syaikh Al-Azhar itu menyatakan pula: "Masalah Khilafah bukanlah suatu keharusan dalam Syari�at Islam. Khilafah itu sesungguhnya bisa saja berubah-ubah sesuai perubahan situasi dan kondisi. Memang dahulu Khilafah pernah ada ketika umat Islam masih berdomisili di tempat-tempat yang berdekatan atau tatkala jumlah mereka masih memungkinkan untuk memiliki seorang Khalifah. Namun saat ini umat Islam telah berjumlah ratusan juta dan tersebar di berbagai belahan bumi baik di Timur maupun Barat. Inilah yang menjadi alasan kita mengapa setiap negeri Islam boleh mempunyai pemimpinnya sendiri�" Sebelumnya, pada waktu jatuhnya Khilafah Islam, seorang tokoh orientalis bernama Thomas W Arnold telah menulis sebuah buku yang diterbitkan atas nama seorang tokoh terkemuka Al-Azhar Mesir, Ali Abdurraziq [lihat pula The Caliphate, Thomas W Arnold, Routledge & Kegan Paul Ltd., London], yang pada pokoknya berusaha menjadikan umat Islam ragu tentang adanya sistem Kekhilafahan di dalam Islam. Dengan demikian jelaslah bahwa pernyataan Syaikh Thanthawi tersebut tidak lebih berharga dari ucapan para orientalis pendahulunya. Sekarang, pusat gerakan para orientalis itu telah merasuk melalui berbagai lembaga pengajaran dan pendidikan di negeri-negeri Islam. Juga, melalui media pendidikan mereka menguasai pemberitaan dan sarana media massa. Selain itu, merekapun mendidik para intelektual muslim agar berorientasi dan berotak orientalis. Para intelektual ini mengarang buku-buku yang berusaha meragukan tentang sistem Kekhilafahan. Tercatat diantaranya adalah Dr Abdul Hamid Mutawwaly. Ia berkata: "Tegaknya Pemerintahan Islam di masa sekarang sama halnya dengan ijma� ulama, sehingga ia merupakan sesuatu hal yang mustahil" [Dr Abdul Hamid Mutawwaly, Mabaadi� Nizhamul Hukm fil Islam, hal 548] Atau ucapan Syaikh Muhammad Abu Zahra: "Tidak boleh kita mendakwahkan untuk menegakkan suatu negara bagi dunia Islam, supaya tidak terganggu kedudukan para Raja dan pemimpin-pemimpin (yang sekarang ada di negeri-negeri Islam). Kesatuan politik tidak bisa ditegakkan melalui negara kesatuan karena hal ini sebagai sesuatu yang tidak mungkin terjadi" [Syaikh

Muhammad Abu Zahra, Al-Waldatu Al-Islamiyah, hal 64-67]. Pengaruh para orientalis ini sampai sekarang masih sangat mengakar di perguruan tinggi berlabelkan Islam. Seperti kita ketahui bahwa perguruan tinggi tersebut telah banyak melahirkan sejumlah alumnus (S1, S2, S3) yang tidak diragukan lagi bahwa mereka telah terpengaruh oleh berbagai pemikiran para orientalis itu. Telah sering kita mendengar bahkan membacanya, bahwa dalam menyelesaikan tugas studi akhirnya mereka sering membuat karya tulis (makalah, skripsi, tesis, disertasi) yang justru isinya banyak meragukan kaum muslimin. Sebagai misal adalah tentang Sistem Khilafah yang saat ini sedang kita bahas. Dengan cara demikian, sadar ataupun tidak, sesungguhnya mereka itu telah berusaha menghambat pemikiran umat Islam tentang Khilafah Islamiyyah.

Syari`at Allah Mewajibkan Tegaknya Khilafah Mempelajari sistem Kekhilafahan menyebabkan kita berhadapan dengan pembahasan masalah paling mendasar dalam seluruh bagian syariat, tsaqafah (kebudayaan) dan hadlarah (peradaban) Islam. Atas dasar ini, perlu dijelaskan apa yang menjadi kekaburan dalam pemikiran kaum muslimin tentang sistem ini. Sebab, telah semakin banyak orang yang terlanjur terpengaruh dan cenderung percaya kepada pernyataan yang dilontarkan oleh para alumnus hasil didikan pemikiran orientalis. Seluruh kaum muslimin sejak dahulu telah sepakat mengangkat seorang Khalifah pada setiap waktu dan tempat. Pendapat ini disepakati oleh seluruh kalangan Ahlu Sunnah dan Syiah tanpa kecuali, termasuk kelompok sempalan Islam seperti Khawarij (kecuali sekte an Najdat) dan Mu�tazilah (kecuali pendapat dua orang dari mereka, Al Asham dan Hisyam al Ghuthi). Dengan demikian, seluruhnya berpendapat bahwa kaum muslimin wajib hidup di bawah kepemimpinan seorang Imam/Khalifah, dan bahwasanya pengangkatan Khalifah adalah merupakan ketentuan syara� bukan reka-rekaan akal. [lihat Ibnu Hazm, Maraatibul Ijma�, hal 124; Imam Nawawi, Syarah Muslim, jilid 8 hal 10; Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari: Syarah Bukhari, jilid 7 hal 24; Imam Syaukani, Nailul Authar, jilid 6 hal 52 dan jilid 13 hal 176-177; Al Qalqasyandi, Maatsirul Inafah fi Ma�alim Al Khilafah, jilid I hal 2; Sa�di Abu Habieb, Ensiklopedi Ijma�, hal 312]. Dalam memahami permasalahan tersebut, Imam Ibnu Hazm berkata [Ibnu Hazm, Al Fishal fil Milal wal Ahwa� wan Nihal, jilid 4 hal 97]: "Seluruh Ahlu Sunnah bersepakat mengenai keberadaan Imamah (Khalifah) adalah wajib adanya dalam rangka memelihara urusan kaum muslimin berdasarkan syari�at Islam, sehingga umat ini wajib tunduk kepada seorang imam (pemimpin) adil yang melaksanakan semua hukum Allah SWT tersebut" Imam Al �Aji berpendapat [Imam Al �Aji, Al Mawaqib, jilid 8 hal 346]: "Dengan diangkatnya seorang Imam, maka hal tersebut dapat menjauhkan mudlarat (bahaya) yang fatal (dari musuh-musuh kaum muslimin). Malah kami beranggapan bahwa mengangkat Imam adalah kemaslahatan yang paling pokok bagi kaum muslimin, serta hal ini merupakan tujuan yang paling mulia untuk menegakkan agama (Islam)". Demikianlah, masalah Khilafah telah menjadi sesuatu yang ma�lumun minaddin biddharurah, yakni sesuatu yang telah dimaklumi kepentingannya dalam agama Islam dan bagi kaum muslimin. Artinya, wajib ada. Itulah sebabnya mengapa para shahabat berkumpul di tsaqifah bani Sa�idah selang beberapa saat Rasulullah saw wafat. Dalam keadaan jenazah Rasulullah saw masih terbaring, mereka segera berkumpul dan bermusyawarah guna memilih dan mengangkat seorang pengganti Rasulullah saw,

sekalipun memakamkan jenazah Rasulullah saw adalah juga pekerjaan yang wajib yang mesti dilakukan. Namun sesuai dengan tuntunan syara�, mereka justru memprioritaskan mengangkat pengganti Rasulullah saw. Mereka tidak ingin dan tidak bisa hidup barang satu haripun tanpa adanya pemimpin. Esensi keberadaan seorang Khalifah juga dapat kita perhatikan dari ucapan Abubakar ra pada saat tersebut ia berkata: "Sesungguhnya Muhammad saw telah meninggal, dan agama (Islam) ini membutuhkan seseorang yang (mau) bertanggung jawab (terhadap pelaksanaan hukum Islam/ Syari�at Islam)" [Imam Al �Aji, ibidem, jilid 8 hal 345]. Umar bin Khaththab ra juga pernah berkata: "Tak ada Islam tanpa jama�ah, tak ada jama�ah tanpa imarah (imaratul muslimin/Khalifah), dan tak ada imarah tanpa ada ketaatan" [Imam Syahrastani, Nihayatul Iqdam fi ilm al Kalam, hal 479] Tentang sikap para shahabat ini, Imam Syahrastani berkata [Imam Syahrastani, ibidem, hal 480]: "Abu Bakar, dan para shahabat tak pernah membayangkan pada suatu waktu (kaum muslimin) tidak mempunyai Imam/Khalifah. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa para shahabat (pemuka/pemeluk Islam pertama) secara bulat telah bersepakat bahwa bagi kaum muslimin wajib adanya Imam/Khalifah. Ijma� ini menjadi suatu dalil yang qath�i tentang wajib adanya Imamah/Khalifah" Keadaan umat Islam masa kini yang menyedihkan adalah mustahil dapat diperbaiki tanpa adanya Khilafah dan usaha dari kaum muslimin untuk membai�at seorang Khalifah yang memerintah seluruh dunia. Betapa kita telah melihat bagaimana akibatnya apabila hukum-hukum syara� telah dibekukan penerapannya. Kehormatan kaum muslimin telah dilanggar dan diinjak-injak. Kita juga menyaksikan bahwa panji penyebaran Islam, yaitu jihad, telah tiada lagi. Negeri-negeri kaum muslimin telah terpecah belah menjadi puluhan negara yang berdiri sendiri-sendiri (29 negara di Asia, 27 negara di Afrika, 2 di Eropa) dan tidak mau saling mempedulikan satu dengan lainnya. Padahal Rasulullah saw bersabda: "�Sesungguhnya kaum muslimin dan mu�minin adalah umat yang satu, berbeda dengan manusia yang lain" Memang, masalah Khilafah kini telah menjadi urusan yang amat mengerikan dan menakutkan bagi negara-negara Barat kafir serta para penguasa kaum muslimin yang menjadi antek-antek mereka. Oleh karena itu, mereka menjadikan masalah Khilafah ini sebagai sasaran kecaman dengan cara melemparkan berbagai kebohongan palsu atasnya, menjelek-jelekkan dan memanipulasinya, serta mengingkari berbagai kenyataan yang sesungguhnya sudah jelas dan tak perlu dibuktikan lagi. Tindakan ini diambil setelah mereka menyaksikan kecenderungan mayoritas kaum muslimin ke arah Islam dan Khilafah, sebagai akibat kendornya cengkeraman negara-negara Barat yang kafir dan segenap antek-anteknya di negeri-negeri Islam, serta mulai punahnya kedudukan dan kekuasaan antek-antek Barat tersebut. Maka dari itu, mereka lalu memperalat para ulama suu� (jahat) yang mendukung para penguasa, kemudian menyuruh para ulama itu untuk menjajakan berbagai fatwa yang nyata-nyata bertentangan dan berbenturan dengan hukum-hukum syara� yang qath�iy dan sudah ma�lumun minad diini bidl dlaruurah (sudah secara pasti diketahui sebagai bagian dari ajaran agama Islam). Tentu, para ulama suu� itu tak akan begitu mudah melakukan semua kekejian tersebut, kecuali setelah para penguasa tadi lebih dahulu menghinadinakan dirinya sendiri, menistakan umat mereka, serta melecehkan Islam. Padahal, apa yang membuat para ulama suu� itu rakus tiada lain hanya beberapa suap makanan dari para

penguasa yang menjadi musuh Allah SWT dan musuh Islam. Ada beberapa hal yang ingin dikemukakan dalam hal ini, sehubungan dengan topik pembicaraan kita kali ini. Yakni: Pertama, seorang muslim diharamkan melakukan suatu perbuatan apapun yang dampaknya dapat meragukan umat Islam terhadap peraturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Sebab segala sesuatu yang datang atau yang bersumber dari Allah SWT adalah pasti benar dan tetap relevan untuk setiap tempat dan masa. "Apakah hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (TQS. Al-Maaidah: 50). Kedua, kekuasaan pemerintahan Islam bukanlah kekuasaan seperti yang dipunyai gereja yang telah menjadi doktrin absolut dan otoriter. Tetapi kekuasaan Khalifah selalu diikat oleh hukum syara�. Jika ia menyimpang dari ketentuan syara� dan menerapkan sesuatu peraturan atau ketentuan yang selain dari syari�at Islam, maka kaum muslimin tidak boleh menaatinya. Bahkan mereka wajib mencegah setiap tindakan penguasa yang bertentangan dengan hukum syara�. Juga, setiap warga negara berhak mengontrol, mengkritik, mengoreksi dan meluruskan tingkah laku kepala negara maupun aparatnya. Rasulullah saw telah bersabda : "Mendengarkan perintah (dari pemimpin) dan menaatinya adalah wajib (atas setiap muslim), kecuali apabila kalian diperintahkan olehnya untuk melakukan maksiat". [lihat Shahih Bukhari, jilid 13 hal 109; Shahih Muslim hadits no 1839; Tirmidzi hadits no 1707; Abu Dawud hadits no 2626] "Syahid yang paling utama dari umatku adalah Hamzah bin abdul Muthalib dan seseorang yang tegak sambil berkata di hadapan penguasa yang zhalim. Ia menyuruh kepada yang ma�ruf (tunduk kepada hukum syara�) dan melarang penguasa itu dari munkar (menyimpang dari ketentuan syara�). Kemudian orang tersebut dibunuh (langsung)" [lihat Al-Hakim, jilid 3 hal 142] Ketiga, adalah sebuah kenyataan bahwa tabiat dan bentuk kekuasaan haruslah di tangan seorang individu. Karenanya, ketentuan (syara�) dalam Islam adalah menyerahkan seluruh kekuasaan kepada seorang Khalifah untuk menjalankan syari�at Islam tanpa harus menipu atau berbohong kepada rakyat. Dengan demikian, kekuasaan Khilafah tidaklah seperti kekuasaan seorang diktator. Sebab, ia selalu terikat dengan ketentuan syara�. Keempat, Islam tidak mewajibkan keturunan dari satu suku tertentu dalam syarat pengangkatan Khalifah. Siapa saja dari kaum muslimin berhak menjadi Khalifah jika ia memenuhi syarat-syarat pengangkatan yaitu: Islam, laki-laki, baligh, berakal (tidak gila), merdeka, adil dan mampu. Selain itu, tidak ada syarat pokok lainnya. Kelima, Islam tidak mengharuskan adanya ahlul halli wal aqdi (perwakilan umat Islam yang bertugas memecahkan permasalahan dalam proses pengangkatan Khalifah) untuk pengangkatan Khalifah. Istilah ini tidak ada di dalam hadits manapun. Hanya sebagian besar fuqaha yang telah menamakan sekumpulan orang sebagai wakil kaum muslimin yang berhak mengangkat sebagai Khalifah dengan istilah tersebut. Tetapi fuqaha lainnya menamakan kelompok ini dengan ahlil ikhtiar, ahlul ijtihad wal �adaalah, atau fudlaala� al ummah. Padahal dalam hal ini syara� telah menjadikan bai�at dari umat kepada Khalifah sebagai satu-satunya cara pengangkatannya. Bai�at (hak pengakuan terhadap pengangkatan Khalifah) harus diterima dari seluruh kaum muslimin. Tetapi boleh saja mereka mewakilkan kepada orang-orang tertentu untuk ikut menentukan proses pengangkatan tersebut. Perwakilan rakyat ini berwenang mencalonkan orang-orang untuk menduduki jabatan Khalifah [Dr. Mahmud al Khalidi, Qawa�id Nizhamul Hukmu fil Islam, hal 266-273].

Syari`at Islam mewajibkan kaum muslimin untuk mengangkat hanya seorang khalifah bagi mereka. Dan hanya seorang saja. Kemudian mereka mendengar dan mematuhinya demi menjalankan syari`at Allah bagi segenap manusia. Dan diharamkan bagi mereka memiliki pemimpin lebih dari satu, yang berakibat pada keterpecahbelahan umat yang telah Allah muliakan dengan risalah Islam ini. Demikian pula, Islam telah menetapkan hukum atas perampas kekuasaan dari Khalifah yang sah dengan cara membunuh si perampas. "Jika dibai�at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya" (HR. Imam Muslim) "Dan siapa saja yang telah membai�at seorang Imam (Khalifah) lalu memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya kepadanya, maka hendaklah dia mentaati Imam itu sekuat kemampuannya. Dan jika ada orang lain yang akan menggulingkan kekuasaannya, maka penggallah lehernya!" (HR Imam Muslim)

Khatimah Wahai kaum muslimin, marilah bersatu padu untuk memperjuangkan tegaknya syari`at Allah dengan cara mengangkat Khalifah yang sesuai dengan metode kenabian, bersama para pengemban dakwah Islam. Tinggalkanlah para pengikut orientalis dan kekufuran. Sesungguhnya tuhan-tuhan mereka tidaklah memiliki sorga ataupun neraka serta tidak mampu mengampunkan dosa-dosa. Ketahuilah bahwa diin ini Allah turunkan untuk menjadi pemenang atas diin yang lain. Wahai para pengikut orientalis serta penyeru kekufuran, segeralah menuju ampunan Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penerima taubat. "Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segenap agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai" (TQS. At-Taubah : 33) Yaa Allah, telah kami sampaikan. Yaa Allah saksikanlah. 1

Related Documents

Kiki
November 2019 26
Kiki
November 2019 27
Kiki
December 2019 29
~kiki~
November 2019 21
Kiki
November 2019 21
Kiki
November 2019 21