Kf-peniti Sepatu

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kf-peniti Sepatu as PDF for free.

More details

  • Words: 610
  • Pages: 2
Peniti Sepatu ( serial ayat-ayat dhu’afa) Oleh : Syamsi Sarman

Jam dinding di kantorku menunjukkan pukul setengah empat. Saatnya aku bersiap-siap pulang. Aku bekerja di kantor BAZ (Badan Amil Zakat) dari jam 07.30 sampai 16.00 WITe. Tiba-tiba muncul dua orang ibu setengah baya dari pintu depan. ”Assalamu’alaikum” salamnya. ”Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh,” kataku sambil mempersilahkannya duduk. Ternyata mereka tidak hanya berdua. Muncul lagi dari pintu itu tiga orang anak. Seorang laki-laki agak besar dan dua orang perempuan dengan badan yang sedikit lebih kecil. ”Sandalnya kenapa dilepas ?” tegurku ketika melihat anak-anak itu masuk tidak memakai alas kaki. Anak-anak itu seperti kebingungan dengan pertanyaanku tadi. Mereka saling berpandangan dengan senyum masam. Oh, ternyata mereka memang tidak memakai alas kaki. Dengan rasa malu dan haru kupandangi kaki-kaki yang berdebu itu. Cukup besar dan lebar untuk ukuran anak seusia mereka. ”Mari, masuk semua,” kataku sambil berusaha menghilangkan salah tingkahku. Aku yang membuka pembicaraan, ”ada yang bisa saya bantu, bu ?”. Begini pak,” kata ibu yang satu. ”Anak saya ada dua. Ini yang kedua (ia memegang lengan anak laki-laki yang duduk disampingnya). Dulu pernah sekolah di SD sampai kelas dua. Setelah itu berhenti. Teman-temannya sekarang sudah kelas lima.” ”Kenapa berhenti,” tanyaku. ”Saya sudah tidak bisa lagi membelikan perlengkapan sekolahnya. Biar sekolahnya tidak bayar, tapi kan beli buku, baju sekolah, sepatu, dll. Ada lagi kakaknya yang di SMP. Sudah beberapa minggu ini tidak mau ke sekolah lagi. Ia tidak punya sepatu. Karena yang lama sudah tidak bisa dipakai lagi. Itupun sudah dipasangin peniti untuk menutupi jahitannya yang lepas. Aku tak mau berpanjang-panjang mendengar cerita sedihnya. Aku takut tak tahan. Malu kan kalau laki-laki ketahuan menangis. Kutarik nafas panjang agar bisa berbicara santai. ”Lantas, ibu bagaimana ?” tanyaku kepada ibu yang satu lagi. Tubuhnya sedikit lebih kurus dari yang tadi, tetapi dari segi usia sepertinya ia jauh lebih tua. Bibirnya agak gemetaran untuk berbicara. ”Ini pak, cucu saya ini pak, kasian dia (kata-katanya tidak sebagus dan selancar ibu sebelumnya). ”Orang tuanya mana ?” tanyaku kepada ibu yang ternyata seorang nenek dari dua cucunya itu. ”Sudah tidak ada” katanya cetus dengan raut wajah seperti menampakkan kejengkelan. ”Meninggal ? tanyaku lagi. ”Tidak, cuma tak tahu kemana mereka. Anak-anak ini ditinggalkan pada saya,” urainya. Aku mencoba mulai masuk pada masalah. ”Lantas apa yang bisa saya bantu ?” tanyaku. ”Mereka mau sekolah. Tiap hari mereka minta dimasukkan sekolah seperti teman-teman bermainnya.” Sambil sedikit heran aku bertanya,”memang umurnya sudah cukup untuk masuk SD ?”. ”Yang ini (ia menunjuk anak perempuan di dekatnya duduk) umurnya sembilan tahun, dan yang ini (sambil ditariknya lengan anak perempuan yang agak jauh dari duduknya itu) umurnya jalan sebelas tahun.” Aku kaget dan tertegun. Sebenarnya nenek itu masih terus menceritakan keadaan dirinya. Untuk bisa makan bersama cucunya saja sudah syukur, apatah lagi mau membiayai sekolah. Sengaja kubiarkan ia bercerita, karena aku seakan tak habis pikir dengan semua ini.

”Ya, sudah-sudah begini saja (aku seperti terbangun dari kebingunganku), ibu dan ibu (aku memandang kepada kedua ibu itu), saya minta masukkan anak ibu ke sekolah, masukan cucu-cucu ibu ke sekoah manasaja yang terdekat. Mintakan keterangan dari lurah agar dapat keringanan biaya. Baju, sepatu, tas sekolah, buku, dll. nanti BAZ yang beri. Kalau nanti sudah terdaftar di sekolah, ibu ke sini lagi untuk mengambil perlengkapan sekolahnya. Juga untuk anak ibu yang SMP itu. Suruh dia sekolah lagi. Ajak dia ke sini untuk mencoba sepatu. Sudah tidak ada lagi sepatu yang pakai peniti. Pokoknya, anak-anak ibu harus bisa sekolah lagi, ya bu ?” kataku mengakhiri pertemuan yang mengharukan itu. Merekapun meninggalkan kantor BAZ. Si anak dan cucu berlari lebih dulu. Entah kenapa demikian. Aku hanya menduga, mungkin anakanak itu ingin segera bertemu teman-teman bermainnya dan mengumumkan bahwa mereka akan bisa sekolah.

Related Documents