Kakek Penjual Sepatu

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kakek Penjual Sepatu as PDF for free.

More details

  • Words: 2,404
  • Pages: 9
Kakek

Penjual

Sepatu Tahun ajaran baru, sungguh senang bisa jadi mahasiswa di universitas ternama ini, apalagi bisa masuk FK yang notabene adalah kampusnya orang- orang kaya. Sedangkan

orang

tuaku

hanya

berpenghasilan pas- pasan. Tak masalah bagiku, asalkan ada usah, semangat, dan doa kepadaNya, Insya Allah ada jalan keluar. Seperti biasanya aku pergi ke kampus bersama teman- teman satu kost yang kebetulan ada yang satu jurusan denganku. Juga dengan teman- teman lain yang beda kost. Sudah menjadi kebiasaan kami selalu berangkat bersama ke kampus. Seperti biasa, kami selalu memilih jalur alternatif untuk cepat sampai ke kampus. Malas rasanya kalau harus lewat pintu gerbang depan, meskipun fakultas kami dekat dengan pintu gerbang depan. Kami lebih suka lewat gerbang belakang meskipun pintunya jarang dibuka lebar. Juga dengan anak- anak kost yang lain, yang mayoritas kost mereka dekat dengan gerbang belakang kampus. Gerbang ini dekat dengan Fakultas Peternakan, sehingga kami lebih suka menyebutnya Gerbang Peternakan. Awal aku masuk kampus ini, di sekitar Gerbang Peternakan sepi, tidak seramai sekarang, di mana banyak penjual yang meramaikannya. Aku tidak tahu, apa karena waktu aku baru masuk kampus dengan kata lain masih menjadi mahasiswa baru, para penjual belum aktif berjualan, atau mereka baru berjualan saat ini. Yang jelas daerah sekitar Gerbang Peternakan sangat ramai oleh penjual berbagai makanan, minuman, majalah, dan pernak- pernik lain seperti gantungan kunci dan sepatu. Satu hal yang menarik perhatianku, ternyata tidak hanya penjual makanan, minuman, majalah, dan pernak- pernik saja yang meramaikan kawasan ini. Di pojok dekat pintu gerbang ada seorang nenek berbaju compang- camping duduk beralaskan koran. Di depannya ada sebuah kaleng berisi uang. Seorang nenek pengemis yang mengharap belas kasihan dari orang lain. Tak hanya nenek itu ternyata. Masih banyak pengemis lain yang berada di sekitar Gerbang Peternakan ini. Di dekat nenek Dwi Yuliani ETOSer Malang’08 [email protected]

9

pengemis itu, ada seorang kakek yang duduk beralaskan tikar. Di depannya tak ada uang seperti halnya nenek pengemis tadi. Sepatu- sepatu dan payung- payung cantik berjajar di depannya. Dengan suaranya yang lemah, ia tawarkan sepatu dan payungnya, “Sepatu cantik, Neng... Payung cantik Neng...” Sangat jarang yang tertarik pada jualannya. Aku tak tahu kenapa, apa karena penjualnya yang sudah tua, atau karena kakek itu hanya berjualan di pinggir jalan, sehingga orang- orang yang lewat di depannya yang mayoritas adalah mahasiswa malu untuk membelinya. Aku sempat tertarik pada sepatu berwarna putih yang dijual kakek itu. Tapi kuurungkan niatku untuk membelinya, mengingat jatahku bulan ini yang semakin menipis dan uang saku dari orang tua belum dikirim. Ya, mungkin lain kali saja. Sepatu yang kupakai sekarang juga masih layak pakai kok. InsyaAllah nanti kalau ada rejeki, pasti ada kesempatan untuk membelinya. Setiap kali aku pergi ke kampus, aku selalu menjumpai kakek penjual sepatu itu. Ketertarikanku pada sepatu putih di depan kakek itu semakin menjadi- jadi. Dan sepatu cantik itu belum ada yang membelinya hingga berkali- kali aku menjumpai kakek itu berjualan di tempat yang sama. Suatu hari, aku pergi ke kampus dengan salah seorang temanku yang bisa dikatakan dari golongan konglomerat, dari penampilannya pun sudah terlihat. Memang mayoritas teman- temanku di Fakultas Kedokteran adalah anak- anak orang kaya. Meskipun aku jauh berbeda dari mereka, aku tidak mempunyai perasaan minder atau malu mengakui jati diriku sebenarnya. Di tengah- tengah perbincangan kami yang biasa kami lakukan sambil berjalan, tiba- tiba terdengar suara, “Sepatu cantik Neng... Ayo lihat dulu...” Aku pun berhenti, “Eh, Ta berhenti dulu. Lihat deh sepatu putih itu! Cantik kan? Pengen deh... Tapi lagi gak ada uang...” Dengan nada agak sinis Ata pun menjawab, “Apa? Sepatu murahan itu? Paling juga cepat rusak. Jualannya cuma di pinggir jalan gitu, paling ya kualitasnya juga jelek. Gak sekalian beli di mall aja yang kualitasnya udah terjamin?”. Begitulah jawaban temanku saat aku minta pendapatnya. Sungguh tidak mengenakkan hati. Kalau saja Dwi Yuliani ETOSer Malang’08 [email protected]

9

kakek itu mendengarnya, tentu ia merasa terhina. Namun aku tak tahu apakah kakek itu mendengarnya atau tidak. Semoga saja tidak. Aku maklumi sikap Ata yang seperti itu. Sepanjang jalan menuju kampus, tak henti- hentinya aku memperdebatkan hal yang kecil itu. “Tidak kasihan kah kau pada kakek tadi? Andai kamu jadi dia, pastilah kamu berharap ada orang yang tertarik pada jualanmu dan membelinya. Memang posisi kita sebagai pembeli memberikan hak kepada kita untuk memilihnya, membeli atau tidak”, aku seolah- olah menceramahinya, dan seketika ia menjawab, “Kamu pilih mana? Barang dengan kualitas bagus atau yang jelek?” “Tentu aku pilih yang bagus....”, balasku. “Nah, itu kamu tahu sendiri. Kamu tidak mengelak untuk membeli barang dengan kualitas bagus kan? Tentunya kamu tahu mana barang yang berkualitas dan tidak” “Maksudmu?” “Kualitas barang sebanding dengan harga dan dimana barang itu dijual” “Masa? Sok tau kamu...” “Bukannnya sepatu yang dijual kakek tadi gak kalah bagus dengan sepatu yang dijual di mall?” “Bagus apanya? Sepatu murahan kayak gitu kamu bilang bagus.... Seleramu rendah banget sih? Gak gengsi kamu?” “Haaahhhh...?? Apa??? Gengsi? Kenapa mesti gengsi? Yang kakek itu jual bukan barang curian kan? So, nyantai aja lagi...” “Duuuh,,,, ni anak ya.... gak bisa dibilangin...” “Ya udah deh,,, terserah kamu aja... capek aku” “Haha... ya jelaslah terserah aku... yang beli aku, yang pakai juga aku” “ Lagian,,, kenapa sih kamu? Gak suka ma kakek- kakek tadi? What happen? Dia pernah jahat ma kamu?”, jawabku sambil tertawa menyindir Ata. “Gak juga sih?” “Lha trus kenapa?” “Bukannya aku gak suka ma kakek tadi, tapi gak suka aja ma barang- barang murahan kaya yang dijual kakek- kakek tadi. Apalagi jualannya di pinggir jalan kayak gitu. Kualitasnya pasti juga jelek. Beda ma barang- barang yang dijual di mall yang kualitasnya udah terjamin.” Dwi Yuliani ETOSer Malang’08 [email protected]

9

“Eh,, belum tentu ya Neng. Kamu kira kakek tadi bikin sepatu ‘n payung sendiri? Pastinya dia juga dapat barang- barang tadi dari agen, grosir, atau apalah, yang asalnya juga dari pabrik. Sama halnya dengan barang- barang yang dijual di mall, yang asalnya juga dari pabrik. Lagian ya, kita juga lebih untung, soalnya harganya jauh lebih murah.” “Terserah kamu aja wis. Males aku mbahasnya. Gak ada gunanya.” “Tunggu dulu Ta,,, jangan tinggalin aku dong...” “Masa gara- gara masalah kecil ini kamu marah?” “Habisnya kamu gak bisa dibilangi sih,,,,” “Iya...iya... terserah kamu aja...” Ya, begitulah perbedaan cara pandang kami terhadap sepatu yang dijual kakek tadi. Mungkin karena dia dari orang kaya sehingga terbiasa membeli barang- barang di tempat- tempat terkenal dengan harga yang mahal pula, sehingga ia beranggapan bahwa barang yang dijual dengan harga murah atau di tempat yang tidak dikenal, kulitasnya sangat rendah. Ya terserah dialah. Beda pendapat boleh asal tetap rukun. Siang hari yang panas saat sang surya tepat di tengah- tengah, karena sudah tidak ada kegiatan di kampus aku memutuskan untuk pulang ke kost, istirahat sejenak untuk melepas kepenatan selama di kampus. “Hai Re...” Dari belakang, Deby, temanku sekelas memanggil sambil menepuk bahuku. “Ahh, Deby ternyata. Ngagetin aja kamu.” “Yee,,, masa gitu aja kaget sih? Lagi nglamun ya? Hati- hati, ntar kesambet setan ganteng lho...” “Enak aja. Siapa yang nglamun?” “Lha trus kenapa dong? Masa dipanggil gitu aja kaget?” “Ah kamu Deb,,Biasa aja lagi kalau aku kaget. Kamu sih datangnya tiba- tiba, pakai nepuk bahuku dari belakang lagi” “Iya deh,,maaf... By the way, tumben sendirian? Mana temen- temenmu yang lain?” “Masih ada kegiatan di kampus. Aku pulang dulua coz gak ada kerjaan di kampus. Untung ada kamu yang nemenin aku pulang. Hehe...” Dwi Yuliani ETOSer Malang’08 [email protected]

9

Seperti biasanya, aku pulang lewat jalan yang sama seperti berangkat ke kampus tadi pagi. Pemandangan yang sama dengan tadi pagi, banyak orang berjualan di dekat gerbang belakang, tapi kali ini lebih ramai oleh pembeli yang mayoritas adalah mahasiswa. Apalagi sekarang saatnya jam makan siang, banyak yang antre membeli makanan. “Re, berhenti dulu” Tiba- tiba Deby menarik tanganku, “Da pa Deb? Kok berhenti? Cepetan pulang yuk...! Capek nih...” “Bentar lah Re... Liat- liat sepatu dulu. Pengen beli ni..” Ternyata yang dituju Deby sama dengan tujuanku tadi pagi, seorang kakek penjual sepatu yang duduk di dekat pintu gerbang. Seketika, kakek penjual sepatu itu langsung menyambut kami dengan senyuman dan tawaran halusnya, “Sepatu cantik Neng, monggo dipilih...”, dengan suaranya yang agak lemah, kakek menawarkan jualannya kepada kami. Dengan serentak kami menjawab, “Iya Kek, trima kasih” “Liat ni Re, sepatunya bagus- bagus kan? Bantuin aku milih dong. Bingung nih...” Pandanganku pun tertuju pada sepatu putih yang kulihat tadi pagi. Masa iya aku nawarin septu yang sudah kuincar pada orang lain? Tapi, biarlah aku tawarin dulu. Kalau Deby cocok, biar dia saja yang membelinya. Toh, masih banyak sepatu lain yang lebih bagus. “Hmmm.... Yang mana ya Deb? Bagus- bagus semua sih... Coba deh yang putih itu!!!”, akhirnya kutawarkan sepatu pilihanku pada Deby. “Oohh... Yang ini? Bagus juga Re...”, kelihatannya Deby tertarik dengan tawaranku. “Boleh dicoba ya Kek?” “Oh,

silahkan

Neng..

Boleh...boleh..”,

dengan

senang

hati

kakek

mempersilahkan Deby untuk mencoba sepatu putih itu. “Lihat ni Re!! Cocok gak?”, sambil bergaya, Deby menunjukkan sepatu yang dicobanya padaku. “Subhanallah, cocok banget Deb ma kakimu yang putih.” “Ah, kamu Re bisa aja” Dwi Yuliani ETOSer Malang’08 [email protected]

9

“Lho,, beneran ni Deb. Kamu cocok banget ma sepatu putih ini.”, aku berusaha meyakinkan Deby atas pilihanku. ‘Hmmm,,, boleh juga nih. Tapi kok agak kekecilan ya? Berapa sih ukurannya?, Deby mengamati sepatu yag dibawanya, “Ooh,,, pantesan, cuma 37. Biasanya aku 39.” “Kek,, ada yang ukuran 39 gak?” “Bentar ya Neng, tak carikan dulu”, kakek itu mencari sepatu sesuai permintaan Deby. “Ini Neng, yang ukuran 39 kebetulan tinggal sepasang. Silahkan dicoba dulu!” Deby mencoba sepatu yang diambilkan kakek tadi, “Wah, lihat ni Re, pas banget ma kakiku.” “Sipp... cocok banget Deb”, akhirnya Deby menyetujui tawaranku. “Berapa kek harganya?” “40 ribu Neng...” “Gak boleh kurang ni Kek? 30 ribu ya?’, Deby mencoba menawarnya. “Buat pelaris Neng, 35 ribu aja”, kakek memberikan tawaran harganya pada Deby. “Yaa,,, kok mahal sih Kek? 30 ribu aja ya?”, Deby tetap kukuh dengan tawarannya. “Yaudah deh Kek, saya beli”, Deby memberikan selembar uang 50 ribuan kepada kakek itu, dan kini sepatu putih cantik itu berada di tangan Deby. “Tunggu ya Neng, saya ambilkan kembaliannya”, kakek penjual sepatu itu tengah asyik berkutat dengan dompetnya. “Trima kasih ya Kek....”, Deby mengucapkan trima kasih pada kakek dan langsung pergi dengan menarik tanganku yang tengah mengirim SMS. “Lho,,, Neng kembaliannya belum...!!!!”, dengan suaranya yang lemah, kakek berusaha berteriak memanggil Deby yang pergi dengan seenaknya. “Buat Kakek aja kembaliannya”, Deby menjawab dari kejauhan. “Iya,,, trima kasih ya Neng...”. Deby terus menarik tanganku, sementara aku masih memperhatikan kakek itu yang terlihat kebingungan oleh tingkah aneh Deby. Namun, akhirnya aku bisa melihat wajah cerianya yang sangat jarang aku lihat. Dwi Yuliani ETOSer Malang’08 [email protected]

9

Sama halnya dengan kakek tadi, aku pun bingung melihat tingkah Deby. Sepanjang jalan menuju kost, tak henti- hentinya aku bertanya. “Deb, apa maksudmu meninggalkan kakek tadi dengan seenak kamu? Gak sopan tahu!!!! Gak pamitan lagi...” “Enak aja kamu,,, aku kan udah bayar, jadi ya terserah aku dong mau pergi apa gak.’ “Iya,,, tapi gak sopan gitu kamu pamitannya, kaya orang kabur gitu deh...” “Iya deh.... aku salah...” “Eh, Deb...BTW, kamu tadi gak ngambil kembalianmu ma kakek tadi?”, tanyaku dengan heran. “Hmmm... Enggak... Emang kenapa?”, jawabnya dengan singkat. “ Ya heran aja. Bukannya kamu tadi nawar harga sepatu jadi 30 ribu?” “Iya,,,trus?, jawabnya singkat lagi. “Kok sekarang kembaliannya malah gak kamu ambil sih? Bukannya sisa banyak ya? Aneh kamu ini”, tanyaku dengan penasaran. “Iya, sepatu tadi aku beli dengan harga 50 ribu” “Makin aneh deh kamu ini. Kakek tadi nawarin harga 40 ribu, kamu gak mau trus nawar jadi 30 ribu. Kakeknya yang gak mau dengan harga segitu, trus nawarin 35 ribu. Kamu setuju. Eh,,, kamu malah beli dengan harga 50 ribu. Trus, kamu tadi nawar harga buat apa???”, tanyaku semakin bingung. “ Hmm... gini ya Re,,, kakek tadi kan bilang, harganya boleh ditawar. Ya aku tawar aja. Gak salah kan?”, jawabnya dengan santai. “Iya, gak salah. Trus apa gunanya kamu nawar harga tadi, kalau endingnya kamu malah beli dengan harga lebih?”, tanyaku semakin penasaran dan bingung. “Gini ya Re,,, kamu sering lihat kakek tadi mangkal dekat pintu gerbang kan?”, tanyanya padaku. “Hmm... Iya, hampir setiap hari malah”. “Terus, comment kamu apa tentang kakek tadi?” “Ya, aku ngerasa kasihan ma kakek itu, soalnya dagangannya kurang laku.”, kusampaikan pendapatku dengan spontan.

Dwi Yuliani ETOSer Malang’08 [email protected]

9

“Sipp,, setuju aku. Itu kamu juga tahu gimana keadaan kakek tadi. Trus tindakanmu apa?”, tanyanya seperti polisi yang mengintrogasi penjahat yang baru tertangkap. “Ya,,, sebenarnya aku pengen beli sepatu sama seperti yang kamu beli tadi, tapi karena jatahku bulan ini belum dikirim, jadi ya kubatalkan aja, nunggu sampai uang saku dikirim. Lagian, sepatuku juga masih bagus kok.”, jawabku apa adanya. “Hmmm...Gitu ya?” “Iya,,, makanya tadi aku tawarin kamu untuk beli sepatu yang sebenarnya sudah lama kuincar.” “Kenapa? Kamu rela sepatu incaranmu dipakai orang lain?” “Why not? Pabrik kan gak hanya bikin sepatu kayak gitu aja. Jadi ya pikirku nanti bakalan sepatu yang baru lagi. Karena kamu duluan yang beli, jadi ya hak kamu untuk memilikinya. Yaudahlah,,, anggap aja itu rejeki buat kamu.” “Re, kasihan ya kakek tadi. Di usianya yang sudah senja seperti itu beliau masih tetap bekerja keras.” “Iyalah Deb, ya mau bagaimana lagi. Demi kebutuhan hidup, mau tidak mau ya harus bekerja keras. Tapi aku salut sama kakek itu. Kalau kamu perhatikan disekitarnya juga ada kakek nenek lain seusianya, dan kamu tah kan apa yang mereka lakukan?” “Meminta- minta maksudmu?”, tanya Deby. “Yup, bener banget. Aku tak tahu mereka melakukan itu karena ada keterbatasan fisik atau yang lainnya sehingga tidak memungkinkan mereka untuk bekerja, dan harus meminta- minta. Yang jelas aku salut sama kerja keras kakek tadi. Perhatikan saja, sekarang ini bukan mereka yang lanjut usia saja yang menjadi pengemis. Di masjid kampus kita juga banyak anak- anak kecil yang meminta- minta. Sungguh keadaan yang sangat memprihatinkan dan butuh kepedulian kita. Menurutmu, apa yang pantas diberikan kepada mereka?” “Sebenarnya, mereka kan tidak hanya butuh makan untuk hari ini, besik mereka juga butuh makan. Kalau hari ini kita memberi mereka, kemudian habis seketika, untuk kebutuhan esik harinya mereka tidak punya apa- apa Dwi Yuliani ETOSer Malang’08 [email protected]

9

lagi. Tentu akan minta- minta lagi, begitu seterusnya.”, begitulah jawaban Deby. “Ya, benar juga Deb. Istilahnya lebih baik kita memberi mereka kail daripada memberi ikan. Mereka harus bisa mandiri, tidak bisa selamanya bergantung kepada orang lain.”, jelasku. ‘Yaudahlah Re,,, udah nyampai depan kost ni, aku duluan ya...!!! Keasyikan ngobrol ni, gak ada habisnya. Kita sambung lain kali ya. sampai jumpa besok di kampus. Oya, jangan lupa tugas buat besok, harus dikumpulkan. Ochey!!!” “Oyi Deb!!!”, aku meninggalkan Deby di depan kostnya, kemudian melanjutkan perjalanan ke kostku tercinta.

Dwi Yuliani ETOSer Malang’08 [email protected]

9

Related Documents