Penyakit Paru Akibat Gangguan Kerja (skripsi) 12:48 AM Posted by Irga BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pada era globalisasi ini, Indonesia ditantang untuk memasuki perdagangan bebas sehingga jumlah tenaga kerja yang berkiprah disektor industri akan bertambah sejalan dengan pertambahan industri. Dengan pertambahan tersebut, maka konsekuensi permasalahan industri juga semakin kompleks, termasuk masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).1 Pada tiga dasawarsa yang lalu, penyakit paru masih didominasi oleh penyakit infeksi, khususnya tuberkulosis, pneumoni, bronkiektasis, empiema, abses paru dan lain-lain. Namun perkembangan yang sangat pesat disegala sektor saat ini telah mengubah pola penyakit yang ada. Berbagai faktor yang berperan terhadap pola penyakit pernafasan tersebut antara lain: perkembangan sektor industri yang bertanggung jawab terhadap terjadi polusi udara, meningkatnya produksi rokok, urbanisasi, dan krisis ekonomi. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya frekuensi penyakit pernafasan yang tidak ada kaitannya dengan infeksi, antara lain : asma, bronkitis kronis, penyakit akibat pencemaran lingkungan, penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), kanker paru dan lainain. 1,2 Di Indonesia, penyakit atau gangguan paru akibat kerja yang disebabkan oleh debu diperkirakan cukup banyak, meskipun data yang ada masih kurang. Hasil pemeriksaan kapasitas paru yang dilakukan di Balai HIPERKES dan Keselamatan Kerja Sulawesi Selatan pada tahun 1999 terhadap 200 tenaga kerja di 8 perusahaan, diperoleh hasil sebesar 45% responden yang mengalami restrictive (penyempitan paru), 1% responden yang mengalami obstructive (penyumbatan paru-paru), dan 1% responden mangalami combination (gabungan antara restrictive dan obstructive). Debu yang terhirup oleh tenaga kerja dapat menimbulkan kelainan fungsi atau kapasitas paru. Kelainan tersebut terjadi akibat rusaknya jaringan paru-paru yang dapar berpengaruh terhadap produktivitas dan kualitas kerja. Debu campuran menyebabkan penyakit paru pada tenaga kerja yang disebut dengan penyakit paru akibat kerja oleh karena disebabkan oleh pekerjaan atau faktor lingkungan kerja. Penyakit demikian sering disebut juga penyakit buatan manusia, oleh karena timbulnya disebabkan oleh adanya pekerjaan.2 Pada penelitian Darma Setyakusuma dkk pada pengaruh debu besi terhadap kesehatan paru-paru pekerja pabrik besi PT. Krakatau Steel, Cilegon (1985) mendapatkan bronkitis industri sebesar 11,9 % pada kelompok terpajan dan pada kelompok tidak terpajan. Pada penelitian Ria Faridawati,dkk (1955) melaporkan prevalensi bronchitis kronis 14 % (42 orang dari 150 orang) dan 0,33 % (20 orang dari 150 orang) yang diteliti pada pekerja
di PT. Krakatau Steel Cilegon.2 B. BATASAN MASALAH Dengan terbatasnya waktu , tenaga, fasilitas, serta dana, maka kami membatasi cakupan penelitian kami pada gangguan pernapasan pada karyawan unit produksi PT. Semen Tonasa Periode 2002 - 2006 C. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah : 1. Berapa besar gangguan pernapasan dihubungkan dengan masa kerja ? 2. Berapa besar gangguan pernapasan dihubungkan dengan jenis pekerjaan ? 3. Berapa besar gangguan pernapasan dihubungkan dengan usia ? 4. Berapa besar gangguan pernapasan dihubungkan dengan pemakaian alat pelindung diri ? 5. Berapa besar gangguan pernapasan dihubungkan dengan kadar debu diudara tempat kerja ? D. TUJUAN PENELITIAN 1. Tujuan Umum Untuk mendapatkan informasi tentang tentang gangguan pernapasan yang dialami oleh karyawan unit produksi PT. Semen Tonasa 2002-2006 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui gambaran usia karyawan unit produksi yang mengalami gangguan pernapasan periode 2002-2006. b Mengetahui gambaran masa kerja karyawan unit produksi yang mengalami gangguan pernapasan periode 2002-2006. c. Mengetahui gambaran jenis pekerjaan karyawan unit produksi yang mengalami gangguan pernapasan periode 2002-2006. d. Mengetahui gambaran pemakaian alat pelindung diri karyawan unit produksi yang mengalami gangguan pernapasan periode 2002-2006. e. Mengetahui gambaran kadar debu lingkungan kerja pada unit produksi PT. Semen Tonasa periode 2002-2006. E. MANFAAT PENELITIAN 1. Hasil dari penelitian ini diaharapkan menjadi bahan masukan bagi perusahaan itu sendiri untuk mengambil langkah kebijakan dalam menunjang pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja. 2. Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai sumbangan ilmiah yang bermanfaat bagi pembaca atau penelitinya. 3. Bagi peneliti, merupakan pengalaman berharga dalam memperluas wawasan pengetahuan dalam bidang kesehatan dan keselamatan kerja. F. ACUAN PENELITIAN 1. Tinjauan kepustakaan 2. Bimbingan dan arahan dari pembimbing dan staf dosen bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Komunitas FK-UNHAS. 3. Seminar dan diskusi 4. Survey lapangan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG SISTEM PERNAPASAN Sistem pernapasan terdiri atas paru-paru dan sistem saluran yang menghubungkan jaringan paru dengan lingkungan luar paru yang menghubungkan jaringan paru dengan lingkungan luar paru yang berfungsi untuk menyediakan oksigen untuk darah dan membuang karbondioksida. Sistem pernapasan secara umum terbagi atas: 1. Bagian konduksi, yang terdiri atas : Rongga hidung, nasofaring, laring, trakea, Bronkus, dan bronkiolus. Bagian ini berfungsi untuk menyediakan saluran udara untuk mengalir ke dan dari paru-paru untuk membersihkan, membasahi, dan menghangatkan udara yang diinspirasi. 2. Bagian respirasi, yang terdiri dari alveoli, dan struktur yang berhubungan. Pertukaran gas antara udara dan darah terjadi dalam alveoli. Selain struktur diatas terdapat pula struktur yang lain, seperti bulu-bulu pada pintu masuk yang penting untuk menyaring partikel-partikel yang masuk.2,3 Sistem pernapasan memilliki sistem pertahanan tersendiri dalam melawan setiap bahan yang masuk yang dapat merusak. Terdapat tiga kelompok mekanisme pertahanan yaitu: 1. Arsitektur saluran napas : bentuk, struktur, dan kaliber saluran napas yang berbedabeda merupakan saringan mekanik terhadap udara yang dihirup, mulai dari hidung, nasofaring, laring, serta percabangan trakeobronkial. Iritasi mekanik atau kimiawi merangsang reseptor disaluran napas, sehingga terjadi bronkokonstriksi serta bersin atau batuk yang mampu mengurangi penetrasi debu dan gas toksik ke dalam saluran napas. 2. Lapisan cairan serta silia yang melapisi saluran napas, yang mampu menangkap partikel debu dan mengeluarkannya. 3. Mekanisme pertahanan spesifik , yaitu sistem imunitas di paru yang berperan terhadap partikel-partikel biokimiawi yang tertumpuk di saluran napas 4 B. TINJAUAN UMUM TENTANG GANGGUAN PERNAPASAN Perubahan yang cepat dalam masyarakat Indonesia sebagai konsekuensi perkembangan ekonomi, menyababkan perubahan orientasi kesehatan dari infeksi ke golongan penyakit degeneratif. Salah satu penyakit non-infeksi yang tergolong penyakit degeneratif yang merupakan masalah masa kini dan diperkirakan terlebih lagi dimasa depan, adalah penyakit akibat atau yang berhubungan dengan pernapasan. Penyakit paru akibat kerja adalah semua kelainan/penyakit paru yang disebabkan oleh pekerjaan dan atau lingkungan kerja. Penyakit paru dapat berupa peradangan, penimbunan debu, fibrosis, tumor, dan lain sebagainya. Saluran pernapasan merupakan salah satu bagian yang paling mudah terpapar oleh bahan-bahan yang merugikan yang terdapat di lingkungan. Bahanbahan tersebut antara lain bermacam-macam yang menimbulkan pneumokoniosis, bahanbahan organik seperti derivat ter, arang batu, halogen hidrokarbon, keton serta bermacam-macam gas seperti asam sulfida dan karbon monoksida. Resiko saluran pernapasan semakin tinggi karena besarnya volume udara yang mudah terkontaminasi oleh aerosol, gas dan uap ditempat kerja yang bergerak keluar masuk paru-paru. Penyakit paru akibat debu industri mempunyai tanda dan gejala yang mirip dengan penyakit paru lain yang tidak disebabkan oleh debu ditempat kerja, olehnya untuk menegakkan diagnosis perlu dilakukan anamnesis yang teliti meliputi riwayat pekerjaan, dan hal-hal
yang berhubungan pekerjaan oleh karena penyakit biasanya baru timbul setelah pajanan cukup lama.4,5 Berbagai penyakit dapat timbul dalam lingkungan pekerjaan yang mengandung debu industri, terutama pada kadar yang cukup tinggi, antara lain pneumokoniosis, silikosis, asbestosis, hemosiderosis, bisinosis, bronkitis, asma kerja, kanker paru, dll. Penyakit paru kerja terbagi 3 bagian yaitu: 1. Akibat debu organik, misalnya debu kapas (Bissinosis), debu padi-padian (Grain worker’s disease), debu kayu. 2. Akibat debu anorganik (pneumokoniosis) misalnya debu silika (Silikosis), debu asbes (asbestosis), debu timah (Stannosis).4 3. Penyakit paru kerja akibat gas iritan, 3 polutan yang paling banyak mempengaruhi kesehatan paru adalah sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2) dan ozon (O3) Bila penyakit paru akibat kerja telah terjadi, umumnya tidak ada pengobatan yang spesifik dan efektif untuk menyembuhkannya. Gejala biasanya timbul apabila penyakit sudah lanjut. Pada asbestosis dan silikosis, bila diagnosis telah ditegakkan maka penyakit dapat terus berlanjut menjadi fibrosis masif progresif, meskipun pajanan dihilangkan, sedangkan pada bronkitits industri, apabila telah terjadi obstruksi berarti kelainan telah irreversibel. Pada penyakit paru akibat kerja pada umumnya hanya bersifat simtomatis yaitu mengurangi gejala dan keluhan penderita.5 Di negara-negara maju, penyakit paru akibat kerja merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan kecacatan, tetapi di negara-negara berkembang, khususnya di Indonesia sampai saat ini masih sedikit kasus penyakit paru akibat kerja yang dilaporkan. Namun pada masa datang bukan tidak mungkin akan banyak kita temukan penyakit paru akibat kerja seiring dengan semakin meluasnya industrialisasi. 1,5 Olehnya, untuk mencegah hal-hal tersebut, usaha pencegahan merupakan tindakan yang paling penting pada penatalaksanaan penyakit paru akibat debu industri. Berbagai tindakan pencegahan dilakukan untuk mencegah timbulnya penyakit atau mengurangi perkembangan penyakit-penyakit yang telah terjadi. Pada tingkat perusahaan tertentu, tindakan-tindakan tersebut dapat dilakukan dengan cara antara lain : 1. Substitusi, yaitu mengganti bahan yang lebih berbahaya dengan bahan yang kurang berbahaya. 2. Ventilasi umum, yaitu mengalirkan udara ke ruang kerja untuk menurunkan kadar lebih rendah dari nilai batas ambang . 3. Ventilasi keluar setempat, untuk mengalirkan keluar bahan berbahaya dari ruang kerja. 4. Isolasi salah satu proses produksi yang berbahaya. 5. Pemakaian alat pelindung diri. 6. Pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja. 7. Pemeriksaan kesehatan secara berkala 8. Penyuluhan sebelum bekerja, agar pekerja mengetahui dan mematuhi segala peraturan, serta agar mereka lebih hati-hati. 9. Penyuluhan tentang kesehatan dan keselamatan kepada para pekerja secara terusmenerus, agar mereka tetap waspada dalam menjalankan tugasnya. 5 C. TINJAUAN UMUM TENTANG DEBU DAN GANGGUAN PERNAPASAN AKIBAT DEBU Gangguan pernapasan akibat inhalasi debu dipengaruhi beberapa faktor, antara lain faktor
debu itu sendiri, yaitu ukuran partikel, bentuk, daya larut, konsentrasi, sifat kimiawi, lama pajanan, dan factor individu berupa mekanisme pertahanan tubuh. Debu industri yang terdapat dalam udara dibagi dua yaitu “deposit particulate matter” yaitu partikel debu yang hanya sementara berada di udara, partikel ini segera mengendap di udara oleh karena gaya gravitasi bumi, dan “Suspended particulate matter” yaitu debu yang tetap berada di udara dan tidak mengendap. 1. Definisi Debu Debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel yang melayang di udara (Suspended Particulate Matter / SPM) dengan ukuran 1 mikron sampai dengan 500 mikron.6 Dalam Kasus Pencemaran udara baik dalam maupun di ruang gedung (Indoor and Out Door Pollution) debu sering dijadikan salah satu indikator pencemaran yang digunakan untuk menunjukan tingkat bahaya baik terhadap lingkungan maupun terhadap kesehatan dan keselamatan kerja.6 2. Macam-macam Debu Dari macamnya debu dikelompokan ke dalam : a. Debu Organik (debu kapas, debu daun daunan, tembakau dan sebagainya). b. Debu Mineral (merupakan senyawa komplek : SiO2, SiO3, arang batu dll) dan c. Debu Metal (Debu yang mengandung unsur logam: Pb, Hg, Cd, Arsen, dll). Dari segi karakter zatnya debu terdiri atas : a. Debu Fisik (Debu tanah, batu, mineral, fiber) b. Kimia (Mineral organik dan inorganik) c. Biologis ( Virus, bakteri, kista) dan debu radio aktif . Ditempat kerja jenis jenis debu ini dapat ditemui di kegiatan pertanian, pengusaha keramik, batu kapur, batu bata, pengusaha kasur, pasar tradisional, pedagang pinggir jalan dan lain lain. 3. Penyakit Paru Kerja Yang Disebabkan oleh Debu Silikosis Silikosis adalah penyakit yang paling penting dari golongan penyakit paru akibat kerja • Penyebabnya adalah silika bebas (SiO2) yang terdapat dalam debu yang dihirup waktu bernafas dan ditimbun dalam paru paru dengan masa inkubasi 2-4 tahun. Pekerja yang sering terkena penyakit ini umumnya yang bekerja di perusahaan yang menghasilkan batu-batu untuk bangunan seperti granit, keramik, tambang timah putih, tambang besi, tambang batu bara, semen, dan lain lain. • Gejala penyakit ini dapat dibedakan pada tingkat ringan sedang dan berat. Pada tingkat ringan ditandai dengan batuk kering, pengembangan paru-paru. Pada lansia didapat hyper resonansi karena emphysema. Pada tingkat sedang terjadi sesak nafas tidak jarang bronchial, ronchi terdapat basis paru paru. Pada tingkat berat terjadi sesak napas mengakibatkan cacat total, hypertofi jantung kanan, kegagalan jantung kanan. • Penilaian paparan terhadap silika di tempat kerja adalah dengan pengambilan sample debu ukuran selektif dalam zona pernapasan, lebih disukai sample perorangan. Paparan juga dapat dinilai dengan menilai kadar silika dalam debu yang ikut pada pernapasan dengan X-Ray atau inframerah. • Penanganan ketika timbul gejala-gejala silikosis atau tuberkulosis aktif, pasien
hendaknya segera dijauhkan dari paparan lebih lanjut. Tidak ada pengobatan spesifik untuk silikosis. Pengobatan untuk gagal jantung dan pernapasan mungkin diperlukan pada silikosis stadium lanjut. Penggunaan Chest X-Ray sangat esensial untuk menegakkan diagnosis Silikosis. Meskipun terkadang gambaran radiology kurang spesifik, tetapi dapat membantu mengenali karakter penyakit ini. Pada silicosis yang simple, didapati nodul multiple kecil (< 10 mm) yang tersebar secara difus di paru-paru tetapi paling spesifik di lapangan paru atas. Kalsifikasi kelenjar hilus (eggshell calcification) adalah tanda yang sangat jelas untuk silicosis namun hanya sedikit kasus yang menunjukkan gambaran tersebut. Complicated silicosis bermanifestasi sebagai massa bilateral pada kedua lapangan paru atas, yang terbentuk dari kumpulan nodul-nodul. Kavitas dapat terlihat, dan kalsifikasi hilus mungkin tampak. 7 Anthrakosilikosis Anthrakosilikosis ialah pneumokoniosis yang disebabkan oleh silika bebas bersama debu arang atu. Penyakit ini mungkin ditemukan pada tambang batu bara atau karyawan industri yang menggunakan bahan batu bara jenis lain. Gejala penyakit ini berupa sesak nafas, bronchitis chronis batuk dengan dahak hitam (Melanophtys). Penilaian paparan dapat dinilai dengan pengambilan sample debu ukuran selektif dari zona pernapasan, lebih disukai sample perorangan. Juga dapat dilakukan analisis berkala sejumlah sample debu yang dapat masuk saluran pernapasan untuk mengetahui mineral komponennya. Selain itu dapat dilakukan uji radiology. Tidak ada penanganan spesifik pada anthrakosilikosis, namun apabila pada gambaran radiology terdapat tanda Sindrom Caplan, maka pekerja sebaiknya dijauhkan dari paparan. Asbestosis Asbestosis adalah jenis pneumoconiosis yang disebabkan oleh debu asbes dengan masa latennya10-20 tahun. Asbes adalah campuran berbagai silikat yang terpenting adalah campuran magnesium silikat pekerja yang umumnya terkena penyakit ini adalah pengelola asbes, penenunan, pemintalan asbes dan reparasi tekstil yang terbuat dari asbes. Gejala yang timbul berupa sesak nafas,batuk berdahak/riak terdengan rhonchi di basis paru, cyanosis terlihat bibir biru. Gambar radiologi menunjukan adanya titik titik halus yang disebut “ground glass appearance”, batas jantung dengan diafragma tidak jelas seperti ada duri duri landak sekitar jantung (Percupine heart), jika sudah lama terlihat penumpukan kapur pada jaringan ikat. Penilaian paparan dapat dilakukan dengan pengambilan sample udara statis di lokasilokasi yang telah ditetapkan memakai filter membrane, impinger, presipitator,termal, atau konimeter. Akan tetapi yang paling disukai adalah pengambilan sample perorangan. Penanganan kasus spesifik tidak ada, namun apabila ada gejala maka pasien sebaiknya dijauhkan dari paparan lebih lanjut. Adapun efek lanjut berupa kanker paru ditangani seperti kasus yang tidak berkaitan dengan asbestosis.
Asbestosis adalah suatu penyakit saluran pernafasan yang terjadi akibat menghirup seratserat asbes, dimana pada paru-paru terbentuk jaringan parut yang luas. Asbestos terdiri dari serat silikat mineral dengan komposisi kimiawi yang berbeda. Jika terhisap, serat asbes mengendap di dalam dalam paru-paru, menyebabkan parut. Menghirup asbes juga dapat menyebabkan penebalan pleura (selaput yang melapisi paruparu).8 Berryliosis Berryliosis, Penyebabnya adalah debu yang mengandung Berrylium, terdapat pada pekerja pembuat aliasi berrylium tembaga, pada pembuatan tabung radio, pembuatan tabung Fluorescen pengguna sebagai tenaga atom. Byssinosis Byssinosis disebabkan oleh debu kapas atau sejenisnya dikenal dengan : Monday Morning Syndroma”atau”Monday Fightnesí” Sebagai gejala timbul setelah hari kerja sesudah libur, terasa demam, lemah badan, sesak nafas, baruk-batuk, “Vital Capacity” jelas menurun setelah 5-10 tahun bekerja dengan debu. Stannosis Stannosis Penyebab debu bijih timah putih (SnO) Siderosis Siderosis disebabkan oleh debu yang mengandung (Fe202)9,5 4. Pengendalian/pencegahan a. Terhadap sumbernya Pengontrolan debu di ruang kerja terhadap sumbernya antara lain : 1) Isolasi sumber agar tidak mngeluarkan debu di ruang kerja dengan “ Local Exhauster” atau Dengan melengkapi Water Sprayer pada cerobong asap 2) Subtitusi alat yang mengeluarkan debu dengan yang tidak mengeluarkan debu. b. Pencegahan terhadap transmisi 1) Memakai metoda basah yaitu, penyiraman lantai, pengeboran basah, (Wet Drilling) 2) Dengan alat (Scrubber, Electropresipitator, Ventilasi Umum) c. Pencegahan terhap tenaga kerjanya Antara lain menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) dengan menggunakan masker.11 5. Mekanisme penimbunan debu didalam paru-paru Ada tiga mekanisme penimbunana debu didalam paru-paru : a. Pengaruh inersia Pengaruh inersia akan timbul kelembaban dari debu itu sendiri dimana pada saat bergerak dan melalui belokan-belokan, maka akan lebih didorong oleh aliran udara. Pada sepanjang jalan pernapasan yang lurus akan langsung ikut dengan aliran lurus kedalam. Sedangkan partikel-partikel yang besar kurang sempat ikut dalam aliran udara, akan tetapi mencari tempat-tempat yang lebih ideal untuk menempel atau mengendap seperti pada tempat lekuk-lekuk pada selaput lender dalam saluran napas. b. Pengaruh sedimentasi Pengaruh sedimentasi terjadi di saluran-saluran pernapasan dimana kecepatan arus udara kurang dari 1 cm/detik, sehingga partikel-partikel tersebut melalui gaya berat dan mengendap.
c. Gerakan Brown Gerakan Brown berlaku untuk debu-debu berukuran kurang dari 0.1 mikron dimana melalui gerakan udara dan permukaan partikel debu yang masuk ke dalam tubuh khususnya, akan mengganggu alveoli kemudian mengendap. 6. Pengaruh debu terhadap saluran pernapasan Ada empat alternative pengaruh fisik dari partikel debu yang mengendap a. Debu berukuran 5 mikron yang mengendap pada saluran pernapasan bagian atas dapat menimbulkan efek berupa iritasi yang ditandai dengan gejala faringitis. b. Debu berukuran 2-3 mikron yang mengendap lebih dalam pada bronkus/bronkiolus dapat menimbulkan efek berupa bronchitis, alergi, atau asma. c. Debu yang berukuran 1-3 mikron yang mengendap di alveoli, dimana gerakannya sejalan dengan kecepatan konstan. d. Debu yang berukuran 0.1-1 mikron karena terlalu ringan tidak dapat menempel pada saluran napas tetapi mengikuti gerak brown dan berada dalam bentuk suspensi (Fume atau Smoke) Menurut WHO 1996 ukuran debu partikel yang membahayakan adalah berukuran 0,1 – 5 atau 10 mikron. Depkes mengisaratkan bahwa ukuran debu yang membahayakan berkisar 0,1 sampai 10 mikron. D. Tinjauan Umum Tentang Semen Semen adalah agen atau bahan perekat yang digunakan dalam konstruksi bangunan dan bidang teknik sipil. Semen diperoleh dari pancampuran tanah liat dan batu kapur yang kemudian dihaluskan dan diproses dengan suhu yang tinggi. Apabila semen dicampurkan dengan air, maka semen akan melunak dan perlahan-lahan mengeras hingga menyerupai konsistensi batu. Semen dapat dicampurkan dengan pasir dan kerikil untuk membuat beton. Ada dua tipe semen, yaitu semen natural dan semen artificial. Semen natural terdiri atas material-material alam yang strukturnya menyerupai semen dan hanya membutuhkan proses penghalusan untuk dapat dibentuk menjadi bubuk semen . Semen artificial dan semen natural masing-masing mempunyai komposisi dan struktur mekanik yang berbeda , serta digunakan untuk hal-hal yang masing-masing berbeda. Semen artificial dapat diklasifikasikan menjadi semen Portland dan semen aluminium. a. Bahan baku utama yang dipergunakan untuk memproduksi semen adalah: Batu Kapur Tanah Liat Pasir Silika Gipsum b. Komposisi kimia semen Komposisi kimia yang normal pada semen portal, yaitu: 1). Kalsium Oksida ( CaO ): 60-70% 2). Silikon dioksida ( termasuk ± 5% SiO2 bebas ) : 19-24% 3). Aluminium trioksida (Al3O3) : 4-7% 4). Ferric Oksida (Fe2 O3) : 2-6% 5). Magnesium Oksida (MgO) : <5% Komposisi kimia semen aluminium, yaitu:
1). Aluminium oksida (AlO3) : 50 % 2). Kalsium Oksida ( CaO ) : 40 % 3). Ferric Oksida (Fe2 O3) : 6 % 4). Silikon dioksida : 4 % c. Resiko paparan semen terhadap karyawan atau pekerja Dalam proses pencampuran tanah liat, batu kapur, dan gypsum, akan menyebabkan pekerja berada dalam iklim yang beresiko. Selama proses diatas berlangsung, debu merupakan faktor resiko yang paling besar. Range level debu dari 26-114 mg/m3 didapati di area produksi semen. Pada masingmasing proses didapati level debu sebagai berikut: 1). Pengambilan tanah liat : 41.4 mg/m3 2). Penghancuran bahan mentah : 79.8 mg/m3 3). Penyaringan : 384 mg/m3 4). Penghalusan : 140 mg/m3 5). Pengepakan : 256.6 mg/m3 Kadar silika bebas dapat bervariasi sesuai dengan bahan mentah . Faktor resiko lainnya adalah temperatur tinggi pada saat pembakaran bahan baku menjadi semen. 11 Kondisi patologis yang diakibatkan oleh semen dapat terjadi di beberapa system, seperti : 1). Sistem respirasi : Silikosis, pneumokoniosis 2). System digestif : Ulkus gastroduodenal, 3). Kulit : Infeksi kutaneus ( furunkel, abses ), lesi eksematous difus 4). System saraf dan persendian : Artritis, rematik, spondilitis 5). Gangguan mata dan telinga ; Tuli saraf sedang, konjungtivitis E. TINJAUAN UMUM TENTANG ALAT PELINDUNG DIRI (APD) Usaha pencegahan merupakan tindakan yang paling penting pada penetalaksanaan penyakit yang ditimbulkan oleh debu industri. Berbagai tindakan dilakukan untuk mencegah timbulnya atau mengurangi laju perkembangan penyakit yang telah terjadi. Kadar debu pada tempat kerja harus diturunkan serendah mungkin dengan berbagai cara. Bila kadar debu tetap tinggi, pekerja diharuskan memakai alat pelindung diri berupa masker atau respirator. 9 Pemakaian alat pelindung diri dengan baik dan tepat sesuai fungsinya pada tenaga kerja dalam melakukan pekerjaan sangat penting, dalam usaha pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja dan perlindungan tenaga kerja. Pemakaian alat pelindung diri selama bekerja harus diperhatikan sebaik-baiknya dan sarana/alat-alat pelindung tersebut mutlak disediakan. Alat-alat pelindung harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1) Memiliki daya pencegah kuat terhadap bahaya yang ada. 2) Konstruksi dan kemampuan harus memenuhi standar yang berlaku. 3) Ringan, efisien, dan nyaman dipakai. 4) Tidak mengganggu gerakan yang diperlukan. 5) Tahan lama, pemeliharaan mudah, dan bagian-bagian mudah diganti atau diperoleh.12 BAB III KERANGKA KONSEP A. DASAR PEMIKIRAN VARIABEL YANG DITELITI
Beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia, gangguan saluran napas akibat debu industri, didapatkan proporsi yang cukup tinggi. Berbagai faktor dapat mempengaruhi kejadian penyakit dan gangguan kesehatan terutama saluran pernapasan. Faktor-faktor tersebut adalah : 1. Masa Kerja Masa kerja menunjukkan suatu masa berlangsungnya kegiatan seseorang dalam waktu tertentu. Seseorang yang bekerja di lingkungan industri yang menghasilkan debu akan memiliki resiko gangguan kesehatan. Makin lama seseorang bekerja pada tempat yang mengandung debu akan makin tinggi resiko terkena gangguan kesehatan, terutama gangguan saluran pernapasan. Debu yang terhirup dalam konsentrasi dan jangka waktu yang cukup lama akan membahayakan. Akibat penghirupan debu, yang langsung akan kita rasakan adalah sesak, bersin, dan batuk karena adanya gangguan pada saluran pernapasan. Paparan debu untuk beberapa tahun pada kadar yang rendah tetapi diatas batas limit paparan, menunjukkan efek toksik yang jelas. 2. Jenis Pekerjaan Jenis pekerjaan yang berbeda menunjukkan lokasi atau tempat kerja yang berbeda dimana perbedaan ini akan mengacu pada perbedaan kadar debu masing – masing tempat. Semakin tinggi kadar debu di udara tempat kerja maka akan semakin tinggi resiko gangguan pernapasan. . 3. Usia Faktor umur berperan penting dengan kejadian penyakit dan gangguan kesehatan. Hal ini merupakan konsekuensi adanya hubungan faktor umur dengan: a. Potensi kemungkinan untuk terpapar terhadap suatu sumber unfeksi b. Tingkat imunitas kekebalan tubuh c. Aktivitas fisiologis berbagai jaringan yang mempengaruhi perjalanan penyakit seseorang. Bermacam-macam perubahan biologis berlangsung seiring dengan bertambahnya usia dan ini akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam bekerja. 4. Kadar debu Debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel yang melayang di udara (Suspended Particulate Matter / SPM) dengan ukuran 1 mikron sampai dengan 500 mikron. Paparan terhadap kadar rendah dalam jangka waktu lama menyebabkan penyakit yang kurang berat dibandingkan dengan paparan dengan kadar tinggi dalm waktu singkat. 5. Alat Pelindung Diri Alat pelindung diri adalah perlengkapan yang dipakai untuk melindungi pekerja terhadap bahaya yang dapat mengganggu kesehatan yang ada di lingkungan kerja. Alat yang dipakai disini untuk melindungi system pernapasan dari partikel-partikel berbahaya yang ada di udara yang dapat membahayakan kesehatan. Perlindungan terhadap system pernapasan sangat diperlukan terutama bila tercemar partikel-partikel berbahaya, baik yang berbentuk gas, aerosol, cairan, ataupun kimiawi. Alat yang dipakai adalah masker, baik yang terbuat dari kain, kertas wol, atau fiberglass. 6. Riwayat Merokok Asap rokok yang terhisap dalam saluran napas akan mengganggu lapisan mukosa saluran napas. Dengan demikian akan menyababkan munculnya gangguan dalam saluran napas.
7. Riwayat penyakit Penyakit yang diderita seseorang akan mempengaruhi kondisi kesehatan dalam lingkungan kerja. Apabila seseorang pernah, atau sementara menderita penyakit system pernapasan, maka akan meningkatkan resiko timbulnya penyakit system pernapasan jika terpapar debu. B. VARIABEL, DEFINISI OPERASIONAL DAN KRITERIA OBJEKTIF 1. Variabel penelitian a. Variabel independen Yang diteliti adalah usia, masa kerja, jenis pekerjaan, penggunaan alat pelindung diri dan kadar debu dalam udara tempat kerja b. Variable dependen Yaitu gangguan pernapasan pada pekerja unit produksi PT. Semen Tonasa 2. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif a. Masa kerja adalah waktu mulainya karyawan bekerja sampai saat penelitian dihitung dalam tahun. Pembulatan lama kerja kedalam tahun dilakukan dengan cara : < 6 bulan, dibulatkan kebawah > 6 bulan dibulatkan keatas Kriteria objektif berdasarkan pengelompokan sebagai berikut : 1) < 5 tahun 2) 5-9 tahun 3) 10-14 tahun 4) 15-19 tahun 5) ≥20 tahun b. Jenis pekerjaan adalah unit bekerja karyawan pada saat mengalami gangguan per napasan Kriteria objektif berdasarkan pengelompokan sebagai berikut : 1) Produksi Bahan Baku 2) Produksi Terak 3) Produksi Semen d. Usia adalah lamanya orang hidup sejak lahir sampai pada saat penelitian, dinyatakan dalam tahun Kriteria objektif berdasarkan pengelompokan sebagai berikut 1) < 20 tahun 2) 20-29 tahun 3) 30-39 tahun 4) 40-49 tahun 5) ≥50 tahun e. Kadar debu adalah kadar yang diukur dengan menggunakan alat dalam hal ini Hivol sample/gravimetri. Dengan Nilai Ambang Batas 10mg/Nm3 Kriteria objektif berdasarkan pengelompokan sebagai berikut: 1) Produksi bahan baku 2) Produksi Terak 3) Produksi Semen f. Pemakaian Alat pelindung Diri (APD) adalah pemakaian alat pelindung (masker) selam karyawan bekerja.
Kriteria objektif berdasarkan pengelompokan sebagai berikut: 1) Selalu 2) Tidak selalu 3) Tidak pernah BAB IV METODE PENELITIAN A. JENIS PENELITIAN Penelitian ini menggunakan penelitian observasional yang bersifat deskriptif B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dari tanggal 29 Oktober – 4 November 2007. Lokasi penelitian yang dipilih adalah unit produksi PT.Semen Tonasa C. POPULASI DAN SAMPEL 1. Populasi Seluruh karyawan unit produksi yang mengalami gangguan pernapasan pada saat dillakukan pemeriksaan berkala periode 2002-2006 2. Sampel Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara Total sampling, berdasarkan dari data primer dan data sekunder. D. TEKNIK PENGUMPULAN DATA 1. Data primer diperoleh dengan cara melakukan wawancara langsung terhadap responden dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disusun sebelumnya dalam bentuk kuesioner. 2. Data Sekunder yaitu data hasil pemeriksaan kesehatan pada karyawan unit produksi periode 2006-2007 yang diperoleh dari unit HIPERKES PT. Semen Tonasa. E. PENGOLAHAN DAN PENYAJIAN DATA Data hasil penelitian ini diolah melalui sistem komputerisasi dengan menggunakan data program SPSS dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik disertai penjelasan. BAB V GAMBARAN UMUM PT SEMEN TONASA A. RIWAYAT SINGKAT PERSEROAN 13 Awal mula didirikannya Pabrik Semen Tonasa adalah berdasarkan TAP MPRS RI No. II / MPRS/ 1960 tanggal 5 Desember 1960 , sebagai proyek yang berdiri di bawah naungan Departemen Perindustrian dan Perdagangan di bangun atas kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Cekoslavia yang berjalan dari tahun 1960 hingga 1968. Pabrik tersebut terletak di Desa Tonasa Kecamatan Balocci Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, di atas tanah seluas 55.185 m2, berjarak sejauh 54 km dari
Kota Madya Makassar, dengan menggunakan proses basah dan menghasilkan semen dengan kapasitas110.000 ton per tahun. Pabrik ini kemudian dikenal dengan sutan pabrik semen tonasa I. Pabrik Semen Tonasa I mulanya merupakan Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk Perusahaan Umum (Perum) berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 tahun 1971 tanggal 18 Desember 1971. Tetapi tahun 1975 status perusahaan tersebut diubah menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) berdasarkan peraturan pemerintah nomor tahun 1975. Dalam perkembangan selanjutnya, untuk memenuhi kebutuhan semen yang semakin meningkat, maka atas kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Kanada, dan berdasarkan persetujuan BAPPENAS No. 023 / XS-LC / B.V/ 76 dan No. 2854/ D.I/ IX / 76 tertanggal 2 September 1976, Perseroan membangun Pabrik Semen Tonasa II pada tahun 1976 dengan kapasitas terpasang sebanyak 510.000 ton semen tiap tahun. Selanjutnya pada tahun 1982, dilakukan peluasan usaha dengan membangun Pabrik Semen Tonasa III dengan kapasitas produksi 590.000 ton setiap tahun. Pabrik Semen Tonasa III didirikan atas kerjasama antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Jerman Barat berdasarkan persetujuan BAPPENAS No. 32 / XC-LC / B.V / 1981 tanggal 30 Oktober 1981, dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 5 April 1985. Kedua pabrik semen tersebut (Tonasa II dan III) mengukan proses kering dan terletak berdampingan di atas tanah seluas 948,9 hektar dan luas bengunan sebanyak 57.236 m2 di Desa Biring Ere, Kecamatan Bungoro Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, sekitar 23 km dari lokasi Pabrik Semen Tonasa I. Pabrik Semen Tonasa I sejak November 1984 dihentikan operasinya karena proses basah yang menggunakan bahan bakar yang cukup tinggi sehingga tidak efisien lagi. Untuk mengantisipasi peningkatan kebutuhan semen di wilayah pemasaran Semen Tonasa, Kawasan Timur Indonesia maka dibangun pabrik Semen Tonasa IV yang berkapasitas 2.300.000 ton semen per tahun, mulai dioperasikan pada tanggal 1 November 1996 dan letak pabrik ini satu lokasi dengan pabrik Semen Tonasa II dan III. B. STRUKTUR ORGANISASI13 PT. Semen Tonasa dalam menjalankan kegiatannya, sejumlah karyawan yang tersebar dalam beberapa bagian dalam perusahaan dengan tugas dan tanggung jawab yang berbeda, kesemuanya dimaksudkan untuk memperlancar kegiatan yang dilaksanakan oleh perusahaan. Untuk mengkoordinir para karyawan dan demi lancarnya pengawasan pekerjaan maka perlu untuk membentuk struktur organisasi perusahaan dengan tujuan melibatkan seluruh karyawan serta segenap tenaga kerja yang ada dalam perusahaan untuk menunjang suksesnya perusahaan karena tanpa adanya suatu struktur organisasi, maka dapat mengakibatkan kesimpangsiuran dalam menjalankan tugas-tugas karyawan/ bawahan. Untuk menghindari hal ini, maka pimpnan perusahaan menjalankan adanya kerjasama dari orang-orang tersebut, serta mempunyai satu tujuan yaitu merealisasikan tujuan oerganisasi. Yang dimaksud dengan tujuan organisasi adalah kerangka yang menunjukkan pembagian tugas dan wewenang, tanggung jawab dan hubungan antara fungsi-fungsi dalam organisasi. Sehingga dengan melihat struktur organisasi, dapat diketahui hubungan antara pimpinan dan bawahan atau sebaliknya. Demikian juga garis wewenang dari hubungan tersebut. Secara umum dapat kita lihat pada lampiran tentang susunan struktur organisasi PT.
Semen Tonasa. C. KEADAAN PERSONALIA13 Tenaga kerja di PT (Persero) Semen Tonasa terdiri dari tenaga kerja wanita dan pria. Di mana tenaga kerja pada PT. Semen Tonasa terdiri dari tenaga kerjapada unit non produksi (staf di kantor). Adapun pembagian tenaga kerja pada PT. Semen Tonasa ini terbagi atas tiga macam, yaitu: karyawan organik (tetap), pekerjaan kontrak (ikatan kerja) dan percobaan/ non organik. Disiplin kerja yang digunakan pada PT. Semen Tonasa dengan menetapkan jam kerja karyawan yang dibagi atas tiga shift sebagai berikut: Shift I: 07.30 – 15.30, Shift II: jam 15.30 – 23.30, dan Shift III: jam 23.30 – 07.30. Jam istirahat masing-masing shift adalah 1 jam. Pembagian shift ini adalah untuk jam kerja pada unit produksi yaitu yang bekerja di dalam pabrik. Sedangkan karyawan yang bekerja pada unit non produksi (staf yang bekerja di luar pabrik) tidak menggunakan pembagian shift, tetapi menggunakan jam kerja dari jam 07.30 – 15.30 setiap hari, dengan jam istirahat 1 jam.7 D. PRODUKSI13 1. Bahan Baku Bahan baku utama yang dipergunakan untuk memproduksi semen adalah: a. Batu Kapur Batu kapur diperoleh dari lokasi yang telah dikuasai perusahaan, terletak di areal pabrik. Batu kapur merupakan komponen bahan baku utama industri semen (80% dari seluruh kebutuhan bahan baku). Jumlah cadangan batu kapur di sekitar lokasi pabrik, yang dikuasai perusahaan saat ini diperkirakan dapat digunakan oleh pabrik Semen Tonasa II, III, IV untuk jangka waktu ratusan tahun. b. Tanah Liat Tanah liat seperti halnya batu kapur juga diperoleh dari lokasi sekitar pabrik yang telah dikuasai oleh perusahaan. Tanah liat merupakan komponen utama baku kedua setelah batu kapur (17% dari seluruh kebutuhan bahan baku). Untuk jumlah pemakaian tersebut, cadangan yang telah dikuasai perusahaan maupun yang berada di sekitar lokasi pabrik, mampu memenuhi kebutuhan Pabrik Semen Tonasa II, III, dan IV untuk jangka waktu ratusan tahun. c. Pasir Silika Pasir silika sebagai bahan baku pembantu yang digunakan untuk mengoreksi komposisi kimia tanah liat yang tersedia di lahan dekat pabrik Semen Tonasa I. Jumlah pemakaian pasir silika sebesar 3% dari kebutuhan totalbahan baku. Cadangan pasir silika yang telah dikuasai oleh perusahaan saat ini di lokasi yang tidak jauh dari pabrik dapat memenuhi kebutuhan pasir silika dalam jangka waktu puluahn tahun. Di samping itu beberapa daerah yang dekat dengan lokasi pabrik seperti Kabupaten Maros, Bone, Pinrang tersedia cukup banyak. d. Gipsum Gipsum yang digunakan pada waktu penggilingan semen seluruhnya merupakan produksi dalam negeri yang dapat dibeli dari PT. Petro Kimia Gresik. 2. Proses pembuatan semen Quarry
Batu kapur di quarry diledakkan dengan bahan peledak. Dengan alat berat batu kapur dipilih yang berdiameter maksimum 170 cm, kemudian diangkut dengan Dup Truck ke alat pemecah. Crusher Batu kapur hasil quarry dioecah oleh Hummer Crusher sehingga kecil-kecil dengan diameter maksimum 3 cm. Clay Pit (Tanah Liat) Tanah liat diambil dengan alat berat dan diangkut ke tempat penampungan tanah liat. Pasir Dryer Clay yang berada di tempat penampungan (Storage Hall) dikeringkan dalam clay dryer agar mendapatkan kadar air maksimum 3% kemudian dikumpulkan dalam silo. Pasir Silika Pasir silika yang diambil dari tempat penampungan pasir silika dikirim ke raw mill bersama-sama dengan kapur dan tanah liat. Raw Mill Batu kapur, tanah liat dan pasir silika bersama-sama digiling dalam raw mill sampai menjadi tepung atau raw meal dan dimasukkan ke dalam silo. Proses penggilingan tersebut selalu mendapatkan pengawasan dari laboratorium sehingga raw meal yang dihasilkan langsung siap dibakar. Kiln Raw meal dari silo diangkat ke kiln untuk dibakar dengan temperatur 1250o C s/d 1500o C sehingga menghasilkan klinker (terak). Finish Mill Klinker (terak) bersama-sama gipsum 4% digiling dalam finish mill dan menghasilkan semen. Packing/ Pengantongan Semen Sebelum dipasarkan, semen dikemas dalam sak di unit pengantongan semen. Semen dipasarkan juga dalam bentuk curah. E. Pelayanan Kesehatan Dan Keselamatan Kerja13 Dalam pelayan kesehatan dan keselamatan kerja, perusahaan telah berbuat banyak untuk meningkatkan derajat ksehatan bagi karyawannya, antara lain: 1. penyuluhan, baik yang dilakukan oleh biro pelyanan keshatan maupun biro kesehatan dan keselamatan kerja, mengenai kesehatan dan keselamatan kerja, seperti cara pemakaian alat pelindung diri (masker, hearing protector, dll). Juga pemasangan pamflet dan spanduk-spanduk yang bertemakan kesehatan dan keselamatan kerja. 2. penyediaan alat-alat pelindung diri bagi seluruh karyawan, terutama yang bekerja pada lokasi atau tempat yang beresiko tinggi. 3. pengawasan secara ketat yang dilakukan oleh biro kesehatan dan keselamatan kerja (K3) terhadap lingkungan pekerja. 4. tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan di lingkungan perusahaan berupa 1 (satu) buah rumah sakit dengan 3 orang dokter serta sejumlah tenaga paramedis. Di rumah sakit tersedia obat-obatan dan sejumlah alat-alat kesehatan. 5. dilakukan pemeriksaan kesehatan pada karyawan di awal masuk bekerja di perusahaan dan pemeriksaan berkala setahun sekali disertai dengan pemeriksaan penunjang seperti tes labolatorium, foto thorax, audiometri.
DAFTAR PUSTAKA 1. Anies, Penyakit Akibat Kerja, Jakarta: PT.Elex Media Komputindo, 2005 2. Antaruddin, Pengaruh Debu Pada Pada Faal Paru Pekerja Kilang Padi Yang Merokok Dan Tidak Merokok, Sumatera Utara: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 3. Junqueira, LC & Carneiro, J. Sistem Respirasi, Histologi Dasar, ECG, Jakarta, Hal 358. 1995 4. Margono.B , Penyakit Paru Kerja, Majalah Ilmu Penyakit Dalam , Majalah Ilmu Penyakit Dalam Vol.23, No.2, Jakarta, hal 7-19. 1997 5. Anonim 2, Penyakit Paru Akibat Kerja, Editorial Jurnal Respirologi Indonesia, Vol.18 No.14, Jakarta. 1998 6. Puji Astuti, Wiwiek, Debu Sebagai Bahan Pencemar Yang Membahayakan Kesehatan Kerja, Pusat Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan RI, 2002. 7. Amorosa .K.Judith, Asbestosis, www.emedicine.com, 11 Agustus 2004 8. Taragin Benjamin, Coal workers pneumoconiosis., www.medlineplus.com, 5 Februari 2006 9. Ikhsan.M, Penyakit Paru Akibat Kerja, Jurnal Respirologi Indonesia, Vol.18 No.4, Jakarta, Hal 134-136. 1998 10. Suma’mur, Higiene dan Kesehatan Kerja, Jakarta: Gunung Agung 11. Parmeggiani.L, Cement, Encyclopedia Of Occupational Health snd Safety Vol.1, Third Edition, 436-439, Geneva. 12. Agustini & Pangerang AM, Studi Pelaksanaan Dan Keselamatan Kerja Pada Tenaga Kerja Unit Produksi PT. Semen Bosowa Maros ( Tinjauan terhadap UU RI No.1 1970 ), Skripsi, Bagian IKM-IKP, Fakultas Kedokteran UNHAS, Makassar. 2001 13. Profil PT. SEMEN TONASA tahun 2006 14.Priyatna BL, Kesehatan Kerja dan Penyakit Paru Akibat Kerja, dalam: Modul Kursus Tertulis Bagi Dokter Hiperkes, Proyek Hiperkes Pusat Pelayanan Ergonomi, Kesehatan dan Keselamatan Kerja Departemen Tenaga Kerja RI. Jakarta, 1998 15.Ghasemkhani M; Kumashiro M; Reza M; Anvarii A; Mazloumi; Sadeghipour A, Prevalence of Respiratory Symptoms Among Workers in Industries of South Tehran, Iran. Industrial Health 2006, 44, 218–224. 28 Oktober 2005. 16. Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup, PT. Semen Tonasa, Tahun 20022006 17. Wawancara Langsung dengan kepala unit Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) 18. Noroatmodjo S. Kesehatan Kerja, dalam : Prinsip-prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta, Jakarta 2003. 19. Mwaiselage J, Moen B, BrÃ¥tveit M. Acute respiratory health effects among cement factory workers in Tanzania: an evaluation of a simple health surveillance tool. Vol.79 No.1 2006. Hal 49-56. Springer Berlin
Hubungan Industri dengan Penyakit Kulit Dr. Moh. lbeni lllias Kepala Bagian ilmu Penyakit Kulit Kelamin Surabaya Pendahuluan Penyakit kulit jabatan atau occupational dermatoses sebetulnya sudah ada sejak adanya majikan dan buruh. PARACELSUS adalah orang pertama yang pada sekitar tahun 1500, dalam bukunya Morbis Metallicus menulis tentang penyakitpenyakit jabatan atau occupational diseases dimana juga telah disinggung sedikit mengenai kelainan pada kulit akibat beberapa garam. (SCHWARST et al 1957). Pada sekitar tahun 1700 BE R N A R D O RA M A Z Z IN I menuangkan pengamatan-pengamatannya mengenai penyakit kulit jabatan yang teliti dalam bukunya de Morbis Artificium Diatriba, yang hingga saat ini masih tetap berlaku, seperti mengenai eczema pada tangan penjual roti akibat iritasi oleh adonan tepung, ulcus varicosum pada orang yang berhubung dengan jabatannya harus berdiri terus menerus sepanjang hari, gatal-gatal pada penggiling dan pengayak gandum yang kini diketahui disebabkan oleh sebangsa parasit dan sebagainya. PERCIV AL POTT mengemukakan adanya hubungan antara pembersih cerobong asap dengan carcinoma scrotales yang menurut dia disebabkan oleh jelaga yang jatuh pada waktu disapu. Masih banyak lagi yang ditulis mengenai penyakit-penyakit kulit yang disebabkan oleh pekerjaan, akan tetapi perhatian terhadap penyakit-penyakit ini mulai menjadi besar pada permulaan abad ini dengan berkembangnya perindustrian di negara-negara Inggeris, Perancis, Jerman dan Amerika Serikat. Lahirlah istilah Penyakit Kulit Industri atau Industrial Dermatoses yang kini merupakan suatu keahlian tersendiri dibidang dermatologi. Pembahasan Banyak dermatolog terkenal mencurahkan perhatiannya kepada penyakit kulit akibat industri dan sebagai hasil jerih payah mereka antara lain tergugahnya perhatian dari pada pemerintah masing-masing negara untuk membuat undang-un-.
dang yang melindungi buruh industri terhadap kemungkinankemungkinan ini. Kompensasi atau ganti rugi yang tadinya hanya diperuntukkan industrial accidents dan kemudian untuk industrial diseases akhirnya juga diberikan untuk industrial dermatoses. Dewasa ini para karyawan pabrik di negara-negara industri yang sudah maju akan mendapatkan kompensasi dari perusahaan dimana ia bekerja atau dari asuransi bila mana. ia tidak dapat bekerja lagi sebagai akibat dari pada penyakit kulit jabatan. Disamping itu dibuat peraturan-peraturan yang mengharuskan semua pabrik menyediakan segala fasilitas yang diperlukan untuk melindungi semua karyawannya dari kemungkinan bahaya akibat jabatannya. Agar peraturan-peraturan tersebut juga dilaksanakan sebagaimana mestinya maka pemerintah melakukan pengawasan yang ketat. Hasil dari pada semua ini adalah usaha untuk mencegah timbulnya industrial dermatosesdengan jalan menghindarkan iritasi kulit, baik yang berupa mekanik maupun yang kimia. Dibuatlah mesin-mesin dengan automatic and closed system yaitu sistem mesin yang bekerja secara otomatis dan tertutup sama sekali. Bahan baku dihisap dari truk kedalam gudang dan melalui pipa-pipa dan katup-katup, disalurkan. ke mesin-mesin sampai menjadi barang jadi, dibungkus dan dipak hingga siap untuk dikirim dengan kapal. Bila kulit tidak mungkin dilindungi dengan protective . clothing seperti sarung tangan, masker, kaus kaki, boots, rok dan sebagainya, maka dapat dipakai protective ointmens or barriers yang digosokkan merata pada kulit sebelum mulai bekerja. Air jernih dalam jumlah yang cukup dan mengalir lancar serta sabun harus tersedia agar selesai kerja mereka dapat mandi atau mencuci tubuhnya sampai bersih. Supaya maksud baik ini dapat mencapai tujuannya, maka waktu untuk mandi dan cuci sebaiknya tidak diberikan setelah jam kerja akan tetapi diambil 15 -- 30 menit terakhir sebelum jam kerja usai. Tindakan-tindakan prevensi tersebut sebetulnya tidak hanya menguntungkan para karyawan saja akan tctapi juga pengusahanya. Menurut PORTER (1960) produksi maksimal sering tidak bisa tercapai oleh karena hilangnya waktu kerja akibat kecelakaan, pemogokan dan penyakit-penyakit industri.
Dan salah satu faktor utama dari pada hilangnya jam kerja ini adalah akibat industrial dermatoses, Belum ada data yang pasti mengenai ini untuk Indonesia, akan tetapi dari survey yang dilakukan oleh BENNY dan W IJ AYA (1972) pada pengilangan minyak di Plaju dan Sungaigerong diperoleh hasil sebagai berikut : dari 160 karyawan yang diperiksa 22.5% menderita occupational dermatoses suatu persentase yang cukup tinggi. BUDIMULYA et al (1972) pada surveynya dibeberapa pabrik tekstil di Jakarta menemukan beberapa macam penyakit kulit jabatan meskipun tidak disebutkan jumlahnya secara pasti. Di Indonesia walaupun industri sudah ada sejak jaman penjajahan kemajuan yang pesat baru diperoleh dalam periode 10 tahun terakhir selama Repelita pertama dan kedua. Sayang sekali perkembangan industri yang pesat tidak diikuti dengan Cermin Dunia Kedokteran No. 11, 1978. 11 Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
kemajuan-kemajuan di bidang ilmu kedokteran industri yang memadai. Juga Undang-undang Kecelakaan Kerja masih berasal dari tahun 1947 yang kiranya kini sudah kurang sesuai lagi. Pada Bab I, pasal 1, ayat 2 dari Undang-undang Kecelakaan Tahun 1947 no. 33 hanya disebut : Di Perusahaan yang diwajibkan memberi tunjangan, majikan berwajib membayar ganti kerugian kepada buruh yang mendapat Penyakit yang timbul karena hubungan kerja dipandang sebagai kecelakaan (Biro etc. 1970). Occupational atau industrial dermatoses tidak secara explicit disebutkan disini, akan tetapi dapat dimasukkan dalam peraturan ini. Pengeterapannya di dalam praktek tergantung dari pada usahawan, dokter perusahaan dan pemerintah dalam hal ini Lembaga Nasional Hygiene Perusahaan dan Keselamatan Kerja. Dokter perusahaan dalam hal ini sangat penting peranannya dan harus betul-betul menyadari bahwa pendapatnya sering menentukan hari depan dari si penderita. Apabila seorang pekerja mendapat kelainan penyakit kulit yang disebabkan oleh karena pekerjaannya dan pabrik itu menyediakan dokter perusahaan, maka tindakan selanjutnya dan pengobatannya adalah sangat bergantung dari pada dokter ini, maka setiap dokter perusahaan hendaknya selalu memikirkan apakah kasus yang dihadapi itu tidak ada hubungannya dengan pekerjaan sipenderita. Qleh karena ini penting artinya seperti yang telah diutarakan diatas bagi penderita/pekerja, yaitu yang mengenai : (1) Pengobatannya secara spesialistis (2) Penggantian ongkos-ongkos pengobatan (3) Yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup pekerja ini ialah kemungkinan-kemungkinan penempatannya dilain bagian dalam pabrik atau perusahaan dimana dia bekerja, bila tindakan-tindakan preventif tidak memungkinkan lagi. Dengan demikian orang ini tidak akan terlantar hidupnya dikemudian hari. Sikap yang demikian oleh dokter-dokter perusahaan akan sangat membantu secara langsung kepentingan pekerja dan tentu saja kelangsungan produksi pula dan dalam jangka waktu panjang menguntungkan juga majikan oleh karena organisasi yang rapi dan tidak kehilangan pekerja-pekerja ahlinya. Hal yang sebaliknya akan terjadi pada perusahaan-perusahaan dimana tidak ada penelitian yang mendalam mengenai sebab musebab dari kejadian-kejadian tersebut, dan tindakan yang gegabah mengeluarkan atau memindahkan pekerja-pekerjanya da-
lam bagian dimana bukan menjadi keahlian nya. Dengan ini maka jelaslah, bahwa tugas sebetulnya belum berakhir setelah penderita itu perawatannya dioperkan pada seorang ahli penyakit kulit. Sebab sekarang masih harus dipertimbangkan apakah perlu penderita ini dipindahkan dilain bagian dipabrik tersebut. Sebab anjuran ini tidak selalu benar, menurut HELLIER (1960) hanya 20% dari semua penderita dengan penyakit kulit jabatan perlu dipindahkan, yaitu mereka yang betul-betul peka terhadap sesuatu bahan dimana kontak langsung dengan bahan tersebut waktu bekerja tidak dapat dihindari. Sisanya atau 80% mendapat penyakit kulit jabatannya akibat kerusakan yang terjadi pada kulit karena iritasi primer, seperti oleh karena gesekan-gesekan mekanis, detergens, alkali atau asam dan sebagainya. Jadi dalam keadaan terakhir ini karyawan tidak perlu pindah. Sudah cukup apabila kulit mereka dapat dilindungi dari iritasi primer dengan mempergunakan protective clothings ataupun protective barriers. MARWALI HARAHAP (1968) dalam penyelidikannya pada 2387 buruh tembakau Deli menjumpai 146 kasus penyakit kulit jabatan (5,1%). Sebagian besar yaitu 121 kasus atau lebih dari 80% disebabkan bahan toksik dan sisanya disebabkan bahan alergenik. Di negara industri yang sudah maju sering timbul sengketa mengenai ganti rugi bagi penyakit kulit jabatan dan umumnya diselesaikan didepan meja hijau. Memang tidaklah mudah untuk menentukan apakah sesuatu dermatitis mempunyai hubungan dengan pekerjaan atau tidak. Menurut POR TER dan PORTER (1960) kesukaran ini disebabkan oleh empat faktor: 1. Sukar untuk dapat menentukan kelalaian berada dipihak mana bila sampai terjadi penyakit kulit jabatan. Usahawan acap kali mendatangkan bahan baku, peralatan dan mesin baru untuk terus meningkatkan produksinya dengan mengabaikan segala persyaratan yang ada untuk keselamatan kerja. Memang mula-mula semua berjalan lancar sebab penyakit kulit jabatan baru timbul setelah sekian waktu perusahaan-perusahaan itu berjalan. Di lain pihak perusahaan sudah menyediakan segala fasilitas yang diperlukan akan tetapi karyawan ternyata lalai memanfaatkannya.
2. Tidak adanya kejadian yang menyolok untuk menunjukkan secara tepat dimana, bilamana dan bagaimana terjadinya penyakit tersebut seperti misalnya pada trauma kulit akibat tersiram air mendidih. 3. Istilah dermatitis yang dipergunakan untuk semua bentuk penyakit kulit jabatan. Majikan dapat dirugikan bilamana ia harus memberikan kompensasi yang besar bagi karyawan yang menderita periyakit kulit ringan yang sembuh setelah beberapa hari. Sebaliknya karyawan dapat dirugikan bila suatu penyakit kulit jabatan yang berat dikira suatu dermatitis yang konstitusionil. 4. Kadang kala sukar untuk dapat menentukan apakah Suatu dermatitis ada hubungan dengan pekerjaan di pabrik atau di rumah. Misalnya dermatitis pada seorang montir mesin bisa disebabkan oleh adanya kepekaan terhadap cat yang ia pergunakan untuk melukis di rumah sebagai hobby diwaktu senggang. Disamping itu dermatitis dapat berdasarkan konstitusi tubuh seperti pada atopy atau neurosis yang berakar dari kesukaran rumah tangga. Patch testing yang pernah dianggap sebagai faktor yang menentukan pada persengketaan akhir-akhir ini terbukti sangat meragukan. Pertama oleh karena sebagian besar dari pada penyakit kulit jabatan bukan disebabkan oleh adanya kerentanan terhadap sesuatu bahan ( 80% menurut HELLIER dan HARAHAP) dan kedua oleh karena syarat-syarat untuk patch testing harus dipenuhi semua, antara lain dengan memakai satu atau dua orang sukarelawan sebagai perbandingan. Di Indonesia sengketa mengenai kompensasi untuk penyakit kulit jabatan yang diajukan kepengadilan sepanjang pengetahuan saya belum pernah terjadi. Ini bukan berarti bahwa di negeri kita ini semua berjalan dengan sempurna atau tidak ada penyakit kulit jabatan. Hanya saja perhatian terhadap penyakit jabatan ini masih sangat kurang dikalangan 12 Cermin Dunia Kedokteran No. 11, 1978.
para dokter terutama ahli- ahli kulit. Apabila ada sengketa, lazimnya semua itu diselesaikan secara damai dan pada umumnya lebih menguntungkan bagi si majikan dari pada karyawan. Penutup Kini pabrik-pabrik tumbuh sebagai jamur dimusim hujan di kota-kota besar, misalnya ; perakitan mobil, pabrik-pabrik obat, cat dan kimia, pabrik textil, pemintalan dan sebagainya. Maka sudah .barang tentu dan dapat diperkirakan bahwa penyakit jabatan dan penyakit kulit jabatan akan makin meningkat diwaktu yang akan datang. Tidaklah berlebihan apa bila mulai sekarang sudah kita pikirkan kearah itu, tetapi agar dapat memperoleh hasil yang optimal diperlukan kerja sama yang erat antara usahawan, dokter perusahaan, dokter akhli penyakit kulit, karyawan dan pemerintah. KEPUSTAKAAN 1. BENNY W. WIJAYA U : Proceeding Konas I P.A.D. V.I Jakarta. 2023. 1972. 2; BOEDIMULJA et al : Proceeding Konas I P.A.D. V.I Jakarta. 1216 1972. 3. BIRO TATA HUKUM DAN HUBUNGAN LEMBAGALEMBAGA NEGARA DEPARTEMEN TENAGA KERJA : Himpunan peraturan-peraturan tenaga kerja . Jilid II. Cetakan III. 4. HARAHAP M : Dermatitis kontak pada buruh tembakau Deli. Thesis 6193, 1968. 5. HELLIER FF : Symp Dermat Praque. Vol 2 : 345346, 1960. 6. PORTER R : Symp Dermat Praque. Vol 3: 211217, 1960. 7. PORTER R. PORTER R A : Symp Dermat Praque. 401404, 1960; 8.SCHWARTZ L, TULIPAN L, BIRMINGHAM D J : Occupational diseases of the skin, 3 ed. Philadelphia, Lea Febiger. 1826, 1957
SPESIALIS YANG PALING BANYAK DIBUTUHKAN ADALAH : INTERNIST Di Amerika telah dilakukan survey mengenai kebutuhan akan tenaga-tenaga ahli dibidang kedokteran. Selama masa triwulan terakhir tahun 1976 sampai triwulan pertama tahun 1977 didapat angka-angka sebagai berikut : Data-data tersebut diperoleh dari iklan-iklan yang dipasang pada majalah-majalah kedokteran yang ada di Amerika. Dimana jumlah iklan yang membutuhkan dokterdokter ahli dalam berbagai bidang keahlian, rata-rata 2300 buah sebulan. Physician s Management 17 : 16,1977. Cermin Dunia Kedokteran No. 11, 1978.
13