Kewenangan Uji Materil Peraturan Perundang-undangan Dibawah Undang-undang.pdf

  • Uploaded by: DestiaraTalita
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kewenangan Uji Materil Peraturan Perundang-undangan Dibawah Undang-undang.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 23,965
  • Pages: 116
KEWENANGAN UJI MATERIL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BAWAH UNDANG-UNDANG (Kajian Tentang Putusan Mahkamah Agung Tahun 2005-2011)

LAPORAN PENELITIAN

Disusun Oleh: MAFTUH EFFENDI

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN MAHKAMAH AGUNG RI 2013

KEWENANGAN UJI MATERIL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BAWAH UNDANG-UNDANG Kajian Tentang Putusan Mahkamah Agung Tahun 2005-2011

LAPORAN PENELITIAN

Disusun oleh : MAFTUH EFFENDI

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI 2013

KATA PENGANTAR Badan Penelitian dan Pengembangan & Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI merupakan satuan kerja yang lahir setelah semua Lembaga Peradilan Yaitu: 1. Peradilan Umum; 2. Peradilan Agama; 3. Peradilan Tata Usaha Negara; 4. Peradilan Militer; berada di bawah "satu atap" Mahkamah Agung RI. Salah satu tugas dan tanggung jawab Badan Litbang Diklat Kumdil adalah meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia bagi seluruh aparat Peradilan, baik bagi Tenaga teknis (Hakim, Panitera dan Jurusita) maupun tenaga non Teknis, termasuk Pejabat Struktural. Dan dalam rangka Pelaksanaan tugas tersebut, Badan Litbang Diklat Kumdil meliput 4 (empat) unit kerja yakni : 1. Sekretariat Badan; 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan; 3. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Peradilan; 4. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Manajemen dan Kepemimpinan; Salah satu unit dari Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI adalah Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan adalah Penelitian (Puslitbang). Berdasarkan DIPA 2013 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan (Puslitbang) telah melaksanakan berbagai macam kegiatan yang menjadi tupoksinya. Salah satunya adalah Penelitian "KEWENANGAN UJI MATERIL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BAWAH UNDANG-UNDANG (Kajian Tentang Putusan Mahkamah Agung 2005-2011)" yang merupakan Penelitian Kepustakaan. Penelitian tersebut i

dilaksanakan diwilayah Hukum Pengadilan di Jakarta. Hasilnya telah disusun dan dibuat dalam bentuk Buku Laporan. Untuk itu, kami menyampaikan ucapan terima kasih atas ketulusan dan keikhlasan semua p ihak mulai dari pengumpulan bahan-bahan sampai dengan selesainya penelitian dan telah menjadi sebuah Buku Laporan Penelitian "KEWENANGAN UJI MATERIL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BAWAH UNDANG-UNDANG (Kajian Tentang Putusan Mahkamah Agung 2005-2011)". Insya Allah, jerih payah kita semua akan menjadi amal sholeh dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, Amin.

Mega Mendung, September 2013 KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN & PENDIDIKAN DAN PELATIHAN HUKUM DAN PERADILAN

NY. SITI NURDJANAH, SH., MH

ii

KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala limpahan nikmat dan karunianya, sehingga Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan melalui DIPA Balitbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI Tahun Anggaran 2013 telah berhasil merealisasikan salah satu tugas pokok dan fungsinya yakni menyelenggarakan kegiatan penelitian. Kegiatan tersebut diawali dengan Focus Grup Discussion (FGD) untuk mendiskusikan Proposal Penelitian berjudul "KEWENANGAN UJI MATERIL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BAWAH UNDANG-UNDANG (Kajian Tentang Putusan Mahkamah Agung 2005-2011)" kegiatan FGD Proposal tersebut berlangsung di Jakarta. Setelah FGD Proposal, dilanjutkan dengan memulai pelaksanaan kegiatan Penelitian Kepustakaan di Jakarta, melalui kompilasi bahan dan data penelitian, seleksi serta analisis terhadap berbagai data, bahan, referensi kepustakaan, dan putusan-putusan pengadilan yang relevan, serta dilengkapi sejumlah wawancara dengan para narasumber yang kompeten. Terhadap hasil Penelitian tersebut kemudian dilakukan Kegiatan Focus Grup Discussion (FGD) untuk membahas dan mendiskusikan Hasil Penelitian dengan tujuan untuk mendapatkan masukan dalam rangka penyempurnaan hasil penelitian. FGD Proposal Penelitian, maupun FGD Hasil Penelitian telah diikuti oleh para undangan, antara lain meliputi beberapa Hakim Agung, Hakim Tinggi, Hakim Tinggi Pengawasan, Hakim Tinggi yang diperbantukan pada Balitbang Diklat, Hakim Yusitisial, Hakim Tingkat Pertama, Fungsional Peneliti Puslitbang Mahkamah Agung, peneliti dari Instarisi atau Lembaga lain, Akademisi dari Perguruan Tinggi dan Staf Puslitbang. Dengan tujuan untuk mendapatkan berbagai masukan, kritik dan usulan bagi penyempurnaan proposal maupun hasil penelitian. Diharapkan mampu meningkatkan iii

kualitas dan kemanfaatan hasil penelitian, baik bagi kalangan internal Mahkamah Agung beserta segenap jajaran dan hirarkinya, maupun bagi para stake holder lainnya. Buku Laporan Hasil Penelitian ini dibuat sebagai bentuk pertanggungjawaban Kapuslitbang kepada Pimpinan Mahkamah Agung RI, serta sebagai dokumentasi telah selesainya pelaksanaan kegiatan tersebut. Semoga kiranya dapat memberikan manfaat sebagaimana mestinya.

KEPALA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL MA-RI

Prof. Dr. BASUKI REKSO WIBOWO, S.H., M.S. NIP. 19590107 198303 1 005

iv

KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas perkenanNya penulisan laporan penelitian dengan judul “Kewenangan Uji Materiil Peraturan Perundang-undangan di Bawah Undangundang: Kajian tentang Putusan Mahkamah Agung Tahun 20052011” dapat diselesaikan. Penelitian ini bertolak dari putusan-putusan MA tentang uji materiil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undangundang. Dari 58 (lima puluh delapan) putusan yang diinventarisasi dalam kurun waktu putus tahun 2005-2011 diperoleh beberapa hal yang menarik untuk dikaji. Secara sederhana dapat dikelompokan menjadi 3 (tiga), yaitu: pertama, mengenai pembatasan tenggang waktu pengajuan permohonan keberatan Hak Uji Materiil (HUM); kedua, kedudukan hukum (legal standing) pemohon; dan ketiga, ruang lingkup kewenangan HUM oleh MA. Hasil analisis dengan pendekatan yuridis-normatif diungkapkan bahwa, pertama, pertimbangan MA mengesampingkan pembatasan tenggang waktu pengajuan permohonan HUM - melalui pendekatan komparasi, analogi, filosofis, dan yuridis normatif menjadi landasan Hakim untuk mengesampingkan (non enforcement of law) ketentuan Pasal 2 Ayat (4) Perma No. 1 Tahun 2004. Putusan itu kemudian diikuti oleh putusan-putusan berikutnya. Dari kronologis terbitnya Perma No. 1 Tahun 2011, tidak terdapat keterkitan antara terbitnya Perma No. 1 Tahun 2011 dengan permohonan pengujian Keputusan Bersama tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (SKB KEPPH), oleh karena itu tidak tepat kalau ada anggapan yang menyatakan bahwa Perma No. 1 Tahun 2011 dimaksudkan untuk meloloskan permohonan pengujian SKB KEPPH di MA. Kedua, pertimbangan hakim tentang legal standing dalam putusan HUM kebanyakan tidak memperlihatkan pertimbangan yang memadai. Bahkan beberapa putusan ditemukan tanpa diberikan pertimbangan sama sekali mengenai argumentasi yuridis mengapa pemohon memiliki standing in judicio. Khusus mengenai uji materiil v

SKB KEPPH tampak bahwa Majelis Hakim telah menguraikan argumentasi diterima legal standing Para Pemohon sesuai dengan beberapa kriteria yang ditentukan dalam Pasal 31A Ayat (2) UndangUndang No. 3 Tahun 2009. Pertimbangan yang tidak memadai antara lain disebabkan oleh tidak adanya hukum acara uji materiil oleh MA. Perma No. 1 Tahun 2011 tidak cukup sebagai dasar hukum acara uji materiil. Ketiga, ruang lingkup kewenangan MA memeriksa dan memutus HUM hanya terbatas pada pengujian peraturan perundangundangan di bawah undang-undang. Secara yuridis normatif, peraturan kebijakan bukanlah suatu peraturan perundang-undangan. Demikian pula arus besar pemikiran hukum juga tidak mengkategorikan peraturan kebijakan sebagai peraturan perundangundangan. Jadi, peraturan kebijakan tidaklah termasuk dalam ruang lingkup kewenangan HUM oleh MA. Penyelesaian sengketa atas terbitnya peraturan kebijakan masih problematis. Akan tetapi juga tidak bijak membiarkan suatu sengketa atas peraturan kebijakan berada di wilayah yang tidak jelas (grey area). Asas nemo judex in rex sua merupakan asas universal dalam hukum acara yang wajib diterapkan oleh hakim. Akan tetapi pada kasus-kasus tertentu tidak menutup kemungkinan asas nemo judex in rex sua berhadap-hadapan (vis-à-vis) dengan asas ius curia novit. Dalam keadaan demikian itu hakim harus menetapkan asas mana harus diterapkan. Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ketua Mahkamah Agung, Bapak Dr. H. Muhammad Hatta Ali, SH, MH, Ketua Kamar TUN, Bapak Dr. H. Imam Soebechi, SH, MH, Kepala Badan Libang dan Diklat Kumdil Mahkamah Agung, Ibu Siti Nurdjanah, SH, MH, dan Kepala Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung RI, Bapak Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, SH, MH, yang telah mempercayakan pelaksanaan penelitian ini kepada kami. Para Hakim Agung Kamar TUN, Bapak H. Yulius, SH, MH, Bapak Dr. H. Supandi, SH, MH, Bapak Dr. Irfan Fachruddin, SH, CN dan rekan-rekan Hakim Yustisial, Sumartanto, SH, MH, Hari Sugiharto, SH, MH, Subur MS, SH, MH dan Kusman, vi

S.IP, SH, MH, yang telah banyak memberikan pencerahan dan bahanbahan penelitian kepada kami. Ketua PTUN Jakarta, Bapak H. Hendro Puspito, SH, MH, dan Wakil Ketua PTUN Jakarta, Bapak H. Bambang Heriyanto, SH, MH, yang telah memberikan dukungan kepada kami hingga terlaksananya penelitian ini. Rekan-rekan Hakim, Agus Budi Susilo, SH, MH, Hakim PTUN Bandung, Teguh Satya Bhakti, SH, MH, Hakim PTUN Jakarta, dan Enrico Simanjuntak, SH, Hakim PTUN Serang, yang telah memberikan banyak masukan baik pada saat focus group discussion maupun pada saat seminar hasil, buku-buku referensi baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa asing, yang tentunya sangat bermanfaat bagi penulisan penelitian ini. Terakhir dan tak kalah penting kepada rekan peneliti, Dr. Ismail Rumadhan, SH, MH, yang telah memberikan pandangan-pandangan keilmuannya, dan Indroharto, SH, yang telah membantu dalam pengolahan data hingga selesainya laporan penelitian ini. Segenap bantuan Bapak, Ibu, rekan dan segenap pihak yang sangat berarti bagi penelitian ini merupakan amal ibadah, dan semoga mendapatkan balasan nikmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Menyadari keterbatasan kemampuan penulis dalam proses penulisan laporan penelitian ini, maka berbagai kritik dan saran dalam konteks penyempuraan penulisan akan diterima dengan penuh keterbukaan.

Jakarta, September 2013 Koordinator Peneliti,

Maftuh Effendi

vii

viii

DAFTAR ISI Hal. KATA PENGANTAR ………………………………………….

i

DAFTAR ISI ……………………………………………............

ix

I.

PENDAHULUAN …………………………….................. A. Latar Belakang ………………………………………. B. Permasalahan Penelitian ………………...................... C. Tujuan Penelitian ……………………………………. D. Kerangka Pemikiran ………………………………… E. Metodologi Penelitian ……………………………….

1 1 5 6 7 10

II.

PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN …………………………………………….. A. Toetsingsrecht dan Judicial Review …………………. B. Judicial Review sebagai Kontrol Normatif dalam Negara Hukum ……………………………………… C. Judicial Review dalam Perspektif Division/Separation of Powers …………………………………………….

III.

PELAKSANAAN UJI MATERIIL OLEH MAHKAMAH AGUNG ………………………………… A. Tenggang Waktu Pengajuan Permohonan …………... 1. Putusan No. 25 P/HUM/2006 …………………... 2. Putusan No. 41 P/HUM/2006 …………….......... 3. Putusan No. 37 P/HUM/2008 ………………….. 4. Putusan No. 03 P/HUM/2011 ………………….. B. Kedudukan Hukum Pemohon (Legal Standing) …….. 1. Perorangan warga negara Indonesia ……………. 2. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat ……….......... 3. Badan hukum publik atau badan hukum privat ….

15 15 17 20

23 23 25 29 30 31 37 40 43 47 ix

C.

Ruang Lingkup Kompetensi Hak Uji Materiil ……….

52

PENUTUP ………………….............................................. A. Simpulan ……………………………………………. B. Saran …………………………………………………

69 69 70

DAFTAR PUSTAKA ……………………….............................

73

LAMPIRAN …………………………………………………….

79

IV.

x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ini bertolak dari putusan-putusan Mahkamah Agung tentang uji materiil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Dari 58 (lima puluh delapan) putusan yang diinventarisasi dalam kurun waktu putus tahun 2005-2011 diperoleh beberapa hal yang menarik untuk dikaji. Secara sederhana dapat dikelompokan menjadi 3 (tiga), yaitu: pertama, mengenai pembatasan tenggang waktu pengajuan permohonan keberatan Hak Uji Materiil; kedua, kedudukan hukum (legal standing) pemohon; dan ketiga, ruang lingkup kewenangan Hak Uji Materiil oleh Mahkamah Agung. Pertama, pembatasan tenggang waktu. Pada kurun waktu pemberlakuan Perma No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil, Pasal 2 Ayat (4) menentukan bahwa permohonan keberatan Hak Uji Materiil diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Ketentuan ini membatasi pengajuan permohonan keberatan. Artinya, dengan lewatnya tenggang waktu tersebut maka permohonan dianggap telah daluwarsa, sehingga secara formal permohonan dinyatakan tidak dapat diterima. Mahkamah Agung melalui putusannya telah mengesampingkan diberlakukannya tenggang waktu Pasal 2 Ayat (4) Perma No. 1 Tahun 2004.1 Putusan tersebut kemudian diikuti oleh putusan-putusan yang lain.2 Keempat putusan itu menjadi konsideran faktual lahirnya Perma No. 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil menggantikan Perma No. 1 Tahun 2004. Perubahan yang mendasar dari Perma yang baru itu adalah dihapuskannya pembatasan tenggang waktu pengajuan permohonan keberatan Hak Uji Materiil yang 1

Putusan Mahkamah Agung No. 25 P/HUM/2006, 30-08-2006. Putusan Mahkamah Agung No. 41 P/HUM/2006, 21-11-2006, Putusan No. 37 P/HUM/2008, 18-03-2009, dan Putusan No. 03 P/HUM/2011, 25-03-2011. 1 2

dituangkan dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (4). Jadi, Pasal 2 yang semula lima ayat berubah menjadi empat ayat. Putusan-putusan mengenai pengesampingan pembatasan tenggang waktu hingga terbitnya Perma yang baru, dianggap oleh sebagian kalangan sebagai entry point untuk meloloskan permohonan uji materiil Surat Keputusan Bersama tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim (SKB KEPPH),3 agar tidak kadaluwarsa. Kedua, kedudukan hukum (legal standing) pemohon. Dari putusan-putusan yang diinventarisasi sebagai bahan hukum yang dianalisis, ditemukan beberapa putusan yang pertimbangannya mengenai legal standing tidak begitu memadai. Bahkan ada putusan yang tidak mempertimbangkan sama sekali legal standing pemohon. Yang menarik adalah ketika Majelis mengabulkan standing para pemohon dalam kasus uji materiil SKB KEPPH. Para pemohon berprofesi sebagai advokat (mantan hakim). Para pemohon dianggap tidak mempunyai kepentingan langsung terhadap objek Hak Uji Materiil, karena mereka bukan hakim tetapi mantan hakim. Ketiga, ruang lingkup kewenangan Hak Uji Materiil oleh Mahkamah Agung. Dalam beberapa kasus Mahkamah Agung menguji suatu surat edaran sebagai salah bentuk dari peraturan kebijakan (beleidsregel).4 Padahal ruang lingkup kewenangan Mahkamah Agung dalam Hak Uji Materiil hanyalah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Secara yuridis normatif peraturan kebijakan tidak termasuk ke dalam peraturan perundang-undangan. Demikian pula arus besar pemikiran hukum tidak mengkategorikan peraturan kebijakan sebagai peraturan perundang-undangan. Akan tetapi dalam perkara yang berbeda Mahkamah Agung berpendapat lain, bahwa peraturan kebijakan tidak dapat diuji oleh lembaga yudisial. Dasar pertimbangan Majelis untuk sampai pada konklusi peraturan kebijakan tidak dapat diuji, antara lain merujuk pada prinsip pengujian terbatas (marginale toetsing) dan yurisprudensi 3

Putusan Mahkamah Agung No. 36 P/HUM/2011, 09-02-2012. Antara lain Putusan Mahkamah Agung No. 04 P/HUM/2008, 3105-2010 dan Putusan No. 23P/HUM/2009, 09-12-2009. 2 4

Indonesia.5 Pertimbangan putusan tersebut sangat sumir, tidak menyebutkan argumentasi mengapa hakim tidak boleh menguji peraturan kebijakan.6 Akan tetapi apabila dikaitkan dengan Jawaban Termohon, dapat diperkirakan Hakim merujuk pada pandangan Laica Marzuki yang menyatakan bahwa sengketa beleidsregel merupakan sengketa doelmatigheid, oleh karena itu tidak dapat dibawakan ke hadapan hakim.7 Demikian pula yurisprudensi yang dimaksud juga tidak dikemukakan dalam putusan. Mungkin yang dimaksud antara lain yurisprudensi dalam perkara Josopandojo.8 Pendirian ini berakar pada adagium dat de rechter niet op de stoel van de bestuur mag gaan zitten (hakim tidak boleh duduk di kursi pemerintah). Adagium itu sendiri di Negeri Belanda telah mendapatkan banyak kritik. Helder menyatakan bahwa “Het adagium is bij nadere beschouwing van de rechtelijke taak onhoudbaar”9 (adagium ini setelah meneliti tugas hakim lebih lanjut, tidak dapat dipertahankan). Lebih lanjut, Brenninkmeijer menegaskan, “Het cliché dat de rechter niet op de stoel van het bestuur mag gaan zitten, kan niet langer leerstellige betekenis hebben. (…) Rechtspraak vervuit een belangrijke maatschappelijke functie en uit dat oogpunt geldt de 5

Putusan Mahkamah Agung No. 39 P/HUM/2009, 23-02-2010, Putusan No. 24 P/HUM/2007, 14-12-2007, dan Putusan No. 09 P/HUM/2007, 25-05-2007. 6 Terutama dalam Putusan Mahkamah Agung No. 39 P/HUM/2009, 23-02-2010. 7 Pakar hukum administrasi lain yang menganut pandangan ini antara lain Sjachran Basah, yang menyatakan Hakim tidak diperkenankan menguji atau tidak boleh mempertimbangkan kebijakan (beleids) pemerintah; Lihat Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Adminstrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, hal. 241. 8 Putusan Mahkamah Agung No. 838 K/Sip/1970, menyatakan perbuatan kebijakan penguasa tidak termasuk kompetensi pengadilan untuk menilainya. 9 E. Helder, Ombudsman en administrative rechtbescherming, Dissertatie TU Twente, Enschede, 1989, dalam M.L.M. Hertogh, Consequenties van controle: De bestuurlijke doorwerking van het oondeel van de administrative rechter en de Nationale ombudsman, Vuga, Den Haag, 1997, hal.192. 3

eis dat de taakvervulling door de rechter maatschappelijk gezein zo effectief mogelijk moet zijn. Daarom ben ik een voorsiander van zelf in de zaak voorzien door de rechter”10 [Klise bahwa hakim tidak boleh duduk di kursi pemerintahan tidak lagi mempunyai makna. (…) Pengadilan menjalankan fungsi kemasyarakatan yang penting dan dari aspek itu berlaku tuntutan bahwa pemenuhan tugas hakim seefektif mungkin. Karena itu, saya seorang pendukung dari penanganan sendiri perkara oleh hakim]. Secara historis, adagium tersebut didasarkan pada doktrin “separation of powers” dari Montesquieu. Di belahan dunia manapun doktrin itu tidak pernah dilaksanakan secara ketat. Doktrin itu harus dimaknai sekalipun ketiga pusat kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudisiil) secara konstitutional terpisah namun dalam praktiknya pemisahan dalam arti mutlak mustahil terjadi. Oleh karena itu, prinsip pemisahan kekuasaan harus juga dipahami dalam konteks berbagi kekuasaan (sharing of powers).11 Di Amerika Serikat yang terkenal dengan prinsip checks and balances, Presiden diberi hak veto atas suatu rancangan undang-undang sekalipun sudah disetujui oleh Kongres. Undang-undang pun terbuka diuji oleh Mahkamah Agung. All bill passed by congress and signed by the president is law. If the president refuses to sign, he returns to congress with statement of objections, demikian dikemukakan oleh Barron dan Dienes.12 Bagir Manan sendiri dalam berbagai diskusi ilmiah menyampaikan bahwa kebijakan pemerintah itu ibarat seorang yang berjalan di atas lantai yang licin. Ia akan mudah sekali tergelincir.13 Kadang-kadang undang-undangnya sendiri tidak mengatur secara 10

A.F.M. Brenninkmeijer, Een leestelling cliché, dalam T. Hoogenboom & L.J.A. Damen (Red), De steer van administratief recht (feestbundel), 1994, hal.31. 11 Bambang Cipto, Politik dan Pemerintahan Amerika, Lingkaran, Yogyakarta, 2003, hal.11. 12 Jerome A. Barron & C. Thomas Dienes, Constitutional Law, West Publishing co, St. Paul, Minn, 1995, p.68 & 132. 13 Bedah Buku Prof. Paulus Effendi Lotulung, SH, di Mahkamah Agung RI Jakarta, 09-03-2013. 4

jelas, dan pejabat yang bersangkutan diberikan kebebasan untuk bertindak sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Oleh karena itu, kewenangan diskresi tanpa kontrol yang memadai dapat menimbulkan suatu absolutisme. Di samping itu, dalam perspektif kebijakan publik (public policy), bukankah setiap produk hukum itu merupakan hasil akhir dari proses kebijakan publik. Selanjutnya terkait dengan ruang lingkup kewenangan Hak Uji Materiil, hal yang tak kalah menarik adalah ketika Mahkamah Agung mengesampingkan penerapan asas nemo judex in rex sua dalam pengujian SKB KEPPH.14 Asas ini mengandung makna tidak seorangpun dapat menjadi Hakim atau mengadili hal yang menyangkut dirinya sendiri. Dengan perkataan lain, Pengadilan (Hakim) tidak dapat dan tidak boleh mengadili sendiri suatu perkara (sengketa) di mana ia sendiri mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung. Sekalipun dalam perkara yang lain Mahkamah Agung tetap menerapkan asas tersebut.15 Putusan Mahkamah Agung yang telah mengesampingkan asas nemo judex in rex sua itu sempat menimbulkan pendapat pro dan kontra baik di kalangan praktisi maupun akademisi hukum. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian dengan fokus “Kewenangan Uji Materil Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-undang - Kajian tentang Putusan Mahkamah Agung Tahun 2005-2011”, menarik untuk dilakukan. B. Permasalahan Penelitian Bertolak dari latar belakang masalah di atas, maka dapat ditarik isu sentral dari penelitian ini adalah kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Perumusan isu sentral itu dirinci ke dalam sub tema sebagai berikut:

14 15

Putusan Mahkamah Agung No. 36 P/HUM/2011, 09-02-2012. Putusan Mahkamah Agung No. 03 P/HUM/2011, 25-03-2011. 5

1. Bagaimana pertimbangan hukum Mahkamah Agung untuk mengesampingkan pembatasan tenggang waktu pengajuan permohonan keberatan dalam putusan Hak Uji Materiil yang kemudian menjadi dasar dihapuskannya Pasal 2 Ayat (4) Perma No. 1 Tahun 2004, dan bagaimana keterkaitan antara penghapusan pembatasan tersebut dengan permohonan uji materiil SKB KEPPH? 2. Bagaimana pertimbangan hukum Mahkamah Agung mengenai diterimanya legal standing Pemohon, dan apakah pertimbangan mengenai legal standing Para Pemohon dalam kasus uji materiil SKB KEPPH Hakim telah memberikan argumentasi yuridis yang memadai? 3. Bagaimana ruang lingkup kewenangan Mahkamah Agung memeriksa dan memutus Hak Uji Materiil, dan apakah peraturan kebijakan (beleidsregel) juga termasuk ruang lingkup kewenangan Mahkamah Agung, serta bagaimana penerapan asas nemo judex in rex sua dalam menangani permohonan keberatan uji materiil? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pertimbangan hukum Mahkamah Agung untuk mengesampingkan pembatasan tenggang waktu pengajuan permohonan keberatan dalam putusan Hak Uji Materiil yang kemudian menjadi dasar dihapuskannya Pasal 2 Ayat (4) Perma No. 1 Tahun 2004, dan mengetahui keterkaitan antara penghapusan pembatasan tersebut dengan permohonan uji materiil SKB KEPPH. 2. Mengetahui pertimbangan hukum Mahkamah Agung mengenai diterimanya legal standing Pemohon, dan mengetahui ketepatan argumentasi hukum yang melandasi pertimbangan mengenai legal standing Para Pemohon dalam kasus uji materiil SKB KEPPH. 3. Mengetahui ruang lingkup kewenangan Mahkamah Agung memeriksa dan memutus Hak Uji Materiil, dan ruang kewenangan Mahkamah Agung dalam pengujian peraturan kebijakan 6

(beleidsregel), serta mengetahui penerapan asas nemo judex in rex sua dalam menangani permohonan keberatan uji materiil. D. Kerangka Pemikiran Untuk mengetahui hakikat kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan perlu dicermati semangat dari perubahan UUD Negara RI Tahun 1945. Semangat perubahan UUD dilandasi oleh ajaran separation of powers dan checks and balances. Melalui ajaran pemisahan kekuasaan antara lain terjadi pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR, yang berimplikasi pada proses pembentukan peraturan perundang-undangan dan institusi/pejabat yang berwenang untuk itu. Dengan pola yang seperti itu menjadi jelas produk hukum yang bersifat regeling dan beschikking, sehingga menjadi jelas pula kewenangan MA untuk menguji keabsahan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Paradigma yang melandasi UUD Negara RI Tahun 1945 mengalami pergeseran, yaitu dari pembagian kekuasaan (division or distribution of power) ke pemisahan kekuasaan (separation of powers/checks and balances). Dalam UUD (pra amandemen), prinsip kedaulatan yang berasal dari rakyat diwujudkan melalui MPR yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat, pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat, dan yang diakui sebagai lembaga tertinggi negara dengan kekuasaan yang tidak terbatas. Dari majelis inilah, kekuasaan rakyat itu dibagi-bagikan secara vertikal ke dalam lembaga-lembaga tinggi negara yang berada di bawahnya. Karena itu, prinsip yang dianut dalam model ini disebut prinsip pembagian kekuasaan (division or distribution of power). Akan tetapi, dalam UUD (pasca amandemen), kedaulatan rakyat itu ditentukan dibagikan secara horizontal dengan cara memisahkannya (separation of power) menjadi kekuasaankekuasaan yang dinisbatkan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip checks and balances. Cabang kekuasaan legislatif berada di tangan MPR yang terdiri dari DPR dan DPD. Cabang kekuasaan eksekutif berada di tangan Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan 7

cabang kekuasaan yudikatif berada di tangan kekuasaan kehakiman yang terdiri dari Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Dengan adanya prinsip checks and balances ini maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi dan bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya. Seperti ungkapan Lord Acton yang sangat populer “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely” (kekuasaan cenderung untuk menjadi sewenang-wenang, dan dalam kekuasaan yang mutlak, kesewenang-wenangan juga cenderung mutlak). Sebagai konsekuensi dipilihnya prinsip pemisahan kekuasaan, maka dalam Perubahan Pertama UUD 1945 pada Sidang MPR bulan November 1999, cabang kekuasaan legislatif yang secara tegas dipindahkan dari Presiden ke DPR. Dalam Pasal 5 Ayat (1) lama, ditegaskan bahwa “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR”. Sedangkan dalam Pasal 5 Ayat (1) baru berdasarkan Perubahan Pertama tersebut ditegaskan bahwa “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Sebaliknya dalam Pasal 20 Ayat (1) baru, dinyatakan: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.” Dengan perubahan tersebut maka kedudukan DPR menjadi jelas yaitu sebagai lembaga pemegang kekuasaan legislatif. Pergeseran kekuasaan legislatif itu mengandung implikasi yang mendasar terhadap proses pembentukan peraturan perundangundangan dan institusi/pejabat yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan itu sendiri. Dalam sistem yang lama dinyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR, maka kekuasaan Presiden termasuk para pembantunya serta para pejabat pemerintahan seperti Direktur Jenderal Departemen sampai pejabat yang lebih rendah juga mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan peraturan pada tingkat 8

pelaksanaan di bidangnya masing-masing. Peraturan pelaksanaan ini, makin rendah tingkatannya makin teknis pula sifatnya. Akan tetapi, dengan adanya pergeseran tersebut sudah seharusnya ditinjau kembali logika yang memberikan pembenaran terhadap pola pengaturan seperti itu. Para Direktur Jenderal dan Direktur sebagai pejabat tinggi (eselon I atau eselon II) yang tunduk pada hukum kepegawaian tidak selayaknya diberikan kewenangan untuk turut membentuk peraturan perundang-undangan dalam pengertian yang baru.16 Dengan demikian, secara tegas dapat diatur bahwa semua kebijakan yang bersifat mengatur di bidang yang menjadi tugas kementrian tertentu, haruslah dituangkan dalam bentuk Peraturan Menteri atau pejabat setingkat Menteri. Sedangkan Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal dan pejabat yang lebih rendah di tiap-tiap kementrian atau Departemen Pemerintahan tidak berwenang mengatur kepentingan publik. Mereka hanya melaksanakan kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh Menteri sebagai pemegang tanggung jawab politik di kementrian atau departemennya.17 Dengan pola yang demikian itu menjadi jelas produk hukum yang dikeluarkan, mana yang bersifat mengatur (regeling) dan yang bersifat penetapan administratif (beschikking). Terhadap semua jenis produk hukum tersebut dapat dilakukan perlawanan atau gugatan hukum apabila hal itu dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan keadilan. Jenis produk hukum yang pertama berupa regeling dapat dilawan dengan permohonan judicial review. Apabila produk hukum itu berupa undang-undang dipertentangkan dengan UUD maka pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dan apabila berupa peraturan perundang-undangan di bawah undangundang dipertentangkan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan terhadap jenis produk hukum yang kedua berupa beschikking dapat dilawan dengan gugatan ke PTUN. 16

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal.316. 17 Ibid., hal.318.

Konstitusionalisme

9

E. Metodologi Penelitian Metode penelitian merupakan fungsi dari permasalahan penelitian. Karena itu, pembicaraan dalam metode penelitian tidak dapat lepas, bahkan harus selalu berkaitan erat dengan permasalahan penelitian. Sajian metode penelitian disistematisasikan dalam satu format: pendekatan masalah, spesifikasi penelitian, jenis data, metode pengumpulan data dan metode analisis data. 1. Pendekatan Masalah Berpangkal tolak dari latar belakang masalah di atas, untuk memperoleh jawaban atas pokok masalah digunakan pendekatan yuridis-normatif,18 yang diarahkan untuk mendeskripsikan perkembangan pengaturan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang di Indonesia menurut UUD Negara RI Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait. Kemudian mengetahui kewenangan Mahkamah Agung menguji peraturan kebijakan dan norma hukum yang bersifat umum-konkret. Akhirnya dapat dirumuskan konsep penguatan kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang melalui reformulasi tata urutan peraturan perundang-undangan.

18

Penelitian hukum normatif ialah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal, perbandingan hukum, dan sejarah hukum. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hal.14; Lihat juga Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta, 2008, hal.51. 10

2. Spesifikasi Penelitian Tipe penelitian ini bersifat deskriptif analitis,19 yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dianalisis dengan teori-teori hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud antara lain UUD Negara RI Tahun 1945 beserta perubahannya, Tap MPR(S), UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2009, UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Pasal-pasal dari UUD Negara RI Tahun 1945 beserta perubahannya, pasal-pasal dari UU MA, dan UU Kekuasaan Kehakiman, terutama yang mengatur pengujian peraturan perundangundangan di bawah undang-undang, serta Perma Hak Uji Materiil, dikaji dan dianalisis untuk mengetahui perkembangan kewenangan tersebut dari waktu ke waktu. Melalui putusan-putusan MA tentang Hak Uji Materiil dapat dilihat tentang bagaimana hakim memaknai kewenangan uji materiil yang tercermin dalam putusan. Kemudian dari putusan itu dapat ditarik suatu kaidah hukum, sehingga dapat dianalisis konsistensi antara kaidah hukum itu dengan teori-teori hukum yang ada. Sebagai upaya alternatif solusi, diketengahkan pemikiran mengenai konsep penguatan kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang melalui reformulasi tata urutan peraturan perundangundangan.

19

Pada umumnya penelitian hukum yang bersifat deskriptif analitis, menggambarkan masalah hukum, sistem hukum dan mengkajinya atau menganalisisnya sesuai dengan kebutuhan dari penelitian yang bersangkutan. 11

3. Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa:20 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari: a. UUD Negara RI Tahun 1945 beserta perubahannya. b. Ketetapan MPR(S). c. Peraturan perundang-undangan: - Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. - Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. - Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. - Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. - Peraturan perundang-undangan lain yang terkait. d. Peraturan Mahkamah Agung RI No. 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. e. Putusan MA tentang Hak Uji Materiil dan putusan PTUN. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti: rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya. 3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya. 20

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum … Op.cit., hal.13; Lihat juga C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung, 2006, hal.134; J. Myron Jacobstein, Roy M. Mersky dan Donald J. Dunn, Legal Research Illustrated, New York Foundation Press, New York, 1998, hal.10. 12

Guna memperjelas dan mendalami hal-hal yang tersirat di balik bahan-bahan hukum di atas, dilakukan wawancara kepada narasumber yang berkompeten dalam permasalahan pengujian peraturan perundang-undangan.21 Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk mengungkap pandangan dan tanggapan mereka berkenaan dengan pencarian jawaban atas permasalahan penelitian ini. Narasumber tersebut tidak dianggap sebagai responden dalam kerangka penelitian data primer, melainkan dipertimbangkan sebagai pihak-pihak yang dapat memberikan penjelasan terhadap data-data sekunder yang menjadi fokus dalam penelitian ini. 4. Metode Pengumpulan Data Mengingat penelitian ini menitikberatkan pada data sekunder, maka pengumpulan data ditempuh dengan melakukan studi pustaka (literaturary studies) dan studi dokumen (documentary studies). Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan bahan-bahan publikasi ilmiah yang diperlukan sebagai referensi umum dalam rangka menyusun dan menjabarkan kerangka konseptual dan kerangka teoretis. Studi dokumen lebih diarahkan pada upaya pemahaman berbagai arsip atau dokumen yang berkaitan dengan pengaturan tentang kewenangan Hak Uji Materiil peraturan perundang-undangan, penerapannya dalam putusan hakim, dan konsep penguatan kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang melalui reformulasi tata urutan peraturan perundang-undangan. 5. Metode Analisis Data

21

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum normatif memegang peranan dan kegunaan yang tidak dapat diabaikan demi pengembangan dan pembinaan hukum. Namun, tidaklah lengkap apabila tidak dilakukan penelitian di lapangan yang bertujuan “… to try, to detect … how (law) is implemented and how it is enforced” (… untuk mencoba dan mendeteksi … bagaimana hukum itu diimplementasikan dan ditegakkan); Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian ... Op.cit., hal.71. 13

Data-data tersebut dianalisis secara kualitatif normatif,22 untuk menghasilkan data deskriptif analitis.23 Analisis deskriptif analitis bertolak dari analisis yuridis sistematis, kemudian didalami dengan analisis untuk menemukan konsep penguatan kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang melalui reformulasi tata urutan peraturan perundangundangan (ius contituendum).

22

Penggunaan metode kualitatif tidaklah semata-mata bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran belaka, akan tetapi untuk memahami kebenaran tersebut. Apa yang menjadi latar belakang hal itu semua. Ibid., hal.250. 23 Ibid. 14

BAB II PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. Toetsingsrecht dan Judicial Review Istilah “toetsingsrecht” diartikan sebagai “hak atau kewenangan untuk menguji” atau “hak uji”.24 Pengertian tersebut memperjelas bahwa istilah “toetsingsrecht” merupakan suatu proses untuk melakukan pengujian atau menguji dan secara harfiah dapat diartikan sebagai kewenangan untuk menguji.25 Pengertian menguji atau melakukan pengujian merupakan proses untuk memeriksa, menilai, dan memutuskan terhadap objeknya. Pemahaman menguji atau melakukan pengujian dalam perspektif “toetsingsrecht” adalah memeriksa, menilai, dan memutuskan terhadap tingkat konstitusionalitas suatu peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi oleh suatu lembaga negara yang oleh UndangUndang Dasar dan/atau oleh undang-undang diberikan kewenangan.26 Pengertian “toetsingsrecht” itu cukup luas, sehingga peristilahan yang timbul pun sangat tergantung dengan subjek dan objek dalam suatu pengujian. Dikaitkan dengan subjek, toetsingsrecht dapat dilekatkan pada lembaga kekuasan negara yudisial, legislatif, dan eksekutif. Jika hak atau kewenangan menguji tersebut diberikan kepada lembaga kekuasaan kehakiman atau hakim, maka hal tersebut 24

Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hal.6. 25 M. Laica Marzuki mengartikan toetsingsrecht sama dengan “hak menguji”, yaitu hak bagi hakim (atau lembaga peradilan) menguji peraturan perundang-undangan. Lihat M. Laica Marzuki, Berjalan di Ranah Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hal.47. 26 Sri Soemantri Martosoewignjo, Hak Menguji Materiil di Indonesia, Alumni, Bandung, 1986, hal.8. Dalam pengertian ini pengujian diartikan sebagai “materiele toetsingsrecht”. Selain materiele toetsingsrecht, juga ada pengertian “formele toetsingsrecht” yang diartikan sebagai wewenang untuk menilai apakah suatu produk legislatif seperti UU terjelma melalui cara-cara sebagaimana yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Ibid, hal.6. 15

disebut “judicial review”. Akan tetapi, jika kewenangan tersebut diberikan kepada lembaga legislatif, maka istilahnya menjadi “legislative review”. Demikian pula jika kewenangan itu diberikan lembaga eksekutif, maka istilahnya juga menjadi “executive review”.27 Apabila pengertian toetsingsrecht dikaitkan dengan objek dan waktu, maka hak menguji itu dilakukan secara a posteriori dan secara a priori. Kewenangan menguji secara a posteriori yang objek undangundang (setelah terjadinya tindakan atau perbuatan pemerintah), tindakan tersebut disebut “judicial review”. Sedangkan kewenangan menguji secara a priori yang objeknya rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tetapi belum diundangkan disebut “judicial preview”.28 Uraian di atas menunjukkan bahwa toetsingsrecht memiliki makna yang luas, disamping tergantung subjek, objek, juga tergantung sistem hukum tiap-tiap negara termasuk untuk menentukan kepada lembaga kekuasaan negara mana kewenangan dimaksud akan diberikan. Dengan demikian, pengertian toetsingsrecht lebih luas daripada judicial review. Judicial review pertama kali timbul dalam praktik hukum di Amerika Serikat yang secara eksplisit tidak diatur dalam konstitusi negara tersebut. Lahirnya judicial review ke dalam tatanan hukum Amerika Serikat melalui putusan Mahkamah Agung (Supreme Court) Amerika Serikat dalam perkara “Marbury vs. Madison” pada tahun 1803 yang saat itu John Marshal sebagai Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat.29

27

Jimly Asshiddiqie, Op.cit., hal.7. Ibid. 29 William H. Rehnquist, The Supreme Court How it was, How it is, William Morrow, New York, 1989, hal.99-114. Lihat juga Jerre S. Williams, Constitutional Analysis in a Nutshell, West Publishing, 1979, hal.10; Henry J. Abraham dalam The Judicial Process – An Introductory of the Court of The United States, England, and France, Third Edition Revised and enlarged Oxford University Press, London, 1975, hal.286. 16 28

Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam kasus “Marbury vs. Madison” ini pada intinya memuat bahwa Pasal 13 Judiciary Act (UU Kekuasaan Kehakiman) tahun 1789 Amerika Serikat bertentangan dengan konstitusi negara tersebut. Sebenarnya tidak ada ketentuan yang jelas dalam konstitusi negara Amerika Serikat yang memberikan kewenangan kepada lembaga kekuasaan kehakiman (Mahkamah Agung) untuk melakukan judicial review. Menurut John Marshall, ketentuan Pasal 13 Judiciary Act tahun 1789 merupakan penambahan kewenangan Supreme Court. Jika hal tersebut diberlakukan, maka dengan sendirinya mengubah ketentuan konstitusi melalui undang-undang biasa. Oleh karena itu, ketentuan tersebut harus dinyatakan tidak sah dan bertentangan dengan konstitusi yang merupakan “the supreme law of the land”.30 B. Judicial Review sebagai Kontrol Normatif dalam Negara Hukum Friederich Julius Stahl pada tahun 1878 merumuskan konsep negara hukum dengan istilah “rechtstaat” yang berkembang di negara-negara Eropa Kontinental dengan sistem hukum civil law. Paham rechtstaat ini ditandai oleh 4 (empat) unsur yaitu: pertama, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; kedua, negara didasarkan atas trias politica atau pemisahan kekuasaan negara; ketiga, pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undangundang; dan keempat, adanya peradilan administrasi.31 Selanjutnya, pemikiran tentang negara hukum juga berkembang di negara-negara Anglo Saxon dengan istilah “rule of law” yang dipelopori oleh A.V. Dicey (1885). Paham “rule of law” ini memiliki 3 (tiga) unsur, yaitu pertama, supremasi hukum; kedua,

30

Ibid. hal.101. Mohamad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dari Segi hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hal.68. 17 31

persamaan di hadapan hukum; dan ketiga, konstitusi didasarkan pada hak-hak asasi manusia.32 Mencermati unsur-unsur negara hukum tersebut dapat ditarik benang merah bahwa dalam negara hukum, hukum mempunyai kedudukan yang kuat, dan proses penyelesaian konflik dilakukan melalui mekanisme hukum, sehingga tetap terjamin hak asasi manusia dengan memberikan seluas-luasnya masyarakat melakukan kontrol baik politik, sosial maupun hukum. Pemaknaan kontrol normatif merupakan suatu mekanisme penyelarasan norma hukum oleh lembaga negara karena adanya usulan atau desakan masyarakat terhadap berbagai produk hukum yang dihasilkan oleh lembaga negara yang diberikan kewenangan oleh konstitusi untuk melaksanakan tugas itu, sehingga antar-norma hukum yang dihasilkan atau yang ditetapkan memiliki nilai saling menjelaskan atau saling menjabarkan secara hierarkis.33 Dalam negara hukum tidak dibenarkan mematikan demokrasi yang terwujud partisipasi masyarakat dalam pengelolaan negara, tetapi justru sebaliknya masyarakat diberikan saluran untuk mengekspresikan berbagai potensi, hak, dan kewajibannya baik secara individual maupun kolektif dengan mekanisme yang diatur oleh hukum. Dalam pengertian ini, maka agar peraturan perundangundangan yang diterbitkan itu tidak menyimpang atau bertentangan dengan norma-norma hukum lainnya secara hierarkis, maka perlu diberikan hak tertentu kepada masyarakat baik secara individual maupun kolektif untuk mengontrol norma-norma tersebut melalui saluran hukum.34

32

Ibid. Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York, 1945, hal.124. 34 Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman di Indonesia sejak Kembali ke UUD 1945, dalam Sri Soemantri Martosoewignjo dan Bintan R. Saragih, Ketatanegaraan Indonesia dalam Kehidupan Politik Indonesia – 30 Tahun Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hal.273. Bandingkan dengan Paulus Effendi 18 33

Kontrol normatif dari masyarakat sebetulnya juga sebagai penyeimbang dan koreksi terhadap norma hukum yang dibentuk agar tidak bertentangan dengan norma lainnya secara hierarkis. Dalam pengertian ini, maka terdapat relevansi positif antara kontrol normatif dengan negara hukum, sehingga prinsip-prinsip negara hukum benarbenar menjadi acuan untuk dijabarkan dalam berbagai bentuk produk hukum. Mengikuti pendapat Mahfud MD yang menyimpulkan bahwa karakter produk hukum ditentukan oleh konfigurasi politik yang melahirkannya, maka dengan sendirinya karakter produk hukum sangat ditentukan oleh kelompok dominan dengan mendasarkan prinsip “the rule of majority”.35 Oleh karena itu, dalam membentuk peraturan perundang-undangan tidak selamanya benar-benar untuk kepentingan objek yang diaturnya, dan belum tentu sesuai dengan jiwa dan nilai-nilai konstitusi yang berlaku, tetapi lebih banyak dipakai sebagai alat atau instrumen kekuasaan. Selain itu setiap produk hukum yang berbentuk undang-undang, maka terdapat kecenderungan pemerintah diberikan peluang yang besar untuk menerbitkan peraturan perundang-undangan sebagai peraturan pelaksana dari setiap undangundang. Hal ini, akan membuka peluang kemungkinan diciptakannya peraturan perundang-undangan yang tidak sejalan bahkan bertentangan dengan undang-undang yang memberikan delegasi tersebut. Kemungkinan peraturan pelaksana undang-undang bertentangan dengan undang-undang yang diaturnya sangat terbuka, jika hanya kepentingan kekuasaaan yang dikedepankan sebab kekuasaan itu cenderung untuk bersalah guna. Artinya kekuasaan memberikan peluang untuk melakukan kesewenang-wenangan,

Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal.xviii. 35 Mahfud MD, Perkembangan Politik Hukum, Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia, Disertasi Doktor dalam Ilmu Hukum di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1993, hal.14-15. 19

sehingga kekuasaan perlu dibatasi dan yang mampu membatasi itu adalah norma hukum itu sendiri.36 Dengan demikian, kontrol normatif ini perlu dikembangkan menjadi proses penyelenggaraan negara berdasarkan UUD Negara RI Tahun 1945 melalui mekanisme pengujian peraturan perundangundangan yang dijalankan oleh lembaga kekuasaan kehakiman yang berwibawa demi tegaknya negara hukum yang demokratis. C. Judicial Review dalam Perspektif Division/Separation of Powers Judicial review berkaitan erat dengan prinsip kekuasaan negara baik division of powers maupun separation of powers. Pemikiran tentang kekuasaan negara itu telah berkembang cukup lama, antara lain oleh Montesquieu.37 Pemikiran Montesqueiu itu didasarkan pada asas kemerdekaan (liberty) yang diartikan sebagai “a right of doing whatever the laws permit, and if a citizen could do what they forbit he would be no longer possesed of liberty, because all his fellow-citizens would have the same power”.38 Oleh karena itu, kemerdekaan sejati dapat dijamin jika ketiga kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, dan yudisial) tidak dipegang oleh satu tangan tetapi oleh badan (organ) yang masing-masing terpisah dan memiliki keseimbangan serta masing-masing dapat saling mengontrol. Jika kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial dipegang oleh satu tangan atau satu badan (organ) kekuasaan, maka tidak mungkin terlahir kemerdekaan, dan merupakan malapetaka bagi negara yang bersangkutan dan bagi kemerdekaan (liberty) individu.39

36

Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung: Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Rajawali Press, Jakarta, 2009, hal.70. 37 Charles de Scondat, Baron de Montesqueiu, The Spirit of Law, translated by Thomas Nugent, revised by J.V. Prichard, G. Bell & Son, London, 1914, hal.152-153. 38 Ibid., hal.152. 39 Ibid., hal.153. 20

Di samping prinsip pemisahan kekuasaan, juga terdapat prinsip pembagian kekuasaan yang menurut Ismail Sunny dengan mendasarkan pada pemikiran Jennings dengan membedakan pemisahan kekuasaan negara dalam arti materiil dan pemisahaan kekuasaan dalam arti formil. Pemisahan kekuasaan dalam arti materiil adalah pemisahan kekuasaan dalam arti pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam tugas-tugas kenegaraan yang memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudisial. Sedangkan yang dimaksud dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formil adalah pembagian kekuasaaan tidak dilakukan secara tegas. Pemisahan kekuasaan dalam arti materiil disebut dengan “separation of powers”, sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formil disebut dengan “division of powers”.40 Prinsip kekuasaan negara dalam perspektif UUD 1945 (pra amandemen) tidak menganut separation of powers, tetapi mempraktikan division of powers.41 UUD 1945 menentukan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, sehingga sumber kekuasaan itu hanya ada pada rakyat dan pada hakikatnya MPR yang memegang kekuasaan tertinggi untuk dan atas nama rakyat. Sumber kekuasaan yang dilekatkan pada MPR berfungsi terus dan tidak habis, walaupun sebagian kekuasaan dilimpahkan kepada lembaga negara lain. Setelah amandemen UUD 1945 prinsip division of powers ditinggalkan dan diganti dengan prinsip separation of powers dan checks and balances. Dalam perspektif pengujian peraturan perundang-undangan, maka dalam prinsip division of powers yang mengedepankan supremasi parlemen tidak dibenarkan lembaga negara yang sederajat menilai dan menguji segala produk hukum lembaga negara yang diberikan kewenangan oleh konstitusi sebagai pembuatnya.42 40

Ismail Sunny, Pembagian Kekuasaan Negara, Aksara Baru, Jakarta, 1982, hal.3. 41 Ibid. 42 Jimly Asshiddiqqie sebagaimana dikutip Zainal Arifin Hoesein, Op.cit., hal.75. 21

Lembaga yudisial tidak diperkenankan menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD. Jadi, dalam perspektif ini UUD 1945 (pra amandemen) tidak mengenal “pengujian undang-undang terhadap UUD”, melainkan hanya “pengujian peraturan perundangundangan di bawah undang-undang”.43 Sedangkan paska amandemen dengan dianutnya prinsip separation of powers dan checks and balances tidak ada lagi lembaga negara yang superior, tetapi semua lembaga negara kedudukannya sederajat dan dibedakan pada fungsi dan tugas sebagaimana diatur dalam UUD Negara RI Tahun 1945. Demikian pula dalam hal pengujian peraturan telah berubah sangat mendasar, yakni diperkenankannya pengujian undang-undang terhadap UUD yang kewenangannya dilekatkan pada Mahkamah Konstitusi, dan pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang yang kewenangannya dilekatkan kepada Mahkamah Agung.

43

Lihat Pasal 26 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, Pasal 31 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 dan Pasal 11 Tap MPR No. III/MPR/1978, Pasal 5 Tap MPR No. III/MPR/2000. 22

BAB III PELAKSANAAN UJI MATERIIL OLEH MAHKAMAH AGUNG A. Tenggang Waktu Pengajuan Permohonan Sebelum berlakunya Perma No. 1 Tahun 2011, landasan beracara Hak Uji Materiil didasarkan pada Perma No. 1 Tahun 2004. Menurut Pasal 2 Ayat (4) Perma No. 1 Tahun 2004 dinyatakan bahwa “Permohonan keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”.44 Dari Perma tersebut tidak tampak adanya pertimbangan yang memadai mengapa pengajuan permohonan keberatan dibatasi tenggang waktunya. Tidak ada dasar pijakan yang rasional dan ilmiah. Mengapa pengajuan permohonan harus dibatasi tenggang waktu. Mengapa tenggang waktu yang ditetapkan adalah 180 (seratus delapan puluh) hari, tidak lebih atau tidak kurang dari 180 (seratus delapan puluh) hari. Lazimnya pembatasan tenggang waktu dimaksudkan untuk menjamin adanya kepastian hukum (rechtzekerheid, legal certainty). Dalam konteks perlindungan hukum melalui peradilan administrasi misalnya, dikehendaki adanya kepastian hukum bagi badan atau pejabat TUN yang menerbitkan beschikking, sehingga beschikking tersebut tidak dipersoalkan keabsahannya setiap waktu. Badan atau pejabat TUN menghendaki adanya jaminan kepastian hukum agar dalam pelaksanaan tugas-tugasnya tidak berlarut-larut dalam suatu 44

Bandingkan dengan hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut Pasal 55 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, gugatan hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Demikian pula dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi, Pasal 50 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menentukan bahwa undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 23

sengketa. Demikian pula pembatasan tenggang waktu dalam Hak Uji Materiil juga dimaksudkan agar dapat memberikan jaminan kepastian hukum. Namun, tidak jarang kepastian hukum itu berhadap-hadapan dengan kepentingan individu atau kepentingan kelompok yang merasa dirugikan dengan berlakunya peraturan tersebut, sekalipun tenggang waktu mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud di atas, telah terlampaui. Dalam perkembangan berikutnya pembatasan tenggang waktu pengajuan Hak Uji Materiil dicabut. Perma No. 1 Tahun 2004 dicabut dan diganti dengan Perma No. 1 Tahun 2011. Perubahan yang mendasar dari Perma yang terakhir adalah dihapusnya ayat (4) dari Pasal 2, yang mengatur tentang pembatasan tenggang waktu pengajuan permohonan keberatan, sehingga Pasal 2 yang semula terdiri dari 5 ayat berubah menjadi 4 ayat. Alasan yang paling mendasar dari pencabutan itu adalah bahwa pembatasan tenggang waktu pengajuan permohonan keberatan Hak Uji Materiil tidak tepat diterapkan bagi aturan yang bersifat umum (regelend), karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan tidak sesuai dengan hukum yang hidup (the living law).45 Alasan tersebut didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan hukum yang tercantum dalam putusan Mahkamah Agung RI antara lain:46 1. Putusan Hak Uji Materiil No. 25 P/HUM/2006 tanggal 30 Agustus 2006; 2. Putusan Hak Uji Materiil No. 41 P/HUM/2006 tanggal 21 November 2006; 3. Putusan Hak Uji Materiil No. 37 P/HUM/2008 tanggal 18 Maret 2009; 4. Putusan Hak Uji Materiil No. 03 P/HUM/2011 tanggal 25 April 2011. Pertimbangan Majelis Hakim untuk mengesampingkan tenggang waktu [Pasal 2 Ayat (4)] dalam putusan yang pertama dan kedua pada 45 46

Konsideran faktual huruf b Perma No. 1 Tahun 2011. Konsideran faktual huruf d Perma No. 1 Tahun 2011. 24

intinya sama, sedangkan dalam putusan yang ketiga dan keempat masing-masing berbeda. Menarik kiranya apabila keempat putusan itu kita telaah satu persatu. 1. Putusan No. 25 P/HUM/2006 Pemohon, PT. Wisata Hiburia, mengajukan permohonan pengujian Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian sebagai Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 tentang Penerbitan Perjudian. Mengenai tenggang waktu, Pemohon dalam dalil permohonannya mengakui pengajuan permohonannya telah lewat tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 Ayat (4) Perma No. 1 Tahun 2004. Namun, menurut Pemohon dalam peraturan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 24A Ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945, Pasal 31 dan 31A Undang-Undang No. 5 Tahun 2004, serta Pasal 11 Ayat (2) Huruf b Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tidak mengatur secara tegas mengenai tenggang waktu pengajuan permohonan keberatan Hak Uji Materiil ke Mahkamah Agung. Lagipula apabila Mahkamah Agung menyatakan tidak berwenang hanya karena hal-hal yang bersifat formalitas seperti halnya tenggang waktu, maka tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh, selain mengajukan permohonan keberatan ke Mahkamah Agung. Pertimbangan Majelis Hakim untuk sampai pada konklusi mengesampingkan Pasal 2 Ayat (4) Perma No. 1 Tahun 2004 adalah sebagai berikut: 1. Bahwa pada hakekatnya, ditinjau dari segi perbandingan hukum (comparative law study) baik dalam sistem hukum civil law (Eropa Kontinental) maupun common law (Anglo Saxon) tidak dikenal adanya pembatasan waktu (limit) atas tenggang waktu untuk mengajukan permohonan judicial review terhadap peraturan yang berlaku secara umum; 2. Bahwa demikian pula ditinjau secara analogi dengan prosedur yang berlaku di Mahkamah Konstitusi di 25

Indonesia, juga tidak dikenal adanya pembatasan tenggang waktu untuk mohon judicial review terhadap produk undang-undang, sehingga dalam kenyataan ada pembatalan atau pernyataan tidak sah beberapa ketentuan undang-undang yang berlakunya sudah sejak beberapa tahun lalu; 3. Bahwa demikian pula ditinjau secara teoritis filosofis, suatu pembatasan terhadap hak seseorang untuk menggugat dengan batasan tenggang waktu, pada hakekatnya merupakan pengurangan Hak Asasi Manusia dan kebebasan menggugat yang apabila hal itu memang perlu diadakan maka haruslah dituangkan dalam suatu undang-undang dan hukum acara, dan bukannya dalam suatu bentuk produk hukum yang lebih rendah daripada undang-undang, termasuk juga tidak dalam suatu Peraturan Mahkamah Agung; 4. Bahwa ditinjau dari hukum positif, yaitu sumber hukum diakuinya judicial review terhadap peraturan-peraturan di bawah derajat undang-undang ialah Pasal 11 Ayat (2) b Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan juga Pasal 31 dan Pasal 31A UndangUndang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI, ternyata memang tidak dicantumkan adanya pembatasan tenggang waktu untuk mengajukan gugatan/permohonan judicial review; Pembatasan tenggang waktu 180 hari hanya muncul dalam suatu Peraturan Mahkamah Agung, yaitu Perma No. 1 Tahun 2004 Pasal 2 Ayat (4) sedangkan secara historis dalam Perma asalnya permulaan yaitu Perma No. 1 Tahun 1993 sebetulnya tidak diatur tentang pembatasan tenggang waktu pengajuan judicial review; Keempat argumentasi - melalui pendekatan komparasi dengan sistem hukum lain, pendekatan analogi dengan prosedur pada Mahkamah 26

Konstitusi, pendekatan filosofis, dan pendekatan yuridis normatif - itu menjadi landasan bagi Majelis Hakim untuk mengesampingkan ketentuan Pasal 2 Ayat (4) Perma No. 1 Tahun 2004.47 Sebenarnya hal yang sama juga pernah dilakukan beberapa kali oleh Mahkamah Konstitusi. Pada saat menguji Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung terhadap UndangUndang Dasar Negara RI Tahun 1945. Majelis Hakim menyatakan berwenang menguji Undang-Undang No. 14 Tahun 1985.48 Demikian pula dalam perkara yang lain saat Mahkamah Konstitusi menguji Undang-Undang No. 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri terhadap Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi menyatakan berwenang menguji UndangUndang No. 1 Tahun 1987.49 Padahal Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 diundangkan tanggal 30 Desember 1985 dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1987 diundangkan pada tanggal 28 Januari 1987, sedangkan perubahan pertama UUD pada tahun 1999. Di sini Majelis Hakim telah mengesampingkan ketentuan Pasal 50 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003.50 Penulis pada saat masih bertugas pada Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang juga pernah memutus sengketa dengan 47

Istilah “menyampingkan” norma juga digunakan oleh Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, serta Peter Mahmud Marzuki. Lihat Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum (Legal Argumentation/Legal Reasoning): Langkah-langkah Legal Solving dan Penyusunan Legal Opinion, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2008, hal.32; Lihat juga Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hal.99. 48 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 004/PUU-I/2003, 30-12-2003. 49 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 066/PUU-II/2004, 12-04-2005. 50 Pasal 50 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menentukan “Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945”. Penjelasan Pasal 50 berbunyi “Yang dimaksud dengan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah perubahan pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999”. 27

mengesampingkan Pasal 55 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986.51 Pada saat itu penggugat mempersoalkan keabsahan suatu Akta Kelahiran. Penggugat pernah mengajukan sengketa itu ke Peradilan Negeri, akan tetapi dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard). Pengadilan Negeri berpendapat sengketa terhadap keabsahan Akta Kelahiran menjadi kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara. Akhirnya, Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang dengan alasan bahwa akta tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Setelah melalui pemeriksaan, ternyata Majelis berkesimpulan keputusan objek sengketa telah lewat waktu, namun diperoleh fakta hukum bahwa akta tersebut diterbitkan atas dasar Akta Nikah yang palsu (dwaling). Hal itu diakui oleh pejabat yang berwenang menerbitkan akta nikah, Kantor Urusan Agama. Berdasarkan musyawarah bulat, Majelis Hakim berkeputusan untuk menyatakan berwenang memeriksa dan memutus objek sengketa dengan mengesampingkan Pasal 55 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986. Dalam pokok perkara Majelis Hakim mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya dan membatalkan Akta Kelahiran yang menjadi objek sengketa. Argumentasi Majelis Hakim untuk sampai kepada konklusi tersebut, apabila Pengadilan menyatakan tidak berwenang hanya karena telah lewat waktu, maka sama saja Pengadilan membiarkan sesuatu tindakan hukum yang bertentangan dengan hukum itu berjalan terus di dalam masyarakat, sedangkan hal itu ada di hadapan hakim untuk memutusnya. Akibatnya apabila dibiarkan tertib hukum dalam masyarakat akan terganggu. Di samping itu Majelis juga melihat ada tarik menarik antara kepastian hukum di satu sisi dan keadilan di sisi lain. Dalam sengketa ini Majelis menggunakan pendekatan teori 51

Pasal 55 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa “Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara”. 28

spanungsverhaltnis (Gustav Radbruch), ... where statutory law is incompatible wiht the requirements of justice “to an intolerable degree”, or where statutory law was obviosly designed in a way that deliberately negates “the equality that is the core of all justice”, statutory law must be disregarded by a judge in favour of the justice principle. Oleh karena itu, Majelis Hakim lebih mengedepankan nilai keadilan daripada kepastian hukum, guna menyelesaikan masalah.52 Dalam kasus tersebut Majelis telah melakukan rule breaking. Hakim telah mengesampingkan salah satu pasal tertentu, dan tetap memberlakukan pasal-pasal yang lain, sehingga tidak semua ketentuan dalam Perma diberlakukan atau ada sebagian (partial) dari Perma yang harus dipatuhi sedangkan sebagian lainnya tidak perlu diberlakukan. Suteki menyebutnya dengan istilah “kebijakan tidak menegakkan hukum” (non enforcement of law).53 Sikap tidak menerapkan hukum itu sebenarnya sudah lama dilakukan pada saat pemerintahan khulafaur rasyidin. Khalifah Umar ibnu Khattab tidak mengenakan pidana potong tangan terhadap gembala yang “mencuri” kambing milik tuannya, karena ternyata sang tuan tidak melaksanakan kewajiban yang menjadi hak pengembala, tidak membayar gembala sebagaimana mestinya. Khalifah Umar juga tidak menerapkan ancaman pidana maksimal terhadap pencurian pada saat terjadi paceklik yang mengakibatkan terjadinya kelaparan. 2. Putusan No. 41 P/HUM/2006 Pemohon, Drs. H.M. Irsjad Djuwaeli, MM, dkk, mengajukan permohonan pengujian Peraturan Pemerintah No. 06 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian 52

Putusan PTUN Semarang No. 08/G/2009/PTUN-Smg, 03-062009. Sengketa ini selesai pada tingkat pertama, karena kedua belah pihak tidak mengajukan upaya hukum banding. 53 Suteki, Kebijakan Tidak Menegakkan Hukum (Non Enforcement of Law) Demi Pemuliaan Keadilan Substantif, Pengukuhan Guru Besar pada Jurusan Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 04-08-2010. 29

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terhadap Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Mengenai tenggang waktu, Pemohon mendalilkan bahwa meskipun permohonan keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak berlakunya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, namun demikian Mahkamah Agung tidak membiarkan suatu peraturan yang jelas-jelas telah dibuat secara keliru dan menyimpang, terlebih lagi para pemohon baru mempunyai kedudukan hukum (standing in judicio) dalam mengajukan permohonan setelah ditetapkan sebagai pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Banten Periode Tahun 2007-2012 oleh KPU Provinsi Banten. Pertimbangan Majelis Hakim untuk sampai pada konklusi mengesampingkan Pasal 2 Ayat (4) Perma No. 1 Tahun 2004 kurang lebih sama dengan pertimbangan dalam Putusan Hak Uji Materiil No. 25 P/HUM/2006 sebagaimana diuraikan di atas. Oleh karena itu, tidak diulas kembali. 3. Putusan No. 37 P/HUM/2008 Pemohon, Asosiasi Tangki Timbun dan Pemompaan Belawan, mengajukan permohonan pengujian terhadap Keputusan Direksi PT. (Persero) Pelabuhan I tentang Pelaksanaan Penerapan Besaran Tarif Pelayanan Jasa Pipa Terpadu untuk Kegiatan Bongkar Muat Minyak Kelapa Sawit dan Hasil Turunannya serta Barang Curah Cair Lainnya di Cabang Pelabuhan Belawan. Dalam permohonannya, Pemohon tidak mendalilkan tentang tenggang waktu. Namun mereka mengemukakan bahwa keputusan tersebut telah digugat melalui Peradilan Tata Usaha Negara hingga digunakan upaya hukum luar biasa. Dalam putusan tersebut Hakim Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa keputusan tersebut tidak bersifat konkret, individual dan final, akan tetapi merupakan peraturan yang bersifat

30

umum. Oleh karena itu, menjadi objek perkara Hak Uji Materiil Mahkamah Agung.54 Selanjutnya Majelis Hakim Hak Uji Materiil dalam pertimbangannya mengenai tenggang waktu mengemukakan, pertama, penghitungan tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari dihitung sejak pendaftaran gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara Medan, tanggal 27 September 2005, dan objek Hak Uji Materiil diterbitkan tanggal 16 September 2005, sehingga secara formal permohonan dapat diterima; kedua, Majelis merujuk pada kedua putusan di atas,55 dengan mengesampingkan pembatasan tenggang waktu sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (4) Perma No. 1 Tahun 2004. Pertimbangan itu menurut Penulis, ambigu. Di satu sisi, Majelis menyatakan masih dalam tenggang waktu, tapi di sisi lain, mengesampingkan pembatasan tenggang waktu. Jadi terjadi kontraktif di antara pertimbangannya. Seharusnya untuk menjaga konsistensi dengan putusan-putusan sebelumnya, Majelis cukup menggunakan pertimbangan hukum yang kedua. 4. Putusan No. 03 P/HUM/2011 Pemohon, Ariyadi, mengajukan permohonan pengujian terhadap Pasal 2 Ayat (4) Perma No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil (objek pertama) dan Pasal 1 Angka 2 Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 88 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok (objek kedua). Pemohon dalam permohonannya mendalilkan bahwa dengan adanya objek yang pertama hak pemohon untuk mengajukan uji materi terhadap objek yang kedua menjadi terhalang, 54

Putusan PTUN Medan No. 77/G.TUN/2005/PTUN-MDN, 27-092005, Putusan Kasasi No. 437K/TUN/2006, 12-06-2007, dan Putusan Peninjauan Kembali No. 53PK/TUN/2008, 27-10-2008. 55 Kedua putusan yang dimaksud adalah Putusan Mahkamah Agung No. 25 P/HUM/2006, 30-08-2006 dan Putusan No. 41 P/HUM/2006, 21-112006. 31

oleh karena itu agar dapat menguji objek yang kedua, objek yang pertama harus dinyatakan batal terlebih dahulu.56 Dalil yang menjadi dasar permohonan pembatalan objek pertama karena jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari itu tidak mempunyai dasar hukum dan logika hukum yang kuat. Terhadap dalil permohonan tersebut, Termohon I mengemukakan dalil sanggahannya yang pada intinya, pertama, ketentuan pembatasan tenggang waktu tidak dapat dipertentangkan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, karena tidak ada satu pasal pun dari peraturan-peraturan tersebut yang melarang Mahkamah Agung mengatur pembatasan tenggang waktu; kedua, pada hakikatnya Perma merupakan kebijakan yudikatif yang tidak dapat diuji kecuali apabila terdapat adanya abuse of power, atau willekeur, atau bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik; ketiga, melanggar asas nemo yudex in rex sua. Pertimbangan majelis mengenai pembatasan tenggang waktu kurang lebih sama dengan dalil jawaban Termohon I, sebagai berikut: ... apabila permohonan Hak Uji Materiil ke-1 a quo sekiranya akan diperiksa dan diadili maka hal itu akan melanggar azas “nemo judex in rex sua” yang berarti bahwa Pengadilan (Hakim) tidak dapat dan tidak boleh mengadili sendiri suatu perkara (sengketa) ... di mana ia sendiri mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung, apalagi peraturan yang ia buat sendiri. Lebih lanjut Majelis mempertimbangkan: ... suatu keberatan adanya tenggang waktu dalam kasus perkara Hak Uji Materiil terhadap peraturan yang bersifat umum dan berlaku untuk semua orang ... memang dapat diterima dan dijadikan wacana atau masukan bagi Mahkamah Agung untuk pemikiran apakah dapat atau tidak dapat

56

Konstruksi hukum yang dibangun oleh Pemohon dalam dalil permohonannya mirip dengan permohonan dalam perkara Mahkamah Konstitusi No. 066/PUU-II/2004. 32

menerapkan tenggang waktu dalam kebijakan tersebut, yang bertujuan revisi tentang tenggang waktu tersebut. ... Sehingga langkah konkrit yang dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung selanjutnya adalah proaktif melakukan revisi terhadap Perma No. 1 Tahun 2004, khususnya hanya terhadap Pasal 2 ayat (4) saja .... Hal yang menarik dari pertimbangan di atas, adalah mengenai penerapan asas nemo judex in rex sua dalam perkara Hak Uji Materiil ini. Hakim mengambil sikap untuk tidak memeriksa perkara tersebut karena mempunyai kepentingan langsung. Namun, dalam perkara Hak Uji Materiil yang lain Majelis menerobos asas tersebut, misalnya dalam perkara pengujian Keputusan Bersama KMA dan Ketua KY tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (SKB KEPPH).57 Mengenai hal ini akan diuraikan dalam sub bab berikutnya. Sedangkan dalam pertimbangan selanjutnya Majelis secara eksplisit menguraikan gagasan penghapusan pembatasan tenggang waktu sebagai dasar revisi Perma No. 1 Tahun 2004 terutama pencabutan Pasal 2 Ayat (4). Putusan-putusan itu yang menjadi dasar terbitnya Perma No. 1 Tahun 2011. Perubahan yang signifikan dari Perma yang terakhir itu adalah dihapuskannya Pasal 2 Ayat (4) yang mengatur pembatasan tenggang waktu. Persoalannya adalah adakah keterkitan antara terbitnya Perma No. 1 Tahun 2011 dengan pengujian SKB KEPPH dan benarkah Perma No. 1 Tahun 2011 dimaksudkan untuk meloloskan permohonan pengujian SKB KEPPH di Mahkamah Agung? Apabila kita melihat rentang waktu antara pendaftaran permohonan pengujian SKB KEPPH (05-09-2011) dengan putusan yang menjadi dasar penerbitan Perma No. 1 Tahun 2011, terutama putusan yang pertama (30-08-2006), maka jaraknya sangat jauh. Dalam putusan pertama tersebut Majelis Hakim sudah mengambil sikap untuk mengesampingkan pembatasan tenggang waktu, dan 57

Putusan Mahkamah Agung No. 36 P/HUM/2011, 09-02-2012. 33

putusan itu kemudian diikuti oleh putusan-putusan Hak Uji Materiil berikutnya. Dapat dikatakan bahwa hal itu sudah menjadi pendirian hakim pada saat melakukan uji materiil. Artinya, tanpa ada Perma No. 1 Tahun 2011 pun Hakim telah mempunyai landasan yuridis yang kuat untuk mengesampingkan Pasal 2 Ayat (4). Persoalan terbitnya Perma No. 1 Tahun 2011 yang merevisi Perma No. 1 Tahun 2004 adalah hal yang berbeda. Dengan demikian, menurut Penulis tidak terdapat keterkitan antara terbitnya Perma No. 1 Tahun 2011 dengan permohonan pengujian SKB KEPPH, oleh karena itu tidak tepat kalau dikatakan Perma No. 1 Tahun 2011 dimaksudkan untuk meloloskan permohonan pengujian SKB KEPPH di Mahkamah Agung. Selanjutnya, muncul problematika lain paska diterbitkannya Perma No. 1 Tahun 2011. Bagaimana implikasi terhadap penghapusan tenggang waktu pengajuan permohonan keberatan Hak Uji Materiil? Hasil Rapat Pleno Kamar Tata Usaha Negara, bagian tentang permohonan Hak Uji Materiil dikemukakan 3 (tiga) permasalahan, dua di antaranya mengandung persoalan yuridis yang serius, yaitu:58 1. Apakah terhadap permohonan HUM yang telah diputus “NO” karena telah lewat waktu dapat diajukan kembali? 2. Apakah terhadap peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan sebelum Perma No. 1 Tahun 2011 diterbitkan dapat diajukan HUM? Rapat pleno menghasilkan kesimpulan kesepakatan, sebagai berikut: 1. Permohonan HUM yang telah diputus “NO” karena telah lewat waktu, apabila diajukan kembali maka harus dinyatakan tidak dapat diterima (“NO”), karena ne bis in idem.59 58

Rapat Pleno Kamar Tata Usaha Negara dilaksanakan pada 11-13 April 2012 di Arya Duta Hotel Karawaci Tangerang. 59 Hasil kesepakatan poin 1 ini bertolak belakang dengan Surat Ketua Mahkamah Agung RI No. 163/KMA/HK.01/XII/2011, 12-12-2011, yang menyatakan bahwa “Oleh karena ketentuan mengenai tenggang waktu pengajuan permohonan Hak Uji Materiil sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (4) telah dicabut berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 01 Tahun 2011, maka perubahan ketentuan tersebut dapat dipakai sebagai alasan/dasar hukum untuk mengajukan kembali permohonan 34

2. Perma No. 1 Tahun 2011 tidak berlaku surut. Oleh karenanya pengajuan HUM terhadap peraturan perundang-undangan yang diterbitkan dan pernah diajukan sebelum dikeluarkan Perma tersebut, berlaku ketentuan Perma sebelumnya yaitu Perma No. 1 Tahun 2004. Sedangkan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang diterbitkan sebelum dikeluarkan Perma tersebut dan belum pernah diajukan HUM diberlakukan Perma No. 1 Tahun 2011. (garis bawah dari Penulis) Hasil kesepakatan angka 1 di atas dapat menimbulkan persoalan baru. Bagaimana apabila perkara uji materiil yang mau diajukan itu terkait dengan perkara lain. Ambil saja contoh, suatu peraturan pernah diajukan untuk diuji, dan telah diputus “NO” karena daluwarsa berdasarkan Perma No. 1 Tahun 2004. Kemudian dengan adanya Perma No. 1 Tahun 2011 yang menghapus pembatasan tenggang waktu ia mengajukan uji materiil kembali. Pengajuan yang kedua ini karena pemohon telah menang dalam suatu sengketa melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Putusan itu tidak bisa dilaksanakan karena ada peraturan yang menghalangi dilaksanakannya putusan. Persoalannya adalah apabila permohonan uji materiil yang kedua itu dinyatakan “NO” karena ne bis in idem, maka putusan PTUN tidak dapat dilaksanakan - padahal hakim yang memutus dalam sengketa TUN itu ikut memeriksa juga perkara Hak Uji Materiil. Tentunya hal itu akan menciderai rasa keadilan masyarakat. Oleh karena itu, menurut Penulis sebaiknya penerapan kesepakatan Hasil Rapat Pleno itu dilihat secara kasuistis. Kemudian hasil kesepakatan angka 2 di atas juga membingungkan. Kalimat pertama dan ketiga mengandung keberatan Hak Uji Materiil …”. Kalimat tersebut mengisyaratkan bahwa apabila ada suatu permohonan keberatan Hak Uji Materiil yang pernah diajukan berdasarkan Perma No. 1 Tahun 2004 dan dinyatakan daluwarsa kemudian paska diberlakukannya Perma No. 1 Tahun 2011 pemohon mengajukan kembali keberatan Hak Uji Materiil dengan objek yang sama, maka tidaklah dipandang sebagai ne bis in idem. 35

kontradiktif. Di satu sisi, menyatakan Perma yang baru tidak berlaku surut, tapi di sisi lain menyatakan Perma menjangkau objek HUM yang diterbitkan sebelum Perma tersebut. Sedangkan kalimat kedua mengandung makna yang ambigu. Kata “pernah diajukan” dapat dimaknai: pertama, pernah diajukan kemudian diajukan kembali, dan kedua, pernah diajukan dan pada saat ini masih diperiksa. Seharusnya kalimatnya dapat disusun lebih sederhana tapi maknanya presisi dan stipulatif, misalnya objek HUM yang diterbitkan sebelum Perma No. 1 Tahun 2011 diberlakukan Perma No. 1 Tahun 2011 karenanya dapat diajukan HUM. Sedangkan terhadap objek HUM yang telah didaftar dan masih diperiksa oleh MA berlaku Perma No. 1 Tahun 2004. Dalam praktik, di kalangan hakim agung kamar TUN juga berkembang 2 (dua) pendapat, pendapat pertama menyatakan hanya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang terbit setelah berlakunya Perma No. 1 Tahun 2011 saja yang dapat menjadi objek HUM. Pendapat kedua menyatakan tidak hanya peraturan yang terbit setelah Perma yang baru tetapi juga peraturan yang terbit sebelum Perma.60 Menyikapi perbedaan pendapat itu, menurut Penulis pertanyaan mendasar yang harus dikaji adalah apakah penghapusan pembatasan tenggang waktu itu dimaksudkan hanya untuk peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang diundangkan setelah terbitnya Perma No. 1 Tahun 2011. Jika seandainya benar, apakah kekosongan aturan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang diundangkan sebelum Perma No. 1 Tahun 2011 dan dipandang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tersedia lembaga tersendiri untuk mengujinya. Secara yuridis normatif tidak ada badan peradilan atau lembaga tertentu yang berwenang untuk memeriksa dan memutus peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang diundangkan sebelum terbitnya Perma No. 1 Tahun 2011. Pembatasan pengujian hanya terhadap peraturan perundangundangan di bawah undang-undang yang diundangkan sebelum 60

Wawancara, 02-07-2013. 36

terbitnya Perma No. 1 Tahun 2011 dapat melahirkan perlakuan diskriminatif yang mencolok dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Manakala diterapkan akan membiarkan adanya ketidak-adilan yang boleh diterima oleh warga negara karena dia diundangkan sebelum terbitnya Perma No. 1 Tahun 2011 dan ketidak-adilan yang dikandung oleh peraturan perundangundangan di bawah undang-undang yang diundangkan setelah terbitnya Perma No.1 Tahun 2011, yang tidak diterima dan boleh diuji oleh Mahkamah Agung. Pendapat pertama akan menciptakan berlakunya tolok ukur ganda dalam sistem hukum Indonesia dengan tetap membiarkan sah dan mempunyai kekuatan hukum mengikat peraturan perundang-undangan di bawah yang diundangkan sebelum terbitnya Perma No. 1 Tahun 2011, meskipun peraturan tersebut jelasjelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan merugikan hak-hak warga negara, sementara itu pada waktu yang bersamaan harus dinyatakan sebagai tidak sah peraturan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan merugikan hak-hak warga negara.61 Berdasarkan argumentasi tersebut, menurut Penulis Hakim karena jabatannya berwenang untuk menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang yang diundangkan sebelum terbitnya Perma No. 1 Tahun 2011. B. Kedudukan Hukum Pemohon (Legal Standing) Dalam Black’s Law Dictionary, standing disebut pula sebagai standing to sue, yang diartikan “a party’s right to make a legal claim

61

Adanya suatu kekhawatiran bahwa dengan dihapuskannya pembatasan tenggang waktu pengajuan permohonan Hak Uji Materiil, dan jangkauan Perma No. 1 Tahun 2011 terhadap objek Hak Uji Materiil yang terbit sebelum diberlakukannya Perma No.1 Tahun 2011 akan dibarengi dengan peningkatan masuknya permohonan keberatan Hak Uji Materiil yang signifikan, ternyata tidak mempunyai alasan yang kuat, karena dengan pembatasan tersebut permohonan keberatan Hak Uji Materiil yang masuk paska Perma No. 1 Tahun 2011 tidak begitu signifikan. 37

or seek judicial enforcement of dutybor right”.62 Dijelaskan pula bahwa: To have standing in federal court, a plaintiff must show (1) that the challenged has conduct caused the plaintiff actual injury, and (2) that the interest sought to be protected is within the zone of interests meant to be regulated by the statutory or constitutional guarantee in question.63 Harjono mengemukakan pengertian legal standing sebagai keadaan di mana seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan sengketa atau perkara.64 Legal standing mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan dalam undang-undang, dan syarat materiil yaitu kerugian hak dengan berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. Pasal 31A Ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa: Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau c. badan hukum publik atau badan hukum privat.65 62

Brian A. Gamer, ed, Black’s Law Dictionary, 9th, St. Paul, MN. Thomson Reuters, 2009, hal.1536. 63 Ibid. 64 Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa: Pemikiran Hukum Dr. Harjono, S.H., M.CL. Wakil Ketua MK, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008, hal.176. 65 Pemohon keberatan sebagaimana diuraikan dalam Pasal 31A di atas lebih luas dibandingkan dengan pengaturan dalam Pasal 1 Angka 4 38

Dalam Penjelasannya ditentukan bahwa yang dimaksud dengan “perorangan” adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa setiap pemohon harus: (i) salah satu dari ketiga kelompok subjek hukum tersebut di atas; (ii) subjek hukum tersebut memang mempunyai hak; (iii) hak yang bersangkutan memang dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang dipersoalkan; (iv) timbulnya kerugian dimaksud terdapat hubungan sebab akibat atau hubungan kausal (causal verband); dan (v) apabila permohonan yang bersangkutan kelak dikabulkan, maka kerugian yang bersangkutan memang dapat dipulihkan kembali dengan dibatalkannya peraturan perundang-undangan di bawah undangundang dimaksud.66 Apabila kelima kriteria itu tidak dapat dipenuhi secara kumulatif, maka yang bersangkutan dapat dipastikan tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan keberatan uji materiil ke Mahkamah Agung. Menurut Jimly Asshiddiqie,67 dalam sengketa pengujian undang-undang terhadap UUD di Mahkamah Konstitusi untuk membuktikan apakah seseorang atau kelompok masyarakat atau badan tertentu adalah salah satu dari keempat subjek hukum sebagaimana Perma No. 1 Tahun 2011 yang hanya menentukan “kelompok masyarakat” atau “perorangan”. Dengan demikian, menurut Penulis ketentuan Pasal 1 Angka 4 tersebut telah mereduksi ketentuan undang-undang. Sedangkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah memperluas subjek pemohon Hak Uji Materiil. Dalam hal kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) tidak menerima peraturan presiden tentang keputusan pembatalan peraturan daerah, dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung [Pasal 158 Ayat (7)]. 66 Bandingkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUUIII/2005 (halaman 16), yang menyebutkan adanya 5 (lima) syarat mengenai kerugian hak konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2011. 67 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal.71. 39

dimaksud dalam Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003, pemohon harus memperlihatkan bukti-bukti yang memadai, seperti kartu tanda penduduk, kartu pengenal, passport, akta kelahiran, akta yayasan, atau surat pengesahan badan hukum atau dokumendokumen lain yang diperlukan. Selanjutnya harus dibuktikan pula bahwa dalam UUD memang benar terdapat jaminan-jaminan bahwa yang bersangkutan mempunyai hak atau kewenangan konstitusional dimaksudkan itu dianggap telah dirugikan atau dilanggar oleh berlakunya undang-undang yang bersangkutan. Sekalipun uraian tersebut diperuntukan bagi pengujian undang-undang terhadap UUD, namun menurut Penulis hal itu dapat diterapkan pada penilaian legal standing pada uji materiil di Mahkamah Agung karena sifat normanya sama yaitu bersifat abstrak dan ditujukan kepada umum, sekalipun norma yang diuji oleh MK adalah undang-undang dan norma yang diuji oleh MA adalah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. 1. Perorangan warga negara Indonesia Dalam Penjelasan Pasal 31A Ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 diatur bahwa “perorangan” adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama. Dalam praktik terdapat kasus yang permohonannya diajukan oleh perorangan dalam arti orang perseorangan maupun sebagai kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama. Dalam kasus Mardonan Yupiterson Nyola yang mengajukan pengujian melalui Perkara No. 18P/HUM/2010,68 ia benar-benar sendirian sebagai warga negara. Pertimbangan Majelis Hakim untuk mengabulkan legal standing didasarkan pada dalil permohonan Pemohon. Tidak ditemukan buktibukti yang mendukung dalil-dalil permohonan Pemohon tersebut. 68

Lihat Putusan No. 18 P/HUM/2010 mengenai pengujian Peraturan KPU No. 61 Tahun 2009 tentang Pedoman Tekhnis Penetapan Jumlah dan Tata Cara Pengisian Keanggotaan DPRD Kabupaten/Kota Induk dan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. 40

Demikian pula dalam Perkara No. 45 P/HUM/2010,69 I Wayan Sukaja juga sendirian sebagai perorangan warga negara. Dalam pertimbangan hukum putusan ini tidak ditemukan pertimbangan mengapa Majelis mengabulkan legal standing dari Pemohon. Majelis langsung memberikan konklusi dengan menyatakan “… oleh karena Pemohon Keberatan memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan keberatan, maka secara formal prosedural permohonan mana dapat diterima”. Selanjutnya, dalam kasus Perkara No. 29 P/HUM/2005,70 Pemohon sebanyak 2.951 (dua ribu sembilan ratus lima puluh satu) orang sebagai kelompok masyarakat yang mempunyai kepentingan yang sama. Dalam pertimbangan hukum putusan ini tidak ditemukan pertimbangan mengenai legal standing, sekalipun Majelis telah memeriksa pokok perkara. Dalam perkara No. 36 P/HUM/2011,71 Pemohon sebagai advokat maupun pribadi adalah pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya butir-butir dimasud dalam SKB tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Pemberlakuan butir-butir SKB dimaksud dinilai oleh Pemohon akan mengancam kemerdekaan 69

Lihat Putusan No. 45 P/HUM/2010 mengenai pengujian Keputusan KPU Kabupaten Tabanan No. 41/KPU Kab. Tbn/2010, 10-052010, tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Tabanan Tahun 2010. 70 Lihat Putusan No. 29 P/HUM/2005 mengenai pengujian Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 36 Tahun 2005, 03-05-2005, tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Kepentingan Umum. Amar putusan menyatakan menolak permohonan Pemohon Keberatan. Pada saat ini telah diundangkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Pasal 58 Huruf c Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa “Peraturan perundangundangan mengenai tata cara Pengadaan Tanah dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini”. 71 Lihat Putusan Mahkamah Agung No. 36 P/HUM/2011, 09-022012, mengenai pengujian Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. 41

hakim dalam menjalankan kekuasaan kehakiman dan hal itu akan mengancam hak-hak dan perlindungan hukum yang harus diberikan terhadap pemohon sebagai warga negara ketika berurusan dengan pengadilan maupun ketika melakukan advokasi atau pembelaan hukum di pengadilan. Dalam hukum acara terdapat adagium yang menyatakan pont d’interest point d’action, untuk dapat mengajukan suatu perkara ke pengadilan, sesorang harus memiliki kepentingan hukum. Dalam proses pengujian peraturan perundang-undangan, maka yang menjadi dasar legal standing seseorang dapat mengajukan permohonan pengujian suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan adalah kerugian yang dialami karena terdapat hak dan/atau kewajibannya yang dijamin oleh suatu peraturan perundangundangan, yang dirugikan oleh berlakunya ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang hendak diajukan pengujian. Dalam kasus ini seharusnya para pemohon menentukan hak apa yang dijamin dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (UU KK) dan Undang-Undang Mahkamah Agung (UU MA) yang dirugikan oleh ketentuan butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4, serta butir 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4 Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Ketentuan yang menjamin hak pemohon tersebut seharusnya juga menjadi dasardasar permohonan. Pemohon sama sekali tidak menunjuk hak tertentu yang dijamin dalam UU KK dan UU MA yang dirugikan oleh butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4, serta butir 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4 Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Pertimbangan Majelis untuk mengabulkan legal standing pemohon adalah, pertama, kualifikasi Para Pemohon ke dalam kategori perorangan warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 31A Ayat (2) Huruf a Undang-Undang No. 3 Tahun 2009, dibuktikan dengan kartu identitas yang diterbitkan oleh Persatuan Advokat Indonesia; kedua, adanya hak Para Pemohon yang berprofesi sebagai advokat akan suatu pelaksanaan tugas pengawasan hakim yang tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara sebagaimana dimaksud oleh 42

ketentuan Pasal 41 Ayat (2) UUKK. Hal itu tercermin dalam kalimat di bawah ini. … setiap orang Warganegara Indonesia, terlebih mereka yang bergerak dalam profesi hukum sebagai Advokat yang memiliki kepentingan terhadap terwujudnya dan dilaksanakannya Kewenangan Kekuasaan Kehakiman yang mandiri dan bebas sebagai bagian dari terwujudnya Negara Hukum, tidak ada pengaruh ataupun tekanan yang mempengaruhi atau berpotensi mempengaruhi dan menekan kekuasaan kehakiman.72 Ketiga, Para Pemohon haknya dirugikan dengan diberlakukannya Keputusan Bersama tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Berdasarkan ketiga kualifikasi tersebut, menurut Penulis timbulnya kerugian dimaksud terdapat hubungan sebab akibat atau hubungan kausal (causal verband) dengan butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4, serta butir 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4 Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang dimohonkan pengujiannya; dan dengan dikabulkannya permohonan tersebut, maka kerugian yang bersangkutan memang dapat dipulihkan kembali dengan dibatalkannya butir-butir Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim di atas. Dengan demikian, menurut Penulis Pemohon patut diberikan legal standing untuk mempersoalkan SKB Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. 2. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Ketentuan mengenai masyarakat hukum adat merujuk pada Pasal 18B Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesaturan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Oleh karena itu, Pasal 31A Ayat (2) Huruf b Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 72

Lihat pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Agung No. 36 P/HUM/2011, 09-02-2012. 43

itu merumuskan salah satu kategori pemohon adalah “kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. Maksudnya, untuk dapat menjadi pemohon keberatan Hak Uji Materiil di Mahkamah Agung, masyarakat hukum adat itu haruslah: (i) termasuk ke dalam pengertian kesatuan masyarakat hukum adat; (ii) kesatuan masyarakat hukum adat itu sendiri memang masih hidup; (iii) perkembangan kesatuan masyarakat hukum adat dimaksud sesuai dengan perkembangan masyarakat; (iv) sesuai pula dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (v) diatur dalam undangundang. Jimly Asshiddiqie mengemukakan perbedaan antara masyarakat hukum adat dan kesatuan masyarakat hukum adat, sebagai berikut: Masyarakat adalah kumpulan individu yang hidup dalam lingkungan pergaulan bersama sebagai suatu community atau society, sedangkan kesatuan masyarakat menunjuk kepada pengertian masyarakat organik, yang tersusun dalam kerangka kehidupan berorganisasi dengan saling mengikatkan diri untuk kepentingan mencapai tujuan bersama. Dengan perkataan lain masyarakat hukum adat sebagai suatu unit organisasi masyarakat hukum adat itu haruslah dibedakan dari masyarakat hukum adatnya sendiri sebagai isi dari kesatuan organisasinya itu.73 Lebih lanjut, Jimly memberikan contoh di Sumatera Barat, yang dimaksud sebagai masyarakat hukum adat adalah unit pemerintahan nagarinya, bukan aktivitas-aktivitas hukum adat sehari-hari di luar konteks unit organisasi masyarakat hukum. Pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang73

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara …, op.cit, hal.76. 44

Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan Undang-Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pada tingkat pemerintahan daerah dibentuk berbagai peraturan daerah dan keputusan kepala daerah yang mengakui keberadaan desa adat, diantaranya di Provinsi Sumatera Barat dengan Perda No. 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintah Nagari yang diubah dengan Perda No. 2 Tahun 2007, di Provinsi Bali dengan Perda 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, diubah dengan Perda No. 3 Tahun 2003, dan Keputusan Bupati Tana Toraja No. 2 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Lembang.74 Dalam instrumen hukum internasional, hak-hak masyarakat hukum adat juga diakui sebagaimana diatur dalam United Nation Declaration on the Right of the Indigenous People yang disahkan Sidang Umum PBB 13 September 2007. Permohonan keberatan Hak Uji Materiil ke Mahkamah Agung yang diajukan oleh kesatuan masyarakat hukum adat sangat jarang. Dari data-data berupa putusan Hak Uji Materiil tahun 2005-2011, yang kurang lebih jumlahnya 58 (lima puluh delapan) putusan, tidak ditemukan permohonan keberatan yang diajukan oleh kesatuan masyarakat hukum adat. Sebagai bahan perbandingan dapat dikemukakan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengkonstruksi kualifikasi kesatuan masyarakat hukum adat sebagai pemohon dalam perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Pengujian Undang-Undang No. 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku terhadap UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa suatu kesatuan masyarakat hukum adat dapat dikatakan secara de facto masih hidup (actual

74

Nurul Elmiyah, et.al, sebagaimana dikutip dalam Novrizal Bahar dan Owen Podger, Memberdayakan Desa: Naskah Akademik Pokok-pokok Pikiran Pembentukan Undang-Undang tentang Desa, DRSP-USAID, Jakarta, 2009, hal.37. 45

existence) baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur:75 1. adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (ingroup feeling); 2. adanya pranata pemerintahan adat; 3. adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; 4. adanya perangkat norma hukum adat; 5. khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial, harus memiliki unsur adanya wilayah tertentu. Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut apabila:76 1. keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan, dan lain-lain maupun dalam peraturan daerah. 2. substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyrakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Selanjutnya, kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak mengganggu eksistensi Negara Kesatuan RI sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum yaitu jika: 1. keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan RI. 2. substansi norma hukm adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 75 76

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 31/PUU-V/2007, 18-06-2008. Ibid. 46

3. Badan hukum publik atau badan hukum privat Badan hukum menurut Wirjono Prodjodikoro adalah “badan yang disamping manusia perseorangan juga dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.77 Pengertian badan hukum juga dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie sebagai berikut: … subjek badan-badan yang tidak lain adalah badan atau organisasi yang berisi sekumpulan orang yang mempunyai kepentingan dan tujuan yang sama dan dengan tujuan untuk mewujudkan tujuan dan kepentingan yang sama, melalui mana hak dan kewajiban mereka sebagai pribadi untuk hal-hal yang tertentu diserahkan sepenuhnya menjadi hak dan kewajiban badan hukum yang bersangkutan.78 Badan hukum dapat dibagi berdasarkan penggolongan hukum, yaitu golongan hukum publik dan hukum perdata, sehingga badan hukum dapat dibagi ke dalam badan hukum publik dan badan hukum perdata.79 Menurut van der Grinten, badan hukum publik (publiekrechterlijke rechtpersonen) adalah badan hukum yang organisasi dan strukturnya dikuasai oleh hukum publik, yaitu hukum tata negara dan hukum administrasi negara, tetapi kebadanan hukumnya pada prinsipnya juga berlaku hukum perdata, kecuali undang-undang menentukan lain, dalam hal ini ialah apabila badanbadan hukum publik itu menjalankan tindakan dalam rangka kepentingan umum.80 Sedangkan badan hukum privat (privaatrechterlijke rechtpersonen) adalah apabila badan hukum itu organisasi dan strukturnya dikuasai oleh hukum perdata.81 77

Wirjono Prodjodikoro sebagaimana dikutip oleh Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1991, hal.20. 78 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara … op.cit, hal.87. 79 Chidir Ali, Op.cit, hal.57. 80 Van der Grinten sebagaimana dikutif oleh Abdul Mukhtie Fajar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, hal.174. 81 Ibid, hal.175. 47

Jimly Asshiddiqie membedakan antara badan hukum publik dan badan hukum perdata, yaitu terletak pada kepentingan yang diwakilinya dan pada aktivitas yang dijalankan oleh badan hukum tersebut, apakah terkait dengan hubungan hukum yang bersifat publik atau bersifat perdata.82 Lebih lanjut, Jimly Asshiddiqie merinci 4 (empat) macam badan hukum, yaitu: 1. Badan hukum yang mewakili kepentingan umum dan menjalankan aktivitas di bidang hukum publik, seperti Komisi Pemilihan Umum yang bertugas menetapkan keputusan tentang partai politik yang berhak mengikuti pemilihan umum. 2. Badan hukum yang mewakili kepentingan publik dan menjalankan aktivitas di bidang hukum perdata, seperti Bank Indonesia yang merupakan Bank Sentral dan mengadakan serta menanda-tangani perjanjian jual beli valuta asing dengan badan usaha lainnya. 3. Badan hukum yang mewakili kepentingan perdata pendirinya tetapi menjalankan aktivitas di bidang hukum publik, seperti yayasan yang dibentuk pribadi untuk pemberian fasilitas kesehatan bagi orang miskin. 4. Badan hukum yang mewakili kepentingan perdata pendirinya dan menjalankan aktivitas di bidang hukum perdata, seperti koperasi. Dalam praktik, Mahkamah Agung telah memberikan putusan terhadap perkara yang pemohonnya merupakan badan hukum publik maupun badan hukum perdata. Perkara yang pemohonnya merupakan badan hukum publik dapat dilihat dalam Putusan No. 23 P/HUM/2009 mengenai pengujian Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral Batubara dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral No. 03.E/31/DJB/2009, 30-01-2009, tentang Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara sebelum Terbitnya Peraturan Pemerintah Sebagai Pelaksanaan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009, di mana pemohon perkara tersebut adalah Bupati Kutai Timur bertindak untuk 82

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara … op.cit, hal. 87. 48

dan atas nama Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur.83 Menurut Penulis, formulasi identitas pemohon dalam putusan maupun permohonan pemohon tidaklah sepenuhnya tepat. Bupati merupakan organ pemerintahan (bestuur organen) yang melaksanakan urusan pemerintahan. Sejalan dengan ketentuan Pasal 31A Ayat (2) Huruf c Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 semestinya disebutkan terlebih dahulu badan hukum publiknya, kemudian diwakili oleh pejabat TUN i.c. Bupati yang bertindak untuk dan atas nama badan hukum publik. Pertimbangan Hakim untuk menyatakan legal standing Pemohon adalah sebagai berikut: … bahwa Pemohon sebagai Bupati Kutai Timur yang wilayah/daerah pemerintahannya mempunyai banyak lahan pertambangan mempunyai kepentingan untuk mengajukan permohonan keberatan atas Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral RI Nomor : 03.E/31/DJB/2009, tanggal 30 Januari 2009, yang materinya melarang Pemohon sebagai Bupati menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) sampai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Menurut Penulis pertimbangan di atas sangatlah sumir. Tidak dipertimbangkan mengenai: pertama, dasar pembentukan pemerintah daerah yang bersangkutan, dasar kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dan peresmian pengangkatan, serta pelantikan bupati sehingga ia mempunyai kewenangan bertindak (bevoegdheid) mewakili badan hukum yang bersangkutan di persidangan; kedua, 83

Pasal 31A Ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, tidak mengenal pemohon keberatan Hak Uji Materiil “Lembaga Negara”. Berdasarkan kriteria kepentingan yang diwakili dan aktivitasnya, pemerintah daerah dapat dikategorikan ke dalam badan hukum publik menurut Pasal 31A Ayat (2) Huruf c. Bandingkan dengan pemohon pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 melalui Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 49

hak-hak badan hukum publik yang diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; ketiga, hak-hak badan hukum publik yang dirugikan dengan diberlakukannya aturan yang diajukan uji materiil ke Mahkamah Agung. Selanjutnya, perkara yang Pemohonnya merupakan badan hukum perdata antara lain Perkara No. 14 P/HUM/2007 dan Perkara No. 01 P/HUM/2011. Dalam Perkara No. 14 P/HUM/2007 mengenai pengujian Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan No. 188.44/0135/KUM/2007, 22-03-2007, tentangPenetapan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) jo. Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan No. 188.44 /0159/KUM/2007, 23-04-2007, tentang Perubahan atas Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan No. 188.44/0135/2007 tentang Penetapan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP), Pemohonnya adalah Dewan Pimpinan Daerah Gabungan Perusahaan Perkebunan Indonesia (GPPI)/Pengurus Cabang Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kalimantan Selatan dan Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO) Kalimantan Selatan. Demikian pula, dalam Perkara No. 01 P/HUM/2011 mengenai pengujian Peraturran Gubernur Jawa Timur No. 95 Tahun 2010, 23-11-2010, tentang Upah Minimum Kabupaten Gresik Tahun 2011 terhadap Pasal 89 Ayat (3) dan (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pemohonnya adalah Dewan Pengurus Kabupaten Asosiasi Pengusaha Indonesia (DPK APINDO) Kabupaten Gresik Jawa Timur. Sebagaimana pada uraian analisis sebelumnya, pada kedua perkara yang terakhir Majelis juga tidak mempertimbangkan legal standing secara memadai. Pertama, kalau memang Pemohon itu dikategorikan sebagai badan hukum, dalam hal ini sebagai badan hukum perdata, apakah memang perkumpulan/asosiasi itu telah disahkan oleh lembaga yang berwenang (Kementerian Hukum dan HAM) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang dibuktikan dengan pengesahan badan hukum yang bersangkutan; kedua, bagaimana kapasitas dari dewan pimpinan/pengurus dari badan hukum yang bersangkutan yang dapat dipertimbangkan dari Anggaran 50

Dasar dari badan hukum yang bersangkutan sehingga mereka cakap bertindak (bekwaamheid) mewakili badan hukum yang bersangkutan. Pertimbangan hukum yang sumir, jumping to conclusion, dapat disebabkan oleh: pertama, permohonan keberatan itu sendiri tidak menguraikan dalil-dalil yang layak, sedangkan dalam hukum acara Hak Uji Materiil tidak terdapat lembaga pemeriksaan pendahuluan untuk memperbaiki permohonan;84 kedua, termohon kadang-kadang tidak menggunakan haknya untuk mengajukan jawaban sekalipun telah diberikan kesempatan secara patut; ketiga, para pihak kadang-kadang tidak mengajukan bukti-bukti yang diperlukan;85 dan keempat, tingginya tumpukan perkara di Mahkamah Agung di satu sisi, dan tuntutan publik untuk menyelesaikan perkara dengan cepat di sisi lain.86 84

Bandingkan dengan hukum acara Mahkamah Konstitusi yang mengenal adanya pemeriksaan pendahuluan (Pasal 39 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003), dan hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara yang mengenal juga pemeriksaan persiapan (Pasal 63 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986). Lembaga pemeriksaan pendahuluan/persiapan bertujuan untuk memperbaiki permohonan/gugatan agar layak disidangkan. 85 Misalnya, dalam hal Pemohon itu badan hukum privat, ia tidak mengajukan bukti tentang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang sangat menentukan dalam mempertimbangkan legal standing. Dalam kasus-kasus tertentu kadang-kadang juga sangat dibutuhkan pendapat ahli, sedangkan para pihak tidak mengajukannya. Atau pendapat ahli hanya diajukan oleh pemohon sedangkan termohon tidak mengajukan, sehingga tidak mencerminkan asas audie et altiram partem. 86 Tunggakan perkara Hak Uji Materiil antara lain disebabkan karena koordinasi antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung terkait dengan ketentuan Pasal 53 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003. Ketentuan tersebut menentukan “Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya permohonan pengujian undang-undang dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi”. Sering terjadi Mahkamah Konstitusi tidak memberitahukan adanya pengujian undang-undang. Setelah perkara Hak Uji Materiil diregister di Mahkamah Agung, diketahui bahwa undang-undang yang menjadi dasar diterbitkannya objek Hak Uji Materiil sedang diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Akibatnya perkara Hak Uji Materiil dihentikan sampai dengan pengujian undang-undang itu diputus oleh 51

C. Ruang Lingkup Kewenangan Hak Uji Materiil Ruang lingkup kompetensi Hak Uji Materiil oleh Mahkamah Agung diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 24A Ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 menyatakan bahwa “Mahkamah Agung berwenang … menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undangundang …”.87 Lebih lanjut, dalam Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dinyatakan bahwa “Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah ini undangundang”. Sedangkan dalam Pasal 1 Angka 1 Perma No. 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil menentukan “Hak Uji Materiil adalah hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap peraturan perundangundangan tingkat lebih tinggi”.88 Dari ketentuan-ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi (tod nader) dan perkara tersebut menjadi tunggakan di Mahkamah Agung. 87 Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. 88 Ketiga norma hukum di atas mengandung inkonsistensi, yaitu: pertama, apa ruang lingkup dari peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang dapat diuji oleh Mahkamah Agung, hanya menguji materinya saja [Pasal 31 Ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 dan Pasal 1 Angka 1 Perma No. 1 Tahun 2011] atau menguji materi dan prosedur pembentukannya [Pasal 31A Ayat (3) Huruf b Angka 1 dan 2 UU No. 3 Tahun 2009]; kedua, apa alat uji (toetsingsgronden) yang digunakan oleh hakim, undang-undang [Pasal 24A Ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 dan Pasal 31A Ayat (1) UU No. 3 Tahun 2009] atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi [Pasal 31 Ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985 dan Pasal 1 Angka 1 Perma No. 1 Tahun 2011]. Menyikapi inkonsistensi norma tersebut, menurut hemat Penulis ketentuan tersebut harus dimaknai bahwa, pertama, hakim tidak hanya menguji materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tetapi juga menguji pembentukan peraturan perundang-undangan yang tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, karena bisa jadi suatu peraturan perundang-undangan materi muatannya sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan tetapi prosedur pembentukannya cacat hukum, misalnya karena tidak melalui partisipasi publik; kedua, hakim 52

jelaslah bahwa ruang lingkup kewenangan Mahkamah Agung dalam Hak Uji Materiil adalah pengujian keabsahan peraturan perundangundangan di bawah undang-undang. Dalam praktik ditemukan kasus di mana Mahkamah Agung telah menguji peraturan kebijakan (beleidsregel). Dalam perkara No. 04 P/HUM/2008 mengenai pengujian Surat Edaran KPU No. 649/15/VII/2007, tanggal 31 Juli 2007, tentang Pencalonan Perseorangan dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terhadap Pasal 57 Ayat (1) dan Pasal 58 UndangUndang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam pertimbangannya Majelis tidak mempertimbangkan sama sekali mengenai apakah surat edaran itu termasuk peraturan perundangundangan atau bukan sehingga dapat menjadi objek Hak Uji Materiil. Majelis langsung memeriksa pokok perkara. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa Majelis memandang surat edaran itu seolah-olah sebagai peraturan perundang-undangan sehingga dapat menjadi objek Hak Uji Materiil. Demikian pula dalam perkara No. 23 P/HUM/2009 mengenai pengujian Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral Batubara dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral No. 03.E/31/DJB/2009, 30-01-2009, tentang Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara sebelum terbitnya Peraturan Pemerintah sebagai Pelaksanaan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009. Majelis dalam pertimbangannya menyatakan bahwa: … obyek keberatan Hak Uji Materiil berupa Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral RI Nomor : 03.E/31/DJB/2009 walaupun tidak termasuk urutan peraturan dapat menggunakan alat uji tidak hanya undang-undang, akan tetapi juga peraturan perundang-undangan lain termasuk UUD, karena kalau alat ujinya hanya dibatasi dengan undang-undang, bisa saja undang-undangnya itu justru bertentangan dengan UUD. Menurut Penulis, dalam hal demikian hakim karena jabatannya dapat mengesampingkan undang-undang tersebut dan menguji objek Hak Uji Materiil terhadap UUD (non enforcement of law). 53

perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, akan tetapi berdasarkan penjelasan Pasal 7 tersebut dapat digolongkan sebagai bentuk perundang-undangan yang sah, sehingga tunduk pada ketentuan tata urutan dimana peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (asas lex perriori derogat lex superriori). Dalam pertimbangan tersebut, Majelis memaknai surat edaran ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004. Dengan demikian, menurut Majelis surat edaran dapat didudukkan sebagai objek Hak Uji Materiil di Mahkamah Agung. 89 Pertanyaannya adalah benarkah secara yuridis peraturan kebijakan itu merupakan peraturan perundang-undangan, dan bagaimana arus pemikiran hukum melihat peraturan kebijakan, apakah peraturan kebijakan itu dapat dikategorikan sebagai suatu peraturan perundangundangan, sehingga dapat menjadi objek Hak Uji Materiil di Mahkamah Agung? Yang dimaksud peraturan perundang-undangan menurut Pasal 1 Angka 2 Perma No. 1 Tahun 2011 adalah “kaidah hukum tertulis yang mengikat umum …”. Sedangkan peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan 89

Sampai di sini Mahkamah Agung tidak konsisten. Dalam perkaraperkara yang lain Mahkamah Agung menyatakan peraturan kebijakan (beleidsregel) merupakan sengketa doelmatigheid, oleh karena itu tidak dapat dibawakan ke hadapan hakim. Pendapat Mahkamah Agung itu merujuk pada pengujian terbatas (marginale toetsing) dan Yurisprudensi Indonesia. Beberapa contoh mengenai hal itu dapat dicermati dalam Putusan Mahkamah Agung No. 39 P/HUM/2009 mengenai pengujian Peraturan Walikota Tangerang Selatan No. 40 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perijinan, Putusan Mahkamah Agung No. 24 P/HUM/2007 mengenai pengujian Pasal 15 Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, dan Putusan No. 09 P/HUM/2007 mengenai Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam tentang Pedoman Manajemen MAN Insan Cendekia Serpong dan Gorontalo. 54

Peraturan Perundang-undangan90 dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1 Angka 2 “peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan”. Lebih lanjut, Pasal 7 Ayat (1) undang-undang tersebut merinci jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan meliputi:91 90

Judul Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 (dulu UU No. 10 Tahun 2004) adalah tidak tepat, demikian menurut Philipus M. Hadjon. Istilah peraturan jelas merujuk aturan hukum namun istilah perundangundangan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 jelas tidak merujuk istilah undang-undang. Istilah undang-undang dalam hukum tata negara kita mengandung makna khas sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945: “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Dikaitkan dengan Pasal 20A UUD: “DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan, undang-undang merupakan produk legislasi”. Konsep undang-undang dalam hukum tata negara kita janganlah dijumbuhkan dengan konsep wet dalam hukum tata negara Belanda sebelum Perang Dunia II. Konsep wet sebelum perang dunia kedua dibedakan: wet in formelle zin dan wet in materile zin. Konsep undang-undang dalam hukum tata negara kita, sejajar dengan wet in formelle zin. Hukum tata negara kita tidak membedakan konsep undang-undang dalam arti formal dan undangundang dalam arti materiil. Dengan demikian istilah perundang-undangan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tidak hanya meliputi wetgeving seperti halnya AB (algemene bepalingen van wetgeving voor Indonesie, S.1847-23) yang mengatur pembentukan wet (undang-undang). Kalau dimaksudkan menjangkau semua aturan hukum (tidak hanya undang-undang) adalah aturan hukum (regelgeving). Istilah lain yang dapat menjadi alternatif adalah aturan hukum dan dengan demikian judul UU adalah Pembentukan Aturan Hukum. Lihat Philipus M. Hadjon, Butir-butir Pemikiran dalam Hukum Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, S.H: Analisis terhadap UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Refika Aditama, Bandung, 2008, hal.279-280. 91 Pengaturan jenis peraturan perundang-undangan dalam UndangUndang No. 12 Tahun 2011, ambigu, karena di satu sisi Pasal 7 Ayat (1) menyebutkan secara limitatif jenis peraturan perundang-undangan yang meliputi UUD Negara RI Tahun 1945, Tap MPR, UU/Perpu, PP, Perpres, Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota. Akan tetapi, di sisi lain Pasal 8 55

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi, dan; g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam Pasal 8 ditegaskan bahwa: (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. (2) Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Dari ketentuan-ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa istilah peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun

Ayat (2) mengakui jenis peraturan perundang-undangan selain yang dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1). 56

2011 mempunyai pengertian yang luas, yaitu meliputi konstitusi (UUD), legislasi (UU) dan regulasi (delegated regulation).92 Bagir Manan mengemukakan bahwa peraturan perundangundangan harus memiliki tiga elemen sebagai berikut: 1. Peraturan perundang-undangan berbentuk keputusan tertulis. Karena merupakan keputusan tertulis, maka peraturan perundang-undangan sebagai kaidah hukum lazim disebut hukum tertulis (geschrevenrecht, written law); 2. Peraturan perundang-undangan dibentuk oleh pejabat atau lingkungan jabatan (badan, organ) yang mempunyai wewenang membuat peraturan yang berlaku atau mengikat umum; 3. Peraturan perundang-undangan bersifat mengikat umum, tidak dimaksudkan harus selalu mengikat semua orang.93 P. J. P. Tak merumuskan peraturan perundang-undangan: ... sebagai keputusan dari suatu organ yang berisi ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengertian umum dalam uraian ini tidak berarti bahwa undang-undang material hanya undang-undang yang mengikat semua warga masyarakat, tetapi hanyalah bahwa undang-undang material tertentu, tetapi lebih tepat sebagai suatu yang mengikat umum, dalam peristiwa-peristiwa dan orang-orang yang jumlahnya tidak terbatas.94 Demikian pula D.W.P. Ruiter, dalam tulisannya tentang undang-undang dalam arti material (wet in materiale zin), mengemukakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan harus mengandung tiga elemen, yaitu: rechtsnormen, naar buiten werken, 92

Ibid. Manan, Bagir, Fungsi dan Materi Peraturan Perundangundangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman RI, Jakarta, 1995, hal.3. 94 P. J. P. Tak, Rechtsvorming in Nederland, Samson H.D. Tjeenk Willink, Alpen aan den Rijn, 1987, hal.70. 57 93

algemeenheid in ruime zin.95 (norma hukum, berlaku keluar dan bersifat umum dalam arti luas). Dengan demikian, suatu produk hukum yang disebut sebagai peraturan perundang-undangan haruslah memenuhi kriteria hukum sebagai berikut: 1. Dapat dipergunakan sebagai dasar wewenang pemerintahan bagi suatu pejabat pemerintahan dalam melaksanakan urusan pemerintahan. 2. Memiliki daya ikat keluar secara umum, artinya norma-norma substansinya bersifat mengatur secara umum dan abstrak, berlaku bagi jajaran pemerintah yang dituju maupun bagi warga masyarakat. Jadi, suatu peraturan yang hanya berlaku intern dalam jajaran pemerintahan tidak memenuhi kualifikasi peraturan perundang-undangan. 3. Diciptakan menurut prosedur yang ditentukan oleh suatu peraturan perundang-undangan berlaku. Ringkasnya, elemen-elemen yang menjadi kriteria hukum peraturan perundang-undangan, terdiri atas: suatu keputusan atau kaidah hukum tertulis, dibuat berdasarkan prosedur tertentu oleh pejabat yang berwenang, serta substansinya bersifat mengikat secara umum. Berdasarkan elemen-elemen di atas, menurut hemat Penulis secara yuridis surat edaran tersebut diterbitkan tidak didasarkan atas kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan (delegated legislation), sehingga tidak terpenuhi elemen-elemen sebagai peraturan perundang-undangan. Kemudian, bagaimana pandangan ahli hukum melihat peraturan kebijakan. Menurut Jimly Asshiddiqie,96 peraturan kebijakan secara formal bukanlah peraturan yang resmi maka terminologinya menggunakan kata kebijakan, beleids, atau policy. Jimly memberikan contoh surat edaran dari menteri atau direktur jenderal yang ditujukan 95

D. W. P. Ruiter, Bestuursrechtelijke Wetgevingsleer, Assen/Maastricht, van Gorcum, 1987, hal.7. 96 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Rajawali Press, Jakarta, 2010, hal.273. 58

kepada seluruh pegawai negeri sipil yang berada dalam lingkup tanggung jawabnya. Isi dalam surat tersebut bersifat mengatur (regeling) tetapi tidak dituangkan dalam peraturan resmi seperti peraturan menteri. Dalam pandangan yang berbeda, Bagir Manan dan Kuntana Magnar mengemukakan bahwa salah satu ciri utama dari peraturan kebijakan adalah tidak adanya wewenang pemerintah membuat peraturan tersebut.97 Tidak adanya wewenang dalam hal ini perlu diinterpretasikan sebagai tidak adanya peraturan perundang-undangan yang secara tegas memberikan kewenangan pada pemerintah untuk mengeluarkan peraturan kebijakan tersebut. Walaupun tidak ada kewenangan yang diberikan namun seringkali permasalahan yang ada membuat pemerintah tidak dapat menyelesaikannya jika hanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. Dalam sudut pandang keadaan yang mendesak inilah peraturan kebijakan menjadi relevan dibuat oleh pemerintah. Menurut Bagir Manan, peraturan kebijakan tidak secara langsung mengikat secara hukum walaupun tetap mengandung relevansi hukum. Kekuatan mengikatnya hanya bagi badan atau pejabat administrasi negara sendiri. Demikian pula Philipus M. Hadjon menggolongkan peraturan kebijakan bukan sebagai peraturan perundang-undangan. Selain itu Hadjon juga menambahkan beberapa aspek penting yang terkait dengan peraturan kebijakan. Pertama, peraturan kebijakan tidak mengikat hukum secara langsung namun mempunyai relevansi hukum. Tidak mengikatnya peraturan kebijakan merupakan implikasi dari kedudukannya yang bukan merupakan peraturan perundangundangan. Kedua, peraturan kebijakan mengandung suatu syarat pengetahuan yang tidak tertulis.98 Artinya, manakala terdapat keadaan khusus yang mendesak maka badan tata usaha negara harus menyimpang dari peraturan kebijakan guna kemaslahatan warga. 97

Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, hal.136. 98 Philipus M. Hadjon, et.al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002, hal.153. 59

Ketiga, peraturan kebijakan tidak dapat diuji di Mahkamah Agung karena termasuk dunia fakta. Hal ini berbeda dengan peraturan perundang-undangan.99 Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa secara yuridis peraturan kebijakan itu bukanlah merupakan peraturan perundang-undangan. Demikian pula arus besar pemikiran hukum juga tidak mengkategorikan peraturan kebijakan sebagai suatu peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, peraturan kebijakan tidak dapat menjadi objek Hak Uji Materiil di Mahkamah Agung. Sekarang timbul persoalan, sekalipun peraturan kebijakan itu hanya ditujukan kepada administrasi negara saja, akan tetapi tidak jarang dampaknya secara tidak langsung mengikat masyarakat, bagaimana apabila masyarakat merasa dirugikan dengan diberlakukannya peraturan kebijakan tersebut, ke mana mereka harus mengajukan tuntutan hukum? Masing-masing lembaga peradilan kewenangannya telah jelas ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap UUD.100 Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.101 Peradilan Umum memeriksa dan memutus sengketa perdata dan pidana.102 Peradilan 99

Victor Imanuel W. Nalle, Kewenangan Yudikatif dalam Pengujian Peraturan Kebijakan: Kajian Putusan Mahkamah Agung No. 23 P/HUM/2009, Jurnal Yudisial, Vol. 6 No. 1 April 2013, hal.47. 100 Lihat Pasal 24 C Ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 jo. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 101 Lihat Pasal 24 A Ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 jis. Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 20 Ayat (2) Huruf b Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta Pasal 1 Angka 1 Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. 102 Membawa pengujian ke peradilan umum dengan mendasarkan pada Pasal 1365 Bw juga tidaklah sepenuhnya tepat, karena: pertama, yang dimohonkan dalam uji materiil adalah pernyataan tidak sah dari suatu peraturan kebijakan, sedangkan tuntutan dengan mendasarkan Pasal 1365 60

Tata Usaha Negara menguji keabsahan keputusan tata usaha negara.103 Dengan demikian, memang tidak ada lembaga peradilan yang berwenang menguji keabsahan suatu peraturan kebijakan (beleidsregel). Suatu negara yang mengklaim dirinya sebagai negara hukum tidak membiarkan ada satu sengketa pun yang tidak dapat diselesaikan secara hukum. Membiarkan suatu sengketa berada dalam wilayah yang tidak terjangkau oleh hukum dapat memberikan peluang yang lebar bagi tindakan sewenang-wenang dan penyalah-gunaan wewenang. Hal ini bertolak dari prinsip bahwa “semua penyelesaian haruslah dapat diselesaikan melalui sarana hukum untuk mendapatkan kepastian hukum, dan kekuasaan tidak boleh dijadikan satu-satunya sarana untuk menyelesaikan sengketa”. Oleh karena itu, guna memberikan perlindungan hukum bagi rakyat pencari keadilan kebutuhan pengujian terhadap peraturan kebijakan menjadi penting. Abdul Latief mengemukakan kebutuhan untuk melakukan uji materiil peraturan kebijakan didasarkan pada 2 (dua) alasan. Pertama, masyarakat menghendaki jaminan perlindungan hukum dari tindakan badan atau pejabat pemerintah. Sebaliknya bagi badan atau pejabat pemerintah, uji materiil tersebut menjadi batasan atau dasar untuk bertindak secara bebas dalam membentuk peraturan kebijakan. Kedua, alasan teoretis yang didorong oleh perkembangan hukum administrasi, khususnya konsep besluit (keputusan) yang mendapat pengertian baru

BW sasarannya adalah ganti rugi; kedua, sengketa hukum publik yang diperiksa melalui gugatan onrechtmatige overheidsdaad Pasal 1365 dengan menerapkan hukum acara perdata bertentangan dengan prinsip perlindungan hukum bag rakyat berdasarkan Pancasila. Lihat Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Peradaban, Surabaya, 2007, hal.211 103 Lihat Pasal 47 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 Angka 9 dan Angka 10 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009. 61

dan luas serta merupakan instrumen utama dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu negara hukum.104 Selain itu apabila ditelusuri, pendirian yang menyatakan “peraturan kebijakan tidak dapat diuji oleh hakim” itu adalah berakar pada adagium dat de rechter niet op de stoel van de bestuur mag gaan zitten (hakim tidak boleh duduk di kursi pemerintah). Dalam perkembangannya, adagium itu sendiri di Negeri Belanda telah mendapatkan banyak kritik. Helder menyatakan bahwa “Het adagium is bij nadere beschouwing van de rechtelijke taak onhoudbaar”105 (adagium ini setelah meneliti tugas hakim lebih lanjut, tidak dapat dipertahankan). Lebih lanjut, Brenninkmeijer menegaskan, “Het cliché dat de rechter niet op de stoel van het bestuur mag gaan zitten, kan niet langer leerstellige betekenis hebben. (…) Rechtspraak vervuit een belangrijke maatschappelijke functie en uit dat oogpunt geldt de eis dat de taakvervulling door de rechter maatschappelijk gezein zo effectief mogelijk moet zijn. Daarom ben ik een voorsiander van zelf in de zaak voorzien door de rechter”106 [Klise bahwa hakim tidak boleh duduk di kursi pemerintahan tidak lagi mempunyai makna. (…) Pengadilan menjalankan fungsi kemasyarakatan yang penting dan dari aspek itu berlaku tuntutan bahwa pemenuhan tugas hakim seefektif mungkin. Karena itu, saya seorang pendukung dari penanganan sendiri perkara oleh hakim]. Secara historis, adagium tersebut didasarkan pada doktrin “separation of powers” dari Montesquieu. Di belahan dunia manapun 104

Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan Daerah, UII Press, Yogyakarta, 2005, hal.239. 105 E. Helder, Ombudsman en administrative rechtbescherming, Dissertatie TU Twente, Enschede, 1989, dalam M.L.M. Hertogh, Consequenties van controle: De bestuurlijke doorwerking van het oondeel van de administrative rechter en de Nationale ombudsman, Vuga, Den Haag, 1997, hal.192. 106 A.F.M. Brenninkmeijer, Een leestelling cliché, dalam T. Hoogenboom & L.J.A. Damen (Red), De steer van administratief recht (feestbundel), 1994, hal.31. 62

doktrin itu tidak pernah dilaksanakan secara ketat. Doktrin itu harus dimaknai sekalipun ketiga pusat kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudisiil) secara konstitutional terpisah namun dalam praktiknya pemisahan dalam arti mutlak mustahil terjadi. Oleh karena itu, prinsip pemisahan kekuasaan harus juga dipahami dalam konteks berbagi kekuasaan (sharing of powers).107 Di Amerika Serikat yang terkenal dengan prinsip checks and balances, Presiden diberi hak veto atas suatu rancangan undang-undang sekalipun sudah disetujui oleh Kongres. Undang-undang pun terbuka diuji oleh Mahkamah Agung. All bill passed by congress and signed by the president is law. If the president refuses to sign, he returns to congress with statement of objections, demikian dikemukakan oleh Barron dan Dienes.108 Bagir Manan sendiri dalam berbagai diskusi ilmiah menyampaikan bahwa kebijakan pemerintah itu ibarat seorang yang berjalan di atas lantai yang licin. Ia akan mudah sekali tergelincir.109 Kadang-kadang undang-undangnya sendiri tidak mengatur secara jelas, dan pejabat yang bersangkutan diberikan kebebasan untuk bertindak sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Oleh karena itu, kewenangan diskresi tanpa kontrol yang memadai dapat menimbulkan suatu absolutisme. Di samping itu, dalam perspektif kebijakan publik (public policy), bukankah setiap produk hukum itu merupakan hasil akhir dari proses kebijakan publik. Hal lain yang menarik untuk dikaji dalam Penulisan ini adalah asas “nemo judex in rex sua”. Asas ini mengandung makna tidak seorangpun dapat menjadi Hakim atau mengadili hal yang menyangkut dirinya sendiri. Dengan perkataan lain, Pengadilan (Hakim) tidak dapat dan tidak boleh mengadili sendiri suatu perkara (sengketa) di mana ia sendiri mempunyai kepentingan langsung atau 107

Bambang Cipto, Politik dan Pemerintahan Amerika, Lingkaran, Yogyakarta, 2003, hal.11. 108 Jerome A. Barron & C. Thomas Dienes, Constitutional Law, West Publishing co, St. Paul, Minn, 1995, p.68 & 132. 109 Bedah Buku Prof. Paulus Effendi Lotulung, SH, di Mahkamah Agung RI Jakarta, 09-03-2013. 63

tidak langsung. Mahkamah Agung melalui Putusan No. 36 P/HUM/2011 mengenai pengujian Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, telah mengesampingkan asas tersebut.110 Pertimbangan Majelis Hakim mengesampingkan asas nemo judex in rex sua pada pokoknya, pertama, hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukumnya tidak ada atau hukumnya kurang lengkap [Pasal 10 Ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009]; kedua, tidak ada badan peradilan lain yang berwenang secara absolut untuk menyidangkan permohonan Hak Uji Materiil ini kecuali Mahkamah Agung; ketiga, secara logika seharusnya yang khawatir terlanggar asas tersebut adalah para pemohon Hak Uji Materiil karena diasumsikan bahwa hakim tidak dapat berlaku netral dan akan memihak Mahkamah Agung (Termohon I) in casu para pemohon tidak menaruh keberatan dan tidak khawatir terlanggarnya asas tersebut, namun justru Termohon II (Komisi Yudisial) yang berkeberatan, padahal kepentingannya sama (paralel) dengan Termohon I (Mahkamah Agung); keempat, objek sengketa yaitu Surat Keputusan Bersama pada hakikatnya bukanlah produk hukum yang dibuat sendiri oleh Mahkamah Agung melainkan bersama-sama dengan Komisi Yudisial, sehingga tidaklah tepat bila dikatakan asas “nemo judex in rex sua” diartikan bahwa Mahkamah Agung dilarang untuk memeriksa dan mengadili produk hukumnya sendiri, karena yang diperiksa merupakan produk bersama dengan badan lain.111 Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi pada saat memeriksa permohonan 31 (tiga puluh satu) 110

Dalam perkara yang lain sebagaimana disebutkan di muka, Mahkamah Agung menerapkan asas “nemo judex in rex sua”. Lihat Putusan Mahkamah Agung No. 03P/HUM/2011 permohonan pengujian terhadap Pasal 2 Ayat (4) Perma No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil (objek pertama) dan Pasal 1 Angka 2 Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 88 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok (objek kedua). 111 Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXVII No. 316 Maret 2012, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta, hal.96. 64

orang Hakim Agung yang mengajukan judicial review atas beberapa pasal dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Para Pemohon mendalilkan bahwa pasal yang dimohonkan bertentangan dengan UUD 1945 khususnya mengenai pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial sehingga menyebabkan hak konstitusionalnya dirugikan. Melalui Putusan No. 005/PUU-IV/2006 Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan atas permohonan para pemohon berikut ini. Pertama, permohonan para pemohon menyangkut perluasan pengertian hakim menurut Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 yang meliputi hakim konstitusi bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh Komisi Yudisial. Pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim Mahkamah Konstitusi akan mengganggu dan memandulkan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara. Kedua, permohonan para pemohon menyangkut pengertian hakim menurut Pasal 24 B Ayat (1) UUD 1945 tidak cukup beralasan. Oleh karena itu, permohonan para pemohon sepanjang menyangkut Hakim Agung tidak terdapat cukup alasan untuk mengabulkannya. Mahkamah Konstitusi tidak menemukan dasar konstitusionalitas dihapuskannya pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim agung. Ketiga, mengangkut fungsi pengawasan, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa segala ketentuan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang menyangkut pengawasan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat karena terbukti menimbulkan ketidak-pastian hukum (rechtzekerheid). Bahkan dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi juga menegaskan diri sebagai lembaga “untouchable’ di

65

negeri ini dengan memutuskan bahwa hakim konstitusi tidak termasuk sebagai pihak yang diawasi oleh Komisi Yudisial.112 Apabila kita mencermati pertimbangan hukum Mahkamah Agung di atas, nampak adanya benturan antara asas nemo judex in rex sua dan asas ius curia novit. Di satu sisi, pengesampingan asas nemo judex in rex sua merupakan hasil dari konstruksi berfikir melalui penafsiran hakim secara komprehensif. Di sisi lain, hakim juga menganut asas ius curia novit yang mengamanatkan untuk memberikan penyelesaian masalah hukum yang diajukan kepadanya. Hakim dalam mengadili suatu perkara memang harus berdasarkan hukum, akan tetapi mengadili dengan hukum tidak semata-mata diartikan hanya menerapkan hukum tertulis (undangundang) akan tetapi juga hukum tidak tertulis. Artinya, hakim tidak hanya sebagai “corong undang-undang” (la bouche de la loi). Dalam menerapkan hukum, hakim harus menemukan hukum. Jika hakim tidak mampu menemukan hukum dari hukum tertulis maka hakim harus menggali hukum tidak tertuis dari nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Benturan kedua asas ini, akhirnya terjawab ketika hakim mengedepankan asas ius curia novit dan mengesampingkan asas nemo judex in rex sua. Jadi, asas nemo judex in rex sua tidak dapat diterapkan dalam setiap kasus. Pengesampingan asas tersebut dalam perkara ini merupakan suatu pengecualian. Ada beberapa alasan mengapa hakim mengesampingkan asas tersebut. Pertama, bersandar pada kewenangannya, Mahkamah Agung mempunyai kewajiban menyelesaikan permasalahan ini dan apabila asas ini diterapkan akan menghalangi Mahkamah Agung untuk memutus perkara ini. Kedua, Mahkamah Agung adalah satu-satunya lembaga yudisial yang berwenang memutus pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, apabila Mahkamah Agung tidak memutus perkara ini maka sudah dapat dipastikan persoalan ini tidak memiliki 112

Abdul Malik, Perspektif Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial Pasca Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006, Jurnal Konstitusi, Vol. 6, 2008, hal.4. 66

kejelasan dan tidak memberikan rasa keadilan bagi para pencari keadilan. Penafsiran hukum tidak dapat dimaknai secara kaku. Penafsiran hukum lebih dimaknai sebagai sebuah seni (interpretion is an art). Ada satu hal yang menarik untuk dipahami dalam suatu interpretasi. Dalam amandemen ke-14 (keempat belas) Konstitusi Amerka terdapat jaminan kesamaan setiap warga negara di hadapan hukum (equality before the law). Jaminan tersebut sangat sulit diberikan tafsiran, apalagi pemahaman dari masyarakat awam bahwa persamaan di hadapan hukum tersebut adalah perlakuan yang serupa tanpa beda. Dalam hal kerjadian di Amerika tersebut, terdapat beberapan pertanyaan. Apakah dalam memberlakukan jaminan equality before the law itu berarti memperlakukannya dengan sama ataukah diperlakukan secara case by case? Ternyata dalam sejarah peradilan Amerika, pemahaman terhadap jaminan tersebut menyebabkan peradilan memberikan keputusan yang berbeda-beda. Hal tersebut memperlihatkan bahwa dalam suatu konstitusi bisa saja terdapat kalimat yang ambigu. Di sinilah peran hakim menjadi penting untuk menghilangkan keraguan terhadap ketentuan konstitusi. Ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh HLA Hart, Chief Justice Hughes dari Supreme Court Amerika yang menyatakan bahwa “the Constitution is what the judge say it is!”113

113

http://www.usconstitution.net/consttop_intr.html. Diakses tanggal 13 September 2013. 67

68

BAB IV PENUTUP A. Simpulan 1. Pengaturan pembatasan tenggang waktu dalam Perma No. 1 Tahun 2004 tidak disertai pertimbangan yang memadai mengapa tenggang waktu itu dibatasi, sehingga tidak mempunyai pijakan yang rasional dan ilmiah. Pertimbangan Mahkamah Agung mengesampingkan pembatasan tenggang waktu pengajuan permohonan Hak Uji Materiil didasarkan pada 4 (empat) argumentasi, yaitu, pertama, melalui pendekatan komparasi dengan sistem hukum lain; kedua, pendekatan analogi dengan prosedur pada Mahkamah Konstitusi; ketiga, pendekatan filosofis; dan keempat, pendekatan yuridis normatif. Keempat argumentasi itu menjadi landasan bagi Majelis Hakim untuk mengesampingkan (non enforcement of law) ketentuan Pasal 2 Ayat (4) Perma No. 1 Tahun 2004. Selanjutnya putusan itu menjadi yurisprudensi bagi putusan-putusan berikutnya. Melihat kronologis dan rentang waktu antara putusan terdahulu sampai dengan putusan yang terakhir mengenai pengesampingan pembatasan tenggang waktu hingga terbitnya Perma No. 1 Tahun 2011 yang menghapus pembatasan tenggang waktu pengajuan permohonan keberatan Hak Uji Materiil, menurut Penulis tidak terdapat keterkitan antara terbitnya Perma No. 1 Tahun 2011 dengan permohonan pengujian SKB KEPPH, oleh karena itu tidak tepat kalau Perma No. 1 Tahun 2011 dimaksudkan untuk meloloskan permohonan pengujian SKB KEPPH di Mahkamah Agung. 2. Pertimbangan hakim tentang legal standing dalam putusan Hak Uji Materiil kebanyakan tidak memperlihatkan pertimbangan yang memadai. Bahkan beberapa putusan ditemukan tanpa diberikan pertimbangan sama sekali mengenai argumentasi yuridis mengapa pemohon memiliki standing in judicio. Khusus mengenai uji materiil SKB KEPPH Penulis melihat bahwa Majelis Hakim telah 69

menguraikan argumentasi diterima legal standing Para Pemohon sesuai dengan beberapa kriteria yang ditentukan dalam Pasal 31A Ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 2009. Pertimbangan yang tidak memadai antara lain disebabkan oleh tidak adanya hukum acara uji materiil oleh Mahkamah Agung. Perma No. 1 Tahun 2011 tidak cukup sebagai dasar hukum acara uji materiil. 3. Ruang lingkup kewenangan Mahkamah Agung memeriksa dan memutus Hak Uji Materiil hanya terbatas pada pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Secara yuridis normatif peraturan kebijakan bukanlah suatu peraturan perundang-undangan. Demikian pula arus besar pemikiran hukum juga tidak mengkategorikan peraturan kebijakan sebagai peraturan perundang-undangan. Jadi, peraturan kebijakan tidaklah termasuk dalam ruang lingkup kewenangan Hak Uji Materiil oleh Mahkamah Agung. Penyelesaian sengketa atas terbitnya peraturan kebijakan masih problematis. Akan tetapi juga tidak bijak membiarkan suatu sengketa atas peraturan kebijakan berada di wilayah yang tidak jelas (grey area). Asas nemo judex in rex sua merupakan asas universal dalam hukum acara yang wajib diterapkan oleh hakim. Akan tetapi pada kasus-kasus tertentu tidak menutup kemungkinan asas nemo judex in rex sua berhadaphadapan (vis-à-vis) dengan asas ius curia novit. Dalam keadaan demikian itu hakim harus menetapkan asas mana harus diterapkan. B. Saran 1. Permasalahan yang muncul paska diterbitkannya Perma No. 1 Tahun 2011, yaitu adanya perbedaan pendapat dapat/tidaknya diterima objek Hak Uji Materiil yang diundangkan sebelum diterbitkannya Perma No. 1 Tahun 2004, seharusnya segera diatasi agar ke depan terdapat kesatuan pendapat di antara hakim agung yang memeriksa dan memutus sengketa Hak Uji Materiil. Guna menghindari adanya standar ganda dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, maka 70

Hakim karena jabatannya sudah sepatutnya berwenang untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang diundangkan sebelum terbitnya Perma No. 1 Tahun 2011. 2. Dalam hukum acara terdapat adagium yang menyatakan pont d’interest point d’action, untuk dapat mengajukan suatu perkara ke pengadilan, sesorang harus memiliki kepentingan hukum. Dalam proses pemeriksaan Hak Uji Materiil di Mahkamah Agung yang menjadi dasar legal standing seseorang untuk dapat mengajukan permohonan pengujian suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan adalah kerugian yang dialami karena terdapat hak dan/atau kewajibannya yang dijamin oleh suatu peraturan perundang-undangan yang dirugikan oleh berlakunya ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih bawah yang hendak diajukan pengujian. Hal ini penting untuk diberikan pertimbangan hukum yang memadai sebelum Majelis Hakim memeriksa pokok perkara. Selain itu juga perlu kiranya dirumuskan dalam sebuah undang-undang tentang pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yang materi muatannya meliputi antara lain, kedudukan dan susunan, kekuasaan Mahkamah Agung dalam pengujian, hukum acara (pengajuan permohonan, pendaftaran permohonan dan penjadwalan sidang, alat bukti, pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan persidangan, putusan, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang). Oleh karena itu, melalui laporan ini Penulis mengusulkan agar ada penelitian lanjutan tentang model ideal hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh Mahkamah Agung. 3. Guna mengakhiri problematik sengketa atas peraturan kebijakan (beleidsregel) perlu segera disahkan Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, di mana salah satu pasalnya melimpahkan kewenangan kepada peradilan administrasi untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa onrechtmatige overheidsdaad yang bersifat feitelijke handelingan – termasuk 71

sengketa peraturan kebijakan. Dalam kasus-kasus tertentu di mana terjadi benturan antara asas nemo judex in rex sua dan asas ius curia novit hakim karena jabatannya dapat mengesampingkan asas nemo judex in rex sua dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: pertama, secara yuridis tidak ada lembaga lain yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa tersebut dan apabila sengketa itu dibiarkan dapat mengganggu tertib hukum dalam masyarakat; kedua, hakim harus seselektif mungkin dan penuh kehati-hatian, artinya tidak begitu mudah untuk mengesampingkan asas tersebut; dan ketiga, berpegang teguh pada ide dasar hukum yang tertinggi yaitu keadilan.

72

DAFTAR PUSTAKA Buku Referensi : Abraham, Henry J. dalam The Judicial Process – An Introductory of the Court of The United States, England, and France, Third Edition Revised and enlarged Oxford University Press, London, 1975. Ali, Chidir, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1991. Asshiddiqie, Jimly, Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005. _______, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006. _______, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006. _______, Perihal Undang-Undang, Rajawali Press, Jakarta, 2010. Bahar, Novrizal & Owen Podger, Memberdayakan Desa: Naskah Akademik Pokok-pokok Pikiran Pembentukan UndangUndang tentang Desa, DRSP-USAID, Jakarta, 2009. Baron, Jerome A. & C. Thomas Dienes, Constitutional Law, West Publishing co, St. Paul, Minn, 1995. Basah, Sjachran, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Adminstrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, 1997. Cipto, Bambang, Politik dan Pemerintahan Amerika, Lingkaran, Yogyakarta, 2003. Fajar, Abdul Mukhtie, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006. Gamer, Brian A., ed, Black’s Law Dictionary, 9th, St. Paul, MN. Thomson Reuters, 2009. Hadjon, Philipus M., et.al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002. Hadjon, Philipus M., Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Peradaban, Surabaya, 2007. 73

_______, Butir-butir Pemikiran dalam Hukum Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, S.H: Analisis terhadap UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Refika Aditama, Bandung, 2008. Hadjon, Philipus M. & Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum (Legal Argumentation/Legal Reasoning): Langkahlangkah Legal Solving dan Penyusunan Legal Opinion, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2008. Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa: Pemikiran Hukum Dr. Harjono, S.H., M.CL. Wakil Ketua MK, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008. Hartono, C.F.G. Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung, 2006. Helder, E., Ombudsman en administrative rechtbescherming, Dissertatie TU Twente, Enschede, 1989. Hertogh, M.L.M., Consequenties van controle: De bestuurlijke doorwerking van het oondeel van de administrative rechter en de Nationale ombudsman, Vuga, Den Haag, 1997. Hoesein, Zainal Arifin, Judicial Review di Mahkamah Agung: Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Rajawali Press, Jakarta, 2009. Hoogenboom, T. & L.J.A. Damen (Red), De steer van administratief recht (feestbundel), 1994. Jacobstein, J. Myron, Roy M. Mersky & Donald J. Dunn, Legal Research Illustrated, New York Foundation Press, New York, 1998. Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York, 1945. Latief, Abdul, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan Daerah, UII Press, Yogyakarta, 2005. 74

Lotulung, Paulus Effendi, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993. Mahfud MD, Perkembangan Politik Hukum, Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia, Disertasi Doktor dalam Ilmu Hukum di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1993. Malik, Abdul, Perspektif Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial Pasca Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006, Jurnal Konstitusi, Vol. 6, 2008. Manan, Bagir & Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1997. Manan, Bagir, Fungsi dan Materi Peraturan Perundangundangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundangundangan Departemen Kehakiman RI, Jakarta, 1995. Martosoewignjo, Sri Soemantri, Hak Menguji Materiil di Indonesia, Alumni, Bandung, 1986. Martosoewignjo, Sri Soemantri & Bintan R. Saragih, Ketatanegaraan Indonesia dalam Kehidupan Politik Indonesia – 30 Tahun Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993. Marzuki, M. Laica, Berjalan di Ranah Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, 2005. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009. Montesqueiu, Charles de Scondat, Baron de, The Spirit of Law, translated by Thomas Nugent, revised by J.V. Prichard, G. Bell & Son, London, 1914. Nalle, Victor Imanuel W., Kewenangan Yudikatif dalam Pengujian Peraturan Kebijakan: Kajian Putusan Mahkamah Agung No. 23 P/HUM/2009, Jurnal Yudisial, Vol. 6 No. 1 April 2013. Rehnquist, William H., The Supreme Court How it was, How it is, William Morrow, New York, 1989. 75

Ruiter,

D. W. P., Bestuursrechtelijke Wetgevingsleer, Assen/Maastricht, van Gorcum, 1987. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta, 2008. Soekanto, Soerjono & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009. Sunny, Ismail, Pembagian Kekuasaan Negara, Aksara Baru, Jakarta, 1982. Suteki, Kebijakan Tidak Menegakkan Hukum (Non Enforcement of Law) Demi Pemuliaan Keadilan Substantif, Pengukuhan Guru Besar pada Jurusan Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 4 Agustus 2010. Tahir Azhary, Mohamad, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dari Segi hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta, 1992. Tak, P. J. P., Rechtsvorming in Nederland, Samson H.D. Tjeenk Willink, Alpen aan den Rijn, 1987. Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXVII No. 316 Maret 2012, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta, hal.96. Williams, Jerre S., Constitutional Analysis in a Nutshell, West Publishing, 1979. http://www.usconstitution.net/consttop_intr.html. Diakses 13-092013. Peraturan Perundang-undangan : UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 76

Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UndangUndang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UndangUndang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Perma No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil. Perma No. 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. Putusan Pengadilan : Putusan Mahkamah Konstitusi No. 004/PUU-I/2003, 30-12-2003. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 066/PUU-II/2004, 12-04-2005. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 31/PUU-V/2007, 18-06-2008. Putusan Mahkamah Agung No. 29 P/HUM/2005, 18-06-2007. Putusan Mahkamah Agung No. 25 P/HUM/2006, 30-08-2006. Putusan Mahkamah Agung No. 41 P/HUM/2006, 21-11-2006. Putusan Mahkamah Agung No. 09 P/HUM/2007, 25-05-2007. Putusan Mahkamah Agung No. 24 P/HUM/2007, 14-12-2007. Putusan Mahkamah Agung No. 04 P/HUM/2008, 31-05-2010. Putusan Mahkamah Agung No. 37 P/HUM/2008, 18-03-2009. Putusan Mahkamah Agung No. 23P/HUM/2009, 09-12-2009. Putusan Mahkamah Agung No. 39 P/HUM/2009, 23-02-2010. Putusan Mahkamah Agung No. 18 P/HUM/2010, 28-07-2010. Putusan Mahkamah Agung No. 45 P/HUM/2010, 11-11-2010. Putusan Mahkamah Agung No. 03 P/HUM/2011, 25-03-2011. Putusan Mahkamah Agung No. 36 P/HUM/2011, 09-02-2012. 77

Putusan Mahkamah Agung No. 838 K/Sip/1970 (Perkara Josopandoyo). Putusan Mahkamah Agung No. 437K/TUN/2006, 12-06-2007. Putusan Mahkamah Agung No. 53 PK/TUN/2008, 27-10-2008. Putusan PTUN Medan No. 77/G.TUN/2005/PTUN-MDN, 27-092005. Putusan PTUN Semarang No. 08/G/2009/PTUN-Smg, 03-06-2009.

78

LAMPIRAN

79

80

INVENTARISASI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TENTANG HAK UJI MATERIL TAHUN 2005-2011

No 1.

No. Perkara & Tgl. Putusan 05G/HU M/2000 30-052007

Pihak - Djaya Budi S, dkk (P). - DPRD Kalteng (T).

2.

07P/HUM /2000 17-092008

- Rahmadi GL, dkk (P). - Pemerinta h Daerah Kab. Kotawari ngin Timur (T).

3.

01G/HU M/2002

- Moses Kallem

Objek HUM

Susunan Sidang

Amar Putusan

Alasan Hukum

- Kep. DPRD I Kalteng ttg Peraturan Tatib. - Kep. DPRD I Kalteng ttg Penetapan Namanama Pasangan Calon Gub & Wagub Kalteng. - Kep. DPRD I Kalteng ttg Penetapan Nama Pasangan Gub & Wagub Kalteng. Perda Kotawaringin Timur 14/2000.

Muchsan Widayatno S. A.Sukardja Samir Erdy (PP)

Menolak gugatan.

Para Penggugat tidak mempunyai legal standing untuk mengajukan gugatan.

A.Sukardja Widayatno S. Marina S. Benar S. (PP)

Perda 14/2000 tdk ada ket yg menegaskan adanya prestasi Pemda berupa jasa dan ijin sebagaimana diatur dlm UU 18/1997.

- Kep. DPRD Kab. Jpr ttg Perubahan I

A.Sukardja Widayatno

- Mengabulkan permohonan untuk seluruhnya. - Menyatakan Perda 14/2000 inkonstitusiona l& bertentangan dgn UU 18/1997. - Menyatakan Perda 14/2000 tdk berlaku dan tdk mempunyai kekuatan mengikat. Menolak gugatan.

Bukan objek karena

81

30-062008

(P). - Pimpinan DPRD Kab Jpr (T).

Tatib Pemilihan Calon Kada & Wakada Jpr. - Kep. DPRD Kab. Jpr ttg Tatib Pemilihan Calon Kada & Wakada Jpr. Perda Kab. Madiun 4/2001 ttg Pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Desa.

S. Marina S. Benar S (PP)

4.

03G/HU M/2002 17-092008

- Kusninda r dkk (P). - Pemda Kab. Madiun (T).

5.

04P/HUM /2002 07-042008

6.

09P/HUM /2002 10-042007

berlaku internal, tdk ditujukan kpd umum.

A.Sukardja Widayatno S. Marina S. Benar S (PP)

Menolak permohonan.

Generasi Muda Trikora Pandeglang, dkk (P).

Kep. DPRD Prov. Banten ttg Tatib Pemilihan Gub & Wagub Banten.

Menolak gugatan

Bupati Gersik (P).

PP 69/2001 ttg Kepelabuhanan.

A.Sukardja Widayatno S. Imam S. Benar S (PP) Paulus Lotulung A.Sukardja Muchsan Samir E. (PP)

1. Mengabulkan permohonan sebagian. 2. Menyatakan PP 69/2001 hrs direvisi dgn memperhatik an pemberian kewenangan yg lbh luas, nyata & bertanggung jawab kpd daerah sec proporsional. 3. Menyatakan: - Psl 5 >< Psl 11 UU

Dgn tdk dimasukanny a Kepmendagri 64/1999 sbg dasar penerbitan Perda, maka Perda itu tdk dpt dipertentangk an dgn Kepmendagri. Bukan objek karena berlaku internal, tdk ditujukan kpd umum. Merujuk Put MA No. 12P/HUM/20 03 28-052004: PP 69/2001 >< UU 22/1999.

82

4.

7.

05P/HUM /2005 21-022006

8.

23P/HUM /2005 03-032009

9.

29P/HUM

- Indah S dkk (P). - Gub. DKI Jkt & DPRD DKI Jkt (T).

- Bambang M, dkk (P). - KPUD Sukoharj o (T). - Ruslim

- Perda DKI Jkt 13/2004 ttg Perubahan Bentuk BH Yayasan RS. Haji Jkt menjadi PT. - Perda DKI Jkt 14/2004 ttg Perubahan Status Hukum UPTD Kes RSUD Cengkareng menjadi PT. - Perda DKI Jkt 15/2004 ttg Perubahan Status Hukum UPTD Kes RSUD Pasar Rebo menjadi PT.

Muchsan Imam S. A.Sukardja A.Karim M (PP).

SE KPUD Sukoharjo ttg Penggunaan Hak Pilih dlm Pemilihan Bup & Wapub.

A.Sukardja Widayatno S. Imam S. Benar S (PP). Bagir M.

Perpres 36/2005 ttg

1. 2.

3.

22/1999. - Psl 12 >< Psl 7 & Psl 9 UU 22/1999. - Psl 16-22 >< Psl 3 & Psl 7 UU 22/1999. - Psl 25-36, Psl 54-59, Pasal 6266 >< Psl 7 UU 22/1999. Menolak permohonan selebihnya. Mengabulkan permohonan. Menyatakan batal dan tdk berlaku umum Perda 13/2004, Perda 14/2004, & Perda 15/2004. Memerintahk an para termohon ntk mencabut perda-perda tsb.

Menolak permohonan.

Menolak

Perubahan bentuk BH/status hukum RS menjadi PT menyimpang dari semangat UU Kesehatan & UU Pemda, yakni mengalihkan misi pelayanan penyelenggar aan kes yg merata & terjangkau oleh msy menuju profit oriented. SE bukan objek HUM karena bukan merupakan perat PUUn. Tdk beralasan

83

/2005 18-062007

dkk 2961 org (P). - Presiden RI (T).

Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Kep. Umum.

Imam S. Widayatno S. A.Sukardja Paulus Lotulung Samir Erdy (PP). A.Sukardja Widayatno S. Imam S. Benar S (PP).

permohonan.

hukum.

10.

02P/HUM /2006 03-032009

- Syamsir N (P). - Bupati Banggai (T).

Perbup Banggai 11/2005 ttg Batas Usia Pensiun PNS yg Menduduki Eselon II.

1. Mengabulkan permohonan. 2. Menyatakan tidak sah dan batal serta tdk mempunyai kekuatan hkm mengikat Perbup 11/2005. 3. Memerintahk an termohon ntk mencabut Perbup tsb.

PP 50/2005 ttg Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta.

A.Sukardja Imam S. Widayatno S. Benar S. (PP)

Menolak permohonan.

PP 9/1981 sbg pelaksana UU 7/1974 ttg Penertiban Perjudian

PE Lotulung Muchsan Imam Soebechi

Mengabulkan permohonan

- Perpanjang an usia pensiun bagi PNS yg menduduki jabatan struktural tdk dilarang oleh UU. - Tdk ada Perda yg mengatur materi muatan Perbup itu. Pasal-pasal dr PP 50/2005 merupakan gambaran kebijaksanaan (policy) pemerintah yang penjabaranny a lebih lanjut adl tugas KPI, shg tdk ada yg patut dipertentangk an dg perat PUUn yg lbh tinggi. Mengesampin gkan Psl 2 (4) Perma 1/2004 (berkenaan

11.

18P/HUM /2006 19-042007

- S. Sinansari (P). - Presiden RI (T).

12.

25P/HUM /2006 30-082006

- PT. Wisata Hiburia (P).

84

- Presiden RI (T).

Abdul Siboro (PP)

13.

41P/HUM /2006 21-112006

- Irsjad Djuweli dkk (P). - Presiden RI (T).

PP 6/2005 thd UU No. 32/2004

PE Lotulung A.Sukardja Muchsan Endria S. (PP)

Mengabulkan permohonan

14.

42P/HUM /2006 15-112007

- Drs. Eddy S. (P). - Presiden RI (T).

SE Presidium Kabinet Ampera ttg Masalah Cina thd UUD 1945

Menolak permohonan

15.

03P/HUM /2007 30-102007

- Prof. Agus Abadi dkk (P). - Presiden RI (P).114

PP 30/2006 ttg Penetapan Unair sbg BHMN

A.Sukardja Imam S. Marina S. Matheus S (PP) A.Sukardja Imam S. Marina S. AK Setiyono

16.

09P/HUM /2007 25-052007

- Drs. Agus Salim D, dkk (P). - Depag RI (T).

- Kep. Dirjen Pendidikan Islam Depag ttg Penyelenggaraan MAN Insan Cendikia Serpong & MAN Insan Cendekia Gorontalo (P-1). - Kep. Dirjen Pendidikan Islam ttg Pedoman Manajemen MAN Insan Cendekia

A.Sukardja Imam S. Marina S. Matheus S (PP)

Menolak permohonan

114

Menolak permohonan

dgn pembatasan tenggang waktu). Mengesampin gkan Psl 2 (4) Perma 1/2004 (berkenaan dgn pembatasan tenggang waktu). Daluarsa.

Objek HUM tdk bertentangan dgn UU 20/2003 ttg Sisdiknas & UU 10/2004 ttg Pembentukan PUUn.115 P-1 daluarsa. P-2 & P-3 merupakan kebijaksanaan pemerintah yg tdk termasuk kewenangan HUM dari MA.

Termohon tidak mengajukan jawaban sampai batas waktu mengajukan jawaban telah lewat. 115 Pertimbangan untuk menolak permohonan pemohon tidak menunjukan penalaran hukum yang jelas. 85

Serpong & Gorontalo (P-2). - Kep. Dirjen Pendidikan Islam ttg Statuta MAN Insan Cendekia Serpong & Gorontalo (P-3). Kep. Gub Kalsel ttg Penetapan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) beserta perubahannya.118

17.

14P/HUM /2007 23-112009

- DPD Gab Perusahaa n Perkebun an Ind (GPPI) dkk (P).116 - Gubernur Kalsel (T).117

18.

24P/HUM /2007 14-122007

- Abd Malik dkk (P). - Presiden RI (T).

Psl 15 Perpres 14/2007 ttg Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.

19.

30P/HUM /2007

- Koalisi Gab Partai Penegak

- Perat KPU Pusat ttg Penetapan Pengisian Keanggotaan

116

A.Sukardja Imam S. Marina S. Subur MS (PP).

- Mengabulkan permohonan. - Menyatakan Kep. Termohon bertentangan dgn perat PUUn yg lbh tinggi, karenanya tidak sah & tdk berlaku umum. - Memerintahka n Termohon ntk mencabut kep tsb.

Bagir Manan A.Sukardja Paulus Lotulung Matheus S. (PP) Widayatno S. Marina S. Imam S.

Menolak permohonan

Menolak permohonan.

- Diterapaka n asas retroaktif bertentanga n dgn perat PUUn yg lbh tinggi. - Tdk didasarkan pd usulan & kesepakata n asosiasi perusahaan & serikat pekerja yg dicapai dlm perundinga n. Beleids tdk dpt diuji.

Pemohon tidak mempunyai legal

Pemohon hanya mengajukan dua alat bukti berupa keputusan yang dimohonkan pengujian. Pemohon tidak mengajukan bukti tentang Anggaran Dasar dan bukti-bukti lain yang dipandang perlu, padahal hal itu penting untuk membuktikan legal standing. 117 Termohon tidak mengajukan jawaban sampai batas waktu mengajukan jawaban telah lewat. 118 Keputusan ini bersifat umum-konkret, bukan umum-abstrak. 86

20.

04P/HUM /2008 31-052010

21.

29P/HUM /2008 03-032009

Hukum & Demokra si Kab Kayong Utara & Kab Ketapang (P). - Ketua KPU Pusat (T). - Eddy Rianto, dkk (P). - Ketua KPU (T).

DPRD. - Kep KPU Ketapang ttg Penetapan Perolehan Suara Sah, BPP & Kursi masing-masing Parpol.

AK Setiyono (PP).

SE KPU ttg Pencalonan Persoarangan dlm Pemilu Kada & Wakada thdp Psl 57 (1) & Psl 58 UU 24/2003 ttg MK.

A.Sukardja Yulius Marina S. Handri Anik (PP).

Menolak permohonan.

- Bahrum D (P). - Presiden RI (T).

PP 49/2008 ttp Perubahan III PP 6/2005 ttg Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, & Pemberhentian Kada & Wakada.

A.Sukardja Widayatno S. Marina S. AK Setiyono (PP).

Menolak permohonan.

119

standing.

Interpretasi MK tdk dpt dianggap sbg norma baru dlm UU 32/2004, karena kewenangan ntk merevisi psl tsb sesuai dgn putusan MK adalah merupakan kewenangan original legislator (DPR & Presiden).119 Psl 132 A (1) & (2) PP 49/2008 adalah bg Pj atau Plt Kada atau yg diangkat ntk mengisi kekosongan jabatan Kada krn mengundurka n diri ntk

Dalam perkara yg lain MA menyatakan SE bukan objek HUM karena bukan merupakan perat PUUn. Lihat Putusan 23P/HUM/2005, 03-032009, Bambang M, dkk vs. KPUD Sukoharjo (angka 8 di atas). 87

22.

37P/HUM /2008 18-032009

23.

15P/HUM /2009 18-062009

- Asosiasi Tangki Timbun & Pemompa an Belawan (P). - PT (Persero) Pelabuha n Indonesia I (T). - Zaenal Maarif dkk (P). - KPU (T).

Kep Direksi PT (Persero) Pelabuhan Indonesia I.

PE Lotulung A.Sukardja Imam Soebechi Sumartanto (PP)

Mengabulkan permohonan

Peraturan KPU 15 Thn 2009, 16-03-2009 ttg Pedoman Teknis Penetapan & Pengumuman Hasil Pemilihan Umum, Tata Cara Penetapan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih & Penggantian Calon

A.Sukardja Imam S. Marina S. HA Effendi (PP)

Menerima permohonan

mencalonkan/ dicalonkan menjadi calon Kada/Wakada , serta Kada yg diangkat dr Wakada yg menggantikan Kada yg mengundurka n diri ntk mencalonkan/ dicalonkan sebagai calon Kada, bukan Kada sebagaimana dimaksud dlm Psl 25, 26, 28 UU 32/2004. Mengesampin gkan Psl 2 (4) Perma 1/2004 (berkenaan dgn pembatasan tenggang waktu).

Pembentukan nya bertentangan dgn Psl. 205 (4) UU 10/2008 ttg Pemilu.

88

24.

16P/HUM /2009 18-062009

- Rusdi (P). - KPU (T).

25.

22P/HUM /2009 09-122009

26.

23P/HUM /2009 09-122009

27.

25P/HUM /2009 23-112008

- I.Gede RT, dk (P). - Presiden RI (T). - Bupati Kutai Timur (P) - Menteri ESDM (T) - Usman Jibran (P). - Diret Perum Pegadaia n, dkk (T).

Terpilih dlm dlm Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, & DPRD Kabupaten/Kota 2009. Peraturan KPU No. 15 Thn 2009, 16-03-2009 ttg Pedoman Teknis Penetapan & Pengumuman Hasil Pemilu, Tatacara Penetapan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih & Penggantian Calon Terpilih dalam Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota 2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan KPU No. 26 Thn 2009, 14-04-2009 ttg Perubahan thd Peraturan KPU No. 15 Thn 2009. PP 17/2009 ttg Pajak Penghasilan Transaksi Derivatif.

SE Dirjen Minerba Dep. ESDM

- SE Perum Pegadaian ttg Larangan Menjadi Pengurus Parpol dan/atau calon/anggota legislatif. - SE Meneg BUMN

A.Sukardja Imam S. Marina S. HA Effendi (PP)

Mengabulkan permohonan.

Bertentangan dgn Psl. 212 (3) UU 10/2008.

A.Sukardja Imam S. Marina S. Subur MS (PP) A.Sukardja Imam S. Marina S. Subur MS (PP)

Mengabulkan permohonan.

Objek HUM berlaku surut menimbulkan ketidakpastia n hkm. Objek HUM bertentangan dgn UU 4/2009.

A.Sukardja Imam S. Marina S. Subur MS (PP)

Permohonan tdk dpt diterima.

Mengabulkan permohonan

Daluarsa.

89

28.

26P/HUM /2009 23-112009

- Eddy W (P). - Ketua KPU (T).

29.

30P/HUM /2009 26-012010

- Suhedi, dkk (P). - Dirut PT. KAI (T).

30.

37P/HUM /2009 21-042010

31.

38P/HUM /2009 29-042010

& PP 45/2005 ttg Pendirian, Pengurusan, Pengawasan & Pembubaran BUMN. Psl. 49 Peraturan KPU 15/2009 ttg Pedoman Teknis.

A.Sukardja Marina S. Imam S. R. Murianeti (PP)

Menolak permohonan.

Kep. Direksi PT. KAI ttg Penetapan Tarif Sewa Tanah & Bangunan serta Fasilitas Lainnya di Lingkungan PT. KAI.

A.Sukardja Marina S. Imam S. Subur MS (PP)

Menolak permohonan.

- Harijanto, dkk (P). - Menkomi nfo RI (T).

Permenkominfo ttg Penyelenggaraan Radio Amatir.

Imam S. A.Sukardja Marina S. Subur MS (PP)

Menolak permohonan.

- Syamsul R, dkk (P). - Gub DKI Jakarta (T).

Pergub DKI Jakarta 80/2009

Imam S. A.Sukardja Marina S. R. Murianeti (PP)

Menolak permohonan.

Objek HUM tdk berdasar hkm karena tdk bertentangan dgn Psl 5 UU 15/2008 ttg Pemilu. Objek HUM tdk dpt digolongkan sbg Perat PUUn baik yg dibuat oleh institusi legislatif (legislative acts) maupun institusi eksekutif (executive acts), yg menjadi wewenang MA. Objek HUM isinya tdk bertentangan dgn perat PUUn yg lbh tinggi. Permohonan tdk jelas mana psl-psl yg bertentangan satu dgn yg lain & psl-psl yg bertentangan

90

32.

39P/HUM /2009 23-022010

- Ibnu Jandi, dkk (P). - Walikota Tangeran g Selatan (T).

120

Perwalikota Tangerang Selatan 40/2009 ttg Penyelenggaraan Perijinan.

A.Sukardja Imam S. Marina S. R. Murianeti (PP)

Permohonan tdk dpt diterima.

dgn perat PUUn yg lbh tinggi. - P tdk mempunya i kepentinga n langsung, krn bukan penduduk Tangerang Selatan yg mendpt hak shg kepentinga nnya dirugikan dengan pemberlak uan Perda obyek HUM tersebut.120 - Substansi tdk jelas mana yg bertentang an dgn peraturan yg lbh tinggi. - Perda 40/2009 merupakan beleid dr Walikota

Majelis Hakim tidak cermat menuliskan objek HUM dalam pertimbangan hukum. Apakah yg diuji itu peraturan perundang-undangan berupa Perda atau Perwalikota? Dalam duduknya perkara yang dimintakan oleh Pemohon untuk diuji adalah Perwalikota 49/2009, tetapi dalam pertimbangan hukum yang diuraikan adala Perda 40/2009. Mungkin saja terdapat kesalahan ketik dari Perwalikota menjadi Perda. Namun, kita samasama tahu bahwa dari segi teori perundang-undangan materi muatan Perda dan Perwalikota tentunya materi muatannnya berbeda. 91

33.

41P/HUM /2009 11-032010

- DPN Apindo (P). - Gub Prov Kaltim (T).

34.

18P/HUM /2010 28-072010

- M.Y. Nyola (P). - KPU (T).

35.

20P/HUM /2010 28-012011

- Yuliantor o (P). - Ketua KPU Kab Kediri (T).

36.

22P/HUM /2010 26-082010

- PT. Favorit Unggul dkk (P). 121

- Perda Prov Kaltim 21/2008 ttg Pajak Kendaraan Bermotor. - Perda Prov Kaltim 22/2008 ttg Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. - Peraturan KPU 61/2009 ttg Pedoman Teknis Penetapan Jml & Tata Cara Pengisian Keanggotaan DPRD.

A.Sukardja Imam S. Marina S. R. Murianeti (PP)

Permohonan tdk dpt diterima.

A.Sukardja Yulis Marina S. Sumartanto (PP)

Menolak permohonan.

- Kep. KPU Kab Kediri ttg Penetapan No. Urut Pasangan Calon Kada & Wakada. - BA KPU ttg No Urut Pasangan Calon Kada & Wakada. Kep. Direksi PT. PLN ttg Penerbitan Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL).

A.Sukardja Supandi Imam S. K. Nasution (PP)

Permohonan tdk dpt diterima.

A.Sukardja Yulius Marina S. Hari S (PP)

Permohonan tdk dpt diterima.

Tengerang Selatan shg tdk dpt diajukan keberatan HUM.121 Daluarsa.

Kab. baru yg terbentuk sebelum pemilu 2009 pengisian DPRD bukan melalui mekanisme pemilu kab baru melainkan berdsrkan hasil pemilu di kab. induk. Objek HUM bukan regeling.

Daluarsa.

Benarkah Perwali 40/2009 merupakan peraturan kebijakan (beleids)? Mengapa peraturan kebijakan tidak dapat diuji oleh hakim? Bagaimana perkembangan doktrin mengenai marginal toetsing saat ini? 92

37.

25P/HUM /2010 03-092010

38.

27P/HUM /2010 27-092010

39.

32P/HUM /2010 11-112010

- Pemerinta h RI cq. Menteri ESDM cq. PT. PLN cq. PT. PLN Distribusi Raya & Tangeran g (T). - Cahyadi dkk (P). - Presiden RI dkk (T).

- Yoesoef Senen, dkk (P). - Mendagri (T). - I.Wayan P (P). - Gubernur Bali dkk (T).

- PP 72/2005 ttg Desa. - Perda Kab Lampung Barat 15/2006 ttg Pemilihan & Penetapan Peratin. Kepmendagri ttg Penetapan Kab Musi Rawas sbg Penghasil Sumur Gas Bumi Suban 4. Perda Prov Bali 16/2009 ttg RTRW Prov Bali 2009-2029.

A.Sukardja Yulius Marina S. Fitriamina (PP)

Permohonan tdk dpt diterima.

Daluarsa.

A.Sukardja Yulius Marina S. Hari S. (PP)

Permohonan tdk dpt diterima.

Daluarsa.

A.Sukardja Yulius Marina S K. Nasution (PP)

Menolak permohonan.

Penetapan Kawasan “Tempat Suci” yg diatur Perda tsb tdk hrs diartikan tlh menghilangka n kesempatan msy ntk berusaha dibidang Pariwisata, tetapi Perda tsb mengatur ttg kegiatan msy yg bs dilakukan di kawasan tempat suci, sesuai dengan

93

40.

45P/HUM /2010 11-112010

- I.Wayan S (P). - Ketua KPU Tabanan (T).

Kep KPU Tabanan ttg Penetapan Rekap Hasil Penghitungan Perolehan Suara & Calon Terpilih dlm Pemilukada & Wakada.

A.Sukardja Supandi Imam S. Fitriamina (PP)

Menolak permohonan.

41.

49P/HUM

- Sutjipto

Permen Kumham ttg

A.Sukardja

Menolak

122

penetapan zona-zona dgn tujuan utama menjaga & melestarikan budaya Bali.122 Bukan objek HUM dgn pertimbangan BA yg menjadi dasar pertimbangan keputusan merupakan dasar yg fiktif. Alasan tsb tdk terbukti menurut hukum, dlm permohonan Pemohon hanya menguraikan secara umum fakta ttg penghitungan perolehan suara serta kemungkinan adanya penyimpanga n (perbuatan faktual), bukan merupakan substansi Pengujian HUM.123 Objek HUM

Pertimbangan mengenai legal standing didasarkan pada dalildalil pemohon bukan didasarkan pada bukti-bukti yang diajukan para pihak. 123 Logika berpikirnya membingungkan. 94

/2010

dkk (P). - Kemen Kumham (T).

Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris dlm Bentuk Perserikatan Perdata.

Yulius Marina S. Fitriamina (PP)

permohonan.

42.

54P/HUM /2010 24-032011

- Musimin dkk (P). - Presiden RI (T).

Keppres ttg Perlakuan thd Mereka yg Terlibat G30S/PKI.

Permohonan tdk dpt diterima.

43.

55P/HUM /2010 09-122010

- Mulyo A dkk (P). - Gubernur DIY (T).

Perda DIY 2/2010 ttg RTRW DIY 20092029.

44.

56P/HUM /2010 09-122010

- Pahri A. (P). - Mendagri (T).

45.

57P/HUM /2010 18-012011

- Joefly JB (P). - Menkeu RI (T).

46.

58P/HUM /2010 18-012011

- DPD AKLI Sumut dkk (P). - Menteri ESDM RI (T).

47.

59P/HUM /2010 18-012011

48.

01P/HUM /2011

- I. Hasibuan (P). - Menhut RI (T). - DPK APINDO

- Permendagri 63/2007 ttg Penetapan Kab Musi Rawas sbg Daerah Penghasil Sumur Gas Bumi Suban 4. Permenkeu ttg Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak. Kepmen ESDM ttg Perpanjangan Penetapan KONSUIL sbg Lembaga Pemeriksa Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik Konsumen Tegangan Rendah. Kepmenhut ttg Pemberian HPHTKP kepada PT. Sumatera Sylvia Lestari.

A.Sukardja Supandi Imam S. R. Murianeti (PP) A.Sukardja Yulius Marina S. K. Nasution (PP) A.Sukardja Yulius Marina S. Hari S. (PP)

Pergub Jatim 95/2010 ttg Upah Minimum

tdk diskriminatif & tdk bertentangan dgn perat PUUn yg lbh tinggi. Daluarsa.

Permohonan tdk dpt diterima.

Daluarsa.

Permohonan tdk dpt diterima.

Daluarsa.

A.Sukardja Yulius Marina S. Fitriamina (PP)

Menolak permohonan.

Objek HUM tdk bertentangan dgn perat PUUn yg lbh tinggi.

A.Sukardja Yulius Marina S. Hari S. (PP)

Permohonan tdk dpt diterima.

Daluarsa.

A.Sukardja Yulius Marina S. Hari S. (PP)

Permohonan tdk dpt diterima.

Daluarsa.

A.Sukardja Yulius

Menolak permohonan.

Objek HUM telah

95

02-032011

Gresik (P). - Gubernur Jatim (T).

124

Kab Gresik 2011.124

Marina S. Hari S. (PP)

memperhatika n rekomendasi (usulan) Bupati Gresik, yg didasarkan pd komponen hidup layak. Nilai komponen tsb tlh dibuat kesepakatan dlm Dewan Pengupahan Kab Gresik, kecuali komponen transportasi. Oleh krn komponen transportasi belum memperoleh kesepakatan sedangkan perat PUUn menetapkan batas waktu penetapan upah minimum, maka komponen transportasi digunakan hasil kesepakan thn 2009 & Perbup Gresik ttg Tarif Mobil Penumpang.

Meskipun dikemas dalam bentuk peraturan namun materi muatannya bersifat umum-konkret. 96

49.

02P/HUM /2011 02-032011

50.

03P/HUM /2011 25-032011

51.

05P/HUM /2011 14-092011

52.

10P/HUM /2011 08-062011

53.

11P/HUM /2011 08-062011

54.

15P/HUM /2011 21-062011

- A.Panjait an dkk (P). - Mentrans PPH (T). - Aryadi (P). - MA RI & Gub DKI Jakarta (T).

Kepmentrans PPH ttg Izin Pelaksanaan Transmigrasi PIRTRANS.

- Safuan dkk (P). - Gubernur Jateng dkk (T). - H. Polanunu (P). - Mendagri (T). - S. Nussa dkk (P). - Mendagri (T).

Perda Prov Jateng 6/2010 ttg RTRW Jateng 2009-2029.

- SPH Situmora ng (P).126 - Menteri PU (T).

Permen PU ttg Tata Cara Pemilihan Pengurus, Masa Bakti, Tugas Pokok & Fungsi serta Mekanisme Kerja Lembaga Pengembangan Jasa

125

- Psl. 2 (4) Perma 1/2004; - Psl. 1.2 Peraturan Gub DKI Jakarta

Permendagri 29/2010 ttg Batas Daerah Kabupaten.

SE Mendagri ttg Pedoman Kedudukan Keuangan Pimpinan & Anggota DPRD.

A.Sukardja Yulius Marina S. Fitriamina (PP) PE Lotulung Supandi A.Sukardja Fitriamina

Permohonan tdk dpt diterima.

Daluarsa.

Menolak permohonan.

A.Sukardja Yulius Marina S. Subur MS (PP) A.Sukardja Yulius Supandi Fitriamina (PP) A.Sukardja Yulius Supandi Subur MS (PP) A.Sukardja Supandi Imam S. Fitriamina (PP)

Menolak permohonan.

Sekiranya Mahkamah Agung memeriksa dan mengadili objek sengketa akan melanggar asas “nemo judex in rex sua”.125 Permohonan keberatan tdk beralasan.

Permohonan tdk dpt diterima.

Daluarsa.

Permohonan tdk dpt diterima.

Daluarsa.

Menolak permohonan.

Tdk bertentangan dgn perat PUUn yg lbh tinggi.127

Dalam perkara ini Hakim menerapkan asas nemo judex in rex sua, tapi dalam perkara yang lain hakim mengesampingkan asas ini. Lihat Putusan No. 36P/HUM/2011, 09-02-2012. 126 Permohonan keberatan terlalu banyak tapi tidak fokus. 127 Tidak ditemukan pertimbangan mengapa objek HUM itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 97

Konstruksi. Permen Perdagangan ttg Ketentuan Impor Barang Jadi oleh Produsen.

55.

19P/HUM /2011 20-062011

- Irzal Y (P). - Menteri Perdagan gan (T).128

56.

36P/HUM /2011 09-022012

- HP Panggabe an, dkk (P). - KMA & KY (T).

SKB KEPPH

57.

37P/HUM /2011 22-122011

- Denny AK (P). - Presiden RI (T).

PP 52/2005 ttg Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan.

58.

39P/HUM /2011 22-122011

- Hendri Mardani dkk (P). - Walikota

PP 12/2009 ttg Kawasan Tanpa Rokok.131

128

A.Sukardja Supandi Imam S. Subur MS (PP)

Mengabulkan permohonan.

P.E. Lotulung A.Sukardja R. Purba Takdir R. Supandi H.A. Effendi (PP) A.Sukardja Supandi Imam S. R. Murianeti (PP).

Mengabulkan permohonan

A.Sukardja Imam S. Supandi Lucas P

Menolak permohonan.

Menolak permohonan.

Objek HUM menunjukkan ketidakberday aan produk dalam negeri menghadapi persaingan global, & bertentangan dgn tujuan pembangunan industri. Objek HUM bertentangan dengan Psl 40 (2) & Psl 41 (3) UU 48/2009 jo Psl 34A (4) UU 3/2009.129 - P tdk jelas apa kepentinga n, apa yg dimohonka n, & apa kerugian yg dialami. - Tdk ada hal yg dipertentan gkan.130 - Tdk bertentang an dgn asas-asas

Termohon tidak mengajukan jawaban atas permohonan keberatan meskipun telah diberitahukan secara patut. 129 Dalam perkara ini Hakim mengesampingkan asas nemo judex in rex sua. 130 Tidak nyambung antara pertimbangan yang satu dengan yg lain. 131 Tidak cermat, antara objek dgn pertimbangan tdk sama. Objek PP sdgkan dlm duduk perkara, pertimbangan & amar adl Perda. 98

Bogor (T).

132

(PP)

pembentuk an perat PUUn yg baik. - Tdk bertentang an dgn perat PUUn yg lbh tinggi.132

Pertimbangannya sangat sumir. Tdk ditemukan argumentasi mengapa majelis mengambil konklusi demikian. 99

100

Related Documents


More Documents from "jerinx"