TANGGUNG JAWAB BANK ATAS TERJAMINNYA KEAMANAN DANA NASABAH DARI PENYALAHGUNAAN KEWENANGAN JABATAN DALAM INDUSTRI PERBANKAN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.1111K/Pdt/2013)
SKRIPSI
DESTIYA PURNA PANCA 2011-41-004 HUKUM BISNIS INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ESA UNGGUL JAKARTA 2015
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Perbankan
merupakan
bisnis
yang
mengutamakan
pelayanan
dan
kepercayaan.1 Sebuah bank harus mampu memberikan rasa aman terhadap para nasabahnya menyangkut dana yang disimpan atau dikelola bank tersebut. Dalam hal penghimpunan dana masyarakat yang merupakan salah satu sumber dana bank terbesar yang dalam hal ini antara lain tabungan, deposito, dan giro. Masyarakat selalu manjadi segmen pasar perbankan, sehingga menjadi sangat penting bagi pihak bank untuk menjaga citra terhadap para nasabah dan para pemegang saham. Selain menghimpun dana dari masyarakat, bank juga menerima dana dari para investor. Dalam bisnis perbankan rasa kepuasan nasabah merupakan nilai penting yang harus di jaga. Dapat dikatakan bahwa hubungan antara nasabah dan bank didasari pada dua unsur, yakni hukum dan kepercayaan. Oleh karena itu, sebagai lembaga penghimpun dan penyalur dana masyarakat, dalam menjalankan usahanya, bank harus berlandaskan dengan prinsip kehati-hatian. Hal ini dikarenakan dana yang dikumpulkan oleh bank bukanlah jumlah yang sedikit. Sedikit saja kesalahan yang
1
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm.2.
1
dilakukan oleh bank dalam mengelola dana dari masyarakat, maka akibatnya bisa sangat fatal.2 Sesuai dengan isi Undang – Undang RI No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, pelaksanaan prinsip kehati-hatian perbankan didasarkan pada fungsi utama perbankan sebagai lembaga penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Secara pribadi manusia pada dasarnya dapat berbuat menurut kehendaknya secara bebas. Akan tetapi dalam kehidupan bermasyarakat, kebebasan tersebut dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang mengatur tingkah laku dan sikap tindak mereka.3 Hubungan yang terjalin antara bank dengan nasabah tersebut haruslah disertai dengan hak dan kewajiban yang harus dipatuhi kedua belah pihak. Jika salah satu pihak melakukan perbuatan yang dapat merugikan pihak lainnya dengan cara-cara yang melawan ketentuan hukum di bidang perbankan yang berlaku, maka perbuatan salah satu pihak tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana perbankan dan atau tindak pidana di bidang perbankan. Perbuatan tersebut juga termasuk perbuatan melawan hukum karena perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada umumnya yang dapat menimbulkan kerugian. Perbuatan melawan hukum itu tidak hanya terdiri atas suatu perbuatan, tetapi juga dapat dalam hal tidak berbuat sesuatu.4 Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata ditentukan pula bahwa setiap orang tidak hanya bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, namun juga terhadap 2
Lukman Santoso Az, Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2011, Hlm. 55. 3 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm 215. 4 Ibid., hlm 294.
2
kerugian yang disebabkan oleh perbuatan-perbuatan orang yang ditanggungnya, atau karena barang-barang yang berada dibawah pengawasannya. Seiring dengan berkembangnya perekonomian global, masalah-masalah ekonomi akan muncul sebagai resikonya. Permasalahan ekonomi yang sangat pelik, mau tidak mau akan dialami oleh setiap manusia. Keterbatasan solusi yang tersedia untuk memecahkan masalah tersebut, sangat mungkin bisa membawa manusia untuk menempuh solusi yang buruk. Tidak hanya buruk, tetapi juga bisa merugikan pihak lain. Solusi yang buruk dan merugikan pihak lain, bisa dipersamakan dengan kejahatan atau tindak pidana. Tindak pidana yang terjadi, sekarang ini telah menjamah berbagai macam seluk kehidupan, tidak terkecuali dalam dunia perbankan.5 Celakanya, banyaknya usaha dan jenis kegiatan yang dilakukan oleh bank, akan semakin membuka kesempatan bagi pihak yang tidak bertanggung jawab untuk dapat memetik keuntungan pribadi. Pegawai bank, anggota direksi bank, nasabah bank, pejabat negara yang berwenang dalam mengawasi bank (pejabat Bank Indonesia) adalah salah satu diantaranya. Menurut ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang RI No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang dikategorikan sebagai tindak pidana perbankan adalah6 : 1. Tindak pidana yang menyangkut izin usaha (Pasal 46);
5
Neni Sri Imaniyati, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm.173. 6 Indonesia, Undang-Undang tentang Perbankan, UU No.10 Tahun 1998.
3
2. Tindak pidana yang menyangkut larangan maupun kewajiban untuk memberikan keterangan mengenai keadaan keuangan nasabah (rahasia bank) (Pasal 47, Pasal 47A); 3. Tindak pidana yang menyangkut kewajiban bank memberikan laporan usaha yang sebenar-benarnya kepada Bank Indonesia (Pasal 48 ayat 1, Pasal 49); 4. Tindak pidana yang menyangkut kewajiban pihak terafiliasi dalam bank untuk mentaati segala ketentuan yang ada di dalam UU Perbankan (Pasal 50, Pasal 50A). Selain yang terdapat di dalam Undang – Undang, bentuk tindak pidana perbankan dapat dikategorikan lagi berdasarkan proses kegiatannya, yaitu7 : 1. Kejahatan di bidang lalu lintas dan peredaran uang, yang terdiri dari : 1. Pemalsuan surat pemerintah pembayaran; 2. Pemalsuan surat pemindah bukuan; 3. Pemalsuan surat perintah pemindahbukuan. 2. Kejahatan di bidang Perkreditan Sebagai pengguna produk dan jasa dari sebuah bank, seorang nasabah hendaknya memilik itikad baik dalam menjalin hubungan dengan bank. Nasabah harus mengetahui hak dan kewajiban yang akan dijalaninya sebagai konsekuensi terciptanya perjanjian yang dilakukan dengan bank. Di lain pihak, untuk menjaga 7
Chainur Arrasjid, Hukum Pidana Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, Hlm. 56.
4
kepercayaan masyarakat yang telah berpartisipasi dengan memakai produk jasa yang ditawarkan oleh bank, sebuah bank mempunyai sejumlah kewajiban yang harus dilaksanakan terhadap nasabah yang menggunakan produk dan atau jasa bank tersebut. Hal ini didasarkan pada salah satu etika yang harus dimiliki oleh bank, yaitu kepercayaan8. Salah satu kewajiban bank yang diatur dalam UndangUndang RI No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan adalah : Pasal 37B ayat 1: “Setiap bank wajib menjamin dana
masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan.” Tidak hanya cukup sampai disitu saja perlindungan yang diberikan kepada nasabah bank. Bank Indonesia sebagai bank sentral yang merupakan induk bagi semua bank yang ada di Indonesia, mempunyai tugas untuk mengatur dan mengawasi setiap tindakan atas produk dan jasa yang dilakukan oleh bank, seperti yang diatur dalam Undang – Undang RI Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia9 : Pasal 8: Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut : 1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; 2. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; 3. Mengatur dan mengawasi bank. 8 9
O.P. Simorangkir, Etik dan Moral Perbankan, Ind Hill, Jakarta, 1983, hlm. 63. Indonesia, Undang-Undang tentang Bank Indonesia, UU No.23 Tahun 1999, pasal 7 dan
8.
5
Dengan demikian, dengan tidak mengenyampingkan kewajiban yang harus dilakukan oleh nasabah, adanya penjaminan atas perlindungan kepada nasabah yang menggunakan produk dan atau jasa yang ditawarkan oleh bank, seharusnya membuat nasabah bank tidak perlu khawatir terhadap keamanan atas asset nasabah yang diperuntukkan bagi produk dan atau jasa sebuah bank. Maraknya kasus pembobolan bank yang dilakukan oleh karyawannya sendiri (orang dalam) akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa persoalan keamanan perbankan masih harus diwaspadai. Nasabah selaku pihak yang memberikan kepercayaan penuh pada bank untuk menyimpan dan mengelola uangnya merasakan kekhawatiran yang luar biasa, karena kasus pembobolan bank kerap kali terjadi dan diketahuinya baru belakangan setelah pembobol puas menikmati hasilnya, bahkan ada beberapa kasus dimana korban dalam hal ini nasabah yang dibobol dan mengalami kerugian hilangnya sejumlah uang miliknya justru tidak dapat menangkap oknum yang membobol rekeningnya. Pembobolan bank yang terjadi pada umumnya melibatkan orang dalam bank (pihak interent/pihak terafiliasi) yang tentunya mengetahui seluk beluk mekanisme dan sistem keamanan bank yang bersangkutan. Keterlibatan orang dalam (insider fraud) ini ada yang memang murni inisiatif dan kerjasama antar orang dalam, ada juga kolaborasi antara orang dalam bank dengan orang luar bank (eksteren), atau bahkan benar-benar pembobolan yang dilakukan oleh orang luar bank dengan merusak sistem pada sebuah bank dengan melakukan hacker menggunakan
fasilitas
internet.
Semua
kasus
pembobolan
bank
ini
6
memperlihatkan bahwa masih lemahnya sistem penerapan manajemen risiko yang dilaksanakan oleh bank. Bank Indonesia sebagai bank sentral dan berhak untuk memberikan pengawasan juga dinilai kurang. Ketentuan umum tentang pelaksanaan manajemen risiko tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia No.5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum. Ketentuan tersebut menekankan pada risiko yang dihadapi bank dalam melakukan kegiatan bisnisnya dan struktur pengawasan yang diperlukan untuk mengelola risiko tersebut, yang meliputi10 : Ø Identifikasi Risiko Ø Pengukuran Risiko Ø Pemantauan Risiko Ø Pengendalian Risiko Manajemen risiko yang terintegrasi mengharuskan bank untuk mengelola risiko-risiko dalam satu struktur manajemen risiko yang terintergrasi dan membangun sistem dan struktur manajemen yang memadai untuk mencapai hal tersebut.11 Salah satu kasusnya yaitu kasus Bank Mega dan PT Elnusa yang terjadi pada pertengahan April 2011. Penelitian ini membahas masalah kasus penyimpangan pelaksanaan prosedur penyimpanan atau deposito berjangka pada 10
Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, PBI No.5/8/PBI/2003. 11 Sulad Sri Hartanto, Manajemen Risiko bagi Bank Umum, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2006, hlm.6.
7
PT. Bank Mega KCP Jababeka pada tahun 2009, dengan fokus penelitian pada penerapan prosedur pengawasan terhadap terjadinya penyalahgunaan kewenangan jabatan. Dari penyimpangan ini, nasabah merasa dirugikan secara materil. Penyebab penyimpangan ini, paling tidak karena lemahnya penerapan manajemen risiko di Bank Mega tersebut. Di samping itu, adanya pihak-pihak lain yang ikut serta saat transaksi deposito, antara nasabah dengan pihak Bank Mega tersebut juga menjadi penyebab timbulnya penyimpangan transaksi itu sendiri. Padahal, standar prosedur (standard of procedures) deposito berjangka ini sangat jelas dan bisa dimengerti oleh semua pihak, baik pihak bank sendiri maupun oleh pihak nasabah. Pihak Bank Mega resmi melaporkan kasus pembobolan dana deposito yang melibatkan Kepala Cabang bank tersebut pada tanggal 21 April 2011 kepada Pengawasan Bank Indonesia. Dari penelusuran pihak berwajib terungkap, dana tersebut diduga dimanfaatkan pelaku dengan cara menginvestasikan di beberapa perusahaan yang bergerak dalam bidang pengelolaan investasi. Kemudian hasilnya dipergunakan untuk kepentingan pribadi. Akibat dari adanya perbuatan melawan hukum adalah timbulnya kerugian bagi korban. Kerugian tersebut harus diganti oleh orang-orang yang dibebankan oleh hukum untuk mengganti kerugian tersebut12. Sedangkan pihak Bank Mega menegaskan, tidak mau mengganti kerugian simpanan PT Elnusa yang raib di 12
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 133.
8
banknya. Mereka menilai, dana itu raib bukan karena kesalahan Bank Mega, melainkan karena adanya konspirasi kecurangan antara pelaku bersama dengan direktur PT Elnusa dan lembaga pengelola investasi. Dengan semakin maraknya kasus pembobolan dana nasabah dan sulitnya meminta pertanggung jawaban dari pihak bank atas dasar adanya kelemahan dalam sistem prosedur pengawasan seperti kasus diatas membuat masayarakat khawatir akan keamanan dana yang mereka simpan di bank, maka dari itu disusunlah penelitian dengan judul “TANGGUNG JAWAB BANK
ATAS TERJAMINNYA KEAMANAN DANA NASABAH DARI PENYALAHGUNAAN KEWENANGAN JABATAN DALAM INDUSTRI PERBANKAN”.
1.2. Rumusan Masalah Berdasar latar belakang yang telah penulis ungkap di atas, penulis mengajukan beberapa permasalahan yang akan penulis bahas dalam tulisan ini yakni: 1. Bagaimanakah pertanggungjawaban perbankan terhadap nasabah yang menjadi korban kejahatan perbankan ditinjau dalam aspek hukum? 2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap nasabah bank menurut ketentuan undang-undang?
9
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penulisan ini dibuat untuk menjawab pertanyaan yang menjadi pokok permasalahan yaitu : Ø Untuk mengetahui aspek hukum mengenai pertanggungjawaban perbankan terhadap nasabah yang menjadi korban kejahatan perbankan. Ø Untuk mengetahui implementasi bentuk perlindungan hukum terhadap nasabah bank menurut ketentuan undang-undang agar nasabah bank merasa aman.
1.4. Definisi Operasional Untuk menghindari kesalahpahaman dalam mendefinisikan hal-hal di dalam penelitian ini, maka berikut akan ditetapkan definisi terhadap hal-hal tersebut yang diambil dari peraturan perudang-undangan dan pendapat para ahli berikut : 1. Bank Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
10
2. Deposito Berjangka Deposito Berjangka adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu sesuai tanggal yang diperjanjikan antara deposan dan bank. 3. Nasabah Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank, baik itu untuk keperluannya sendiri maupun sebagai perantara bagi keperluan pihak lain. Nasabah berupa seorang individu, atau bisa juga berupa suatu badan / organisasi.
4. Tindak Pidana Perbankan
Tindak pidana perbankan mengandung pengertian tindak pidana itu semata-mata dilakukan oleh bank atau orang bank, sedangkan tindak pidana di bidang perbankan lebih luas karena dapat mencakup tindak pidana yang dilakukan oleh orang di luar dan di dalam bank.
5. Pihak Terafiliasi
Pihak terafiliasi yaitu para pihak yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam pengelolaan suatu bank.
11
1.5. Manfaat Penelitian Tiap penelitian harus mempunyai kegunaan bagi pemecahan masalah yang diteliti. Untuk itu suatu penelitian setidaknya mampu memberikan manfaat praktis pada kehidupan masyarakat.13 Kegunaan penelitian ini dapat ditinjau dari dua segi yang saling berkaitan yakni dari segi teoritis dan segi praktis. Dengan adanya penelitian ini penulis sangat berharap akan dapat memberikan manfaat :
1. Untuk Akademisi a. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang didapat dalam perkuliahan dan membandingkannya dengan praktek di lapangan. b. Sebagai wahana untuk mengembangkan wacana dan pemikiran bagi peneliti. c. Menambah literatur atau bahan-bahan informasi ilmiah yang dapat digunakan untuk melakukan kajian dan penelitian selanjutnya.
2. Untuk Praktisi a. Memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum pada umumnya dan pada khususnya tentang proses pencegahan terjadinya tindak pidana perbankan. b. Hasil penelitian ini sebagai bahan ilmu pengetahuan dan wawasan 13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta,1986, hlm.43.
12
bagi penulis, khususnya bidang hukum perbankan.
3. Untuk Masyarakat Sebagai informasi dalam mengetahui bagaimana seluk-beluk dunia perbankan dan kejahatannya sebagai langkah preventif terhadap terjadinya kerugian.
1.6. Metode Penelitian a. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang penulis gunakan untuk menyusun skripsi ini adalah tipe penelitian hukum normatif. Penelitian Hukum Normatif disebut juga Penelitian Kepustakaan (Library Research), adalah penelitian yang dilakukan dengan cara menelusuri atau menelaah dan menganalisis bahan pustaka atau bahan dokumen siap pakai, seperti undang-undang, bukubuku yang berkaitan dengan permasalahannya, yaitu mengenai Hukum Perbankan. b. Sifat Penelitian Sifat penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah sifat penelitian deskriptif analistis, yaitu penelitian yang menggambarkan tentang asasasas umum hukum perbankan. Ini dimaksudkan untuk memberikan data
13
yang seteliti mungkin yang dapat membantu dalam memperkuat teori-teori hukum.14 c. Jenis Data Dalam penelitian ini data yang digunakan sebagai bahan penulisan adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka atau literatur yang terdiri dari bahan hukum primer (UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia), dan bahan hukum sekunder yang diperoleh dari buku-buku atau literatur-literatur juga media massa yang ada seperti koran, majalah, dan jurnal hukum yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini. d. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan kualitatif untuk menemukan jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah yaitu dengan melakukan analisis terhadap asas-asas hukum yang berlaku serta peraturan perundangundangan.
1.7. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN
14
Ibid, hlm.10.
14
Bab ini berisi uraian latar belakang pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan penelitian, definisi operasional, metodologi penelitian, dan diakhiri dengan sistematika skripsi yang bertujuan untuk mengantarkan pikiran pembaca ke pokok permasalahan yang akan dibahas. BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI BANK & KEJAHATAN DI BIDANG PERBANKAN Dalam bab ini dibahas mengenai pengertian bank sebagai lembaga keuangan, asas-asas, fungsi dan tujuan bank, kegiatan perbankan, etika dalam perbankan, dan kejahatan di bidang perbankan. BAB III GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN BERSERTA PENERAPAN MANAJEMEN RISIKONYA Dalam bab ini dibahas mengenai gambaran umum dan penerapan manajemen risiko pada Bank Mega. BAB IV ANALISA HUKUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB BANK PADA
NASABAH
YANG
DIRUGIKAN
KARENA
KEJAHATAN
PERBANKAN Analisa terhadap putusan No.1111K/Pdt/2013 BAB V PENUTUP Dalam bab ini berisi kesimpulan dan saran dari penulis .
15
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI BANK & TINDAK PIDANA DI BIDANG PERBANKAN
2.1. Pengertian Bank dan Nasabah 2.1.1. Pengertian Bank Mendengar kata bank mungkin sudah bukan merupakan barang yang asing. Bank sudah merupakan mitra dalam rangka memenuhi semua kebutuhan masyarakat. Bank dijadikan sebagai tempat untuk melakukan berbagai transaksi yang berhubungan dengan keuangan seperti tempat mengamankan uang, melakukan investasi, pengiriman uang, melakukan pembayaran atau melakukan penagihan15. Bank dan lembaga keuangan mempunyai pengertian yang berbeda. Secara sederhana bank diartikan sebagai lembaga keuangan yang kegiatan usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa-jasa bank lainnya16. Sedangkan pengertian lembaga keuangan adalah setiap perusahaan yang bergerak di bidang 15
Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993,
hlm.13.
16
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008,
hlm.24.
16
keauangan dimana kegiatannya apakah hanya menghimpun dana atau hanya menyalurkan dana atau kedua-duanya.17 Kemudian menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya ke masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.18
2.1.2. Pengertian Nasabah Nasabah bank adalah pihak yang menggunakan jasa bank, terdiri dari nasabah penyimpan dan nasabah debitur19. Nasabah menurut pasal 1 angka 17 dan 18 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah “Pihak yang menggunakan jasa bank”. Dalam UU No.10 Tahun 1998 nasabah ini dibagi 2 yaitu20 : a. Nasabah penyimpan adalah nasabah yang mendapatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. b. Nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau
pembiayaan
berdasarkan
prinsip
syariah
atau
yang
17
Kasmir, Dasar-dasar Perbankan, op.cit. Indonesia, Undang-Undang tentang Perbankan, op.cit., pasal 1 angka 2. 19 Muhamad Djumhana, Asas-Asas Hukum Perbankan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm.181. 20 Indonesia, Undang-Undang tentang Perbankan, op.cit., pasal 1 angka 17 dan 18. 18
17
dipersamakan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Dari praktek-praktek perbankan setidaknya dikenal tiga macam nasabah. Pertama, nasabah deposan yaitu nasabah yang menyimpan dananya pada suatu bank, misalnya dalam bentuk deposito atau tabungan lainnya. Kedua, nasabah yang memanfaatkan fasilitas kredit perbankan, misalnya kredit usaha kecil, kredit pemilikan rumah dan sebagainya. Ketiga, nasabah yang melakukan transaksi dengan pihak lain melalui bank (walk in customer). Misalnya transaksi antara importir sebagai pembeli dengan eksportir di luar negeri dengan menggunakan fasilitas letter of credit. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/26/PBI/2009 tentang Prinsip Kehati-Hatian dalam melaksanakan kegiatan Structured Product bagi bank umum, nasabah di klasifikasikan menjadi 3 yaitu21 : a. Nasabah Profesional, apabila nasabah tersebut memiliki pemahaman terhadap karakteristik, fitur, dan risiko dari structured product dan terdiri dari perusahaan yang bergerak di bidang keuangan yang terdiri dari bank, perusahaan efek, perusahaan pembiayaan atau pedagang berjangka sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang perbankan, pasar modal, lembaga pembiayaan dan perdagangan berjangka komoditi yang berlaku; perusahaan dengan modal 21
Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Prinsip Kehati-hatian melaksanakan kegiatan Structured Product bagi Bank Umum, PBI No.11/26/PBI/2009
dalam
18
lebih dari Rp 20.000.000.000 (dua puluh miliar rupiah) atau ekuivalennya dalam valuta asing dan telah melakukan kegiatan usaha paling kurang 36 bulan berturut-turut; pemerintah Republik Indonesia atau pemerintah negara lain; bank sentral atau bank negara lain; bank atau lembaga pembangunan multilateral. b. Nasabah Eligible, apabila nasabah tersebut memiliki pemahaman terhadap karakteristik, fitur, dan risiko dari structured product dan terdiri dari perusahaan yang bergerak di bidang keuangan berupa dana pensiun atau perusahaan perasuransian sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun dan usaha perasuransian yang berlaku; perusahaan dengan modal setidaknya Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah) atau ekuivalennya dalam valuta asing dan telah melakukan kegiatan paling kurang 12 bulan berturut-turut; nasabah perorangan yang mempunyai portfolio aset berupa kas, giro, tabungan paling kurang Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah). c. Nasabah Retail, adalah nasabah yang tidak termasuk dalam nasabah profesional dan eligible.
2.2. Asas, Fungsi dan Tujuan Bank Dalam melaksanakan kemitraan antar bank dan nasabahnya, untuk terciptanya sistem perbankan yang sehat, kegiatan perbankan perlu dilandasi
19
dengan beberapa asas. Sebelum membahas tentang asas-asas dalam perbankan, maka perlu diuraikan kembali mengenai definisi asas di dalam hukum kembali. Menurut C.W. Paton, yang dikutip Mahadi, dalam bukunya “A textbook of Jurisprudence” 1969, menyatakan bahwa asas adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya sesuatu norma hukum22. Menurut P. Scholten, asas hukum adalah kecenderungan yang diisyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum yang merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya23. Jadi asas adalah suatu alam pikiran atau cita-cita ideal yang melatar belakangi pembentukan norma hukum, yang konkret dan bersifat umum atau abstrak. Di dalam kegiatan perbankan sendiri dikenal beberapa asas yaitu: 1. Asas Demokrasi Ekonomi. Ditegaskan dalam pasal 2 UU Perbankan yang menyatakan bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi Indonesia dengan menggunakan prinsip kehatihatian. Ini berarti, usaha perbankan diarahkan untuk melaksanakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam demokrasi ekonomi yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
22 23
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm.36. Ibid.,hlm.37.
20
2. Asas Kepercayaan (Fiduciary Principle), adalah suatu asas yang menyatakan bahwa usaha bank dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara bank dengan nasabahnya. Bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan padanya atas dasar kepercayaan, sehingga setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dengan tetap memelihara dan mempertahankan kepercayaan masyarakat kepadanya. Kemauan masyarakat untuk menyimpan uangnya di bank semata-mata dilandasi oleh kepercayaan bahwa uangnya akan dapat diperolehnya kembali pada waktu yang diinginkan atau sesuai dengan yang diperjanjikan dan disertai dengan imbalan. Hubungan antara bank dan nasabah bukan sekedar hubungan kontraktual biasa antara debitur dan kreditur yang diliputi oleh asas-asas umum dari hukum perjanjian, tapi juga hubungan kepercayaan yang diliputi asas kepercayaan24. 3. Asas
Kerahasiaan
(Confidential
Principle),
adalah
asas
yang
mengharuskan atau mewajibkan bank merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan lain-lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan. Kerahasiaan ini adalah untuk kepentingan bank sendiri karena bank memerlukan kepercayaan masyarakat yang menyimpan uangnya di bank. Masyarakat hanya akan mempercayakan uangnya pada bank atau memanfaatkan jasa bank apabila bank menjamin bahwa tidak akan ada penyalahgunaan
24
Rahmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT Gramedia Pustaka, Jakarta, 2001,hlm.16.
21
pengetahuan bank tentang simpanannya. Dengan demikian, bank harus memegang teguh rahasia bank. 4. Asas Kehati-hatian (Prudential Principle), adalah suatu asas yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya
wajib
menerapkan
prinsip
kehati-hatian
dalam
rangka
melindungi dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya. Tujuan diberlakukannya prinsip kehati-hatian tidak lain adalah agar bank selalu dalam keadaan sehat, dengan kata lain agar selalu dalam keadaan likuid atau solvent. Dengan diberlakukannya prinsip kehati-hatian diharapkan kadar kepercayaan masyarakat terhadap perbankan tetap tinggi, sehingga masyarakat bersedia dan tidak ragu-ragu menyimpan dananya di bank. Dengan demikian, prinsip kehati-hatian ini bertujuan agar bank menjalankan usahanya secara baik dan benar dengan mematuhi ketentuanketentuan dan norma-norma hukum yang berlaku dalam dunia perbankan, agar bank yang bersangkutan selalu dalam keadaan sehat sehingga masyarakat semakin mempercayainya, yang pada gilirannya akan mewujudkan sistem perbankan yang sehat dan efisien, dalam arti sempit dapat memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar dan bermanfaat bagi perkembangan ekonomi nasional. Fungsi dan tujuan bank adalah sebagai agen of development (terutama bagi bank-bank milik negara) dan sebagai financial intermediary. Bank memiliki fungsi yang diarahkan sebagai agen pembangunan (Agen of development), yaitu sebagai lembaga yang bertujuan untuk mendukung pelaksanaan pembangunan
22
nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasilhasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, kearah peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Fungsi agen of development ini dilakukan oleh bank-bank pemerintah terutama ditujukan untuk pemeliharaan kestabilan moneter di Indonesia. Fungsi bank sebagai financial intermediary adalah sebagai perantara menghimpun dan penyaluran dana. Dalam hal ini bank bertindak sebagai perantara atau penghubung antara nasabah yang satu dengan yang lainnya jika keduanya melakukan transaksi.
2.3. Jasa-jasa Perbankan Ketentuan perbankan Indonesia menentukan bawha usaha bank harus sesuai dengan jenis bank itu sendiri. Dimana jenis bank akan menentukan kegiatan usaha yang dapat dilakukannya. Menurut Undang-Undang Perbankan No.10 tahun 1998 dikenal dua jenis bank yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Sesuai dengan jenis bank tersebut maka kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Umum akan berbeda dengan usaha yang dilakukan oleh Bank Perkreditan Rakyat. Sebelum penulis menerangkan apa saja usaha yang dapat diberikan oleh Bank Umum, terlebih dahulu akan diurakan mengenai usaha pokok bank. Sebagaimana kita ketahui bahwa bank sebagai lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan
23
peredaran uang. Usaha bank dalam memberikan kredit merupakan salah satu kegiatan dalam penanaman yang diberikan dalam bentuk pinjaman atau kredit, surat-surat berharga dan penanaman dalam harta tetap dan inventaris25. Kegiatan dan usaha yang dilakukan oleh suatu bank umum didasarkan pada 3 kegiatan pokok yang dilakukan oleh bank, yaitu menghimpun dana, menyalurkan dana, melakukan jasa-jasa perbankan lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah26 : 1. Menghimpun Dana (Funding) Kegiatan ini dapat dilakukan dengan cara menawarkan berbagai jenis simpanan, dimana simpanan tersebut sering disebut dengan nama rekening atau account. Jenis simpanan tersebut antara lain : a. Simpanan Giro (Demand Deposit), merupakan simpanan pada bank yang penarikannya dapat dilakukan dengan menggunakan cek atau bilyet giro. b. Simpanan Tabungan (Saving Deposit), merupakan simpanan pada bank yang penarikan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh bank. c. Simpanan Deposito (Time Deposit), merupakan simpanan yang memiliki jangka waktu tertentu (jatuh tempo). Penarikannya dilakukan sesuai dengan jangka waktu tersebut. 2. Menyalurkan Dana (Lending) 25 26
Kasmir, op.cit, hlm. 130. Herman Darmawi, Manajemen Perbankan, Bumi Aksara, Jakarta, 2011, hlm.4.
24
Bentuk umum yang sering dilakukan oleh setiap bank terkait dengan kegiatan menyalurkan dana adalah memberikan pinjaman yang dikenal dengan nama kredit. Secara umum jenis-jenis kredit yang ditawarkan meliputi: a. Kredit Investasi, merupakan kredit yang diberikan kepada pengusaha yang melakukan investasi atau penanaman modal. Biasanya kredit jenis ini memiliki jangka waktu yang panjang, yaitu di atas 1 tahun. b. Kredit Modal Kerja, merupakan kredit yang digunakan sebagai modal usaha. Biasanya kredit ini berjangka waktu pendek yaitu tidak lebih dari 1 tahun. c. Kredit Perdagangan, merupakan kredit yang diberikan kepada pedagang dalam rangka memperlancar atau memperluas atau memperbesar kegiatan perdagangannya. d. Kredit Produktif, merupakan merupakan kredit yang dapat berupa investasi, modal kerja atau perdagangan. Dalam artian, kredit ini diberikan untuk diusahakan kembali sehingga pengembalian kredit diharapkan dari hasil usaha yang dibiayai. e. Kredit Konsumtif, merupakan kredit yang digunakan untuk keperluan pribadi, misalnya untuk keperluan konsumsi, baik sandang, pangan, maupun pangan. f. Kredit Profesi, merupakan kredit yang diberikan kepada kalangan professional, seperti dosen, dokter, dan profesi lainnya. 3. Memberikan jasa-jasa bank lainnya (service)
25
Dalam UU Perbankan No. 10 Tahun 1998 pada Pasal 6 ditentukan bahwa usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Umum meliputi27 : 1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. 2. Memberikan kredit. 3. Menerbitkan surat pengakuan utang. 4. Membeli, menjual atau menjamin atas resiko sendiri maupun untuk kepentingan dana atas perintah nasabahnya. 5. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah. 6. Menempatkan dana pada, meminjam dari, atau meminjam dana dari bank lain baik dengan menggunakan surat, telekomunikasi dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya. 7. Menerima pembayaran dari tagihan atau surat berharga dan melakukan perhitungan dengan/atau antar pihak ketiga. 8. Menyediakan kegiatan penitipan untuk kepentingan nasabah. 9. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak. 10. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek. 11. Membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam 27
Indonesia, Undang-Undang tentang Perbankan, op.cit., pasal 6.
26
hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli wajib dicairkan secepatnya. 12. Melakukan kegiatan anjak piutang (factoring), usaha kartu kredit (credit card) dan kewajiban wali amanat. 13. Menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 14. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yamng berlaku.
2.4. Etika dan Prinsip-prinsip Perbankan Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa bank merupakan lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran. Lembaga keuangan adalah semua badan yang kegiatannya menarik uang dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat. Faktor kepercayaan dari pihak lain dan nasabah merupakan penunjang utama bagi lancarnya operasional bank. Selain itu hal ini juga merupakan etika perbankan dalam hubungannya dengan pihak lain.28 Dalam ini hal bankir yang mempunyai peran dalam hal memiliki akhlak, moral dan keahlian dibidang perbankan/ keuangan. Karena para bankir ini mempunyai misi untuk memberikan 28
Subagio Tjahjono dkk, Business Crimes and Ethics, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2013,
hlm.45.
27
nasihat yang objektif bagi nasabahnya dan harus mampu mendidik nasabahnya dalam arti dapat memberikan penjelasan dibidang administrasi, pembukuan, pemasaran dan lain-lain. Seorang bankir harus dapat bersikap objektif, tidak memihak, jujur terhadap nasabah dan dapat memilih produk atau jasa yang paling tepat bagi nasabahnya, artinya tidak memaksakan nasabah untuk membeli apa saja yang ditawarkan oleh bankir tanpa mempertimbangkan kondisi dan status nasabah. Bankir juga harus menjaga agar mekanisme arus surat-surat berharga (flow of documents) dapat berjalan lancar dan menindak jika terjadi permainan yang curang dalam pengelolaan arus dokumen berharga tersebut di dalam bank. Dalam hal demikian, pimpinan bank berkewajiban dan bertanggung jawab: 1. Mengembalikan seluruh atau sebagian simpanan pada waktu diminta oleh nasabah secara pribadi maupun dengan surat kuasa. 2. Menjaga kerahasiaan keuangan bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan. 3. Memberi informasi yang akurat dan obyektif jika diminta oleh nasabah. 4. Turut menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah. 5. Menjaga dan memelihara organisasi, tata kerja dan administrasi dengan baik. 6. Menyalurkan kredit secara lebih selektif kepada calon debitur. Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa disini pimpinan bank harus lebih mengutamakan kepentingan masyarakat luas daripada kepentingan bank atau pribadi.
28
Bisnis perbankan adalah bisnis yang terikat dalam suatu sistem moneter dalam negara tertentu dan tinggi tingkat keterikatannya dengan lembaga perbankan atau lembaga keuangan secara keseluruhan maupun dengan kehidupan perekonomian negara tersebut. Dengan demikian, bila salah satu bisnis perbankan tidak patuh terhadap standar etika perbankan, maka seluruh lembaga perbankan atau lembaga keuangan lainnya juga terkena dampaknya. Dalam masyarakat kita yang majemuk, kewajiban etika bisnis yang diterima adalah kewajiban yang terkandung dalam hukum yang berlaku.29 Etika dan kewajibannya sehubungan dengan tugas di lingkungan perbankan untuk setiap petugas bank, bankir maupun pimpinan sebagai berikut : 1. Bank wajib memberikan laporan kepada Bank Indonesia untuk mengetahui posisi perbankan dan moneter serta kegiatan perekonomian dan pemerintah dapat menentukan kebijakan ekonomi dan moneter. 2. Setiap bank wajib mengumumkan neraca dan laporan rugi-laba yang sebenarnya tiap tahun dengan diterbitkan pada surat kabar, agar masyarakat dapat mengetahuinya. 3. Bank wajib menjaga kerahasiaan keuangan pada nasabah dari siapapun, kecuali jika ada surat resmi dari Menteri Keuangan secara tertulis untuk keperluan perpajakan dan peradilan. 4. Petugas bank mempunyai kewajiban untuk tidak membicarakan tentang keuangan nasabahnya diluar kepentingan dinas dan berkewajiban untuk menjaga dan memelihara arsi atau surat-surat antara bank dengan 29
Ibid., hlm.47.
29
nasabahnya. 5. Dalam hal pembayaran pajak, para bankir harus melaksanakan pemotongan pajak pendapatan atas gaji, upah atau honorarium para karyawannya dan berkewajiban membayar pajak perusahaan. 6. Bank harus mengupayakan untuk selalu dapat memenuhi janji atau persetujuan yang telah disepakati dengan para nasabahnya. 7. Bank juga harus memberikan nasihat yang obyektif, tidak memihak dan tidak mengikat bagi para nasabahnya, sebab nasabah yang datang ke bank ada kalanya penuh suasana serba tidak pasti, jenis jasa apa yang sebaiknya akan dipilihnya. Oleh karena itu bank harus dapat menampilkan beberapa pilihan produk/ jasa bank bagi para nasabahnya. Salah satu hal yang harus dihindari antara bankir dan nasabah adalah menghindari adanya hubungan pribadi sehingga dapat menjurus ke arah hubungan yang kurang sehat, misalkan bankir memberikan kemudahan-kemudahan bagi seseorang nasabah dikarenakan adanya upeti atau sejenisnya. Karena hal ini akan merugikan nasabah lain yang berperilaku wajar dalam hubungan kerjanya dengan bank. Bankir yang profesional adalah bankir yang memiliki integritas pribadi, keahlian dan tanggungjawab sosial yang tinggi serta wawasan yang luas agar mampu melaksanakan manajemen bank yang profesional pula. Bankir yang profesional memang dituntut melaksanakan 2 hal penting yaitu, dapat menciptakan laba dan menciptakan iklim bisnis perbankan yang sehat. Namun dalam penciptaan laba tersebut, bankir harus tetap terkendali (prudent).
30
Setiap bankir di Indonesia wajib mengelola bank secara sehat dan menghormati norma-norma perbankan yang berlaku dan menaati semua tata nilai sebagai pedoman dasar dalam menentukan sikap dan tindakannya. Norma-norma perbankan yang diakui, diterima dan ditaati tersebut tertuang dalam Kode Etik Bankir di Indonesia yang isinya sebagai berikut : 1. Seorang bankir patuh dan taat pada ketentuan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku. 2. Melakukan pencatatan yang benar mengenai segala transaksi yang bertalian dengan kegiatan banknya. 3. Menghindarkan diri dari persaingan yang tidak sehat. 4. Tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi. 5. Menghindarkan diri dari keterlibatan pengambilan keputusan dalam hal terdapat pertentangan kepentingan. 6. Menjaga kerahasiaan nasabah dan banknya. 7. Dapat memperhitungkan dampak yang merugikan dari setiap kebijakan yang ditetapkan banknya terhadap ekonomi, sosial dan lingkungannya. 8. Tidak menerima hadiah atau imbalan yang memperkaya diri pribadi maupun keluarga. 9. Tidak melakukan perbuatan tercela yang dapat merugikan citra profesinya. Para bankir dalam prinsip pengelolaan bank harus mengupayakan terselenggaranya iklim usaha perbankan yang sehat yaitu dengan menjaga: 1. Likuiditas bank atau kelancaran operasional bank. 2. Solvabilitas bank atau terpeliharanya kekayaan bank agar kokoh dan
31
mampu memenuhi segala kewajiban finansialnya. 3. Rentabilitas atau tingkat keuntungan yang dapat dicapai bank. 4. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank (bonafiditas). Prinsip etika perbankan sendiri ada 8 yaitu: 1. Prinsip Kepatuhan. Pada prinsipnya semua orang dimanapun mempunyai peraturan yang harus mereka patuhi, begitu juga para banker yang diharuskan mematuhi peraturan perbankan, undang-undang, kebijakan pemerintah, peraturan ketenagakerjaan yang menyangkut masyarakat, nasabah, pemerintah, pemilik dan karyawan. 2. Prinsip Kerahasiaan. Para bankir dituntut agar dapat menjaga kerahasiaan terutama dengan nasabah serta kerahasiaan ke jabatannya. 3. Prinsip Kebenaran Pencatatan. Setiap petugas bank wajib memelihara arsip atau dokumen mencatat semua transaksi dengan benar serta menjaga kerahasiaannya. 4. Prinsip Kesehatan Bersaing. Persaingan ini dapat bersifat intern yaitu antar bagian dalam bank itu sendiri dan bersifat ekstern yaitu persaingan antar sesama bank. Dalam hal lebih kepada untuk memberikan pelayanan serta promosi atas jasa-jasa apa saja yang diberikan oleh bank tersebut, tapi setiap bank harus tetap menjaga agar tercipta iklim persaingan yang sehat. 5. Prinsip Kejujuran Wewenang. Kepercayaan dan wewenang yang telah diberikan oleh para pihak terkait dalam hal ini pemerintah, nasabah, pemilik, masyarakat dan karyawan hendaknya tetap di nomorsatukan dan tidak disalahgunakan untuk kepentingan diluar etika yang telah disepakati
32
bersama. 6. Prinsip Keterbatasan Keterangan. Meskipun petugas bank dan bankir diminta untuk bersikap informatif terhadap pihak luar, namun sifatnya terbatas. 7. Prinsip Kehormatan Profesi. Setiap petugas bank ataupun bankir diharuskan taat menjaga kehormatan profesi dengan cara menghindarkan diri dari hal-hal semacam kolusi, pemberian hadiah, upeti dan fasilitas dari pihak lain yang menginginkan kemudahan dalam hal prosedur bank. 8. Prinsip Pertanggungjawaban Sosial. Pertanggungjawaban ini lebih diarahkan pada pemerintah, nasabah, pemilik ataupum masyarakat dalam hal melaksanakan operasional perbankan.
2.5. Kejahatan di Dunia Perbankan Begitu banyak kegiatan perbankan yang rentan terhadap kejahatan, menyebabkan pihak bank harus tetap menerapkan manajemen risiko yang baik dan prinsip kehati-hatian. Salah satu tindak pidana yang dapat memanfaatkan bank sebagai tempat penyimpanan sekaligus lalu lintas transaksi keuangan adalah tindak pidana korupsi. Setidaknya ada tiga ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan kegiatan perbankan dan tindak pidana korupsi, yaitu UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Ketiga undang-undang itu saling berkaitan, mengingat hasil korupsi seringkali ditempatkan pada bank sebagai tempat untuk melakukan
33
pencucian uang. Penulis hanya akan memberikan gambaran umum mengenai kejahatan perbankan dan penanggulangannya. Pada halaman sebelumnya telah dijelaskan mengenai kegiatan-kegiatan di bidang perbankan. Akan tetapi terdapat kegiatan perbankan yang memiliki motif tertentu sehingga melampaui atau tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kegiatan semacam ini disebut tindak pidana perbankan. Tindak pidana perbankan yang dapat dilakukan dalam serangkaian kegiatan perbankan tersebut berkaitan
dengan
sistem
keamanan
dalam
menjalankan
setiap
aktivitasnya. Sistem keamanan tidak hanya menyangkut sumberdaya manusianya saja, akan tetapi juga infrastruktur yang sampai sekarang terus berkembang. Terdapat perbedaan penggunaan istilah dalam tindak pidana perbankan, misalnya kejahatan di bidang perbankan, kejahatan perbankan, kejahatan terhadap perbankan, dan tindak pidana perbankan. Perbedaan istilah ini berkembang sampai kepada pengertian kejahatan perbankan. Kejahatan perbankan bisa diartikan sebagai tindak pidana “di bidang perbankan” yang dalam pengertian ini mencakup segala perbuatan yang melanggar hukum yang ada kaitannya dengan bisnis perbankan. Dalam pengertian ini pula tercakup bank sebagai pelaku dan bank sebagai korban.30 UU No. 10 Tahun 1998 tidak merumuskan pengertian tentang tindak pidana perbankan. Undang-undang ini hanya mengkategorikan beberapa perbuatan yang termasuk ke dalam kejahatan dan di satu pihak bisa dikategorikan sebagai suatu pelanggaran. Akan tetapi ada juga yang membedakan pengertian tindak pidana 30
Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010,
hlm.25
34
perbankan dengan tindak pidana di bidang perbankan. Tindak pidana di bidang perbankan adalah segala jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan usaha bank, baik bank sebagai sasaran maupun sebagai sarana, sedangkan tindak pidana perbankan (banking crime) merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh bank. Kejahatan di bidang perbankan adalah kejahatan apapun yang menyangkut perbankan, misalnya seseorang merampok bank adalah kejahatan di bidang perbankan, begitu pula pengalihan rekening secara tidak sah adalah kejahatan di bidang perbankan, jadi pengertiannya sangat luas.
Sedangkan kejahatan
perbankan adalah bentuk perbuatan yang telah diciptakan oleh undang-undang perbankan yang merupakan larangan dan keharusan, misalnya larangan mendirikan bank gelap dan pembocoran rahasia bank. Perbedaan isitlah ini menyebabkan atau berpengaruh terhadap penegakan hukum.
Kejahatan
perbankan akan ditindak melalui ketentuan pidana yang diatur dalam undangundang perbankan, sedangkan kejahatan di bidang perbankan ditindak melalui undang-undang di luar undang-undang perbankan. Karakteristik dalam tindak pidana perbankan adalah bank bisa sebagai korban maupun sebagai pelaku. Bank sebagai korban misalnya dalam hal penipuan, pemalsuan surat-surat bank, dan bank sebagai pelaku misalnya perbuatan window dressing, menetapkan suku bunga berlebihan, memberikan kartu kredit yang tidak wajar, menjalankan usaha bank dalam bank, menjalankan usaha bank tanpa ijin serta menjalankan usaha yang menyerupai bank. Dalam hal bank sebagai korban, pada umumnya bisa dilihat pada KUHP
35
pasal-pasal 263, 264 dan 378, sedangkan dalam hal bank sebagai pelaku, maka bisa dilihat pada undang-undang perbankan. Modus operandi dalam hal bank sebagai korban tidak begitu banyak, biasanya hanya dalam bentuk pemalsuan dokumen, penggelapan dan korupsi, dan pelakunya biasanya orang, bukan korporasi. Apabila pelakunya adalah bank (sebagai korporasi), modus operandinya bisa bermacam-macam.
Kejahatan ini dikategorikan sebagai
criminal banking dan selalu dilakukan secara organized. Dalam hal ini kegiatan perbankan hanyalah merupakan kamuflase karena seluruh kegiatannya adalah memang systemic violation of the law for the purposes of making a profit. Anatomi criminal banking biasanya yang paling popular adalah money laundering dan window dressing. Setiap tindakan tidak sah yang ditandai dengan tindakan tidak jujur untuk penggelapan atau pelanggaran akan kepercayaan disebut juga dengan istilah fraud. Fraud dapat dilakukan oleh siapa saja dan biasanya dilakukan sehubungan dengan jabatan atau kedudukan tertentu yang dimiliki seseorang. Berdasarkan pelakunya, fraud biasanya digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu occupational fraud (white collar crime dan blue collar crime) dan organizational fraud. White collar crime biasanya dilakukan oleh orang yang mempunyai kedudukan tinggi dalam organisasi atau perusahaan, sementara blue collar crime biasanya dilakukan oleh buruh atau pegawai rendahan dalam suatu organisasi atau perusahaan.31
31
Subagio Tjahjono dkk, op.cit. hlm 63.
36
Berdasarkan penjelasan di atas, korban dan pelaku dalam tindak pidana perbankan bisa bank maupun seseorang ataupun badan hukum.32 Persoalan yang kemudian mengemuka adalah apakah terhadap korban tindak pidana perbankan ini diberi perlindungan hukum oleh pemerintah dan sebaliknya. Pertanyaan ini mengemuka mengingat kedudukan bank yang amat sentral dalam pembangunan.
2.6 Manajemen Risiko Dalam industri perbankan, manajemen risiko merupakan suatu hal yang terus berkembang. Manajemen risiko meliputi segala teknik dan alat manajemen yang dibutuhkan untuk mengukur, memonitor dan mengatur risiko keuangan. Risiko selalu menjadi pemikiran utama bagi bank-bank dan institusi-institusi keuangan. Yang menjadi hal baru dalam area ini adalah tujuan untuk mengadopsi bentuk manajemen yang lebih aktif. Tujuan ini mengubah sistem pengawasan tradisional secara radikal. Risiko-risiko didefinisikan secara lebih baik, pengujian kuantitatif digunakan secara luas, pengaturan dilakukan secara lebih aktif, pengukuran dilakukan secara lebih akurat, dan desain alat serta organisasi baru dikembangkan secara lebih baik33. Risiko merupakan bahaya, ancaman atau kemungkinan suatu tindakan atau kejadian yang menimbulkan dampak yang berlawanan dengan tujuan yang ingin
32 33
Ibid. Sulad Sri Hardanto, op.cit., hlm.6
37
dicapai. Risiko adalah sisi yang berlawanan dari peluang untuk mencapai tujuan34. Dalam hal ini kata kuncinya adalah “tujuan” dan “dampak atau sisi yang berlawanan”. Guna mempertahankan eksistensi kehidupan, maka diperlukan suatu tujuan. Untuk mencapai tujuan, diperlukan tindakan atau aktivitas. Aktivitas memiliki risiko bila dampaknya berlawanan. Sebaliknya aktivitas memberikan peluang untuk memperoleh hasil yang diinginkan35. Risiko dan ketidakpastian adalah dua istilah yang sering dicampuradukkan. Ketidakpastian mengacu pada pengertian risiko yang tidak diperkirakan (unexpected risk) sementara istilah risiko itu sendiri mengacu pada risiko yang diperkirakan (expected risk). Risiko hukum sendiri dipandang sebagai suatu kerugian yang akan dihadapi ketika sebuah bank harus berhadapan dengan nasabah akibat terjadinya pelanggaran hukum yang dilakukan baik oleh salah satu atau kedua belah pihak. Risiko hukum sering kurang diperhatikan, padahal jika persoalan manajemen perbankan menemui jalan buntu untuk penyelesaian masalah, biasanya dilanjutkan dengan pengajuan tuntutan ke pengadilan. Dalam menerapkan manajemen risiko, wajib mengacu pada PBI Nomor 11/25/PBI/2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum tanggal 19 Mei 2003. Regulasi ini telah menekankan perlunya bank memperhatikan dan mengendalikan risiko-risiko yang terdapat dibalik bisnis yang dilakukannya. Di bawah supervisi Bank Indonesia, setiap bank harus menerapkan manajemen risiko 34
Ibid., hlm.7 Ferry N. Idroes, Manajemen Risiko Perbankan : Pemahaman Pendekatan 8 Pilar Kesepakatan Basel II Terkait Aplikasi Regulasi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hlm.4. 35
38
yang terintegrasi (Integrated Risk Management) dalam mengendalikan risikorisiko tersebut. Bank perlu membangun sistem dan struktur manajemen kontrol yan efektif dalam mengendalikan berbagai risiko tersebut. Hal itu mencakup: 1. Langkah yang diperlukan untuk mengidentifikasinya. 2. Menetapkan cara-cara yang efektif dalam mengukur pengaruh yang ditimbulkannya. 3. Bagaimana bank melakukan monitoring sehingga upaya pengendalian risiko menjadi terpadu dan efektif. 4. Sistem kontrol yang tepat, efisien, dan efektif yang perlu diterapkan oleh masing- masing bank. Proses manajemen risiko merupakan tindakan dari seluruh entitas terkait dalam organisasi. Tindakan berkesinambungan yang dilakukan sejalan dengan definisi manajemen risiko yang telah dikemukakan yaitu identifikasi, kuantifikasi, menentukan sikap, menetapkan solusi, serta melakukan monitor dan pelaporan risiko.
39
BAB III GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN BESERTA PENGENDALIAN INTERNAL DAN MANAJEMEN RISIKONYA
3.1. Sejarah Bank Mega Berawal dari sebuah usaha milik keluarga bernama PT. Bank Karman yang didirikan pada tahun 1969 dan berkedudukan di Surabaya, selanjutnya pada tahun 1992 berubah nama menjadi PT. Mega Bank dan melakukan relokasi Kantor Pusat ke Jakarta.36 Seiring dengan perkembangannya PT. Mega Bank pada tahun 1996 diambil alih oleh PARA GROUP (PT. Para Global Investindo dan PT. Para Rekan Investama) sebuah holding company milik pengusaha nasional Chairul Tanjung. Selanjutnya PARA GROUP berubah nama menjadi CT Corpora. Untuk lebih meningkatkan citra PT. Mega Bank, pada bulan Juni 1997 melakukan perubahan logo Bank Mega berupa tulisan huruf M warna biru kuning dengan tujuan bahwa sebagai lembaga keuangan kepercayaan masyarakat, akan lebih mudah dikenal melalui logo perusahaan yang baru tersebut. Dan pada tahun 2000 dilakukan perubahan nama dari PT. Mega Bank menjadi PT. Bank Mega. 36
http://www. bank-mega.com/tentang kami.php, Diakses pada tanggal 10 Desember 2014 pukul 10.00 WIB
40
Dalam rangka memperkuat struktur permodalan maka pada tahun yang sama PT. Bank Mega melaksanakan Initial Public Offering dan listed di BEJ maupun BES. Dengan demikian sebagian saham PT. Bank Mega dimiliki oleh publik dan berubah namanya menjadi PT. Bank Mega Tbk. Pada saat krisis ekonomi, Bank Mega mencuat sebagai salah satu bank yang tidak terpengaruh oleh krisis dan tumbuh terus tanpa bantuan pemerintah bersama-sama dengan Citibank, Deutche Bank dan HSBC. PT. Bank Mega Tbk. dengan semboyan "Mega Tujuan Anda" tumbuh dengan pesat dan terkendali serta menjadi lembaga keuangan ternama yang mampu disejajarkan dengan bank-bank terkemuka di Asia Pasifik dan telah mendapatkan berbagai penghargaan dan prestasi baik di tingkat nasional, regional maupun internasional. Dalam upaya mewujudkan kinerja sesuai dengan nama yang disandangnya, PT. Bank Mega Tbk. berpegang pada azas profesionalisme, keterbukaan dan kehati-hatian dengan struktur permodalan yang kuat serta produk dan fasilitas perbankan terkini. Setiap tahapan bisnis yang dilalui Bank Mega terkadang mendapat tantangan. Namun dengan berbekal keyakinan dan semangat untuk terus menjadi yang terbaik, sehingga mampu memberikan yang terbaik pula bagi bangsa, seluruh elemen Bank sepakat untuk lebih mempertegas cita-cita tersebut. Transformasi logo baru Bank Mega dalam wujud yang baru menjadi cerminan semangat seluruh elemen Bank Mega dalam mewujudkan cita-cita Indonesia. Transformasi logo baru Bank Mega dilakukan tahun 2013, merupakan refleksi yang mendalam atas harapan Bank Mega untuk berkiprah membangun
41
Indonesia menjadi bangsa yang memiliki keunggulan dan pantang menyerah sehingga selalu mampu mewujudkan kesejahteraan dan kehidupan yang terus lebih baik. Penegasan simbol "M" yang selama ini sudah banyak dikenal, menjadi representasi dari aspirasi, optimisme, peluang dan cita-cita masyarakat Indonesia serta keinginan untuk membangun masa depan keluarga dan bangsa yang lebih baik dan lebih sejahtera. Rangkaian warna-warna hangat melambangkan energi dan semangat Bank Mega, pemikiran yang baru dan solusi finansial menyeluruh bagi nasabah serta insan Bank Mega. Guna lebih mempertegas kami menyematkan warna kuning yang menggambarkan kecerdasan dan harapan, dipadu dengan warna abu-abu yang menyimbolkan proses dan sistem yang canggih. Warna oranye menggambarkan optimisme dan energisitas yang menunjukkan bahwa Bank Mega selalu melihat dan melakukan sesuatu secara positif dan dengan demikian selalu berjuang mendapatkan hasil yang positif pula.
3.2. Sistem Pengendalian Internal pada Bank Mega Secara umum sistem pengendalian internal Bank Mega dirancang dan dilaksanakan berdasarkan internal control framework yang memadai dengan mencakup aspek pengendalian lingkungan, penaksiran risiko, pengendalian aktivitas, informasi dan komunikasi serta pemantauan.
42
Dalam Pelaksanaannya, sistem pengendalian internal melibatkan koordinasi dengan berbagai pihak terutama dengan Komite Audit dan Auditor Eksternal. 3.2.1. Penerapan Strategi Anti Fraud Sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia No.13/28/DPNP tentang Penerapan Strategi Anti Fraud bagi Bank Umum tanggal 9 Desember 2011, maka telah dilakukan langkah-langkah strategis untuk melaksanakan Penerapan Strategi Anti Fraud sebagai berikut : 1. Pencegahan a. Penetapan Kebijakan Penerapan Strategi Anti Fraud PT Bank Mega,Tbk yang ditetapkan dalam Surat Keputusan No.SK.085/DIRBM/13 tanggal 5 Februari 2013. b. Melakukan update informasi dan sharing knowledge dengan berperan aktif dalam kegiatan working group Direktorat Investigasi dan Media Perbankan yang
diselenggarakan oleh Bank Indonesia. Memberikan
training mengenai Modus dan Fraud Prevention, training “Pengetahuan serta Kemampuan Verifikasi dan Identifikasi Dokumen/Tanda Tangan” Peserta training adalah pegawai baru, pegawai eksisting dan peserta program pendidikan khusus pejabat di PT Bank Mega,Tbk. c. Melakukan
sosialisasi
Kebijakan
Strategi
Anti
Fraud
yang
diselenggarakan pada 7 (tujuh) Kantor Wilayah yang dihadiri oleh seluruh pejabat KC/KCP. Kegiatan sosialisi ini dilakukan bersama dengan Unit
43
Kerja Know Your Customer (KYC) dan Unit Kerja Compliance dan Good Corporate Governance (CGCG) untuk mengingatkan kepada seluruh peserta agar senantiasa menjalankan dan patuh terhadap SOP dan kebijakan operasional yang telah ditetapkan, menjalankan prinsip kehatihatian dalam aktivitas bisnis serta menjalankan dual control dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab kerja sehari-hari. d. Mempelopori penandatanganan Deklarasi Anti Fraud yaitu kebijakan zero tolerance terhadap fraud oleh seluruh pimpinan dan karyawan melalui media pembagian buku Komitmen Integritas (Code of Conduct) oleh Unit Kerja Compliance & GCG. e. Penyempurnaan penerapan Know Your Employee (KYE) melalui preemployee screening dan pengenalan serta pemantauan terhadap perubahan karakter, perilaku dan gaya hidup pegawai. 2. Deteksi Deteksi Tahapan dilakukan dengan cara bersinergi dengan unit kerja terkait agar dapat mencegah terjadinya fraud sedini mungkin. Adapun deteksi yang dilakukan adalah sebagai berikut : a. Menyediakan aplikasi Whistle Blowing System (WBS) sebagai sarana untuk memberikan kemudahan bagi whistleblower dalam melaporkan kasus fraud yang dapat diakses melalui intra web yang tersedia diseluruh kantor Bank Mega.
44
b. Selain melalui aplikasi WBS, whistleblower diberikan akses yang seluasluasnya untuk menyampaikan informasi kepada Unit Kerja Banking Fraud melalui telepon, fax, email, SMS/BBM khusus sehingga penanganan kasus fraud dapat dicegah dan ditangani lebih cepat dan risiko dapat dihindari sedini mungkin. c. Melakukan penyusunan daftar blacklist pelaku fraud di Bank Mega. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar para pelaku fraud tidak masuk kedalam lingkungan yang sama dan mengulangi perbuatan fraud. d. Melakukan sharing kasus dan penanganan kasus serta memperkuat kerjasama dengan bank-bank peserta Anti Fraud Forum yang dilakukan secara rutin. e. Melakukan pemeriksaan data blacklist pelaku fraud di bank lain, untuk dicocokkan dengan daftar pegawai di bank Mega, sehingga dapat diketahui secara cepat apabila terdapat pelaku fraud di Bank lain yang bekerja di Bank Mega. f. Melakukan surprise audit yang meliputi kegiatan pemantauan, sosialisasi, penelusuran, identifikasi, pemeriksaan, verifikasi dan investigasi yang dilakukan secara gabungan oleh beberapa Unit Kerja dan dilakukan secara mendadak (surprise) terhadap Kantor Cabang/Capem. 3. Investigasi, Pelaporan dan Sanksi Pada tahun 2013 tidak terdapat kasus yang signifikan yang dapat
45
berpengaruh terhadap operasional Bank, namun demikian kewaspadaan dan peningkatan fungsi preventif tetap dilakukan. Penurunan kasus salah satunya dikarenakan adanya pemisahan antara operasional dan bisnis di Kantor Cabang/Capem, sehingga bagian operasional dapat bekerja secara independen tidak terpengaruh oleh bisnis. Selain alasan tersebut sosialisasi/training dilakukan secara berkesinambungan tentang fraud dan dampak yang ditimbulkan. Kasus yang terjadi selama tahun 2013 disebabkan antara lain karena : a. Kurangnya pengawasan/kepedulian pimpinan KC terhadap perubahan perilaku pegawai dibawah supervisinya. b. Rendahnya tingkat kehati-hatian dalam proses pemberian kredit. c. Kelalaian dalam penyimpanan/penggunaan password. d. Fungsi dual control belum dijalankan secara maksimal. 4. Pemantauan,Evaluasi dan Tindaklanjut Tahap pemantauan, evaluasi dan tindak lanjut dilakukan secara berkala (3 dan 6 Bulan). Hasil pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu komponen untuk menentukan faktor risk profile dan GCG dalam penilaian tingkat kesehatan Bank. Untuk kasus fraud yang telah memenuhi unsur pidana dan merugikan Bank,
46
maka akan dilakukan tindak lanjut sampai proses hukum (kepolisian).
3.2.2 Penerapan Manajemen Risiko Dalam implementasinya Bank Mega telah membagi risiko yang melekat pada aktivitas Bank menjadi 8 (delapan) jenis risiko sesuai dengan Ketentuan Bank Indonesia. Masing-masing risiko dinilai dari dua aspek yakni risiko Inheren dan Kualitas Penerapan Manajemen Risiko (KPMR). Bank Mega telah melaksanakan manajemen risiko sesuai dengan cakupan aktivitasnya. Guna menyempurnakan pelaksanaan manajemen risiko, Bank Mega selalu mengembangkan tools yang digunakan, mengevaluasi dan memperbaiki setiap kelemahan pada proses serta pengembangan sumber daya manusia sebagai kunci implementasi. Hal ini penting dilakukan mengingat faktor risiko yang memiliki sifat dinamis mengikuti perkembangan praktek bisnis itu sendiri. Untuk memperkuat kebijakan dan penerapan manajemen risiko, Bank telah mengeluarkan kebijakan tentang Risk Statement, Risk Appetite, Risk Tolerance dan Risk Culture (SK.367/DIRBM/13). Upaya perbaikan manajemen risiko difokuskan pada 5 (lima) hal utama sebagai berikut : 1. Identifikasi a. Risk awareness sebagai kunci utama dalam mengelola risiko selalu
47
ditingkatkan baik di tingkat pelaksana maupun dilevel pimpinan. Salah satu metode yang digunakan adalah memasukkan materi risk management di program pendidikan pegawai. b. Meningkatkan pemahaman mengenai kebijakan dan produk-produk serta kewenangan yang diberikan dalam aktivitas operasional bank. c. Untuk mengidentifikasi risiko-risiko yang melekat pada pengembangan produk dan aktivitas baru, bank menerapkan mekanisme persetujuan melalui Komite Produk. Selain menganalisis risiko atas produk dan aktivitas yang sedang dikembangkan, juga dilakukan review terhadap eksisting produk yang dimaksudkan untuk memperbaiki kelemahankelemahan produk tersebut. Selain itu untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan risiko di area ini, bank telah memiliki pedoman manajemen risiko khusus untuk produk-produk tertentu yang dipandang memiliki risiko yang signifikan. d. Pertumbuhan kredit pada segmen retail mengakibatkan bertambah besarnya risiko kredit, sehingga proses identifikasi risiko menjadi sangat penting pada sektor ini. Bank telah dan akan terus melakukan program pelatihan dan pembekalan bagi seluruh pejabat serta petugas yang terkait dengan aktivitas kredit. Selain itu Bank juga telah membentuk Unit Kerja Credit Control untuk melakukan pengawasan kredit mulai dari proses pengajuan kredit sampai dengan kredit dicairkan untuk menyakinkan bahwa proses pemberian kredit telah sesuai dengan prosedur dan
48
kebijakan Bank. e. Untuk risiko pasar, proses identifikasi dilakukan berdasarkan kategori portfolio, rincian produk dan jenis transaksi seperti transaksi yang terkait dengan nilai tukar, suku bunga dan berbagai derivatifnya. Untuk mempermudah proses identifikasi, sistem yang digunakan adalah Spectrum dan Bloomberg . f. Proses identifikasi pada risiko likuiditas dilakukan terhadap produk dan aktivitas Bank yang mempengaruhi penghimpunan dan penyaluran dana yang berada pada asset, kewajiban dan rekening administratif serta risiko lainnya yang berpotensi meningkatkan risiko likuiditas. g. Peningkatan cakupan branch assessment. Sejak tahun 2012, branch assessment telah efektif dilakukan dengan cara melakukan kunjungan berkala dan fokus utama adalah risiko operasional. Pada tahun 2013, Bank telah memperluas cakupan assessment hingga aspek kredit SME oleh Unit Kerja SME Credit Risk, aspek kredit komersial dan consumer oleh Credit Control. Untuk assessment aspek operasional dilakukan oleh Unit kerja Operation Control. Namun demikian karena adanya perubahan struktur organisasi maka alat bantu pelaksanaan kunjungan ke Cabang (BORS) harus dilakukan penyesuaian, sehingga kunjungan ke Cabang untuk sementara waktu dihentikan. 2. Pengukuran
49
a. Pengukuran risiko dilakukan melalui penilaian profil risiko bank-wide setiap bulan. b. Bank secara rutin juga telah memotret risiko operasional Cabang/Capem melalui Branch Operation Risk Scoring (BORS). Namun sejak adanya perubahan struktur organisasi maka BORS dilakukan penyesuaian, sehingga perhitungan score Cabang untuk sementara tidak dilakukan. c. Terkait dengan ketentuan Kecukupan Pemenuhan Modal Minimum (KPMM), Bank telah menerapkan pendekatan standar Basel II untuk pengukuran risiko kredit dan risiko pasar. Rating System digunakan sebagai salah satu alat bantu memutus kredit. d. Pengukuran risiko pasar meliputi proses valuasi instrument keuangan, perhitungan capital charge market risk, stress testing dan sensitivity analysis. Untuk proses valuasi, bank dapat menggunakan metode marked to market dan/atau marked to model. Sementara itu, untuk perhitungan capital charge market risk, bank menggunakan metode perhitungan standar yang telah dilaporkan ke BI dalam LBBU KPMM. Selain itu, untuk kebutuhan internal masih akan dikembangkan perhitungan capital charge market risk dengan model internal menggunakan sistem Varwork. e. Dalam melakukan pengukuran risiko likuiditas, Bank telah memiliki alat ukur seperti proyeksi cashflow, profil maturitas, rasio likuiditas dan stress test .
50
f. Untuk melengkapi proses pengukuran risiko, Bank menerapkan Key Risk Indikator (KRI) untuk risiko operasional sebagai alat peringatan dini secara web based. Melalui KRI ini Bank dapat melakukan mitigasi risiko secara tepat. g. Terkait hasil pemeriksaan khusus BI, Bank telah memperkuat proses pengukuran
risiko,
khususnya
untuk
risiko
operasional
dengan
mekanisme/tools seperti Key Risk Indicators dan penghitungan serta pemantauan jumlah kejadian berpotensi risiko melalui media/sistem Loss Event Recording System (LERS). h. Pengukuran Capital Charge risiko operasional dengan menggunakan Basic Indicator Approach. 3. Monitoring a. Komite Manajemen Risiko (KMR) dan Komite Kebijakan Perkreditan (KKP) juga sebagai fungsi monitoring terhadap proses manajemen di berbagai area fungsional dimana kebijakan yang diajukan oleh unit bisnis terlebih
dahulu
dievaluasi
dari
berbagai
aspek
risiko
sebelum
diimplementasi. b. Bank secara rutin melakukan Credit Quality Monitoring atas kredit yang berpotensi bermasalah maupun mulai bermasalah melalui rapat monitoring kredit secara periodik. c. Pemantauan risiko telah dilakukan secara melekat oleh setiap unit kerja
51
yang dilakukan oleh masing-masing supervisor dan pejabat diatasnya. Selain itu Unit Kerja Internal Audit (IADT) dan Internal Control memiliki peran dalam mengefektifkan pelaksanaan proses pemantauan. d. Proses monitoring risiko pasar untuk aktivitas trading dimonitor oleh Treasury dan RIMG. Bank juga memantau dan membuat laporan harian mengenai eksposur, risiko, dan penggunaan limit treasury yang dilaporkan kepada Divisi terkait dan manajemen. e. Proses
monitoring
risiko
likuiditas
dilakukan
berdasarkan
hasil
pengukuran maturity profile, cashflow harian dan stress test. Pelaksanaan pemenuhan kebutuhan likuiditas harian dilakukan oleh Divisi Treasury. Hasil monitoring disampaikan kepada Bank Indonesia secara berkala dan kepada manajemen bank. f. Terkait hasil pemeriksaan khusus BI, Bank juga memperkuat sistem monitoring, khususnya untuk risiko operasional dengan mekanisme dan tools seperti penetapan limit transaksi untuk setiap Cabang dan jajarannya, menyempurnakan parameter Key Risk Indicators, serta memperkuat utilisasi Loss Event Recording System (LERS) untuk memantau setiap kejadian yang berpotensi menimbulkan kerugian yang berasal dari aktifitas operasional. 4. Pengendalian a. Pengendalian risiko kredit dijalankan oleh IADT secara periodik.
52
Sementara, secara rutin proses pengendalian risiko kredit di Cabang dilakukan oleh unit kerja Credit Control melalui tim kerja Credit Process Monitoring. Beberapa aspek pemeriksaan Credit Process Monitoring antara lain kepatuhan dalam proses kredit, kondisi pasar ekonomi serta financial monitoring. b. Pengendalian risiko selain dilakukan secara built-in, Internal Control Department melakukan pemeriksaan kredit dan operasional di Cabang. Untuk penanganan kredit bermasalah dilakukan oleh unit kerja yang terpisah/independen yaitu Special Asset Management Restructuring (SAMR). Selain bertugas melakukan restrukturisasi atas kredit-kredit yang mulai bermasalah namun masih bisa diperbaiki, SAMR juga berperan dalam mengelola serta melikuidasi aset-aset yang diserahkan oleh debitur bermasalah
yang
sudah
tidak
memungkinkan
untuk
dilakukan
restrukturisasi. c. Fungsi penagihan kredit yang mengalami keterlambatan pembayaran angsuran (Collection) berada pada unit kerja terkait disetiap regional. d. Pengendalian risiko pasar dilakukan melalui sistem limit dan pembahasan dalam rapat Komite ALCO serta Komite Manajemen Risiko. e. Pengendalian risiko likuiditas dilakukan melalui strategi pendanaan, pengelolaan posisi likuiditas dan risiko likuiditas harian, pengelolaan posisi likuiditas intragroup, pengelolaan asset likuid berkualitas tinggi dan
53
rencana pendanaan darurat. f. Untuk memastikan kelangsungan proses bisnis di tengah kondisi krisis yang dihadapi, Bank terus menyempurnakan Business Continuity Management (BCM) yang mencakup aspek bisnis dan operasional. g. Bank secara terus menerus memperkuat mekanisme pengendalian risiko, khususnya untuk Risiko Operasional dengan langkah-langkah seperti pemenuhan dan penyempurnaan sumber daya manusia melalui program training,
meningkatkan
koordinasi
unit
kerja
pengendalian,
penyempurnaan kebijakan dan prosedur, dan lain-lain. 5. Pelaporan a. Bank menyampaikan pelaporan secara periodik dan rutin kepada regulator atas perkembangan bisnis yang terjadi. Teknis dan jenis laporan-laporan yang dikirimkan telah sesuai dengan ketentuan dan format yang ditetapkan oleh regulator (Bank Indonesia). Melalui sistem pelaporan ini Bank Mega melakukan fungsi penjabaran kondisi risiko internalnya secara periodik kepada regulator. b. Unit Kerja Risk Manajemen juga telah mempublikasikan beberapa laporan terkait kondisi risiko-risiko yang terkait dengan bank umum kepada jajaran manajemen dan unit kerja terkait dalam rangka mendukung kinerja unit kerja terkait melalui penyediaan data yang informatif dan dual-control dalam pengendalian risiko.
54
c. Laporan-laporan yang dibuat antara lain sebagai berikut : Daily Liquidity Report, Weekly & bi-Weekly Report, Capital Adequacy Ratio, Exceed Limit Dealer dan Counterparty, Penilaian Tingat Kesehatan Bank, Risiko Konsentrasi DPK, Daily Cash Flow, Mega Risk Control Assessment, Loss Event Recording System, Daily Market Monitoring.
55
BAB IV ANALISA HUKUM MENGENAI PERTANGGUNGJAWABAN BANK TERHADAP NASABAH YANG DIRUGIKAN KARENA KEJAHATAN PERBANKAN
4.1 Penegakkan Hukum Terhadap Bank Selaku Badan Hukum yang Turut Bertanggungjawab terhadap akibat dari Tindak Pidana Perbankan yang dilakukan oleh Pegawainya (Putusan MA No.111K/Pdt/2013) 4.1.1 Kronologis Perkara Berdasarkan putusan No.1111K/Pdt/2013 diketahui bahwa Bank Mega selaku Pemohon Kasasi (sebelumnya Tergugat/Pembanding) telah melakukan perbuatan melawan hukum dan selaku badan hukum juga turut bertanggung jawab terhadap segala kerugian nasabah atas terjadinya penyalahgunaan dana nasabah yang dilakukan oleh karyawannya bernama Itman Harry Basuki selaku Kepala Cabang Bank Mega cabang Jababeka yang diadili dalam peradilan yang terpisah karena terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi (Putusan No.1298K/Pid.Sus/TPK/2012) dengan hukuman pidana 10 tahun penjara.
56
Bahwa Bank Mega (Tergugat) menawarkan produk deposito berjangka kepada PT Elnusa (Penggugat). PT Elnusa yang tertarik kemudian melakukan penempatan deposito berjangka pada Bank Mega yang pelaksanaanya dilakukan pada KCP Jababeka dalam 5 kali transaksi penempatan. -
Penempatan 1 sebesar Rp 50 Milyar
-
Penempatan 2 sebesar Rp 50 Milyar
-
Penempatan 3 sebesar Rp 40 Milyar
-
Penempatan 4 sebesar Rp 11 Milyar
-
Penempatan 5 sebesar Rp 10 Milyar Dari seluruh penempatan deposito PT Elnusa pada Bank Mega dengan
jumlah total sebesar Rp 161 Milyar, Penggugat hanya pernah melakukan 1 kali pencairan dana deposito yaitu sebesar Rp 50 Milyar sehingga sisa dana deposito yang masih belum dicairkan adalah sebesar Rp 111 Milyar. Pihak PT Elnusa baru mengetahui permasalahan terkait dengan penempatan deposito di KCP Jababeka ketika pihak Direktorat Reskrimsus Polda Metro mendatangi kantor PT Elnusa dan memberikan informasi bahwa deposito berjangka PT Elnusa pada Bank Mega bermasalah. Berdasarkan informasi tersebut pihak PT Elnusa bersama pihak Direktorat Reskrimsus Polda Metro mendatangi KCP Jababeka untuk melakukan konfirmasi dan pencairan atas deposito berjangka tersebut sejumlah Rp 111 Milyar. Lalu dari pihak PT Elnusa sangat terkejut ketika Branch Manager KCP Jababeka memberikan informasi bahwa penempatan depositonya sudah tidak ada karena telah dicairkan. Selain itu
57
pada saat PT Elnusa menunjukkan 4 advis deposito berjangka kepada petugas teller KCP Jababekadiberikan informasi bahwa advis deposito tersebut tidak sama dengan advis deposito yang diterbitkan Tergugat untuk produk deposito berjangka. PT Elnusa kemudian baru mengetahui bahwa 4 advis deposito berjangka tersebut adalah advis non identik. Tanda tangan yang terdapat pada dokumendokumen yang berhubungan dengan transaksi pencairan penempatan dana deposito berjangka pada Bank mega dinyatakan palsu.
4.1.2 Analisa Pelanggaran Hukum yang dilakukan oleh Bank Mega Dari uraian fakta hukum diatas dapat disimpulkan bahwa pencairan dana sebesar Rp 111 Milyar yang ditempatkan oleh PT Elnusa pada Bank Mega dalam bentuk deposito berjangka dilakukan tanpa sepengetahuan PT Elnusa karena PT Elnusa baru mengetahui permasalahan penempatan dana deposito tersebut setelah mendapat informasi dari Direktorat Reskrimsus Polda Metro yang mendatangi kantor PT Elnusa. Dengan demikian Bank Mega telah melakukan pelanggaran yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yaitu: 1. Pelanggaran pasal 37 B ayat 1 UU Perbankan yang menyatakan “Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan”. Pada kenyataannya Bank Mega
58
tidak menjamin keamanan dana deposito berjangka milik PT Elnusa karena ternyata dengan tanpa sepengetahuan PT Elnusa dana tersebut dicairkan oleh Branch Manager KCP Jababeka untuk kepentingan pihak lain. Karena Bank Mega tidak dapat menjamin keamanan dana deposito PT Elnusa, maka Bank Mega bertanggung jawab untuk menjamin pengembalian dana tersebut kepada PT Elnusa. Karena pencairan dana deposito berjangka tersebut dilakukan oleh pegawai Bank Mega, maka hal tersebut menjadi resiko operasional Bank Mega sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat 9 PBI 11/25/PBI/2009. Dengan demikian tindakan mencairkan dana deposito berjangka milik PT Elnusa oleh Branch Manager KCP Jababeka yang dilakukan dengan tanpa sepengetahuan PT Elnusa dan dilakukan dalam lingkup operasional bank merupakan tanggung jawab bank dalam menjamin dana nasabah. 2. Pelanggaran pasal 29 ayat 2 dan 3 UU Perbankan yang menyatakan pada ayat 2 “Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas
aset,
kualitas
manajemen,
likuiditas,
rentabilitas,
solvabilitas, dan sapek lain yang berhubungan dengan usaha bank dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehatihatian.” Dan ayat 3 “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan
59
bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.” Disini Bank Mega telah tidak hati-hati dalam menjaga kepentingan Penggugat sebagai nasabah deposan karena tidak menerapkan Customer Due Dilligence terhadap PT Elnusa. Dan atas terjadinya pencairan dana deposito berjangka milik PT Elnusa yang dilakukan dengan tanpa perintah dan sepengetahuan PT Elnusa karena didasarkan pada dokumen-dokumen yang tidak pernah ditandatangani oleh pejabat PT Elnusa yang berwenang untuk memerintahkan pencairan deposito tersebut, menunjukkan bahwa Bank Mega tidak menerapkan Customer Due Dilligence dengan baik. 3. Terdapat
kelemahan
dalam
penerapan
pasal
51
PBI
No.11/25/PBI/2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi bank umum yang menyatakan “Bank wajib menerapkan fungsi audit intern secara efektif dengan berpedoman pada persyaratan dan tata cara sebagaimana diatur dalam ketentuan BI tentang Penugasan
Direktur
Kepatuhan
dan
Penerapan
Standar
Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank Umum” Dengan menerapkan sistem pengendalian intern yang baik Bank Mega seharusnya telah dapat mendeteksi secara dini atas adanya pencairan dana deposito berjangka tersebut yang dilakukan tanpa perintah dan sepengetahuan PT Elnusa.
60
Berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Berdasarkan pasal diatas, tindakan Bank Mega selain bertentangan dengan peraturan perundang-undangan diatas juga telah memenuhi unsur Perbuatan Melawan Hukum yaitu: 1. Branch Manager KCP Jababeka mencairkan deposito milik PT Elnusa dengan tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari pejabat yang berwenang dari PT Elnusa. 2. Branch Manager KCP Jababeka telah mencairkan deposito milik PT Elnusa berdasarkan dokumen-dokumen yang tanda tangannya non identik. 3. Bank
Mega
tidak
dapat
mendeteksi
secara
dini
adanya
penyimpangan/ kecurangan dalam pencairan dana deposito berjangka milik PT Elnusa yang dilakukan tanpa sepengetahuan dan persetujuan PT Elnusa. 4. Bank Mega tidak menjamin keamanan dana deposito berjangka milik PT Elnusa yang ada pada lingkup pengusahaan Bank Mega. Berdasarkan pasal 1367 KUHPerdata ayat 1 yang menyatakan bahwa “Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barangbarang yang berada dibawah pengawasannya” dan ayat 3 “Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan
61
mereka, adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka didalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya.” Karena Branch Manager KCP Jababeka adalah pekerja yang bekerja pada Bank Mega yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan, maka Bank Mega turut bertanggungjawab atas perbuatan Branch Manager yang telah menimbulkan kerugian bagi nasabahnya yaitu PT Elnusa. Berdasarkan pasal 1366 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kekurang hati-hatiannya.” Akibat Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan Bank Mega tersebut telah mengakibatkan PT Elnusa tidak dapat mencairkan dana miliknya yang ditempatkan pada KCP Jababeka Bank Mega yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan telah melanggar hak-hak nasabah sehingga dengan tidak dapat
dicairkannya
dana
deposito
berjangka
milik
PT
Elnusa,
telah
mengakibatkan kerugian bagi PT Elnusa baik materil maupun immaterial. Oleh karena itu Bank Mega diharuskan untuk membayar ganti kerugian nasabah sebesar pokok atas penempatan dana deposito sebesar Rp 111 Milyar berikut bunganya 6% pertahun.
62
4.1.3 Landasan Hukum Penggantian Kerugian Nasabah Akibat Tindak Kejahatan Perbankan Undang – undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan tidak menentukan landasan hukum yang dapat dipergunakan oleh nasabah apabila ia dirugikan oleh bank. Karena pada dasarnya apabila seorang nasabah memasuki suatu sistem pelayanan perbankan maka ia akan dihadapkan pada pilihan yang disediakan oleh bank itu sendiri. Atau dengan kata lain apabila nasabah adalah seorang nasabah penabung maka itu berarti ia akan mendapatkan bunga atas tabungannya, dan apabila nasabah tersebut adalah nasabah debitur maka ia wajib melunasi hutangnya dengan pihak perbankan, apabila ia tidak melunasi kewajibannya, maka berdasarkan perjanjiannya yang dibuatnya, pihak bank dapat menyita agunan yang diajukannya kepada pihak bank. Apabila dihubungkan dengan pelaksanaan penuntutan dengan dasar perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata), maka si nasabah akan mengeluarkan dana yang cukup besar untuk melakukan penuntutan dengan waktu yang juga tidak pendek untuk terlaksananya proses penuntutan. Hanya saja dalam pelaksanaan penututan selanjutnya nasabah harus dapat membuktikan bahwa pihak bank benar-benar telah melakukan perbuatan hukum yang merugikan dirinya sebagai nasabah. Dengan demikian maka apabila nasabah melakukan tuntutan atas bank dengan dasar perbuatan melawan hukum tentulah ia akan kehilangan dana dan waktu yang cukup panjang, sehingga terkadang nasabah hanya berserah kepada
63
putusan hakim dan ketentuan-ketentuan yang diambil oleh pihak Bank Indonesia. Meskipun pada perkara yang telah dibahas disini perkaranya dimenangkan oleh nasabah yaitu PT Elnusa, dana PT Elnusa yang disimpan pada bank Mega akan dikembalikan tetapi kembalinya dana tersebut dalam tempo yang lama tidak serta merta, sehingga merugikan perilaku ekonomi perusahaan itu sendiri. Tidak terlindunginya nasabah, sudah sejak nasabah pertama kali berhubungan dengan bank. Hubungan keduanya tidak imbang. Ketikan nasabah menhadi kreditur dalam bentuk giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan atau bentuk lain yang dipersamakan, tidak ada agunan apapun yang diberikan bank kepada nasabah, kecuali hanya modal kepercayaan pada bank. Menurut penulis, posisi nasabah sangatlah lemah dibandingkan dengan posisi bank. Paling tidak ada dua hubungan hukum antara bank dengan nasabah yang dinilai tidak adil. Pertama ketika bank bertindak sebagai kreditur, nasabah memberikan perlindungan hukum dalam bentuk penyerahan dokumen agunan, seperti sertifikat tanah, guna menjamin pelunasan hutang nasabah. Kedua, nasabah sama sekali tidak menguasai dokumen aset bank guna menjamin hutang bank kepada nasabah dalam bentuk giro, deposito, tabungan atau bentuk lainnya. Bank hanya berbekal agunan “kepercayaan” saja dari nasabah. Tampaknya perlindungan terhadap nasabah diberikan secara tidak memadai. Undang-Undang
No.10/1998
tentang
Perbankan
mengatur
masalah
perlindungan kepada nasabah secara samar. Itu tercermin dalam wewenang Bank Indonesia dalam melakukan pembinaan dan pengawasan Bank. Artinya
64
perlindungan terhadap nasabah tidak dapat dipisahkan dari upaya menjaga kelangsungan bank dalam sistem perbankan nasional. Perlindungannya tidak diatur secara tegas/eksplisit. Itu berarti adanya kegagalan bank (bank failure) dikhawatirkan membuat resah masyarakat nasabah. Dalam pembahasan perkara sebelumnya, perbuatan yang telah dilakukan oleh Itman Harry Basuki selaku Branch Manager Bank Mega KCP Jababeka tersebut biasa disebut dengan kolusi. Perbuatan pidana ini dilakukan oleh Dewan Komisaris, Direksi, atau Pegawai bank yang secara sengaja melakukan perbuatan dengan menggunakan kewenangannya dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau keluarganya. Ketentuan tindak pidana perbankan semacam ini dijumpai pada Pasal 49 ayat (1) dan (2) UU No.10/1998 tentang Perbankan. Pasal tersebut merupakan bentuk perlindungan terhadap nasabah bank dari itikad buruk yang mungkin dilakukan oleh anggota Dewan Komisaris, Direksi, ataupun Pegawai bank terhadap simpanan nasabah di bank. Apabila pasal tersebut dikaitkan dengan kasus pembobolan dana deposito nasabah di Bank Mega KCP Jababeka, maka tindakan yang dilakukan oleh Itman Harry Basuki dalam menyalahgunakan dana nasabah yaitu memalsukan tanda tangan pada advis pencairan deposito telah memenuhi unsur pada pasal 49 ayat 1 huruf a yaitu dengan membuat advis deposito non identik kemudian melakukan pencairan dana dengan memalsukan tanda tangan nasabah yang berwenang. Namun dalam kenyataannya, meskipun pelaku tindak pidana tersebut sudah dijerat pidana atas perbuatan yang dilakukannya, tetapi yang diinginkan nasabah
65
tetaplah hak yang dimilikinya yaitu dana yang telah disimpan pada bank, satusatunya cara yaitu menggugat ganti rugi secara perdata kepada bank selaku badan hukum yang bertanggung jawab terhadap akibat dari tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh pegawainya. Ganti rugi berupa pengembalian uang sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Namun ketentuan ini tidak berlaku apabila bank dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan atau sebagai akibat kesalahan nasabah. Sehingga pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan-gugatan ganti rugi, merupakan beban dan tanggung jawab bank sebagai pelaku usaha.
4.2 Bentuk Pertanggungjawaban Perbankan dan Perlindungan Hukum terhadap Nasabah 4.2.1 Bentuk Pertanggungjawaban Bank terhadap Nasabah yang Menjadi Korban Tindak Kejahatan Perbankan Akibat dari adanya perbuatan melawan hukum adalah timbulnya kerugian bagi korban. Kerugian tersebut harus diganti oleh orang-orang yang dibebankan oleh hukum untuk mengganti kerugian tersebut. Seperti halnya perkara yang dimenangkan oleh PT Elnusa, maka Bank Mega-lah yang harus bertanggung jawab untuk mengganti kerugian tersebut baik materil maupun immaterial. Masalah tanggung jawab perdata atas kelalaian atau kesalahan yang terjadi dalam bank dapat dihubungkan dengan kepengurusan bank tersebut. Pengurus
66
bank, adalah bertindak mewakili badan hukum bank tersebut berdasarkan ketentuan anggaran dasar perusahaan. Sehingga ketika terjadi tindak pidana perbankan pada bank yang dilakukan oleh pegawainya / orang internal yang menimbulkan kerugian bagi nasabah, selain tuntutan pidana yang dikenakan pada pelaku tersebut, nasabah juga bisa melakukan gugatan yang ditujukan kepada bank untuk meminta ganti kerugian atas dasar perbuatan melawan hukum. Ketika sengketa perbankan masih dapat diselesaikan secara baik dan tetap menguntungkan kedua belak pihak, maka jalur hukum atau pengadilan dapat dikesampingkan/dihentikan. Hal ini juga terkait dengan prinsip penyelesaian sengketa secara murah, sederhana dan cepat. Selain itu sebagai upaya peningkatan dan pemberdayaan nasabah, tentu bank sebagai pelaku usaha harus memberikan layanan penyelesaian dan infrastruktur atas berbagai keluhan dan pengaduan nasabah. Media penyelesaian ini juga harus memenuhi standar waktu dan pelayanan, artinya dapat berlaku secara efektif dan efisien. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pemegang otoritas perbankan Indonesia dalam upaya memenuhi standar tersebut juga telah memprioritaskan program-program terkait perlindungan nasabah, termasuk penanganan pengaduan nasabah, termasuk penanganan perbankanan pembentukan lembaga mediasi perbankan independen.
4.2.2 Perlindungan Hukum terhadap Nasabah yang Menjadi Korban
67
Kejahatan Perbankan Jika penulis melihat dari sisi hukum perdata mengenai hubungan antara nasabah penyimpan dengan bank, nasabah penyimpan kurang terlindungi, maka seharusnya perlindungan hukum terhadap nasabah dapat diberikan melalui hukum publik atas hak- haknya terhadap bank. Dalam hubungan non kontraktual, hak-hak nasabah penyimpan terhadap bank muncul karena adanya hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, hubungan non kontraktual yang diatur dalam UU No.10/1998 tentang Perbankan dan peraturan pelaksananya yaitu : 1. Hubungan kepercayaan; 2. Hubungan kerahasiaan; 3. Hubungan menjamin simpanan nasabah penyimpan; 4. Hubungan kepedulian terhadap resiko nasabah; 5. Hubungan kepedulian terhadap pengaduan nasabah. Maka kepada nasabah penyimpan yang telah mempercayakan dananya kepada bank perlu mendapatkan perlindungan hukum yang memadai. Perlindungan hukum tersebut diatur dalam UU No.10/1998 tentang Perbankan Pasal 8 tentang pemberian kredit, Pasal 16 tentang perizinan dan pasal 29 tentang pembinaan dan pengawasan perbankan, artinya bank harus menjalankan kegiatan usaha dengan prinsip kehati-hatian.
68
Kemudian pembinaan dan pengawasan bank oleh Bank Indonesia sebenarnya merupakan suatu ketentuan dalam UU No.10/1998 tentang Perbankan yang pada akhirnya juga bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap bank yang bersangkutan dan nasabah penyimpan jika terjadi pelanggaran kewajiban bank yang berkaitan dengan ketentuan yang mengatur prinsip kehati-hatian, pembinaan dan pengawasan ini. Bank dikenai sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 UU No.10/1998 tentang Perbankan yang berupa teguran tertulis, dan pelanggaran itu dapat diperhitungkan dengan komponen tingkat kesehatan bank, bahkan bank dapat diberikan sanksi pencabutan izin usaha, dan dengan adanya ketentuan Pasal 49 ayat (2) huruf b UU No.10/1998 tentang Perbankan maka Direksi dari bank yang bersangkutan dapat diadukan oleh nasabah sebagai telah melaksanakan tindak pidana dan dijatuhi sanksi pidana. Menyangkut usaha untuk melindungi nasabah bank sebenarnya tidak bergantung pada penerapan hukum perdata semata sebagaimana diharapkan melalui sanksi dan mekanisme gugatan ganti kerugian. Ketentuan hukum lainnya seperti hukum pidana juga memuat ketentuan aturan yang dapat melindungi konsumen seperti mekanisme perizinan dan pengawasan yang diperketat. Kondisi saat ini bahkan perlindungan nasabah telah mendapatkan perhatian yang serius dengan ditetapkannya peraturan perundang-undangan yang mengatur, yakni Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun demikian tetap diperlukan suatu kehati-hatian dalam menentukan siapa yang
69
bertanggung jawab atas kelalaian atau kesalahan yang telah terjadi dalam pengelolaan atau pengurusan bank sehingga terjadi suatu kerugian teralami oleh para nasabah. Berkaitan dengan perkembangan sengketa antara bank dan nasabah seringkali terjadi seperti nasabah datang langsung ke bank, menelpon pada call center, atau menulis di media cetak dengan menyampaikan keluhannya kepada bank. Bahkan terkadang nasabah melaporkan ke pihak kepolisian dan melakukan gugatan ganti kerugian kepada bank melalui pengadilan, namun mengalami banyak kendala. Sedangkan pihak bank kurang memperhatikan pengaduan nasabah, atau memperbaiki pelayanannya kepada nasabah. Seharusnya bank berkewajiban menyelesaikan setiap pengaduan nasabah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah. Meskipun kedudukan nasabah diperhatikan dan berkedudukan sebagai pihak konkuren, namun perlindungan demikian masih belum total. Oleh karenanya, menyangkut dana nasabah tersebut perlu juga dijamin dengan asuransi deposito di Indonesia. Pemberlakuan asuransi deposito tersebut telah di upayakan oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 1998 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di bidang Penjaminan Kewajiban Bank. . Ketentuan pidana yang tercantum dalam KUHP dapat pula dijadikan sandaran dalam rangka perlindungan nasabah, di antara ketentuan tersebut adalah
70
Pasal 263, 372, dan Pasa1374, juga pasal-pasal lainnya, serta ketentuan pidana yang tersebar dalam perundang-undangan khusus perbankan maupun yang berkaitan dengan materi perbankan. Hal-hal yang bersangkutan dengan usaha perlindungan nasabah ini, adalah diantaranya berupa kebenaran laporan, dan datadata yang tidak benar dari suatu bank kepada Bank Indonesia, yang secara langsung telah dan dapat dirugikan nasabah. Menyangkut suatu perbuatan pengurus bank yang secara melawan hukum dengan seenaknya memakai uang nasabah guna kepentingan pribadi dan kelompok perusahaannya, perbuatan semacam itu dapat dikenai tuduhan penggelapan sesuai dengan Pasal 372 atau Pasal 374 KUHP. Sedangkan berkaitan dengan upaya perlindungan dan pemberdayaan nasabah merupakan wujud keberadaan infrastruktur bank untuk menyelesaikan keluhan dan pengaduan nasabah. Untuk itu bank wajib merespon keluhan dan pengaduan nasabah, khususnya terkait dengan transaksi keuangan. Sebagai upaya untuk menghindari penyelesaian pengaduan nasabah diperlukan adanya standar waktu yang jelas dan berlaku secara umum di setiap bank. Berarti diperlukan alternatif penyelesaian sengketa sebagai upaya lanjutan pengaduan nasabah. Berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altematif Penyelesaian Sengketa. Upaya dapat dilakukan melalui negosiasi, konsiliasi, mediasi, arbitrase maupun melalui pengadilan. Mengenai fungsi dari penyelesaian sengketa alternatif dengan jalur mediasi perbankan dengan mempertemukan nasabah dan bank untuk mengkaji kembali
71
pokok permasalahan guna mencapai kesepakatan. Hal tersebut terkait dengan perlindungan hukum nasabah melalui mediasi perbankan yang sebelumnya masih dilaksanakan BI berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008 Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 Tentang Mediasi Perbankan dan SEBI No. 8/14/DPNP. Dalam tugas pengaturan dan pengawasan Perbankan ada pembagian kewenangan antara Bank Indonesia, OJK dan LPS. Tugas pengaturan dan pengawasan perbankan ada pada OJK, namun ada beberapa pengaturan yang harus dikoordinasi antara OJK dan Bank Indonesia. Pemberian dan pencabutan izin usaha perbankan oleh OJK (Pasal 9 UU OJK). pemeriksaan dan pengawasan khusus oleh Bank Indonesia, sedangkan penyehatan bank gagal oleh LPS (Pasal 41 dan 42 UU OJK), dan sanksi administratif oleh OJK. Sebagai lembaga pengawas perbankan di Indonesia, maka Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempunyai peranan yang besar sekali dalam usaha melindungi dan menjamin agar nasabah tidak mengalami kerugian akibat tindakan bank yang salah. Lembaga alternatif sengketa yang ditangani OJK tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) No.1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan (LAPS) sesuai amanat Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Adapun latar belakang pembentukan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah seringnya tidak tercapai kesepakatan antara Konsumen dengan Lembaga Jasa Keuangan. Karena itu diperlukan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mampu
72
menyelesaikan
persengketaan
dengan
cepat,
murah,
adil,
dan
efisien.
Pengawasan yang efektif dan baik, adalah merupakan Iangkah preventif dalam membendung atau setidak-tidaknya mengurangi kasus kerugian nasabah karena tindakan bank atau lembaga keuangan lainnya yang melawan hukum.
73
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan data yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Tindak pidana pembobolan dana nasabah yang dilakukan oleh pegawai internal bank merupakan tindak pidana yang terjadi dalam ruang lingkup perbankan. Pelaku dapat dijerat pidana berdasarkan UU No.10/1998 tentang Perbankan maupun UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor jika salah satu dari bank atau nasabah adalah perusahaan BUMN. Selain hukuman yang dikenakan pada pelaku, bank sebagai badan hukum pun turut bertanggung jawab mengembalikan dana dan mengganti kerugian yang dialami oleh nasabah akibat dari perbuatan pegawainya tersebut sesuai dengan pasal 1367 KUHPer. Hal itu bisa terjadi apabila bank terbukti bersalah karena tidak dapat menjamin keamanan dana nasabah dan tidak menerapkan prinsip kehati-hatian sehingga kasus tersebut bisa terjadi. 2. Perlindungan Hukum yang dapat diterima nasabah bank dalam hal terjadi tindak pidana di bidang perbankan yang paling penting adalah nasabah berhak mendapatkan haknya kembali dan ganti rugi. Sedangkan
74
perlindungan lainnya dapat berupa perlindungan secara tidak langsung dan perlindungan secara langsung. Perlindungan secara tidak langsung berupa segala tindakan dan peraturan yang terdapat di dalam peraturan di luar UU Perbankan. Perlindungan tersebut berupa mengenai uji kemampuan dan kepatutan bagi direksi dan pengurus bank. Selain itu juga mengenai manajemen atau organisasi bank yang seharusnya dilakukan oleh bank untuk melindungi kepentingan nasabahnya. Peraturan-peraturan yang terdapat dalam UU No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas juga dikategorikan dalam perlindungan secara tidak langsung. Tujuan pemidanaan juga dapat dimasukkan sebagai pencegahan dapat terulangnya tindak pidana di bidang perbankan yang sejenis atau lain jenis. Sementara perlindungan langsung yang diberikan bank kepada nasabahnya berupa bank harus melakukan perencanaan yang cermat berdasarkan prinsip kehati-hatian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 29 UU No.10/1998 tentang Perbankan.
5.2 Saran Nasabah selalu dianggap lemah atau pada posisi yang kurang diuntungkan apabila terjadi kasus-kasus perselisihan antara bank dengan nasabahnya, sehingga nasabah dirugikan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perbankan bersamasama dengan masyarakat harus memiliki beberapa agenda yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap nasabah atau konsumen perbankan. Bank
75
Indonesia sebagai bank yang memiliki otoritas penuh dalam pembuatan kebijaksanaan hendaknya dapat mengadakan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai adanya hak nasabah untuk mengajukan segala hal yang merugikannya kepada Lembaga Pengaduan Nasabah (PBI No.7/PBI/2005) dan Mediasi Perbankan (PBI No.10/1/PBI/2008) dan agar segera dibentuknya Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa khusus perbankan yang ditangani oleh para ahli perbankan sebagai wadah penyelesaian perselisihan melalui mekanisme external dispute resolution (resolusi sengketa eksternal). Perlindungan hukum yang diberikan kepada nasabah bank yang termasuk dalam perlindungan secara langsung menurut saran penulis, seharusnya dalam UU No.10/1998 tentang Perbankan diatur mengenai bagaimana bank melindungi secara langsung kepada nasabahnya yang telah dilanggar atau dirugikan kepentingannya, atau bagaimana mekanisme ganti rugi atau penyelesaian hukum yang patut bagi nasabah. Karena dalam UU Perbankan hanya mengatur mengenai sanksi yang diberikan kepada pelaku tindak pidana di bidang perbankan saja namun konteks kerugian yang dialami oleh nasabah bank cenderung terabaikan. Hal itu masih dirasa kurang karena apa yang dibutuhkan oleh nasabah bank jika kepentingannya dilanggar atau dirugikan adalah jaminan penggantian kerugian yang diterimanya dan mekanisme penyelesaian yang patut. Selama ini bank baru akan merespon jika nasabah terlebih dulu melakukan pengaduan akan kerugian yang dialaminya, atau bahkan bank baru akan bersedia mengganti kerugian jika sudah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap yang mengharuskan bank membayar ganti rugi kepada nasabah yang dirugikan tersebut.
76
77
78
.
79