Ketimpangan Gender 2

  • Uploaded by: Meezan Ardhanu
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ketimpangan Gender 2 as PDF for free.

More details

  • Words: 2,623
  • Pages: 11
Ketimpangan dan Peran Gender di Bidang Politik Oleh Wayan Sudarta Fakultas Pertanian UNUD

ABSTRAK

Artikel ini bertujuan untuk sekadar memberikan pemahaman tentang ketimpangan dan peran gender yang telah terjadi di bidang politik (lembaga legislatif dan eksekutif) di Indonesia dan Bali. Data yang berhasil dihimpun menunjukkan, bahwa terjadi ketimpangan gender yang mencolok dalam arti wanita jauh tertinggal dari pada pria di bidang politik (lembaga legislatif dan eksekutif), baik di tingkat nasional, provinsi Bali maupun di tingkat kabupaten/kota di Bali. Ketimpangan gender yang menonjol tersebut, membawa implikasi yang khas berkenaan dengan peranan wanita yang jauh lebih rendah dari pada peranan pria di bidang politik. Kata kunci : ketimpangan, peran gender, politik

Pendahuluan Peranan pria dan wanita yang dikonstruksi oleh norma sosial dan nilai sosial budaya masyarakat disebut peran gender. Ini artinya, peran gender tidak ditentukan oleh perbedaan kelamin seperti halnya peran kodrat (yang akan diuraikan pada bagian berikut dari tulisan ini). Peranan adalah hak dan kewajiban yang dijalankan oleh seseorang, pria atau wanita pada kedudukan (posisi) tertentu. Jadi, setiap kedudukan dilengkapi dengan seperangkat peranan.

Semakin tinggi kedudukan seseorang

semakin tinggi pula peranannya, sebaliknya semakin rendah kedudukan seseorang semakin rendah pula peranan yang dapat dijalankannya.

1

Pria dan wanita merupakan dua insan yang berbeda, tetapi bukan untuk dibedabedakan. Itulah makanya, di dalam UUD RI 1945 dan GBHN 1993, di antaranya diamanatkan bahwa pria dan wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam pembangunan. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa wanita mempunyai status yang lebih rendah dan mengalami ketertinggalan yang lebih banyak jika dibandingkan dengan pria dalam berbagai bidang pembangunan, baik sebagai pelaku pembangunan maupun sebagai penikmat hasil pembangunan. Oleh karena itu, peningkatan peranan wanita yang berwawasan gender sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, merupakan upaya untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender atau kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dengan wanita. Artinya, pria dan wanita mempunyai hak, kewajiban, kedudukan-peranan dan kesempatan yang sama dalam pembangunan, baik pembangunan di bidang politik, ekonomi, sosial budaya maupun pembangunan di bidang pertahanan dan keamanan.

Pria dan wanita sama-sama

merupakan tenaga yang berpotensi tinggi. Mengikutsertakan pria dan wanita dalam proses pembangunan, berarti merupakan tindakan yang efisien dan efektif. Sejalan dengan pemikiran tersebut, maka hal pokok yang akan dibahas dalam tulisan ini, bagaimana ketimpangan dan peran gender di bidang politik, khususnya di lembaga legislatif dan eksekutif sebagai komponen-komponen supra struktur (pengambil keputusan dan penentu kebijakan) dalam sistem Politik Indonesia.

Konsep Gender Sebelum dibahas mengenai hal pokok seperti yang dimaksudkan tersebut, terlebih dahulu kiranya perlu dikemukakan secara singkat tentang konsep gender. Dalam kaitan ini, perlu dipahami tiga hal yang saling berkaitan tetapi memiliki pengertian yang berlainan, yakni seks, kodrat dan gender. Seks adalah kelamin secara biologis, yakni alat kelamin pria (penis) dan alat kelamin wanita (vagina). Sejak lahir hingga meninggal dunia, pria akan tetap berjenis kelamin pria dan wanita akan tetap berjenis kelamin wanita. Ini artinya, antara pria dengan wanita tidak dapat saling tukar jenis kelamin. Kodrat diartikan sebagai suatu sifat bawaan biologis sebagai anugerah Tuhan Yang Mahaesa yang tidak dapat berubah sepanjang masa dan tidak

2

dapat dipindah-pindahkan dari pria kepada wanita dan sebaliknya dari wanita kepada pria. Implikasi dari anugerah itu, seseorang yang berjenis kelamin wanita diberikan peran kodrati yang berbeda dengan seseorang yang berjenis kelamin pria oleh Tuhan Yang Mahaesa. Wanita diberikan peran kodrati lima M, yaitu (1) menstruasi, (2) mengandung, (3) melahirkan, (4) menyusui dengan air susu ibu dan (5) menopause. Sedangkan pria diberikan peran kodrati satu M, yaitu membuahi sel telur wanita. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa peran kodrati bersifat statis. Gender berasal dari kata gender (bahasa Inggris) yang diartikan sebagai jenis kelamin, tetapi bukan jenis kelamin secara biologis, melainkan secara sosial budaya dan psikologis. Konsep gender diartikan sebagai suatu konsep hubungan sosial yang membedakan peranan antara pria dengan wanita, yang dibentuk oleh norma sosial dan nilai sosial budaya masyarakat.

Dengan demikian seperti telah dikemukakan

sebelumnya, peran gender adalah peran pria dan wanita yang tidak ditentukan oleh perbedaan kelamin seperti halnya peran kodrat. Berdasarkan pemahaman itu, maka peran gender dapat berbeda di antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya sesuai dengan norma sosial dan nilai sosial budaya yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan, dapat berubah dan diubah dari masa ke masa sesuai dengan kemajuan pendidikan, teknologi, ekonomi dan sebagainya, dan dapat ditukarkan antara pria dengan wanita. Hal ini berarti, peran gender bersifat dinamis. Berkaitan dengan hal tersebut, dikenal ada tiga jenis peran gender sebagai berikut. (1) Peran produktif (peran di sektor publik) adalah peran yang dilakukan oleh seseorang, pria atau wanita, menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa, baik untuk dikonsumsi maupun untuk diperdagangkan. (2) Peran reproduktif (peran di sektor domestik), adalah peran yang dilakukan oleh seseorang, pria atau wanita, untuk kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan sumber daya manusia dan pekerjaan urusan rumah tangga, seperti mengasuh anak, membantu anak belajar, berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari, membersihkan rumah, mencuci alat-alat rumah tangga, mencuci pakaian dan lainnya. (3) Peran sosial adalah peran yang dijalankan oleh seseorang, pria atau wanita, untuk berpartisipasi di dalam kegiatan

3

kemasyarakatan, seperti gotong royong dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang menyangkut kepentingan bersama (di banjar, desa pakraman, subak dan lainnya).

Ketimpangan dan Peran Gender Ketimpangan gender (permasalahan atau isu gender) dapat diartikan sebagai suatu kesenjangan antara kondisi normatif atau kondisi gender sebagaimana yang dicita-citakan dengan kondisi objektif atau kondisi gender sebagaimana adanya. Berdasarkan data yang didapatkan oleh penulis, maka ketimpangan dan peran gender di bidang politik ( di lembaga legislatif dan eksekutif) baik di Indonesia maupun di Bali, dapat dijelaskan sebagai berikut. Di Indonesia, jumlah wanita yang menjadi anggota legislatif (DPR RI/MPR RI), PNS wanita yang menduduki jabatan struktural dan jumlah wanita yang menjadi Lurah/Kepala Desa, jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan pria, padahal jumlah warga negara Indonesia wanita lebih banyak (> 50%). Data menunjukkan, bahwa dari setiap delapan orang anggota DPR RI hanya seorang wanita dan setiap 13 orang anggota MPR RI hanya seorang wanita. Dilihat dari PNS wanita yang menduduki jabatan eselon, dari setiap empat orang pejabat eselon I, seorang di antaranya wanita; dari setiap 19 orang pejabat eselon II, seorang di antaranya wanita; dari setiap 15 pejabat eselon III, seorang di antaranya wanita dan dari setiap sembilan orang pejabat eselon IV, seorang di antaranya wanita.

Begitu juga wanita yang menjadi

Lurah/Kepala Desa jauh lebih sedikit daripada pria. Dari setiap 40 orang Lurah, hanya seorang wanita dan dari setiap 55 orang Kepala Desa, hanya seorang wanita. Data ini menggambarkan terjadi ketimpangan gender di bidang politik, yakni di lembaga legislatif dan eksekutif, sekaligus pula menggambarkan bahwa kedudukan dan peranan wanita jauh lebih rendah daripada pria di bidang tersebut. Ketimpangan gender di bidang tersebut, juga dijumpai di provinsi Bali, seperti tampak pada Tabel 1, 2 dan 3.

4

Tabel 1.

No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

Jumlah Anggota Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat) Provinsi dan Kabupaten/Kota Menurut Jenis Kelamin di Provinsi Bali Periode Tahun 1999 s.d 2004

Provinsi, Kabupaten/Kota Bali Jembrana Tabanan Badung Denpasar Gianyar Klungkung Bangli Karangasem Buleleng

Jenis Kelamin (Orang) Pria Wanita

Jumlah (Orang)

54 30 35 33 40 33 23 25 34 44

1 0 0 2 0 2 2 0 1 1

55 30 35 35 40 35 25 25 35 45

Jumlah 351 Sumber : Pemerintah Provinsi Bali (2003)

9

360

Data yang tertuang pada Tabel 1 menunjukkan, bahwa dalam periode tahun 1999 s.d 2004 dari 360 orang anggota legislatif baik di provinsi Bali maupun di seluruh kabupaten/kota di Bali, hanya sembilan orang (2,5 persen) wanita.

Ini

menggambarkan bahwa terjadi ketimpangan gender yang sangat mencolok di bidang politik di provinsi Bali. Keterwakilan wanita di lembaga legislatif provinsi Bali hanya seorang, inipun sebagai pengganti antar waktu. Sedangkan di lembaga legislatif kabupaten Jembrana, Tabanan, Denpasar dan Bangli tidak ada keterwakilan wanita. Sangat minimnya jumlah keterwakilan wanita di lembaga legislatif itu, tentu sangat sulit bagi wanita untuk memainkan peranan dalam mempengaruhi pengambilan keputusan dan penentuan kebijakan serta menyuarakan aspirasi wanita untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender seperti yang dicita-citakan. Kemudian data yang tersaji pada Tabel 2 menunjukkan, bahwa pada tahun 2003, di lingkungan Pemerintah Provinsi Bali tercatat 1.022 orang PNS yang menduduki jabatan eselon. Dari jumlah tersebut, hanya 249 orang (24,36 persen) wanita. Fakta ini menggambarkan bahwa kedudukan dan peranan wanita sebagai

5

pengambil keputusan dan penentu kebijakan dalam pemerintahan lebih rendah daripada pria.

Tabel 2. Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) per Eselon Menurut Jenis Kelamin di Lingkungan Pemerintah Provinsi Bali Tahun 2003

No

Eselon

1. 2. 3.

II III IV

Jumlah (Orang)

Jenis Kelamin (Orang) Pria Wanita 42 198 533

4 25 220

46 223 753

Jumlah 773 Sumber : Pemerintah Provinsi Bali (2003)

249

1.022

Berikut ini dapat dikaji jumlah pria dan wanita yang menjabat sebagai Camat, Lurah dan Kepala Desa di provinsi Bali, sebagaimana tercantum pada Tabel 3.

Tabel 3. Jumlah Camat, Lurah dan Kepala Desa Menurut Jenis Kelamin di Provinsi Bali Tahun 2003 No

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Kabupaten/ Kota Buleleng Jembrana Tabanan Badung Denpasar Gianyar Bangli Klungkung Karangasem

Camat (Orang) P W Jlh 9 4 9 6 3 7 4 4 8

0 0 1 0 0 0 0 0 0

9 4 10 6 3 7 4 4 8

Lurah (Orang) P W Jlh

Kepala Desa (Orang) P W Jlh

9 3 0 16 16 6 4 6 3

0 1 0 0 0 0 0 0 0

9 4 0 16 16 6 4 6 3

127 42 116 45 27 63 65 52 67

0 0 1 1 0 0 0 0 0

127 42 117 46 27 63 65 52 67

Jumlah 54 1 55 63 Sumber : Pemerintah Provinsi Bali (2003) Keterangan : P = Pria W = Wanita Jlh = Jumlah

1

64

604

2

606

6

Dari data pada Tabel 3 dapat dipahami, bahwa di provinsi Bali di antara 55 orang Camat terdapat hanya seorang Camat wanita, di antara 64 orang Lurah juga terdapat hanya seorang Lurah wanita dan di antara 606 orang Kepala Desa terdapat hanya dua orang Kepala Desa wanita. Data itu menunjukkan ketimpangan gender yang sangat tajam dalam pemerintahan baik di tingkat kecamatan, kelurahan maupun desa, yang berarti peranan wanita jauh lebih rendah daripada pria di bidang tersebut. Apalagi jika dilihat Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota yang ada di Bali saat ini (tahun 2004), semuanya dijabat oleh pria. Hal itu membuktikan, bahwa akses dan kontrol wanita dalam jabatan-jabatan tersebut sangat terbatas. Mengapa kiprah wanita demikian kecil di bidang politik, khususnya di lembaga legislatif dan eksekutif? Hal ini sebagian disebabkan oleh ideologi patriarki, yakni suatu ideologi atau paham tentang kekuasaan itu berada di tangan pria. Ideologi ini merupakan ideologi universal yang telah mengakar kuat pada berbagai pelosok dunia, bukan saja di negara-negara berkembang seperti Indonesia, melainkan juga di negara-negara maju.

Di Bali, ideologi patriarki itu diperkuat lagi dengan sistem

kekerabatan patrilineal yang dianut oleh masyarakatnya, yang menempatkan kedudukan pria lebih tinggi dan penting daripada wanita baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat yang lebih luas. Paham semacam ini telah disosialisasikan dari generasi ke generasi selama berabad-abad, sehingga mendarah daging di masyarakat. Akibatnya, disadari atau tidak telah menimbulkan ketimpangan dalam hubungan kekuasaan antara pria dengan wanita yang dikenal sebagai hubungan yang sub ordinatif.

Demikian kuatnya pengaruh ideologi patriarki dan sistem kekerabatan

patrilineal ini mengakar di masyarakat, sehingga hubungan yang sub ordinatif itu oleh masyarakat dipandang sebagai hal yang wajar, bahkan dipandang sebagai “kodrat”, padahal sebetulnya merupakan hasil konstruksi sosial. Nilai sosial budaya dan pandangan masyarakat tersebut, menyebabkan akses dan kontrol wanita untuk berkecimpung di sektor publik (termasuk di bidang politik) menjadi terbatas. Konsekuensi dari keadaan itu, timbul pandangan masyarakat bahwa wanita lebih cocok sebagai tenaga kerja di sektor domestik, sedangkan pria lebih pantas di sektor publik.

7

Apabila dicermati dalam kehidupan politik praktis, ternyata betapa kecilnya jumlah wanita yang duduk dalam kepengurusan partai politik (infra struktur), padahal partai politik merupakan wahana strategis untuk mempromosikan seseorang, pria atau wanita, ke lembaga legislatif. Hal ini tentu saja tidak disebabkan oleh faktor ekstern seperti telah disinggung sebelumnya, tetapi juga disebabkan oleh faktor intern wanita. Misalkan saja, kualitas sumber daya manusia wanita di bidang politik umumnya masih relatif rendah; wanita enggan berkecimpung di dalam politik praktis karena selain citra politik terkesan keras (tidak cocok dengan karakter feminim), juga karena politik itu dipandang sebagai dunianya pria, dan lainnya. Untuk mempercepat terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender khususnya di bidang politik (lembaga legislatif dan eksekutif), maka beragam hambatan tersebut perlu dicarikan jalan ke luar, tidak saja oleh kaum wanita, tetapi juga oleh semua pihak yang mempunyai komitmen untuk maksud tersebut.

Menuju Kemitrasejajaran yang Harmonis Sebetulnya, usaha untuk mewujudkan kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dengan wanita atau kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan, telah lama dilakukan oleh berbagai pihak, namun masih mengalami berbagai hambatan. Kondisi yang diharapkan itu masih sulit dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya kaum wanita. Untuk mempercepat terwujudnya kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dengan wanita tersebut, telah ditempuh langkah-langkah kebijakan di antaranya sebagai berikut. (1). Pengarusutamaan Gender Dalam kaitan ini, pemerintah telah merumuskan strategi yang dianggap tepat, yang dapat menjangkau ke seluruh instansi pemerintah, swasta, masyarakat kota, masyarakat desa dan lain-lainnya, yang dikenal dengan nama pengarusutamaan gender.

Strategi itu tertuang di dalam Inpres No. 9 Tahun 2000, tentang

Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.

Secara operasional,

pengarusutamaan gender diartikan sebagai suatu upaya yang dibangun untuk

8

mengintegrasikan kebijakan yang berwawasan gender dalam pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. Strategi itu bertujuan untuk dapat dilaksanakannya perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas program pembangunan nasional yang berwawasan gender sedemikian rupa, sehingga terwujud kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dengan wanita dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan (termasuk bidang politik). (2). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Atas perjuangan kaum wanita, di dalam undang-undang ini terdapat keistimewaan bagi kaum wanita seperti yang tercantum pada Pasal 65 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut. Setiap Partai Politik peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Hal itu merupakan peluang yang baik bagi wanita untuk mengejar ketertinggalannya di bidang politik, khususnya di lembaga legislatif.

Landasan

hukumnya sudah ada, tinggal kaum wanita memanfaatkan keistimewaan itu dengan baik, setelah terlebih dahulu mengatasi berbagai hambatan.

Penutup Demikianlah secara singkat tentang ketimpangan dan peran gender di bidang politik.

Berdasarkan uraian sebelumnya, kiranya dapat ditarik simpulan sebagai

berikut. 1. Terjadi ketimpangan gender yang mencolok, dalam arti wanita jauh tertinggal dari pada pria di bidang politik (lembaga legislatif dan eksekutif), baik di tingkat nasional, tingkat provinsi Bali, maupun di tingkat kabupaten/kota di Bali. 2. Ketimpangan gender yang menonjol tersebut, membawa implikasi yang khas berkaitan dengan peranan wanita yang jauh lebih rendah daripada peranan pria di bidang politik (lembaga legislatif dan eksekutif). 3. Untuk mengatasi atau paling tidak meminimalkan ketimpangan gender, dalam upaya menciptakan kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dengan wanita

9

dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan, telah ditempuh langkahlangkah strategis di antaranya pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional dan kuota 30% keterwakilan wanita di lembaga legislatif seperti yang dimaksudkan dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum.

Daftar Pustaka Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Badung. 2003. Undang-Undang Bidang Politik. Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Badung. 19 halaman. Bammelan, Sita Van. 2003. Konsep Gender dan Isu Gender dalam Hukum. Sosialisasi Gender untuk Kalangan Penegak Hukum Tingkat II, BKPP, Pemda Bali. 10 halaman. Kantor Menteri Negara Peranan Wanita. 1998. Gender dan Permasalahannya. Modul Pelatihan Analisis Gender. Kantor Menteri Negara Peranan Wanita. Jakarta. 45 halaman. Masni, Nyonya N. 4 halaman.

2002.

Pemberdayaan Perempuan dan Politik.

Denpasar.

Pemerintah Provinsi Bali. 2003. Profil Statistik dan Indikator Gender Provinsi Bali. Pemerintah Provinsi Bali. Denpasar. 91 halaman. Putra Astiti, Tjok. Istri. 2002. Kondisi Obyektif Pemberdayaan Perempuan dalam Politik di Daerah. PSW UNUD. Denpasar. 7 halaman. Sudarta, Wayan. 2004. Konsep Gender dan Pengarusutamaan Gender. Jurnal Studi Gender Srikandi Vol IV No. 1 Th. 2004. Kerjasama Pusat Studi Wanita Lembaga Penelitian Universitas Udayana dengan Biro Bina Kesejahteraan dan Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Daerah Bali. Denpasar. 11 halaman.

10

11

Related Documents

Gender #2
October 2019 3
Gender
May 2020 41
Gender
April 2020 38
Gender
December 2019 56
Gender
June 2020 28

More Documents from "Joshua Walker"