Gender (sosial) Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Gender Gender dibaca: "gènder") mengacu pada sekumpulan ciri-ciri khas yang dikaitkan dengan jenis kelamin individu (seseorang) dan diarahkan pada peran sosial atau identitasnya dalam masyarakat. Gender berbeda dari seks atau jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) yang bersifat biologis, walaupun dalam pembicaraan sehari-hari seks dan gender dapat saling dipertukarkan. WHO memberi batasan gender sebagai "seperangkat peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan perempuan, yang dikonstruksi secara sosial, dalam suatu masyarakat." Dalam isu LGBT, gender dikaitkan dengan orientasi seksual. Seseorang yang merasa identitas gendernya tidak sejalan dengan jenis kelaminnya dapat menyebut dirinya "intergender", seperti dalam kasus waria. Dalam konsep gender, yang dikenal adalah peran gender individu di masyarakat, sehingga orang mengenal maskulinitas dan femininitas. Sebagai ilustrasi, sesuatu yang dianggap maskulin dalam satu kebudayaan bisa dianggap sebagai feminin dalam budaya lain. Dengan kata lain, ciri maskulin atau feminin itu tergantung dari konteks sosial-budaya bukan semata-mata pada perbedaan jenis kelamin.
Gender Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Gender Tiga unit gender pada set gamelan Jawa. Perhatikan alat pemukulnya. Gender (dibaca:"gendèr", IPA:gəndɛr) adalah alat musik pukul logam (metalofon) yang menjadi bagian dari perangkat gamelan Jawa dan Bali. Alat ini memiliki 10 sampai 14 bilah logam (kuningan) bernada yang digantungkan pada berkas, di atas resonator dari bambu atau seng, dan diketuk dengan pemukul berbetuk bundaran berbilah dari kayu (Bali) atau kayu berlapis kain (Jawa). Nadanya berbeda-beda, tergantung tangga nada yang dipakai. Pada gamelan Jawa yang lengkap terdapat tiga gender: slendro, pelog pathet nem dan lima, dan pelog pathet barang. Bentuk gender menyerupai gangsa pada gamelan Bali dan slenthem pada gamelan Jawa. Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Gender_(musik)" GENDER Tantangan Perempuan Indonesia (Renungan Untuk Hari Perempuan Internasional)
Bahkan kita cukup miris melihat keadaan yang carut marut di dalam negeri, menjadikan hilangnya sebagian kewibawaan bangsa di mata internasional. Laporan terakhir UNDP (2006) tentang Indeks Pembangunan Manusia (IPM), menempatkan Indonesia pada posisi 108 dari 177 negara yang disurvai. Posisi ini sekaligus mensyaratkan Indonesia berada pada level menengah IPM di dunia bersama negara tetangga seperti Thailand pada posisi 74, Filipina (84), Vietnam (109) dan Timor Leste (142). Berbeda dengan tetangga yang lain seperti Singapura (25), Brunei (34) dan Malaysia (61), yang masuk pada kategori negara dengan IPM level tinggi. Keadaan ini tentu harus diakui sebagai sebuah kenyataan hasil pembangunan yang dicapai Bangsa Indonesia berdasarkan tiga aspek: ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Sejatinya, gambaran kuatitatif tersebut dapat menyadarkan semua elemen bangsa untuk bangkit mengejar ketertinggalan. Kita melihat banyak energi anak bangsa habis terkuras untuk ‘berkelahi’ dengan sesama saudara. Meskipun kita mengakui, proses tersebut sebagai harga yang harus dibayar untuk membangun sebuah bangsa yang berpilar demokrasi. Tetapi harus dicamkan pula, sampai kapan proses ini harus dilalui hingga tuntas? Bahkan kita cukup miris melihat keadaan yang carut marut di dalam negeri, menjadikan hilangnya sebagian kewibawaan bangsa di mata internasional. Hal ini bisa dibuktikan dengan memanasnya kembali sengketa Blok Ambalat dengan Malaysia dan perbatasan dengan Singapura. Dari dua fenomena tersebut, kita semakin mempertanyakan adakah perhatian dan keseriusan pemerintah dalam peningkatan kualitas perempuan Indonesia? Karena, kita harus konsekuen terhadap Program Aksi yang disepakati pada konferensi internasional tentang kependudukan dan pembangunan berkelanjutan (ICPD) di Kairo, Mesir, pada 1994 yang dihadiri 10.000 perwakilan masyarakat sipil dunia. Dalam konferensi itu, 179 negara menyetujui visi 20 tahun (Program Aksi) untuk membina Keluarga Berencana (KB) nasional dan internasional, kesehatan reproduksi, pencegahan HIV/AIDS, pemberdayaan perempuan dan upaya pembangunan terkait lainnya. Negara juga harus bertanggung jawab, karena turut meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman (CEDAW) 20 tahun silam. Namun kenyataannya, banyak pihak melihat Indonesia lamban dalam mengimplementasikan kesepakatan internasional tersebut. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan, mestinya berperan aktif dalam mendukung peningkatan kualitas perempuan. Perempuan harus semakin dilibatkan dalam proses pembangunan dan pembuatan keputusan, baik di tingkat nasional maupun lokal. Data menunjukkan, ketimpangan akses terhadap pembangunan bagi perempuan masih cukup memprihatinkan. Di bidang pendidikan, angka buta huruf usia kurang 15 tahun, perempuan sebesar 45 persen dan laki-laki 23 persen (UNDP, 2004). Siswa putus sekolah usia 10-14 tahun, perempuan 36,2 persen dan laki-laki 32,1 persen (BPS, 2003). Di bidang kesehatan, angka kematian ibu (AKI) pada 2002/2003 sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini cukup besar di antara negara ASEAN lainnya. Jumlah bidan desa yang cukup berperan membantu persalinan, pada 2000 sebanyak 62.906 orang justru pada 2003 berkurang menjadi 39.906 orang saja. Sedangkan rasio tenaga bidan 71:100.000, artinya 71 bidan harus menangani 100.000 perempuan usia reproduksi. Atau bisa juga disebut, satu bidan harus menangani sekitar 1.400-an perempuan usia reproduksi. Lebih menyedihkan lagi, penurunan itu terjadi seiring dengan kebijakan otonomi daerah. Situasi tersebut mengisyaratkan, pemerintah setempat kurang mendukung upaya peningkatan kualitas perempuan di daerah. Seharusnya pembuat kebijakan menyadari, semakin tinggi kualitas perempuan berdampak positif terhadap produktivitas mereka.
Di bidang politik, UU Pemilu menyebutkan kuota 30 persen perempuan di kursi politik. Namun, hasil Pemilu 2004 hanya mampu mendudukkan 11 persen perempuan di parlemen. Skeptisme terhadap kemampuan masih menjadi hambatan utama perempuan untuk turut mengambil posisi di bidang yang strategis. Dan, jangan dilupakan kekerasan terhadap perempuan khususnya dalam rumahtangga juga menunjukkan angka yang tinggi baik yang terdata ataupun yang masih belum terungkap. Fenomena ini mengungkapkan, kapasitas kelembagaan yang terbuka dan mendukung terhadap kiprah perempuan sangat diperlukan dalam rangka implementasi pengarusutamaan gender (PUG) dalam pembangunan. Karenanya, UNDP mengajukan enam syarat, yakni: pertama, pemahaman dan komitmen. Kejelasan tujuan kesetaraan gender dalam pembangunan pada level pembuat kebijakan dan birokrasi tingkat pelaksana di lapangan, serta komitmen untuk pencapaian tujuan tersebut baik secara individu mapun kelembagaan. Kedua, struktur dan mekanisme. Jaminan perspektif gender terliput dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan dalam pemerintahan. Juga pelibatan lintas sektoral, monitoring kemajuan dan peran lembaga yang memegang tanggung jawab untuk tercapainya isu perempuan dalam pembangunan. Ketiga, data, informasi dan penelitian. Tersedianya input yang diperlukan seperti penelitian tentang situasi perempuan dan data lengkap berdasarkan jenis kelamin untuk mendukung rumusan kebijakan dan program. Keempat, keterampilan perencanaan, analisis dan manajemen. Untuk mengidentifikasi dan menjawab perkembangan isu perempuan berkaitan dengan lembaga yang berwenang. Kelima, mekanisme partisipasi. Sedapat mungkin melibatkan partisipasi perempuan atau melalui perwakilannya dalam rancangan pembuatan kebijkan, perumusan dan penilaian program. Keenam, suberdaya keuangan. Tersedianya dana untuk implementasi PUG. Di samping masih lambatnya pemerintah memacu kualitas sumberdaya perempuan, niat yang baik harus selalu kita dukung. Upaya tersebut bisa kita lihat dengan terbitnya, paling tidak empat produk hukum yang cukup berpihak pada perempuan. Yakni: disahkannya UU No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT); UU No 90/2005 tentang Kewarganegaraan; UU Pemilu 2004 yang memberi kuota 30 persen kepada perempuan untuk dicalonkan dalam pemilu; Inpres No 9/2000 tentang PUG Dalam Pembangunan. Tantangan terberat Perempuan Indonesia ke depan adalah memainkan peran ganda sekaligus, yaitu karir dan rumahtangga. Keluarga dan anak harus tetap menjadi prioritas perempuan, di samping karir. Keadaan ini tidak dapat dihindarkan, karena merupakan konsekuensi dari nilai yang bergeser. Manajemen waktu, kualitas komunikasi, kasih sayang dan cinta yang optimal kepada anak dan suami menjadi pelajaran wajib bagi perempuan mendatang. Keluarga demokratis yang dilandasi spirit religiusitas, merupakan prasyarat dukungan bagi perempuan untuk maju. Sekarang saatnya setiap elemen bangsa turut mendukung peningkatan kualitas Perempuan Indonesia. Disadari, dalam nilai masyarakat, perempuan masih menjadi penanggung jawab kualitas anak dan keluarga. Tentu saja dukungan kaum pria merupakan wujud kemitrasejajaran dalam membangun keluarga berkualitas. Keluarga berkualitas merupakan pilar kemajuan masyarakat dan bangsa. Semoga! Oleh: Suryadi, Researchand Development (IRDe)-YBI, Banjarmasin e-mail:
[email protected] sumber: http://www.indomedia.com/BPost/032007/10/opini/opini1.htm GENDER Kesetaraan Gender dalam Pendidikan BANYAK laki-laki mengatakan, sungguh tidak mudah menjadi laki-laki karena masyarakat memiliki ekspektasi yang berlebihan terhadapnya. Mereka haruslah sosok kuat, tidak cengeng, dan perkasa. Ketika seorang anak laki-laki diejek, dipukul, dan dilecehkan oleh kawannya yang lebih besar, ia biasanya tidak ingin menunjukkan bahwa ia sebenarnya sedih dan malu. Sebaliknya, ia ingin tampak percaya diri, gagah, dan tidak
memperlihatkan kekhawatiran dan ketidakberdayaannya. Ini menjadi beban yang sangat berat bagi anak laki-laki yang senantiasa bersembunyi di balik topeng maskulinitasnya. Kenyataannya juga menunjukkan, menjadi perempuan pun tidaklah mudah. Stereotip perempuan yang pasif, emosional, dan tidak mandiri telah menjadi citra baku yang sulit diubah. Karenanya, jika seorang perempuan mengekspresikan keinginan atau kebutuhannya maka ia akan dianggap egois, tidak rasional dan agresif. Hal ini menjadi beban tersendiri pula bagi perempuan. Bias Gender Keadaan di atas menunjukkan adanya ketimpangan atau bias gender yang sesungguhnya merugikan baik bagi lakilaki maupun perempuan. Membicarakan gender tidak berarti membicarakan hal yang menyangkut perempuan saja. Gender dimaksudkan sebagai pembagian sifat, peran, kedudukan, dan tugas laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan norma, adat kebiasaan, dan kepercayaan masyarakat. Bias gender ini tidak hanya berlangsung dan disosialisasikan melalui proses serta sistem pembelajaran di sekolah, tetapi juga melalui pendidikan dalam lingkungan keluarga. Jika ibu atau pembantu rumah tangga (perempuan) yang selalu mengerjakan tugas-tugas domestik seperti memasak, mencuci, dan menyapu, maka akan tertanam di benak anak-anak bahwa pekerjaan domestik memang menjadi pekerjaan perempuan. Pendidikan di sekolah dengan komponen pembelajaran seperti media, metode, serta buku ajar yang menjadi pegangan para siswa sebagaimana ditunjukkan oleh Muthalib dalam Bias Gender dalam Pendidikan ternyata sarat dengan bias gender. Dalam buku ajar misalnya, banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender. Sebut saja gambar seorang pilot selalu laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dan kekuatan yang "hanya" dimiliki oleh laki-laki. Sementara gambar guru yang sedang mengajar di kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas mengasuh atau mendidik. Ironisnya siswa pun melihat bahwa meski guru-gurunya lebih banyak berjenis kelamin perempuan, tetapi kepala sekolahnya umumnya laki-laki. Dalam rumusan kalimat pun demikian. Kalimat seperti "Ini ibu Budi" dan bukan "ini ibu Suci", "Ayah membaca Koran dan ibu memasak di dapur" dan bukan sebaliknya "Ayah memasak di dapur dan ibu membaca koran", masih sering ditemukan dalam banyak buku ajar atau bahkan contoh rumusan kalimat yang disampaikan guru di dalam kelas. Rumusan kalimat tersebut mencerminkan sifat feminim dan kerja domestik bagi perempuan serta sifat maskulin dan kerja publik bagi laki-laki. Demikian pula dalam perlakuan guru terhadap siswa, yang berlangsung di dalam atau di luar kelas. Misalnya ketika seorang guru melihat murid laki-lakinya menangis, ia akan mengatakan "Masak laki-laki menangis. Laki-laki nggak boleh cengeng". Sebaliknya ketika melihat murid perempuannya naik ke atas meja misalnya, ia akan mengatakan "anak perempuan kok tidak tahu sopan santun". Hal ini memberikan pemahaman kepada siswa bahwa hanya perempuan yang boleh menangis dan hanya laki-laki yang boleh kasar dan kurang sopan santunnya. Dalam upacara bendera di sekolah selalu bisa dipastikan bahwa pembawa bendera adalah siswa perempuan. Siswa perempuan itu dikawal oleh dua siswa laki-laki. Hal demikian tidak hanya terjadi di tingkat sekolah, tetapi bahkan di tingkat nasional. Paskibraka yang setiap tanggal 17 Agustus bertugas di istana negara, selalu menempatkan dua perempuan sebagai pembawa bendera pusaka dan duplikatnya. Belum pernah terjadi dalam sejarah: laki-laki yang membawa bendera pusaka itu.
Hal ini menanamkan pengertian kepada siswa dan masyarakat pada umumnya bahwa tugas pelayanan seperti membawa bendera, lebih luas lagi, membawa baki atau pemukul gong dalamupacara resmi sudah selayaknya menjadi tugas perempuan. Semuanya ini mengajarkan kepada siswa tentang apa yang layak dan tidak layak dilakukan oleh laki-laki dan apa yang layak dan tidak layak dilakukan oleh perempuan. Bias gender yang berlangsung di rumah maupun di sekolah tidak hanya berdampak negatif bagi siswa atau anak perempuan tetapi juga bagi anak laki-laki. Anak perempuan diarahkan untuk selalu tampil cantik, lembut, dan melayani. Sementara laki-laki diarahkan untuk tampil gagah, kuat, dan berani. Ini akan sangat berpengaruh pada peran sosial mereka di masa datang. Singkatnya, ada aturan-aturan tertentu yang dituntut oleh masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki. Jika perempuan tidak dapat memenuhinya ia akan disebut tidak tahu adat dan kasar. Demikian pula jika laki-laki tidak dapat memenuhinya ia akan disebut banci, penakut ata bukan laki-laki sejati. William Pollacek dalam Real Boys menunjukkan penemuannya, sebenarnya, bayi laki-laki secara emosional lebih ekspresif dibandingkan bayi perempuan. Namun ketika sampai pada usia sekolah dasar, ekspresi emosionalnya hilang. Laki-laki pada usia lima atau enam tahun belajar mengontrol perasaan-perasaannya dan mulai malu mengungkapkannya. Penyebabnya adalah pertama, ada proses menjadi kuat bagi laki-laki yang selalu diajari untuk tidak menangis, tidak lemah, dan tidak takut. Kedua, proses pemisahan dari ibunya, yakni proses untuk tidak menyerupai ibunya yang dianggap masyarakat sebagai perempuan lemah dan harus dilindungi. Meski berat bagi anak laki-laki untuk berpisah dari sang ibu, namun ia harus melakukannya jika tidak ingin dijuluki sebagai "anak mami". Tidak mengherankan jika banyak guru mengatakan bahwa siswa laki-laki lebih banyak masuk dalam daftar penerima hukuman, gagal studi, dan malas. Penyebabnya menurut Sommers, karena anak laki-laki lebih banyak mempunyai persoalan hiperaktif yang mengakibatkan kemunduran konsentrasi di kelas. Sementara itu, menjelang dewasa, pada anak perempuan selalu ada tuntutan-tuntutan di luar dirinya yang memaksa mereka tidak memiliki pilihan untuk bertahan. Satu-satunya cara yang dianggap aman adalah dengan membunuh kepribadian mereka untuk kemudian mengikuti keinginan masyarakat dengan menjadi suatu objek yang diinginkan oleh laki-laki. Objek yang diinginkan ini selalu berkaitan dengan tubuhnya. Jadilah mereka kemudian anak-anak perempuan yang mengikuti stereotip yang diinginkan seperti tubuh langsing, wajah putih nan cantik, kulit halus dll. Tidak heran jika semakin banyak anak perempuan mengusahakan penampilan sempurna bak peragawati dengan cara-cara yang justru merusak tubuhnya. Padahal, di sekolah, siswa perempuan umumnya memiliki prestasi akademik yang lebih baik jika dibandingkan dengan laki-laki. Situasi dan kondisi memungkinkan mereka jauh lebih tekun dan banyak membaca buku. Keterlibatan Semua Pihak Lalu apa yang dapat dilakukan terhadap fenomena bias gender dalam pendidikan ini? Keterlibatan semua pihak sangat dibutuhkan bagi terwujudnya kehidupan yang lebih egaliter. Kesetaraan gender seharusnya mulai ditanamkan pada anak sejak dari lingkungan keluarga. Ayah dan ibu yang saling melayani dan menghormati akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya. Demikian pula dalam hal
memutuskan berbagai persoalan keluarga, tentu tidak lagi didasarkan atas "apa kata ayah". Jadi, orang tua yang berwawasan gender diperlukan bagi pembentukan mentalitas anak baik laki-laki maupun perempuan yang kuat dan percaya diri. Memang tidak mudah bagi orang tua untuk melakukan pemberdayaan yang setara terhadap anak perempuan dan laki-lakinya. Sebab di satu pihak, mereka dituntut oleh masyarakat untuk membesarkan anak-anaknya sesuai dengan "aturan anak perempuan" dan "aturan anak laki-laki". Di lain pihak, mereka mulai menyadari bahwa aturan-aturan itu melahirkan ketidakadilan baik bagi anak perempuan maupun laki-laki. Kesetaraan gender dalam proses pembelajaran memerlukan keterlibatan Depdiknas sebagai pengambil kebijakan di bidang pendidikan, sekolah secara kelembagaan dan terutama guru. Dalam hal ini diperlukan standardisasi buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu, guru akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagi terciptanya kesetaraan gender dalam pendidikan melalui proses pembelajaran yang peka gender. (18) Dra Sri Suciati, M.Hum, Dosen FPBS IKIP PGRI Semarang, wakil sekretaris PGRI Jawa Tengah. Sumber: Suara Merdeka
Dunia Esai\\