KERUKUNAN DALAM RUMAH TANGGA PADA PERKAWINAN USIA DINI Oleh Abdul Karim, S. Ag Kerukunan dalam rumah tangga memang tidak mutlak ditentukan berdasarkan usia masing-masing calon pengantin. Akan tetapi faktor usia sering menjadi penting untuk diperhatikan berkenaan dengan 2 hal, pertama kematangan atau kedewasaan calon pengantin dalam menagrungi bahtera rumah tangga, kedua kesiapan reproduksi. Kematangan atau kedewasaan menjadi penting karena kenyataannya hidup berumah tangga memang penuh dengan tantangan dan ujian. Oleh karena itu, dalam hal perkawinan usia dini seringkali manjadi pertimbangan tersendiri apabila masing-masing calon pengantin belum memiliki kematangan yang cukup. Sebab kematangan tidak cuma dilihat dari postur tubuh yang besar, melainkan juga dilihat dari kedewasaan dan kearifannya dalam menyikapi masalah. Kesiapan reproduksi juga mestinya dapat diperhatikan, sebab jika seorang anak harus menjalani perkawinan di usia dini dan dalam keadaan reproduksi yang belum siap, hal ini akan dapat menimbulkan resiko baik bagi janin yang dikandung atau isteri yang akan melahirkan. Bagi janin bisa mengalami cacat atau bahkan keguguran, bagi istri bisa mangakibatkan kematian. Sayangnya, persoalan nikah usia dini masih sering diabaikan. Islam memang tidak melarang, tapi Islam juga memberikan panduan agar kemaslahatan yang hendak dicapai tidak mengabaikan adanya kemungkinan bahaya yang lebih besar. Itulah sebabnya dalam sebuah kaidah fiqh disampaikan:
ِ َدفْ عُ الضّرَارِ ُم َقدّ مٌ َعلَى َجلْ بِ اْلَ صَالِح,
yang artinya: menolak
terjadinya bahaya lebih diutamakan daripada mengambil kemashlahatan. Oleh karena itulah UU No 1/1974 mencoba menerjemahkan semangat penerapan syari’ah dalam bentuk aturan hukum guna menjaga timbulnya bahaya dan agar kemashalahatan yang hendak diraih bisa dicapai secara optimal. Dalam pasal 7 telah mengatur: (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun (2) Dalam penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita Sehingga jika kita cermati bersama, UU ini hakikatnya berusaha memberikan perlindungan agar siapapun yang hendak memasuki jenjang perkawinan sedapat mungkin sudah memiliki kematangan dan komitmen yang kuat dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Karena hakikatnya UU ini menganut prinsip bahwa calon suami/isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat diwujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian, serta bisa mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Boleh kita perhatikan kenyataan yang ada di masyarakat, jangankan mereka yang masih usia dini, mereka yang nampaknya sudah cukup dewasa, berpendidikan tinggi dan memiliki kemapanan pada beberapa sisi saja belum tentu bisa mewujudkan rumah tangga yang bahagia. Apalagi jika usianya masih terlalu dini, kematangan belum lagi nampak, bahkan terkadang secara ekonomi masih bergantung kepada orang tua.
Bukankah sering pula kita jumpai para suami yang tidak peduli pada isteri meski isterinya telah membantu mencari nafkah disamping perkerjaan rumah yang juga ia harus selesaikan sendiri. Begitu pula tidak sedikit kenyataan seorang isteri yang acuh pada suaminya yang telah bekerja pagi, siang dan malam untuk mencari nafkah bagi keluarganya, sementara isterinya tidak mau dibebani dengan urusan rumah tangga, dan setiap harinya menuntut sesuatu yang melebihi kemampuan suaminya. Atau suami isteri yang masih belum siap menerima kehadiran seorang anak sehingga menjadikan orang tuanya sebagai baby sitter. Bahkan ada pula yang menggugurkan anaknya tat kala masih dalam kandungan atau membuang, membakar, memutilasi dan mengubur anaknya hidup-hidup karena khawatir tidak mampu membesarkan dan mengasuh anaknya. Meski anak yang dilahirkan adalah anak yang sah bukan akibat perzinaan atau perkosaan. Lantas bagaimana agar segala kemungkinan buruk itu bisa dihindari? Tentu salah satu jawabannya adalah dengan mempersiapkan kematangan calon pengatin terlebih dahulu sebelum memasuki jenjang perkawinan. Sebuah contoh kedewasaan Rasulullah dalam rumah tangga mestinya bisa kita contoh bersama. Pernah suatu ketika Rasulullah saw pulang ke rumahnya dalam keadaan lapar dan ia tidak mendapati makanan di dalam rumahnya, sementara ia melihat Aisyah sedang tertidur pulas, bukan emosi yang Rasulullah lampiaskan. Tapi beliau justru berusaha sendiri, pergi memerah susu domba dan meminumnya. Aisyah sama sekali tidak diganggu untuk menyiapkan makanan. Bahkan tidak jarang Rasulullah turut membantu menyiapkan makanan bagi keluarganya. Satu kisah lagi, Rasulullah saw juga pernah pergi hingga larut malam. Karena ia terlampat pulang ke rumahnya, ia dapati rumahnya terkunci rapat sedang Aisyah sudah tertidur pulas. Lagi-lagi Rasulullah tidak memarahi istrinya. Ia lantas tidur di depan pintu. Dan ketika pagi hari pintu tersebut dibuka oleh Aisyah, justru Rasulullah langsung meminta maaf pada Aisyah karena keterlambatannya. Subhanallah, inilah cerminan sebuah keluarga yang telah benar-benar memiliki kematangan dalam menghadapi masalah.