KERAJAAN ISLAM DI NUSA TENGGARA Sejak abad ke-1 Hijriah atau abad ke-7 Masehi, kawasan Asia Tenggara mulai berkenalanan dengan “tradisi” Islam. Pengenalan ini berlangsung sejalan dengan munculnya para saudagar Muslim di beberapa tempat di Asia Tenggara. Bukti tertua adanya “komunitas” Muslim di Asia Tenggara adalah dua buah makam yang bertarikh sekitar abad ke-5 Hijriah/ke11 Masehi di Pandurangga (kini Panrang, Vietnam) dan di Leran (Gresik, Indonesia). Kehadiran Islam secara lebih nyata di Indonesia terjadi pada sekitar abad ke-13 Masehi, yaitu dengan adanya makam dari Sultan Malik as-Saleh yang mangkat pada bulan Ramadhan 696 Hijriah/1297 Masehi. Ini berarti bahwa pada abad ke-13 Masehi di Nusantara sudah ada institusi kerajaan yang bercorak Islam. Para saudagar Muslim sudah melakukan aktivitas dagangnya sejak abad ke-7 Masehi. Beberapa kerajaan Hindu dan Buddha di Nusantara sudah melakukan hubungan dagang dan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah. Bukti-bukti arkeologis yang mendukung ke arah itu ditemukan di Laut Jawa dekat Cirebon. Di antara komoditi perdagangan yang asalnya dari Timur Tengah ditemukan indikator “keIslaman” yang berupa sebuah cetakan tangkup (mould) yang bertulisan asma‘ul husnah. Pada kesempatan kali ini kami akan membahas tentang kerajaan islam di nusa tenggara. Diperkirakan sejak abad ke-16 Islam hadir di daerah Nusa Tenggara (Lombok). Islam di lombok diperkenalkan oleh Sunan Perapen (putra Sunan Giri). Kemungkinan masuknya Islam ke Sumbawa ini dengan melalui Sulawesi, yaitu melalui dakwah para mubalig dari Makasar antara tahun 1540-1550. KERAJAAN ISLAM DI LOMBOK KERAJAAN SELAPARANG Berdirinya Selaparang Dan Mumbul Ketika Majapahit mengirimkan ekspedisi penaklukan ke pulau Bali tahun 1343M, ekspedisi tersebut diteruskan ke pulau Lombok di bawah pimpinan Empu Nala. Tujuannya adalah untuk menaklukkan daerah. Selaparang. Setelah ditaklukkan oleh Empu Nala, Gadjah Mada sendiri akhirnya datang ke Selaparang. Daerah ini kemudian dikenal dengan nama Selapawis. Sela berarti batu dan Pawis berarti ditaklukan. Jadi Selapawis berarti daerah (berbatu?) yang ditaklukan. Kedatangan mahapatih Majapahit ini dapat dibuktikan dengan adanya beberapa prasasti. Salah satunya ditulis dalam sebuah memoar yang disebut Bencangah Pinan. Menjelang runtuhnya Majapahit, bermunculan kerajaan-kerajaan kecil di pulau Lombok, seperti kerajaan Selaparang, kerajaan Lombok, Langko, Pejanggik, Parwa, Sokong dan Bayan dan beberapa desa kecil lainnya: Pujut, Tempit, Kedaro, Batu Dendeng, Kuripan, Kentawang. Meskipun kerajaan Selaparang merupakan kerajaan yang berdiri sendiri akan tetapi masih bernaung di bawah kerajaan Majapahit. Empu Nala sendiri kemudian memiliki keturanan-keturunan yang banyak memegang tampuk pimpinan sebagai raja di pulau Lombok. Sejak kehancuran Selaparang Hindu di pulau Lombok, muncul kerajaan-kerajaan yang lebih kecil, diantaranya kerajaan Mumbul yang berpusat di Labuhan Lombok. Rajanya Demung Mumbul atau Batara Mumbul atau Prabu Turunan. Prabu Turunan adalah adik dari Pangeran Kaesari, konon ia merupakan keturunan dari Tunggul Ametung, raja Kediri yang terbunuh oleh Ken Arok pada tahun 1220 M (dua tahun setelah peristiwa itu Ken Arok mengangkat dirinya menjadi raja Singasari di dekat Malang, JawaTimur). Demung Mumbul diperkirakan datang ke Lombok pada akhir abad ke XIII M atau awal abad ke XIV M sewaktu di Jawaterjadi pergolakan di kerajaan Majapahit. Demung Mumbul 36 mendirikan kota di teluk Labuan Lombok bersama para pengiringnyadan dimakamkan di sebuah bukit (sekarang Gunung Kayangan).
Dengan demikian silsilah raja di Labuhan Lombok dapat digambarkan sebagai berikut: Kaesari Prabu Tunggul Ametung Demung Mwubul Prabu Indrajaya Raden Mas Panji Anom Raden Mas Panji Tilar Negara Raden Mas Panji. Setelah mangkatnya Demung Mumbul maka naiklah puteranya yang bernama Pangeran Indrajaya (versi lain menyebutkan nama raja di Labuan Lombok Prabu Rangkesari). Di kerajaan Lombok terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Demung Brang bantuh karena menuntut balas aws kematian adiknya Patih Sandubaya, akan tetapi pemberontakan tersebut dapat aipatahkan. Pada saat pemcrintahan Sunan Dalem tahun 1505-1545 M, kerajaan Mumbul (Labuan Lombok) dipindahkan ke Selaparang atas nasehat Patih Banda ‘fuda dan Patih Singa Yuda. Pemindahan pusat kerajaan ke Selaparang tersebut lebih didasarkan atas alasan keamanan. Daerah Selaparang terletak didataran yang tinggi sehingga memudahkan untuk mengamati kapalyang datang dari sebelah utara maupun sebelah barat, baik itu kapal para pedagang maupun kapal musuh yang akan menyerang ke Selaparang sehingga memiliki tingkat keamanan yang lebih tinggi dari serangan musuh. Setelah Prabu Indrajaya meninggal posisinya diganti oleh puteranya yang bernama Raden Mas Panji Anom. Beliau juga dikenal dengan nama Prabu Anom. Di masa inilah awal masuknya Islam di pulau Lombok. Prabu Anom mempunyai anak bernama Raden Mas Panji. Raden Mas Panji Tilar Negara diseberangkan ke Alas-Sumbawa. Dari sumber Makassar (Kronik Goa dan Tallo) menyebutkan bahwa seorang anak laki-laki raja Selaparang “Mas Pamayan” menjadi Raja di Sumbawa yang dilantik pada tanggal 30 November 1648M. Persekutuan hukum masyarakat yang tertinggi di Lombok telah ada sejak tahun 1543M. Sebagai kerajaan yang kuat, Selaparang juga melakukan hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain di luar pulau Lombok seperti dengan beberapa kerajaan di Kalimantan. Dalam Hikayat Banjarmasin disebutkan bahwa seorang bangsawan Banjar bernama Raden Subangsa pergi ke Selaparang mengawini seorang putri raja. Dari perkawinan tersebut lahir Raden Mataram. Setelah istrinya meninggal, Raden Subangsa kawin lagi dengan Putri Selaparang di Sumbawa dan melahirkan Raden Banten. Selanjutnya tahun 1618M kerajaan Goa menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sumbawa Barat yang kemudian dipersatukan dengan kerajaan Selaparang. Sejak keberhasilan Goa merebut Lombok dari Bali pada tahun 1640 M, maka proses Islamisasi pun berjalan semakin mantap. Dalam usaha mengembangkan pengaruhnya di Lombok, masing-masing kerajaan meningkatkan hubungan melalui perkawinan antara kedua belah pihak (kerajaan Selaparang dan kerajaan Gowa). Hal ini dapat diketahui dari nama-nama gelar seperti Pemban Selaparang, Pemban Pejanggik, Pemban Parwa. Sedangkan kerajaan kecil lainnya yang bersifat otonom, rajanya disebut Datu seperti Datu Bayan, Langko, Sokong, Kuripan,Pujut dan lain-lainnya. Ancaman Dari Kerajaan Gelgel Dan Karangasem Setelah masuknya agama Islam, kerajaan Selaparang mengalami kemajuan yang cukup pesat. Hal ini rupanya menjadi hambatan bagi ekspansi sosial-ekonomi kerajaan Gelgel di Bali. Padatahun 1520 M, Gelgel mencoba melakukan penyerangan tetapi tidak berhasil. Kemudian pada tahun 1530 M, Gelgel melakukan usaha secara damai dengan mengirimkan utusan yang dipimpin oleh Danhyiang Nirartha sambil memasukkan paham baru berupa sinkretisme HinduIslam. Walaupun tidak begitu lama mengajarkan sinkretisme ini, ajarannya telah dapat mempengaruhi beberapa pemimpin di Lombok yang belum lama masuk Islam. Keberhasilan Selaparang menghambat laju masuknya kerajaan Gelgel salahsatunya juga karena mendapatkan perlindungan dari kerajaan Gowadi Makassar. Di tandatanganinya Perjanjian Bongaya di Klungkung Balitahun 1667 M menyebabkan pulau Lombok dan Sumbawa dinyatakan lepas dari pengaruh Goa dan Tallo. Makakerajaan¬kerajaan di Bali pun kembali mencurahkan perhatiannya ke pulau Lombok dengan mengirim ekspedisi tahun 1667 M dan 1668 M. Tetapi kedua invasi tersebut dapat dipukul mundur oleh Selaparang dengan bantuan dari prajurit Sumbawa. Kekalahan yang dialami oleh Gelgel tidak membuatnya berputus asa. Pada tahun 1690 M, Gelgel membuat pangkalan militer di Pagutan dan Pagesangan yang
dikoordinasi oleh kerajaan Karangasem. Strateginya yaitu dengan mengirimkan utusan berupa pasukan pendahulu yang beragama Islam yang dipimpin oleh Patih Arya Sudarsana (beragama Islam). Patih Arya Sudarsana berhasil menyusup ke Selaparang sehingga terjadi konflik antar kedua-belah pihak. Dalam peperangan tersebut, pasukan Arya Sudarsana berhasil didesak sampai Suradadi, tepatnya di daerah Reban Talat, tetapi Arya Sudarsana tidak berhasil ditangkap. Dalam peperangan inipun kerajaan Selaparang mendapatkan bantuan dari kerajaan Sumbawa dibawah pimpinan Amasa Samawa (1723-1725 M). Sebagian Bekas prajurit Sumbawa itu kemudian menetap di Lombok dan menjadi cikal-bakal atau nenek moyang dari penduduk desa Rempung, Jantuk, Siren Rumbuk, Kembang Kerang Daya, Koang Berora, Moyot dan yang lainnya. Para penduduk tersebut sebagian besar berbahasa Taliwang hingga saat ini. Keruntuhan Selaparang Kekalahan Gowa oleh Belanda memaksa Gowamenandatangani “Perjanjian Bongaya” pada tanggal 18 November 1667 M. Sejurus kemudian VOC mengusir kekuasaan Goa dari Lombok dan Sumbawa. Pada tahun 1673M Belanda memindahkan pusat kerajaan dari pulau Lombok ke Sumbawa untuk memusatkan kekuatan. Hal ini diketahui dari berita-berita tahun 167 3M dan 1680M tentang pertanggungjawaban raja Sumbawa atas daerah Lombok. Kemudian pada tahun 1674 M, Sumbawa mendandatangani perjanjian dengan VOC yang isinya bahwa Sumbawa harus melepaskan Selaparang. Setelah Selaparang lepas dari kekuasaan Sumbawa, makaVOC menempatkan regent dan pengawas. Ketidaksetujuan Selaparang terhadap VOC yang menempatkan regent dan pengawasini telah menyebabkan terjadinya pemberontakan Selaparang padatanggal 16 Maret 1675 M. Untuk memadamkan pemberontakan tersebut, VOC di bawah Kapten Holsteiner menangkapi para pemimpin Selaparang. Mereka masing-masing adalah: Raden Abdi Wirasentana, Raden Kawisangir Koesing, dan Arya Boesing. Mereka dihukum denda dengan membayar 5.000 sampai 15.000 batang kayusepang dalam jangka waktu 3 tahun. Sejak kedatangan VOC ke Lombok hingga tahun 1691 M,akhirnya kerajaan Selaparang mengalami kemunduran. Karangasem Bali bersama Arya Banjar Getas berperang melawan raja-raja di Lombok. Pada tahun 1740 M terjadi peperangan di Tanaq Beaq yang dimenangkan oleh pihak Karangasem. Sejak saat itu maka tamatlah riwayat kerajaan Selaparang. KERAJAAN ISLAM DI SUMBAWA KERAJAAN BIMA Bima merupakan pusat pemerintahan atau kerajaan Islam yang menonjol di Nusa Tenggara dengan nama rajanya yang pertama masuk Islam ialah Ruma Ta Ma Bata Wada yang bergelar Sultan Bima I atau Sultan Abdul Kahir. Sejak itu pula terjalin hubungan erat antara Kerajaan Bima dengan Kerajaan Gowa, lebih-lebih sejak perjuangan Sultan Hasanuddin kandas akibat perjanjian Bongaya. Setelah Kerajaan Bima terusmenerus melakukan perlawanan terhadap masuknya politik dan monopoli perdagangan VOC akhirnya juga tunduk di bawah kekuasaannya. Ketika VOC mau memperbaharui perjanjiannya dengan Bima pada 1668 ditolak oleh Raja Bima, Tureli Nggampo; ketika Tambora merampas kapal VOC pada 1675 maka Raja Tambora, Kalongkong dan para pembesarnya diharuskan menyerahkan keris-keris pusakanya kepada Holsteijn. Pada 1691, ketika permaisuri Kerajaan Dompu terbunuh, Raja Kerajaan Bima ditangkap dan diasingkan ke Makassar sampai meninggal dunia di dalam penjara. Di antara kerajaan-kerajaan di Lombok, Sumbawa, Bima, dan kerajaan-kerajaan lainnya sepanjang abad ke-18 masih menunjukkan pemberontakan dan peperangan, karena pihak VOC senantiasa memaksakan kehendaknya dan mencampuri pemerintahan kerajaan-kerajaan, bahkan menangkapi dan mengasingkan raja-raja yang melawan.
Sebenarnya jika kita membicarakan sejarah Kerajaan Bima abad ke-19 dapat diperkaya oleh gambaran rinci dalam Syair Kerajaan Bima yang menurut telaah filologi Cambert Loir diperkirakan sangat mungkin syair tersebut dikarang sebelum 1833 M, sebelum Raja Bicara Abdul Nabi meletakkan jabatannya dan diganti oleh putranya. Pendek kata syair itu dikarang oleh Khatib Lukman barangkali pada 1830 M. Syair itu ditulis dalam huruf Jawi dengan bahasa Melayu. Dalam syair itu diceritakan empat peristiwa yang terjadi di Bima pada pertengahan abad ke-19, yaitu, letusan Gunung Tambora, wafat dan pemakaman Sultan Abdul Hamid pada Mei 1819, seranganbajak laut, penobatan Sultan Ismail pada 26 November 1819,Sultan Abdul Hamid dan Wazir Abdul Nabi, pelayaran Sultan Abdul Hamid ke Makassar pada 1792, kontrak Bima pada 26 Mei 1792, pelantikan Raja Bicara Abdul Nabi, serta kedatangan Sultan Ismail, Reinwardt, dan H. Zollinger yang mengunjungi Sumbawa dan menemui Sultan. A.Letak Kabupaten Bima merupakan salah satu Daerah Otonom di Provinsi Nusa Tenggara Barat, terletak di ujung timur dari Pulau Sumbawa bersebelahan dengan Kota Bima (pecahan dari Kota Bima). Secara geografis Kabupaten Bima berada pada posisi 117°40”-119°10” Bujur Timur dan 70°30” Lintang Selatan. Sejarah Singkat Bima merupakan pusat pemerintahan atau kerajaan Islam yang menonjol di Nusa Tenggara dengan nama rajanya yang pertama masuk Islam ialah Ruma Ta Ma Bata Wada yang bergelar Sultan Bima I atau Sultan Abdul Kahir. Sejak itu pula terjalin hubungan erat antara Kerajaan Bima dengan Kerajaan Gowa, lebih-lebih sejak perjuangan Sultan Hasanuddin kandas akibat perjanjian Bongaya. Setelah Kerajaan Bima terusmenerus melakukan perlawanan terhadap masuknya politik dan monopoli perdagangan VOC akhirnya juga tunduk di bawah kekuasaannya. Ketika VOC mau memperbaharui perjanjiannya dengan Bima pada 1668 ditolak oleh Raja Bima, Tureli Nggampo;ketika Tambora merampas kapal VOC pada 1675 maka Raja Tambora, Kalongkong dan para pembesarnya diharuskan menyerahkan keris-keris pusakanya kepada Holsteijn. Silsilah Raja 1. ± 1620—1640 Abdul Kahir 8. 1751—1773 Abdul Kadim Muhammad 2. 1640—1682 I Ambela Abi’l Khair Syah, Sirajuddin 9. 1773—1817 Abdul Hamid Muhammad 3. 1682—1687 Nuruddin Abu Bakar All Syah Syah 10. 1817—1854 Ismail Muhammad Syah, 4. 1687—1696 Jamaluddin Ali Syah 11. 1854—1868 Abdullah, 5. 1696—1731 Hasanuddin Muhammad 12. 1868—1881 Abdul Aziz, Syah 13. 1881—1915 Ibrahim, 6. 1731—1748 Alauddin Muhammad Syah 14. 1915—1951 Muhamad Salahuddin, 7. 1748—1751 Kamalat Syah, Kehidupan Budaya • Beragam tradisi dan budaya terlahir dan masih dipertahankan rakyatnya. Salah satu yang hingga kini masih kekal bahkan terwarisi adalah budaya rimpu, sebuah identitas kemusliman yang hingga kini nyaris kehilangan makna. Rimpu merupakan busana adat harian tradisional yang berkembang pada masa kesultanan, sebagai identitas bagi wanita muslim di Bima. Rimpu mulai populer sejak berdirinya Negara Islam di Bima pada 15 Rabiul awal 1050 H bertepatan dengan 5 Juli 1640. • Masuknya rimpu ke Bima amat kental dengan masuknya Islam ke Kabupaten bermotokan Maja Labo Dahu ini. Pedagang Islam yang datang ke Bima terutama wanita Arab menjadi ispirasi kuat bagi wanita Bima untuk mengidentikkan pakaian mereka dengan menggunakan rimpu.
• Sebuah masjid tertua di Bima hingga kini masih bediri di Kelurahan Melayu Kecamatan Asakota, Kota Bima. Hanya saja, kondisi cagar budaya itu tak terurus dan hanya berfungsi sebagai Tempat Pendidikan Qur’an (TPQ) oleh warga setempat. Bahkan sejumlah benda bernilai sejarah tinggi raib. Pantauan Suara NTB, mesjid yang seluruh bangunannya terbuat dari kayu dan beratap seng itu masih berdiri kokoh diantara rumah penduduk. Konon masjid itu dibangun dua utusan Sultan Goa Sulawesi Selatan untuk mensyi’arkan Agama Islam di Bima. Kehidupan Sosial • Masyarakat Bima merupakan campuran dari berbagai suku bangsa. Suku asli yang mendiami Bima adalah orang Donggo. Mereka mendiami daerah dataran tinggi. Kepercayaan asli orang Donggo adalah animisme, yang mereka sebut dengan marafuyu. Dalam perkembangannya, kepercayaan ini terdesak oleh agama kristen dan islam. • Orang Donggo yang menjadi suku asli Bima ini hidup dari bercocok tanam dengan sistem peladangan yang berpindah-pindah. Oleh karena itu rumah mereka juga berpindah-pindah (tidak tetap). • Suku lain yang mendiami Bima adalah orang Dou Mbojo (migran dari daerah Makasar). Kehidupan Ekonomi • Pada saat itu kerajaan Bima sangat berkembnag pesat disegi pertanian maupun perternakan dan perikanan.Dibidang perternakan Kerajaan Biima tidak mau kalah dengan kerajaan lain,Raja Indra Zamrud juga mengembnagkan bidang perternakan yaitu kuda,kerbau dan sapi.Dalam kitab Negarakertagama, Kerajaan Bima disebut sudah memiliki pelabuhan besar pada 1356. Faktor Kemunduran • Kesultanan Bima berakhir ketika Indonesia berhasil meraih Kemerdekaan pada tahun 1945. Saat itu, Sultan Muhammad Salahuddin, raja terakhir Bima, lebih memilih untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Indonesia. Siti Maryam, salah seorang Putri Sultan, menyerahkan Bangunan Kerajaan kepada pemerintahan dan kini di jadikan Museum. Di antara peninggalan yang masih bisa di lihat adalah Mahkota, Pedang dan Furnitur. KERAJAAN SUMBAWA Kebaradaan Tana Samawa atau Kabupaten Sumbawa, mulai dicatat oleh sejarah sejak Zaman Dinasti Dewa Awan Kuning, tetapi tidak banyak sumber tertulis yang bisa dijadikan bahan acuan untuk mengungkapkan situasi dan kondisi pada waktu itu. Sebagaimana masyarakat di daerah lain, sebagian rakyat Sumbawa masih menganut animisme dan sebagian sudah menganut agama Hindu. Baru pada kekuasaan raja terakhir dari dinasti Awan Kuning, yaitu Dewa Maja Purwa, ditemukan catatan tentang kegiatan kerajaan, antara lain bahwa Dewa Maja Purwa telah menandatangani perjanjian dengan Kerajaan Goa di Sulawesi. Perjanjian itu baru sebatas perdagangan antara kedua kerajaan kemudian ditingkatkan lagi dengan perjanjian saling menjaga keamanan dan ketertiban. Kerajaan Goa yang pengaruhnya lebih besar saat itu menjadi pelindung kerajaan Samawa’. Setelah Dewa Maja Purwa wafat ia digantikan oleh Mas Goa, yang masih menganut ajaran Hindu. Ia dianggap telah melanggar salah satu perjanjian damai dengan kerajaan Goa, maka resikonya ia terpaksa disingkirkan bersama pengikut pengikutnya kesebuah Hutan, kirakira di wilayah Kecamatan Utan sekarang. Pengusiran Mas Goa dan pengikutnya ke wilayah Utan lebih arif disebut kudeta di zaman sekarang. Ia serta merta diturunkan dari tahtanya karena mangkir dari kesepakatan pendahulunya dengan Kerajaan Goa. Tidak disebutkan apa pelanggaran yang telah dilakukan Mas Goa, namun campur tangan Raja Goa di Sulawesi sangat besar. Pemberhentian secara paksa ini terjadi pada tahun 1673 M sekaligus mengakhiri pengaruh Dinasti Dewa Awan Kuning di Sumbawa. Tahun berikutnya 1674 M Dinasti baru terbentuk dan
diberi nama Dinasti Dewa Dalam Bawa’. Saat itu menurut BUK Tana’ Samawa, rakyat Sumbawa sudah mulai memeluk Agama Islam. Dinasti Dewa Dalam Bawa’ ini berkuasa hingga tahun 1958. Luas wilayah kekuasaannya dimulai dari wilayah taklukan Kerajaan Empang hingga Jereweh. Raja pertama dari Dinasti Dalam Bawa ini adalah Sultan Harunurrasyid I (1674 – 1702). Ia kemudian diganti oleh putranya Pangeran Mas Madina bergelar Sultan Muhammad Jalaluddin Syah I yang kawin dengan Putri Raja Sidenreng Sulawesi Selatan yang bernama I Rakia Karaeng Agang Jene.Setelah wafat, Jalaluddin Syah I ini kemudian diganti oleh Dewa Loka Lengit Ling Sampar kemudian oleh Dewa Ling Gunung Setia. Tidak banyak bahan sejarah yang dapat mengungkapkan berapa lama keduanya memerintah, tapi diperkirakan selama 10 tahun. Ada fakta yang menyatakan bahwa pada masa pemerintahan Datu Gunung Setia, kerajaan Sumbawa termasuk “ Bala Balong” lenyap dilalap si jago merah pada tanggal 26 Ramadhan 1145 Hijriah (1732 M). Pada tahun 1733 Kerajaan Sumbawa kembali dipegang oleh keponakan Sultan Muhammad Jalaluddin Syah I, bernama Muhammad Kaharuddin I (1733-1758). Ketika ia meninggal, kekuasaan diambil alih istrinya I Sugiratu Karaeng Bontoparang, yang bergelar Sultan Siti Aisyah. Raja wanita ini dikenal sering berselisih paham dengan pembantu raja, sehingga pada tahun 1761 ia diturunkan dari tahta dan mengharapkan , digantikan oleh Lalu Mustanderman Datu Bajing, namun ia menolak, dan menyarankan untuk mengangkat adiknya yaitu Lalu Onye Datu Ungkap Sermin ( 1761-1762 ). Istana Tua Pemerintahannya Lalu Onye, hanya berjalan setahun. Konon karena ia lari dari istana untuk menghindari perang saudara, atas kekeliruannya menikahi seorang wanita yang telah lama ditinggalkan berlayar oleh suaminya, Lalu Angga Wasita yang terkenal keperkasaannya. Ia menyangka Lalu Angga Wasita sudah meninggal karena tidak pernah ada kabar beritanya. Tapi suatu hari lelaki perkasa itu muncul. Karena raja merasa bersalah maka ia lari pada malam Selasa , di hari ke 14 Ramadhan waktu bulan purnama raya. Kepergian Datu Ungkap Sermin itu membuat kursi raja menjadi lowong. Maka diangkatlah Gusti mesir Abdurrahman, keturunan Raja Banjar. Meski ia bukan trah Dinasti Dewa Dalam Bawa, tetapi memungkinkan untuk diangkat menjadi raja karena telah menikah dengan puteri Sultan Muhammad Jalaluddin Syah I. ia pun diberi gelar Muhammad Jalaluddin Syah II, dan memegang kekuasaan selama 3 tahun (1762-1765). Ia mangkat pada tanggal 1 Dzulhijjah 1179 Hijriah ( 1765 Masehi). Untuk menggantinya diangkatlah putra mahkota yang masih berumur 9 tahun menjadi “raja boneka” yaitu Sultan Mahmud. Sedangkan yang menjalankan pemerintahan diangkat Dewa Mapeconga Mustafa datu Taliwang. Keputusan ini menimbulkan amarah datu Jereweh, karena ia sangat berambisi untuk menjadi raja. Maka ia berangkat ke Makasar untuk meminta bantuan kompeni (VOC) agar bisa menciptakan kekacauan di Kerajaan Sumbawa. Sebelum berangkat, datu Jereweh menemui kerajaan-kerajaan tetangganya dan mempengaruhi mereka supaya ikut mendukung rencananya dan ikut menandatangani perjanjian dengan VOC sekaligus membatalkan segala hal yang telah diatur dalam perjanjian Bongaya antara VOC dengan raja Goa yang isinya antara lain VOC tidak boleh mencampuri urusan perdagangan di kerajaan selatan. Akhirnya pada tanggal 9 Februari 1765 di Fort Rotterdam ditandatangani perjanjian antara Cornelis Senklaar Komodour sebagai wakil VOC denga pihiak raja – raja selatan yang antara lain Sultan Abdul Kadir Muhammad Dzillillah Fil Alam ( raja Bima ), Hasanuddin Datu Jereweh ( mengatas namakan raja Sumbawa ), Achmad Alauddin Johan Syah (raja Dompu), Abdurrasyid (raja Sanggar) dan Abdurrahman (raja Pekat). Perjanjian ini berisi tentang diperkenankannya VOC masuk Sumbawa. Tapi perjanjian ini kemudian dibatalkan lewat kontrak baru tanggal 18 Mei 1766 berkat keberhasilan diplomasi
utusan kerajaan Sumbawa Dea Tumuseng. Dalam perjanjian ini disebutkan, apabila Sultan Mahmud dewasa, maka kekuasaan raja akan diserahkan kembali kepadanya.Tapi pada waktu Sultan Dewa Mepaconga Mustafa sakit pada tahun 1189 H (1775 M), beliau digantikan oleh Datu Busing Lalu Komak, yang bergelar Sultan Harrunnurrasyid II (1777-1790). Sementara Sultan Mahmud yang putra mahkota itu tidak pernah diangkat menjadi raja yang sebenarnya, hingga ia meninggal dunia pada 8 jumadil akhir 1194 H (1780 M) dalam usia 24 tahun. Pada waktu pemerintahan Harrunnurrasyid II ini telah berhasil diselesaikan penulisan Kitab Suci Al Qur’an dengan tulisan tangan oleh Muhammad Ibnu Abdullah Al Jawi Negeri Sumbawa Madzab Safiie, tepatnya pada 28 Dzulqaidah 1199 H (1784 M). Sepeninggal Harrunnurrasyid II, tahta kerajaan beralih pada anak perempuannya, yaitu Sultan Syafiatuddin (1791-1795). Ia kemudian kawin dengan Sultan Bima dan mengikuti suaminya ke Bima, sekaligus memboyong beberapa harta pusaka kerajaan. ( Sebagian koleksi harta kekayaan Raja Bima sekarang adalah milik Sultan Syafiatuddin yang dibawa dari Sumbawa ). Karena kejadian itu, maka diputuskan oleh para Menteri Kerajaan untuk tidak lagi mengangkat wanita sebagai raja. Sedangkan pengganti Sultan Syafiatuddin adalah putera Sultan Mahmud bernama Muhammad Kaharuddin II. Pada waktu pemerintahannya inilah Gunung Tambora meletus. Tepatnya pada hari Selasa, 21 Jumadil Awal 1230 H (1815 M). Pada waktu itu Kerajaan Sumbawa dilanda hujan debu. Dalam laporan H. Zolinger disebutkan bahwa sepertiga penduduk mati di pulau Sumbawa dan sepertiganya lagi pindah ke pulau Lombok. Sedangkan abu yang menggenangi wilayah kerajaan Sumbawa sampai setinggi lutut. Setahun kemudian Sultam Muhammad Kaharruddin II pun mangkat pada tanggal 20 Syafar 1231 Hijriah (1816 M). Pemangku kerjaan selanjutnya diserahkan kepada Nene Ranga Mele Manyurang. Ia pun tidak lama menduduki singgasana kerajaan, karena pada bulan Rabbiul Awal 1241 Hijriah (1825 M), Nene Ranga yang sudah tua itu meninggal dunia. Kekuasaan dilanjutkan oleh Abdullah hingga ia meninggal pada tanggal 87 Muharram 1252 Hijriah (1836 M). Mulai tahun 1836 sampai 1882, tahta Kerajaan Sumbawa kembali dilanjutkan oleh Putera Muhammad Kaharuddin II, yaitu Sultan Amrullah. Pada waktu pemerintahannya ini tidak banyak catatan sejarah yang bisa ditemukan, barangkali karena kerajaan baru mulai bangkit dari peristiwa meletusnya Gunung Tambora yang sangat dashyat. Sebuah letusan yang konon menyebabkan langit di Eropa diliputi kabut awan selama dua tahun. Sultan Amrullah meninggal pada tanggal 23 Agustus 1883, sementara kursi raja diteruskan oleh Sultan Muhammad Jalaluddin III, cucu Sultan Amrullah. Pada masa ini campur tangan Belanda sudah terlalu jauh, terutama dalam hal menarik pajak. Akhirnya meledaklah pemberontakan rakyat, yang membuat Belanda harus mendatangkan bala bantuan dari Makassar, sebab hampir di setiap tempat timbul amarah rakyat. Namun karena kelemahan dalam bidang persenjataan, semua bentuk pemberontakan dapat dipatahkan termasuk pemberotakan yang terjadi di Taliwang yang dilakukan Unru dan kawan-kawan. Kekuasaan Belanda lewat VOC pun semakin merajalela. Maka dimulailah babak baru, Belanda ikut bermain politik di dalam istana, dan ikut menentukan jalannya pemerintahan. Pulau Sumbawa dan Pulau Sumba dijadikan satu dalam bentuk afdeling dengan ibukota di Sumbawa Besar ( Ibukota Kabupaten Sumbawa sekarang). Asisten Resident yang pertama adalah Janson Van Ray. Kerajaan Sumbawa dibagi dalam dua ander afdeeling, yaitu Sumbawa Barat dan Sumbawa Timur. Dalam pemerintahan Sultan Muhammad Jalaluddin III (1833-1931) inilah dibangun “Istana Tua Dalam Loka”. Hal ini sangat dimungkinkan karena Sultan Muhammad Jalaluddin III menjalankan roda pemerintahan selama 48 tahun. Ia juga mampu menuruti kehendak Belanda. Setelah ia meninggal pada tahun 1931, kekuasaan raja turun kepada putra mahkota yang mendapat gelar Sultan Muhammad Kaharruddin III. Pada zaman pemerintahannya inilah menjadi masa peralihan kolonialisme Belanda kepada Jepang.
Ketika perjanjian Kalijati ditandatangani tanggal 9 Maret 1942, organisasi – organisasi Islam di Kabupaten Sumbawa mulai mengatur siasat. Organisasi itu antara lain Nahdatul Oelama, Moehammadiah dan Al Irsyad. Sementara tiga kerajaan di pulau Sumbawa mengambil sikap tegas, menyatakan diri lepas dari kekuasaan Belanda. Tepat pada bulan Mei 1942, delapan kapal perang Jepang mendarat di Labuhan Mapin di bawah pimpinan Kolonel Haraichi, yang ternyata disambut gembira oleh rakyat. Kekuasaan Jepang tidak berlangsung lama, karena setelah Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi Bom Atom, Jepang menyerah kepada sekutu. Peraktis kekuasaannya berakhir. Sebelum Belanda kembali masuk, Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Agresi Militer Belanda ke Republik Indonesia mengakibatkan Raja Sumbawa menandatangani sebuah perjanjian politik baru dengan Belanda pada tanggal 14 Desember 1948. Isinya antara lain menjelaskan tentang sisa-sisa kekuasaan yang masih dikuasai oleh Belanda di Sumbawa. Kekuasaan tersebut ada tiga, yaitu bidang pertahanan, hubungan luar negeri dan monopoli atas candu dan garam. Setahun kemudian pemerintah Indonesia Timur berdasarkan Undang – Undang Nomor 44 tahun 1949 membentuk daerah Statuta Federasi Pulau Sumbawa, yang ditetapkan oleh Dewan Raja – raja pada tanggal 6 September 1949. Perubahan system Pemerintahan terjadi lagi dengan membentuk Propinsi Nusa Tenggara Barat, yang didasarkan pada Undang – Undang Nomor 64 Tahun 1958. Propinsi Sunda Kecil dibagi menjadi tiga Daerah Swatantra Tingkat I yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat ( NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Khusus Daerah Swatantra I Nusa Tenggara Barat menjadi enam Daerah Swantantra Tingkat II, dimana raja sekaligus menjadi Kepala Pemerintahan. Karena itu otomatis Federasi Pulau dibubarkan. Federasi Pulau Lombok dibubarkan pada tanggal 17 Desember 1958 dan tanggal tersebut hingga sekarang dijadikan sebagai hari lahirnya Propinsi Nusa Tenggara Barat. Sedangkan Federasi Pulau Sumbawa dibubarkan pada tanggal 22 Januari 1959 dan pada saat itu dilantiklah Sultan Muhammad Kaharruddin III menjadi Pejabat Sementara Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Sumbawa. Tanggal itulah yang dijadikan hari lahir Kabupaten Sumbawa.