Keluar Dari Pertanian Gurem

  • Uploaded by: Agus Pakpahan
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Keluar Dari Pertanian Gurem as PDF for free.

More details

  • Words: 873
  • Pages: 3
JALAN KELUAR DARI PERANGKAP PERTANIAN GUREM Agus Pakpahan Hasil Sensus Pertanian 2003 (BPS,2004) mengungkapkan bahwa rata-rata luas lahan yang dikuasai rumah tangga pertanian adalah sebagai berikut. Rumah tangga pertanian menguasai sawah 0,2 ha dan bukan sawah 0.5 ha. 9,7 juta rumah tangga pertanian menguasai lahan dengan kisaran 0.1-0.49 ha atau 39.2 % dari total rumah tangga pertanian (24.8 juta rumah tangga). Apabila ditambah dengan rumah tangga pertanian yang memiliki lahan kurang dari 0.1 ha, maka total rumah tangga pertanian yang penguasaan lahannya kurang dari 0.5 ha menjadi 56.4 %. Dengan struktur luas lahan seperti itu sudah dapat dipastikan bahwa pertanian kita adalah pertanian gurem yang mana sudah dapat pula dipastikan bahwa para petaninya sebagian besar merupakan petani miskin. Sejarah perkebunan besar dapat menjadi bahan pembelajaran bagaimana kita membangun struktur pertanian yang didasarkan atas asas-asas korporasi dan manajemen modern dengan skala luasan areal yang sangat besar. Keberadaan perkebunan besar ini memancing kecemburuan para petani dan kelompok masyarakat yang “lapar” lahan untuk mendapatkan lahan untuk memenuhi keperluannya. Walaupun dunia sudah masuk ke era informasi, kecenderungan Indonesia pada tahun 2030 menunjukkan bahwa struktur perekonomiannya masih akan didominasi oleh pertanian. Oleh karena itu, kecenderungan terjadinya konflik akan kebutuhan lahan akan makin meningkat. Jelas, konflik ini akan mengundang munculnya berbagai jenis konflik lainnya yang akan membahayakan keutuhan NKRI. Terdapat pemikiran bahwa solusi kegureman pertanian kita hanya akan dapat diselesaikan melalui reformasi agraria dimana lahan-lahan Negara yang tersedia diredistribusi untuk petani. Tulisan ini tidak membahas aspek reformasi agraria menurut pandangan di atas tetapi lebih pada penekanan akan perlunya reformasi akumulasi modal secara total dalam bidang pertanian dan perdesaan dalam pengertian yang luas. Selain gurem, pada dasarnya usaha pertanian di Indonesia masih bersifat underinvestment. Setiap investasi akan memerlukan wadah dimana investasi tersebut “diputar” dan dikembangkan menjadi suatu proses yang berkesinambungan. Dengan menyadari bahwa korporasi (corporate) bukan hanya berfungsi sebagai alat mendapatkan laba, tetapi juga merupakan instrument untuk mencapai kemajuan secara holistik, maka tidak ada peluang untuk mencapai kemajuan tanpa melalui penciptaan korporasi yang sesuai dengan jiwa dan semangat budaya pertanian. Citra korporasi yang tertanam dalam benak kita pada umumnya adalah model korporasi yang yang dimiliki oleh satu atau beberapa orang kaya yang menanamkan modalnya dalam suatu perusahaan, yang mana perusahaannya dikelola oleh manajemen yang ditetapkannya. Sebenarnya tidak tertutup kemungkinan dan bahkan sudah terbukti di Negara maju, ribuan orang bisa memiliki perusahaan. Fenomena ini menunjukkan kepada kita bahwa sebenarnya korporasi adalah suatu institusi kolektif dimana baik

pekerja maupun petani dapat menjadi pemiliknya. Adapun persoalan manajemen adalah persoalan lain lagi. Konsep pertanian kolektif bukanlah hal baru. Tetapi gagasan yang baru adalah bagaimana prinsip kolektifitas tersebut diatur berdasarkan perkawinan (hybrid) antara prinsip-prinsip demokrasi dan korporitisasi dalam satu nafas institusi. Pola perkebunan besar hanya mengandung nafas korporitisasi sedangkan koperasi hanya mengandung nafas demokrasi. Adapun pertanian individual lebih bersifat pola institusi mandiri yang keseluruhan usahanya tergantung pada kekuatan individu yang bersangkutan. Pola yang terakhir ini melahirkan pertanian gurem. Berikut ini merupakan ilustrasi dari gagasan di atas. Pertama, kita harus ciptakan suatu perusahaan yang dimiliki oleh petani. Perusahaan ini tidak bersangkut paut dengan tanah milik petani, misalnya, untuk dijadikan saham dalam perusahaan. Saham petani diambil dari deviden yang akan dihasilkan, yang dihitung secara proporsional dengan hasil produksi masing-masing petani. Apa kontribusi petani? Korporasi milik petani itu sendiri sudah menjadi suatu asset sosial-ekonomi yang sangat penting. Sebagai suatu institusi baru tentunya harus menarik minat petani untuk mendirikannya. Apa ikatan yang akan membuat petani bersatu? Perekatnya adalah tabungan petani, yaitu setiap petani diberikan tabungan (deposito berjangka) yang nilainya sama dengan tingkat ekspektasi minimal pendapatan mereka. Pendapatan ini setara dengan apabila mereka bekerja sendiri-sendiri. Apabila petani ini diberikan tabungan senilai Rp 4 juta/ha, maka dalam skala 10 ribu hektar untuk sawah, ditanam tabungan sebagai modal sosial Rp 40 milyar. Kemudian disepakati bahwa tabungan tersebut di-leverage tiga kalinya oleh perusahaan dimaksud, maka akan terkumpul modal senilai Rp 120 milyar. Dana ini digunakan untuk membiayai produksi padi sekitar Rp 50-Rp 60 milyar per musim. Hasil padi yang akan diperoleh sekitar 60 ribu ton atau lebih atau senilai Rp 102 milyar- Rp 120 milyar. Jadi, pendapatan per musim berkisar Rp 12 milyar – Rp 20 milyar. Dengan jumlah petani 50 ribu orang, apabila rata-rata per petani 0.2 ha, maka pendapatan per petani berkisar Rp 240 ribu/musim – Rp 400.000/musim. Apabila bunga deposito petani 3 %/musim, maka petani akan mendapatkan tambahan pendapatan sebesar Rp 24 ribu/musim untuk penguasaan lahan 0.2 ha. Nilai ini merupakan pendapatan minimal mengingat petani dapat bekerja di perusahaannya sendiri dan mendapatkan upah. Selanjutnya, semua hasil dari sawahnya seperti jerami, dedak, bekatul, sekam, merang, menir dan lain-lain dapat menjadi sumber pendapatan bagi mereka. Dengan areal sawah irigasi 4 juta hektar, misalnya, akan dapat dibangkitkan nilai surplus ekonomi sawah paling tidak Rp 8 triliun/musim atau minimal Rp 16 triliun/tahun (dua musim). Penerapan model di atas juga akan mendatangkan keuntungan yang sifatnya tak dapat dinilai dengan uang seperti berkembangnya spiritual dan social capital, entrepreneurship, tersedia tempat bekerja bagi para sarjana pertanian, dan membuka “dunia baru” perdesaan Indonesia. Tabungan merupakan kunci awal pembuka untuk membangun trust sekaligus komitmen dan tanggung jawab bersama. Tabungan adalah

benih yang disemai untuk menghasilkan perubahan dan kemajuan pertanian serta perekonomian dan kehormatan Negara secara keseluruhan. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus bisa dan kuat menjadi pelopor, promotor dan investor untuk melepas kita dari perangkap sejarah kegureman pertanian Indonesia.

Related Documents

Keluar Dari Pertanian Gurem
November 2019 19
Pertanian
June 2020 31
Keluar Adam
November 2019 21
Surat Keluar
April 2020 22

More Documents from "wahyusoil unhas"