Kelompok Sosial

  • Uploaded by: Dedy Andiwinata
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kelompok Sosial as PDF for free.

More details

  • Words: 4,512
  • Pages: 16
UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009 KELOMPOK SOSIAL DALAM INTEGRASI NASIONAL : SUATU KAJIAN PSIKOLOGI SOSIAL DALAM NATION BUILDING INDONESIA Oleh: Arin Fithriani, M.Si (Dosen HI, FISIP Universitas Budi Luhur dan Universitas Jenderal Ahmad) Yani, Cimahi

ABSTRACK The multidimension on international relations studies is hoped pushes the new idea t international relations student to analyze the international problem from any angle. The contribution of social psychology studies on international makes this study more acceptable. Conflict which is happened between state or intra state could be analysed by social psychology angle. Conflict caused by difference interest much of them there was no smooth communication on each party. Much of misperseptio accured caused by the difference of norm, attitude and prejudice. In the state level, social conflict gives the influence on national integration. In this case, the political leader must do proactive action which is supported by mass. This is because integration is never ending process. Pendahuluan Pengkajian dalam ilmu sosial seakan tidak ada habisnya, bahkan selalu saja menunjukkan adanya perkembangan yang berpengaruh pada pemikiran-pemikiran sebelumnya dan memunculkan konsep-konsep baru yang tidak kalah menarik untuk dikaji lebih lanjut. Begitu juga dengan kajian ilmu hubungan internasional, sebagai bagian dari ilmu sosial, perkembangan pemikiran dalam ilmu hubungan internasional tidak lepas dari perkembangan ilmu sosial lainnya, bahkan pada tingkatan teoritis tidak jarang ilmu ini juga mendapat pengaruh dari ilmu pasti. Sehingga banyak pengkajian ilmu hubungan internasional yang dilakukan secara kuantitif sebagaimana yang dilakukan kelompok behavioralis. Salah satu pengaruh atau dapat dikatakan sumbangsih ilmu lain dalam kajian ilmu hubungan internasional yang akan dibahas pada tulisan ini adalah ilmu sosiologi dan psikologi yang kemudian membentuk kajian dengan istilah

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009 psikologi sosial. Kajian ini salah satunya membahas tentang entitas-entitas pembentuk negara, termasuk semua bentuk kelompok sosial, baik yang didasari atas etnis, agama, ras / suku, wilayah geografis maupun tingkatan ekonomi dan pendidikan. Pengkajian dari sudut pandang psikologi sosial ini menjadi penting karena hampir semua negara memiliki permasalahan dalam mengakomodasikan kepentingan warganya dengan latar belakang kelompok sosial yang beragam, termasuk ketika terjadi persinggungan kepentingan antar negara yang mendorong pada potensi konflik. Demikian hal ketika kita membahas masalah intergrasi nasional Indonesia dalam kerangka nation building Indonesia. Kajian psikologi sosial dalam nation building Indonesia hanya sebagai salah satu angle dalam pembahasan tentang nation building. Indonesia adalah salah satu negara di Asia Tenggara dengan multi-etnisnya. Keanekaragaman ini disisi lain membawa keunggulan tersendiri yang turut membentuk identitas nasional sebagai modal dasar pembangunan termasuk dalam berinteraksi dengan negara lain. Namun disisi lain, keanekarangaman ini juga menjadikan Indonesia sebagai salah satu wilayah di Asia Tenggara yang kurang stabil kondisi internalnya, terutama jika dibandingkan dengan Malaysia yang juga dikategorikan sebagai negara multi-etnis. Ketidakstabilan ini lebih karena upaya kelompok dalam mengakomodasikan kepentingannya. Berbagai kepentingan tersebut menyangkut segala hal kebutuhan kelompok dalam mempertahankan eksistensinya ditengah-tengah masyarakat. Sehingga kepentingan kelompok juga menyangkut upaya pemenuhan kepentingan anggotanya, atau dengan kata lain pemenuhan kebutuhan individu-individu pembentuk kelompok tersebut. Maka pengakomodasian kepentingan kelompok ini menyangkut kebutuhan dasar (primer), sekunder dan tersier sebagaimana kebutuhan individu sebagai manusia. Oleh Abraham Maslow dalam hirarki kebutuhan manusia (chiron.valdosta.edu), menyebutkan bahwa berbagai kebutuhan manusia tersebut dapat dikategorikan dalam dua kelompok besar, yaitu kebutuhan defisiensi (deficiency needs) dan kebutuhan untuk tumbuh (growth needs). Kedua kebutuhan ini mencakup kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia hingga kebutuhan trasedent yang berkaitan dengan sesuatu diluar batas ego manusia. Atau dapat dikatakan kebutuhan untuk berperan serta dalam kehidupan masyarakat sebagai suatu kepuasan. Kebutuhan Defisiensi merupakan kebutuhan dasar manusia

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009 sebagai mahluk hidup. Kebutuhan defisiensi ini meliputi kebutuhan psikologis seperti haus dan lapar, kebutuhan keamanan agar terhindar dari bahaya, kebutuhan untuk memiliki dan mencintai agar bisa diterima dan berhubungan dengan individu lain, serta kebutuhan penghargaan (esteem) sebagai sesuatu yang ingin dicapai oleh individu untuk mendapatkan pengakuan dan menempatkan dirinya pada posisi yang diinginkan. Sedangkan kebutuhan untuk tumbuh (growth) meliputi kebutuhan cognitif, aestetik, aktualisasi diri dan keutamaan diri. Upaya pengakomodasian kepentingan dari berbagai kebutuhan ini bukan hanya berhadapan dengan elit namun juga berhadapan dengan kepentingan kelompok lain dengan upaya yang sama. Dapat dikatakan persinggungan kepentingan yang tidak terakomodasikan dengan baik menyebabkan konflik baik horizontal maupun vertikal. Konflik ini terkadang tidak dapat

dihindari meskipun

pemerintahan

suatu

negara selalu

berusaha

untuk

mengakomodasikan berbagai kepentingan warganya dalam kerangka besar kepentingan nasional yang di dalamnya termasuk nation building. Konflik horizontal dan vertical ini pula yang berpotensi menjadi ancaman terhadap integrasi nasional, baik integrasi horizontal dan vertikal. Lemahnya derajat integrasi nasional akan menyebabkan jarum spectrum nation building yang pada sejarah suatu negara bangsa telah mencapai pada titik kematangan (mature), mengalami pergeseran kearah ketidakmatangan (immature). Pergeseran kearah negatif ini tidak bisa hanya dibebankan kepada masyarakat atau warga negara selaku modal utama dalam nation building. Peranan pemimpin atau elit massa juga sangat berpengaruh dalam pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam integrasi nasional. Semasa orde lama, jarang sekali masyarakat kita mendengar terjadinya Konflik sosial dalam masyarakat, baik karena perbedaan etnis, ras, agama, kelompok sosial ataupun pemikiran. Kalaupun ada, elit massa mampu meredam konfliknya dan juga pemberitaannya. Sebagaimana kita ketahui sistem politik pada masa orde baru lebih mengarah pada bentuk otoriter birokratik. Model ini lebih banyak menerapkan penekanan atau paksaan dari atas atau bersifat topdown. Sehingga kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan berekspresi tidak mendapatkan peluang yang luas. Pada sistem otoriter birokratik, gagasan dan pendapat yang dianggap Berseberangan dengan norma dan pemikiran elit akan kesulitan untuk bisa diterima,

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009 bahkan mendapatkan tekanan atas gagasan yang telah dikeluarkan tersebut. Sehingga dikatakan bahwa pada masa orde lama, elit massa berusaha untuk menghilangkan konflik yang ada tanpa menyelesaikan akar permasalahanya. Reformasi yang telah terjadi di Indonesia diharapkan akan membawa angin segar bagi beberapa bidang, terutama bagi pengembangan sistem politik yang demokratis, stabil dan modern. Kondisi ini juga memunculkan harapan untuk menata kembali sistem politik, hukum dan ekonomi kearah yang lebih baik. Harapan juga muncul agar proses transisi menuju demokrasi di Indonesia berjalan dengan lancer dan damai. Namun demikian, kenyataan yang ada bahwa dibukanya kebebasan politik dan kehidupan demokratis juga menimbulkan berbagai masalah yang rumit dan bahkan cenderung anarkis. Bahkan seorang pengamat politik dan internasional Thomas Friedman mengatakan bahwa Indonesia sebagai “the messy state”. Kesemrawutan ini terlihat dengan munculnya berbagai bentuk konflik horizontal antar warga masyarakat ataupun antar etnis seperti yang terjadi di Papua, Madura, Kalimantan serta tawuran antar warga yang terjadi di beberapa daerah. Demikian juga dengan adanya aspirasi separatisme seperti yang telah terjadi di Timor-Timur, Aceh, Riau dan Papua. Masalahn konflik-konflik yang terjadi antar kelompok masyarakat, aspirasi merdeka dan tuntutan otonomi yang lebih luas, menimbulkan masalah seputar integrasi nasional Indonesia dalam kerangka nation building Indonesia. Meskipun Indonesia telah merdeka selama setengah abad lebih, dengan adanya berbagai konflik horizontal dan bahkan vertical menjadikan pelaksanaan nation building di Indonesia perlu ditinjau dan digiatkan kembali. Hal ini menyangkut pembentukan homogenitas cultural, konsensus atas nilai-nilai bersama dan membangun loyalitas terhadap negara. Sehingga salah satu pertanyaan yang harus dijawab adalah bagaimana mengakomodasikan berbagai kepentingan kelompok sosial tersebut agar mampu memperkecil terjadinya konflik, menyelesaikan konflik yang ada bahkan mencegah terjadinya konflik sebagai upaya integrasi nasional dalam kerangka nation building Indonesia. Kerangka Pemikiran

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009 Terdapat berbagai pendapat dan perdebatan mengenai integrasi nasional. Menurut Myron Weiner, integrasi nasional meliputi mencakup nilai-nilai masyarakat yang luas dengan 5 (lima) aspek persoalan, yaitu; integrasi bangsa, integrasi wilayah, integrasi elit massa, integrasi nilai dan perilaku integrative. Sedangkan William Liddle melihat persoalan integrasi nasional sebagai masalah integrasi horizontal dan integrasi vertical elit massa. Pada integrasi horizontal mencakup integrasi perbedaan yang berakar pada masalah etnik, ras, geografi dan agama. Sebagaimana kita ketahui, Indonesia memiliki beraneka ragam elemen masyarakat baik kondisi territorial geografis, etnik, budaya, bahasa, agama dan kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, yang kesemuanya berpotensi sebagai ancaman integrasi nasional. Meskipun Indonesia memegang teguh apa yang disebut dengan Bhineka Tunggal Ika, namun dalam dataran riil, masih banyak terjadi konflik sosial dengan berbagai macam sebab. Bahkan kecenderungan tersebut semakin meningkat seiring digulirkannya reformasi yang membawa nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Kondisi masyarakat seperti Indonesia ini dapat dilihat dari perspektif plural society oleh J.S Furnivall. Furnivall menyatakan bahwa masyarakat plural adalah suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain didalam satu kesatuan politik. Antara elemen satu dengan lainnya terpisah oleh karena perbedaan ras, suku, sosial budaya dan ekonominya. Hal lain yang menonjol adalah tidak adanya kehendak bersama, tidak adanya permintaan sosial ekonomi bersama dan tidak adanya kultur serta nilai-nilai yang dihayati bersama secara mendalam oleh seluruh elemen masyarakat. Pierre L. Van den Berghe menambahkan beberapa karakteristik masyarakat plural, antara lain: (1) memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer. (2) kurang mengembangkan consensus antar anggota terhadap nilai-nilai dasar, (3) seringkali kelompok masyarakat terlibat konflik satu sama lain, (4) integrasi sosial yang tumbuh berdasarkan paksaan, dan (5) adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok lain. Penggambaran masyarakat Indonesia yang plural tersebut tidak terlepas dari latar belakang historis Indonesia dalam upaya melepaskan diri dari penjajahan. Proses terbentuknya bangsa Indonesia dimulai secara dinamis melalui pembentukan organisasi-

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009 organisasi yang mengarah pada persatuan dan bersifat menyeluruh yang kemudian disebut sebagai kebangkitan nasional. Puncak proses ini terjadi dengan adanya consensus nasional melalui Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 sebagai sebuah ikrar untuk bersatu dalam satu nusa, bangsa dan bahasa yang kemudian bisa disebut sebagai nationstate. Berdasarkan penggambaran tersebut, maka dapat dikatakan kedua perspektif diatas oleh Furnivall dan Van den Berghe, kurang tepat pada kondisi histories Indonesia, yang mana pluralitas tersebut justru mendorong untuk bersatu, berkonsensus tanpa paksaan untuk melakukan perlawanan terhadap kekuatan luar yang lebih besar. Dapat dikatakan bahwa konsensus masyarakat plural Indonesia lebih dikarenakan adanya persamaan persepsi mengenai apa yang disebut sebagai ancaman, terutama ancaman dalam pemenuhan kepentingan. Lain halnya apabila dibandingkan dengan kondisi Indonesia saat ini, perbedaan mengenai persepsi ancaman yang dihadapi menjadikan kedua pemikiran mengenai masyarakat plural lebih mengena pada beberapa hal.

Pembahasan Permasalahan yang dihadapi negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia tidak bisa dipisahkan dari sejarah kolonialisme yang terjadi diwilayah tersebut. Perbedaan tipe kolonialisme antar penjajah menimbulkan dampak yang berbeda-beda dikemudian hari pada negara jajahannya. Sebagai negara baru yang mendapatkan kemerdekaan dari penjajah, maka pembentukannya juga tidak berdasarkan kesamaan sifat, namun kesamaan kepentingan penjajah. Sebagaimana ketika Jepang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia dengan membentuk suatu badan khusus untuk mempersiapkan segala hal apabila Indonesia telah di merdekakan. Sehingga tidak mengherankan apabila dikemudian hari sering Terjadi konflik dengan tingkatan-tingkatan tertentu, sehingga negara baru tidak dapat lepas dari upaya Nation Building, State Building dan Economic Development. Ketiga hal ini saling berhubungan dalam menunjang kestabilan suatu negara, namun permasalahan yang sering dihadapi oleh negara multi-etnis adalah dalam pelaksanaan Nation Building-nya. Nation building dipahami sebagai proses konsolidasi

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009 dan integrasi dari kelompok-kelompok pembentuk negara sehingga tidak mudah terpecah-pecah baik dari luar maupun dari dalam. Nation Building berhubungan erat dengan etnis (nation) dalam satuan wilayah teritorial yang kemudian disebut negara, sehingga kuat lemahnya nation building tersebut tergantung pada bagaimana etnis-etnis didalamnya berinteraksi baik berkonflik ataupun berkerjasama. sehingga proses nation building melalui integrasi berjalan terus-menerus dan dapat dikatakan sebagai proses yang tak pernah selesai karena menyangkut keamanan negara. Suatu proses dari ketika adanya consensus untuk membentuk negara hingga kini dan masa yang akan datang. Barry Buzan dalam bukunya People, State and Fear menganalisis keamanan negara berdasarkan struktur internal pembentuk negara, termasuk etnis-etnis pembentuknya. Dengan menggunakan konsep awal state, Buzan membagi negara dalam tiga kelompok sifat negara terhadap keamanan yaitu negara stabil, tidak stabil dan sangat tidak stabil yang didasarkan dari tiga model dasar pembentuk negara yaitu: The Idea of State, The Institutional Expression of the state dan The physical base of the state. Ketiga hal tersebut menjelaskan dua hal yaitu: Pertama; ketiga hal tersebut dapat dibedakan satu persatu untuk menjelaskan lebih jauh sebagai bagian dari objek keamanan negara, Kedua; hubungan antar ketiganya dapat digunakan sebagai sumber penjelasan permasalahan keamanan nasional.(Buzan, 1991:65) Dengan demikian mengukur ketiga hal diatas kita dapat mengetahui tingkat kestabilan struktur internal negara dalam menghadapi keamanan nasional/ konflik yang muncul dalam negara baik yang bersumber dari internal maupun campur tangan luar. Namun demikian bukan berarti kita tidak dapat mengukur tingkat kestabilan struktur internal negara hanya dengan salah satu dasar pembentuk. Karena keterbatasan, tulisan ini hanya akan memfokuskan pada model the idea of state. The Idea of the State berhubungan dengan legitimasi rakyat yang bersumber dari “nation” dan organizing ideology, berdasarkan kedua sumber ini maka dapat diketahui tipe-tipe negara berdasarkan entitas pembentuknya yaitu : (1) Nation-State; negara yang memiliki satu entitas nation sebagai major role, sehingga ikatan negara dan entitas pembentuknya kuat. (2) State-Nation;negara berperan didalam membentuk entitas didalamnya, bersifat top-down, Sehingga biasanya berusaha menghilangkan entitas asli didalamnya

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009 dan membentuk entitas baru yang homogen dan diterima semua kalangan, pada bentuk ini yang telah mapan akan menpunyai ikatan kuat seperti Amerika dan Australlia sedangkan pada bentuk yang belum mapan dengan kondisi termasuk lemah dan rawan konflik salah satunya dapat dilihat pada usaha separatisme di Nigeria. (3) Part Nation-State; dimana satu nation terdapat dalam dua negara atau lebih (tersebar) seperti Cina dan Korea. (4) Multination-State; satu negara terdiri dari dua nation atau lebih, bentuk ini ada dua macam yaitu federatif state dengan tidak ada nation yang mendominasi dan imperial state dengan ada satu nation yang yang mendominasi struktur kenegaraan, sehingga bentuk imperial ini lebih rawan konflik daripada federatif. Indonesia pada tipologi ini dapat kategorisasikan dalam multination-state bentuk federatif, karena tidak ada satu nation yang mendominasi struktur kenegaraan meskipun suku jawa mempunyai jumlah paling banyak. Meskipun oleh Buzan bentuk federatif dianggap relatif lebih aman dibandingkan dengan bentuk imperatif, bukan berarti dalam bentuk federatif tidak ada konflik sama sekali. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, hambatan justru ada dalam upaya pembentukan konsensus antar entitas yang beraneka ragam tersebut. Hal ini karena masing-masing mempunyai persepsi yang berbeda mengenai ancaman dan sesuatu yang dianggap lebih bernilai (values). Berbagai tipe negara beserta konsekuensi keamanan nasionalnya terhadap konflik etnis tidak lepas dari modernisasi dan pembangunan politik yang menegaskan bahwa jaringan kelompok mayoritas (utama) bisa menjadi penghambat nation building dan pembangunan, sehingga perlu membongkar jaringan tersebut dan memindahkan loyalitas dari loyalitas pada kelompok etnis ke bentuk loyalitas masyarakat yang lebih luas dalam lingkup negara (Stavenhagen, 1990:78) sehingga tindakan yang diambil dalam aktivitas etnis harus lebih menunjukkan pada pilihan rasional bagi tindakan politik daripada sentimen primordial. Pada negara bekas kolonial yang entitas pembentuknya terdiri dari beberapa etnis, maka akan dihadapkan pada permasalahan ini, terlebih lagi jika ada kelompok etnis yang dominan. Sehingga situasi tersebut bisa menyebabkan terjadinya konflik etnis yang disebut dengan /“ethnic revival”/, yaitu dengan adanya rasa ketakutan kelompok

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009 minoritas pada masa kolonial dan rasa ketakutan itu justru semakin bertambah setelah masa kemerdekaan karena beranggapan bahwa etnis mayoritas adalah kelompok penjajah baru (Ryan, 1990:x). Menurut Rothchild konsep sentral etnik adalah ketakutan etnik akan kehidupan masa depan atas kehidupan yang pernah dilalui pada masa lalu. Dengan anggapan ini tentu dapat dipahami sebagai sikap manusia sebagai anggota kelompok etnis berusaha untuk mempertahankan eksistensi dan identitasnya. Hal ini berdasarkan pada definisi dari kelompok etnis yaitu sebagai sekelompok orang yang mendefinisikan dirinya (identitas) mempunyai perbedaan yang sangat jelas dengan kelompok lain karena perbedaan budaya. Sedangkan budaya menurut Galner didefinisikan sebagai kesatuan konsep yang dijadikan acuan berfikir dan bertindak oleh sekelompok manusia (population) secara turun menurun yang biasanya mempunyai nama. Oleh karena itu budaya bukan hanya sekedar kumpulan konsep, namun lebih dari sekedar hubungan dan ketergantungan antar konsep (Ryan, 1990: xiii). Berdasarkan pengertian tentang etnis tersebut maka dapat dimengerti apabila konflik etnis lebih didasarkan pada suatu hal yang tidak jelas (intangible) dengan melihat “who someone is” dari pada “what someone does”(Goldstein, 1996:198) maka dapat dipahami juga apabila konflik etnis sulit untuk diselesaikan karena didasarkan pada kebencian -“I don’t like you”- dan bukan “who gets what”. Sehingga rasionalitas dalam konflik etnis terkadang tersingkirkan dengan adanya benturan nilai-nilai adat meskipun etnis yang berkonflik tersebut selalu ingin disebut sebagai masyarakat modern. Disisi lain, elit massa juga diharapkan mampu mengakomodasikan kelompok minoritas, demikian juga kelompok minoritas sebaiknya melakukan beberapa tindakan agar tidak terdeprivasi. Deprivasi yang berkelanjutan dan dalam jangka waktu yang lama akan memicu terjadinya konflik sebagai suatu bentuk pemberontakan. Rothchild mengemukakan ada empat mekanisme untuk menolong *kelompok* etnis minoritas agar tidak terdeprivasi antara lain: (1) Demonstrations of respect , sebagai sikap saling menghormati antar kelompok etnis terutama terhadap etnis minoritas, (2) Power Sharing, yang diusahakan pemerintah untuk membentuk perwakilan sesuai dengan kondisi entitas pembentuk masyarakat,

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009 (3) Elections, dengan melakukan sistem pemilu sebagai bagian dari political game menyangkut partisipasi dalam proses pengambilan suara, (4) Otonomi regional dan federalisme, berhubungan dengan kemampuan pemimpin politik/pemeritah pusat dalam memajukan kepercayaan diri antar pemimpin lokal (international security, 1996,2/21:57). Permasalahan etnis dalam diperlukan juga pemikiran dari kajian psikologi sosial, untuk melihat bagaimana individu-individu yang tergabung dalam kelompok etnis berinteraksi dengan kelompok lainnya. Beberapa kajian psikologi sosial ini telah berhasil diterapkan dalam beberapa konflik sosial yang terjadi di dunia internasional dengan melakukan identifikasi terhadap konflik sosial yang ada sebagai upaya untuk menuju resolusi konflik. Kajian ini dikembangkan oleh Herbert C. Kelman, seorang ahli psikologi, yang telah melakukan penelitian dan workshop bagi penyelesaian masalah konflik sosial yang terjadi di Irlandia Utara, Sri Lanka, Rwanda-Burundi, eks Yugoslavia, eks Uni Soviet dan konflik Israel-Palestina. Pemikiran Kelman ini juga banyak dijadikan acuan dalam resolusi konflik yang terjadi antar kelompok dalam negara, termasuk konflik local di Indonesia, seperti resolusi konflik di Ambon, Sampit dan Poso adalah contoh dari konstrubusi pemikiran Kelman. Menilik permasalahan nation building di Indonesia, kembali lagi pada penekanan integrasi horisontal antar kelompok sosial dalam masyarakat, dalam hal ini bukan hanya kelompok etnis. Keikut sertaan individu dalam kelompok, baik karena ada aturan yang berlaku (paksaan) ataupun otomatis, merupakan penciptaan komunikasi yang mengarah pada hubungan fungsional. Oleh Thilbaut dan Kelley hubungan ini disebut dengan “social exchage theory”(Ahmadi, 1991:104). Analog teori ekonomi, teori ini menunjukkan bahwa keikutsertaan atau masuknya individu dalam suatu kelompok akan memperoleh keuntungan dan kerugian. Keuntungan dapat berupa kesenangan dan kepuasan keikutsertaan individu dalam kelompok, sedangkan kerugian bisa berupa waktu, tenaga, jasa, ataupun materi yang telah dikeluarkan individu dalam kelompok. Perbedaannya, apabila nilai tukar dalam ekonomi penguatnya adalah uang, maka pada nilai tukar sosial penguatnya adalah “penerimaan sosial”. Penerimaan sosial ini juga berarti diterimanya nilai-nilai individu tersebut dalam kelompok. Semakin diterima nilai-nilai individu dalam suatu kelompok maka semakin

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009 tinggi pula nilai sosial exchange-nya yang ditandai dengan kesenangan dan kepuasan individu tersebut dalam kelompok. Hal ini karena kelompok terbentuk dari individu yang mempunyai tujuan yang sama dan membentuk hubungan fungsional. Hubungan ini pada akhirnya membentuk nilai-nilai sosial yang dianut oleh anggota kelompok. Semakin besar nilai tukar sosial suatu kelompok, semakin besar pula penerimaan sosial akan kelompok tersebut. Untuk meningkatkan nilai tukar sosial, kelompok sosial berusaha untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian. Artinya apabila banyak anggota kelompok yang kecewa dengan kelompok atau tingkah laku kelompok tidak sesuai dengan yang diharapkan anggotanya, maka penerimaan sosial kelompok tersebut kecil, bahkan bisa saja terjadi perpecahan kelompok. Saat ini seseorang bergabung dengan suatu kelompok lebih pada pemenuhan kebutuhannya, sehingga seseorang bisa menjadi anggota pada lebih dari satu kelompok. Keikutsertaan individu dalam kelompok secara tidak sadar memunculkan perasaan ikatan di dalam kelompoknya (in-group) ataupun perasaan terhadap kelompok lain (out-group). Perasaan ikatan dalam kelompok berpengaruh terhadap kohesifitas kelompok dan bahkan memunculkan favoritisme terhadap kelompoknya. Kohesi kelompok merupakan perasaan bahwa orang bersama-sama dalam kelompok sebagai kekuatan yang memelihara dan menjaga anggota dalam kelompok. Kohesi ini terlihat dengan adanya rasa sentimen, simpati, intim dan solidaritas antar anggota. Perasaan ini yang juga sedikit banyak mempengaruhi pola hubungan antar kelompok, apakah akan melakukan kerjasama atau beroposisi. Karena kohesi dapat berkembang dengan adanya ancaman atau tekanan dari out-group. In-group terkadang membuat kode-kode tertentu sebagai bentuk komunikasi yang hanya bisa dipahami antar anggotanya. Dalam hal ini keanggotaan kelompok menjadi bagian dari identitas seseorang. Pada kelompok yang lebih moderat, pola hubungan ini lebih rasional dengan melihat adanya kesamaan kepentingan atau persepsi terhadap suatu hal yang mendorong adanya konsensus untuk bekerjasama. Setiap kelompok mempunyai pedoman tingkah laku yang khas antar anggotanya yang disebut dengan norma kelompok. Norma terbentuk dari hasil interaksi antar anggota karena terdorong untuk mencapai tujuan bersama.

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009 Sebaliknya norma bukanlah sesuatu yang tidak statis/selalu berubah karena kelompok sosial merupakan hubungan yang dinamis. Perubahan yang terjadi secara tidak langsung akan mempengaruhi masing-masing anggotanya. Dapat dikatakan bahwa tingkah laku anggota kelompok akan bisa berubah akibat dari perubahan kelompok. Singkatnya norma kelompok mempengaruhi tingkah laku anggota. Norma kelompok sosial berbeda-beda satu sama lain yang disebabkan adanya perbedaan geografis, status sosial dan tujuan kelompok. Misalnya kelompok masyarakat yang tinggal di pantai pasti mempunyai norma yang berbeda dengan kelompok masyarakat yang tinggal di pegunungan, demikian juga antara pegawai negeri dengan petani, pekerja seni dengan atlet. Perbedaan norma ini memunculkan perbedaan kepentingan dan kebutuhan. Sekali lagi, apabila tidak terakomodasikan dengan baik tentu akan menimbulkan konflik. Upaya mengakomodasikan berbagai kepentingan kelompok, membentuk consensus atas nilainilai bersama dan membentuk loyalitas terhadap negara, sekalipun merupakan tugas bersama antar entitas pembentuk negara, elit massa-lah yang diharapkan mampu mengkoordinasikan semua hal diatas. Adanya konsesus antar kelompok tanpa adanya elit yang mempunyai tujuan yang jelas, maka nation building yang diharapkan akan rapuh dan mudah goyah. Sehingga elit, dalam hal ini lebih pada pemimpin diharapkan mampu melaksanakan peranannya sebagaimana mestinya. Peranan dapat diartikan sebagai suatu kompleks pengharapan manusia terhadap caranya individu harus bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu berdasarkan status dan fungsi sosialnya. Sehingga pengharapan terhadap pemimpin lebih pada kemampuan pemimpin tersebut mempengaruhi orang lain sehingga bertingkah laku sebagaimana dikehendaki pemimpin tersebut. Karena pemimpin bukan hanya sebagai kedudukan yang merupakan satuan kompleks atas hak-hak dan kewajiban yang dimiliki seseorang atau institusi, namun juga sebagai proses sosial yang merupakan segala tindakan yang dilakukan seseorang atau institusi yang mampu menggerakkan masyarakat dan mendapat pengakuan dari masyarakat. Sehingga bagaimana interaksi suatu kelompok dengan kelompok lainnya juga dipengaruhi oleh pemimpinnya. Pemimpin disini pada akhirnya juga ikut andil dalam pembentukan norma kelompok. Acap kali setiap terjadi pergantian kepemimpinan suatu kelompok, juga terjadi

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009 perubahan norma. Apabila perubahan norma yang ada mudah diterima dan diadopsi oleh anggotanya, maka kohesifitas dalam kelompok semakin kuat. Sebaliknya apabila norma baru tersebut kurang bisa diterima oleh anggotanya, maka tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan perpecahan dalam kelompok. Dengan kata lain bagaimana pemimpin itu bersikap akan berpengaruh juga terhadap kohesifitas kelompok. Kepemimpinan dan norma kelompok secara tidak langsung akan menentukan bagaimana kelompok itu bersikap (attitude). Sikap ini dipahami sebagai suatu kesadaran yang menentukan perbuatan nyata yang berulang-ulang terhadap objek sosial. Karena tidak ada satu sikappun tanpa objek sosial. Misalnya sikap bangsa Indonesia terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, sikap yang ditunjukkan warga Indonesia tidak lepas/dipengaruhi oleh norma yang dikembangkan pemimpin. Pada masa awal orde baru, sikap terhadap etnis Tionghoa lebih dikarenakan aspek afektif adanya emosi yang berkaitan dengan objek yang dianggap tidak menyenangkan karena berkaitan dengan peristiwa 30 September (bahaya laten PKI). Pada kasus internasional dapat dicontohkan mengenai sikap bangsa Jerman terhadap orang Yahudi pada masa Hitler karena dianggap penyebab kekalahan Jerman pada Perang Dunia I. Perasaan terhadap kelompok tertentu ini disebut dengan prasangka sosial (sosial prejudice) yang terkadang mendorong pada stereotip terhadap kelompok tertentu tanpa adanya pengetahuan mengenai kelompok yang dikenai prasangka tersebut. Prasangka inilah yang pada akhirnya menciptakan jarak sosial (sosial distant) antar kelompok yang seharusnya tidak perlu. Prasangka negatif (stereotif) yang menciptakan jarak sosial ini merupakan potensi konflik antar kelompok sosial. Agar terhindar dari konflik maka informasi mengenai kelompok berikut normanya sangat diperlukan dalam menciptakan hubungan yang positif antar kelompok. Setiap persinggungan norma antar kelompok merupakan tugas bersama antar anggota yang difasilitasi pemimpin dalam mengakomodasikannya. Apabila pemimpin mampu mengakomodasikan perbedaan ini hingga membentuk suatu konsensus atas nilai-nilai bersama, maka kohesifitas *kelompok* bukan hanya terjadi pada in-group, tapi juga out-group. Pada akhirnya hal ini juga akan mendorong terciptanya loyalitas terhadap negara karena pemimpinnya dianggap mampu berperan sebagaimana mestinya.

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009 Indonesia sebagai negara dengan kemajemukannya, segmentasi yang ada berupa aspek horizontal dan vertical. Segmentasi aspek horizontal berupa perbedaan ras, agama, suku dan daerah, sedangkan segmentasi aspek vertical merupakan kondisi politik, sosial dan ekonomi. Pada aspek vertical ini, jarak antara pelapisan masyarakat atas dan bawah masih sangat tajam, baik antara kaya-miskin, desa-kota, tingkat pendidikan dan sebagainya. Jarak dalam aspek vertical ini yang dipertegas dengan adanya jarak sosial semakin menyulitkan Indonesia memperkokoh integrasi dalam nation building. Sehingga perbedaan ini perlu dijembatani dengan nilai persatuan yang mengecilkan kesenjangan antar kelompok. Menilik upaya resolusi konflik antar kelompok sosial yang ditawarkan Kelman, sebaiknya pemerintah melakukan tindakan proaktif terhadap berbagai kemungkinan terjadinya konflik. Kelman mengenalkan /interactive problem solving (Kelman, American Psychologist, 1997, 52/3:212-220) yang menghadirkan pihak ketiga untuk membahas segala permasalah yang berpotensi konflik. Metode ini telah diterapkan pada kasus di Poso dan Sampit. Interactive problem solving ini lebih merupakan workshop yang menjadikan kelompok sosial sebagai laboratorium. Workshop ini dilakukan untuk mengetahui berbagai hal yang berkaitan dengan permasalahan, antara lain keinginan kelompok, norma yang berlaku, pandangan terhadap kelompok lain serta upaya penyelesaian kelompok. Dengan mengkomunikasikan berbagai kepentingan diharapkan bisa mendapatkan resolusinya. Workshop pada proses resolusi konflik, kelompok sosial menjadi subjek yang berperan aktif. Ada tiga peran kelompok sosial dalam resolusi konflik, Satu; kelompok sosial dapat dilihat sebagai mikrokosmik dari sebuah sistem yang lebih besar, dimana kelompok sebagai arena dimana sistem yang lebih besar itu berada. Sehingga normanorma yang diinginkan bersama dapat terbentuk untuk mendukung tercapai resolusi. Dua; selain itu dalam workshop antar kelompok yang berkonflik dibentuk suatu koalisi agar mampu membentuk kesamaan tujuan dan kepentingan. Meskipun dalam kenyataannya sangat sulit membentuk koalisi antar kelompok yang berkonflik karena berhadapan dengan berbagai hal termasuk norma dan kepemimpinan. Tiga langkah berikutnya adalah menciptakan hubungan baru, artinya mengembangkan prinsip resiprositas antar kelompok yang berkonflik, yang tentunya

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009 berkaitan dengan keunggulan masing-masing kelompok. Dengan terciptanya hubungan baru maka diharapkan konflik dapat diredam dan dapat diselesaikan dengan mencari alternatif yang lebih baik. Ketiga peran kelompok sosial dalam penyelesaian konflik secara interaktif ini merupakan analog atau gambaran konflik riil. Hasil workshop yang terkesan hanya berada didunia abstrak setidaknya cukup memberikan informasi bagi konstribusi resolusi konflik. Kesimpulan Keberagaman kelompok sosial dalam integrasi nasional Indonesia bukanlah suatu hal yang mudah untuk ditangani namun bukan pula suatu hal yang rumit karena integrasi merupakan suatu proses yang selalu berlanjut dan tidak pernah berhenti. Konflik sosial yang terjadi lebih pada perbedaan norma, sikap dan prasangka yang tidak terkomunikasikan dengan baik. Integrasi nasional dalam kerangka nation building bukan hanya masalah negara hanya masalah negara baru ataupun negara plural, namun juga masalah semua negara demi menjaga eksistensinya. Elit sebaiknya bersikap proaktif terhadap segala bentuk potensi konflik yang ada. Konflik sosial yang terjadi juga bukan tanggungjawab pemimpin/elit semata, namun juga tanggungjawab kelompok (termasuk individu didalamnya) yang turut membentuk norma, sikap dan prasangka terhadap kelompok lain. Pengkajian masalah internasional bukanlah monopoli pengkajian ilmu hubungan internasional, karena permasalahan internasional juga dapat dikaji dari ilmu lain.

UNI INTERNATIONALE DEVADATTA 2009 DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu, Psikologi Sosial, (Rineka Cipta, Jakarta, 1991) Buzan, Barry, People, State and Fear, (Harvester Wheatsheaf, London, 1995) Gerungan, W.A., Psikologi Sosial, (PT. Eresco Bandung, 1991) Goldstein, Joshua S., International Relations, 2nd edition, (Harper Collins Publisher Inc. New York, 1996) Ryan, Stephen, Ethnic Conflict and International Relations, (Darmouth Publishing Company, England, 1990) Stavehagen, Rodolfo, The Ethnic Question : Conflict, Development and Human Rights (United Nations Univ.Press, Tokyo, 1990) Kelman,

Herbert

C.,

Group

Conflicts:Experiences

Processes

from

The

in

The

Resolution

Israeli-Palestinian

of

International

Case,

(American

Psychologist, March 1997, 52/3) p. 212-220 Rothchild, Donald & David A. Lake, Containing Fear: The Origins and Management of Ethnic Conflict, (International Security 1996,2/21) p.57 http://chiron.valdosta.edu/whuitt/col/regsys/maslow.html

SUMBER MAKALAH : http://jurnal.bl.ac.id/wp-content/uploads/2007/02/TRANS-Vol1No3-artikel4-Desember2006.pdf. Untuk menautkan atau menandai situs ini, gunakan URL berikut: http://www.google.com/search?q=cache:Ad0GphIkmToJ:jurnal.bl.ac.id/wp content/uploads/2007/02/TRANS-Vol1-No3artikel4Desember2006.pdf+Kelompok+Sosial&hl=id&ct=clnk&cd=7&gl=id|

Related Documents


More Documents from "John Connor"