Kejahatan Pencurian Dengan Kekerasan.pdf

  • Uploaded by: andre kurnia
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kejahatan Pencurian Dengan Kekerasan.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 13,444
  • Pages: 87
KEJAHATAN PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH PECANDU NARKOTIKA DI TINJAU DARI SUDUT KRIMINOLOGI DI KOTA PONTIANAK

SKRIPSI

Oleh :

MUHAMMAD NOOR HAFIFI NIM. A01111086

KEMENTERIAN RISET,TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS TANJUNGPURA FAKULTAS HUKUM PONTIANAK 2015

KEJAHATAN PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH PECANDU NARKOTIKA DI TINJAU DARI SUDUT KRIMINOLOGI DI KOTA PONTIANAK

SKRIPSI

Oleh :

Muhammad Noor Hafifi NIM. A01111086

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

KEMENTERIAN RISET,TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS TANJUNGPURA FAKULTAS HUKUM PONTIANAK 2015

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum wr.wb

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas karunia dan rahmat-Nya yang telah diberikan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Dalam penulisan skripsi ini tentunya penulis tidak akan mungkin dapat menyelesaikan skripsi tanpa adanya bantuan bimbingan, arahan baik bantuan dalam bentuk bagaimana cara memperoleh data atau cara menulis desain penelitian skripsi dengan baik dan benar. Karena itu penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Tamrin Usman, DEA, selaku Rektor Universitas Tanjungpura Pontianak; 2. Bapak Dr. Syarif Hasyim Azizurrahman,S.H.M.HUM, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak; 3. Bapak Paulus Nyangkar Sufmana, S.H, M.Si, selaku Pembimbing Utama dalam Penulisan Skripsi ini; 4. Bapak Mei Sulawesi Yanto, S.H, M.H,selaku Pembimbing Pembantu dalam Penulisan Skripsi ini; 5. Bapak Dr. Syarif Hasyim Azizurrahman, S.H.M.Hum, selaku Pembahas Utama dalam Penulisan Skripsi ini;

i

6. Ibu Hj. Herlina, S.H M.H,selaku Pembahas Pendamping dalam Penulisan Skripsi ini; 7. Bapak Sahata Simamora, S.H.M.H, selaku Ketua Bagian Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak; 8. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Dosen serta Karyawan/Karyawati Dilingkungan Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak; 9. Ketua Pengadilan Negeri Pontianak; 10. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Hakim Pengadilan Negeri Pontianak; 11. Bapak Kepala Lapas Kelas II A Pontianak; 12. Teman-teman Mahasiswa Fakultas Hukum Angkatan 2011.

Secara khusus perkenankanlah penulis menyampaikan rasa cinta dan kasih sayang serta terima kasih kepada Papa,Mama dan Adik, beserta seluruh keluarga yang telah memberikan Doa dan dukungan kepada Penulis selama ini.

Akhirnya,semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua.

Wassalamu’alaikum wr.wb

Pontianak, 5 Juli 2015 Penulis

Muhammad Noor Hafifi NIM. A01111086

ii

ABSTRAK Skripsi ini berjudul : ”Kejahatan Pencurian Dengan Kekerasan Yang Dilakukan Oleh Pecandu Narkotika Di Tinjau Dari Sudut Kriminologi Di Kota Pontianak”. Kejahatan merupakan suatu penomena yang sangat komplek yang dapat dipahami dari berbagai sisi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar tentang suatu peristiwa kejahatan yang terjadi dan berbeda satu dengan lainnya. Dalam pengalaman kita ternyata tak mudah untuk memahami kejahatan itu sendiri. Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang khusus mempelajari tentang kejahatan. Kejahatan pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh pecandu narkotika di

Kota Pontianak dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir

mengalami peningkatan . Hal tersebut menibulkan keresahan di tengah – tengah masyarakat dimana salalah faktor yang menyebabkan pecandu narkotika melakukan pencurian dengan kekerasan adalah karena kurangnya biaya untuk membeli narkotika. Kriminologi sebagai ilmu pembantu dalam hukum pidana yang memberikan sebab

pemahaman yang mendalam tentang

fenomena kejahatan,

dilakukannya kejahatan dan upaya yang dapat menanggulangi

kejahatan,yang bertujuan untuk menekan laju perkembangan kejahatan. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode Penelitian Empiris dengan pendekatan Deskriptif Analisis, yaitu dengan menggambarkan dan menganalisa berdasarkan fakta atau data yang ada yang terkumpul sebagaimana adanya pada saat penelitian

ini

dilakukan.

Perubahan yang terjadi dengan cepat pada kehidupan masyarakat tidak hanya membawa dampak positif bagi kehidupan masyarakat itu sendiri, tetapi dapat juga membawa dampak negatif. Dampak negatif ini timbul karena anggota masyarakat kurang mampu secara cepat untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan-

perubahan yang timbul dalam kehidupan masyarakat sehingga dapat memicu timbulnya tindakan untuk melakukan hal-hal yang dapat merugikan hak-hak orang lain,kemudian untuk menjaga hak-hak atau kepentingan orang lain tersebut agar tidak terganggu,maka dibuatlah aturan atau ketentuan-ketentuan hukum. Aturan-aturan atau ketentuan hukum yang telah dibuat tersebut diharapkan dapat dijadikan masyarakat sebagai pedoman berperilaku yang nantinya apabila ketentuan hukum itu dijadikan sebagai pedoman berprilaku, maka hukum dan masyarakat dapat menilai perilaku mana yang boleh dilakukan dan perilaku mana yang tidak boleh dilakukan masyarakat. Penilaian yang dilakukan oleh hukum yang didasari oleh norma-norma tertentu dan agar hukum tersebut ditaati oleh masyarakat, maka hukum harus dilengkapi pula dengan adanya sanksi yang dapat dijatuhkan kepada masyarakat yang melanggar ketentuan hukum dengan tujuan agar masyarakat yang melanggar hukum tidak kembali melakukanya, memberikan efek jera serta untuk memberikan gambaran terhadap masyarakat lainya untuk tidak melakukan pelanggaran hukum. Seperti yang kita ketahui bahwa tujuan dibentuknya hukum salah satunya adalah untuk menjaga ketertiban dan ketentraman kehidupan masyarakat atau agar dapat terjaganya hak-hak dan kepentingan setiap individu dalam bermasyarakat. Setiap individu di dalam bermasyarakat, diharapkan dapat saling menghargai, menghormati dan tidak mengganggu atau mengambil hak-hak milik orang lain baik berupa materi maupun immaterial. Akan tetapi di dalam kehidupan bermasyarakat masih saja terjadi sikap tidak menghargai, menghormati, mengganggu, bahkan mengambil hak milik orang lain dengan cara melakukan pelanggaran hukum, seperti halnya kejahjatan pencurian dengan kekerasan yang terjadi di kota Pontianak pada tahun 2012 terdapat 10 (sepuluh) kasus, 2013 terdapat 11 (sebelas) kasus, dan 2014 terdapat 15 (lima belas ) kasus. Setiap individu yang melakukan pelanggaran hukum dalam hal ini adalah mengambil hak-hak milik orang lain dengan cara melakukan suatu kejahjatan tentu ada faktor-faktor yang melatar belakangi individu tersebut kenapa ia melakukan perbuatan melanggar hukum, misalnya faktor ekonomi, lingkungan pergaulan, keluarga atau bahkan akibat dari penyalahgunaan Narkotika misalnya.

Ganja dan Kokain yang dilakukan oleh setiap individu sehingga individu tersebut berani melakukan kejahjatan. Hal ini dikarenakan bahwa bukan tidak mungkin ketika seorang penyalahguna atau pecandu Narkotika yang telah kecanduan atau menjadi pecandu Narkotika, disatu sisi ia harus terus menerus menggunakan obat terlarang tersebut dan disisi lain pula ia tidak dapat memenuhinya,sehingga akibat dari tidak terpenuhinya keinginan individu tersebut maka besar kemungkinan individu tersebut akan melakukan pelanggaran hukum dalam hal ini adalah salah satunya melakukan suatu kejahjatan pencurian, baik pencurian yang klasifikasinya pencurian biasa, berencana, bahkan sampai pada pencurian yang disertai dengan kekerasan .pencurian yang disertai dengan kekerasan merupakan perbuatan ang mengambil milik orang lain yang isertai dengan kekerasan yang dapat berupa dari pemukulan sehingga dapat dengan melukai korban bahkan membunuh korban. Perkembangan dunia ini tidak hanya membawa pengaruh besar kepada Negara Indonesia tetapi juga kepada perkembangan masyarakat, perilaku, maupun pergeseran budaya dalam masyarakat. Terlebih lagi setelah masa reformasi ekonomi Indonesia semakin terpuruk. Tidak hanya terjadi krisis ekonomi tetapi juga terjadi krisis moral, terjadi peningkatan jumlah penduduk, kesenjangan sosial, peningkatan pengangguran dengan otomatis membuat gairah seseorang semangkin meningkat untuk melakukan suatu tindakan kejahatan. Dengan desakan ekonomi tersebut banyak orang mengambil jalan pintas untuk menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang dalam memenuhi kebutuhanya, sehingga untuk daerah urban yang padat penduduk, angka kriminalitasnya sangat tinggi di bandingkan dengan daerah pedesaan. Setiap

wilayah

mempunyai

kultur

dan

kebudayaan

yang

beranekaragam. Hal ini dilihat dari segi sosial, ekonomi dan budaya yang berbedabeda, dengan sendirinya kejahatan di suatu daerah akan berbeda pula. Salah satu fenomena kejahatan yang semakin sering terjadi di kota-kota besar di Indonesia yaitu aksi pencurian dengan kekerasan. Khususnya untuk kota Pontianak, praktek kejahatan akan pencurian dengan kekerasan tahun-tahun ini mengalami peningkatan yang sangat signifikan dan dari tahun ke tahun pula selalu

berkembang dan bertambah banyak dari motif pencurian dengan kekerasan tersebut. Berbicara mengenai kejahatan pencurian dengan kekerasan, tentu terdapat sanksi pidana yang harus diterima bagi pelaku kejahatan tersebut sebagaimana yang telah diatur dalam KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) yang sanksinya berupa pidana penjara paling lama sembilan tahun, dan apabila perbuatan tersebut dilakukan oleh dua orang atau lebih dan menyebabkan luka berat diancam dengan pidana penjara dua belas tahun, dan apabila akibat dari perbuatan tersebut menyebabkan kematian maka dipidana dengan pidana penjara lima belas tahun, bahkan diancam dengan pidana mati

Kata Kunci

: Kriminologi Pencurian dengan kekerasan

iii

DAFTAR ISI Halaman

KATA PENGANTAR .................................................................................

i

ABSTRAK ....................................................................................................

iii

DAFTAR ISI ................................................................................................

iv

DAFTAR TABEL ........................................................................................

vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..........................................................

1

B. Rumusan Masalah ...................................................................

5

C. Tujuan Penelitian ....................................................................

6

D. Kerangka Pemikiran ................................................................

6

1. Tinjauan Pustaka .................................................................

6

2. Kerangka konsep ................................................................ 17 E. Hipotesis .................................................................................. 19 F. Metode Penelitian .................................................................... 20 BAB II : TINDAK PIDANA PENCURIAN, KEKERASAN, NARKOTIKA DITINJAU DARI SUDUT KRIMINOLOGI A. Pengertian Tindak Pidana ......................................................... 23 B. Unsur-Unsur Tindak Pidana .................................................... 26 C. Teori - Teori Tentang Penyebab Terjadinya Kejahatan ............. 28 D. Pengertian Pencurian .............................................................. 35 E. Pengertian Kekerasan .............................................................. 36

iv

F. Pengertian Kriminologi ............................................................ 41 G. Faktor-Faktor Terjadinya Tindak Pidana ................................. 46 H. Upaya Penanggulangan Kejahatan ……………………………. Pencurian dngan kekerasan ....................................................... 49 BAB III

PENGOLAHAN DATA A. Analisis Data............................................................................ 53 B. Pembuktian Hipotesis ............................................................... 66

BAB IV : PENUTUP A. Kesimpulan .............................................................................. 68 B. Saran ........................................................................................ 69 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….. . 70 LAMPIRAN ………………………………………………………………. . 72

v

DAFTAR TABEL Tabel 1

Jumlah Pecandu Narkotika Pelaku Kejahatan Pencurian Dengan Kekerasan Di Wilayah Hukum Kota Pontianak

Tabel 2

Faktor Narapidana Melakukan Kejahatan Pencurian Dengan Kekerasan

Tabel 3

Vonis Hakim Terhadap Narapidana Melakukan Kejahatan Pencurian Dengan Kekerasan

Tabel 4

Waktu Pelaku Melakukan Kejahatan Pencurian Dengan Kekerasan

Tabel 5

Barang Atau Objek Yang Dicuri Narapidana Kejahatan Pencurian Dengan Kekerasan

Tabel 6

Jenis Narkotika Yang Digunakan Narapidana Kejahatan Pencurian Dengan Kekerasan

Tabel 7

Bentuk Kekerasan Yang Dilakukan Narapidana Pencurian Dengan Kekerasan

Tabel 8

Frekuensi Narapidana Melakukan Kejahatan Pencurian Dengan Kekerasan

Tabel 9

Upaya Hukum Terhadap Pecandu Narkotika Melakukan Pencurian

………………...Dengan Kekerasan

vi

1

BAB 1 PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Masalah Perubahan yang terjadi dengan cepat pada kehidupan masyarakat tidak hanya membawa dampak positif bagi kehidupan masyarakat itu sendiri, tetapi dapat juga membawa dampak negatif. Dampak negatif ini timbul karena anggota masyarakat kurang mampu secara cepat untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan yang timbul dalam kehidupan masyarakat sehingga dapat memicu timbulnya tindakan untuk melakukan hal-hal yang dapat merugikan hak-hak orang lain,kemudian untuk menjaga hak-hak atau kepentingan orang lain tersebut agar tidak terganggu,maka dibuatlah aturan atau ketentuan-ketentuan hukum. Aturan-aturan atau ketentuan hukum yang telah dibuat tersebut diharapkan dapat dijadikan masyarakat sebagai pedoman berperilaku yang nantinya apabila ketentuan hukum itu dijadikan sebagai pedoman berprilaku, maka hukum dan masyarakat dapat menilai perilaku mana yang boleh dilakukan dan perilaku mana yang tidak boleh dilakukan masyarakat. Penilaian yang dilakukan oleh hukum yang didasari oleh norma-norma tertentu dan agar hukum tersebut ditaati oleh masyarakat, maka hukum harus dilengkapi pula dengan adanya sanksi yang dapat dijatuhkan kepada masyarakat yang melanggar ketentuan hukum dengan tujuan agar masyarakat

yang

melanggar

hukum

1

tidak

kembali

melakukanya,

2

memberikan efek jera serta untuk memberikan gambaran terhadap masyarakat lainya untuk tidak melakukan pelanggaran hukum. Seperti yang kita ketahui bahwa tujuan dibentuknya hukum salah satunya adalah untuk menjaga ketertiban dan ketentraman kehidupan masyarakat atau agar dapat terjaganya hak-hak dan kepentingan setiap individu dalam bermasyarakat. Setiap individu di dalam bermasyarakat, diharapkan dapat saling menghargai, menghormati dan tidak mengganggu atau mengambil hak-hak milik orang lain baik berupa materi maupun immaterial. Akan tetapi di dalam kehidupan bermasyarakat masih saja terjadi sikap tidak menghargai, menghormati, mengganggu, bahkan mengambil hak milik orang lain dengan cara melakukan pelanggaran hukum, seperti halnya kejahjatan pencurian dengan kekerasan yang terjadi di kota Pontianak pada tahun 2012 terdapat 10 (sepuluh) kasus, 2013 terdapat 11 (sebelas) kasus, dan 2014 terdapat 15 (lima belas ) kasus. Setiap individu yang melakukan pelanggaran hukum dalam hal ini adalah mengambil hak-hak milik orang lain dengan cara melakukan suatu kejahjatan tentu ada faktor-faktor yang melatar belakangi individu tersebut kenapa ia melakukan perbuatan melanggar hukum, misalnya faktor ekonomi, lingkungan pergaulan, keluarga atau bahkan akibat dari penyalahgunaan Narkotika misalnya. Ganja dan Kokain yang dilakukan oleh setiap individu sehingga individu tersebut berani melakukan kejahjatan. Hal ini dikarenakan bahwa bukan tidak mungkin ketika seorang penyalahguna atau pecandu Narkotika yang telah kecanduan atau menjadi

3

pecandu Narkotika, disatu sisi ia harus terus menerus menggunakan obat terlarang tersebut dan disisi lain pula ia tidak dapat memenuhinya,sehingga akibat dari tidak terpenuhinya keinginan individu tersebut maka besar kemungkinan individu tersebut akan melakukan pelanggaran hukum dalam hal ini adalah salah satunya melakukan suatu kejahjatan pencurian, baik pencurian yang klasifikasinya pencurian biasa, berencana, bahkan sampai pada pencurian yang disertai dengan kekerasan .pencurian yang disertai dengan kekerasan merupakan perbuatan ang mengambil milik orang lain yang isertai dengan kekerasan yang dapat berupa dari pemukulan sehingga dapat dengan melukai korban bahkan membunuh korban. Perkembangan dunia ini tidak hanya membawa pengaruh besar kepada Negara Indonesia tetapi juga kepada perkembangan masyarakat, perilaku, maupun pergeseran budaya dalam masyarakat. Terlebih lagi setelah masa reformasi ekonomi Indonesia semakin terpuruk. Tidak hanya terjadi krisis ekonomi tetapi juga terjadi krisis moral, terjadi peningkatan jumlah penduduk, kesenjangan sosial, peningkatan pengangguran dengan otomatis

membuat

gairah

seseorang

semangkin

meningkat

untuk

melakukan suatu tindakan kejahatan. Dengan desakan ekonomi tersebut banyak orang mengambil jalan pintas untuk menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang dalam memenuhi kebutuhanya, sehingga untuk daerah urban yang padat penduduk, angka kriminalitasnya sangat tinggi di bandingkan dengan daerah pedesaan.

4

Setiap

wilayah

mempunyai

kultur

dan

kebudayaan

yang

beranekaragam. Hal ini dilihat dari segi sosial, ekonomi dan budaya yang berbeda-beda, dengan sendirinya kejahatan di suatu daerah akan berbeda pula. Salah satu fenomena kejahatan yang semakin sering terjadi di kotakota besar di Indonesia yaitu aksi pencurian dengan kekerasan. Khususnya untuk kota Pontianak, praktek kejahatan akan pencurian dengan kekerasan tahun-tahun ini mengalami peningkatan yang sangat signifikan dan dari tahun ke tahun pula selalu berkembang dan bertambah banyak dari motif pencurian dengan kekerasan tersebut. Berbicara mengenai kejahatan pencurian dengan kekerasan, tentu terdapat sanksi pidana yang harus diterima bagi pelaku kejahatan tersebut sebagaimana yang telah diatur dalam KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) yang sanksinya berupa pidana penjara paling lama sembilan tahun, dan apabila perbuatan tersebut dilakukan oleh dua orang atau lebih dan menyebabkan luka berat diancam dengan pidana penjara dua belas tahun, dan apabila akibat dari perbuatan tersebut menyebabkan kematian maka dipidana dengan pidana penjara lima belas tahun, bahkan diancam dengan pidana mati. Untuk dapat menerapkan/ menjatuhkan sanksi pidana dalam arti untuk penegakan hukumnya sudah pasti melalui proses hukum, mulai dari tingkat proses penyidikan di Kepolisian, Kejaksaan sampai pada proses persidangan di Pengadilan. Keberhasilan dalam pengungkapan perkara kejahjatan dalam proses penegakan hukumnya hingga memberikan putusan

5

terhadap tersangka/ terdakwa tergantung dari keberhasilan aparat penegak hukum dapat menemukan/ mengungkapkan fakta-fakta, baik berupa barang bukti dan alat bukti termasuk dalam pengungkapan kejahatan pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh pecandu Narkotika. Sehubungan mengenai kejahatan pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh pecandu Narkotika, memang pada umumnya tersangka atau terdakwa pada saat diperiksa pada tingkat pemeriksaan penyidikan dan pemeriksaan pada sidang pengadilan sulit untuk mengakui/ memberikan keterangan bahwa motif daripada tersangka tersebut melakukan kejahatan dikarenakan untuk membeli Narkotika, hal tersebut juga didasari karena apabila tersangka atau terdakwa mengakui bahwa motif daripada tersangka melakukan kejahjatan karena ingin membeli Narkotika tentu hal tersebut dapat menyebabkan memperberat hukuman tersangka atau terdakwa. Berdasarkan uraian yang telah penulis kemukakan diatas maka, penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut dalam bentuk penelitian skripsi dengan judul: ”KEJAHATAN PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH PECANDU NARKOTIKA DI TINJAU DARI SUDUT KRIMINOLOGI DI KOTA PONTIANAK.”

B.

Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian diatas, maka penulis dapat merumuskan masalah penelitian sebagai berikut: “Mengapa

6

Pecandu Narkotika Melakukan Pencurian Dengan Kekerasan Di Tinjau Dari Sudut Kriminologi Di Kota Pontianak”.

C.

Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut 1.

Untuk memperoleh data dan informasi mengenai kejahatan pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh pecandu Narkotika ditinjau dari sudut kriminologi di Kota Pontianak;

2.

Untuk mengungkapkan apa yang menjadi faktor penyebab pecandu Narkotika melakukan pencurian dengan kekerasan ditinjau dari sudut kriminologi di Kota Pontianak;

3.

Untuk mengetahui akibat hukum terhadap pecandu Narkotika melakukan pencurian dengan kekerasan ditinjau dari sudut kriminologi di Kota Pontianak;

4.

Untuk mengungkapkan upaya hukum terhadap pecandu Narkotika melakukan pencurian dengan kekerasan ditinjau dari sudut kriminologi di Kota Pontianak;

D. Kerangka Pemikiran 1. Tinjauan Pustaka Ditinjau dari aspek kriminologi, maka batasan-batasan kriminologi terlebih dahulu akan dibahas sesuai pendapat Prof.Bonger W.A. bahwa :

7

“ Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya”1 Kemudian menurut Soejono dirjosisworo bahwa : Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari sebab akibat, perbaikan dan pencegahan kejahatan sebagai gejala manusia dengan menghimpun sumbangan-sumbangan

berbagai

ilmu

pengetahuan.

Tegasnya

kriminologi merupakan sarana untuk mengetahui sebab -sebab kejahatan dan akibatnya,mempelajari cara-cara memperbaiki penjahat dan cara-cara mencegah kemungkinan timbulnya kejahatan “2 Dari beberapa pengertian di atas,peran kriminologi dalam menunjang ilmu pengetahuan hukum pidana cukup besar. Dibawah

ini

ada

beberapa

faktor

penyebab

yang

bias

mempengaruhi perilaku seseorang untuk melakukan kejahatan : Nafsu ingin memiliki, bahwa kesengsaraan dalam masyarakat merupakan suatau yang bersifat sosiologis dalam terjadinya kejahatan, sekarang sudah diakui oleh umum. Pengaruh alcohol, terhadap kejahatan dibedakan antara yang krhonis dan akut. Hingga pada bagian kedua dari abad ke- 18 orang gila diperlakukan seperti penjahat , jadi sejak penghabisan abad ke 18 sudah

1

Sudirman Kartohadiprodjo, “Pengantar tata hokum Indonesia “ Hal.11 dan 18. Drs.C.S.T.kasil,SH “Pengantar ilmu Hukum dan tata Hukum Indonesia “, Balai Pustaka. Jakarta 1989 Hal. 38 2

8

menjadi

ketetapan,bahwa

beberapa

kejahatan

adalah

karena

terganggunya jiwa para pelaku.”3 Suatu kejahatan yang disebabkan ,dimana terhadap pelakunya dikenakan hukum pidana. Pengertian dari kejahatan tersebut yaitu : “ perbuatan yang sangat anti sosoial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari Negara berupa pemberian penderitaan ( hukuman atau tindakan).”4 Sedangkan paul Mudigno pengertian kejahatan adalah sebagai berikut : “ Kejahatan adalah pelanggaran norma hukum yang ditafsirkan sebagai perbuatan yang merugikan, menjengkelkan, dan harus ditindak.”5 Adapun yang merupakan unsur-unsur kejahatan yaitu : 1.

Harus ada perbuatan manusia

2.

Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dirumuskan dalam ketentuan pidana.

3.

Harus terbukti adanya kesalahan.

4.

Perbuatan itu harus melawan hukum. Kriminologi merupakan cabang ilmu pengetahuan yang muncul

pada abad ke-19 yang pada intinya merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari sebab musabab dari kejahatan.6 Pendapat para sarjana tersebut diatas kemudian tertampung dalam suatu ilmu pengetahuan yang

3

Ibid S.R.Sianturi,SH, “ Asas-asas hukum Pidana Di indonesia dan Penerapannya”, Alumni Ahaem- Patehaem Jakarta 1996 Hal.9 5 Bambang Poernomo,SH, “ Asas-asas hukum pidana “, Ghalia Indonesia,Jakarta Timur 1983 hal.91 6 Ibid 4

9

disebut Kriminologi. Menurut pandangan hukum, yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan manusia yang melanggar atau bertentangan dengan apa yang telah ditentukan dalam kaidah hukum, atau lebih tegasnya bahwa perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan dalam kaidah hukum, dan tidak memenuhi atau melawan perintahperintah yang telah ditetapkan dalam kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat dimana yang bersangkutan hidup dalam suatu kelompok masyarakat. Kejahatan adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (doleus) dan dilakukan dengan sadar dengan maksud tertentu untuk menguntungkan diri sendiri yang merugikan orang lain atau masyarakat.7 Dalam arti lain, dilihat dari segi kriminologinya, Kejahatan merupakan setiap tindakan atau perbuatan tertentu yang tindakan disetujui oleh masyarakat diartikan sebagai kejahatan. Ini berarti setiap kejahatan tidak harus dirumuskan terlebih dahulu dalam suatu peraturan hukum pidana. Jadi setiap perbuatan yang anti sosial, merugikan serta menjengkelkan masyarakat, secara kriminologi dapat dikatakan sebagai kejahatan.8 Dapatlah dikatakan bahwa kejahatan merupakan perbuatan tidak normal (tidak selaras dengan norma) atau abnormal, yang jika dilihat dari sudut sipelaku, maka penampilan perilakunya yang abnormal tersebut dapat terjadi karena beberapa kemungkinan :

7

Frandana, 2014, Definisi Kamus Hukum Online. Universitas Sumatra Utara. Soedjono. D, 1977, Ilmu Jiwa Kejahatan dalam Studi Kejahatan, Bandung: Karya Nusantara, hal. 15. 8

10

a. Oleh faktor-faktor yang bersifat psikopatologis, yaitu yang dilakukan oleh orang-orang :  Yang menderita sakit jiwa,  Yang tidak sampai sakit jiwa, tetapi terdapat kelainan karena kondisi IQ-nya dan sebagainya. b. Oleh faktor-faktor kegiatan jiwa yang wajar, namun terdorong menyetujui melanggar undang-undang yang dilakukan oleh orangorang dengan perbuatan melanggar hukum secara professional.

Oleh faktor-faktor sosial yang langsung mempengaruhi individu atau kelompok sehingga yang bersangkutan mengalami kesulitan kejiwaan, yaitu yang dilakukan oleh orang-orang tidak mampu menyesuaikan diri dengan kondisi sosial yang dihadapinya. Jadi secara psikologi kejahatan adalah perbuatan manusia yang abnormal yang bersifat melanggar norma hukum yang disebabkan oleh faktor-faktor kejiwaan si pelaku kejahatan tersebut.”9Di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum (Rechtstaat) dan bukan atas kekuasaan belaka (machtstaat). Dengan demikian diharapkan hukum akan memainkan peranan penting dalam pembangunan di Indonesia, khususnya dalam proses penegakan hukum. Hukum akan memandang serta menempatkan semua warga negara dalam kedudukan yang sama di muka hukum tanpa memandang suku, ras, agama, jenis kelamin, serta kedudukan dan status sosialnya dalam masyarakat, sesuai apa yang terkandung dalam prinsip KUHAP yaitu asas legalitas.10

9

Soerdjono D, Opcit, hal. 19. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

10

11

Berbicara mengenai proses penegakan hukum, dalam hal ini terhadap pelaku kejahatan pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh pecandu Narkotika, masyarakat berharap bahwa dalam proses penegakan hukumnya benar-benar objektif, real, serta tidak diskriminatif dalam menerapkan hukum, artinya apabila terjadi perbuatan pidana maka lakukanlah proses hukum sesuai dengan prosedur atau aturan hukum yang berlaku dan tanpa melihat status sosial pelaku kejahjatan. Perbuatan-perbuatan

pidana

apabila

dilihat

dari

kacamata

kriminologis terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi atau menyebabkan terjadinya suatu kejahatan yang dilakukan masyarakat dalam hal ini adalah kejahjatan pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh pecandu Narkotika. Menurut Moelyana W Kusuma mengemukakan pendapat bahwa : “Kejahatan tidak terlepas dari prosesproses

struktur

social

ekonomi

yang

tengah

berlangsung

dan

mengkoordinasikan serta sikap perilaku warga masyarakat”.11 Dengan demikian berdasarkan pendapat di atas,

bahwa faktor

ekonomi turut mempengaruhi terjadinya suatu kejahatan pencurian dalam hal ini kejahjatan pencurian dengan kekerasan dalam hubungannya dengan pecandu

Narkotika,

dan

lebih

lanjut

Moelyana

W.

Kusuma

mengemukakan bahwa ”Walaupun kondisi buruk tidak semata-mata dengan sendirinya menimbulkan kecendrungan berperilaku jahat, akan

11

hal 3.

Moelyana W Kusuma, Kejahatan Penjahat dan Reaksi Sosial, Alumni,Bandung, 1983

12

tetapi jika terdapat tekanan-tekanan situasional telah mencapai taraf tertentu kemungkinan dilakukannya perbuatan jahat amat terbuka.”12 Menurut Andi Hamzah : Bahwa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya atau timbulya suatu kejahatan yaitu faktor yang berasal atau terdapat dalam diri si pelaku yang maksudnya bahwa yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan sebuah kejahatan atau kejahatan itu timbul dari dalam diri si pelaku itu sendiri yang didasari oleh faktor keturunan dan kejiwaan (penyakit jiwa). Faktor yang kedua adalah faktor yang berasal atau terdapat di luar diri pribadi pelaku. Maksudnya adalah bahwa yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan sebuah kejahatan itu timbul dari luar diri pelaku itu sendiri yang didasari oleh faktor rumah tangga dan lingkungan.”13 Pengertian Kejahatan Pemahaman

tentang

tindak

pidana

tidak

terlepas

dari

pemahaman tentang pidana itu sendiri. Untuk itu sebelum memahami tentang pengertian tindak pidana, terlebih dahulu harus dipahami tentang pengertian pidana. Istilah pidana tidak terlepas dari masalah pemidanaan.

Secara

umum

pemidanaan

merupakan

bidang

dari

pembentukan undang undang. Asas Legalitas tercantum dalam Pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berbunyi nullum delictum nulla poena sine praevia poenali yang artinya tiada ada suatu perbuatan

12

Ibid, hal 4. Andi Hamzah,Hukum Pidana Dan Acara Pidana, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1986,hal

13

64.

13

tindak pidana, tiada pula dipidana, tanpa adanya undang-undang hukum pidana terlebih dahulu. Ketentuan Pasal 1 KUHP menunjukkan hubungan yang erat antara

suatu tindak

pidana,

pidana

dan

undang-undang

(hukum

pidana) terlebih dahulu. Pembentuk undang-undang akan menetapkan perbuatan apa saja yang dapat dikenakan pidana dan pidana yang bagaimanakah

yang

dapat

dikenakan.

Dengan memperhatikan

keterkaitan antara suatu tindak pidana, pidana dan ketentuan atau undang-undang hukum pidana, maka pengertian pidana haruslah dipahami secara benar. Istilah pidana banyak diberikan oleh para ahli. Menurut Roeslan Saleh, pidana adalah

reaksi

atas

delik

dan

ini

berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik ini. Dengan demikian, pemidanaan adalah pemberian nestapa yang dengan sengaja dilakukan oleh negara kepada pembuat delik.”14 Di samping itu, W.A. Bonger, seorang ahli kriminologi, mengartikan pidana sebagai penderitaan yang dikenakan dengan sengaja oleh masyarakat (dalam hal ini negara) dan

penderitaan ini

hanya dapat

dikatakan sebagai pidana kalau dimasukkan dalam hukum pidana dan dinyatakan oleh hakim.15

14

A. Hamzah dan Siti Rahayu, 2000, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, hal. 24. 15 W.A Bonger, 2003, Pengantar Tentang Kriminologi, Jakarta: Pustaka Sarjana, hal. 24-25.

14

Pidana seringkali diartikan sebagai ‘suatu hukuman’. Dengan demikian dapat dikatakan pula bahwa pidana atau hukuman adalah perasaan tidak enak (yakni penderitaan dan perasaan sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang melanggar undang-undang hukum pidana. Tujuan hukuman itu menurut beberapa filsafat bermacam-macam, misalnya:16 1) Berdasar atas pepatah kuno ada yang berpendapat, bahwa hukuman adalah suatu pembalasan; 2) Ada yang berpendapat, bahwa hukuman harus dapat memberi rasa takut agar orang tidak melakukan kejahatan; 3) Pendapat

lain

mengatakan

bahwa

hukuman

itu

hanya

akan

memperbaiki orang yang telah melakukan kejahatan; 4) Pendapat lain lagi mengatakan bahwa dasar dari hukuman ialah mempertahankan tata tertib kehidupan bersama. Pengertian dari tindak pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan oleh kejahatan

Kitab

atau tindak

Undang-Undang pidana.17 Jadi

Hukum

dalam

arti

Pidana luas

sebagai hal

ini

berhubungan dengan pembahasan masalah dari sudut pandang pidana dan kriminologi, dan sebagai suatu kenisbian pandangan tentang kejahatan, deliquensi, deviasi, kualitas kejahatan berubah-ubah, proses kriminisasi dan

16

deskriminasi

suatu

tindakan

atau

tindak

pidana

R. Sugandhi, 2001, KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, hal.

12-13 17

S.R. Sianturi, 2002, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Cet. 3, Jakarta: Storia Grafika, hal. 204.

15

mengingat tempat, waktu, kepentingan dan kebijaksanaan golongan yang berkuasa dan pandangan hidup orang (berhubungan dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebudayaan pada masa dan di tempat tertentu). Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dalam bahasa Indonesia, untuk istilah dalam bahasa Belanda disebut “strafbaarfeit” atau “delik”. Di samping istilah tindak pidana, ada istilah lain yang dipakai oleh beberapa sarjana, yaitu “peristiwa pidana (Simon)”, “perbuatan pidana (Moeljatno)”. Peristiwa pidana, menurut Simon, adalah perbuatan salah dan melawan hukum dan diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu.18 Berbicara mengenai kejahjatan, dalam hal ini mengenai kejahjatan pencurian, KUHP sendiri telah mengatur beberapa ketentuan mengenai hal tersebutantara lain pasal 365 ayat (1),(2),(3),(4). Adapun ketentuanketentuan bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut : Pasal 365 1. ”Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian yangt di dahului, disertau atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian itu atau bila tertangkap tangan, untuk

18

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2004, Pokok-pokok Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya Paramita, hal. 54.

16

memungkinakan diri sendiri atau peserta lainnya untuk melarikan diri, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.” 2. Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun : 1

jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, dijalan umum, atau dalam kereta api, atau trem yang sedang berjalan;

2. 3

Jika perbuatan dilakukan dua orang atau lebih dengan bersekutu;

jika yang bersalah masuk ketempat melakukan kejahatan dengan merusak atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian anak kunci palsu;

4. jika perbuatan mengakibatkan luka berat. 5. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun; 6. Diaancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, bila perbuatan itu mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam nomor 1 dan 3 Ketentuan-ketentuan bunyi hukum

yang terdapat dalam KUHP

mulai dari pasal 362 sampai dengan 367, KUHP sendiri telah mengklasifikasikan kejahjatan pencurian menjadi empat (4) bagian yaitu: 1.

Pencurian biasa;

2.

Pencurian dengan pemberatan;

17

3.

Pencurian ringan;

4.

Pencurian dengan kasus kekerasan fisik.”19 Sedangkan R. Soesilo mengklasifikasikan pencurian menjadi lima (5)

bagian yaitu: 1.

Pencurian biasa;

2.

Pencurian dengan pemberatan;

3.

Pencurian ringan;

4.

Pencurian dengan kekerasan; Pencurian dalam Kalangan Keluarga.”20

5.

2.Kerangka konsep Tujuan hukum adalah untuk memberikan suatu keadilan, kepastian serta kemanfaatan bagi seluruh warga negara Indonesia pada umumnya dan khususnya pada Kota Pontianak sehingga tertib hukum yang diinginkan akan terwujud sesuai dengan cita-cita bersama, walaupun dalam kenyataannya bahwa ke 3 (tiga) tujuan dari hukum tersebut sangat sulit untuk dilaksanakan secara bersamaan. Salah satu kejahatan yang meresahkan masyarakat adalah kejahatan pencurian dengan kekerasan. Kejahatan ini banyak macamnya, misalnya kejahjatan pembunuhan, penganiayaan berat, pencurian dengan pemberatan, pengancaman, penculikan, dan sebagainya. Kesemua jenis kejahjatan ini diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana di Indonesia. 19

Prof. Moeljatno, S.H, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2001 20 R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),Politea Bogor, 1989.

18

Kejahatan yang terjadi di masyarakat merupakan sebuah pelanggaran terhadap hukum positif yaitu hukum pidana. Kejahatan dan pelanggaran yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bisa dilihat sebagai hukum pidana objektif yaitu suatu kejahjatan yang digolongkan menurut ketentuanketentuan hukum itu sendiri dan hukum pidana subjektif yaitu ketentuanketentuan didalam hukum mengenai hak penguasa menerapkan hukum. Perbuatan melanggar hukum dalam hal ini adalah kejahjatan pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh pecandu Narkotika, pada dasarnya hal tersebut terjadi dikarenakan akibat daripada pola hidup atau prilaku masyarakat yang cenderung mengarah kepada pola hidup yang menyimpang, misalnya bergaul dengan individu/masyarakat yang komonitas masyarakat tersebut adalah pecandu Narkotika, atau bergaul dengan individu/masyarakat yang cenderung melakukan pelanggaran hukum, sehingga apabila pola hidup menyimpang tersebut

menerus dilakukan maka besar kemungkinan

individu/masyarakat tersebut dapat terpengaruh untuk melakukan perbuatan kejahjatan atau melanggar hukum. Sehubungan mengenai munculnya atau timbulnya suatu kejahjatan dalam hal ini adalah kejahatan pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh pecandu Narkotika, maka pada dasarnya agar hal tersebut tidak terjadi atau dapat kita cegah, bukan hanya tanggungjawab aparat penegak hukum saja yang harus mencegah hal tersebut terjadi, melainkan tanggungjawab kita bersama, artinya bahwa agar hal tersebut tidak terjadi maka kita sebagai masyarakat harus bersama-sama ikut bertanggungjawab dan berperan aktif

19

dalam hal mengawasi, mencegah agar seseorang tidak melakukan perbuatan pidana, misalnya hal yang paling kecil adalah mencegah anak-anak dan sanak saudara kita untuk tidak bergaul atau berkelompok dalam komonitas masyarakat yang cenderung melakukan pelanggaran hukum.

E. Hipotesis Hipotesis berasal dari kata hypo (lemah) dan tesis (pernyataan), jadi hipotesis adalah pernyataan yang masih lemah, maka perlu dibuktikan untuk menegaskan apakah suatu hipotesis diterima atau harus ditolak berdasarkan fakta atau data empirik yang telah dikumpulkan dalam penelitian.21 Kemudian menurut Kartini Kartono hipotesa merupakan, jawaban sementara dari suatu pnelitian yang harus diuji kebenaranya dengan jalan research.22 Berdasarkan uraian-uraian atau penjelasan yang telah dikemukakan diatas, maka penulis merumuskan hipotesanya sebagai kesimpulan sementara yang masih harus dibuktikan kebenaranya dalam penelitaian nantinya. Adapun rumusan hipotesa tersebut adalah sebagai berikut : “Bahwa Pecandu Narkotika Melakukan Pencurian Dengan Kekerasan Di Kota Pontianak Di Tinjau Dari Sudut Kriminologi Dikarenakan Kecanduan Atau Faktor Kurangnya Biaya Untuk Membeli Narkotika”.

21

Amiruddin, H.Zainal Asikin,Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 2010, hal 58. 22 Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Research Social, Bandung: Penerbit Alumni, 1976.

20

F.

Metode Penelitian Adapun metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode Normatif Sosiologis (Empiris)

dengan pendekatan

diskriptif analisis, karena bermaksud akan menggambarkan secara tepat sifatsifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antar suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. keadaan teoritis dengan fakta hukum sebagaimana adanya pada saat penelitian ini dilakukan. 1.

Bentuk penelitian 1.

Studi kepustakaan yaitu penulis mencari landasan teoritis dari permasalahan penelitian yang dilakukan dengan mempelajari literatur-literatur, buku-buku ilmiah, peraturan peraturan yang berlaku serta tulisan dan pendapat para sarjana yang ada relevansinya dengan objek penelitian ini.

2.

Pengamatan atau observasi langsung yaitu penulis melakukan penelitian secara langsung ke lapangan untuk memperoleh dan mengumpulkan data.

2.

Teknik dan Alat Pengumpulan Data Menurut Soerjono Soekanto, dalam penelitian

lazimnya dikenal tiga

jenis alat pengumpulan data, yaitu studi dokumen, atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara atau interview.23 Adapun

23

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta :UI Press, 1986, hal 201

21

yang menjadi teknik dan alat pengumpulan data penulis yaitu teknik wawancara atau interview dan pengamatan atau observasi 1.

Teknik wawancara atau interview, yaitu penulis mengadakan hubungan secara langsung kepada sumber data melalui wawancara dengan subjek-subjek tertentu yang penulis anggap dapat mendukung penelitian ini, yaitu dua orang hakim dan Ketua Pengadilan Negeri Pontianak. Menurut Kerlinger, Fred N, teknik wawancara adalah situasi peran antar pribadi bertatap muka (face To face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan yang

sejalan

dengan

masalah

penelitian

kepada

seseorang

responden.24 2.

Teknik pengamatan atau observasi tidak langsung yaitu penulis menyebarkan angket atau kuesioner kepada para responden sebagai alat untuk memperoleh keterangan-keterangan.

3.

Populasi dan Sampel 1.

Populasi Populasi menurut Ronny Hanitijo Soemitro adalah seluruh objek atau seluruh unit yang akan diteliti atau dapat dikatakan populasi merupakan jumlah manusia yang mempunyai karakteristik yang sama.25 Sedangkan menurut Bambang Sunggono, populasi adalah

24

Kerlinger, Fred N, Asas-asas Behavioral, Diterjemahkan Landung R. Simatupang, gajah Mada University Press, Yogyakarta,Cet, Kelima, 1996, hal 770 25 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988,hal, 52.

22

keseluruhan atau himpunan benda (hidup atau mati) kejadian, kasus-kasus, waktu atau tempat, dengan sifat atau ciri yang sama.26 Sedangkan menurut Amiruddin Zainal Asikin populasi atau univers adalah keseluruhan unit atau manusia (dapat juga berbentuk gejala atau peristiwa) yang mempunyai ciri yang sama.27Adapun yang menjadi populasi penulis dalam penelitian ini adalah Hakim pada Pengadilan Negeri Kota Pontianak, dan Narapidana Lapas II A Pontianak. 2.

Sampel Sampel adalah bagian dari populasi yang menjadi sumber data dalam penelitian ini. Adapun cara penarikan sampel yang di pergunakan dalam penelitian ini adalah Sampel Total, sebagaimana pendapat Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Yang menyatakan sebagai berikut : ”Bahwa dalam penelitian dengan populasi yang kecil, maka di

pergunakan sampel total.”28 Berdasarkan pendapat diatas, maka penulis menetapkan sampel dalam penelitian ini adalah : 1. Ketua Pengadilan Negeri Pontianak; 2. Kepala Lapas kelas II A Pontianak; 3. Narapidana Lapas kelas II A Pontianak sebanyak 3 (tiga) Orang. 26

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, hal 118. 27 Amiruddin, H.Zainal Asikin,Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 2010, hal 95. 28 Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1981, Halaman 125.

23

BAB II PENGERTIAN TINDAK PIDANA, PENCURIAN, KEKERASAN, NARKOTIKA, KRIMINOLOGI A. Pengertian Tindak Pidana

Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggung jawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidanya sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas (Principle of legality) asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu), ucapan ini berasal dari von feurbach, sarjana hukum pidana Jerman. Asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian yaitu tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau

23

24

hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang, Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi,dan Aturanaturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.

Berbicara mengenai pengertian tindak pidana itu sendiri terdapat berbagai macam pendapat yang dikemukakan para ahli, adapun pendapatpendapat tersebut meliputi : Menurut Moeljatno tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, terhadap siapa saja yang melanggar larangan tersebut. Perbuatan tersebut harus juga dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat.29 Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro pengertian tindak pidana adalah pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu Hukum Perdata, Hukum Ketatanegaraan, dan Hukum Tata Usaha Pemerintah, yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukum pidana, maka sifat-sifat yang ada dalam suatu tindak pidana adalah sifat melanggar hukum, karena

tidak

ada

suatu

tindak

pidana

tanpa

sifat

melanggar

hukum.30Kemudian didalam bukunya tentang asas-asas hukum pidana di Indonesia Wirjono Prodjodikoro juga mengatakan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana, dan pelaku ini dapat dikatakan subjek pidana.31Sedangkan menurut Roeslan Saleh tindak

29

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Yogyakarta, 1983, hal. 55 30 ` Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Iindonesia, Bandung, Refika Aditama, 2003, hal 1 31 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT.Eresco Bandung, 1989, hal 55

25

pidana adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum, syarat utama dari adanya perbuatan pidana adalah kenyataan bahwa adanya aturan yang dilanggar.32 Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli tersebut maka dapat kita simpulkan bahwa pengertian dari tindak pidana yang dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut. Dalam hal ini maka terhadap setiap orang yang melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku, dengan demikian dapat dikatakan terhadap orang tersebut sebagai pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindak pidana. Akan tetapi haruslah diingat bahwa aturan larangan dan ancaman mempunyai hubungan yang erat, oleh karenanya antara kejadian dengan orang yang menimbulkan kejadian juga mempunyai hubungan yang erat pula. Berbicara mengenai pengertian tindak pidana maka Bambang Poernomo, berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan pidana akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut: “Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa 32

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan pertanggungjawaban Pidana, Bina Aksara baru, Jakarta, 1983, hal 9.

26

yang melanggar larangan tersebut”. Adapun perumusan tersebut yang mengandung kalimat “Aturan hukum pidana” dimaksudkan akan memenuhi keadaan hukum di Indonesia yang masih mengenal kehidupan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis, Bambang Poernomo juga berpendapat mengenai kesimpulan dari perbuatan pidana yang dinyatakan hanya menunjukkan sifat perbuatan terlarang dengan diancam pidana. Kemudian maksud dan tujuan dari istilah tindak pidana, perbuatan melanggar hukum dan lain sebagainya adalah untuk mengalihkan bahasa dari istilah asing stafbaar feitnamun belum jelas apakah disamping mengalihkan bahasa dari istilah sratfbaar feitdimaksudkan untuk mengalihkan makna dan pengertiannya, juga oleh karena sebagian besar kalangan ahli hukum belum jelas dan terperinci menerangkan pengertian istilah, ataukah sekedar mengalihkan bahasanya, hal ini yang merupakan pokok perbedaan pandangan, selain itu juga ditengan-tengan masyarakat juga dikenal istilah kejahatan yang menunjukan pengertianperbuatan melanggar norma dengan mendapat reaksi masyarakat melalui putusan hakim agar dijatuhi pidana.

B.

Unsur-Unsur Tindak Pidana Dalam menjabarkan sesuatu rumusan delik atau perbuatan pidana kedalam unsur-unsurnya, maka yang pertama kita jumpai adalah disebutkan sesuatu tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang terlarang oleh undang-undang. Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) padaumumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari

27

unsur subjektif dan unsur objektif. Maksud dari unsur subjektif itu sendiri yaitu unsur-unsur yang melekat pada diri pelaku atau yang berhubungan dengan diri pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaankeadaan mana tindakan-tindakan dari pelaku itu harus di lakukan. Adapun unsur-unsur subjektif dari pelaku tindak pidana itu sendiri yaitu : a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau Culpa); b. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP; c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain; d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; e. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. Kemudian unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu sendiri meliputi : a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid; b. Kwalitas dari pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan

28

sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP; c. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

C.

Teori - Teori Tentang Penyebab Terjadinya Kejahatan Dalam kriminologi dikenal adanya beberapa teori yang dapat dipergunakan

untuk

menganalisis

permasalahan-permasalahan

yang

berkaitan dengan kejahatan. Teori-teori tersebut pada hakekatnya berusaha untuk mengkaji dan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan penjahat dengan kejahatan, namun dalam menjelaskan hal tersebut sudah terdapat hal-hal yang berbeda antara satu teori dengan teori lainnya. Menurut Made Darma Wede (1996:15-20) mengemukakan teori-teori kriminologi tentang kejahatan, sebagai berikut :”33 1.

Teori Klasik Teori ini muncul di Inggris pada pertengahan abad ke-19 dan tersebar di Eropa dan Amerika. Toeri ini berdasarkan psikologi hedonistik. Menurut psikologi hedonistik setiap perbuatan manusia berdasarkan pertimbangan rasa senang dan rasa tidak senang (sakit). Setiap manusia berhak memilih mana yang baik dan mana yang buruk, perbuatan mana yang mendatangkan kesenangan dan yang mana yang tidak.

33

hal. 15-20.

Made Darma Wede, 1996, Kriminologi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,

29

Menurut beccaria dalam bukunya Made Darma Weda bahwa setiap orang yang melanggar hukum telah memperhitungkan kesenangan dan rasa sakit yang diperoleh dan perbuatan tersebut. That the act which i do is the act which i think will give me most pleasure. Lebih lanjut menurut Beccaria bahwa: Semua orang yang melanggar Undang-undang tertentu harus menerima hukuman yang sama, tanpa mengingat umur, kesehatan jiwa, kaya miskinnya, posisi sosial dan keadaan-keadaan lainnya. Hukuman yang dijatuhkan harus sedemikian beratnya, sehingga melebihi suka yang diperoleh dai pelanggaran Undang-undang tersebut. Berdasarkan pendapat Beccaria tersebut setiap hukuman yang dijatuhkan sekalipun pidana yang berat sudah diperhitungkan sebagai kesenangan yang diperolehnya, sehingga maksud pendapat Beccaria adalah untuk mengurangi kesewenagan dan kekuasaan hukuman. Pendapat ekstrim tersebut dipermak menjadi dua hal : 1. Anak-anak dan orang-orang gila mendapat

pengecualian dasar

pertimbangan bahwa mereka tidak mampu untuk memperhitungkan secara intelegen suka dan duka. 2. Hukuman ditetapkan dalam batas-batas tertentu, tidak agi secara absolut, untuk memungkinkan sedikit kebijaksanaan. Konsep keadilan menurut teori ini adalah suatu hukuman yang pasti untuk perbuatan-perbuatan dan tanpa memperhatikan pula kemungkinan adanya peristiwa-peristiwa tertentu yang memaksa terjadinya perbuatan tersebut.

30

2.

Teori Neo Klasik Teori ini sebenarnya merupakan revisi atau pembaharuan teori klasik. Dengan demikian teori neo klasik ini tidak menyimpang dari konsepkonsepsi umum tentang sifat-sifat manusia yang berlaku pada waktu itu. Doktrin dasarnya rasio yang berkehendak bebas dan karenanya bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya dan dapat dikontrol oleh rasa ketakutannya terhadap hukum. Ciri khas teori neoklasik adalah sebagai berikut : a. Adanya perlunakan/perubahan pada doktrin kehendak bebas. Kebebasan kehendak untuk memilih dapat dipengaruhi oleh: 1) Patologi, ketidakmampuan untuk bertindak, sakit jiwa, atau lainlain keadaan yang mencegah seseorang untuk memperlakukan kehendak bebasnya. 2) Premiditasi, yang dijadikan ukuran dari kebebasan kehendak, tetapi hal ini menyangkut terhadap hal-hal yang aneh, sebab jika benar, maka pelaku pidana untuk pertama kali harus dianggap lebih bebas untuk memilih daripada residivis yang terkait dengan kebiasaan-kebiasaanya, dan oleh karenanya harus dihukum dengan berat. b. Pengakuan dari pada sahnya keadaan yang merubah ini dapat berupa fisik (cuaca, mekanis,dan sebagainya) keadaankeadaan lingkungannya atau keadaan mental dari individu. c. Perubahan doktrin tanggung jawab sempurna untuk memungkinkan perubahan hukuman menjadi tanggung jawab sebagaian saja. Sebabsebab utama untuk mempertanggungjawabkan seseorang untuk sebagian saja adalah kegilaan, kedunguan, usia dan lain-lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan niat seseorang pada waktu kejahatan. d. Dimasukkan persaksian/keterangan ahli didalam acara pengadilan untuk menentukan besarnya tanggung jawab, untuk menentukan apakah si terdakwa mampu memilih antara yang benar dan yang salah.”34

34

Purnianti dan Moh. Kemal Darmawan. 1994. Mashab Dan Penggolongan Teori Dalam Kriminologi, Citra Aditya Bakti: Bandung, hal.30.

31

Berdasarkan ciri khas teori neo-klasik, tampak teori neo-klasik menggambarkan ditinggalkannya kekuatan yang supra-natural, yang ajaib (gaib), sebagai prinsip untuk menjelaskan dia membimbing terbentuknya pelaksanaan hukum pidana. Dengan demikian teori-teori neo-klasik menunjukkan

permulaan

pendekatan

yang

naturalistik

terhadap

perilaku/tingkah laku manusia. Gambaran mengenai manusia sebagai boneka yang sebagai makhluk yang berkehendak sendiri, yang bertindak atas dasar rasio dan intelegensia dan karena itu bertanggung jawab atas kelakuannya. Menurut A.S Alam (Kuliah Kriminologi) bahwa: Teori neo-klasik melihat bahwa orang yang tidak mampu menentukan perbuatan kejahatan. Olehnya itu menurut ajaran teori neo-klasik, anak-anak dan orang yang lemah ingatan disebabkan dari tanggung jawab atas perbuatannya. 3.

Teori Kartografi/Geografi Teori ini berkembang di Perancis, Inggris , Jerman. Teori ini mulai berkembang pada tahun 1830-1880 M. Teori ni sering pula disebut sebagai ajaran ekologis. Yang dipentingkan oleh ajaran ini adalah distribusi kejahatan dalam daerah-daerah tertentu, baik secara geografis maupun secara sosial. Menurut teori ini, kejahatan merupakan perwujudan kondisi-kondisi

sosial yang ada. Dengan kata lain bahwa kejahatan itu muncul disebabkan karena faktor dari luar manusia itu sendiri. 4.

Teori Sosialis Teori sosialis mulai berkembang pada tahun 1850 M. Para tokoh aliran ini banyak dipengaruhi oleh tulisan dari Marx dan Engels, yang lebih

32

menekankan pada determinasi ekonomi. Menurut para tokoh ajaran ini, kejahatan timbul disebabkan oelh adanya tekanan ekonomi yang tidak seimbang dalam masyarakat. A.S Alam (Kuliah Kriminologi) memberikan pandangannya bahwa terjadinya kejahatan disebabkan oleh adanya faktor ketidak adilan sosial di dalam masyarakat. Satjipto Rahardjo (A.S Alam, Kuliah Kriminologi) berpendapat bahwa, kejahatan itu merupakan bayang-bayang manusia maka dari itu makin tinggi peradapan manusia makin tinggi pula cara melakukan kejahatan. Berdasarkan kedua pendapat tersebut di atas, maka untuk melawan kejahatan itu haruslah diadakan peningkatan di bidang ekonomi. Dengan kata lain kemakmuran, keseimbangan dan keadialan sosial akan mengurangi terjadinya kejahatan. 5.

Teori Tipologis Di dalam kriminologi telah berkembang empat teori yang disebut dengan teori tipologis atau bio-typologis. Keempat aliran tersebut mempunyai kesamaan pemikiran dan metodoligi. Mereka mempunyai asumsi bahwa terdapat perbedaan antara orang jahat dengan orang yang tidak jahat. Keempat teori tipologis tersebut dalah sebagai berikut: a. Teori Lombroso/Mazhab Antropologis Teori ini dipelopori oleh Cesare Lombroso. Menurut Lombroso, kejahatan merupakan bakat manusia yang dibawah sejak lahir (criminal is bom). Selanjutnya ia mengatakan bahwa ciri khas seseorang penjahat dapat dilihat dari keadaan fisiknya yang mana sangat bebeda dengan manusia lainnya.

33

Adapun beberapa proposisi yang dikemukakan oleh Lombroso yaitu:35 1) 2)

Penjahat dilahirkan dan mempunyai tipe-tipe yang berbeda. Tipe ini biasa dikenal dari beberapa ciri tertentu seperti tengkorak yang asimetris, rahang bawah yang panjang, hidung yang pesek, rambut janggut yang jarang, dan tahan terhadap rasa sakit. 3) Tanda-tanda lahiran ini bukan merupakan penyebab kejahatan tetapi merupakan tanda pengenal kepribadian yang cenderung mempunyai perilaku kriminal. 4) Karena adanya kepribadian ini, mereka tidak dapat terhindar dari melakukan kejahatan kecuali bila lingkungan dan kesempatan tidak memungkinkan. 5) Penganut aliran ini mengemukakan bahwa penjahat seperti pencuri, pembunuh, pelanggar seks dapat dibedakan oleh ciri-ciri tertentu. Aliran Lombroso ini bertujuan untuk membantah aliran klasik dalam persoalan determinasi melawan kebebasan kemauan dan kemudian membantah teori Tarde tentang theory of imitation (Le lois de’l imitation). Teori Lombroso ini, dibantah oleh Goring dengan membuat penelitian perbandingan. Hasil penelitiannya tersebut, Goring menarik kesimpulan bahwa tidak ada tanda-tanda rohaniah untuk menyatakan penjahat itu memiliki suatu tipe. Menurut Goring bahwa:36 Kuasa kejahatan itu timbul karena setiap manusia mempunyai kelemahan/cacat yang dibwah sejak lahir, kelemahan/cacat inilah yang menyebabakan orang tersebut melakukan kejahatan. Dengan demikian Goring dalam mencari kuasa kejahatan kembali pada faktor psikologis, sedangkan faktor lingkungan sangat kecil pengaruhnya terhadap seseorang. b. Teori Mental Tester Teori mental Tester ini muncul setelah runtuhnya teori Lombroso. Teori ini dalam

35 36

Ibid, hal.16 Ibid, hal.17.

metodologinya

34

mengemukakan tes mental untuk membedakan penjahat dan bukan penjahat. Menurut Goddard bahwa:37 Setiap penjahat adalah orang yang otaknya lemah, karena orang yang otaknya lemah tidak dapat menilai perbuatanya, dan dengan demikian tidak dapat pula menilai akibat dari perbuatanya tersebut atau menangkap serta menilai arti hukum. Berdasarkan pendapat tersebut, teori ini memandang kelemahan otak merupakan pembawaan sejak lahir dan merupakan penyebab orang melakukan kejahatan. 6.

Teori Psikiatrik Teori psikiatrik merupakan lanjutan teori-teori Lombroso dengan melihat tanpa adanya perubahan pada ciri-ciri morfologi (yang berdasarkan struktur). Teori ini lebih menekankan pada unsur psikologis, epilepsi dan moral insanity sebagai sebab-sebab kejahatan. Teori psikiatrik ini, memberikan arti penting kepada kekacauan emosional, yang dianggap timbul dalam interaksi sosial dan bukan karena pewaris. Pokok teori ini adalah organisasi tertentu dari pengaruh jahat, tetapi tetap akan manghasilkan kelakuan jahat tanpa mengingat situasi-situasi sosial.

7.

Teori Lingkungan Teori ini biasa juga disebuat sebagai mazhab Perancis. Menurut teori ini, seseorang melakukan kejahatan karena dipengaruhi oleh faktor di sekitarnya/lingkungan, baik lingkungan keluarga, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan termasuk dengan pertahanan dengan 37

Ibid, hal.18.

35

dunia luar, serat penemuan teknologi. Masuknya barang- barang dari luar negeri seperti televisi, buku-buku serta film dengan bebagai macam reklame sebagai promosinya ikut pula menentukan tinggi rendahnya tingkat kejahatan. Menurut Tarde bahwa:”38 Orang menjadi jahat disebabkann karena pengaruh imitation. Berdasarkan pendapat Tarde tersebut, seseorang melakukan kejahatan karena orang tersebut meniru keadaan sekelilingnya. 8.

Teori Biososiologis Tokoh dari aliran ini adalah A,D, Prins,Van Humel, D. Simons dan lainlain. Aliran biososiologi ini sebenarnya merupakan perpaduan dari aliran antropologi dari aliran sosiologis, olah karena ajarannya didasarkan bahwa tiap-tiap kejahatan itu timbul karena faktor individu seperti keadaan psikis dan fisik dari si penjahat dan juga karena faktor lingkungan. Berdasarkan beberapa teori yang telah dipaparkan di atas yaitu teori kriminologi tentang kejahatan, maka terhadap faktor yang menyebabkan meningkatnya pencurian ringan terhadap korban wanita di wilayah hukum Polresta Pontianak

penulis memandang teori

lingkungan lebih tepat untu dijadikan sebagai acuan, lingkungan yang baik

dimana pada

tidak ada atau sulit untuk terjadinya tindak

kriminal dan sebaliknya pada lingkungan yang memiliki potensi untuk terjadinya tndak pidana, maka memungkinkan untuk memicu timbulnya tindak pidana.

38

Ibid, hal.20.

36

D.

Pengertian Pencurian Pengertian secara umum mengenai pencurian adalah mengambil barang milik orang lain. Kemudian dari segi bahasa (etimologi) penurian berasal dari kata “curi” yang mendapat awalan “pe” dan memperoleh Askhiran “an”. Dan arti dari pada curi adalah sembunyi-sembunyi atau diam-diam atau tidak dengan cara yang sah atau juga melakukan pencurian dengan sembunyi-sembunyi atau tidak diketahui oleh orang lain perbuatan tersebut. Orang yang mencuri barang yang merupakan barang milik orang lain disebut sebagai pencuri. Sedangkan pencurian sendiri berarti perbuatan atau perkara yang berkaitan dengan mencuri Mencuri berarti mengambil barang milik orang lain secara tidak sah atau dengan cara melawan hukum.

E.

Pengertian Kekerasan Kekerasan merupakan suatu bentuk kejahatan.Kejahatan merupakan kata sifat yang dibentuk dari akar kata “jahat” yang berarti sangat jelek, buruk dan sangat tidak baik.Pengertian ini mengacu kepada prilaku atau tabiat serta perbuatan seseorang. Kemudian dilihat dari segi hukum pengertian kejahatan menurut Soedjono Dirjosisworo adalah pelanggaran norma hukum yang ditafsirkan sebagai perbuatan yang merugikan, menjengkelkan dan tidak boleh dibiarkan. Sedangkan menurut A.S Alam kejahatan di lihat dari dua sudut pandang yaitu : a.

Dari sudut pandang hukum (a crime from the legal point of view), kejahatan adalah tingkah laku yang melanggar hukum pidana, bagaimanapun jeleknya suatu perbuatan sepanjang tidak dilarang di

37

dalam perundang-undangan pidana, perbuatan itu dianggap perbuatan yang bukan kejahatan; b. Dari sudut pandang masyarakat (a crime from the social point of view), dalam masyarakat. Kemudian menurut Zakaria Idris kekerasan adalah Kekerasan adalah perihal yang berciri atau bersifat keras dan atau perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Maksud daripada penjelasan ini adalah bahwa kekerasan kekerasan itu merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau penderitaan pada orang lain. Salah satu unsur penting yang harus adalah berupa paksaan atau ketidakrelaan atau tidak adanya persetujuan pihak lain yang dilukai. Sedangkan menurut Mansour Faqih(Abdul Wahid : 2001 :31) pengertian kekerasan adalah Kata “kekerasan” merupakan bagian dari kata “violence” dalam bahasa Inggris, meskipun keduanya memiliki konsep yang berbeda. Kata “violence” diartikan di sini sebagai suatu serangan atau invasi (assault)

terhadap

fisik

maupun

integritas

mental

psikologis

seseorang.Sedangkan kata kekerasan fisik belaka.”Pandangan daripada Mansour Faqih itu menunjuk pengertian kekerasan pada objek fisik maupun psikologis.Hanya saja titik tekannya pada bentuk penyerangan secara fisik seperti melukai atau menimbulkan luka, cacat atau ketidaknormalan pada fisik-fisik tertentudan dapat pula yang terjadi adalah kekerasan fisik namun berdampak lebih lanjut pada aspek psikologis. Orang yang menjadi korban

38

kekerasan fisik dapat saja mengalami penderitaan psikologis yang cukup parah seperti stress kemudian bunuh diri. Kemudian menurut S.R Sianturi kekerasan adalah setiap perbuatan denganmenggunakan tenaga terhadap orang atau barang yang dapat mendatangkan kerugian bagi yang terancam.39 Sedangkan menurut R. Soesilo kekerasan berarti mempergunakan tenagaatau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak syah misalnyamemukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata,menyepak, menendang dan lain sebagainya.”40 Jadi pada dasarnya kekerasan atau ancaman kekerasan tersebutharus ditujukan kepada orang, bukan pada benda ataupun barang yangdapat dilakukan sebelumnya atau sesudah pencurian itu dilakukan,apabila tujuan untuk menyiapkan, memudahkan pencurian, dan jikatertangkap tangan ada kesempatan bagi dirinya atau kawannya yang turutmelakukan untuk melarikan diri atau barang yang dicuri tetap ada ditangannya. Seperti yang kita ketahui bahwa didalam KUHP sebagaimana yang terdapat dalam pasal 89 juga telah diatur terkait megenai kekerasan, yang bunyi dari pasal tersebut adalah membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa yang dimaksud kejahatan dengan kekerasan adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum yang membawa akibat-akibat cedera atau menyebabkan matinya orang lain.

39

S.R. Sianturi, 1986, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem-Petehean, Jakarta. 40 R. Soesilo, 1996, KUHP dan Komentar-Komentarnya Lengkap, Politeia, Bogor

39

Di era globalisasi saat ini yang semakin berkembangnya tekhnologi dan diiringi pula oleh semakin meningkatnya kriminalitas yang terjadi di masyarakat, kejahatan dengan kekerasan adalah suatu problema yang senantiasa

muncul di tengah-tengah masyarakat, masalah tersebut

berkembang dan membawa akibat tersendiri sepanjang masa. Mengenai kejahatan dengan kekerasan ini Pasal 170 KUHP (Moeljatno, 1996 : 65) menjelaskan bahwa : 1.

Barangsiapa secara terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan;

2. Yang bersalah diancam : a. Dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, jika dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka; b. Dengan pidana penjara 9 (sembilan) tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat; c. Dengan pidana penjara 12 (dua belas) tahun, jika kekerasan mengakibatkan meninggal dunia. Dari sudut pandang kriminologi, kejahatan kekerasan seperti yang dikemukakan oleh Stefen Scahfer (Mulyana W. Kusuma, 1982 : 24-25) adalah kejahatan dengan kekerasan yang utama adalah pembunuhan, penganiayaan berat serta perampokan dan pencurian berat. Menurut Martin R. Haskel dan Lewis Yablonski (Mulyana W. Kusuma, 1984 : 25) bahwa

40

mengenai pola-pola kekerasan terdapat dalam empat kategori yang mencakup hampir semua pola-pola kekerasan yakni : 1.

Kekerasan legal, kekerasan ini dapat berupa kekerasan yang didukung oleh hukum. Misalnya tentara yang melakukan tugas dalam peperangan;

2.

Kekerasan yang secara social memperoleh sanksi merupakan suatu faktor penting dalam menganalisa kekerasan adalah dukungan atau sanksi sosialnya terhadapnya, misalnya tindakan kekerasan seorang suami terhadap istrinya yang berzina akan memperoleh dukungan social dari masyarakat.

3.

Kekerasan rasional, beberapa kekerasan yang tidaak legal akan tidak ada sanksi soasialnya adalah kejahatan yang dipandang rasional dalam kejahatan. Misalnya : pembunuhan dalam kerangka suatu kejahatan yang terorganisir.

4.

Kekerasan yang tidak berperasaan, kekerasan seperti ini disebut irrational violence yang terjadi tanpa provokasi terlebih dahuklu, tanpa memperhatikan motifasi tertentu dan pada umumnya korban tidak dikenal oleh pelakunya. Berbicara mengenai kejahatan dengan kekerasan, terdapat berbagai

macam bentuk dan jenis kejahatan dengan kekerasan yang dikemukakan oleh ahli kriminologi diantaranya oleh Stefen Scahfer (Mulyana W. Kusuma, 1984 : 24) adalah kejahatan kekerasan yang utama yaitu

41

pembunuhan, penganiayaan berat, pencurian dengan kekerasan, sedang pelakunya adalah mereka yang melakukan kejahatan yang mengakibatkan kematian maupun luka bagi sesama manusia.Kejahatan-kejahatan kekerasan perorangan atau individual dapat diketahui dalam tindakan seperti pembunuhan, perkosaan dan penganiayaan merupakan pelanggaranpelanggaran hukum yang paling menakutkan. Masyarakat lapisan sosial bawah yang tingkat ekonominya lebih rendah atau lebih kecil, mudah untuk melakukan kejahatan dengan kekerasan, seperti perampokan.Kejahatankejahatan dengan kekerasan di negara-negara berkembang sesungguhnya tidak dapat dilepaskan kaitannya dari kekerasan struktural yang terwujud sebagai

pola-pola

hubungan

dalammasyarakat

yang

mencerminkan

ketidakrataan dan ketidakadilan dalam penguasaan dan pengendalian sumber-sumber daya.

F.

Pengertian kriminologi Pengertian Kriminologi Kriminologi dilahirkan pada pertengahan abad ke-19, sejak di kemukakannya hasil penyelidikan Cesare Lambrosso (1876) tentang teori mengenai atavisme dan tipe penjahat serta munculnya teori mengenai hubungan kausalitas bersama Enrico Ferri sebagai tokoh aliran lingkungan dari kejahatan. Kriminologi pertengahan abad XX telah membawa

perubahan

pandangan.

Kriminologi

menyelidiki

kausa

kejahatan dalam masyarakat kemudian mulai mengalihkan pandangannya kepada proses pembentukan perundang-undangan yang berasal dari

42

kekuasaan (Negara) sebagai penyebab munculnya kejahatan dan para penjahat baru dalam masyarakat.”41 Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Nama kriminologi yang ditemukan oleh P. Tonipard (1830-1911) seorang ahli antropologi Perancis, secara harfiah berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat.42 Kejahatan sebagai fenomena sosial yang dipengaruhi oleh berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat seperti politik, ekonomi, sosial budaya dan hal-hal lain yang berhubungan dengan upaya pertahanan keamanan Negara. Oleh karena itu, kriminologi bersifat dinamis dalam irama perubahan sosial dan nuansa pembangunan yang berkesinambungan. Kriminologi memiliki cakupan studi yang begitu luas sehingga kriminologi menjadi sebuah kajian interdisipliner terhadap kejahatan. Kriminologi tidak hanya tentang peristiwa dan bentuk kejahtan, tetapi juga menjangkau penelusuran mengenai penyebab atau akar kejahatan. Bahkan kriminologi juga mengkaji pengendalian kejahatan serta mengkaji reaksiterhadap kejahatan baik formal maupun informal, baik reaksi pemerintah maupun reaksi masyarakat secara keseluruhan.

41

Romli Atmassasmita, 2010, Teori dan kapita selekta Kriminologi, Bandung,

hal. 3. 42

Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2010, Kriminoiogi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 9.

43

Ada berbagai definisi mengenai kriminologi menurut para sarjana salah satu nya menurut M. P. Vrij yang mendefinisikan kriminologi sebagai ilmu yang mempelajari kejahatan, mula-mula mempelajari kejahatan itu sendiri, kemudian sebab-sebab serta akibat dari kejahatan itu sendiri.”43 Sedangkan menurut pendapat dari sarjan lainnya yaitu Soedjono Dirjosisworo mengartikan kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari sebab, akibat, perbaikan dan pencegahan kejahatan sebagai gejala manusia dengan menghimpun sumbangan dari berbagai ilmu pengetahuan.”44 Menurut pendapat para sarjana menngenai definisi kriminologi tegasnya dapat

disimpulkan kriminologi merupakan sarana untuk

mengetahui sebabsebab kejahatan dan akibatnya, mempelajari cara-cara mencegah kemungkinan timbulnya kejahatan. Hermann Mannheim mengemukakan 3 (tiga) pendekan dalam kriminologi dalam upaya mempelajari kejahatan yaitu : a. ”45Pendekatan Deskriptif, yakni pendekatan dengan cara melakukan observasi dan pengumpulan data yang berkaitan dengan fakta-fakta tentang kejahatan dan pelaku kejahatan seperti bentuk tingkah laku kriminal, bagaimana kejahatan dilakukan, frekuensi kejahatan pada waktu dan tempat yang berbeda, cirri-ciri khas pelaku kejahatan, seperti usia, jenis kelamin dan sebagainya, serta perkembangan karir seseorang

43

Indah Sri Utari, 2012, Aliran dan Teori dalam Kriminologi, Thafa Media, Semarang,

44

Ibid, hal 4. Made Darma Weda, 1996, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.2.

hal.3. 45

44

pelaku kejahatan. Pada tindak pidana pencurian ringan, pendekatan deskriptif memandang pada tempat – tempat atau lokasi yaang mana dapat menumbuhkan potensi untuk terjadinya tindak kriminal diantaranya tindak pidana pencurian ringan. b. Pendekatan Sebab-Akibat dalam pendekatan sebab-akibat, fakta-fakta yang terdapat didalam masyarakat dapat ditafsirkan untuk mengetahui sebab musabab kejahatan. Hubungan sebab-akibat dalam kriminologi berbeda dengan hubungan sebab-akibat yang terdapat dalam hukum pidana. Dalam hukum pidana, agar suatu perkara dapat dilakukan penuntutan, harus dapat dibuktikanadanya hubungan sebab-akibat antara suatu perbuatan dengan akibat yang dilarang. Sedangkan didalam kriminologi hubungan sebab-akibat dicar dalam konteks pertanyaan mengapa orang tersebut melakukan kejahatan. Usaha untuk mengetahui kejahatan dengan menggunakan pendekan sebab-akibat ini dikatakan sebagai etiologi kriminil (etiology of crime). tindak pencurian ringan yang terjadi merupakan suatu akibat dari beberapa sebab yang dapat memicu diantaranya kondisi atau keadaan wanita sebagai korban pencurian ringan. c. Pendekatan Normatif Dalam pendekatan ini kriminologi dikenal sebagai idiographicdiscipline yaitu dikaenakan kriminolog mempelajari fakta-fakta, sebab-akibat dan kemungkinan-kemungkinan dalam kasus yang bersifat individual, dan nomothetic-discipline yang bertujuan untuk menemukan dan mengungkap hukum-hukum yang bersifat

45

ilmiah,

yang

diakui

keseragaaman

dan

kecenderungan-

kecenderungannya.Hal tersebut dapat dikatakan dengan kondisi atau keadaan yang mendukung untuk terjadinya tindak pidana pencurian ringan ditambah dengan sebab – sebab yang dapat memicu terjadinya tindak pidana pencurian ringan dan dihubungkan dengan adanya ketentuan- ketentuan hukum yang ada serta norma – norma yang berlaku di masyarakat. W.A.Bonger

memberikan

definisi

kriminologi

sebagai

ilmu

pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. Melalui definisi ini, W.A.Bonger lalu membagi kriminologi ini menjadi kriminologi murni yang mencakup : 1.

Ruang Lingkup Kriminologi Murni a.

Antropologi Kriminil, yaitu ilmu tentang manusia yang jahat (somatic). Ilmu pengetahuan ini memberikan jawaban atas pertanyaan

tentang

orang

jahat

dalam

tubuhnya

mempunyai tanda-tanda seperti apa. Apakah ada hubungan suku bangsa dengan kejahatan dan seterusnya; b.

Sosiologi Kriminil,

yaitu ilmu pengetahuan tentang

kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat; c.

Psikologi Kriminil,

yaitu ilmu pengetahuan tentang

penjahat dilihat dari sudut kejiwaannya; d.

Psikopatologi dan Neuropatologi Kriminil, yaitu ilmu tentang penjahat yang sakit jiwa atau urat syaraf; dan

46

e.

Penologi, yaitu ilmu mengenai tumbuh dan berkembangnya hukuman.”46

2.

Ruang Lingkup Kriminologi Terapan, Meliputi : a.

Hygiene Kriminal, yaitu tujuan yang ingin dicapai ialah untuk mencegah terjadinya kejahatan.

b.

Politik Kriminal, yaitu tujuan yang ingin dicapai adalah penangulangan

pemerintah

terhadap

kejahatan

didalam

masyarakat melalui program-program pemerintahan sehingga diharpkan akan menekan terjadinya kejahatan yang meresahkan warga masyarakat. c.

Kriminalistik,

yaitu

untuk

mengungkap

kejahatan,

pengetahuan kriminalistik dimanfaatkan untuk menerapkan teknik pengusutan dan penyidikan secara scientific (pengetahuan ilmiah). Berkaitan dengan definisi kriminologi dapatlah ditarik kesimpulan bahwa kriminologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kejahatan dan bagaimana

upaya-upaya

penanggulangannya.

Mengenai

fungsi

kriminologi dalam proses penyidikan pada perkara pidana pelaku tindak pidana pencurian ringan, harus pula diadakan pendekatan secara deskriptif dengan melakukan observasi dan pengumpulan fakta-fakta tentang kejahatan dan pelaku kejahatan, seperti: a. Berbagai bentuk tingkah laku kriminal; 46

W.A Bonger, 1981. Pengantar Tentang Krimiologi, PT.Pembangunan, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal 9-10.

47

b. Bagaimana kejahatan tersebut dilakukan; c. Frekuensi kejahatan pada tempat dan waktu yang berbeda-beda; d. Usia, jenis kelamin dan ciri khas lainnya dari pelaku kejahatan; Perkembangan karakteristik seorang pelaku kejahatan.’47

G.

Faktor-Faktor Terjadinya Tindak Pidana Tindakan kriminal merupakan salah satu bentuk dari prilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada setiap masyarakat, dan tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan. Kejahatan merupakan suatu masalah dunia, artinya bahwa kejahatan akan selalu ada dalam setiap masyarakat dan kualitas maupun kuantitasnya selalu meningkat dari waktu ke waktu. Dalam perkembangannya tentang kejahatan atau kriminologi terus menimbulkan berbagai pendapat dari berbagai pakar kriminolog dan pakar ilmu hukum. Setidaknya berikut ini akan dikemukakan beberapa penyebab kejahatan, yaitu :”48 1.

Anomie (ketiadaan norma) atau strain (ketegangan). Teori anomie dan penyimpangan budaya memusatkan perhatian pada kekuatan-kekuatan sosial (social force) yang menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal.Teori ini berasumsi bahwa kelas sosial dan tingkah laku kriminal saling berhubungan.Pada penganut teori anomie beranggapan bahwa seluruh anggota masyarakat mengikuti seperangkat

47 48

Romli Atmasasmita, Op. Cit, hal. 2. A.S. Alam, 2010, Pengantar Kriminologi. Makassar: Pustaka Refleksi, hal 45-46.

48

nilai-nilai budaya, yaitu nilai-nilai budaya kelas menengah yakni adanya anggapan bahwa nilai budaya terpenting adalah keberhasilan dalam ekonomi.Karena orang-orang kelas bawah tidak mempunyai saranasarana yang sah (legitimate means) untuk mencapai tujuan tersebut seperti gaji tinggi, bidang usaha yang maju dan lain-lain, mereka menjadi frustasi dan beralih menggunakan sarana-sarana yang tidak sah (illegitimate means). 2. Cultural Deviance (penyimpangan budaya). Sangat berbeda dengan teori itu, teori penyimpangan budaya mengklaim bahwa orang-orang dari kelas bawah memiliki seperangkat nilai-nilai yang berbeda, yang cenderung konflik dengan nilai-nilai kelas menengah. Sebagai konsekuensinya, manakalah orang-orang kelas bawah mengikuti sistem nilai mereka sendiri, mereka mungkin telah melanggar normanorma konvensional dengan cara mencuri, merampok dan sebagainya. 3. Social Control (kontrol sosial). Sementara itu pengertian teori kontrol sosial merujuk kepada pembahasan delinquency dan kejahatan yang dikaitkan dengan variable-variabel yang bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga, pendidikan dan kelompok domain. Faktor-faktor yang berperan dalam timbulnya kejahatan, Walter Lunden berpendapat bahwa gejala yang dihadapi Negara-negara yang sedang berkembang adalah sebagai berikut : a. Gelombang urbanisasi remaja dari desa ke kota-kota jumlahnya cukup besar dan sukar dicegah.

49

b. Terjadi konflik antara norma adat pedesaan tradisional dengan normanorma baru yang tumbuh dalam proses dan pergeseran sosial yang cepat, terutama di kota-kota besar. c. Memudarkan pola-pola kepribadian individu yang terkait kuat pada pola kontrol sosial tradisionalnya, sehingga anggota masyarakat terutama remajanya menghadapi “samarpola” (ketidaktaatan pada pola) untuk menentukan prilakunya. Berikut ialah beberapa faktor terjadinya tindak pidana perampokan (Pencurian) yang terdiri dari dua sudut pandang, yaitu : 1. Pelaku Perampokan atau pencurian pada dasarnya disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : a. Ekonomi yang belum mencukupi. b. Sifat-sifat buruk atau jahat yang berasal dari nenek moyangnya. c. Karena sifat-sifat kepribadian. d. Kelainan-kelainan fisik. e. Lingkungan.”49 Unsur-unsur kejahatan terutama Pencurian terdiri dari beberapa unsur yaitu : i. Terlantarnya anak-anak dan sebagainya. ii. Kesengsaraan. iii. Nafsu ingin memiliki. iv. Alkoholisme. 49

Yurisal D. Aesong, 2013, Sebab dan Masalah Kejahatan, pada 15 November 2014,

hal.15. 16.Ibid, hal 16

50

v. Kurangnya Peradaban. vi. Perang Atau Kerusuhan.”50 2. Korban Dilihat dari sudut pandang korban bahwa suatu tindak pidana penurian juga diakibatkan oleh korbannya, berikut ialah uraiannya : a. Adanya kelalaian dari korban. b. Kurangnya berhati-hati dalam bepergian. c. Tidak menyembunyikan barang mewah saat bepergian.

H.

Upaya Penanggulangan Kejahatan Pencurian dngan kekerasan Upaya Penanggulangan Kejahatan Secara Umum 1.

Upaya Represif Adalah usaha yang dilakukan untuk menghadapi pelaku kejahatan seperti dengan pemberian hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku dimana tujuan diberikan hukuman agar pelaku jera , pencegahan serta perlindungan sosial. Pidana sebagai salah satu bentuk realisasi atau respons terhadap kejahatan yang merupakan salah satu objek kriminologi. Disinilah pentingnya Litmas (Perlindungan Masyarakat) dari ahli psikologi maupun ahli sosial dari BISPA sehingga diketahui secara jelas latar belakang seseorang melakukan kejahatan. Berdasarkan hal itu aparat penegak hukum mempunyai pedoman dalam menentukan jenis hukuman yang cocok dengan kondisi pelaku, Pasal 10 KUHP mengatur jenis pidana tersebut yaitu:

50

51

a. Pidana pokok:pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda b. Pidana tambahan: pencabutan beberapa hak tertentu, pencabutan beberapa barang tertentu, pengumuman putusan hakim Ada juga pidana alternatif berupa pidana bersyarat bagi pelaku yang dipandang tidak dapat bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukannya (Pasal 44 KUHP), pidana lain bagi yang masih di bawah umur (Pasal 45,46, 47 KUHP)Menurut paham Determinisme pelanggar tidak

perlu dikenakan pidana karena orang tidak

mempunyai kehendak bebas dalam melakukan perbuatan tapi dipengaruhi oleh watak pribadi, faktor biologis dan faktor lingkungan masyarakat, kejahatan merupakan manifestasi keadaan jiwa seseorang yang abnormal sehingga pelaku tidak bisa disalahkan dan tidak bisa dipidana(Lombroso, Garofalo, Terri) Hal itu ditentang Roselan Saleh karena: 1. Pidana tidak terletak pada prsoalan tujuan yang hendak dicapai tapi pada persoalan seberapa jauh mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan. 2. Adanya usaha perbaikan dan perawatan tidak mempunyai arti sama sekali bagi siterhubung dan harus ada reaksi atas pelanggaran norma yang dilakukannya. 3. Pengaruh pidana bukan semata ditujukan pada penjahat tapi juga untuk mempengruhi masyrakat mentaati norma-norma masyarakat

52

2. Upaya Preventif Yaitu upaya penanggulangan non penal (Pencegahan) seperti: -

Memperbaiki keadaan sosial dan ekonomi masyarakat meningkatkan kesadaran hukum serta disiplin masyarakat

-

Meningkatkan pendidikan moral

53

BAB III PENGOLAHAN DATA

A.

Analisis Data

Untuk menganalisis data dari hasil penelitian lapangan dengan menggunakan kuesioner (angket) sebagai alat komunikasi tidak langsung, sedangkan untuk komunikasi langsung dapat dengan menggunakan wawancara sebagai alat pengumpul data. Berdasarkan hal di atas, maka digunakanlah metode Empiris dengan pendekatan diskriptif analisis, yaitu menggambarkan keadaan yang sebenarnya pada penelitian ini dilaksanakan. Adapun yang menjadi tujuan digunakannya metode ini adalah untuk dijadikan dasar dalam pembuktian hipotesis sebagaimana yang telah dirumuskan pada bagian awal penelitian ini.

Dalam penelitian ini yang menjadi sampel adalah: 4. Ketua Pengadilan Negeri Pontianak; 5. Kepala Lapas kelas II A Pontianak; 6. Narapidana Lapas kelas II A Pontianak.

Sebagai langkah awal dari analisis data ini terlebih dahulu perlu diketahui mengenai jumlah Kejahatan Pencurian dengan kekerasan di wilayah hukum Kota Pontianak tiga tahun terakhir mulai dari tahun 2011 hingga tahun 2014. Untuk lebih jelasnya dapat diketahui pada tabel berikut : 53

54

TABEL 1

JUMLAH PECANDU NARKOTIKA PELAKU KEJAHATAN PENCURIAN DENGAN KEKERASAN DI WILAYAH HUKUM KOTA PONTIANAK

No.

Tahun

F

%

1

2012

10

27,7

2

2013

11

30,5

3

2014

15

41,6

Jumlah

36

100

Sumber : Pengadilan Negeri Kota Pontianak

Dari tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa pada tahun 2012 terjadi 10 kasus pencurian dengan kekerasan

di wilayah hukum Kota Pontianak

dengan prosentase sebanyak 27,7%, pada tahun 2013 terjadi 11 kasus pencurian dengan kekerasan di wilayah hukum Kota Pontianak dengan prosentase sebanyak 30,5%, pada tahun 2014 terjadi 15 kasus pencurian dengan kekerasan di wilayah hukum Kota Pontianak dengan prosentase sebanyak 41,6%.

Melihat hal tersebut menunjukkan kejahatan pencurian dengan kekerasan selama kurun waktu mulai tahun 2012 hingga tahun 2014 masih

55

terjadi mengalami grafik naik titap terjadi tiap tahunnya.Untuk itu memerlukan upaya upaya hukum untuk menanggulangi kejahatan pencurian dengan kekerasan agar masyarakat dapat hidup aman, tenang dan damai dan terhindar dari perbuatan – perbuatan yang terecela dan melanggar hukum.Terhadap pelaku pencurian dengan kekerasan di wilayah hukum Kota Pontianak perlu dilakukan diberikan bimbingan dan penyuluhan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Selanjutnya mengenai

faktor penyebab narapidana melakukan

kejahatan kekerasan di Kota Pontianak.

Untuk lebih jelasnya dapat diketahui pada tabel berikut :

TABEL 2 FAKTOR NARAPIDANA MELAKUKAN KEJAHATAN PENCURIAN DENGAN KEKERASAN

NO Alternatif Jawaban 1 Narkotika

Jumlah 3

Frekuensi 100

2

Faktor Lingkungan

-

3.

Faktor Dendam

-

4.

Faktor dari dalam diri sendiri

3

0 0 100

Sumber Data : Hasil Penelitian Lapangan

Dari tabel 1 di atas dapat dilihat mengenai faktor penyebab narapidana melakukan kejahatan kekerasan di Kota Pontianak bahwa keseluruhan

56

narapidana yang menjadi responden pada penelitian ini menyatakan bahwa mereka melakukan kejahatan Pencurian dengan kekerasan karena faktor Narkotika, sedangkan responden menjawab faktor penyebab mereka melakukan kejahatan pencurian dengan kekerasan dikarenakan faktor lingkungan, faktor dendam, dan faktor dari diri sendiri tidak ada.

Selanjutnya untuk mengetahui Vonis yang diberikan Hakim kepada narapidana pencurian dengan kekerasan, kekerasan dapat dilihat dari tabel berikut ini :

TABEL 3 VONIS HAKIM TERHADAP NARAPIDANA MELAKUKAN KEJAHATAN PENCURIAN DENGAN KEKERASAN

NO

Alternatif Jawaban

Frekuensi

%

1

1 - Tahun

3

100

2

6 -10 tahun

-

0

3.

Di atas 10 Tahun

-

0

3

100

Sumber Data : Hasil Penelitian Lapangan

57

Dari tabel 2 di atas, dapat diketahui Vonis yang diberikan Hakim kepada narapidana pencurian dengan kekerasan yaitu keseluruhan responden 3 orang (100%) responden divonis 1 - tahun

Berdasarkan data yang dapat kita lihat pada menunjukkan narapidana

tabel 2 di atas

kejahatan pencurian dengan kekerasan

mendapatkan ganjaran yang setimpal dengan perbuatan yang dilakukan. Narapidana pencurian dengan kekerasan selama menjalani hukuman di Lapas tentu membutuhkan perhatian dari keluarga, karena hal tersebut dapat menjadikan narapidana dapat menyesali perbuatan melawan hukum yang

dilakukan dan narapidana

tindapk pidana pencurian dengan

kekerasan menjadi insyaf. Selanjutnya untuk mengetahui waktu, kondisi dan situasi sehingga memungkinkan dan mempermudah pelaku untuk melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan dapat dilihat dari tabel berikut ini :

58

TABEL 4 WAKTU PELAKU MELAKUKAN KEJAHATAN PENCURIAN DENGAN KEKERASAN

NO

Alternatif Jawaban

Jumlah

Frekuensi

1

Keadaan jalan yang sepi

2

60

2

Keadaan jalan yang ramai

-

0

3.

Malam hari

1

40

3

100

Sumber Data : Hasil Penelitian Lapangan

Dari tabel 4 di atas, dapat diketahui bahwa waktu, kondisi dan situasi pelaku pencurian dengan kekerasan sebanyak 3 orang (60%) responden menjawab pelaku melakukan pencurian dengan kekerasan pada saat keadaan jalan yang sepi, sebanyak 1 (satu) orang (40%) responden responden menjawab pelaku melakukan pencurian dengan kekerasan pada malam hari, dan tidak ada responden yang menjawab pelaku melakukan pencurian dengan kekerasan pada saat jalanan sedang ramai.

Berdasarkan data yang dapat kita lihat pada menunjukkan

pelaku

tindak

pidana

pencurian

tabel 4 di atas dengan

melakukan aksinya pada kesaat keadaan jalan yang sepi.

kekerasan

59

Selanjutnya, untuk mengetahui barang atau objek apa yang dicuri narapidana dari korban dapat kita lihat pada tabel berikut ini :

TABEL 5

BARANG ATAU OBJEK YANG DICURI NARAPIDANA KEJAHATAN PENCURIAN DENGAN KEKERASAN

No

Alternatif

F

%

1.

Sepeda Motor

1

33,3

2.

Handphone

1

33,3

3.

Perhiasan Emas

1

33,3

Jumlah

3

100

Sumber : data lapangan yang diolah.

Pada tabel di atas mengenai barang atau objek apa yang dicuri narapidana tindak pidana pencurian dengan kekerasan dari korban bahwa sebanyak 1 orang (33,3%), responden menjawab bahwa barang atau objek apa yang dicuri narapidana tindak pidana pencurian dengan kekerasan dari korban adalah Sepeda Mptor, sebanyak 1 orang (33,3%), responden menjawab bahwa barang atau objek apa yang dicuri narapidana tindak

60

pidana pencurian dengan kekerasan dari korban adalah Handphone. Dan sebanyak 1 orang (33,3%) responden menjawab bahwa barang atau objek apa yang dicuri narapidana tindak pidana pencurian dengan kekerasan dari korban adalah perhiasan Emas.

Dari keterangan di atas, responden menjawab bahwa barang atau objek apa yang dicuri narapidana tindak pidana pencurian dengan kekerasan dari korban adalah beraneka ragam. Hal ini dilakukan oleh narapidana kejahatan pencurian dengan kekerasan dengan maksud barang dari hasil yang

dicuri

mudah

di

jual

sehingga

mereka

dapat

membeli

narkoba.Selanjutnya, untuk mengetahui jenis Narkotika yang digunakan oleh narapidana dapat kita lihat pada tabel berikut :

TABEL 6 JENIS NARKOTIKA YANG DIGUNAKAN NARAPIDANA KEJAHATAN PENCURIAN DENGAN KEKERASAN

No 1.

Alternatif

F 2

GANJA

% 60

1 2.

KOKAIN

Jumlah

40 3

100

Sumber : data lapangan yang diolah.

Dalam tabel 5 diatas, terlihat mengenai jenis Narkotika yang digunakan oleh narapidana yang melakukan tindak

pidana pencurian

61

dengan kekerasan, sebanyak 2 orang (60%) responden menjawab jenis narkotika yang mereka gunakan adalah SABU SABU, sedangkan sebanyak 1 orang (40%) responden menjawab jenis narkotika yang mereka gunakan adalah GANJA.Dari keterangan data tabel 5 diketahui jenis narkotika yang digunakan oleh narapidana yang melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan.karena tidak memiliki pennghasilan atau kerja, sehingga mendorong mereka melakukan perbuatan melawan hukum.

Selanjunya untuk mengetahui bentuk atau jenis kekerasan yang dilakukan narapidana kejahatan pencurian dengan kekerasan di Lapas IIA Pontianak dapat dilihat pada tabel berikut ini :

TABEL 7 BENTUK KEKERASAN ANG DILAKUKAN NARAPIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN

No Alternatif 1. Memukul

F 2

% 60

2.

1

40

3

100

dengan senjata tajam

Jumlah Sumber : data lapangan yang diolah.

Berdasarkan keterangan pada data tabel di atas, dapat kita lihat mengenai bentuk atau jenis kekerasan yang dilakukan narapidana

62

kejahatan pencurian dengan kekerasan di Lapas IIA Pontianak, sebanyak 2 orang (60%) responden menjawab dengan Memukul, dan sebanyak 1 orang (40%) menjawab bentuk atau jenis kekerasan yang dilakukan narapidana kejahatan pencurian dengan kekerasan di Lapas IIA Pontianak adalah dengan senjata tajam.

Selanjutnya akan kita lihat mengenai frekuensi narapidana melakukan pencurian dengan kekerasan pada tabel 8 berikut ini :

TABEL 8 FREKUENSI NARAPIDANA MELAKUKAN KEJAHATAN PENCURIAN DENGAN KEKERASAN

No

Alternatif

F

%

1.

Baru pertama kali

-

0

2.

Sering

2

60

3.

Kadang kadang

1

40

3

100

Jumlah

Sumber : data lapangan yang diolah.

Berdasarkan data pada tabel di atas dapat kita lihat mengenai frekuensi narapidana melakukan kejahatan pencurian dengan kekerasan. Tidak ada responden yang menjawab baru pertama kali melakukan kejahatan pencurian dengan kekerasan. sebanyak 2 orang (60%) responden menjawab

63

Sering melakukan kejahatan pencurian dengan kekerasan, dan sebanyak 1 orang (40%) responden menjawab kadang kadang melakukan kejahatan pencurian dengan kekerasan.

Dengan melihat kenyataan mengenai kejahatan pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh pecandu Narkotika diKota Pontianak tentunya eerlukan upaya yang harus dilalkukan.Selanjutnya, untuk mengetahui upaya hukum terhadap pecandu Narkotika melakukan pencurian dengan kekerasan dapat dilihat pada tabel berikut ini :

TABEL 9 UPAYA HUKUM TERHADAP PECANDU NARKOTIKA MELAKUKAN PENCURIAN DENGAN KEKERASAN

No Alternatif 1. meningkatkan patroli penegak hukum

2.

oleh

F 2

% 60

Masyarakat lebih berhati-hati dan lebih waspasa

1

40

3

100

Jumlah Sumber : data lapangan yang diolah.

Pada tabel 9 diatas, dapat dilihat mengenai upaya hukum terhadap pecandu Narkotika melakukan pencurian dengan kekerasan. Sebanyak 2 orang (60%) responden menjawab upaya hukum terhadap pecandu

64

Narkotika melakukan pencurian dengan kekerasan adalah meningkatkan patroli pada tempat tempat yang disinyalir rawan terjadi pencurian dengan kekerasan, dan sebanyak 1 orang (40%) responden menjawab upaya hukum terhadap pecandu Narkotika melakukan pencurian dengan kekerasan adalah Masyarakat untuklebih berhati-hati dan waspada.

Setelah analisa data dari narapidana

kejahatan pencurian dengan

kekerasan , berikut ini akan dikemukakan hasil wawancara dengan Kepala Lapas kelas II A Pontianak sebagai berikut : 1. 2.

Lamanya Kepala Lapas kelas II A Pontianak bertugas; Narapidana yang terdapat di Lapas Kelas IIA Pontianak bermacam – macam kasus;

3.

Narapidana pencurian dengan kekerasan disebabkan karena faktor Ekonomi,. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan terhadap Narkoba dan melakukan perbuatan yang melanggar hukum;

4.

Motif atau alasan narapidana melakukan pencurian dengan kekerasan karena tidak ingin membeli barang berharga dengan mencari uang dengan mudah karena menganggur dan malas kerja.

Penulis juga melakukan wawancara dengan Ketua Pengadilan Negeri Pontianak, adapun hasil wawancara sebagai berikut : 1.

Lamanya Ketua Pengadilan Negeri Pontianak menjabat?

65

2.

Selama Menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Pontianak pernah menangani

kasus kejahatan dengan kekerasan di lingkungan

Kewenangan

3.

Faktor yang menyebabkan pelaku melakukan kejahatan Pencurian dengan kekerasan adalah faktor ekonomi sehingga tidak mampu membeli narkotika

4.

Pelaku kejahatan pencurian dengan kekerasan pernah melakukan kejahatan lain

5.

Jika pelaku pencurian dengan kekerasan pernah melakukan kejahatan lain maka akan diproses sesuai dengan ketentuan huum yang berlaku

6. Upaya yang dilakukan terhadap penanggulangan kejahatan pencurian dengan kekerasan belum ioptimal karena masih kurangnya pemahaman masyarakat terhadap ketentuan hukum yang berlaku

7. sanksi yang diberikan pada pelaku kejahatan pencurian dengan kekerasan menimbulkan efek jera

8.

Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kejahatan pencurian dengan kekerasan telah dilaksanakan dengan optimal

66

B.

Pembuktian Hipotesis

Berdasarkan hasil data sesuai dengan hasil penyebaran angket kepada responden narapidana

kejahatan pencurian dengan kekerasan

yang

dijadikan sampel sejumlah 5 orang, korban berjumlah 5 orang, serta hasil pengumpulan data yang dianalisis dari wawancara kepada Kepala Unit Reskrim Kota Pontianak, penulis akan mencoba membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan Bab I antara lain : 1.

Berdasarkan pada tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah pelaku pencurian dengan kekerasan di wilayah hukum Kota Pontianak pada tahun 2011 hingga tahun 2014 mengalami peningkatan yang cukup meresahkan semua pihak;

2.

Berdasarkan data pada tabel 2 menunjukkan bahwa mengenai fator penyebab narapidana melauan kejahatan dengan kekerasan

adalah

bahwa 2 orang (60%) responden menyatakan untuk membeli dan menggunakan Narkotika. 3. Berdasarkan pada tabel 3 menunjukkan bahwa dapat diketahui Vonis yang diberikan Hakim kepada narapidana pencurian dengan kekerasan yaitu keseluruhan responden 3 orang (100%) responden divonis 1 tahun; 4. Berdasarkan data pada tabel 4 menunjukkan bahwa waktu, kondisi dan situasi sehingga memungkinkan dan mempermudah pelaku untuk melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan adalah sebanyak 3 orang (60%) responden menjawab pelaku melakukan pencurian dengan kekerasan pada saat keadaan jalan yang sepi.

67

5. Berdasarkan pada tabel 5 menunjukkan mengenai barang atau objek apa yang dicuri narapidana tindak pidana pencurian adalah Sepeda Motor, Handphone dan Perhiasan Emas. 6. Berdasarkan data pada tabel 6 menunjukkan bah mengenai jenis Narkotika yang digunakan oleh narapidana yang melakukan

tindak

pidana pencurian dengan kekerasan adalah henis SABU SABU;. 7. Berdasarkan pada tabel 7 menunjukkan bahwa 2 orang (60%) responden menjawab bentuk kekerasan yang dilakukan narapidana

kejahatan

pencurian dengan kekerasan di Lapas IIA Pontianak adalah dengan Memukul. 8. Berdasarkan pada tabel 8 bahwa Sebanyak 2 orang (60%) responden menjawab frekuensi narapidana melakukan kejahatan pencurian dengan kekerasan adalah SERING. 9. Berdasarkandata pada tabel 9 ernunjukkan Sebanyak 2 orang (60%) responden menjawab upaya hukum terhadap pecandu Narkotika melakukan pencurian dengan kekerasan adalah meningkatkan patroli pada tempat tempat yang disinyalir rawan terjadi pencurian dengan kekerasan

Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka hipotesis yang penulis kemukakan pada Bab 1, yaitu : “Bahwa Pengguna Narkotika Melakukan Pencurian Dengan Kekerasan Di Kota Pontianak Di Tinjau Dari Sudut Kriminologi Dikarenakan Kecanduan Atau Faktor Kurangnya Biaya Untuk Membeli Narkotika”. telah terbukti.

68

BAB IV PENUTUP A.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian yang penulis kemukakan pada bab-bab terdahulu, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1.

Bahwa kejahatan pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh pecandu Narkotika ditinjau dari sudut kriminologi di Kota Pontianak kurun waktu 2012 hingga tahun 2014 mengalamipeningkatan;

2.

Bahwa faktor penyebab pecandu Narkotika melakukan pencurian dengan kekerasan ditinjau dari sudut kriminologi di Kota Pontianak adalah faktor yang menyebabkan pecandu narkotika melakukan pencurian dengan kekerasan adalah karena kurangnya biaya untuk membeli narkotika;

3.

Bahwa akibat hukum terhadap pecandu Narkotika melakukan pencurian dengan kekerasan ditinjau dari sudut kriminologi di Kota Pontianak adalah dapat dikenakan sanksi yang berat karena telah melakukan 2 Kejahatan yaitu pencurian dengan kekerasan dan penyalahgunaan narkotika;

4.

Bahwa

upaya hukum terhadap pecandu Narkotika melakukan

pencurian dengan kekerasan ditinjau dari sudut kriminologi di Kota Pontianak adalah dengan cara meningkatkan patroli oleh penegak hukum

69

dan bagi masyarakat untuk meningkatkan kehati – hatian serta kewaspadaan.;

B.

Saran

68

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut :

1. Perlu adanya upaya untuk memperbaiki keadaan atau mengurangi dan menekan kasus kejahatan pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh pecandu narkotika di wilayah Kota Pontianak 2. Perlu dilakukan upaya yang optimal terhadap kejahatan pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh pecandu narkotika. 3. Perlunya meningkatkan patroli oleh penegak hukum dan bagi masyarakat untuk meningkatkan kehati – hatian serta kewaspadaan.

70

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah,Hukum Pidana Dan Acara Pidana, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1986. Amiruddin, H.ZainalAsikin, PengantarMetodePenelitianHukum, Jakarta:Rajawali Press, 2010. Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 2007. Chalainur Arrasjid, 1998, Suatu Pemikiran tentang Psikologi Kriminal, Medan: Kelompok Studi HALukum dan Masyarakat Fakultas HALukum USU, hal. 31. D Soedjono, analisahalukumdankriminologi1978 - Karya Nusantara, Bandung DSoedjono, Ilmu Jiwa Kejahalatan dalam Studi Kejahalatan, Bandung: Karya Nusantara, 1977, hal. HAL. R. Abdussalam, 2007, Kriminologi, Jakarta: Restu Agung,halal. HALanitidjo SoemitroRoni,Metode Penelitian HALukum dan Jurimetri, Ghalalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal. JE Sahaletapy dan B. MarjonoReksodiputro, Paradoks Dalam Kriminologi Kerlinger, Fred N, Asas-asas Behavioral, Diterjemahkan Landung R. Simatupang, Gajah Mada University Press, Yogyakarta,Cet, Kelima, 1996. Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Research Social, Bandung: Penerbit Alumni, 1976. Kansil CST, Pengantar Ilmu HALukum dan Tata HALukum Indonesia, PN.Balai Pustaka, 197 KansilCST, pokok-pokoketikaprofesihalukumJakarta : Pradnya Paramita, 2003 Kartini, Kartono, PatologiSosial 2: KenakalanRemaja, Jakarta: PT Raja Grafindo, 17:2002. Moelyana W Kusuma, Kejahatan Penjahat dan Reaksi Sosial, Alumni,Bandung, 1983.

70

7171

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Yogyakarta, 1983. Prof. Moeljatno, S.H, KitabUndang-Undang Hukum Pidana (KUHP), PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2001. Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan pertanggungjawaban Pidana, Bina Aksara baru, Jakarta, 1983. Ronny Hanitijo Soemitro, metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988. R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),Politea Bogor, 1989. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta :UI Press, 1986. Satochid kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian Dua, Balai Lektur Mahasiswa.

SalehalDjindang Mohal., Pengantar dalam HALukum Indonesia, PT. Ichaltiar Baru: Jakarta, 1983. Santoso Topo, Kriminologi, Jakarta: Rajawali Pers, 2003, hal. Simanjuntak.B., Noachal, dan Pasaribu I.L, Kriminologi, Bandung : Tarsito, 1984. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT.Eresco Bandung, 1989. Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Iindonesia, Bandung, Refika Aditama, 2003.

72

73

74

Related Documents


More Documents from ""