Kebermaknaan Kematian Menurut John Hick

  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kebermaknaan Kematian Menurut John Hick as PDF for free.

More details

  • Words: 7,704
  • Pages: 15
Kebermaknaan Kematian Menurut John Hick BAB I PENDAHULUAN Berpikir tentang kematian atau sekadar membicarakannya saja, kerapkali dianggap tidak sehat. Bisa menganggu dan membahayakan keseimbangan psikologis, demikian pengalaman banyak orang. Hal yang sama pernah terasa oleh penulis. Tetapi bagi filsuf Miguel de Unamuno, justru kesadaran akan kematian mampu menelurkan umat manusia dan individu-individu yang matang secara spritual. Berpikir dan sadar tentang kematian, menurutnya, menghantarkan manusia pada sebuah refleksi transendental (beyond), sampai kepada kesadaran akan keniscayaan dan kesementaraan kematian. Sejalan dengan itu, seorang Andre Malraux pun berujar : “Memikirkan kematian, itulah yang membuat orang semakin manusiawi”. “Pantas dikenangkan saat mana manusia untuk pertama kali membicarakan kematian, karena hari itulah terjadinya metamorphosis manusia menuju ke kematangan,” demikian katanya. Banyak orang berpendapat bahwa hidup ini bersifat ironis, karena manusia sebenarnya tidak pernah meminta agar ia dilahirkan, tetapi begitu ia lahir, mencintai hidup, dan kehidupannya, ia dihadapkan pada realitas yang sangat menyakitkan hatinya. Manusia mau tidak mau harus menghadapi kematian, sebagaimana ia dilahirkan. Semua manusia tahu bahwa kematian adalah kewajaran dalam hidup, tapi tetap saja ada alergi, phobia yang menguntitnya, walaupun mati pada hakekatnya adalah pasangan dari hidup setiap bernyawa. Kematian ibarat dua sisi mata uang. Adalah peluang yang sama dari dua kemungkinan ketika kita memutarnya. Kehidupan dan kematian diantarai oleh ruang dan waktu yang tipis. Seorang seniman seperti Abdul Hamid bin Zainal bin Abdul Jabbar alias Hamid Jabbar pernah berujar: “Berapakah jarak antara hidup dan mati, sayangku? Barangkali satu denyut lepas, o satu denyut lepas tepat di saat tak jelas batas-batas, sayangku: Segalanya tehempas,o segalanya terhempas” Kematian merupakan kepastian. Tak seorang pun dapat menghindar dan melepaskan diri dari cengkeramannya. ”Katakanlah: Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata,” (Al-Jum’ah: 8), demikian kita bisa membaca dalam Alquran, menyadarkan bahwa segala upaya kita tak mampu menundukkannya. Maka tidak aneh filsuf J. Paul Sartre sendiri pun bergumam: “kematian merupakan peristiwa yang tidak terpahami. Fenomena kematian adalah kenyataan yang menyergap secara tiba-tiba dan membuta, sehingga manusia tidak mampu mengontrolnya. Kedatangannya tidak bisa diperhitungkan dan sangat mengejutkan manusia yang sedang merencanakan hidupnya dan berusaha mewujudkannya.” Kematian adalah keniscayaan, hal ini pasti disadari setiap insan. Kendati demikian, manusia pada umumnya tidak suka, bahkan sangat takut pada kematian. Bagi sebagian orang, kematian sangat menakutkan. Mereka membayangkan kematian sebagai peristiwa yang amat tragis dan mengerikan. Imam Ghazali juga Komaruddin Hidayat dalam Psikologi Kematian, menjelaskan beberapa alasan mengapa manusia takut terhadap kematian. Pertama, karena ia ingin bersenangsenang dan menikmati hidup ini lebih lama lagi. Kedua, ia tidak siap berpisah dengan orang-orang yang dicintai, termasuk harta dan kekayaannya yang selama ini dikumpulkannya dengan susah payah. Ketiga, karena ia tidak tahu keadaan mati nanti seperti apa. Keempat, karena ia takut pada dosa-dosa yang ia lakukan selama di dunia ini. Kematian kerapkali menjadi dramatis, apalagi kalau peristiwa itu melibatkan diri kita, orang yang kita cintai, orang yang sangat kita butuhkan, orang yang mempengaruhi atau menentukan jalur hidup kita. Akibatnya, meskipun kita (manusia) hidup di alam dimana semua makhluk lahir, tumbuh dan mengalami kematian, tidak begitu mudah menerima kematian itu sendiri, atau menerimanya sebagai sesuatu yang wajar. Manusia takut karena ia tidak pernah ingat kematian dan tidak mempersiapkan diri dengan baik dalam menyambut kehadirannya. Manusia, kata Ghazali, biasanya ingat kematian

hanya kalau tiba-tiba ada jenazah lewat di depannya. Seketika itu, ia membaca istirja’: ”Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Namun, istirja’ yang dibaca itu hanyalah di mulut saja, karena ia tidak secara benar-benar ingin kembali kepada Allah dengan ibadah dan amal saleh. Jadi, kalau demikian, agar tidak alergi dan fobia dengan kematian, manusia, menurut Ghazali, harus sering-sering ingat kematian sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ”Perbanyaklah olehmu mengingat kematian, si penghancur segala kesenangan duniawi.” Sadar akan kematian sebagai sesuatu yang berwujud keniscayaan, tetapi kematian an sich tetaplah menyimpan misteri yang tetap puzzle bagi manusia. Berbagai wajah kematian tampil dalam pengalaman manusia yang tetap menelurkan aneka pertanyaan: Apa itu mati? Apa artinya bagi kita? Apakah kematian sekedar bermakna tidak ada lagi atau ketiadaan (nothingness)? Ataukah kematian menyiratkan sebuah kehidupan baru (life after death)? Di sini sampailah kita pada persoalan ontologi dan epistemologi yang serius tentang kematian. Sederet pertanyaan, perbincangan bisa tersembul tentangnya, sederet jawaban bisa dikemukakan. Tetapi jawaban yang pasti, belum pernah tercipta, yang bisa memuaskan keingintahuan manusia. Sejauh ini berbagai kalangan telah mencoba menelitinya, merefleksikannya tetapi tetap saja minyisakan ketidaktahuan. Sadar akan hal itu, kami pun melalui paper ini tidak berpretensi untuk memberikan sebuah jawaban yang sahih terhadapnya. Latar Belakang Penulisan Kematian adalah pengalaman yang tidak bisa disangkal dalam kehidupan manusia. Semua orang pastinya menyadari hal ini. Kematian tidak pernah tebang pilih akan siapa yang akan dijemputnya. Dengan kata lain, kematian adalah sebuah keniscayaan. Siapa kita, darimanapun kita berasal, pada waktunya akan berhadapan dengannya. Tak ada orang yang bisa menghalanginya. Kematian adalah sisi lain dari kehidupan ini. Kendati demikian, tak sedikit orang yang berusaha mau menghindarinya, kendati hanya sebatas usaha. Sebab itu kematian kerapkali adalah sebuah tragedi kehidupan yang paling mengenaskan bagi umat manusia, sekaligus juga peringatan agar umat manusia ingat, bahwa sebagai umat manusia sebenarnya kita ini juga ngantri dan tunggu giliran. Kematian berarti keterpisahan dan jarak yang ditimbulkannya menjadi tak terukur, tak terbatas. Semakin dekat jarak fisik dan emosi kita dengan seseorang, semakin kita tidak bisa menerima realitas kenyataan. Semakin jauh jarak, semakin terasa wajar kematian itu. Kendati demikian, akhirnya bagi seluruh manusia harus menerimanya sebagai “nasib”, sesuatu yang tak mungkin terelakkan, sebagaimana kelahiran itu sendiri dalam kehidupan itu sendiri. Ketakutan menjadi tak asing lagi, sikap manusia bila dihadapkan dengan kematian. Membahas soal kematian saja bisa menimbulkan sebuah pemberontakan yang menyimpan kepedihan pada setiap jiwa manusia; yaitu kesadaran dan keyakinan bahwa mati pasti akan tiba serta punahlah semua yang dicintai dan dinikmati dalam hidup ini. Sebab pertanyaan tentang kematian adalah pertanyaan yang muncul dari kesangsian. Kesangsian lahir dari ketidakpastian, ketidakpastian menelurkan kegelisahan. Kegelisahan pada akhirnya membawa manusia kepada kecemasan dan ketakutan. Pengalaman yang sama pasti pernah diidap setiap manusia. Tema “kematian” adalah tema yang lahir beriringan dengan kelahiran manusia. Refleksi tentang hidup mau tak mau tema kematian pun tak pernah terlepas darinya. Kematian dalam dalam sejarah pemikiran manusia selalu menarik dan “up to date”. Bisa dikatakan barang lama tetapi selalu baru. Tentangnya, orang-orang dari berbagai kalangan selalu melahirkan pertanyaan. Tetapi pertanyaan tetap bermuara dan jawaban tiada akhir pun turut mengiringinya. Tak ubahnya dengan penulis, pertanyaan tentang makna kematian dan terutama apa yang terjadi setelah kehidupan ini, selalu menghantui. Semuanya bermula dari ketidaktahuan dan keingintahuan. Melalui study pustaka, penulis mencoba merajut benang-benang

kebermaknaan sebuah maut. Maka, eternal life sebagai kisah lanjut dari death, menjadi simpul-simpul kebermaknaan kematian itu. Dalam terang John Hick seorang filsuf dan teolog, penulis akan mencoba memaparkannya bahwa kematian tidaklah semata-mata sebagai sebuah kesia-sian, bukan akhir tanpa makna. Itulah sebuah latar dari tulisan ini. Tujuan Penulisan Paper ini berjudul “Kematian dan Maknanya menurut John Hick”, mencoba untuk melihat sisi lain dari kematian itu. Studi ini mencoba untuk melihat kematian sebagai peristiwa yang tidak mesti ditakuti, tetapi sebagai peristiwa yang menyimpan makna. Untuk sampai ke sana, mau tak mau, penulis juga harus menyentuh sisi ontologis dan epistemologis tentang kematian itu sendiri. Sampai akhirnya menuju pada kesadaran bahwa kematian adalah sebuah keniscayaan. Inilah yang menjadi tujuan pertama paper ini. Selain itu, untuk meyakinkan bahwa kematian bukanlah keberakhiran segala-galanya dalam hidup manusia. Penulis mencoba memaparkan tentang “life after death” beserta bukti-buktinya.

Metode Penulisan Pembahasan dan telaah tentang Kematian dan Maknanya menurut John Hick, umumnya mengunakan sumber data sekunder. Maksudnya bahwa bahan-bahan (data-data) yang diperoleh penulis tidak langsung dari John Hick dan apalagi mengobservasi peristiwa itu sendiri. Akan tetapi, sumber data diambil dari studi kepustakaan, berupa tulisan-tulisan John Hick sendiri, opini dan kritik terhadapnya dari berbagai pemikir, tak ketinggalan sumber data diperoleh dari internet khususnya website tentang tokoh yang bersangkutan, dan juga benang merah yang penulis simpulkan dari perkuliahan. Disamping itu, penulis juga menggunakan refleksi rasional (juga imani) dalam bentuk metode analisis kritis tentang kematian. Dimungkinkan karena penulis pernah membaca literatur tentang tema tersebut dari berbagi tokoh dan sumber. Metode analisis dialogis dengan pembimbing, para dosen dan para kolega seperjuangan, pun penulis lakukan. Tak terkecuali juga penulis menggunakan metode refleksi filosifis tentang kematian terhadap pengalaman yang pernah bersinggungan dengan penulis. Akhirnya terbangunlah tulisan ini, berkat komposisi berbagai metode dan cara, tentunya tanpa banyak pretensi. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pembeberan, paper ini disusun dalam pembahasaan yang satu berkorelasi dan berinteraksi dengan pembahasaan yang lainnya. Dalam Bab pertama, secara konvensional berisi tentang pendahuluan, yakni latar belakang masalah, tujuan penulisan, metode dan sistematika penulisan. Dalam bab ini akan diketahui persoalan yang muncul dan gambaran umum yang akan dibahas. Bab ini adalah panorama sekaligus pintu gerbang (“porta”) untuk masuk ke permasalahan yang sebenarnya. Bab kedua berisi pemaparan ontologis dan epistemologis serta experience (praktis) tentang kematian itu sendiri. Hal itu semua terbahasakan dengan tema: Kematian, “Pesona dan Misterinya” yang meliputi: apa itu mati, ketakutan akan kematian, pengalaman berhadapan dengan kematian, kematian sebagai kemungkinan baik, dan kematian sebagai kemungkinan buruk. Bab ketiga merupakan inti tulisan ini. Membahas tentang kematian dan maknanya : ispirasi dari John Hick. Dalam bab ini secara detail dibahas pandangan Hick terhadap kematian dan apa yang terjadi setelah kematian itu sendiri. Dalam bab keempat akan dikupas kesaksian tentang “life after death” itu sendiri, berdasarkan pengalaman dan kepercayaan umat manusia kebanyakan.

Bab kelima adalah bagian penutup. Melalui bab ini penulis mencoba menggarap makna kematian bagi manusia, tentunya tak terlepas dari inspirator utama ditambah dengan pemahaman penulis sendiri. Dan akhirnya ditutup dengan catatan penulis dan rangkuman atas apa yang dijabarkan dalam paper ini, ditambah ulasan permenungan dari penulis sendiri BAB II KEMATIAN : MISTERI DAN PESONANYA Kematian Terjadi Setiap manusia mengakhiri hidupnya di dunia ini dengan kematiannya. Sebab-sebab kematian itu sendiri bermacam-macam. Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian kedalam tiga jenis. Pertama, Orthohanasia, yaitu kematian yang terjadi karena proses alamiah. Kedua, Dysthanasia, yaitu kematian yang terjadi secara tidak wajar. Ketiga, Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan (atau tidak) medis. Kematian dengan segala misterinya merupakan pengalaman manusia yang hidup. Kematian merupakan bagian dari lingkungan biologis hidup manusia. Karenanya realitas kematian merupakan saat yang tidak bisa ditawar-tawar atau dihindari oleh manusia yang hidup. Berdasarkan ketentuan medis seorang manusia dianggap telah mati jika jantungnya sudah tidak berfungsi lagi sebagai pengedar darah ke seluruh tubuh, otaknya mulai membusuk dalam waktu seperempat jam karena tidak memperoleh darah, dan seluruh badan tidak dapat lagi digerakkkan dalam keadaan dingin. Inilah yang disebut dengan metode “eletroencephalogram” (EEG) dalam dunia medis. Tetapi metode “electroencephalogram” (EEG) ternyata pernah menuai ketidakabsahannya. Sebab, dalam beberapa kasus orang yang otaknya dinyatakan tidak berfungsi lagi, kemudian dapat dipulihkan dan sehat kembali. Di sisi lain, disiplin thanologi mengemukakan bahwa kematian sungguh terjadi ketika melalui beberapa tahap. Pertama, kematian organis atau biasa disebut kematian separuh. Ditandai oleh tidak berfunginya organ tertentu dalam tubuh dan disusun oleh organ lain. Kedua, kematian otak yang sering disebut kematian kematian utama. Ketiga, kematian total yaitu kematian seluruh organisme sebagai suatu kesatuan. Inilah kematian yang tidak bisa diragukan. Kematian yang membawa kehancuran seluruh organisme tubuh manusia (material). Pada saat itu pula, seluruh kepribadian manusia hancur, karena sama seperti tubuh lainnya, kepribadian merupakan salah satu bagian dari seluruh diri manusia. Kegentaran Akan Kematian “Manusia takut terhadap kematian seperti anak-anak takut berjalan kedalam gelap”, kata Francis Bacon pada tahun 1625. Beberapa tahun setelah pernyataan Bacon, tepatnya tahun 1676 seorang penyair bernama John Dryden mencoba menawarkan jawaban yang agak berseberangan dengan Bacon. “Kematian itu sendiri sebenarnya bukan apa-apa”, tulisnya, “namun yang membuat kita takut adalah ketidaktahuan kita apa dan di mana kematian itu berada.” Bukan barang aneh bahwa bagi banyak orang kematian adalah musuh paling keji yang terus menghantui ketenangan manusia sepanjang masa. Seorang Rabinranatth Tagore, dalam “ Fruith–Gathering” pun pernah menuliskan: “Izinkan aku berdoa bukan agar terhindar dari bahayamelainkan agar aku tiada takut menghadapinya. Izinkan aku memohon bukan agar penderitaanku hilang melainkan agar hatiku teguh menghadapinya. Izinkan aku tidak mencari sekutu dalam medan perjuangan hidupku melainkan memperoleh kekuatan sendiri. Izinkan aku tidak mengidamkan dalam ketakutan dan kegelisahan untuk diselamatkan melainkan harapan akan kesabaran untuk memenangkan kebebasaanku. Berkati aku sehingga aku tidak menjadi pengecut, dengan merasakan kemudahanMu dalam keberhasialku semata; melainkan biarkan aku menemukan gengaman tanganMu dalam kegagalanku.”

Walaupun orang selalu selalu berhadapan dengan fenomena kematian, sesungguhnya ia menolak keras fakta itu dan akhirnya timbulah sebuah kesadaran bahwa ia tak sanggup berbuat kecuali takhluk. Manusia takut terhadapnya bukan saja karena kematian itu menakutkan tetapi karena kematian itu menegasikan eksistensinya di dunia ini. Sebab hanya kematianlah yang bisa menghancurkan tubuh dan segala sesuatunya yang selama ini dipelihara, akhirnya menjadi segumpal tanah sebagaimana kehancuran makhluk lainnya. Kematian ditakuti sebab seolah-olah mau mengatakan kepada manusia bahwa segala sesuatunya di dunia ini pada akhirnya sia-sia. Kematian berarti keterpisahan dan jarak yang ditimbulkannya menjadi tak terukur, tak terbatas. Semakin dekat jarak fisik dan emosi kita dengan seseorang, semakin kita tidak bisa menerima realitas kenyataan. Semakin jauh jarak, semakin terasa wajar kematian itu. Kendati demikian, akhirnya bagi seluruh manusia toh kematian harus dan akan diterima sebagai “nasib”, sesuatu yang tak mungkin terelakkan, sebagaimana kelahiran itu sendiri. Ketakutan menjadi tak asing lagi, sikap manusia bila dihadapkan dengan kematian. Membahas soal kematian saja, bisa menimbulkan sebuah pemberontakan yang menyimpan kepedihan pada setiap jiwa manusia; yaitu kesadaran dan keyakinan bahwa mati pasti akan tiba serta punahlah semua yang dicintai dan dinikmati dalam hidup ini. Sebab pertanyaan tentang kematian adalah pertanyaan yang muncul dari kesangsian. Kesangsian lahir dari ketidakpastian, ketidakpastian menimbulkan kegelisahan. Kegelisahan pada akhirnya membawa manusia kepada kecemasan dan ketakutan. Kesadaran ini lalu memunculkan sebuah proses berupa penolakan bahwa masing-masing kita tidak mau mati. Setiap orang berusaha menghindari semua jalan yang mendekatkan ke pintu kematian. Banyak orang bersikap demikian, karena tak memahami apa sesungguhnya kematian. Kematian bagi mereka adalah misteri yang tiada pemecahannya. Ibn Maskawaih seorang filsuf muslim pernah menulis dalam bukunya Tahdzibul Akhlag wa Tathhirul A’;raq bahwa sesungguhnya ketakutan akan kematian hanya melekat pada orang yang tidak mengetahui haktak kematian itu, atau tidak tahu kemana tujuan hidupnya setelah kematian. Bisa juga orang itu menyangka bahwa setelah jasmaninya rusak, dirinya pun hilang juga. Kemungkinan lain, orang mengira bahwa alam ini akan terus lestari sedangkan dirinya sudah musnah karena tidak mengerti bahwa diri dan jiwa itu kekal, ia tidak mengerti bahwa diri dan jiwa itu kembali ke hadirat Allah. Rasa takut kepada maut hanya menghinggapi orang yang menyangka bahwa kematian itu menyebabkan rasa sakit yang tak terperikan; atau pada orang merasa bahwa setelah mati akan menerima siksa, atau pada orang yang merasa sedih dan menyesal akan berpisah dengan harta atau kesenangan duniawinya. Kehidupan dengan demikian dimaknai sebagai kristalisasi absurditas. Hidup ini nonsen, tak punya makna. Hidup adalah sebuah keterlemparan, kata Karl Jaspers. Persis seperti Sysiphus dalam legenda karya Albert Camus. Hukuman para dewa telah memaksanya untuk mengangkat bebatuan besar ke atas bukit hanya untuk tahu bahwa bebatuan itu akan menggelinding ke bawah dan ia harus mengangkatnya kembali. Terus-menerus demikian, sepanjang hidupnya. Demikian kuatnya perasaan mengenai absurditas kehidupan ini hingga –seperti banyak filosof eksistensialis modern lainnya– Camus merumuskan apa yang dianggapnya sebagai satu-satunya tugas filsafat: mencari jawab kenapa manusia tidak bunuh diri! Ya, seharusnya, di hadapan absurditas dan kesiasiaan yang mengepungnya, bunuh diri adalah pilihan yang paling rasional. Sesuatu yang tak dikenal memang cenderung untuk ditolak. Kaum eksistensialis seperti Heidegger misalnya mengatakan “ketakutan yang terbesar manusia dalam sejarah hidupnya adalah menghadapi kematian”. Mengapa? Karena bagi kaum eksistensialis hakekat manusia adalah ada dan hidup. Atau khairil Anwar sendiri pernah berkata “aku ingin hidup seratus tahun lagi”. Bagi sebagian orang lagi kematian bukanlah hal yang ditakutkan. Sebab kematian adalah momen yang harus dihadapi. Mereka percaya sesudah kehidupan ini ada kehidupan lain, tinggal bagaimana kita mengisi hidup sekarang ini. Frank J Tipler dalam bukunya The Psysics of Immortality (1994) menyarankan manusia agar selalu berbuat baik demi kesuksesan dunia-akhirat. Kebaikan membuat kita tersenyum ketika malaikat maut menjemput meskipun keluarga yang akan kita tinggalkan

menangis. Sebaliknya, kebejatan akan membuat kita menangis ketakutan, sedangkan orang-orang di sekitar kita tersenyum gembira karena merasa risih akan keberadaan kita sendiri . Mereka menyakini “life after death”. Mengatasi Kegentaran Menurut kebanyakan eksistensialis, kapan saja kita berhadapan dengan tidak-mustahilnya ketiadaan diri pada saat itu kita mempunyai “tanggapan eksistensial” alamiah yang mencakup sejenis kekhawatiran tertentu. Martin Heidegger dan Wittgenstein, membedakan antara kekhawatiran eksistensial dan kekhawatiran umum. Kekhawatiran umum adalah tanggapan empiris seorang manusia terhadap obyek yang mengancam [dia] di dalam dunia: itu biasanya mensyaratkan bahwa kita memerangi obyek itu dengan harapan menaklukkan ancamannya, atau, alternatif lainnya, melarikan diri dari obyek itu dengan harapan terlepas dari ancamannya. Sebaliknya, kekhawatiran eksistensial adalah tanggapan di dalam lubuk seorang manusia terhadap situasi manusiawi umum, khususnya bila situasi itu mengungkap akan adanya “ketiadaan” atau “yang-tidak-berada”. Tanggapan manusiawi alamiah adalah melarikan diri dari ancaman itu, karena memerangi “ketiadaan” tampaknya mustahil sikapnya bukan lagi melarikan diri melainkan membenamkan diri sedalam-dalamnya ke dalam obyek-obyek empiris yang terdapat pada pengalaman kita sehari-hari. Ini bisa dilakukan dengan banyak cara, seperti menekuni hobi, menonton televisi, menjadi penggemar fanatik olahraga, atau pun menjadi cendekiawan dan membenamkan diri dalam buku-buku. Maksud Heidegger adalah bahwa cara lazim (tak sehat) yang berupa lari dari ancaman ketiadaan itu hanya berpura-pura bahwa itu tidak ada, dengan membenamkan diri dalam yang berada. Hal senada dikemukakan oleh Komarudin Hidayat, rasa takut akan kematian berakar pada keinginan laten untuk selalu hidup nyaman, dan rasa takut itu kemudian menjalar kepada berbagai wilayah aktivitas manusia. Lebih jauh lagi, menurut Komarudin Hidayat, rasa takut itu kemudian melahirkan anak pinak, yaitu takut akan bayang-bayang ketakutan itu sendiri sehingga muncul ungkapan, musuh terbesar dan terdekat kita adalah rasa takut itu sendiri yang berkar kuat dalam diri. Esensinya ialah sikap penolakan akan kematian karena kematian selalu diindentikkan dengan tragedi, sakit, ketidakberdayaan, kehilangan, dan kebangkrutan hidup. Karena adanya kesadaran akan kematian, banyak orang melakukan inovasi keilmuan, banyak gedung-gedung megah dan indah dibangun semuanya didorong oleh keinginan agar dirinya abadi, untuk mengalahkan kenatian yang tak mungkin dikalahkan. Bagi seorang Paul Tillich adalah sikap yang salah (bersalah) untuk merasa takut lantaran kehilangan keabadian sampai batas tertentu. Menurutnya sikap terbaik terhadap kegentaran akan kematian terjadi manakala kita berpikiran jujur mengenai kematian kita sendiri. Terjadi ketika kita sampai pada suatu derajat kesadaran bahwa kematian adalah jalan yang harus kita tempuh, tidak bisa menghindarinya, lantaran hidup di dunia ini tidak otentik. Adalah suatu pengalaman yang salah, ketika kita melarikan diri dari kenyataan bahwa kematian pasti menjemput kita, dan lompat kepada sebuah temeng keamanan yang ditandai argumen filosofis akan keabadian atau harapan religius akan kehidupan abadi. Sikap demikian, menurut Tillich hanya akan menambah kebergantungan berlebihan manusia pada imaginasi religius atau penalaran logis. Lebih lanjut menurutnya, satu-satunya tanggapan yang tepat terhadap kematian (hilangnya keabadian) yang terungkap dalam kegentaran eksitensial adalah menghadapi ancaman ketiadaan dengan keberanian untuk berada secara eksistensial. Maka bagi Tillich, sejalan dengan Kiekegaard, adalah memandang ancaman ketiadaan sebagai masalah eksistensial yang solusi mujarabnya, dan hanya akan tercapai pada tahap religius. Baginya, kita akan siap mengalami manifestasi keberanian untuk berada yang paling berbobot, hanya bila kita turut serta dalam melampaui diri, dalam bentuk keberanian untuk menerima keadaan.

Pengiyaan keberanian diri bukan sekedar keberanian untuk berada secara eksistensial sebagai diri itu sendiri, melainkan sampai kepada perbuatan paradoks (antara antipati simpatik dan simpati antipatik) yang didalamnya seseorang diterima oleh secara yang tak terbatas melampaui (beyond) diri sendiri tetapi lebih pada kesadaran akan adanya kematian itu. Setelah menjalani kehidupan kita dengan daya keberanian untuk berada yang paradoksis, akhirnya kita akan siap untuk menyambut kematian itu sendiri bukan sebagai konfirmasi tragis perihal kegentaran, melainkan sebagai langkah akhir dalam proses kehidupan panjang ini. Dalam bukunya How We Die, Nullan mengafirmasi hal yang sama. Baginya dengan mengetahui kebenarannya dan bersiap diri menghadapinya, kita akan bisa membebaskan diri kita dari ketakutan terra incognita akan kematian yang mengakibatkan kebohongan diri sendiri dan disilusi. Lantas, kematian bukanlah pengalaman seorang (aku) manusia melainkam pengalaman semua (kita), tak ada kecualinya. Maka, bagi eksistensialis J.P. Sartre (1905-1980) perihal kematian adalah manusia tidak berkata “saya mati” tetapi “kita mati”. Kekitaan kita, katanya, akan mengurangi kesedihan, ketakutan mengajadapi maut, kematian. Kematian Sebagai Kemungkinan Baik Kematian tidak mesti diartikan sebagai sesuatu yang buruk, tetapi memiliki kemungkinan sebagai seseuatu yang baik . Dalam arti apakah kematian bisa ditarik sebagai sesuatu yang baik. Kematian seorang Hitler atau Osama bin Laden misalnya, sangat mungkin memberikan manfaat besar bagi orang lain. Sebab dengan penegasian sosok seperti mereka, barangkali semakin banyak orang merasa terbebaskan, dimerderkakan. Di sisi lain, kematian merupakan sesuatu yang baik ketika konsekwensinya bisa menanggulangi kelebihan jumlah manusia, melindungi variasi genetik dll. Kematian sebagai sebuah kemungkinan baik mengakui juga bahwa kematian tidak merugikan. Jika kita sejalan dengan argumen demikian maka kita pun diafirmasi oleh filosof Yunani Kuno, Epicurus. Baginya kematian bukanlah (tidak mungkin) sesuatu yang merugikan kita. Karena ketika kita masih hidup, kematian belum terjadi. Jadi, belum bisa merugikan kita. Setelah kita mati, tak ada lagi kehidupan yang bisa dirugikan. Kematian tidak bisa merugikan kita sampai kejadian itu benar-benar terjadi, tetapi tatkala terjadi, kita sudah tidak ada lagi untuk merasakan kerugiannya. Tetapi, jika kematian tidak bisa merugikan kita, maka kematian bukanlah sesuatu yang buruk, setidaknya bagi si mati. Adanya fakta kematian dalam banyak hal adalah pelajaran yang sangat mujarab bagi perkembangan manusia. Menurut Ghazali, ingat kematian akan menimbulkan berbagai kebaikan. Di antaranya, membuat manusia tidak ngoyo dalam mengejar pangkat dan kemewahan dunia. Ia bisa menjadi legawa (qona’ah) dengan apa yang dicapainya sekarang, serta tidak akan menghalalkan segala cara untuk memenuhi ambisi pribadinya. Kebaikan lain, manusia bisa lebih terdorong untuk bertobat alias berhenti dari dosa-dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil. Lalu, kebaikan berikutnya, manusia bisa lebih giat dalam beribadah dan beramal saleh sebagai bekal untuk kebaikannya di akhirat kelak. Dengan berbagai kebaikan ini, orang-orang tertentu seperti kaum sufi tidak takut dan tidak gentar menghadapi kematian. Mereka justru merindukannya, karena hanya lewat kematian mereka dapat menggapai kebahagiaan yang sebenar-benarnya, yaitu berjumpa dengan Allah dalam ridha dan perkenan-Nya.

Kematian Sebagai Kemungkinan Buruk Kematian bagi banyak orang adalah sesuatu yang disangkal, apa lagi jika kematian diartikan sebagai the end, berakhir, putus tanpa kesinambungan, kesudahan tanpa adanya kehidupan lain. Maka, yang perlu menjadi pertanyaan, dalam hal apakah kematian itu sebagai sesuatu yang buruk.

Satu-satunya cara yang bisa menyebabkan kematian bisa merugikan adalah jika ada semacam kerugian yang tidak bergantung sepenuhnya pada waktu kerugian itu akan terjadi. Kerugian semacam ini disebut kerugian karena terampas yaitu kerugian yang terletak pada apa yang telah terampas dari kondisinya dulu dan perampasan ini ada hanya dalam hubungan antara kondisi sebelum dan sesudah kematian. Jadi, kerugian karena terampas bukan kerugian yang ada pada waktu tertentu, melainkan hanya melalui waktu. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, sehubungan dengan argumen Epicuros bahwa kematian tidak pernah merugikan adalah: bagaimana bisa suatu perampasan merugikan kita jika kita sudah tak ada lagi ketika perampasan terjadi? Menjawap pertanyaan ini, kita harus bisa memahami konsep bahwa ada hal yang bisa terjadi pada diri kita kendati kematian sudah menjenguk kita. Dengan kata lain, kita harus bisa memahami konsep bahwa apa yang terjadi pada kita tidak terjadi dalam kehidupan kita. Hanya dengan pengakuan akan adanya kemungkinan seseorang hal itu bisa dipahami. Kematian merugikan kita karena hal itu mencegah sejumlah kemungkinan si mati. Tetapi argumen ini kurang memadai untuk melawan argumen Epicuros, sebab kemungkinan sendiri menyimpan ketidakteraturan. Sebab setiap orang memiliki banyak kemungkinan, sehingga tidak bisa dikatakan sebagai miliknya sendiri. Artinya kemungkinan terlalu berjarak untuk dijadikan sebagai milik kita, sehingga perampasan terhadap kemungkinan tidak bisa dikatakan sebagai kasus kerugian yang jelas. Kita harus memahami kematian sebagai perampasan atas sesuatu yang benar-benar kita miliki, bukan sekedar kemungkinan. Satu satunya argumen yang bisa mengafirmasi bahwa kematian sungguh merugikan adalah perampasan terhadap masa depan. Bagaimana mungkin, bukankah masa depan itu sesuatu yang belum ada. Bukankah masa depan juga hanyalah segumpal kemungkinan? Jika demikian halnya, tentunya pemahaman ini tidak bisa diterima. Memahami masa depan bukan sebagai sesuatu yang mungkin kita miliki, tetapi lebih pada sesuatu yang benar-benar kita miliki disaat sekarang meskipun masa depan itu belum ada. Sebab kalau tidak demikian dipahami, kematian tentunya tidak akan bisa merampasnya dari kita. Masa depan dengan demikian bisa dipahami dan ditafsirkan dengan memahami masa depan sebagai milik seseorang, sebab memiliki status tertentu mengarahkannya menuju kemudian hari. Status itu seperti hasrat, sasaran, dan rencana. Salah satu makna yang membuat hasrat, sasaran, dan rencana mengarah ke depan adalah memuaskan dan memenuhinya dengan memerlukan waktu. Status ini ada, benar-benar ada dan adanya sekarang dan mengarah kedepan: status itu menghubungkan kita ke masa depan sehingga membuat kita benar benar bermakna, memiliki masa depan itu. Manusia kata Martin Heidegger adalah makhluk yang lahir (ada) untuk mati (Sein zum Tode) . Kita semua pada dasarnya mengarah ke masa depan yang belum ada. Tahap-Tahap Kematian Pertanyaan tentang kematian memang tak ada jawaban yang pasti, apalagi empiris, selain misteri. Tetapi sejarah mencatat selama berabad-abad, kematian pernah menjadi obyek yang penting bagi para pemikir dan penyair. Adalah menarik melihat fenomena orang mempelajari sebuah mesteri yang hanya memberikan secercah jawaban; menanyakan pertanyaan yang tidak ada jawabannya yang pasti. Tetapi, selalu saja menarik mendiskusikanya, tidak hanya demi kepentingan intelektual. Begitu saja terus selama bertahun-tahun orang-orang dari berbagai kalangan (agama, intelektual, spritual, psikologi, kedokteran dll.) berusaha merenungkan kematian dan maknanya.

Di tahun 1969 misalnya, seorang Psikiater Elisabeth Kübler Ross berusaha mengamati apa yang terjadi pada orang yang sedang mati. Dengan serangkaian wawancara detail dengan pasien yang sudah sekarat, ia bersiap untuk menjawap pertanyaan tersebut. Melalui On Death and Dying ia berusaha membuka pintu, menyalakan lampu, dan membiarkan udara segar untuk menerobos semua realita yang tidak terteliti melalui proses kematian. Pelopor kedua dalam dunia yang gelap dan belum tergali ini, melangkah lebih jauh lagi dengan memaparkan ambang batas dari pengalaman di alam baka. Seorang Dr. Raymond Moody telah mendokumentasikan pengalaman menjelang kematian. Dilaporkan bahwa 15 persen dari oang Amerika yang sempat dinyatakan sudah mati namun karena berbagai alasan hidup kembali ke dunia. Kalau Kübler Ross menjelaskan proses menuju kematian, Moody lebih cenderung menjelaskan apa yang dialami orang sewaktu mengalami kematian itu. Tepatnya tahun 1994 seorang B. Nuland menelurkan variasi yang luar biasa mengenai tema yang sama. Dalam bukunya How We Die, ia membeberkan sederet jawaban terhadap pertanyaan “Apa yang terjadi pada kita secara fisik di saat kita mati”. Menurut Elisabeth Kübler-Ross, ada beberapa sikap pasien-pasien terminal yang sedang menanti kematian akan mengalami lima tahap proses psikologis, yaitu, penolakan dan pengasingan diri (denial), kemarahan (anger), tawar-menawar (bargaining), depresi (depresion), penerimaan (acceptance). Pertama, tahap penolakan dan pengasingan diri. Ditandai dengan adanya reaksi dari pasien setelah mendengar atau mengetahui hasil diagnosa tentang pengyakitnya yang semakin parah dan sedikit demi sedikit dapat menghantarkan dirinya kepada kematian. Reaksi pertama yang muncul dari pasien terminal itu adalah pernyatan, “Tidak…;, bukan aku; itu tidak benar”. Pasien terminal biasanya menuntut diadakannya pengujian ulang atas kebenaran sebuah diagnosa dari seorang dokter. Mereka berusaha menemukan dignosa yang sungguh melegakan hatinya tentang penyakitnya. Karena kesiapan pasien tidak memungkinkan menerima diagnosa itu, si pasien akan berusaha menolak dan menyangkal keabsahan diagnosa itu., dan disertai dengan kekhawatiran dan konflik batin pada diri pasien terminal yang terus menerus dari waktu-ke waktu, bahkan hinga akhirnya si pasien menolak kenyataan kematiannya. Apabila pasien sudah tidak lagi menolak kenyataan kematiannya, ia mulai masuk ke tahap kedua, yaitu tahap kemarahan. Pertanyan logis yang timbul dari si pasien dalam tahap kedua ini adalah ”mengapa kematian begitu cepat menimpa diriku? Mengapa tidak orang lain lebih dahulu?” Tahap ini merupakan tahap yang sangat sulit untuk menghadapi pasienpasien itu. Kesulitan disebabkan oleh pergeseran waktu dari masa kehidupan yang teratur menuju situasi yang tidak pasti teatang kapan waktu kematian itu akan menimpa dirinya. Keadaan ditandai dengan serba tidak menentu mengenai keadaan emosionalitas pasien, dan umumnya si pasien lebih dominan dikuasai oleh situasi kemarahan yang disebabkan oleh perasaan tidak dimegerti oleh orang-orang disekitarnya. Manakala pasien merasa diperhatikan, maka kemarahannya semakin reda. Mereka pun lambat laun akan merasa diri meraka sebagai insan yang masih berharga, dan mulai menyadari bahwa mereka diikutsertakan dalam sistem masyarakat yang lebih besar. Pada saat si pasien merasa diperhatikan dan berdialog mengenai kematian manusia termasuk dirinya, maka si pasien lambat laun akan menyadari akan keniscayaan kematian. Maka dengan ini, si pasien akan mulai melalui tahap proses psikologis ketiga, yaitu: tawarmenawar. Menurut Kübler Ross, pada tahap pertama pasien tidak mampu mampu menghadapi kematiannya dengan penolakan dan pada tahap kedua pasien terminal memprotes kenyataan tersebut dengan kemarahan, baik kepada Allah maupun kepada masyarakat sekitar. Dengan pandangan itu, pasien beranggapan bahwa mungkin ia dapat mengatasi ketakukan dan kematiannya dengan tawar-menawar. Pasien mengangap cara itu dapat menunda kematiannya. Pasien terminal akan berkata,” jika Allah tidak berkenan menanggapi keinginanku untuk hidup lebih lama dengan cara marah, mungkin lebih baik aku memohon

kepada-Nya dengan keinginanku.”

cara

pantas

dan

layak

sehingga

Allah

berkenan

menuruti

Pada tahap ini pasien mulai mengingat-mengingat masa lampau. Mengingat masa lampau pada saat mana ia telah berbuat kebaikan seseui dengna kehendak Tuhan. Dengan kenangan akan kebaikan-kebaikan itu, si pasien berusaha tawar menawar dengan Tuhan, agar ia diberikan kesehatan fisik. Tahap ini dilakukan oleh pasien kepada Allah dengan tendensi dan janji bahwa ia akan menyerahkan seluruh hidupnya untuk melayani Gereja dan mengabdi kepada Allah, jika Allah sudi memperkenannya hidup lebih panjang lagi. Tahap selanjutnya, tahap depresi, yaitu tahap yang ditandai dengan rasa kehilangan akan kesabarannya, ketabahannya untuk menghadapi saat-saat menjelang kematiannya. Depresi yang menimpa si pasien terminal, menurut Kubler Ross, ada dua jenis. Pertama, depresi reaktif, yang dapat dilihat pada pasien-pasien yang mempunyai pengertian jelas mengenai kematiannya sehingga tidak terlalu sulit bagi kita menemukan sebab-sebab depresi itu. Kedua, depresi prepatoris, yaitu depresi yang ada pada pasien yang ditandai dengan perhitungan akan kehilangan-kehilangan dari apa yang dimilikinya di masa mendatang. Pasien yang menderita depresi prepatoris tidak perlu lagi diberikan dorongan untuk melihat sisi-sisi terang dari kehidupan ini dan ia pun tidak tidak perlu merenungkan kematian yang akan menimpa dirinya. Setelah pasien terminal mengalami tahap-tahap penolakan, marah, tawar menawar, depresi, maka tahap kelima, mereka akhirnya masuk dalam tahap penerimaan. Dalam tahap ini kematian yang akan menimpa diri mereka benar-benar tidak dapat dielakkan atau dihindarkan lagi. Sikap menerima itu merupakan hasil dari keadaan hari dan perasaanya yang hampa. Kubler Ross juga melihat dua cara yang dilakukan para pasien terminal dalam menghadapi kematiannya. Pertama, pasien menerima kematiannya dengan bantuan kondisi tubuhnya dan keaadaan lingkungan sekitarnya. Pasien seperti ini biasanya, sudah berusia tua dan menyadari bahwa kematian akan menjemputnya dalam waktu dekat. Ia merasa sudah siap mati karena ia sendiri menganggap bahwa ia telah menyelesikan tugas-tugas hidupnya. Kedua, pasien terminal telah mengerti akan akhir hidupnya maka ia memberikan waktunya untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi kematiannya. Ia mendapat bantuan, baik dari orang-orang yang berurusan dengannya maupun dorongan-dorongan positif dari anggota keluarganya. Dengan demikian mereka dapat menerima kematiannya sebagai nasib yang harus dijalaninya. BAB III KEMATIAN DAN MAKNANYA: NSPIRASI DARI JOHN HICK Sekilas Tentang John Hick Profesor John Hick, lahir 20 Januari 1922 di Scarborough, adalah seorang teolog dan filsuf Agama yang sangat penting dan berpengaruh. Dalam dunia filsafat teologi, dia telah memberi banyak sumbangsih khususnya bagi disiplin theodicea, eskatalogi, dan kristologi. Dalam bidang filsafat agama, pemikirannya telah berpengaruh banyak bagi perkembangan epitemologi agama dan khususnya pluralisme agama. Pernah mengecap pendidikan di bidang hukum pada Hull University, dan selama di sana ia mengalami metamophosa keberimanan dari Kalvinis Orthodoks yang konservatif menjadi Katolik. Pengalaman dari Hull University, tidak mengurungkan niatnya untuk study lanjut, maka pada tahun 1940, ia melanjutkan pendidikannya di bidang flsafat pada Edinburg University. Terhambat oleh perang dunia kedua, ia harus diungsikan, untuk sementara pendidikannya harus berhenti. Pada tahun 1948, dia kembali ke Edinburg untuk melanjutkan study flsafatnya yang sempat tertunda dan berhasil menyelesaikan sarjananya. Di Oriel College pada Oxford University ia

mengadakan penelitian untuk meraih gelar dktoralnya di bawah pengawasan Filsuf H.H.Price. Thesisnya kemudian menjadi buku pertamanya, Faith and Knowledge (1957). Pada tahun 1956, ia memutuskan untuk pergi ke Amerika dan pertama kalinya menjadi pendidik pada Cornel University. Tiga tahun kemudian, ia juga menggambil posisi yang sama pada Princenton Theological Seminary. Di sana ia mulai dikenal sebagai teolog yang lain, dan mendapat sorotan dari banyak tokoh mengenai buah pikirannya yang lain. John Hick adalah seorang filsuf dan teolog anglikan yang cukup dikenal bereaksi terhadap sketipsisme Barat, khususnya di Inggris mengenai hidup setelah kematian (after-life), dan mengemukakan tesis bahwa pengertian religius mengenai hidup manusia menuntut kepercayaan akan hidup yang tak akan mati. Tanpa kepercayaan akan immortality, demikian Hick, paham religius tidak akan masuk akal. Dia telah mendapatkan beberapa gelar akademis penting dari berbagai universitas ternama, seperti Danfort Professor Of The Philosophy And Religion pada “Claremont Graduate Univerty”, Guru besar teologi pada University Birmingham, dan anggota penelitian lanjutan bidang ilmu seni dan Sosial pada University Birmingham. Dia juga pemimpin pada British Society fr Philosophy or Religion dan juga pamimpin utama padaThe World Congress of Faiths. Profesor Hick telah menulis banyak buku dan paper dari hasil penelitiannya dan telah diterjemahkan kedalam 16 bahasa. Beberapa diantaranya: Faith And Kowledge, Philisophy Of Religion, Evil And The God Of Love, Argument For The Existensi Of God, God and The Universe of Faiths, The Second Cristianity, Death End Eternal Life , Problem Of Religion Pluralism. Di samping itu ia juga menjadi penyunting beberapa buku seperti: Faith And Philosopers, The Exixtence of God, The Mith Of God Incarnate, The Experience Of Religious Diversity, Christianity And Other Religious. Kematian Menurut John Hick Semua mahluk hidup akan mati tetapi hanya manusia yang tahu bahwa ia akan mati, dan hidup dalam kesadaran akan hari akhir itu. Kesadaran akan kematian itu menimbulkan berbagai sikap pemberontakan kepada manusia, sebab pada hakikatnya manusia ingin hidup kekal di dunia ini. Dunia dipahami sebagai perwujudan citra manusia sesamanya. Maka, hanya kematian yang mampu menghalangi, menghambat manusia dalam mewujudkan cita-citanya itu. Tak aneh, jika hidup manusia selalu di bayang-bayangi rasa takut pada si penghancur, yang pasti akan datang dan mengakhiri segala yang dirasakan dan dimiliki selama ini, menjadi sia-sia belaka. Adanya fakta kematian mengharuskan manusia untuk menggali makna hidup yang lebih mendalam dan lebih berarti. Makna hidup yang masuk akal bagi John Hick adalah menerima fakta kematian sebagai bagian dari hidup. Maka kematian bukan lagi dipandang sebagai sesuatu yang mestinya ditakuti, sebab kematian bukanlah akhir dari segalagalanya. Kematian menurut John Hick adalah bagian dalam proses perkembangan hidup manusia yang akan mencapai puncaknya pada immortalility (keabadian). Sebab hakikat hidup bagi John Hick adalah proses pembentukan pribadi kearah kesempurnaan (perfectio) secara terus-menerus. Kesempurnaan dengan demikain tidak terjadi di dunia ini disebabkan fakta kematian. “Is there a life after death?” Adalah sebuah pertanyaan yang telah lama dilontarkan oleh berbagai kalangan seperti kaum religius juga pemikir. Tak ubahnya dengan John Hick. Bagi John Hick pertanyaan “apakah dapat dipahami pandangan religius tentang verifikasi eskatologis?” Kemudian bagaimana signifikan dan koherensinya dengan “life after the death”. Kontribusi John Hick seputar perdebatan dan pertanyaan itu tergumpal dalam “Death and Eternal Life (1976)”. Disiplin dan perhatiannya seputar thema itu semakin penting ketika ia menelurkan ide “Exact Replica” yang tampak dalam artikel berjudul heology and Verification, dalam Theology Today, edisi April 1960. Ide “Exact Replica” kemudian meneguhkan pemahamannya tentang “life after the death”. John Hick mendeskripsikan kepercayaan tradisional Kristen tentang “Life After The Death” sebagai “unrealistic” dan ia mendasarkan argumen pada “observable fact” yang dalam

keberlanjutan waktu mengatasi (beyond) kematian yang di dalamnya ada kontinuitas proses menuju kesempurnaan. Hick percaya bahwa adanya kemungkinan menuju kehidupan lanjut supaya memperoleh self-trancending. Dalam death and eternal life, dia mendeskripsikan life after sebagai sebuah proses bertambahnya manusia kedalam persatuan (communion) dengan Allah . Dalam rangka itu pertama sekali manusia ada dalam ketidakbertubuhan (disembodied) setelah hidup ini, kemudian tahap kebertubuhan (embodied), dan akhirnya kebersatuan langsung dengan kekekalan Allah. Hidup Kekal (Eternal Life) Menurutnya hidup adalah perkembangan yang belum selesai dan berahir dengan kematian. Kematian adalah suatu gerak evolusi menuju hidup immortalitas. Perkembangan hidup tidak berhenti pada satu titik, tetapi ada pada immortalitas itulah yang disebut titik perkembangan. Immortalitas harus diterima demi penggapaian makna dalam kehidupan religius manusia. Manusia akan menemukan kesempurnaan dirinya dan mencapai titik kulminasinya pada kehidupan setelah kematian (eternal life). Pada tataran itu, hidup manusia “tidak akan mati” dan mengandaikan kematian dalam kehidupan sekarang ini bukanlah akhir, dan belum selesai segala-galanya, tetapi adanya kelangsungan yang kontinuitas. Secara religius ia menyakini dan menuntut adanya eskatologi untuk menyebut the life after. Namun sebelum menggapai eskatologi manusia terlebih dahulu melalui dan menghidupi, menempati tataran praeskatologi. Lebih lanjut, menurutnya ada proses, tahapan sebelum manusia mencapai dan tinggal dalam “communion with God” atau Eternal life. Tahap pertama, hidup sekarang yaitu hidup yang ditandai oleh proses pembentukan perkembangan pribadi. Di dunia ini, idealnya terjadi “kematangan kepribadian” manusia sebelum kematian menerpanya. Ketika kematian menjemput, maka manusia menggapi tahap kedua, yaitu praeskatologi. Praeskatologi yang adalah hidup setelah hidup ini, (hidup di seberang kematian) bertujuan untuk pembentukan kesempurnaan. Keadaan praeskatologi bertujuan untuk menyempurnkan hidup (kepribadian). Status praeskatologis dapat dibandingkan dengan api pencucian, tetapi tanpa kepastian akan kesempurnaan defenitif yang diperoleh berdasarkan suatu pengadilan khusus sesudah hidup ini. Pada awal keadaan praeskatologis, keadaan manusia dapat diumpamakan dengan mimpi. Keadaan praeskatologi tidak mempunyai badan dan ditandai oleh situasi mawas diri serta tidak mengalami pengaruh-pengaruh baru. Sesudah itu manusia mendapat tubuh baru sehingga keadaan itu dapat dibandingkan dengan kebangkitan. Namun demikian, sebetulnya kebangkitan sungguh-sungguh sebab tubuhnya bukan serba baru melainkan replica dari tubuh yang pertama. Alasannya, manusia itu badaniah sehingga hidup dalam terbatas waktu, dengan awal dan akhir. Menurut John Hick, disamping dunia kita ini, masih ada macam-macam dunia lain dan kiranya tidak ada radio-komunikasi atau hubungan roket antara dunia kita ini dengan dunia yang lain itu. Semua dunia yang lain masing-masing berdiri sendiri. Oleh karena itu, tubuh manusia di dunia yang satu berbeda satu sama lain, meskipun mirip (replica). Ketika manusia berkembang dari dunia dan replica yang satu ke dunia dan replica yang lain sampai akhirnya ia mencapai eskaton. Ketiga, Eskatologis. Pada tahap ini, manusia sudah bersatu dengan kekekalan Allah. Kesempurnaan telah tergapai. Kebangkitan dan “Tiruan”

Perihal ‘replica’, Hick mencoba mendeskripsikan tentang kebangkitan manusia sebagai sesuatu yang dapat dipahami dalam pikiran modern. Dia menolak paham tradisional ala patristik tentang kebangkitan yang ditandai ‘re-collection of original bodily particles’ tetapi menerima paham modern bahwa kebangkitan tubuh menjadi sebuah tubuh yang baru dan berbeda (new and different body). Hal itu terjadi sebab dalam lingkungan baru (new environment) dengan berbagai cara tubuh yang baru (tubuh tiruan, duplikat) tersebut disesuaikan dengan lingkungan baru pula. Jadi, personalitas (“personality”) diselamatkan kembali oleh Allah ditempat lain. Adalah gagasan yang baru bahwa dia (John Hick) menganjurkan kebangkitan tubuh yang dipertimbangkan sebagai sebuah exact psycho-physical ‘replica’ dari tubuh yang mati. Dia mengelaborasi teorinya dengan contoh sebagai berikut: For example, at some learned gathering in London one of company suddenly and inexplicably disappears and the next moment an exact “replica” of hm suddenly and inexplicbly appears at some comparable meeting in New York. The person who appears in New York is exactly similar (bodily and mental characteristics, to person who disappears in London. There is continuity of memory, complete similarity of bodily features, including fingerprint, hair dan eye colouration and stomach content, and also of beliefs, habits and mental propensities. In fact there is everything that would lead us to identify the one who appeared with the one who disappeaed, except continuous occupancy of space. Hick kemudian memperluas dan menerapkan gambaran tersebut pada penampakan sebuah ‘replica’ tidak di dunia ini tetapi ruang lain (another space) yang mengikuti kematian. Sebagai ganti pemindahan (transference) orang ke tempat lain, kita harus mengimajinasikan transportation ke dunia, ruang lain. Lagi pula, dunia yang lain itu akan menjadi satu ditempati oleh ‘replicas’ yang lain. Tetap menjadi pertanyaan bahwa apakah ‘replica’ dan orang yang asli sebelum kematian adalah satu dan sama atau apakah parameter Hick yang menyebut sebagai exactly similar replica menjamin kita bahwa replica itu sungguh-sungguh orang yang mati? Dan apakah indentitas personal adalah individual yang tetap terpelihara? Untuk menjawap pertanyaan tersebut, bagi Hick, adalah exact similarity plus uniqueness cukup untuk kita mengindentifikasi ‘replica’ orang sebagai orang yang telah mati. Dia mencoba mengaksentuasikan ide, gagasan tentang keunikan dengan menempatkan kata ‘replica’ dalam tanda kutip dan bukan tanpa tanda kutip. Dia menuliskan berikut: The quotes are intended to mark the different between teh normal concept of a replica and the more specialised concept in use here… if a putative “replica” did exist simultaneously with its original it would not be a “replica” but a replica; and if there were more then one they would not be “replicas” but replicas. Dengan demikian ‘replica’ akan mempunyai keunikan yang terindentifikasi penuh dengan yang asali dan original.

BAB IV ETERNAL LIFE: SEBUAH KESAKSIAN HIDUP SETELAH MATI Kelahiran kita hanyalah suatu tidur atau suatu pengabaian arwah yang bangkit bersama kita, adalah bintang kehidupan kita, di lain tempat telah memiliki ketetapannya, dan komet dari kejauhan: tidak dalam pengabaian seluruhnya, dan tidak dalam ketelanjangan sepenuhnya, tetapi kita datang dengan mengikuti awan-awan agung, dari Tuhan tempat kita berpulang: surga terletak pada kita saat kita kecil! Bayangan-bayangan rumah penjara mulai mendekat atas anak yang tumbuh, namun ia melihat cahanyanya, dan di mana itu mengalir, ia memandangnya dalam kegembiraannya; yang muda yang setiap hari jauh dari timur harus pergi, adalah Pendeta Alam, dan oleh

pandangan yang indah dalam perjalanan mengunjungi; pada jarak dimana ia melihat mati, dan pudar dalam cahaya hari biasa. (William Wordsworth, 1807) Eternal Life : Terbitnya Makna Kematian Kata kekal artinya di luar dari kemungkinan mati. Itu artinya apa yang abadi tidak bisa mati. Sejarah menunjukkan bahwa setiap manusia memiliki pemikiran adanya kehidupan setelah kematian (life after death). Hanya beberapa yang berani percaya bahwa kematian mengakhiri semuanya dan melalui kematian tubuh terdapat kematian roh dan jiwa manusia. Tak ayal lagi, jika kehidupan kekal sebagai sebuah hadiah yang meneguhkan bahwa kematian bukanlah sebuah kesiasiaan. Kematian dengan adanya kehidupan kekal, hanyalah sebuah proses, tahap menuju kehidup yang lain. Kematian dengan adanya kehidupan kekal meneguhkan bahwa segala laku hidup yang dilakukan di dunia ini bukanlah tanpa makna. Kematian akan meloncatkan kita pada tahap kesadaran akan segala laku hidup yang telah kita lakukan di dunia ini. Lebih dari itu kehidupan kekal sebagaimana dikemukakan John Hick bukanlah sebatas sebuah hipotesa atau keyakinan iman, yang kebenarannya bisa diperdebatkan lagi. Seumpama demikian pun, tentunya kita bertabrakan dengan kebanyakan kepercayaan umat manusia. Saksi Masa Lalu Di mana pun kematian menjemput, pada saat yang sama tercuatkan kesadaran akan kepastian keabadian. Dalam diri (jiwa) setiap orang (orang suci juga orang bejat) menyerukan harapan yang sama tentang hidup setelah kematian. Dan jarang sekali yang tercuat adalah kematian kekal. Lebih jauh lagi dalam semua kebudayaan dan peradaban yang mendahului kebudayaan industri, nampak adanya kesamaan universal tentang kehidupan setelah kematian, meskipun bentuknya bervariasi. Dari kebudayaan yang paling prmitif sampai kebudayaan dunia Barat yang maju, kematian tidak pernah dianggap sebagai kehancuran atau akhir mutlak; sebaliknya kematian berarti “perubahan hidup”, semacam tahap dalam kontinuitas eksistensi. Prasejarah mewahyukan bahwa manusia yang paling purba pun percaya akan sejenis hidup sesudah mati. Dalam banyak hal, upacara pemakaman yang ditandai dengan pengaturan posisi-posisi mayat, mengandaikan bahwa orang yang mati diduga masuk ke dalam suatu hidup yang baru. Hal yang sama dengan penemuan peninggalan-peninggalan arkeologis (khususnya alatalat intensional) semacam itu dianggap sebagai indikasi untuk sifat manusia. Fenomena tersebut, menandaskan bahwa manusia sudah sejak lama memiliki kesadaran dan reflektifitas akan adanya kehidupan lain selain di dunia ini. Mesir, tempat belajar seni dan ilmu dunia, memiliki keyakinan kuat tentang keabadian. Professor Salmond dalam “Doctrine of Immortality” berkata bahwa orang Mesir punya reputasi menjadi orang pertama yang mengajarkan doctrine of immortality. Seni balsam Mesir muncul dari kepercayaan mereka tentang keabadian juga adalah hal yang biasa peti jenasah disebut “perkakas kehidupan.” Pengertian mereka akan hidup sesudah kematian memunculkan ide pyramid, salah satu keajaiban dunia. Monumen ini dibangun karena kepercayaan jiwa kembali ke tubuh dan membutuhkan tempat abadi. Jadi pyramid besar dan mummi Mesir mengatakan pada kita kepercayaan akan jiwa yang tidak mati. Orang Afrika juga percaya akan adanya kehidupan setelah kematian. Kita diberitahu bahwa seorang istri yang meninggal biasanya kuburnya diletakkan di sebelah tempat tinggal agar mereka tetap bersama dalam dunia “melihat roh yang pergi.” Madison C. Peters mengutip cerita David Livingstone tentang kepercayaan Chinsunse tua: “Kita hidup hanya beberapa hari disini, tapi kita hidup kembali setelah kematian; kita tidak tahu di mana, atau dengan kondisi apa, atau siapa yang menemani, karena yang mati tidak

kembali untuk mengatakan pada kita. Kadang yang mati kembali dan muncul dalam mimpi kita; tapi mereka tidak bicara, atau mengatakan kemana mereka pergi, atau bagaimana keadaan mereka.” Dalam kebuasannya, suku Indian di Utara Amerika, punya pemikiran, kepercayaan tentang hidup sesudah kematian. Kepercayaan tersebut mereka konkret dalam bentuk khusus pemakaman orang-orang mati. Mayat-mayat tidak dikebumikan, juga tidak dibakar, tetapi terbuka di udara, di atas sebuah perancah dimana “matahari, angin, hujan atau awan-awan akan memelihara mereka”. Tempat-tempat pemakaman terbuka itu bagi orang indian bersifat sakral, dan banyak petualang Far West tewas karena melangar tabu itu. Sebagian lagi suku Indian Amerika Utara, wujud kepercayaan mereka ditampakkan dengan menyediakan kepergian kepala suku dengan peralatan yang diperlukan dimana Roh Agung hidup, yaitu menguburkannya dengan busur dan panah serta kano. Dalam suku Asiatik kepercayaan akan kehidupan lain tampak dalam prosesi kremasi tubuh. Saat kremasi, diyakini bahwa api tuhan mengambil orang mati dan mengangkutnya kepada alam dunia lain. Kadang-kadang, didahului dengan pengorbanan, pembakaran binatang kedalam api dan tanah. Sepanjang sejarah umat manusia, kita melihat keyakinan akan keabadian sebagai suatu realita. Secara umum dipercaya, hal ini merupakan hal yang tidak bisa dirusak dari semua intuisi. Kita setuju dengan Dr. Lockyer: “tanpa keraguan, meneguhkan bahwa kepercayaan adanya kehidupan setelah kematian datang dari wahyu manusia pertama melalui Penciptanya, dan menjelajah diseluruh masa. Harapan keabadian, berdiam dalam dada orang liar maupun suci, ditanamkan disana oleh Dia yang tidak berawal dan berakhir.” Dengan keyakinan dan kesaksian ini semua amatlah pantas dicatat bahwa adanya universalitas kepercayaan akan hidup baru. Kepercayaan universal itu diwarnai oleh beberapa ciri khas. Seringkali dia terikat pada ide-ide religius, seperti pertemuan dengan seorang dewa, atau pemasukan ke dalam suatu dunia ilahi. Lebih sering lagi kepercayaan akan kehidupan sesudah mati ini tidak lepas dari dimensi moral atau etis kelakukan manusia dunia ini, seperti kebudayaan Mesir Kono. Pendeknya suara hati manusia yang paling sederhana melihat dirinya dalam suatu kontinuitas dimana ketidakadilan-ketidakadadilan dunia ini di imbangi dengan status dunia yang menyusul kematian. Akhirnya keseluruhan kepercayaan, upacara, dan implikasi moral itu mengakibatkan suatu keyakinan lain: bahwa hidup ini bersifat signifikan, atau berarti. Dunia akhirat atau “di sebelah sana” mengkondisikan dunia “di sebelah sini”. BAB V PENUTUP DAN KESIMPULAN Kematian adalah kiniscayaan, tidak satu jiwa pun mampu menghindarinya. Hanya manusia yang sadar dan hidup dalam kesadaran itu, demikian menurut John Hick. Kendati sadar, manusia biasanya memberontak, karena anggapan mereka fakta kematian akan menghambat bahkan meluluhkan perwujudan citranya di dunia ini. Tetapi John Hick, hidup yang masuk akal adalah hidup yang mengakui fakta kematian sebagai bagian dari hidup. Adanya fakta kematian, sejatinya akan menghantarkan manusia kepada penggalian makna hidup. Dan kematian menurutnya adalah bagian dalam proses perkembangan hidup yang akan mencapai puncaknya pada kekekalan (immortality). Itulah yang disebut dengan kehidupan kekal (eternal life). Hakikat hidup adalah proses pembentukan pribadi terus-menerus menuju kesempurnaan (ferfectio). Maka hidup tak lain adalah perkembangan yang belum berahir dan selesai dengan kematian. Kematian hanyalah sebuah loncatan untuk memasuki gerak evolusi menuju immortalitas. Titik immorlitas itulah yang disebut John Hick dengan titik perkembangan. (http://nelkaonline.wordpress.com/2007/11/21/kebermaknaan-kematian-menurut-johnhick/)

Related Documents

Hick Pp
June 2020 4
Kematian
June 2020 35
Kart Hick
June 2020 6