LAPORAN KASUS BESAR
ODS MIOPIA RINGAN
Diajukan untuk melengkapi tugas kepaniteraan senior Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Penguji kasus
: dr. Liana Ekowati, M.Si.Med., Sp.M
Pembimbing
: dr. Sisilya Maria Umboh
Dibacakan oleh
: Prianka Bayu Putra ( 22010114210002 )
Dibacakan tanggal
: 31 Desember 2014
BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2014
HALAMAN PENGESAHAN Melaporkan kasus seorang perempuan 22 tahun dengan ODS Miopia Ringan Penguji kasus
: dr. Liana Ekowati, M.Si.Med., Sp.M
Pembimbing
: dr. Sisilya Maria Umboh
Dibacakan oleh
: Prianka Bayu Putra ( 22010114210002 )
Dibacakan tanggal
: 31 Desember 2014
Diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Semarang, 31 Desember 2014
Mengetahui Penguji Kasus,
dr. Liana Ekowati, M.Si.Med., Sp.M
Pembimbing,
dr. Sisilya Maria Umboh
2
ODS MIOPIA RINGAN LAPORAN KASUS Penguji kasus
: dr. Liana Ekowati, M.Si.Med., Sp.M
Pembimbing
: dr. Sisilya Maria Umboh
Dibacakan oleh
: Prianka Bayu Putra ( 22010114210002 )
Dibacakan tanggal
: 31 Desember 2014
I.
PENDAHULUAN Gangguan fungsi mata yang dapat dirasakan oleh seseorang adalah menurunnya tajam penglihatan termasuk penglihatan warna, dan gangguan lapang pandang.1 Tajam penglihatan dipengaruhi oleh refraksi, kejernihan media refrakta dan saraf. Bila terdapat kelainan/gangguan pada komponen tersebut, dapat mengakibatkan penurunan tajam penglihatan. Kelainan refraksi yang dapat menganggu penglihatan dalam klinis, antara lain adalah miopia, hipermetropia, dan astigmatisma.2,3,4 Miopia merupakan suatu kelainan refraksi dimana keadaan mata mempunyai kekuatan pembiasan sinar yang berlebihan, sehingga sinar sejajar yang datang dibiaskan di depan retina. Untuk mengoreksinya dipakai lensa sferis minus. 5 Penyakit mata, khususnya yang menyebabkan kebutaan, sampai saat ini merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Menurut Kementrian Kesehatan, prevalensi nasional kebutaan di Indonesia adalah sebesar 0,9%, dan gangguan refraksi menempati urutan ke-3 (sebesar 0,14%) setelah katarak dan glaukoma.3 Hasil survei oleh Hartanto didapatkan prevalensi kelainan refraksi tak terkoreksi penuh yang terbanyak adalah miopia dengan presentase 58,15%.4
3
Laporan ini menyajikan tentang perempuan berusia 22 tahun dengan ODS miopia ringan.
II.
III.
IDENTITAS PENDERITA Nama
: Nn. O
Umur
: 22 tahun
Agama
: Islam
Alamat
: Gergaji IV No.1133, Semarang
Pekerjaan
: Mahasiswa
No. CM
: C415392
ANAMNESIS (Autoanamnesis pada tanggal 27 Desember 2014 di Poliklinik Mata RSUP Dr. Kariadi) Keluhan Utama
: Penglihatan kedua mata kabur
Riwayat Penyakit Sekarang : ± 1 tahun SMRS, pasien mengeluh penglihatan kedua mata kabur terutama pada saat melihat jauh. Mata kanan terasa lebih kabur dibandingkan dengan mata kiri. Mata merah (-), nrocos (-), pandangan silau (-), kotoran mata (-). Pandangan terasa lebih jelas bila pasien memicingkan mata, pusing (-). Pasien sering membaca sambil tiduran, aktivitas di depan komputer dan menonton televisi >1 jam per hari tanpa istirahat. Pasien datang ke klinik mata swasta dan diberikan kacamata, namun pasien sering tidak menggunakan kacamata tersebut saat beraktivitas. Dalam waktu ± 1 bulan terakhir, pasien merasa tidak nyaman saat menggunakan kacamata tersebut. Pasien lalu datang ke RS Dokter Kariadi.
4
Riwayat Penyakit Dahulu : -
Riwayat trauma di mata disangkal
-
Riwayat operasi pada mata disangkal
-
Riwayat sakit kencing manis disangkal
-
Riwayat pemakaian kacamata minus ± 1 tahun sebelumnya (+), pasien lupa ukuran kacamata yang digunakan
Riwayat Penyakit Keluarga : -
Ayah pasien menggunakan kacamata minus
-
Ibu pasien mengunakan kacamata minus
-
Riwayat sakit kencing manis pada keluarga disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi :
IV.
-
Pasien adalah seorang mahasiswa, belum menikah
-
Ayah bekerja sebagai PNS, ibu merupakan ibu rumah tangga
-
Biaya pengobatan ditanggung sendiri
-
Kesan : sosial ekonomi cukup
PEMERIKSAAN PEMERIKSAAN FISIK Status Praesens (tanggal 27 Desember 2014) Keadaan umum
: Baik
Kesadaran
: Compos mentis
Tanda vital
: TD : 120/80 mmHg Nadi : 84x/menit
Pemeriksaan fisik
: Kepala : Thoraks :
Suhu : 36,80C RR: 19x/menit
mesosefal Cor
: tidak ada kelainan
Paru
: tidak ada kelainan
Abdomen
: tidak ada kelainan
Ekstremitas
: tidak ada kelainan
5
Status Oftalmologi (Tanggal 27 Desember 2014)
Oculus Dexter
Oculus Sinister
6/20
VISUS
6/10
S -0.75 6/6
KOREKSI
S -0.50 6/6
Tidak ada kelainan
SENSUS COLORIS
Tidak ada kelainan
Gerak bola mata ke segala arah
BOLA MATA
Gerak bola mata ke segala arah
baik
baik
Tidak ada kelainan
SUPERCILIA
Tidak ada kelainan
Edema (-), spasme (-)
PALPEBRA SUPERIOR
Edema (-), spasme (-)
Edema (-), spasme (-)
PALPEBRA INFERIOR
Edema (-), spasme (-)
Hiperemis (-), sekret (-)
CONJUNCTIVA
Hiperemis (-), sekret (-)
PALPEBRALIS Hiperemis (-), sekret (-)
CONJUNCTIVA FORNICES
Hiperemis (-), sekret (-)
Injeksi (-), sekret (-), khemosis
CONJUNCTIVA BULBI
Injeksi (-), sekret (-), khemosis
(-)
(-)
Tidak ada kelainan
SCLERA
Tidak ada kelainan
Jernih
CORNEA
Jernih
Kedalaman cukup,
CAMERA OCULI
Kedalaman cukup,
Tyndal effect (-)
ANTERIOR
Tyndal effect (-)
Kripte (+)
IRIS
Kripte (+)
Bulat, central, regular,
PUPIL
Bulat, central, regular,
diameter : 3mm, Refleks Pupil
diameter : 3mm, Refleks Pupil
(+) N, Relative Afferent
(+) N, Relative Afferent
Pupillary Defect (-)
Pupillary Defect (-)
6
Jernih
LENSA
Jernih
(+) cemerlang
FUNDUS REFLEKS
(+) cemerlang
T (digital) normal
TENSIO OCULI
T (digital) normal
Tidak dilakukan
SISTEM CANALIS
Tidak dilakukan
LACRIMALIS Tidak dilakukan
TEST FLUORESCEIN
Tidak dilakukan
Pemeriksaan Funduskopi ( Oculi Dextra et Sinistra ) : -
Papil N.II
: bulat, batas tegas, myopic crescent (-), cup/disc ratio 0,3; warna kuning cemerlang
-
Vasa
: artery/vein ratio 2/3, perjalanan dalam batas normal
-
Retina
: edema (-), perdarahan (-), eksudat (-), tigroid (-)
-
Makula
: refleks fovea (+) cemerlang
Pemeriksaan Binokularitas :
- Alternating Cover Test (+) - Duke Elder Test (-) - Distorsi (-)
Pemeriksaan Pupil Distance :
- Dekat = 59 mm - Jauh = 61 mm
V.
RESUME ± 1 tahun SMRS, pasien mengeluh penurunan visus okuli dextra et sinistra terutama pada saat melihat jauh. Okuli dextra terasa lebih kabur dibandingkan dengan okuli sinistra. Hiperemis (-), lakrimasi (-), fotofobia (-), sekret (-). Pandangan terasa lebih jelas bila pasien mengakomodasikan okuli dextra et sinistra, pusing (-). Pasien rutin beraktivitas jarak dekat (+). Pasien telah diberi kacamata minus, namun sering tidak digunakan. ± 1 bulan terakhir, pasien merasa tidak nyaman saat menggunakan kacamata tersebut.
7
Pemeriksaan Fisik : Status praesens
: dalam batas normal
Status oftalmologi
:
Oculus Dexter
VI.
Oculus Sinister
6/20
VISUS
6/10
S -0.75 6/6
KOREKSI
S -0.50 6/6
DIAGNOSA KERJA ODS : miopia ringan
VII.
PROGNOSIS OD
OS
Quo ad visam
ad bonam
ad bonam
Quo ad sanam
Dubia ad bonam
Dubia ad bonam
Quo ad vitam
ad bonam
Quo ad cosmeticam
ad bonam
8
VIII. TERAPI Resep kacamata sesuai dengan koreksi Resep : Untuk Jauh Untuk Dekat Kanan 90° 0°
Sph D -0.75 U. Jauh
Kiri 90° 180°
Cylinder D as
Prisma gr bas
0°
Sph D -0.50
180°
Cylinder D as
Prisma gr bas
U. Dekat
Jarak Pupil
IX.
Untuk jauh
: 61 mm
Untuk dekat
: 59 mm
USUL – USUL Kontrol poliklinik mata setiap 6 bulan untuk evaluasi visus.
X.
EDUKASI − Menjelaskan pada penderita tentang penyakit, rencana terapi, dan prognosisnya. − Menjelaskan bahwa pasien tidak boleh membaca sambil tiduran, tidak boleh membaca di tempat remang-remang/cahaya kurang, tidak boleh aktivitas di depan monitor dalam jarak yang terlalu dekat. − Kecocokan dengan kacamata yang diresepkan sekarang bisa berubah sewaktu-waktu karena perubahan struktur bola mata. − Menjelaskan tentang pentingnya memakai kacamata yang sesuai dengan koreksi dan menjelaskan tentang komplikasi yang akan terjadi bila tidak memakai kacamata yang tidak sesuai dengan koreksi.
9
XI.
DISKUSI Kelainan refraksi adalah keadaan di mana bayangan tegas tidak terbentuk
pada retina (macula lutea). Pada kelainan refraksi terjadi ketidakseimbangan sistem optik pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Pada mata normal, kornea dan lensa akan membelokkan sinar pada titik fokus yang tepat pada sentral retina. Keadaan ini memerlukan susunan kornea dan lensa yang sesuai dengan panjang bola mata. Sinar dibiaskan di depan atau di belakang makula lutea pada kelainan refraksi.5 Secara keseluruhan status refraksi mata ditentukan oleh :6 1.
Kekuatan kornea (rata-rata 43 D)
2.
Kedalaman camera oculi anterior (rata-rata 3,4 mm)
3.
Kekuatan lensa kristalina (rata-rata 21 D)
4.
Panjang aksial (rata-rata 24 mm)
Pemeriksaan visus dengan Optotipe Snellen. Kelainan refraksi bisa diketahui dengan melakukan pemeriksaan tajam penglihatan atau visus.Tujuannya adalah melakukan pemeriksaan refraksi secara subyektif. Pemeriksaan refraksi secara subyektif adalah suatu tindakan untuk memperbaiki penglihatan seseorang dengan bantuan lensa yang ditempatkan di depan bola mata. Alat-alat yang digunakan adalah Optotipe Snellen dan Trial Lens set. Prosedur pemeriksaan terdiri dari dua langkah :
1. Langkah pertama : Pemeriksaan Visus a) Pasien duduk dengan jarak 6 meter dari Optotipe Snellen, salah satu mata pasien ditutup kemudian disuruh membaca huruf terbesar sampai huruf terkecil. b) Bila huruf terbesar tidak terbaca maka pasien diperiksa dengan hitung jari. Contoh : visus = 1/60 (artinya pasien bisa membaca hitungan jari pada jarak 1 meter sedangkan orang normal bisa membaca hitungan jari pada jarak 60 meter)
10
c) Bila hitung jari tidak bisa, maka pasien diperiksa dengan lambaian tangan pada jarak 1 m. Pasien disuruh menyebutkan arah lambaian tangan. Hasilnya visus = 1/300 d) Bila lambaian tangan tidak bisa maka pasien diperiksa dengan menggunakan sinar, untuk membedakan gelap-terang. Hasilnya visus = 1/~ e) Bila tidak bisa membedakan gelap dan terang, maka visus disebut dengan no light perception. Pastikan dengan reflek pupil direk dan indirek.
2. Langkah kedua : Koreksi Visus a) Koreksi visus dilakukan jika pasien dapat membaca huruf Snellen. Pemeriksaan dilakukan dengan tehnik trial and error. b) Pasang trial frame. Koreksi dilakukan bergantian, dengan cara menutup salah satu mata. c) Pasang lensa sferis +0,5D. Setelah diberi lensa sferis +0,5D visus membaik, berarti hipermetrop. d) Koreksi dilanjutkan dengan cara menambah atau mengurangi lensa sferis sampai didapatkan visus 6/6. e) Koreksi yang diberikan pada hipermetrop adalah koreksi lensa sferis positif terbesar yang memberikan visus sebaik-baiknya. f) Jika diberi lensa sferis positif bertambah kabur, berarti miopia. Maka lensa diganti dengan lensa sferis negatif. g) Koreksi dilanjutkan dengan cara menambah atau mengurangi lensa sferis sampai didapatkan visus 6/6 h) Koreksi yang diberikan pada miopia adalah koreksi lensa sferis negatif terkecil yang memberikan visus sebaik-baiknya. i) Jika visus tidak bisa mencapai 6/6, maka dicoba dengan memakai pinhole j) Bila visus membaik setelah diberi pinhole, berarti terdapat astigmatisma maka dilanjutkan dengan koreksi astigmatisma.
11
k) Koreksi astigmatisma pada keadaan ini lakukan uji pengaburan (fogging technique). Setelah pasien dikoreksi untuk miopia yang ada, maka tajam penglihatannya dikaburkan dengan lensa positif, sehingga tajam penglihatan berkurang 2 baris pada kartu Snellen, misalnya dengan menambah lensa spheris positif 3. Pasien diminta melihat kisikisi juring astigmat, dan ditanyakan garis mana yang paling jelas terlihat. Bila garis juring pada 90° yang jelas, maka tegak lurus padanya ditentukan sumbu lensa silinder, atau lensa silinder ditempatkan dengan sumbu 180°. Perlahan-lahan kekuatan lensa silinder negatif ini dinaikkan sampai garis juring kisi-kisi astigmat vertikal sama tegasnya atau kaburnya dengan juring horizontal atau semua juring sama jelasnya bila dilihat dengan lensa silinder ditentukan yang ditambahkan. Kemudian pasien diminta melihat kartu Snellen dan perlahan-lahan ditaruh lensa negatif sampai pasien melihat jelas.1 l) Setelah visus menjadi 6/6, kemudian dilakukan pemeriksaan binokularitas, yaitu: − Alternating cover test Dilakukan dengan cara menutup kedua mata secara bergantian. Pasien membandingkan kedua mata mana yang paling jelas. Pada mata miopia, mata yang paling jelas koreksinya dikurangi. Pada mata hipermetrop, mata yang paling jelas koreksinya ditambah. − Duke elder test Pasien
disuruh
melihat
Optotipe
Snellen
dengan
menggunakan lensa koreksi, kemudian ditaruh lensa sferis +0,25D pada kedua mata. Jika pasien merasa kabur berarti lensa koreksi sudah
tepat,
apabila
menjadi
jelas
berarti
pasien
masih
berakomodasi.
12
− Distortion test Pasien disuruh berjalan sambil memakai lensa koreksi. Jika saat berjalan lantai tidak goyang-goyang dan tidak merasa pusing maka koreksi sudah tepat. − Reading test Untuk pasien yang berusia 40 tahun atau lebih, perlu dilakukan test penglihatan dekat. Diberi lensa sferis positif sesuai umur kemudian membaca kartu jaeger. Lensa addisi untuk penglihatan dekat biasanya diberikan berdasarkan patokan umur : •
40 tahun
: 1,00D
•
50 tahun
: 2,00D
•
> 60 tahun : 3,00D
m) Setelah semua pemeriksaan selesai maka dibuatkan resep kaca mata dimana sebelumnya telah diukur PD (pupil distance) dengan penggaris.
Miopia Miopia adalah kondisi di mana objek yang dekat terlihat lebih jelas daripada objek yang jauh yang disebabkan karena mata miopia memiliki kekuatan optik yang lebih besar akibat memanjangnya sumbu bola mata.Umumnya miopia pertama kali terjadi pada usia sekolah karena bola mata masih mengalami pertumbuhan dan berhenti progresivitasnya pada usia sekitar 20 tahun.8 Pada miopia terlalu kuatnya pembiasan sinar di dalam mata diakibatkan oleh :9 1.
Bola mata terlalu panjang
2.
Secara fisiologik sinar yang difokuskan pada retina terlalu kuat sehingga membentuk bayangan kabur atau tidak tegas pada macula lutea
3.
Titik fokus sinar yang datang dari benda yang jauh terletak di depan retina
4.
Titik jauh (punctum remotum) terletak lebih dekat atau sinar datang tidak sejajar, difokuskan pada macula lutea
13
Miopia juga memiliki beberapa tipe. Tipe – tipe dari miopia:6 1.
Miopia aksial Bertambah panjangnya diameter antero-posterior bola mata dari normal.
Pada orang dewasa penambahan panjang aksial bola mata 1 mm akan menimbulkan perubahan refraksi sebesar 3 dioptri. Miopia aksial disebabkan oleh beberapa faktor seperti : a) Memanjangnya sumbu bolamata tersebut disebabkan oleh adanya kelainan anatomis. b) Memanjangnya tekanan otot pada saat konvergensi.
2.
Miopia refraktif Bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti terjadi pada katarak
intumensen dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga pembiasan lebih kuat. Berdasarkan perjalanan miopia dikenal bentuk:1 a) Miopia stasioner yaitu miopia yang menetap setelah dewasa. b) Miopia progresif yaitu miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat bertambah panjangnya bola mata. c) Miopia maligna/pernisiosa/degeneratif, miopia yang berjalan progresif, dapat mengakibatkan ablasio retina dan kebutaan. Biasanya miopia lebih dari - 6 D disertai kelainan pada fundus okuli dan pada panjangnya bola mata sampai terbentuk stafiloma postikum yang terletak di bagian temporal papil disertai atrofi korioretina. Atrofi retina berjalan kemudian setelah terjadi atrofi sklera dan kadang terjadi ruptur membran Bruch yang menimbulkan rangsang terjadinya neovaskularisasi subretina. Pada miopia dapat terjadi bercak Fuch berupa hiperplasi pigmen epitel dan perdarahan, atrofi lapis sensoris retina luar, dan dewasa akan terjadi degenerasi papil saraf optik.
14
Berdasarkan derajat beratnya miopia dibagi menjadi:11 1.
Miopia ringan
< - 3,00 D
2.
Miopia sedang
- 3,00 s/d - 6,00 D
3.
Miopia berat
> - 6,00
Faktor risiko berkembangnya miopia:10 1.
Riwayat miopia pada keluarga
2.
Sering melakukan pekerjaan yang memerlukan penglihatan dekat
3.
Kurvatura kornea yang tajam atau rasio radius kornea yang memiliki panjang aksial yang lebar
Pasien dengan miopia akan menyatakan melihat jelas bila melihat benda dekat dan mengeluh kabur apabila melihat jauh. Pasien juga sering mengeluhkan sakit kepala, sering disertai juling, dan celah kelopak mata yang sempit. Pasien biasanya juga memiliki kebiasaan mengernyitkan mata untuk mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole. Pasien miopia memiliki punctum remotum yang dekat sehingga mata selalu dalam atau berkedudukan konvergensi yang menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila kedudukan mata ini menetap, maka pasien akan mengeluhkan juling atau esotropia.1 Miopia berdasarkan klinis : 1.
Miopia simpleks, dengan syarat: a.
Tidak dijumpai kelainan patologis pada mata
b.
Progresifitas mulai berkurang pada saat masa pubertas dan stabil usia 20 tahun
c.
Derajat miopia tidak lebih dari (-6 D)
d.
Visusnya dengan koreksi dapat mencapai penuh
15
2.
Miopia patologis a.
Bila miopia masih progresif
b.
Dijumpai tanda – tanda degeneratif pada vitreous, makula, dan retina
c.
Gambaran klinisnya antara lain: −
Secara keseluruhan, bola mata lebih besar dan terjadi pemanjangan hampir seluruhnya ke arah polus posterior.
−
Kurvatura lebih flat
−
COA lebih dalam
−
Pupil lebih lebar
−
Sclera lebih tipis
−
Pada fundus okuli dapat dijumpai papil N.II “myopic crescent” yakni bintik yang melebar karena bola mata membesar dan bertambah panjang. Dijumpai juga vasa choroid yang tampak jelas, choroid yang atrofi, dan retina tigroid, yakni keadaan di mana retina lebih tipis akibat kehilangan banyak pigmen sehingga retina tampak gambaran kuning hitam.
Beberapa hal yang mempengaruhi resiko terjadinya miopia, antara lain:6 1.
Keturunan. Orang tua yang mempunyai sumbu bolamata yang lebih panjang dari
normal akan melahirkan keturunan yang memiliki sumbu bola mata yang lebih panjang dari normal pula.
2.
Ras/etnis. Orang Asia memiliki kecenderungan miopia yang lebih besar (70%-90%)
dari pada orang Eropa dan Amerika (30%-40%). Paling kecil adalah Afrika (10%20%).
16
3.
Perilaku. Kebiasaan melihat jarak dekat secara terus menerus dapat memperbesar
resiko miopia. Demikian juga kebiasaan membaca dengan penerangan yang kurang memadai.
XII.
DIAGNOSIS Diagnosis miopia ringan dapat diperoleh dari anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Dari anamnesis didapatkan keluhan utama penglihatan kabur saat melihat jauh. Salah satu pemeriksaan mata yang dilakukan adalah pemeriksaan visus dan koreksi dengan Optotipe Snellen. Setiap mata diperiksa satu per satu. Pemeriksaan menggunakan kartu snellen dilakukan pada jarak 6 meter. Jika masih belum dapat terkoreksi penuh maka dilanjutkan dengan pemeriksaan pin hole (uji lubang kecil). Uji lubang kecil ini dilakukan untuk mengetahui apakah berkurangnya tajam penglihatan diakibatkan oleh kelainan refraksi atau kelainan pada media penglihatan. Bila ketajaman penglihatan bertambah setelah dilakukan pin hole berarti pada pasien tersebut terdapat kelainan refraksi yang belum dikoreksi baik. Bila ketajaman penglihatan berkurang berarti pada pasien terdapat kekeruhan media penglihatan ataupun retina yang mengganggu penglihatan.1 Pemeriksaan subjektif pasien miopia secara teliti dilakukan untuk mendapatkan kekuatan lensa yang terendah yang dapat dipakai. Pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan Duke Elder test, alternating cover test, distortion test, dan reading test.
XIII. PENATALAKSANAAN Tujuan penanganan adalah penglihatan binokular yang jelas, nyaman, efisien, dan kesehatan mata yang baik bagi pasien.11 Pilihan cara yang dapat mengatasi kelainan refraksi meliputi : 1.
Kacamata koreksi Pemilihan kacamata masih merupakan metode paling aman untuk
memperbaiki refraksi.2 Keuntungan penggunaan kacamata meliputi: lebih murah,
17
lebih aman bagi mata, dan membutuhkan akomodasi yang lebih kecil daripada lensa kontak. Kerugian penggunaan kacamata meliputi: menghalangi penglihatan perifer, membatasi kegiatan tertentu, dan mengurangi kosmetik.9
2.
Lensa kontak Keuntungan pemakaian lensa kontak adalah: memberikan penglihatan
yang lebih luas, tidak membatasi kegiatan, kosmetik lebih baik. Kerugian penggunaan lensa kontak: sukar dalam perawatan, mata dapat merah dan infeksi, tidak semua orang dapat memakainya (mata alergi dan mata kering).9
3.
Bedah refraktif Pembedahan ini dilakukan untuk memperbaiki penglihatan akibat
gangguan pembiasan. Jenis pembedahan meliputi pembedahan di kornea (radial keratotomi,
keratektomi
fotorefraktif/photorefractive
keratectomy/PRK,
automated lamellar keratoplasti/ALK, LASIK) dan lensa (implantasi lensa intra ocular, clear lens extraction).9
XIV. ANALISIS KASUS Diagnosis kasus ini adalah ODS miopia ringan yang berdasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarah pada diagnosis tersebut.Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluh penglihatan kedua mata semakin kabur. Apabila membaca jarak jauh, pasien mengeluhkan penglihatan menjadi kabur. Sebelumnya pasien juga telah menggunakan kacamata minus sejak ± 1 tahun yang lalu, rutin beraktivitas jarak dekat >1 jam per hari. Keluhan mata merah (-), nrocos (-), pandangan silau (-), kotoran mata (-). Pasien memiliki riwayat keluarga menggunakan kacamata minus yaitu ibu dan ayah pasien. Pemeriksaan status oftalmologis tidak didapatkan adanya tanda-tanda kekeruhan media refrakta dan didapatkan visus awal OD 6/20 dan OS 6/10. Setelah dilakukan koreksi visus OD dengan lensa sferis negatif 0,75 dioptri dan OS dengan lensa sferis negatif 0,50 dioptri , visus kedua mata menjadi 6/6. Pada
18
pasien ini diberikan terapi kacamata dengan lensa minus sesuai dengan hasil koreksi dikarenakan pasien menderita miopia yang dapat diakibatkan oleh bayangan jatuh di depan retina. Lensa minus dapat berfungsi mengurangi kekuatan daya pembiasan agar bayangan jatuh di retina. Pemberian terapi kacamata sesuai koreksi dilakukan untuk memperbaiki penglihatan pasien. Pemeriksaan visus tiap 6 bulan disarankan untuk memantau progresifitas dari miopia yang dideritanya. Pemeriksaan funduskopi disarankan untuk melihat keadaan fundus okuli dan saraf mata. Edukasi yang diberikan kepada pasien bertujuan untuk mencegah progresivitas miopia secara cepat dan mempertahankan keadaan penglihatan sebaik mungkin.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Yani, Dwi Ahmad. Kelainan Refraksi dan Kacamata. 2009. [Cited 29 November
2014].
Available
from
http://www.surabaya-eye-
clinic.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=54. 2. Vaughan DG, Taylor A, Paul R, et al. Oftalmologi Umum edisi 17. Jakarta: EGC,2009 3. Ilyas S. Kelainan Refraksi. Dalam : Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai penerbit FK UI,2004 4. Hartanto W, Inakawati S. Kelainan Refraksi Tak Terkoreksi Penuh di RSUP Dr.Kariadi Semarang periode 1 Januari 2002-31 Desember 2003.Media Medika Muda 4: 25-30, 2010. 5. Ilyas S. Kelainan refraksi dan koreksi penglihatan. Balai penerbit FK UI,2004. 6. Siregar, NH. Kelainan Refraksi yang Menyebabkan Glaukoma. [referat Repository USU]. 2008. [cited 29 November 2014]. Available from :http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3438/1/09E01854.pdf 7. Paul Riordan-Eva. Optics and Refraction. In Whitcher J P and Eva PR,Vaughan & Asbury’s General Ophtalmology 16th ed. New York: Mc Graw Hill, 2007. 8. American Optometric Association. Myopia (Nearsightedness). 2010. [cited
29
November
2014].
Available
from
:
http://www.aoa.org/myopia.xmlIlyas S. Optik dan Refraksi. Dalam : Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit Sagung Seto,2002 9. Univ. Sumatera Utara [repository] 2011. [Cited 29 November 2014]. Available
from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26191/3/ChapterII.pdf 10. Goss, DA, et al. Care of the Patient with Myopia. American Optometric Association. 2010. [cited 29 November 2014]. Available from : http://www.aoa.org/documents/CPG-15.pdf
20