Kalung

  • Uploaded by: Ibnu Purwanto
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kalung as PDF for free.

More details

  • Words: 5,702
  • Pages: 12
KALUNG DENGAN PENDAR WARNA PELANGI Oleh: Ibnu P B Nugroho Jumat ini adalah pekan ketiga dari bulan Agustus. Detik-detik kemerdekaan itu telah berlalu. Waktu yang tak terasa. Demikian pula halnya dengan yang dialami oleh Burhan. Ia tak merasakan aliran waktu. Mengalir dengan cepatnya. Dan hingga detik ini, ia belum sama sekali melihat tanda-tanda perubahan. Dihidupnya. Burhan telah duduk di dalam Masjid. Di shaf kedua dari depan. Tempat para Imam berdiri. Memimpin shalat. Di dekat mimbar. Tempat para Khatib. Membacakan khutbah. Burhan tengah khusyu' dengan amalan zikirnya. Membebaskan pikiran. Melupakan semua peristiwa. Lalu hanya tertuju pada satu arah. Demi memandang dan melihat Tuhan yang dicarinya. Akan tetapi, hingga detik ini, meski Burhan selalu berusaha khusyu' tetap saja ia tak berjumpa dengan yang dicarinya. Namun, ia tak putus asa. Burhan terus berusaha khusyu' dalam melafalkan zikir maupun shalat. Burhan tak kehilangan iramanya. Waktu telah hampir memasuki zhuhur. Seorang lelaki dengan gamis yang menyapu lantai berdiri. Ia membacakan keuangan Masjid yang lajunya tak beda antara kenaikan dan penurunannya. Lelaki itu juga membacakan agenda kegiatan yang berlangsung di tempat-tempat yang akan menggelar acara yang bertemakan religius. Burhan menatap lelaki tersebut. Mendengarkan setiap kalimat yang dilontarkannya. Zikirnya masih terlantun dalam dada. Hingga sebuah berita didengarnya dan menghentikan zikirnya yang khusyu'. Burhan kehilangan irama zikirnya. Tenggelam dalam berita yang baginya teramat besar dan tak pantas untuk dilupakan apalagi diabaikan. Seorang Kiai Haji meninggal, Jumat ini. Dan ia akan segera dishalatkan seusai shalat Jumat. Burhan menggelengkan kepalanya. Ia tak melihat keheranan dari wajah setiap orang yang dipandangnya. Mereka seperti mendengar berita yang biasa. Berita yang bagi mereka tak ubahnya seperti kejadian kawin cerai artis-artis dilayar kaca. Burhan memerhatikan sekelilingnya, lalu menundukkan pandangannya ketika suara bel terdengar. Tanda bila suara azan akan segera mengumandang. Burhan kembali khusyu'. Khidmat. Ia membuka lebar-lebar telinganya. Membiarkan suara azan memasuki gendang telinganya, seperti ketika ayahnya melantunkan azan di telinga kanannya. Burhan membuka ruang bawah sadarnya. Lantun azan usai terdengar. Burhan berdiri. Seluruh jamaah pun berdiri. Mereka memasuki ruang bawah sadarnya. Melakukan Rawatib dua rakaat. Takbiratul ihram dimulai. Dan waktu mengalir dalam ruku' dan sujud. Dalam I'tidal dan tu'maninah. Lalu satu kali tasyhadud mengakhirinya. Rawatib dua rakaat usai dilakukan. Oleh Burhan. Oleh seluruh jamaah. Bawah sadar mereka tetap terbuka. Demikian pula halnya dengan Burhan. Ia tetap khidmat dan khusyu'. Lalu kembali terdengar azan kedua. Mempertahankan bawah sadar Burhan dan seluruh jamaah untuk tetap terbuka. Seorang lelaki dengan jubah putih dan kain sorban di kepala melangkah melewati ruang shalat imam. Ia berjalan menghindari mic yang tertancap pada tiang penyangganya. Lalu sedetik kemudian ia telah berdiri di atas mimbarnya. Dan mengucap salam pada seluruh jamaah. Demikian kejadian kecil yang terjadi sebelum azan kedua bergema. Burhan terlelap memasuki ruang bawah sadarnya. Ia membiarkan pintu bawah sadarnya terbuka. Dimasuki oleh tamu yang berkunjung Jumat ini. Suara Khatib yang merdu melantun itu membuatnya luluh. Hatinya menjadi liat. Laksana bola pejal. Laksana tanah liat. Tak mengeras. Ia merasakan hal yang tak biasa Jumaat ini. Bahkan matanyapun berada di ambang batas. Antara sadar dan tidak sadar. Namun, suara Khatib dari atas

mimbar dengan mudahnya memasuki bawah sadarnya. Burhan menikmati lantunan ayat yang terkadang dikutip oleh Khatib. Jumaat ini tema yang teramat besar tentang kemerdekaan tak masuk dalam hitungan kalimat yang diucapkan oleh Khatib. Padahal Pak Camat telah mengundang Bapak Bupati untuk melaksanakan shalat di Masjid ini. Masjid yang telah menjadi Masjid paling besar di kabupaten yang dipimpin oleh Bapak Bupati. Dalam impiannya, Burhan menggelengkan kepala. Tetapi tidak dengan kepalanya yang namapak oleh seluruh jamaah. Ia takut dicap oleh jamaah bila shalatnya batal karena mememdam maksud tertentu ketika ia menggelengkan kepala. Burhan hanya dapat menggelengkan kepalanya dengan imajinasinya. Akan tetapi imajinasinya mengancam dirinya. Mengancam shalatnya. Tak ada kalimat kemerdekaan terlantun. Dalam imajinasinya, Burhan membayangkan tiga hingga lima bendera RMS yang terbang. Melayang. Di angkasa Maluku. Imajinasi Burhan mengancam nasionalisme yang baru saja mekar di hari kemerdekaan. Burhan tak menyalahkan imajinasi tersebut. Ia hanya menyerap dan menyimpan semua kenyataan yang berkejaran dalam hidupnya. Dalam imajinasinya Khatib yang berdiri di atas mimbar telah melakukan tindak subversif. Dengan tidak menghargai hari kemerdekaan yang merupakan hari jadi dari bangsa ini. Bangsa Indonesia. Akan tetapi dalam imajinasinya, Burhan melihat pula kejadian yang lebih subversif disbanding dengan khutbah sang Khatib. Burhan hanya memasang telinganya baik-baik. Setelah mengeluarkan napasnya. Membuang imajinasi yang serba keterlaluan. Serba berlebih. Pintu bawah sadarnya telah tertutup. Tak ada lagi yang dapat masuk ke dalam ruang bawah sadarnya. Selain hanya suara Khatib. Dan segala gerak-geriknya yang harus diikuti. Khutbah sang Khatib tidaklah sesubversif yang dikira Burhan. Ia sendiri menerima perkataan Khatib dengan tenangnya. Lalu satu baris kalimat yang terngiang dengan kuat di telinganya tak juga hilang. Bersyukur, bersyukur, dan bersyukur. Kalimat menggema dalam gendang telinga Burhan. Dan satu ayat yang khas dan popular tereja dari lidah Khatib. Yang bersyukur mendapat tambahan sementara yang kufur akan mengingat azab Tuhannya. Burhan terus membiarkan ayat tersebut emantul dalam dinding bawah sadarnya. Menumbuk satu dinding lalu memantul mengenai dinding yang lainnya. Ayat tersebut juga telah melahirkan banyak objek yang tak dikenalnya. Ayat tersebut juga melahirkan wajah dirinya. Wajah Burhan yang terkadang bersyukur. Dan sesaat kemudian alfa. Khilaf dan menjadi kufur. Khotbah pertama selesai. Berlalu. Dan Khatib duduk di atas singgasananya. Meletakkan tongkat yang dipegangnya ketika berdiri di atas mimbar. Melepaskan penat dan nyeri di tangannya. Sehabis berdiri sambil memegang tongkat yang tingginya hampir seukuran tubuhnya. Duduk di antara dua khutbah itu membuat Burhan merenungi keberadaan Uswatun hasanah yang diucapnya dalam salawat berulang sebanyak tiga kali. Pintu bawah sadarnya tetap tertutup. Dan salawat itu mempercepat gerak ayat yang disimpan Burhan. Ia bergerak seperti partikel gas yang tak berjeda dengan partikel sejenis lainnya. Dan Burhan merasakannya dengan nyama. Tenang dan damai. Lalu Khatib berdiri lagi. Tangannya kembali memegang tongkat di samping kirinya. Kini doa itupun terlantun. Seluruh jamaah memasukkan doa tersebut dalam ruang bawah sadarnya. Sembari melapalkan kalimat amin. Tanda mengiyakan semua doa yang telah diucap oleh Khatib. Pengiyaan ini memudahkan semua doa masuk dalam ruang bawah sadar. Dan Burhan merasakannya. Tak ada kalimat yang begitu indah dinikmati. Selain lantun doa yang memasuki ruang bawah sadar. Dan Burhan masih mempertahankan ruang bawah sadarnya. Sementara suara iqomat terlantun seusai khutbah. Lalu bawah sadar Burhan tenggelam dalam khusyu'nya bermi'raj menuju ruang yang lebih hening. Shalat Jumat itupun dilaksanakan.

Dua rakaat. Dimulai dari takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Kemudian Burhan mengingat pesan dan nasehat dari guru ngajinya agar membaca surat Fatihah, Qulhu, Al-Falaq, dan An-Nas masing-masing tujuh kali. Tetapi kali ini ia tak dapat melaksanakannya. Keranda mayat di belakang barisan jamaah telah menunggu untuk dishalatkan. *** Dua rakaat shalat jumat usai. Burhan masih berzikir dengan singkat. Mengikuti segala yang diucap oleh imam. Yang juga adalah Khatib mimbar. Kemudian waktu membangkitkan seorang lelaki. Lelaki lain yang tak berhubungan dengan tata laksana shakat jumat. Ia berdiri. Mendekati mic dan mengharapkan agar para jamaah berkenan menyalatkan jenazah. Jenazah dalam keranda. Di belakang barisan jamaah. “Mari kita lakukan shalat jenazah. Bagi sesepuh kita yang berpulang. Ke Rahmatullah.” Lantunan kalimatnya begitu mengajak. Lantas seluruh jamaah berdiri. Di antara mereka ada yang gegas. Meninggalkan Masjid. Sebab shalat jumat usai. Sebagian lagi berdiri ketika lelaki tersebut memanggil jenazah untuk dibawa masuk. Burhan masih berdiri di dalam Masjid. Ia menanti kedatangan jenazah dalam keranda. Seluruh jamaah masih ramai. Mereka melupakan bawah sadarnya. Mereka telah keluar dari ruang bawah sadar. Yang mereka masuki ketika pelaksanaa ritual shalat jumat. Dari awal mula memijakkan kaki. Pada Masjid. Hingga akhirnya shalat jumat itu sendiri. Mereka memasuki ruang bawah sadarnya. Dengan mudahnya. “Para jamaah sekalian. Beliau adalah seorang yang sangat disegani di lingkungannya. Beliau meninggalkan kelaurga tercintanya. Menuju Sang Maha Rahman. Dua belas cucu yang telah dewasa. Tujuh orang cicit yang manis dan lucu. Lima orang anak. Tiga lelaki. Dan dua perempuan. Beliau meninggalkan semuanya. Mengejar wajah istrinya. Yang telah terlebih dahulu dipanggil. Yang Maha Rahman.” Jenazah dalam keranda memasuki ruangan Masjid. Seluruh jamaah menggeser letak berdirinya. Memberi jalan untuk jenazah dalam keranda. Burhan berdiri di antara jamaah. Ia berdiri di samping tiang Masjid. Lalu menghadapkan wajah pada jenazah dalam keranda. Burhan menoleh pada salah satu jamaah. Yang berdiri di samping kanannya. Kemudian menoleh lagi. Kali ini pada jamaah yang berdiri di samping kirinya. Kemudian membuang pandangannya. Pada seluruh jamaah. Ia tak melihat wajah heran. Sekaligus takjub. Ketika jenazah dalam keranda memasuki ruang Masjid. “Masyaallah…!!!” teriak Burhan dalam ruang bawah sadarnya. Burhan melihat pancaran cahaya dari balik keranda. Warna begitu indah. Selayak hujan baru saja turun. Dan keranda menjadi basah. Lalu sinar matahari bersinar. Dari arah belakangnya. Warna yang dilihat Burhan adalah pelangi. Burhan menggelengkan kepalanya. Ia tak dapat berucap. Lalu menyenggol seorang jamaah disampingnya. “Kamu melihat warna itu?” Tanya Burhan pada seorang jamaah yang disenggolnya. “Warna apa…?” tanyanya dengan wajah bingung. Lalu tak perduli dengan ocehan Burhan. “Tidak. Lupakan saja.” Burhan langsung menghentikan pembicaraan itu. Ia masih memerhatikan jenazah dalam keranda yang diusung. Memasuki ruang masjid. Seperti suara lantun kalimat yang memasuki ruang baah sadarnya. Pendar warna pelangi itu tak juga hilang. Burhan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Ya Allah….!!!” Hanya kata itu yang sanggup diucap oleh Burhan. “Kamu melihat warna itu?” Burhan bertanya lagi. Kali ini pada jamaah yang lainnya. “Warna apa…? Burhan…!” jamaah itu mengenalnya. “Kamu tidak melihatnya. Kamu tidak melihat warna itu, Ikhsan!” Burhan mengejar pengakuan Ikhsan.

“Tidak. Aku tidak melihat warna apapun. Warna apa yang kamu lihat?” “Tidak. Lupakan saja.” Burhan kembali menghentikan percakapannya. Burhan masih melihat pendar warna pelangi. Matahari telah tak berada di belakang hujan. Gerimis. Namun, pendar pelangi itu masih terlihat. Warna-warninya seperti bersumber tanpa melalui perantara sama sekali. Tidak hujan. Bukan sinar matahari. Ataupun waktu. Yang melahirkan semuanya. Warna yang dilihat Burhan seperti pemberian langsung Sang Maha Rahman. Pada pemilik tubuh. Yang telah meninggalkan jasadnya. Wadagnya. Ruhnya terpisah. Lalu wadagnya itu teramat sucinya. Sehingga Burhan melihat pendar warna pelangi. Dari dalam keranda jenazah. “Ya Allah…!!!!!” zikir Burhan. “Aku tak tahu apa yang kulihat ini. Apakah ini bersumber dari Engkau. Ya Allah?” Burhan berjalan mengikuti arah gerak dari keranda jenazah. Ia berjalan disamping iring-iringan pembawa jenazah. Dan tiba-tiba, tubuh Burhan menabrak seorang lelaki. Berpakaian putih dengan kain sorban dibebatkan di kepala. Lelaki itu tersenyum padanya. Seolah membaca pikirannya. Dalam ruang bawah sadar. Lelaki itu masih tersenyum. Dan tak henti menatap padanya. Burhan melihatnya. Kemudian mengabaikan keberadaan dari lelaki itu. Ia masih mengiringi keranda jenazah. Memasuki Masjid. Berbaris tubuh jamaah terlewati. Keranda jenazah semakin mendekat pada mimbar. Pada ruang kecil imam. Iringan jenazah itu pun berhenti. Lalu orang-orang yang mengusungnya meletakkan keranda jenazah. Mereka meletakkannya di dekat ruang kecil imam. Perlahan para pengusung menjauh. Meninggalkan keranda jenazah. Sementara Burhan masih berjalan. Berusaha mendekati. Sedekat mungkin. Pada keranda jenazah. Akan tetapi, lelaki yang tadi dilihatnya kini telah berdiri dihadapannya. Menghalangi niatannya. Ia menggelengkan kepalanya pada Burhan. Ia menganggap ini suatu perintah yang biasa. Maka Burhan tak abai. Ia berdiri di jarak tiga meter dari keranda jenazah. Seorang imam bersiap di depan para jamaah. “Para jamaah. Beliau adalah orang terbaik yang kita kenal. Jasanya teramat banyak bagi kita. Dan sepertinya kita tak mampu membalas semua jasanya. Selain meneruskan apa yang telah dibangunnya untuk kita semua.” Imam bersuara dengan paraunya. Warna pelangi itu tak hilang. Burhan terus melihatnya. Warnanya berpendar dari dalam keranda. Warna pelangi dengan aura berwarna kehijauan. Bagi Burhan, ini adalah warna yang teramat indah. Warna yang pendar itu adalah warna yang membuat batinnya terasa tenteram. Waktu shalat pun akan segera tiba. Burhan dan seluruh jamaah mendengar semua petunjuk dari imam Masjid. Mereka mendengar dengan penuh patuh dan taat. Mereka akan melaksanakan shalat jenazah. Empat takbiratul ihram. Tanpa ruku'. Tanpa I'tidal. Tanpa sujud. Tanpa tu'maninah. Dan tetap diakhiri dengan salam. Lalu taawudz pun terdengar dari ruang sunyi. Ruang bawah sadar. Diikuti suara Fatihah yang mengejar jejak taawudz memasuki ruang bawah sadar. Lantas salawat yang terlantun mendorong ruang bawah sadar itu ke atas. Dan doa pemaafan terhadap semua kesalahan itu keluar dari ruang bawah sadar. Ia bergerak menuju keranda jenazah. Melingkupi warna pelangi yang dilihat Burhan. Cahaya yang berasal dari ruang bawah sadar bersatu dengan warna pelangi beraura kehijauan. Cahaya itu tidak melingkupi keranda dengan menelusup kedalamnya. Melainkan melingkupinya dari luar keranda. Dan salam pun terlaksana. Tanda shalat jenazah usai. Lalu sekali lagi imam Masjid meminta pada seluruh jamaah untuk memaafkan semua kesalahan yang dilakukan oleh jenazah. Agar mereka hanya ingat paa kebaikan yang telah diperbuat oleh jenazah. Semasa hidupnya. Jamaah mulai berkerumun kembali. Empat orang mulai mendekati keranda jenazah. Mereka adalah

pengusung keranda jenazah. Burhan tetap berdiri. Tiga meter jaraknya dari keranda jenazah. Lalu keranda jenazah itu pun bergerak. Hendak meninggalkan Masjid. Sementara Burhan masih melihat warna pelangi dari balik keranda jenazah. Ia mengikuti keranda itu dari arah belakang. Dan Burhan melihat lelaki yang tadi tersenyum dan menghalanginya berjalan di samping keranda jenazah. Burhan tak mengenal lelaki tersebut. Tetapi pancaran wajahnya seperti dikenali olehnya. Dan Burhan tetap melanjutkan perjalanannya mengikuti keranda jenazah. Menuju tanah pekuburan. Dalam perjalanan itu, Burhan berjalan mendekati lelaki tadi. Lelaki berkain sorban di kepala. Lelaki yang tersenyum padanya. Dan lelaki yang mengahalanginya untuk mendekat pada keranda jenazah. Burhan berjalan perlahan. Ia ragu untuk mendekati lelaki itu. Namun, Burhan merasa bila lelaki itu mengetahui banyak hal tentang jenazah tersebut. Begitu juga dengan pendar warna pelangi tersebut. “Sobat! Siapa namamu?” Burhan menepuk bahu kanan lelaki itu. “Aku…?” jawabnya agak bingung. “Ya. Kamu. Siapa namamu? Sepertinya engkau bukan orang sini?” Burhan tak menghentikan langkah. “Oh. Ya, aku memang bukan orang sini. Namaku Ikhsan.” “Tetapi mengapa kau mengikuti keranda jenazah ini? Apakah engkau mengenali siapa yang hendak dikubur ini?” “Bukankah ada balasan bagi siapa saja yang menyalatkan jenazah, lalu mengiringinya menuju tanah pekuburan. Dan aku mengenali orang yang hendak dikubur ini.” Langkahnya tak pernah henti mengikuti keranda jenazah. “Darimana kau mengenali jenazah ini? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Bahkan melihatmu bercengkerama dengan keluarga almarhum pun tidak. Sebenarnya siapa engkau ini, Ikhsan.” “Maaf. Engkau telah menyebutkan namaku dengan benar. Akan tetapi aku tak mengenal namamu. Boleh aku tahu namamu?” lelaki itu meminta Burhan untuk menyebutkan namanya. “Maafkan aku kalau begitu. Engkau belum mendengarku menyebut namaku sendiri. Namaku Burhan.” “Burhan!!!” lelaki itu terkejut. “Ya. Burhan. Mengapa? Engkau nampak terkejut mendengar namaku. Aku bukan perompak atau pemerkosa yang ditakuti. Aku hanya seorang Burhan.” “Tidak. Tidak, Burhan. Aku agak sedikit terkejut mendengar namamu sebab nama itu teramat bagus bagimu. Sesuai dengan penampilanmu. Yang sekarang ini.” “Kau mau mengejekku dengan kalimat terakhirmu. Engkau menduga diriku bukanlah yang seperti sekarang ini.” “Tidak. Tidak Burhan. Aku hanya bergurau.” Lelaki itu menatap Burhan. Dan mereka berdua menahan tawanya. Matahari yang terik telah beranjak. Berlalu dari tengah waktu. Lalu tersisa udara panas. Memantul dari jalan beraspal. Mengelilingi tubuh pengiring jenazah. Sebuah payung terbuka dengan lebar. Menahan terik matahari. Yang telah condong ke barat. Lalu kain warna hijau memantulkan cahayanya. Burhan masih belum kehilangan warna pelangi dengan aura kehijauan tadi. Warna itu masih mengikuti keranda jenazah. Tak ada yang melihat warna tersebut. Hanya Burhan yang melihatnya. Dan ia masih berjalan beriringan dengan Ikhsan. Seorang lelaki dengan bebat kain sorban di kepala. Seorang lelaki yang baru saja dikenalnya. Burhan tak mengenal ujung pangkal kehidupan lelaki tersebut. Namun, ia menerima kehadirannya sebagai seorang pengiring jenazah. Di depan langkah dari pengiring jenazah telah terlihat kelokan itu. Setelah kelokan itu, maka akan terlihat

hamparan tanah pekuburan. Tinggal seratus meter lagi. Dan pengiring jenazah dengan keranda berisi jenazah tiba di tanah pekuburan. Sebuah lubang telah menanti jenazah tersebut. Lubang yang tak terlalu lebar. Dalam perjalanan itu, Burhan sesekali melirikkan matanya pada Ikhsan. Ia tak melihat keistimewaan dari lelaki yang baru di kenalnya itu. Tetapi sepertinya Ikhsan menyimpan sebuah rahasia yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri. “Han! Apa yang kau lihat dari dalam keranda itu?” telunjuk Ikhsan mengarah pada keranda jenazah. “Maksudmu…?” “Mungkin engkau melihat sesuatu yang tak dapat dilihat oleh orang kebanyakan.” “Engkau bergurau lagi San.” “Entahlah. Mungkin aku bergurau. Tetapi mungkin juga tidak.” “Kau hanya membuatku bingung San.” Lalu Ikhsan tersenyum. Mendadak Burhan mulai menghitung Ikhsan sebagai lelaki yang bukan lagi tak istimewa. Baginya Ikhsan mulai menunjukkan dirinya. Keistimewaannya. Meskipun tanda yang diberikan oleh Ikhsan tidaklah senyata keranda jenazah yang terlihat dengan mata semua pengiringnya. Senyata warna pelangi dengan aura kehijauan yang dilihatnya. Entah tanda apalagi yang akan ditunjukkan oleh Ikhsan. Burhan tak ingin mencari-cari tanda yang akan diciptakan oleh Ikhsan. Ia hanya terus berjalan. Mengikuti gerak pengiring jenazah. Tetapi Ikhsan kembali berbicara. “Han. Bagimu apa yang paling menarik dari almarhum ini?” Ikhsan bertanya ketika keranda mulai berbelok di kelokan itu. “Aku sulit untuk menceritakannya, San. Terlalu panjang untuk menguraikan ketertarikanku pada almarhum. Aku tak bisa menceritakannya dengan detil, tetapi ia sudah kuanggap sebagai bapakku sendiri.” “Kau menganggapnya sebagai Bapak. Bukankah kau tak memiliki hubungan darah dengannya!” Lalu Burhan menatap Ikhsan dengan tajamnya. Ia tak menduga bila ternyata Ikhsan mengenali dirinya. Mengenali bila ia bukanlah anak kandung dari almarhum. Kini Burhan membaca tanda yang lainnya. Ikhsan semakin jelas memberikan tandanya. “Sepertinya kau mengenali aku dan juga keluarga almarhum, San?” kejar Burhan. “Tidak juga. Aku tidak terlalu mengenal dirimu dan keluarga almarhum.” “Lantas dari mana engkau mengenaliku yang bukan anak kandung almarhum. Dan hanya mengaku bila almarhum telah kuanggap sebagai bapak buatku.” Percakapan mereka terhenti. Keranda jenazah telah memasuki tanah pekuburan. Dan di depan pengiring jenazah telah terlihat lubang itu. Lubang kubur sebagai liang lahat. Tempat peristirahatan terakhir untuk almarhum. Keranda jenazah diletakkan di atas tanah pekuburan. Orang-orang heninga dari suaranya. Suara angin mendesis tanpa kejelasan. Apakah suara ular yang terdengar ataukah suara kerisik pepohon di tanah pekuburan. Payung hitam itu pun terlipat. Tertutup kembali setelah menyelesaikan tugasnya. Menepis cahaya matahari yang setajam pedang. Sebagai tameng ia telah berhasil menangkis tebasan cahaya matahari. Setelah doa yang terpanjat dengan khusyu', seorang pengusung jenazah membuka kain hijau penutup keranda. Ia melipatnya. Memberikannya pada salah seorang yang dekat dengan dirinya. Lalu ketig teman pengusung keranda jenazah membantunya membuka keranda. Mata Burhan masih melihat warna pelangi itu. Tak hilang aura kehijauannya. Burhan mendekat pada keranda jenazah. Lalu Ikhsan mengikuti gerak Burhan. Burhan memperhatikan jenazah itu. Dalam hitungan menit ia akan masuk ke liang lahat. “Burhan! Kita harus jadi orang yang menerima jenazah di dalam liang.” “Maksudmu?” Burhan tak mengerti.

“Apa yang kau kejar dari Masjid hingga tanah pekuburan ini. Selain warna pelangi itu.” “Kau…!” “Ayo Burhan kita turun ke liang.” Ajak Ikhsan dengan menarik lengan Burhan. Dan di liang itu telah berdiri seorang temannya. Ikhsan. Mereka bertiga bersiap menerima jenazah dari atas liang. Mereka dalam posisi yang di atur sedemikian rupa. Burhan bersiap menerima bagian kepala dari jenazah. Lalu Ikhsan. Lelaki yang baru dikenalnya menerima tubuh jenazah. Dan temannya. Ikhsan menerima kaki dari jenazah. Jenazah itu pun turun ke liang. Serentak mereka menerimanya. “Bismillahi ala millati Rasulillah” bersama-sama mereka melapalkan kalimat doa. Lalu ujung tali di kepal jenazah di lepas. Oleh Burhan. Dan Ikhsan. Lelaki bersorban yang bari dikenalnya berbisik ditelinganya. Dan Burhan mendengarnya sambil dengan perlahannya menggerakkan tangan. Burhan melepas tali di kepala jenazah. Dan tangannya tak melupakan sebuah kalung yang melingkar di leher jenazah yang tertutup kain kafan. Burhan mengambilnya. Dan memasukkannya ke dalam saku celananya. Lalu potongan kayu itu menutup jenazah. *** Hari telah beranjak malam. Larut. Udara kampung tidak lagi segar untuk dihirup. Sementara seorang Burhan termenung dalam kamarnya. Ia menimang sebuah kalung yang diambilnya dari jenazah almarhum. Ia memperhatikan kalung tersebut. Warnanya tak hilang. Meski telah berpisah dari sang pemiliknya. Pendaran warna pelangi itu memenuhi seluruh ruang kamarnya. Lalu aura kehijauan dari kalung tersebut memberikan rasa sejuk dalam ruang kamar milik Burhan. Ia tak merasakan udara yang pengap dalam kamarnya. Burhan menimang kalung tersebut. Lalu teringat pada Ikhsan yang mendadak lenyap dari sampingnya. Burhan tak mengetahui kemana perginya Ikhsan. Ia menghilang dengan meninggalkan pertanyaan yang belum dijawabnya. Burhan menyimpan hutang pada Ikhsan. Kejadian itu terlalu cepat untuk dapat diamati olehnya. Ketika acara pemakaman selesai, Burhan dan Ikhsan berjalan bersama. Dan ia menanyakan sebuah pertanyaan yang baginya teramat rumit dan sukar untuk memberikan jawaban hanya dalam waktu yang singkat. Tetapi Ikhsan tak memberinya waktu. Burhan tak diberikan lagi tanda oleh Ikhsan. Tanda untuk segera menjawab pertanyaan yang dilontarkan olehnya. Burhan hanya tertegun menatap Ikhsan, temannya, yang berdiri di sampingnya. “Samakah gurumu dengan Siti Hinggil, Burhan?” demikian pertanyaan Ikhsan. Dan Ikhsan pun menghilang. Tak diketahui kemana arah angin membawanya pergi. Atau bahkan mungkin tubuh Ikhsan tertelan bumi di tanah pekuburan. Ia hanya meninggalkan Ikhsan yang dikenalnya sebagai teman. Yang sama-sama belajar mengaji dengan almarhum. Ikhsan yang dikenalnya sebagai lelaki dengan bebat sorban di kepalanya telah lenyap. Burhan tak tahu kemana dirinya pergi. Lalu ia hanya membawa pulang kalung yang diambilnya dari almarhum. Atas perintah Ikhsan. Kalung itu mengeluarkan pendar warna pelangi. Dengan aura kehijauan. Burhan mematikan lampu kamarnya. Lalu yang terlihat hanya pendar warna dari kalung itu. Dan yang tersisa hanya secuil tanya yang masih belum juga dapat dijawabnya. Tetapi Burhan masih mencari jawab dari pertanyaan Ikhsan di tanah pekuburan. Burhan tersenyum sendiri. Menikmati pendar warna yang tak pernah dilihatnya. Ini terlampau indah baginya. Ia tersenyum memperhatikan kalung tersebut. Lalu ditelitinya kalun itu. Burhan kini memikirkan kalung tersebut. Bentuknya mirip dengan buah jail-jali yang sering dijadikan mainan oleh anak-anak kecil di kampungnya. Burhan berpikir sejenak. Lalu mulai menghitungi berapa buah bulatan

yang menyusun kalung itu. Ia menghitungi dari angka satu. Seperti ia membaca huruf hijaiyah dari huruf alif. Sesuatu bermula dari yang Ahad pikirnya. Dan Burhan terus menghitung banyaknya bulatan dari kalung. Hitungannya berhenti di angka sembilan puluh sembilan. Angka sempurna untuk mengenal Sang Pencipta. Mengenal Zat Yang Maha Mutlak. Awal dan akhir tidaklah bertemu di satu titik. Pada kalung tersebut. Ada satu bulatan dengan bentuk yang lebih besar membatasi pertemuan itu. Burhan menggelengkan kepalanya. Ia hendak bertasbih, tetapi mulutnya seperti terkunci. Ia seperti tak sanggup menerimanya. Kalung tersebut terlalu dalam untuknya. Kalung itu telah membuat dirinya yang manusia mengerdil menjadi tetumbuhan. Menjadi hewan. Bahkan menjadi batu yang tak sanggup mengucap dan melapalkan tasbih dengan suara yang nyaring. Burhan membuang napasnya, setelah menghirupnya dengan dalam. Pada salah satu bulatan yang lebih besar itu, Burhan menyelidik satu guratan yang nyaris dikenalinya. Ia berusaha melihatnya dengan tepat. Lalu ia pun mendapati maksud dari guratan tersebut. Dalam penglihatannya, Burhan tak melihat apa-apa. Tetapi dengan merabanya dan merasakan lekuk dari guratan tersebut Burhan meyakini maksud dari guratan tersebut. Ia menemukan kalimat Allah di situ. Tetapi beberapa detik kemudian ia merasakan bila guratan tersebut berubah menjadi Ahad. Dan sedetik kemudian tertulis huruf Hu. Hingga akhirnya menjadi satu huruf hijaiyah saja sebagai awal mula dari segalanya. Alif. Menyelidik dan meneliti kalng tersebut, bawah sadar Burhan semakin keras bergetar. Ia tak sanggup menahan getarannya. Burhan merasakan bila pendar warna dari kalung itu telah merasuk ke dalam bawah sadarnya. Lalu ia temukan Mutmainah di sana. Burhan melepaskan kalung itu dari genggamannya. Lalu meletakkan kedua telapak tangannya menutupi seluruh permukaan wajah. Burhan menghirup napas dalam-dalam. Dadanya membusung ke atas. Lalu air matanya membasahi kedua telapak tangannya. Lantas pikirannya mulai bekerja untuk mencari jawab dari tanya Ikhsan. Si lelaki bersorban yang misterius. Dan ia menemukan jawabnya. Ia ingin menjumpai Ikhsan, tetapi kantung matanya telah tertutup. Burhan lelap dalam tidur. Tubuh Burhan tak sadar. Lantas hanya bawah sadarnya yang bekerja. Mengikuti putaran bulatan kecil pada kalung dan bermuara di bulatan yang lebih besar. Memisahkan yang awal dan yang akhir. Kalung itu tercipta tidak untuk keabadian. Dan hanya tertampung Sang Maha Abadi di sana. Burhan lelap dalam tidurnya. Melepas ruhnya. Sesaat. Ia kembara dalam ruang impinya. Burhan belum keluar dari ruang bawah sadarnya. Ia masih terperangkap di sana. Dan pendar warna pelangi memenuhi ruang tersebut. Burhan jelas melihat pendar itu. Lalu sesosok bayangan terlihat olehnya. Di sana. Ia berkelebat. Kemudian Burhan mengejarnya. Tetapi bayangan itu tidak melarikan diri. Masih di dalam ruang tersebut. Burhan menghadapinya. Lalu mereka saling bertemu. Bukan. Burhan tak bertemu bayangan itu. Ia hanya menjumpai dirinya. Dalam ruang bawah sadarnya. Burhan bercermin dalam ruang tersebut. Lalu mereka bergerak seia sekata. Tak ada beda antara Burhan dengan bayangan yang dikejarnya. Burhan tersenyum. Lalu bayangan itu mengikutinya. Namun, bayangan itu tiba-tiba lenyap. Burhan tak tahu kemana perginya. Ia tak hendak mencarinya. Hanya terdiam. Berdiri terpaku. Di tempatnya bertemu dengan dirinya sendiri. dan beberapa saat kemudian seberkas sinar jatuh di hadapannya. Sinar itu menyilaukan. Bahkan pendar warna pelangi itu pun seperti lenyap. Dalam sinar yang menyilaukan. Burhan menutup matanya. Dan membukanya kembali. Ia melihat sesosok lain. Yang dikenalnya. Bukan dirinya. Ia tersenyum. Bukan pada dirinya. Tangannya melambai. Tidak terhadap dirinya. Bayangan yang dilihat Burhan tersenyum sendiri. tertuju pada dirinya. Sinar yang dilihatnya tidak hilang. Burhan masih melihatnya. Sinar itu perlahan memudar. Tak menyilaukan. Bayangan itu melambai pada Burhan. Pada mulanya adalah sinar. Lalu Burhan menemukan bayangan. Dan Burhan mendapati satu bentuk wajah.

Awalnya tak dipercayai apa yang dilihatnya. Tetapi wajah tersebut makin jelas. Mewujud di hadapannya. Burhan menelisik guratan-guratan renta di wajah itu. Seorang lelaki tua. Pada dagunya Burhan menemukan jenggot panjang. Dibiarkan tumbuh hingga menyentuh dada. Tangannya bersedekap. Seperti baru saja usai dengan takbiratul ihramnya. Lelaki itu berjubah putih. Sehelai kain sorban tersampir di lehernya. Berwarna pelangi dengan aura kehijauan lalu keemasan. Burhan membandingkannya dengan warna yang pendar dari kalung yang diambilnya. Lelaki itu diam. Lalu menganggukkan kepala. Dan memberinya senyum. Kali ini lebih hangat. Tetapi Burhan segera sadar. Hembusan angin menyadarkannya. Burhan bangun dari lelapnya. Kemudian mencari lelaki yang dilihatnya. Ia tak menemukan seseorang di kamarnya. Burhan menyeka wajahnya. Dan beranjak dari meja tempatnya lelap. Setelah lelah memperhatikan kalung tersebut. Dan Burhan bersuci. Menadahkan tangannya. Menerima tetes air wudhu. Lalu kembali memasuki bawah sadarnya. Tetapi tak ditemukannya lelaki tersebut. *** Sudah berlalu tujuh hari dari kematian itu. Dan Burhan tak melupakan almarhum. Kenangan demi kenangan terbuka. Seperti lapisan-lapisan tebal yang membentuk bawang merah. Dan kali ini Burhan menerima undangan itu. Dari keluarga almarhum yang disampaikan oleh salah seorang pembantunya. Burhan mengenalnya. Dengan baik. Tapi undangan itu tak datang untuk mengajaknya mengikuti acara tahlilan. Ia menerima undangan itu. Di siang hari sehabis shalat zuhur. Di Masjid yang diwakafkan oleh almarhum. Tengah hari hamper menjelang. Ketika Burhan tengah berdiri di sudut Masjid. Lalu masuk kedalamnya, setelah usai terdengan azan. Dan ia mencari-cari orang yang dimaksudkan. Tetapi ia tak menemukannya. Lalu ia melupakannya. Lantas tubuhnya bergerak. Mengikuti gerak imam di depan barisan. Memulainya dengan takbir lalu mengakhirinya dengan salam. Dan Burhan masih duduk. Di dalam Masjid. Menunggu kedatangan seseorang yang dimaksudkan. Tetapi ia tak menemukannya. Hanya pembantu kemarin yang mengabarkan undangan tersebut. Lelaki itu mendekat. Pada dirinya. Dan berbisik di telinga kanannya. Entahlah. Burhan hanya meraa segala kebaikan datang dari arah kanan. Dan telinganya dibisikkan kabar itu. Lelaki itu menyuruhnya datang ke rumah almarhum. Burhan pun mengangguk. Lalu berdiri. Lalu berjalan. Melangkah. Menjauhi masjid. Kemarin. Lelaki itu datang dengan memintanya membawa kalung yang dimilikinya. Kalung yang diambilnya dari almarhum. Burhan sempat bertanya tentang kalung tersebut. Bukankah lelaki itu tak mengetahui kalung tersebut. Lelaki itu pun mengiyakannya. Lantas mengatakan bila dirinya hanya memberikan kabar. Bagi Burhan. Tidak lebih.kemudian Burhan menatap wajah lelaki tersebut. Dan Burhan tak menemukan segumpal awan hitam keluar dari mulutnya. Tetapi Burhan tak dapat menerkanya. Pemberi perintah itu. Lelaki itu kosong. Tak berisi. Seperti kertas putih yang hanya menerima begitu saja guratan pena di atasnya. Lalu ia tak mengenal pena tersebut. Langkah Burhan pun hampir tiba di rumah keluarga almarhum. Ia tak melihat dan menyaksikan keanehan dari luarnya. Langkahnya mulai mendekat pada pagar rumah. Membukanya. Kemudian berjalan ke arah teras rumah yang berjarak lima puluh meter. Ia tak menemukan siapa di sana. Sejenak menghela napas lalu terus melangkah. Dan Burhan pun tiba di depan pintu. Keraguan sedikit menghampirinya. Namun, ia dapat menghapusnya dalam sekejap. Suaranya mulai terdengar mengucap salam. Lalu mengetuk pintu rumah. Berualng ia perdengarkan salam. Dari mulutnya. Kemudian ia pun mendengar jawaban dari dalam rumah. Suara seorang lelaki. Burhan menerka nada suara lelaki di dalam rumah. Sebab suara tersebut pernah dikenalnya. Tetapi tidak terlalu lama. Ia pernah mengenali suara itu. Tumbuh dari iring-iringan jenazah almarhum. Dan pintu rumah

pun terbuka. Seorang lelaki berdiri. Dihadapan Burhan. Ia tersenyum mengarah pada dirinya. Burhan membalas senyum itu, meski dengan gerak yang terlalu mencari. “Ikhsan…!” lugas suara Burhan. “Bukan. Namaku Bukan Ikhsan, Burhan.” “Tetapi bukankah kita pernah bertemu di tanah pekuburan. Dan kita kita menerima jenazah dari dalam liang.” “Isyarat itu benar. Aku orangnya. Tetapi aku bukan Ikhsan.” Tangan lelaki itu mempersilakan Burhan memasuki rumah. Burhan masuk ke dalam rumah almarhum. Ia menatap sekeliling ruangan. Lemari tua yang tak dimiliki oleh seorang pun di kampung tempatnya tinggal. Sebuah teve berwarna di sebuah rak. Kaligrafi bertuliskan huruf Allah dan Muhammad menggantung di dinding. Lalu kaligrafi yang lebih besar lagi bertuliskan Surat AlIkhlas. Burhan melihat lukisan Masjidil Haram di dinding. Dan kursi ruang tamu itu diduduki Burhan. Ia manatap pada lelaki yang tak bernama Ikhsan. “Namamu…” “Syahid. Namaku bukan Ikhsan. Kau membawa kalung tersebut?” lelaki itu menyebutkan satu nama yang mengganti nama yang dikenal Burhan ketika pertama kalinya bertemu. “Aku membawanya. Tapi siapa sesungguhnya dirimu. Ikhsan. Syahid? Kau seperti mudah mengganti-ganti nama.” “Maksudmu?” “Aku melihatmu dalam mimpi bersama almarhuim guruku. Ketika kematiannya berumur empat hari dan mimpi berulang hingga tiga kali. Seperti mimpiku bertemu dengan almarhum guruku di hari pertamanya wafat. Akupun berjumpa dengannya tiga hari berturutan. Siapa engkau, Syahid?” suara Burhan halus memecah keheningan ruang. Dan Syahid hanya tersenyum. “Aku seperti dirimu Burhan. Orang yang hanya mengaku dan menyebut almarhum dengan sebutan kakak. Padahal aku dan dirinya tidak sedarah, dan aku tak berada di dalam garis silsilah keturunan dari keluarganya. Bukankah kita sama Burhan. Dan impas.” “Lalu kau dan guru…” “Bila engkau dan almarhum adalah Murid dan guru, maka aku dan almarhum adalah kakak dan adik dari satu silsilah guru yang sama.” Burhan terkejut mendengarnya. Syahid adalah adik satu guru daru almarhum gurunya. Wajahnya yang masih segar seperti menunjukkan bila Syahid adalah adik dari almarhum gurunya yang tak terlalu dekat jaraknya. Burhan menyandarkan tubuh pada kursi. Ia menjatuhkan tubuhnya ke belakang dengan cepatnya. Burhan tak melepaskan pandangannya pada Syahid. Wajah Syahid nampak tenang. Tidak menunjukkan gelagat apapun yang mencurigakan. Lalu dari arah belakang, Rahimah pun muncul. Mendekati mereka berdua. Dan duduk bersama di ruangan tersebut. “Engkau membawa kalung itu Burhan?” tanya Syahid dengan halus. “Aku membawanya,” lalu tangan Burhan masuk kedalam saku celana dan mengambil kalung tersebut. “Kalung Ayahanda.” lirih suara Rahimah. “Letakkan kalung tersebut di atas meja ini, Burhan.” pinta Syahid. Lalu kalung itu pun diletakkan Burhan di atas meja, seperti yang diminta oleh Syahid. “Burhan kau mendapatkan kalung itu dari…, kau mengambilnya Burhan!” “Tenang Rahimah. Aku yang menyuruhnya untuk mngambil kalung tersebut.” “Aku sungguh tak mengerti mengapa harus mengambil kalung ini. Kalung yang pendar warnanya begitu

indah.” “Terkadang aku melihat pendar warnanya Burhan. Meski tidak terlalu sering. Ketika Ayahanda masih hidup.” “Kalung itu adalah bukti terakhir bila engkau telah menyelesaikan pelajaranmu. Dan secara fisik hubungan Murid dan Guru di antara dirimu dan almarhum telah terputus. Engkau berhak mencari guru yang lainnya. Tetapi tentunya engkau telah dapat menjawab pertanyaan yang kuberikan padamu, Burhan. Adakah bedanya, Burhan?” Syahid tersenyum. “Aku menemukan beda itu Syahid. Seperti beda antara kalung yang melekat di tubuh dengan tubuh itu sendiri. itu beda yang ketangkap. Tetapi beda itu sirna, Syahid. Keduanya hanya benda yang menampung keindahan nama dan sifat yang menyebutkan Zat-Nya. Allah.” “Ya Burhan. Engkau telah mengakhirinya.” “Kau harus meminum air itu Burhan.” Rahimah menyela percakapan. Burhan mengiyakannya dan meminum air tersebut. Beberapa tegukan telah menghapus dahaga di kerongkongnya. Diletakkannya kembali gelas yang menampung air itu. Lalu Burhan terdiam. Dan beberapa detik kemudian tangan Burhan mengambil lagi kalung tersebut. Ia menghitungi kembali bulatan-bulatan yang menyusun kalung tersebut. Tangannya berhenti pada bulatan yang lebih besar. Ia merasakan guratan yang tertulis pada bulatan tersebut. Burhan merasakan lekukan guratan tersebut. “Masyaallah…!!!” teriak Rahimah. “Ada apa Rahimah?” Syahid terkejut. “Saya… saya melihat huruf itu. Ya saya melihatnya.” Suara Rahimah terbata. “Huruf…?!” “Ya Huruf Allah. Terbang melayang di sela-sela warna pelangi dari kalung itu. Sa-ya… sa-ya…” Burhan masih menggerakkan jemarinya pada bulatan yang lebih besar pada kalung tersebut. Ia tak menghentikan geraknya. Matanya masih terbuka, tetapi mulut Burhan terkunci dengan rapatnya. Sementara Syahid mencari-cari huruf yang di sebut Rahimah. Ia menerawang pada pendar warna pelangi dari kalung tersebut. Terus memperhatikannya dengan saksama. Tiba-tiba Rahimah berdiri. “Burhan! Engkau harus menikahiku.” Rahimah menundukkan wajah. “Engkau harus menjadi suamiku.” Air matanya menitik. “Karena…, karena engkau adalah pasangan hidup yang dipilih oleh Ayahanda.” Lalu Rahimah berlari meninggalkan ruangan itu. Rahimah meninggalkan Burhan dan Syahid di ruangan tersebut. Burhan beranjak dari duduknya. Mengejar Rahimah yang berlari menuju kamarnya. Syahid berdiri dari duduknya. Berjalan dengan tenang menuju Burhan yang berlari. Menuju Rahimah yang mengunci diri. Di dalam kamarnya. Burhan mengetuk pintu kamar Rahimah. Sementara rahimah masih berdiri di pintu kamarnya. Memunggunginya. Burhan terus memanggil-manggil namanya. Tetapi Rahimah hanya bersandar pada pintu itu. “Rahimah…!” panggil Burhan. “Burhan! Itu pesan Ayahanda yang terakhir padaku. Ketika aku melihat huruf Allah muncul dari balik warna pelangi di kalung itu. yaitu ketika bulatan besar dari kalung tersebut disentuh oleh tangan seseorang, maka orang tersebut adalah pasangan hidup yang dipilihkannya untukku.” “Tapi aku tak melihatnya, Rahimah. Aku tak melihat huruf tersebut. Siapa yang akan kau tunjuk untuk menjadi saksi atas apa yang kau lihat?” Burhan berkelit. “Astaghfirullah! Ayahanda.” Isak tangis rahimah terdengar dari balik pintu. Matanya basah. Matanya menitikkan air mata. Dan Rahimah masih berdiri di pintu kamarnya. Bersandar dan memunggunginya. Ia maih mendengar ucapan yang keluar

dari mulut Burhan. Ia mendengar semuanya. Lalu Rahimah mendengar suara Syahid di luar kamarnya. “Burhan, engkau tak mempercayainya?” lembut suara itu. “Aku…, aku …” Burhan gugup. “Bukankah hubunganmu dengannya baik. Usianya telah matang Burhan. Isak tangisnya telah matang untuk mengikuti semua kehendak Ayahandanya. Gurumu. Ia telah matang merawat Ayahandanya hingga ajal merenggut nyawanya. Ia telah matang dengan pelajaran agamanya. Dan sepertinya ia telah matang untuk menjadi guru yang pertama bagi anak-anakmu. Burhan…! Aku melihat huruf itu.” “Ya. Syahid, sebenarnya aku pun melihat huruf tersebut melayang-layang di sela-sela pendar warna pelangi beraura kehijauan bercampur keemasan. Aku adlah orang kedua yang menjadi saksi atas apa yang dilihat oleh Rahimah. Dan sesungguhnya aku menyimpan Rahimah dalam batinku. Huruf yang keluar dari dalam kalung itu mengeluarkan semua isi hatiku. Syahid.” Siang makin beranjak. Meninggalkan tengah hari yang telah jauh. Lalu sayup angin berhembus. Masuk melalui pintu rumah yang terbuka dengan lebarnya. Rahimah mendengar kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh Burhan. Ia berlari menjauhi pintu kamarnya. Berlari menuju ranjangnya. Kemudian menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Wajahnya dibenamkan di atas bantal. Dan isak tangisnya tak berhenti. Sementara Burhan memeluk Syahid. Erat. Tangannya masih menggenggam kalung tersebut. Dan setitik air matanya tumpah. Menetesi bulatan besar kalung tersebut. Lalu pendar warna pelanginya berubah menjadi putih. Dan menghilang dari genggaman Burhan. Burhan masih memeluk Syahid. Ia tak menyadarinya. Dan pintu kamar Rahimahpun terbuka. Rahimah muncul dari dalam kamarnya. Memanggil Burhan. Lalu menunjukkan padanya kalung yang tadi digenggam oleh Burhan. Burhan menoleh pada rahimah. Dan ia tersenyum. Rahimah membalas senyum itu. Shahid ikut tersenyum. Lalu suara azan dari Masjid terdengar melantun. 21 Agustus 2006

Related Documents

Kalung
June 2020 17
Kalung Biofir
April 2020 26
Kalung Annisa (devi)
April 2020 25
Kalung Sabdo-1.pdf
April 2020 10
Kalung Sabdo-1.pdf
December 2019 22

More Documents from "Hariadi Husodo"

Kalung
June 2020 17
Ciluhur Kalemah
May 2020 7
F(1).txt
November 2019 38
F.txt
November 2019 37
F(1).txt
November 2019 39