CILUHUR KALEMAH Oleh: IBNU P B NUGROHO Malam menggemakan suara tangis bayi yang masih terdengar asing. Ia bersuara mengalahkan lolong serigala yang sering terdengar di malam hari, sepertinya bayi itu adalah titisan dari langit yang terlahir dengan agak berbeda daripada bayi-bayi lainnya. Seribu pasang mata serigala malam itu tak tajam pandangannya, mereka terhenti melolong ketika mendengar suara tangis bayi memecah keheningan sebuah daratan yang rata diterjang ombak sore tadi. Sekawanan serigala telah kehilangan penciumannya yang begitu peka mengendus bau tubuh mangsanya dijarak ratusan kilometer, mereka terlalu kenyang dengan bau amis bacin mayat yang bergelimpangan di sudut-sudut jalan yang biasanya diterangi lampu yang temaram. Ketika malam masih merasakan kepedihan sore yang menyayat-nyayat, ia terbangun oleh suara tangis bayi di rerimbun semak tanpa cahaya, lalu terdengar pula olehnya suara tangis susulan dari seorang lelaki yang memanggil-manggil nama seorang perempuan yang tak dikenalnya. Tubuh malam lelah oleh berbagai peristiwa yang tak dimengerti arti dari semuanya, ia hanya melihat banyak puing-puing bangunan berserak lalu tetumbang pohon menghadang jalan dan seonggok tubuh tertidur terlalu lelap di atas jalan itu, terbujur kaku. Malam tak sempat lagi berpikir menyaksikan itu semua, waktu yang telah melahirkannya meninggalkan dirinya dengan jejak luka dan kerusakan yang terlalu parah kemudian malam berselisih pada angin laut tentang saudara kembarnya yang terlalu kejam membunuh kehidupan sore tadi, tapi angin laut hanya terdiam seraya berusaha membangunkan para nelayan yang malam ini terlalu dini untuk terlelap dalam tidurnya. Akan tetapi angin laut tersentak ketika melihat tujuh perahu yang biasa digunakan oleh nelayan terbalik dan hancur tak berbentuk, tinggal sisa kayu yang tak lagi dapat dipakai untuk melaut. Angin laut bertanya pada malam apa yang telah terjadi, namun ia tak menemukan jawaban sebab malam pun tak mengerti arti ini semua, lalu mereka diam kemudian mereka bisu, sunyi memendam pertanyaan yang tak terjawab. Lantas suara tangis bayi itu menyela kebisuan mereka. *** Malam itu seorang bayi lahir di antara gelepar mayat yang belum sempat diangkat dari jalan, di antara reruntuhan bangunan yang masih sediakala, dan di antara jejatuhan buah kelapa bersama batang serabutnya. Di tengah rerimbun itu seorang bayi lahir, namun suara azan di telinga kanannya telah kalah oleh isak tangis seorang lelaki di samping tubuh perempuan yang masih banjir oleh merah darah terkubur oleh asin air laut yang kehilangan warna birunya, lalu suara iqomat di telinga kiri sang bayi seperti cepat terhapus oleh isak yang tak juga reda merasakan kedahsyatan kekuatan-Nya yang lebih hebat ketimbang mewujudkan satu makhluk dengan hembusan napas-Nya. Bayi itu basah dan menggigil kedinginan, ia terus menangis mencari kehangatan yang hilang disekitarnya. Ia terus meronta dengan gerakan yang teramat kuatnya, dan seorang lelaki bernama Burhan hanya menyeka air mata yang jatuh ketika melihat keadaan istrinya yang belum juga siuman setelah terseret ombak sejauh lima ratus meter ketika dirasakannya perut yang mulai menendang-nendang ingin menjejak bumi, entah ditarik atau tertarik oleh gravitasinya. Tapi tak dapat diterka adakah peran bulan sebagai satelit bumi atas kejadian sore ini yang telah menghapuskan peradaban sejauh satu kilometer dari bibir pantai. Bulan telah berlalu dari tajali puncaknya. Burhan terus berusaha membangunkan istrinya Rahimah yang masih tak sadarkan diri sambil mencari sesuatu yang dapat menghangatkan tubuh bayinya yang baru saja lahir, ia masih heran dengan tali ari-ari yang hilang dan bersih dari bayi dan rahim istrinya. Di sela isak tangisnya Burhan mencari banyak hal yang telah membuatnya kalut dan hanya dapat diungkapkan dengan isak tangis yang seperti enggan untuk dihentikan, lalu tetesnya melukiskan kesedihan bercampur keharuan di atas bumi-Nya. “Bangun, Rahimah…! Bangun…!” panggil Burhan pada istrinya yang tak juga bangkit dari ketidaksadarannya. “Lihat Rahimah…! Lihat…! Anakmu telah lahir. Kita telah menantikannya selama lebih dari sembilan bulan ini.” Burhan masih terisak dengan tangisnya yang meredam suara ombak laut yang telah letih. Isak tangis dan panggilan Burhan kepada Rahimah, istrinya, diselingi oleh tangis bayinya yang nampak masih belum
merasakan kehangatan yang cukup untuk menahan serangan udara malam yang bisu ketika bercengkerama dalam kencannya dengan angin laut yang tak dapat menceritakan apa yang telah dilakukan oleh saudara kembarnya sore tadi. Dalam isaknya yang teramat pilu, Burhan terus berpikir untuk menemukan sesuatu yang dapat memberikan kehangatan yang benar-benar pas untuk bayinya yang baru saja melihat dunia. “Kasihan kau bayiku. Anakku,” ucap Burhan sambil mendekap bayinya yang masih menangis itu. “Seharusnya kau melihat dunia yang lebih baik dari dunia ini ketika terlahir. Bapakmu ini tak dapat memberikan kuasa pada sang waktu agar engkau terlahir di saat yang menyenangkan, itu semua kuasa dan kehendak-Nya.” Burhan berbisik lirih di telinga bayinya yang masih hangat namun telah kehilangan kehangatan oleh hempas seratus ribu kubik air yang membuatnya terapung bersama sang ibu yang masih tergeletak tak sadarkan diri. Malam masih hening bersama angin laut. Mereka khalwat di tengah sunyi yang meninggalkan dan menyisakan pembunuhan itu, lalu lolong serigala tak kuasa menyaringkan suaranya dan burung gagak dengan paruh setajam elang bersiap menebar aroma raihan menghilangkan bau bacin mayat lantas datang sekawanan burung hantu dengan mata lebarnya mengawasi sekelilingnya kemudian memusatkan pandangannya pada burung gagak dan serigala yang tertangkap oleh indera penglihatannya. Kesunyian itu menjadi sebuah misteri yang teramat besar untuk ditebak sebagaimana peristiwa sore tadi yang juga tak dapat diduga sebelumnya. Tak ada yang dapat menunjukkan dengan pasti dan tepat kapan datangnya tragedi sore tadi selain alam yang spontan berteriak layaknya sirine pemadam kebakaran mengejar tubuh-tubuh manusia yang terlihat panas oleh api. Tubuh-tubuh manusia itu berhamburan menjauh dari debur yang teramat keras, dan yang tersisa hanya sekilas sang maestro yang menuliskan namanya sendiri untuk menjawab fenomena suara itu, Doppler. Burhan masih mendekap bayinya yang menangis ditemani Rahimah yang belum sadarkan diri. Mereka seperti berada di suatu tempat tak bernama dan tak bertuan, mereka tersesat di daratan yang tak lagi dikenalnya. Pepohonan tempat Burhan dan Rahimah menorehkan kalimat cintanya pun tak nampak cahayanya, mereka tersesat jauh dalam ruang yang bernama Terra incognito. Namun Burhan tak memerdulikan keberadaannya yang telah tersesat itu, ia mabuk dalam ketersesatannya. Tak ada kesadaran bila akhirnya ia harus berada di tempat yang tak dikenalnya selain kesadaran untuk melarikan diri dari kejaran sepasukan tentara tanpa wujud selain suara menggemuruh disertai air laut yang berada di atas kepalanya. “Tuhan, aku tersesat dan telah menjadi bodoh membaca semua tanda yang kau kirim dilangit cerah meski tanpa bulan. Aku tak dapat membedakan waktu untuk menjumpai-Mu saat ini,” Burhan mengucapkan sepatah doa sambil menggendong dan mendekap bayinya dengan kulit yang masih merah. Burhan tak menjumpai satu goresan pun merusak kulit bayinya tersebut. “Rahimah…! Bangun…! Anakmu ingin melihat wajahmu yang hangat agar ia tak lagi merasakan dinginnya udara malam,” setelah sepatah doa itu Burhan kembali memanggil istrinya yang belum siuman, ia sedikit khawatir dengan keadaan istrinya. “Ya Tuhan…!!!” teriak Burhan sekeras-kerasnya beriringan dengan tangis bayinya yang makin kencang, lalu Burhan melihat tubuh istrinya bergerak-gerak dengan pelannya. “Ya Tuhan…, Kau. Kau telah membangunkan istriku. Rahimah! Kau telah sadar, Rahimah?!” Burhan begitu haru melihat istrinya yang mendadak siuman meski masih bergerak pelan dan belum menampakkan gerakan kordinatif dari seluruh tubuhnya. “Rahimah, engkau telah siuman. Lihat anakmu yang sejak tadi menangis! Lihat Rahimah, ia membutuhkan kehangatan darimu. Iya, ini anakmu. Bayi kita.” kegembiraan Burhan makin menghebat menyambut istrinya yang telah sadarkan diri. “Aaa…aaakang?!” Burhan mendengar suara lirih dari mulut istrinya, ia tak melepas bayinya yang masih didekapnya. Burhan bergerak mendekat pada Rahimah, istrinya, yang baru saja siuman.
“Aa…aakang. Akang Burhan!” Rahimah yang mulai siuman memanggil-manggil nama suaminya, ia tak terlalu jelas untuk menangkap situasi sekitarnya yang dirasakan masih aign dan gelap. “Aku di sini, Rahimah. Engkau telah sadar Rahimah, tidakkah kau ingin melihat dan menggendong anakmu, bayi kita!” Burhan menggeser letak duduknya semakin dekat pada tubuh Rahimah, lalu diletakkannya bayinya disamping kanan ibunya yang baru saja sadarkan diri. Burhan mengusap wajah Rahimah. “Rahimah, rasakanlah kulit bayi kita yang masih merah dan halus,” Burhan menuntun tangan kiri Rahimah untuk diletakkan pada bayinya. “Rasakanlah Rahimah, ini bayi kita!” Burhan masih terus bersuara untuk membangunkan Rahimah yang belum terlalu baik kerja seluruh inderanya. “Kang Burhan, di mana engkau kang?” “Aku di sini Rahimah, jangan kau tarik lagi tanganmu. Di sebelah kanan dari tubuhmu bayi kita menanti wajahmu yang hangat, Rahimah. Sadarlah Rahimah!” Burhan mulai tak sabar dengan keadaan istrinya yang masih terlalu lemah, ia mengguncang-guncangkan dengan tidak terlalu keras tubuh istrinya agar sadar seperti semula. “Kang Burhan…!” tiba-tiba tangan Rahimah mencengkeram kuat tangan Burhan dan dalam hitungan detik Rahimah telah bangkit dari berbaringnya dan memeluk suaminya yang duduk di sebelah kiri dari tubuhnya. “Aku di sini Rahimah, tenanglah. Engkau telah melahirkan anakmu, bayi kita. Itu, dia ada di sebelah kiri dari tubuhmu. Laki-laki Rahimah, sebagaimana yang pernah kuimpikan dahulu.” Burhan mendekap istrinya yang seolah tak ingin lepas dari tubuhnya yang kurus. Ia mengelus punggung istrinya dan menepuknya beberapa kali sambil membisikkan jenis kelamin dari bayi yang dilahirkan dari rahimnya. “Ini…,” Rahimah sedikit terkejut melihat seorang bayi tergeletak disamping kanannya. Bayi itu menangis. “Ya, Rahimah, ini bayi kita. Engkau telah melahirkan dan melepaskannya dari rahimmu sendiri.” “Tapi bagaimana mungkin Kang? Aku tak pernah merasakan sakitnya persalinan itu, aku tak merasakan ia terlepas dari rahimku. Bagaimana mungkin?!” *** Malam semakin larut ditemani angin laut yang makin dingin dan sunyi, lolong serigala makin tak terdengar sementara kepak sayap gagak menembus udara dan burung hantu hanya berloncatan dari satu pohon tumbang ke pohon tumbang lainnya. Desir angin mendesah lirih, suara lolong serigala bersembunyi dibalik langkah kakinya yang menjejak bumi dengan sedikit dalam, lalu sayap gagak berbunyi nyaring menembus keheningan dan iringan suara burung hantu menambah sunyi yang makin memuncak. Burhan benar-benar bersyukur atas karunia yang diperolehnya dari Sang Maha Pencipta. Atas kekuasaan-Nya Rahimah dapat kembali siuman dan bayinya yang masih merah tetap bernapas dan dapat melihat senyum ceria ibunya yang secantik rembulan. “Benar kan bila engkau secantik rembulan Rahimah? Wajahmu itu selalu saja membuatku rindu bila aku dan dirimu berjauhan,” “Kang Burhan, wajahku tidaklah secantik rembulan. Hanya saja rembulan itu yang secantik wajahku,” mereka berdua pun tertawa bersama di bawah sinar bulan yang sedang purnama, terlebih lagi Burhan yang tak dapat menahan tawanya mendengar ocehan istrinya yang telah mengandung tujuh purnama. “Kira-kira anak kita nanti jenis kelaminnya apa ya Kang?” tanya Rahimah pada Burhan yang sedang menikmati wajah bulan yang menurut istrinya secantik wajahnya. “Mengapa engkau bertanya demikian Rahimah. Aku kan bukan seorang peramal yang dapat mengetahui apa jenis kelamin anak yang ada dalam rahimmu itu,” “Tapi terkadang apa yang diucapkan oleh Kang Burhan selalu saja benar, dan itu terjadi. Apa Kang Burhan tak ingin menjawab pertanyaanku?”
“Rahimah! Seandainya anak kita nanti lahir dengan sehat, kau lebih menyukai anak lelaki atau perempuan?” Burhan bertanya pada istrinya sambil menarik napas panjang seolah ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. “Bagiku lelaki atau pun perempuan sama saja kang, yang terpenting adalah bayiku lahir sehat.” “Aku juga demikian Rahimah. Lelaki atau pun perempuan adalah sama, tapi bagaimana seandainya jika yang lahir dari rahimmu adalah lelaki Rahimah? Apakah kau akan senang dengan anak lelaki?” “Anak lelaki kang Burhan! Aku akan sangat menyayangi anak itu, sebab adanya dirinya akan menggantikan kepergianmu dari rumah ini yang terkadang cukup lama,” “Sepertinya sekitar lima atau enam hari sehabis purnama anak kita akan lahir Rahimah,” Burhan berkata memastikan “bagaimana Akang bisa tahu?” “Entahlah. Tiga purnama yang lalu setelah aku mencarikan buah nyiur yang kau minta, semalamnya aku bermimpi agak aneh.” “Mimpi yang agak aneh kang?!” “Ya Rahimah. Aku bermimpi menimang anak lelaki ketika bulan tak bersinar terang seperti sekarang ini. Tapi entahlah, hanya Tuhan yang dapat memastikan semuanya.” “Sepertinya aku percaya dengan kata-katamu itu Kang.” Rahimah meremas tangan Burhan. Tangan Rahimah terasa dingin oleh hembusan angin malam yang kehilangan bebintang di langitnya sebab purnama yang bulat telah hadir. Mereka berdua pun berlalu dari kursi bambu yang didudukinya. Burhan dan Rahimah berjalan meninggalkan pekarangan yang disinari cahaya bulan purnama, mereka memasuki rumahnya yang tidak terlalu besar, Rahimah berjalan di depan burhan yang menjadi pengiring di belakangnya. Burhan seperti hendak melindungi Rahimah dari kejaran cahaya purnama yang masih ingin bercermin pada wajahnya. “Kang kalau memang ia lelaki, akan kita beri nama siapa dia?” “Engkau sendiri punya nama yang bagus buat anak kita?” “Tidak.” Rahimah menjawab dengan singkat sambil menggelengkan kepalanya. “Mungkin akan kuberi nama Ciluhur Kalemah,” “Ci-lu-hur Ka-le-mah.” eja Rahimah dengan perlahan tanpa menghentikan langkahnya memasuki rumah sementara Burhan mengunci pintu rumahnya. “Ciluhur Kalemah. Itu nama yang akan aku berikan pada anak kita, bagaimana menurutmu?” “Kata-kata dari nama yang Kang Burhan pilihkan kedengarannya enak untuk disebutkan. Aku sendiri jadi ingin menyebutnya berulang-ulang, tapi apa arti dari nama itu Kang?” *** Suatu siang yang terik dan panas seorang lelaki mengejar seekor anak kera yang berloncatan ke sana ke mari. Mereka lari berhamburan menggoda lelaki tersebut, namun seketika itu juga berlarian meninggalkan lelaki itu yang berjalan dengan tenangnya. Dengan hanya melakukan satu gerakan seorang lelaki membuat sekumpulan anak kera berlarian meninggalkannya di daratan yang ditumbuhi oleh pohon nyiur yang bergoyang tertiup angin darat. Lelaki tersebut berjalan perlahan ketika mengejar anak-anak kera yang mengganggunya, ia kemudian berhenti pada salah satu pohon nyiur yang telah berbuah, diamatinya sejenak ke atas pada buah pohon nyiur yang beberapa buahnya terlihat agak tua dan beberapa lainnya masih berkulit muda. Lelaki tersebut menghela napasnya lalu menyingsingkan lengannya dan bergerak ke atas pohon nyiur yang telah berbuah. Seorang lelaki berlomba memanjat pohon nyiur dengan anak-anak kera sebagai lawan tandingnya, lantas tangan kekar lelaki kurus itupun segera menggapai buah pohon nyiur yang dimaksudkan. Ia memetik beberapa buahnya untuk dipersembahkan pada seorang istri yang sedang mengandung anaknya, seorang istri yang tengah mengidam dan meminta dicarikan buah pohon nyiur yang masih muda. Istri dari lelaki tersebut ingin menikmati kesegaran dari buah pohon nyiur tersebut, lalu sang anak dalam kandungan yang aman di rahim istrinya mencium aroma buah pohon nyiur yang lebih menyengat ketimbang bebauan lainnya di dunia yang belum
pernah dilihatnya. Seorang lelaki telah berdiri di bawah pohon nyiur, didekat kakinya telah bergeletakan buah pohon nyiur yang masih muda. Ia tak meninggalkan yang tua di atas pohon nyiur, dibersihkannya pakaian dari kotoran yang menempel ketika ia memanjat pohon nyiur tadi dan ia mulai meninggalkan daratan yang ditumbuhi nyiur yang bergoyang tersapu angin darat. Beberapa langkah telah dipijakkan di atas bumi yang ditumbuhi rumput yang tak seberapa lebat dan dua hingga lima pohon nyiur telah dilewati oleh langkah kakinya. Di pohon ketujuh atau sembilan itu sang lelaki merasakan kepala yang basah oleh tetes air yang harumnya tak pernah ia lupakan, sejenak ia mengangkat kepalanya untuk mencari arah dari tetes air yang jatuh menimpa kepalanya dan ia melihat seekor anak kera di atas pohon nyiur yang pelepah daunnya melambai terhempas angin darat. Satu hingga tiga buah dari buah pohon nyiur tersebut menetes ke bawah dan menimpa kepala dari lelaki yang telah mendapatkan apa yang dicarinya. Seekor kera telah menumpahkan air dari dalam buah pohon nyiur itu untuk menghilangkan dahaga yang teramat sangat di siang yang terik dan panas. Seorang lelaki hanya menggelengkan kepala melihat tingkah dan polah anak kera yang sejak tadi mengganggu dan menggodanya, dibersihkannya kepala yang basah oleh air yang netes dari buah pohon nyiur di atas dari letaknya berdiri. Ia berjalan lagi meninggalkan pohon nyiur tersebut dengan rambut di kepala yang enggan menghapus bau buah pohon nyiur tersebut. *** Siang itu adalah siang yang bertaburan tawa bagi Burhan dan Rahimah. Sehabis kepulangannya dari melaut semalam Burhan mendapatkan tangkapan ikan yang begitu berlimpah, tak seperti biasanya. Ia senang dengan hasil tangkapan ini, lantas ia pun merayakan kegembiraan ini dengan berjalan menyusuri tepi pantai bersama istrinya yang tengah mengandung tua. Mereka berjalan begitu lambat dan tenang. Hampir di setiap tiga puluh langkah mereka berhenti melangkah dan berdiri menatap lautan luas yang seolah tanpa tepi. “Rahimah kau lihat lautan itu. Tidakkah ia nampak begitu luas sehingga mata kita tak mampu menjangkau dan mencari tahu di mana tepi dari semua ini.” “Iya Kang, lautan ini teramat luas untuk mata kita yang amat sangat terbatas. Semestinya kita memiliki kekuatan lain untuk melihat seberapa jauh dan luas lautan yang saat ini kita lihat,” “Beginilah manusia Rahimah, selalu penuh dengan keterbatasan meski diberikan kelebihan oleh Sang Pencipta.” tangan Burhan merangkul pundak Rahimah saat ia mengakhiri ucapannya. “Tapi sebagai manusia kita punya kekuatan lain yang tak dimiliki Sang Pencipta Kang,” kepala Rahimah tersandar pada dada kanan Burhan. “Maksudmu Rahimah. Aku tak memahami kalimatmu…,” “Manusia memiliki kekuatan dan merasakan bagaimana dan apa yang harus disyukuri ketimbang Tuhan yang selalu memiliki zat yang teramat Maha itu.” Langkah kaki mereka terbentur ombak kecil yang ingin bermain bersama, lalu mereka melanjutkan perjalanan menuju sutu tempat yang tak diketahuinya. Menuju suatu tempat untuk menyarangkan semua rasa syukur atas apa yang telah mereka peroleh saat ini. Rahim yang subur, kehidupan yang tenang, dan tangkapan ikan yang cukup buat kelangsungan hidup mereka. Mereka terus berjalan di atas hamparan karpet berbutirkan pasir yang sesekali menempel di telapak kaki yang sesekali membasah, mereka telah berjalan sejauh dua puluh lima langkah dari tempat mereka berhenti dan berdiri tadi, lantas matahari sepertinya enggan memancarkan cahayanya. Ia bersembunyi dibalik awan yang baru saja tertiup angin dan mendorongnya menghalau matahari yang letih. “Kang matahari itu ternyata bisa membuat kita tertawa,” “Engkau mulai berkhayal Rahimah, apa jabang bayi di perutmu sudah mulai menendang dengan kerasnya hingga terucap kalimat yang aku tak mengerti? Apa perutmu sudah terasa sakit?” Burhan menolehkan kepalanya pada Rahimah
yang berdiri di kanannya ketika langkah mereka telah berjarak dua puluh tujuh langkah dari tempat mereka berhenti tadi. “Tidak Kang aku tidak berkhayal. Dan aku tidak merasakan mual dan mulas di perutku ini,” jawab Rahimah pada Burhan diiringi dengan gelengan pelan kepalanya. “Maka ceritakan padaku mengapa matahari bisa membuat kita tertawa!” pinta Burhan pada Rahimah ketika langkah mereka berhenti dilangkah ketiga puluh dari letak ketika mereka berdiri dan terdiam menikmati lautan luas tanpa tepi. “Perhatikan saja matahari yang selalu saja mengikuti ke mana langkah kita Kang. Perhatikan dengan cermat! Maka Akang dapat melihat tingkah dan perilaku matahari yang terkadang muncul secara langsung dan terkadang bersembunyi di balik awan. Ia seperti malu pada kita yang sedang berjalan di tepi pantai ini Kang, bukankah seharusnya itu bisa membuat kita tertawa.” “haaa…haaaa….haaaaa…., tapi sebetulnya bukan matahari yang membuat kita tertawa Rahimah,” “Lalu apa Kang?” “Penjelasanmu itu yang sesungguhnya membuat kita tertawa. Apakah matahari itu malu pada kita seperti malunya dirimu ketika pertama kali kupandangi?” Burhan bertanya pada Rahimah yang seketika itu tersipu dan nampak merona kedua pipinya mengingat lagi pertemuan pertamanya dengan Burhan. Rahimah pun tersenyum dan Burhan mengarahkan pandangannya ke depan pada jarak yang tak dapat diterkanya berapa langkah kaki lagi ia akan terhenti. “Benar kan bila ternyata bukan matahari yang membuat kita tertawa, tapi lebih karena kita yang membentuk diri sendiri untuk menertawakan semua yang kita alami. Dan matahari hanya membuat kita mengingat peristiwa itu yang sepertinya terulang lagi. Ini terasa begitu dekat, betul kan Rahimah?” “Ah Akang. Bisa saja.” jawab Rahimah lirih sambil menggantungkan tangan kanannya pada pundak sebeblah kiri dari Burhan. Mereka kembali melangkah setelah berhenti dilangkah ketiga puluh. Sesekali Burhan menendangi sebuah nyiur tua yang keriput diterjang air laut bertubi-tubi, tak diketahuinya kapan buah nyiur itu terjatuh lalu mengapung di lautan kemudian berlabuh di tepi pantai ini, tak diketahuinya kapan tunas dari nyiur tersebut akan tumbuh dan serabut-serabutnya mencengkeram bumi dengan kuatnya. Mereka terus melangkah di atas pasir pada tepi pantai dengan riak ombak yang kian menepi. Tanpa terasa langkah mereka telah mencapai langkah yang kelima belas ketika dilihatnya tiga buah perahu yang mencium bibir pantai, sepertinya terdampar, menyentuh pasir pantai dengan air laut yang surut dari tepian pantai. Burhan dan Rahimah masih menikmati saat-saat yang tak terlupakan itu, Rahimah masih bersandar pada dada Burhan dengan tangan kanan yang menggantung pada bahu kiri Burhan. Burhan dan Rahimah masih melangkah membiarkan jabang bayi di perut Rahimah menikmati suasana pantai yang demikian tenangnya. Suara camar laut bersenandung di telinga Rahimah, dan sang jabang bayi mendengarnya. Tapi tibatiba perut Rahimah terasa sakit dan mulas, sang jabang bayi menendang-nendang rahim yang melindunginya dengan keras. Sang jabang bayi dalam perut Rahimah berontak terhadap kerangkeng rahim dari Rahimah, ia ingin lepas dari kerangkeng itu. Sang jabang bayi bergerak meronta, sementara Rahimah tak mengerti maksud sang jabang bayi dalam perutnya yang dilindungi oleh rahimnya selain beranggapan bila telah waktunya untuk melahirkan. Burhan yang melihat keadaan istrinya mulai nampak resah, ia bertanya tentang keadaan Rahimah. Burhan memegangi perut Rahimah yang telah lebih dahulu dipegang oleh pemiliknya, ia sedikit ketakutan atas keadaan tersebut, Burhan tak melepaskan tangannya yang masih memeluk Rahimah. Burhan merasakan rontaan yang keras dari dalam perut Rahimah, rontaan itu semakin keras ketika Burhan dikejutkan oleh gelombang pasang air laut yang begitu tinggi melampaui kepala dan pohon nyiur yang paling tinggi di tempatnya berdiri khawatir dan resah atas keadaan Rahimah. Burhan tetap memeluk dan merangkul Rahimah, membawanya menghindari gelombang pasang yang teramat tinggi. Mereka berdua berjalan dengan sedikit berlari, namun air pasang yang tiba-tiba jatuh ke tanah itu mengejar mereka dan menggulung mereka dalam pusaran gelombang yang tak berhenti. Mereka lenyap dalam gelombang pasang itu.
*** Malam hendak beranjak dari khalwatnya bersama angin laut, sementara gemintang yang sejak awal telah mengintip khalwat mereka dengan sinar mata yang terpicing mulai memasang tubuhnya untuk bersiap melarikan diri dari malam yang akan segera berlalu dari tubuh angin laut yang dieraminya. Cahaya bulan yang tak lagi bersinar terang telah menjadi celah bagi bintang-bintang yang nakal untuk mengintip perjalanan malam bersama angin laut. Malam pun cepat berlalu diiringi cahaya cantik dari selendang yang dibawa terbang oleh putri yang cantik rupawan, namun kokok ayam jantan tak terdengar di sini. Sepertinya ayam jago kesayangan Ciung Wanara pun tak sanggup menahan gelombang pasang yang sesorean kemarin menerjang bibir pantai. Seberkas warna merah mengambang di ufuk timur, dan ketiga manusia itu masih terlelap dalam tidurnya. Mereka nyenyak diselimuti udara malam yang hangat, tapi sang pemilik selimut mulai menarik selimutnya dari tubuh mereka. Tangis bayi yang sejak bertemu dengan wajah ibunya terdiam dan tenang, seketika tersentak dan kaget lalu menangis membangunkan kedua orang tuanya. Burhan terbangun dari lelapnya, diikuti Rahimah yang juga terbangun. Lantas Burhan memanggil anaknya, Ciluhur. Dan Rahimah menyahut anaknya, Kalemah. 23 Juli 2006