Kajian Tembang (filologi)

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kajian Tembang (filologi) as PDF for free.

More details

  • Words: 5,194
  • Pages: 32
MAKNA SIMBOLIK DALAM TEMBANG DOLANAN OBANG-OBING, LOCICI, KEBO BRINTIK, JAMUR-JAMUR CEPAK’I DAN RIS-IRISAN PANDHAN. MAKALAH Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Filologi Yang Dibina Oleh Ibu Dwi Sulistiorini, S.S., M.Hum

Oleh: Debi sukma dewi Sri Wahyuti Tristan Rokhmawan

307212407102 307212407105 307212407101

UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS SASTRA JURUSAN SASTRA INDONESIA PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA MEI 2009

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Filologi adalah ilmu yang menyelidiki perkembangan kerohanian suatu bangsa yang menyelidiki kebudayaan berdasar bahasa dan kesusasteraan. Dalam arti sempit filologi adalah studi tentang naskah (lama) untuk menetapkan aslinya, bentuk semula, serta makna isinya. Ilmu filologi adalah suatu ilmu yang objek penelitiannya adalah naskah-naskah lama dan dipandang sebagai pintu gerbang yang dianggap dapat menyingkap khasana masa lampau (Djamaris, 1977:20) Sedangkan dalam istilahnya sendiri, istilah filologi sudah dipakai sejak abad ke3 SM oleh kelompok ahli Alexandria yang kemudian dikenal dengan ahli filologi. Dan orang pertama yang memakai istilah itu adalah Erastothenes. Pada waktu itu, mereka berusaha mengkaji teks lama yang berasal dari bahasa Yunani. Pengkajian mereka bertujuan untuk menemukan bentuknya yang asli untuk mengetahui maksud pengarang dengan jalan menyisihkan kesalahan yang terdapat di dalamnya. Pada waktu itu, mereka berhadapan dengan naskah yang maisng-masing menunjukkan bacaan yang berbeda (varian) dan rusak (korup). Sehingga menurut Chamamah-Soenarto (1999), filologi juga dapat diartikan sebagai kajian yang menitikberatkan kajiannya terhadap naskah yang varian dan korup sebagai kesalahan (filologi tradisional) dan sebagai suatu kreatifitas penyalinan (filologi modern).

Adapun objek kajian filologi adalah naskah dan teks. Dalam kajian filologi, pengertian naskah dan teks dibedakan. Teks ditunjukkan sebagai sesuatu yang abstrak, sedangkan naskah merupakan sesuatu yang konkret. Tujuan filologi adalah mengkaji naskah/ teks dengan tujuan mengenali sesempurna-sesempurnanya dan selanjutnya menempatkan dalam keseluruhan sejarah atau bangsa. Secara umum, tujuan filologi adalah (1) memahami sejauh mungkin kebudayaan suatu bangsa melalui karya sastranya, baik lisan maupun tertulis. (2) memahami makna dan fungsi teks bagi masyarakat penciptanya, (3) mengungkap nilai budaya lama sebagai alternatif pengembangan kebudayaan. Sedangkan tujuan khusus filologi adalah (1) menyunting sebuah teks yang dipandang paling dekat dengan teks aslinya. (2) mengungkap sejarah terjadinya teks dan sejarah perkembangan, dan (3) mengungkap persepsi pembaca pada setiap kurun waktu penerimaannya. Salah satu kegiatan dalam filologi adalah kegiatan transkrip dan translate dari objek yang sedang dikaji, yaitu naskah. Transkrip dalam hal ini adalah melakukan alih aksara/pengertian jenis tulisan, antara huruf yang satu dengan yang lain, dari satu abjad ke abjad yang lain. Sedangkan translate adalah mengubah pengertian dari satu bahasa ke bahasa sasaran. Dalam pembahasan ini, objek yang dikaji adalah teks tembang dolanan. Tembang dolanan yang dibahasa adalah berasal dari daerah Jawa. Pada masa lampau tembang ini banyak digunakan untuk memberikan pendidikan moral kepada anak-anak. Sebagai objek kajian filologi, tembang dianggap sebagai suatu teks atau naskah yang merupakan hasil kesenian masyarakat yang dapat menunjukkan beberapa identitas pemiliknya. Secara tersirat dalam tembang dolanan mengandung makna yang luhur.

Bahkan diantaranya, tembang dolanan selain digunakan untuk dolanan (bermain) juga digunakan sebagai sarana dakwah. Dalam perkembangan jaman, tembang mulai diabaikan oleh masyarakat. Bahkan

masyarakat

Jawa

yang

mamiliki

tembang-tembang

tersbeut

juga

mengabaikannya. Tembang dolanan yang dahulu digunakan dalam permainan maupun dakwah mulai ditinggalkan. Adapun salah satu tujuan filologi berdasrkan makna harfiah dari filologi yang dapat diartikan sebagai kecintaan terhadap sastra/kebudayaan, maka diangkatlah naskah Javaanche Kinderspelen sebagai objek kajian tembang dolanan dengan tujuan untuk melestarikannya. Secara garis besar, dapat digambarkan naskah berjudul Javaanche Kinderspelen ini merupakan naskah yang ditulis oleh R.Soekardi pada tahun 1912, dengan tebal naskah 1,5 cm, jumlah halaman 234 halaman dan ditulis dalam aksara jawa gaya ngetumbar. Dan ciri-ciri gaya ngetumbar itu sendiri antara lain: tulisannya agak bulat, jejeg(tegak), dan rapi. Keadaan naskah ini masih cukup baik dan terawat, terlihat dari aksara jawa pada teks tersebut dapat dibaca dengan cukup jelas. Serta media penulisan naskah ini adalah kertas HVS. Penulis mengkaji teks tembang dolanan, dari sisi makna simboliknya. Adapun alasan pengkaji mengkaji makna simbolik, karena dalam tembang dolanan secara tersirat mengandung makna dan nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup.

1.2 Rumusan Masalah a. Makna simbolik dalam tembang obang-obing?

b. Makna simbolik dalam tembang dolanan locici? c. Makna simbolik dalam tembang dolanan ris-irisan pandhan? d. Makna simbolik dalam tembang dolanan jamur-jamur cepaki? e. Makna simbolik dalam tembang dolanan kebo brintik?

1.3 Tujuan a. Makna simbolik dalam tembang obang-obing. b. Makna simbolik dalam tembang locici. c. Makna simbolik dalam tembang ris-irisan pandhan. d. Makna simbolik dalam tembang jamur-jamur cepaki. e. Makna simbolik dalam tembang kebo brintik.

BAB II Kajian Pustaka

2.1 Pengertian Naskah Naskah adalah benda konkret yang dapat dilihat atau dipegang. Naskah Handschrift adalah tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau. Naskah pada umumnya berupa buku atau bahan tulisan tangan, panjang karena memuat cerita lengkap. Naskah biasanya anonim dan tidak berangka tahun, berjumlah banyak karena disalin. 2.2 Pengertian Teks Teks artinya kandungan atau muatan naskah, sesuatu yang abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja. Teks terdiri atas isi, yaitu ide-ide atau amanat yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca dan bentuk-bentuk, yaitu cerita dalam teks yang dapat dibaca dan dipelajari menurut berbagai pendekatan melalui alur, perwatakan, gaya bahasa, dsb. Dalam penjelmaan dan penuturannya, secara garis besar dapat disebutkan adanya tiga macam teks, yaitu teks lisan(tidak tertulis), teks naskah tulisan tangan, dan yang ketiga teks cetakan. 2.3 Pengertian Tembang Kata tembang merupakan istilah dalam bahasa Jawa yang berarti lagu (Mangunsuwito, 2002 263). Lagu sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ragam suara yang berirama. Biasanya irama tersebut berupa rangkaian tangga nada yang tersusun secara urut dan harmonis sehingga menghasilkan bunyi-bunyian yang mengandung unsur-unsur keindahan atau estetik.

Tembang disebut juga dengan istilah sekar. Tembang memang berasal

dari kata

kembang. Kata kembang sendiri mempunyai persamaan makna dengan kata sekar. Kata ini dapat diartikan sebagai bunga. Budaya tembang sebagai ekspresi estetik mengandung. ciri-ciri utama seperti : bersifat kontemplatif - transedental; bersifat simbolik dan bersifat filosofis . Sebagai ekspresi esetik, tembang kadang kala menimbulkan multi tafsir. Lebihlebih ketika sang penulis tembang tersebut telah tiada sebelum ia rnenafsirkan makna tembang yang ditulisnya. Dalam masyarakat suku bangsa Jawa tembang dibagi menjadi tiga jenis yaitu: (1) Tembang Macapat, seperti Dandanggula, Pangkur, Sinom, Megatruh, Gambuh, Maskumambang, Pocung, Mijil, Durma, Kinanti; (2) Tembang Tengahan seperti : Jurumedung, Wirangrong. Balalak Girisa, (3) Tembang Gede seperti Tebukasol, Citramengeng, Manggalagita, Kusumastuti, Candrakusuma dan sebagainya. 2.4 Pengertian Tembang Dolanan Dalam masyarakat Jawa sendiri, budaya tembang sudah ada sejak dahulu. Sebagian besar warisan budaya nenek moyang Jawa dikemas dalam bentuk tembang atau kidung. Salah satu tembang yang dahulu digemari oleh anak-anak adalah Tembang Dolanan. Konon jenis tembang ini dapat membentuk keluhuran watak dan moral anak. Tembang dolanan bukan hanya sebagai lagu yang tidak bermakna dan mesti dinyanyikan sebagai hiburan. Lebih dari itu tembang dolanan adalah seni yang cukup menarik untuk dikaji. Karena di dalam seni ini terdapat misteri yang penting untuk kehidupan manusia. Tembang dolanan merupakan perwujudan dari lagu yang biasanya dinyanyikan oleh anak-anak ketika bermain. Tetapi kadang kala juga dinyanyikan oleh seorang dalang

saat pagelaran wayang kulit. Karena lebih bersifat hiburan, tembang yang dinyanyikan tidak terikat oleh pakem tertentu. Dan, karena yang diwakili nembang adalah tokoh punakawan, jenis tembang yang dinyanyikan biasanya adalah yang bersifat gembira dan menghibur. Dalam karawitan disebut Lagu ‘dolanan’, misalnya Mbangun Desa, Caping Gunung, Modernisasi Desa, Warung Pojok, dan yang serupa dengan itu.

BAB III Metode Kegiatan

3.1 Rancangan deskriptif kualitatif Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miler (1986: 9) pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan kuantitatif. Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkatan suatu ciri tertentu. Untuk menemukan sesuatu dalam pengamatan, pengamat harus mengetahui apa yang menjadi ciri sesuatu itu. Untuk itu, pengamat mulai mencatat atau menghitung dari satu, dua, tiga dan seterusnya. Berdasarkan pertimbangan dangkal demikian, kemudian peneliti menyatakan bahwa penelitian kuantitatif mencakup setiap penelitian yang didasarkan atas perhitungan persentase, rata-rata dan perhitungan statistik lainnya. Dengan kata lain, penelitian kuantitatif melibatkan diri pada perhitungan atau angka atau kuantitas. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang berguna untuk memperoleh penemuan-penemuan yang tidak terduga sebelumnya dan membangun kerangka teoritis baru. Penelitian kualitatif biasanya mengejar data verbal yang lebih mewakili fenomena dan bukan angka-angka yang penuh prosentaase dan merata yang kurang mewakili keseluruhan fenomena. Penelitian kualitatif tersebut, data yang diperoleh dari lapangan biasanya tidak terstruktur dan relative banyak, sehingga memungkinkan peneliti untuk menata, mengkritis, dan mengklasifikasikan yanglebih menarik melalui penelitian kualitatif. Istilah penelitian kualitatif, awalnya beraasal dari sebuah pengamatan pengamatan kuantitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan kualitatif (Suwardi Endraswara, 2006:81).

Penelitian deskriptif adalah penelitian tentang fenomena yang terjadi. Prosesnya berupa pengumpulan dan penyusunan data, serta analisis dan penafsiran data tersebut. Penelitian deskriptif dapat bersifat komparatif dengan membandingkan persamaan dan perbedaan fenomena tertentu; analitis kualitatif untuk menjelaskan fenomena dengan aturan berpikir ilmiah yang diterapkan secara sistematis tanpa menggunakan model kuantitatif; atau normatif dengan mengadakan klasifikasi, penilaian standar norma, hubungan dan kedudukan suatu unsur dengan unsur lain. Dalam perkembangan lebih lanjut ada sejumlah nama yang digunakan para ahli tentang metodologi penelitian kualitatif (Noeng Muhadjir. 2000: 17) seperti : interpretif grounded research, ethnometodologi, paradigma naturalistik, interaksi simbolik, semiotik, heuristik, hermeneutik, atau holistik, yang kesemuanya itu tercakup dalam klasifikasi metodologi penelitian postpositivisme phenomenologik interpretif. Metode ini hanyalah berusaha memaparkan atau mendeskripsikan atau menjelaskan situasi dan kondisi. Penelitian ini tidak bermaksud menguji hipotesis, tidak bermaksud memprediksi keadaan, dan juga tidak bermaksud mencari dan menjelaskan hubungan-hubungan antar variabel. Namun demikian, sesuai dengan makna ‘deskriptif’ yakni penjelasan, maka tentu melibatkan hubungan-hubungan tertentu antar aspek yang diteliti. Dalam hal ini beberapa ahli bahkan memperluas pengertian deskriptif ini dengan menyebut kepada segala penelitian kecuali penelitian historis dan eksperimental (lihat Rachmat, 1997). Penelitian deskriptif hanya mampu menjawab pertanyaan: apa yang sedang terjadi; bagaimana ia terjadi (proses); hal-hal apa yang menonjol dari situasi seperti ini; dan lain-lain. Penelitian ini tidak mampu secara jelas menjawab pertanyaan: mengapa hal

itu bisa terjadi; faktor-faktor apa saja yang menyebabkan peristiwa teserbut bisa terjadi; bagaimana pola hubungan antar aspek dan sejauh mana tingkat hubungannya; dll. Jenis pertanyaan yang terakhir ini hanya bisa dijawab melalui penelitian verifikatif atau eksplanatori. Langkah-langkah dalam penelitian deskriptif pada umumnya hampir sama dengan penelitian-penelitian ilmiah lainnya. Hanya untuk jenis penelitian ini biasanya tidak disertai dengan pembuatan hipotesis formal dalam usulannya. Hipotesis akan muncul pada saat sedang berlangsungnya penelitian, atau bahkan jika penelitian sudah dalam tahap analisis data dan interpretasinya. Metode kualitatif menggunakan beberapa bentuk pengumpulan data seperti transkrip wawancara terbuka, deskripsi observasi, serta analisis dokumen dan artefak lainnya. Data tersebut dianalisis dengan tetap mempertahankan keaslian teks yang memaknainya. Hal ini dilakukan karena tujuan penelitian kualitatif adalah untuk memahami fenomena dari sudut pandang partisipan, konteks sosial dan institusional. Sehingga pendekatan kualitatif umumnya bersifat induktif.

3.2 Metode Objektif Metode objektif adalah metode yang mengkaji suatu kondisi mengenai keadaan yang sebenarnya tanpa mempengaruhi pendapat atau pandangan pribadi. Metode ini digunakan karena setelah dilakukan sebuah perbandingan teks, maka ditemukan kesalahan pada tempat yang sama (adanya teks yang korup).

Metode objektif yang sampai kepada silsilah naskah disebut metode stema. Penerapan metode stema ini sangat penting karena pemilihan atas dasar objektivitas selera baik dan akal sehat dapat dihindari.

3.3 Pendekatan Hermeneutik Hermeneutik dalam istilah sehari-hari diartikan sebagai interpretasi atau penafsiran, pada awalnya merupakan metode penelitian dalam human sciences. Penerapan hermeneutik dalam human sciences ini diawali oleh F. Schleiermacher dan W. Dilthey, yang kemudian dikembangkan lagi oleh beberapa pemikir sesudahnya seperti Heidegger dan Gadamer. Dalam makalah ini akan ditunjukkan bahwa di dalam sejarah perkembangannya, ilmu-ilmu alam atau natural science - yang berkaitan erat dengan scientific method, objectivity, dan rationality - juga melibatkan unsur-unsur ermeneutik. Hermeneutik merupakan teori yang menjadi dasar sangat penting dan juga mewarnai penelitian kualitatif. Hermeutik mengararah pada penafsiran ekspresi yang penuh makna dan dilakukan dengan sengaja oleh manusia. Artinya, kita melakukan interpretasi atas interpretasi yang telah dilakukan oleh oleh pribadi atau kelompok manusia terhadap situasi mereka sendiri (Smith,1984). Setiap peristiwa atau karya memiliki makna dari interpretasi para pelaku atau pembuatnya. Karya atau peristiwa yang merupakan interpetasi atas sesuatu tersebut selanjutnya menghadapi pembaca atau pengamatnya (penghayat), dan ditangkap dengan interpetasi pula. Hal ini sejalan dengan apa yang menurut istilah Gademer (1976) di

dalam menjelaskan karya seni, bahwa setiap karya akan selalu diciptakan kembali oleh pengamatnya, atau dengan kata lain, mendapatkan makna baru yang diciptakan oleh pengamatnya(penghayatnya) tersebut. Hermeneutik mempersyaratkan suatu aktivitas konstan dari interpetasi antara bagian dengan keseluruhannya, yang merupakan suatu proses tanpa awal dan juga tanpa akhir. Oleh karena itu, di dalam penelitian kualitatif seorang peneliti hanya dapat menyajikan suatu interpetasi (didasarkan pada nilai-nilai, minat dan tujuan) atas interpetasi orang lain atau subjek yang diteliti yang juga didasarkan pada nilai-nilai, minat dan tujuan mereka sendiri (Smith dan Heshusius, 1986). Peneliti

yang

sedang

melakukan

kegiatannya,

berusaha

menggunakan

kemampuannya sendiri untuk menemukan makna dari apa yang diteliti. Ia tak pernah menganggap bahwa setiap deskripsi bersifat definitive. Ia selalu meningkatkan kesungguhan dan kemungkinan-kemungkinan reflektifnya. Validitas keputusan mengenai sesuatu dapat diwujudkan dari deskripsi yang tegas, bersama-sama dengan pengalaman orang lain dalam suatu konteks antarsubjektif, termasuk didalamnya juga melibatkan interpetasi penelitinya. Pola semacam kerja inilah yang menyebabkan penelitian kualitatof bersifat multiperspektif untuk mendapatkan simpulan makan mengenai sesuatu yang bersifat intersubjektif. Hubungan antara peneliti dengan yang diteliti tidak linear tetapi terjadi secara dialektik interaktif. Dalam perkembangan selanjutna hermeneutik telah digunakan oleh para ahli tafsir kitab suci yang menggunakan bahasa tinggi dan metaforis, agar bias dipahami dan dihayati oleh para pengikut agamanya. Bahasa yang metaforis dengan sifat

kelenturannya, akan selalu memungkinkan penafsiran terhadap beragam pernyataan sesuai dengan konteks sepanjang zaman. Beberapa teori dalam ilmu-ilmu alam, misalnya dalam fisika kuantum dan kosmologi, sebenarnya merupakan hasil interpretasi-interpretasi para ilmuwan yang dalam sejarahnya dapat digantikan oleh interpretasi-interpretasi baru atau yang oleh Kuhn disebut sebagai pergeseran paradigma dalam ilmu pengetahuan. Dalam makalah ini akan diuraikan perkembangan pengertian hermeneutik, dilanjutkan dengan diskusi keberadaan hermeneutik dalam ilmu-ilmu alam, termasuk pergeseran paradigma Kuhn, dan diakhiri dengan uraian ringkas beberapa penemuan atau teori dalam ilmu alam yang relevan. Istilah hermeneutik mencakup dua hal, yaitu seni dan teori tentang pemahaman dan penafsiran terhadap simbol-simbol baik yang kebahasaan maupun yang nonkebahasaan. Pada awalnya hermeneutik digunakan untuk menafsirkan karya-karya sastra lama dan kitab suci, akan tetapi dengan kemunculan aliran romantisme dan idealisme di Jerman, status hermeneutik berubah. Hermeneutik tidak lagi dipandang hanya sebagai sebuah alat bantu untuk bidang pengetahuan lain, tetapi menjadi lebih bersifat filosofis yang memungkinkan adanya komunikasi simbolik. Tujuan akhir dari pendekatan hermeneutik adalah kemampuan memahami penulis atau pengarang melebihi pemahamanm terhadap diri kita sendiri. Seorang sejarawan yang menuliskan segala peristiwa sejarah, tidak jauh dari zaman di mana ia hidup, tidak akan mempunyai pandangan yang lebih jernih jika dibandingkan dengan sejarawan yang hidup sekian abad sesudahnya. Namun pandangan semacam ini dapat juga dianggap keliru. Sejauh prasangka dan keikutsertaan penulis yang bersifat subjektif dijauhkan, maka ia dapat melihat segala peristiwa dalam kebenarannya yang objektif atau sebagaimana

mestinya terjadi. Dalam pendekatan hermeneutik, seseorang menempatkan dirinya dalam konteks ruang dan waktu, maka visinya juga mengalami berbagai macam perubahan. Ia menggunakan apa saja yang mungkin untuk ditafsirkan.

3.4 Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian deskriptif kualitatif atas teks dengan pendekatan hermeneutik ini adalah naskah yang berjudul ’Javanesche Kinderspelen’ yang ditulis oleh R.Soekardi pada tahun 1912 dalam aksara jawa gaya ngetumbar, dengan tebal naskah 1,5 cm dan jumlah halaman 234 halaman dan ditulis. Keadaan naskah ini masih cukup baik dan terawat, terlihat dari aksara jawanya dapat dibaca dengan cukup jelas. Dan selanjutnya, dari naskah tersebut diambillah lima naskah yang menjadi objek analisis. Teks tembang dolanan dalam naskah terebut yang diambil diantaranya adalah tembang berjudul ‘obang-obing’, ‘locici’, ‘ris-irisan pandhan’, ‘jamurjamur cepaki’, dan ‘kebo brintik’.

3.5 Pengolahan Data Ada tiga tahap analisis data dalam penelitian ini, yaitu : 1. Tahap Transkripsi Dalam tahap ini, lima tembang, obang-obing, locici, ris-irisan pandhan, jamurjamur cepaki, dan kebo brintik disalin kedalam bentuk catatan lain pada tempat yang berbeda. 2. Tahap Translite

Dalam tahap ini, dilakukan pengalihan aksara/ jenis tulisan, yaitu dari aksara Jawa kedalam aksara latin dan berbahasa Indonesia. 3. Tahap Interpretasi Dalam tahap ini, dilakukan kegiatan pemaknaan atas makna simbolik yang tersirat dalam teks (lima tembang dalam naskah Javanesche Kinderspelen).

3.6 Analisis Data Sesuai dengan jenis penelitian yang menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif, analisis data menggunakan teknik deskriptif yang mengarah pada pendeskripsian secara rinci dan mendalam mengenai potret kondisi tentang apa yang sebenarnya terjadi pada objek penelitian. Dalam kaitannya dengan metode hermeneutik, peneliti melakukan kegiatannya dengan berusaha menggunakan kemampuannya sendiri untuk menentukan makna dari apa yang diteliti. Menurut Nyoman Kutha (46:2007), metode hermeneutika tidak mencari makna yang benar, melainkan makna yang paling optimal. Validitas data dan keputusan diwujudkan dari deskripsi yang tegas. Dalam kegiatannya, metode hermeneutik dibicarakan dalam dua kegiatan, yaitu kualitatif dan analisis isi. Dalam hermeneutik, kualitatif berjalan dengan memprhatikan perhatian pada makna dan pesan sesuai dengan hakikat dalam objek. Dan analisis isi dalam hal ini berkaitan dengan penafsiran. Dasar pelaksanaan metode analisis isi adalah penafsiran. Dan dasar penafsiran dalam metode analisis isi memberikan perhatian pada isi pesan.

Bab IV Pembahasan

Dapat dianalisis berdasarkan pengertian makna simbolik adalah konotasi dan ciri penafsiran ganda dari sebuah teks, yang sarat dengan kesan. Dalam bahasa Indonesia pada umumnya simbol disamakan dengan lambang. Dalam sastra, sistem simbol yang terpenting adalah bahasa. Sesuai dengan hakikatnya tanda bahasa dikaitkan dengan denotatum. Denotatum dalam karya sastra adalah dunia interpretasi fiksional, dunia dalam kata-kata, dan dunia kemungkinan yang memungkinkan munculnya interpetasi dan penafsiran tersendiri atas bahasa. Dunia fiksi tidak harus sama dengan dunia sesungguhnya, namun tetap harus dapat diterima ’kebenarannya’. Begitupun interpretasi atas bahasa juga tidak selalu sama. Atas dasar pandangan bahwa segala sesuatu dalam bahasa memungkinkan untuk menjadi tanda maka jumlah denotatum penafsiran pun tidak terbatas.

4.1 Makna Simbolik dalam Tembang Obang-obing Berdasarkan keterangan lagu: A sampai I diibaratkan sama-sama sedang berdiri, I yang jadi atau berjaga di tengah. A,B,C,D,E,F,dan G. Mereka sama-sama memutari I bersama-sama saling bergandengan tangan, lalu menyanyikan lagu sambil berputar. Tiap-tiap jatuh di ’dhongdhing’ atau ketukan lagu. I menunjuk kepada anak-anak yang lain. Telunjuk I jatuh kepada siapa, maka dialah yang menggantikan jadi atau berjaga. Demikian selanjutnya berulang-ulang sampai bosan hati seluruh anak.



Kebersamaan : Tercermin dari jenis permainan yang melibatkan beberapa orang anak untuk bermain bersama. Dalam budaya Jawa, hal ini sangatlah mencolok. Masyarakat Jawa cenderung mengutamakan kebersamaan dalam menjalin hubungan yang harmonis di lingkungannya. Masyarakat Jawa memiliki sistem budaya yang mengutamakan nilai keserasian hidup. Intuisi untuk sosial ada dan diadakan untuk memainkan peran yang berkontribusi pada kepaduan formasi masyarakat yang utuh dan harmonis. Perwujudan dari keserasian dapat dilihat dalam praktek kerjasama. Kerukunan didasari oleh empat sifat dasar, yaitu simpati, keramahan, keadilan, dan menempatkan kepentingan pribadi yang selaras dengan tatanan sosial dan adat-istiadat. Kerukunan dalam hal ini diwujudkan dengan interaksi sosial yang dilakukan dengan bermain tembang.



Tanggung jawab : Tercermin dari cara permainan yang mengharuskan salahsatu pemain berdiri di tengah dan bertanggung jawab untuk menunjuk salah satu teman untuk menggantikannya. Dalam hal ini, ia bertanggung jawab untuk berbuat adil. Yang ditengah diartikan sebagai pemimpin dalam permainan tersebut. Pemimpin adalah orang yang harus berbuat adil dan tidak mengambil hal yang bukan haknya, mengedepankan kepentingan orang lain. Dalam permainan ini, orang yang berdiri ditengah menjadi penentu bagi siapa yang akan dia tunjuk untuk menggantikannya, dan dia harus

adil karena ia harus memilih orang yang paling tidak belum mendapat giliran bermain. •

Toleransi : Tercermin dari cara bermain ketika anggota sepermainan harus rela dan toleransi terhadap teman yang harus bergiliran untuk berdiri d tengah. Dengan rasa toleransi yang tinggi, diharapkan tidak akan ada pertentangan akibat jatah giliran mereka.

4.2 Makna Simbolik dalam Tembang Locici Locici Locici, Locino, Lolobah, Lolondo. •

Mencerminkan filosofi masyarakat Jawa yang menutupi maksud yang biasanya berupa sindiran dengan ‘plesetan’ kata-kata : Tercermin dari kata-kata yang digunakan dalam tembang ini. Dalam tembang ini, masyarakat Jawa menggambarkan bagaimana mereka menyebut orang-orang Cina dan Belanda yang banyak tinggal di Indonesia. ‘locici’ dapat diartikan ‘orang cina’ (cici : sebutan untuk orang cina, terutama wanita) dan ‘lolobah’ dapat diartikan (bah : sebutan untuk orang Belanda). ‘locino’ : orang-orang cina dan ‘lolondo’ : orang-orang Belanda. Dalam hal ini, masyarakat Jawa, terutama ‘oknum’ yang membuat/ menciptakan tembang ini bermaksud menyembunyikan maksudnya yang bertujuan berolok-olok atas sebutan bagi kedua etnis tersebut.



Mencerminkan budaya Jawa yang cenderung mengutamakan keselarasan : Tercermin dari lagu yang memiliki rima. Sebagaimana budaya tembang yang ada di Jawa, tembang cenderung dibuat dengan nada dan irama yang memiliki aturan tertentu untuk menciptakan kesan keserasian. Hal ini pula yang menjadi cerminan dari budaya Jawa yang mengutamakan keselarasan dan keseimbangan pada setiap aspek kehidupan dan bermasyarakat. Nilai budaya keserasian hidup bersama ini sesungguhnya telah berabad-abad menjadi filosofi dasar masyarakat Jawa , yaitu suatu cita-cita yang berupa ‘tatanan sosial yang terorganisir secara rapi dan dalam keseimbangan’ (Leach, dikutip Kuiper, 1991:156).

4.3 Makna Simbolik dalam Tembang Ris-irisan Pandhan Dimulai dengan memahami keterangan lagu : A sampai D diibaratkan anak-anak sama-sama berdiri melingkar dan bergandengan, bersama memulai lagu, lantas berputar pada jalurnya, setelah lagu habis: ‘seger’, berputarnya sesuai dengan ketukan lagu dan bersama-sama dengan penuh seksama. Demikian berulang-ulang sampai longgar, dan anak-anak telah merasa letih dan bosan. •

Kebersamaan : Tercermin dari jenis permainan yang melibatkan beberapa orang anak untuk bermain bersama. Dalam budaya Jawa, hal ini sangatlah

mencolok. Masyarakat Jawa cenderung mengutamakan kebersamaan dalam menjalin hubungan yang harmonis di lingkungannya. Masyarakat Jawa memiliki sistem budaya yang mengutamakan nilai keserasian hidup. Intuisi untuk sosial ada dan diadakan untuk memainkan peran yang berkontribusi pada kepaduan formasi masyarakat yang utuh dan harmonis. Perwujudan dari keserasian dapat dilihat dalam praktek kerjasama. Kerukunan didasari oleh empat sifat dasar, yaitu simpati, keramahan, keadilan, dan menempatkan kepentingan pribadi yang selaras dengan tatanan sosial dan adat-istiadat. Kerukunan dalam hal ini diwujudkan dengan interaksi sosial yang dilakukan dengan bermain tembang.



Gotong royong : Dicerminkan dengan permainan yang dimainkan hingga semua pemainnya merasa bosan dan capek. Hal ini dapat dimaknai sebagai pesan moral untuk selalu menjaga semangat gotong royong diantara mereka. Permainan ini diibaratkan sebagai pekerjaan atau tugas yang dipikul bersama-sama. Pekerjaan itu akan dikerjakan bersama-sama. Dan selesai bersamaan dengan perasaan lega dan senang atas kebersamaan.

4.4 Makna Simbolik dalam Tembang Jamur-jamur Cepak’i Berdasarkan keterangan lagu yaitu:

Dibaratkan anak-anak sama-sama berdiri sejenak bersama-sama berjalan berputar pelan-pelan dan bersama-sama bernyanyi. Bersama lagu sambil, kakinya ditepukkan ke tanah, tangan kirinya diletakkan di pinggang dan badannya juga miring ke kiri. Bersama lagu sampai lambang ‘bonyok-nyok’ lalu ganti tangannya yang kanan diletakkan di pinggang dan badannya condong ke kanan, setelah lagu habis: lehernya di anggukkan, bersama-sama gerakan lehernya, demikian berulang-ulang sampai bosan.



Kebersamaan : Tercermin dari jenis permainan yang melibatkan beberapa orang anak untuk bermain bersama. Dalam budaya Jawa, hal ini sangatlah mencolok. Masyarakat Jawa cenderung mengutamakan kebersamaan dalam menjalin hubungan yang harmonis di lingkungannya. Masyarakat Jawa memiliki sistem budaya yang mengutamakan nilai keserasian hidup. Intuisi untuk sosial ada dan diadakan untuk memainkan peran yang berkontribusi pada kepaduan formasi masyarakat yang utuh dan harmonis. Perwujudan dari keserasian dapat dilihat dalam praktek kerjasama. Kerukunan didasari oleh empat sifat dasar, yaitu simpati, keramahan, keadilan, dan menempatkan kepentingan pribadi yang selaras dengan tatanan sosial dan adat-istiadat. Kerukunan dalam hal ini diwujudkan dengan interaksi sosial yang dilakukan dengan bermain tembang.



Keselarasan :

Hal ini tidak hanya ditemukan dalam permainan tembang ini saja, karena di Jawa, keselarasan juga dsering dipakai dalam seni gerak lain seperti tari-tarian. Demikian halnya dengan cara bermain dalam Tembang Jamur-Jamur Cepaki. Tembang ini dinyanyikan dengan gerakan-gerakan tertentu semacam tarian yang dilakukan bersama-sama secara harmonis oleh setiap pemainnya. Hal ini masih berkaitan dengan konsep keserasian yang selalu berusaha diciptaan oleh masyarakat Jawa. Keselarasan dalam geraka inipun melambangkan banyaknya susunan / aturan dalam tatanan masyarakat Jawa. Seperti halnya pada tari-tarian yang mengharuskan beberapa orang dengan gerakan yang sama dan selaras untuk menciptakan kesan harmonis.

4.5 Makna Simbolik dalam Tembang Kebo brintik Kebo brintik aselambobima, bima wedhi wendeg jambe wana jungkat mentul ngisor jengkol duwur pete, tapi ye larak-larak, kembenne bangun tulak ngenggo pincuk tali anak-anak’e mati kapidhak. Arti linear  Kebo brintik aselambobima, setan bima penghuni pohon jambe, yang berjalan menggunakan tongkat dan berkalung jengkol di atas dan pete di bawah, serta jalannya diseret-seret, menggunakan ‘kemben’ berwarna hitam putih yang diikat dengan tali dan anak-anaknya mati terinjak.

Arti interpetasi  Kebo brintik aselambobima dapat diartikan sebagai orang yang jahat , menggunakan banyak alat untuk melindungi dirinya sendiri dan untuk menakuti orang lain. Namun ketika ia berbuat jahat maka anak-anaknya juga ikut menanggung malu. •

Dari interpretasi diatas, dapat katakana bahwa tembang ini adalah penggambaran dari kepercayaan masyarakat Jawa tentang penurunan sifat dan perilaku dari orang tua kepada anak-anaknya. Dan tidak hanya sebatas itu, baik-buruk dalam diri orang tua dianggap menjadi penentu watak baik-buruk anak-anaknya.



Dalam masyarakat Jawa, seseorang yang dianggap buruk, baik dalam tingkah laku atau watak nya, dianggap sebagai benih dari keburukan yang akan melahirkan banyak keburukan lain. Misalnya anak seorang wanita penghibur, akan selamanya membawa ‘titel’ orang tuanya, bahkan penilaian pada anak keturunan tersebut akan tetap dinilai buruk bila orang tua/ salah satu orang diatas garis keturunannya memiliki aib dimata masyarakat.



Selain itu, hal ini juga terkait dengan penetapan status dan penilaian terhadap seseorang yang berada pada tingkat ‘bibit’. Dimana dalam masyarakat Jawa, diutamakan adanya keturunan daro orang-orang yang dianggap baik dan mulia. Dan seperti yang dibahas sebelumnya, bila ada sejarah buruk dari silsilah keturunan tersebut, maka cap buruk akan terus dibawah oleh anak-cucu mereka, sampai kapanpun, sampai masyarakat mulai melupakan aib kebrukan tersebut.

BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Selanjutnya, setelah prosesn interpretasi, pada akhirnya peneliti menemukan suatu benang merah diantara tembang tembang berjudul ‘obang-obing’, ‘locici’, ‘risirisan pandhan’, ‘jamur-jamur cepaki’, dan ‘kebo brintik’. Dan dapat disimpulkan secara umum, bahwa hasil interpretasi dari semua tembang tersebut mengarah pada aspek cerminan pandangan, falsafah hidup, dan nilai moral yang dibangun dalam masyarakat Jawa. Kesimpulan itu dibuktikan dengan diperolehnya suatu hasil interpretasi dari beberapa tembang yang dapat dilihat dari segi-segi yang telah disebutkan diatas. Diantaranya dapat dicontohkan adanya interpretasi moral/ nilai kebersamaan dalam tembang berjudul ‘obang-obing’, ‘ris-irisan pandhan’, dan ‘jamur-jamur cepaki’. Selain itu, terdapat pula interpretasi ‘keselarasan’ yang dapat dilihat dalam tembang-tembang tersebut. dan secara tersendiri, disebutkan pula aspek lain seperti pemaknaan akan sesuatu yang dapat dilihat dari tembang ‘Kebo Brintik’yang menggambarkan tentang penurunan sifat dalam silsilah keturunan. Dan tidak lupa, disebutkan pula ciri khas masyarakat Jawa yang juga seringkali menyebutkan golongan etnis seseorang, yang secara singkat digambarkan dalam tembang ‘Locici’. 5.2 Saran 5.2.1

Saran kepada Pemerintah Kepada pemerintah diharapkan mampu memberikan banyak dukungan baik secara moril maupun materil dalam upaya melestarikan budaya bangsa (salah satunya tembang dolanan). Sebagai sebuah kewajiban kita bersama untuk melestarikan kebudayaan ini, dalam hal ini pemerintah diharapkan bisa menjadi fasilitator dan masyarakat sebagai pelaksananya.

5.2.2

Saran kepada Pengajar Filologi Kepada pengajar Filologi diharapkan dapat terus berperan aktif dalam melestarikan tembang-tembang dolanan sebagai salah satu budaya bangsa dengan terus mengabdi kepada bangsa dalam hal ini khususnya mengajarkan

tembang-tembang dolanan. Serta menanamkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tembang-tembang dolanan tersebut kepada siswa dan mahasiswa. 5.2.3

Saran kepada Peneliti Lain Kepada peneliti lain diharapkan untuk dapat melakukan penelitian terhadap tembang-tembang yang ada di Nusantara, baik tembang dolanan yang telah ada dalam makalah ini ataupun tembang-tembang lain . Dengan demikian peneliti lain dapat turut berperan aktif dalam melestarikan tembang sebagai budaya bangsa.

5.2.4

Saran kepada Masyarakat Sebagai pelaksana, dalam hal ini pelaksana kegiatan pelstarian kebudayaan khususnya tembang, masyarakat diharapkan untuk ikut berperan aktif dengan cara mengajarkan tembang-tembang dolanan kepada anak-anak, sehingga dengan demikian tembang dolanan akan tetap terpelihara dari generasi ke generasi.

DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Balai Bahasa Yogyakarta, Tim Penyusun. 2001. Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta: Kanisiua. Hariyanto, Muhsin. 2007. Hermeneutika; Sebuah (http://www.hidayatullah.com, diakses 9 Mei 2009).

Pengantar,

(Online),

Haryanti, Eka Putri. 2008. Makna Simbolik dan Fungsi Sajen dalam Selamatan Pendirian Rumah bagi masyarakat Jawa di kecamatan Pakem, (Online), (http://krp2.krpdiy.org, diakses 23 April 2009). Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori , Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Miswanti.2007.PeranTembangDolanan dalam Pengajaran (http://www.parisada.org, diakses 23 April 2009)

Hindu,

(Online),

Moeliono, Anton M. 1983. Pengantar Teori Filologi. Jakarta Timur: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Morissan. 1989. Teori Komunikasi dan Paradigma Penelitian serta Tinjauan Terhadap Analisa Wacana dan Bingkai, (Online), ( http://teorikomunikasi-morissan.blogspot.com, diakses 4 Mei 2009). Poliban.

2004. Metode Penelitian, Filsafat, Hakekat dan (Online),(http://www.poliban.ac.id, diakses 4 Mei 2009).

Metode

Ilmiah,

Putra, Jefry Sanjaya. 2007. Konsep dan Teori Sistem, Tanda Semiotika, Teks, dan Teori Kode, (Online), (http://studioarsitektur.com, diakses 6 Mei 2009) Sofianti. 2004. Falsafah Tembang Jawa dan Erosi Budaya Traditional, (Online), (http://sofianti.multiply.com, diakses 27 April 2009). Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik (Sebuah Metode Filsafat). Yogyakarta: Kanisius. Taufiqoh, Romi. 2008. Makna Simbolik dan Fungsi Sajen Pendirian Rumah Bagi Masyarakat Jawa, (Online), (http://krp2.krpdiy.org, diakses 27 April 2009) Tim Penulis, Sena Wangi. 1999. Ensiklopedi Wayang Indonesia. Jakarta; Sena Wangi. Vivekananda. 2008. Dolanan, (Online), (http://denoknya-kenken.blog.friendster.com, diakses 26 April 2009) Wibono, J.Calar. 2005. Inovasi dan Apresiasi Tari Teknologi Informasi dan Pementasan Ketoprak, (Online), (http://www.orientalscholar.com, diakses 26 April 2009)

Wikipedia. 2009. Naskah, (Online), (http://id.wikipedia.org, diakses 9 Mei 2009) .............. 2007. Lagu Dolanan, (Online), (http://njowo.wikia.com, diakses 26 April 2009).

Lampiran 1. Lagu obang-obing Trakskrip Lagu 

obang-obing Obang-obing muk kimajaya  satru kerem muk kimajaya  satrune priyayi dangnam  bedhug benong, bedhug jenggur, endhog kemal mempur  ongla jagagembur  dak sudute getih mumanjur 

Keterangan   a dumugi i upami lare sami ngadheg, i ingkang dados wonten ing tengah. Abcdef sami kapeng ngepang i kaliyan gegandengan, lajeng sami mubel lagu sarta i mubeng, saben-saben dhawah ing dhong-dhing, nudingi dhateng lare-lare. Sareg lagu telas dawah ing dhog : manjur, tudingipun i dawuh sinten nggih punika ingkang gantos dados, mekaten salajengipun awongsal-wangsul ngantos jeleh, menggalih kabehipun lare saparinipun   Translite A sampai I diibaratkan sama-sama sedang berdiri, I yang jadi atau berjaga di tengah. A,B,C,D,E,F,dan G. Mereka sama-sama memutari I bersamasama saling bergandengan tangan, lalu menyanyikan lagu sambil berputar. Tiap-tiap jatuh di ’dhong-dhing’ atau ketukan lagu. I menunjuk kepada anak-anak yang lain. Telunjuk I jatuh kepada siapa, maka dialah yang menggantikan jadi atau berjaga. Demikian selanjutnya berulang-ulang sampai bosan hati seluruh

2. Lagu Locici Trasnkrip Lagu 

Locici Locici, locino, lolobah, lolondo

Keterangan  Punika namung lagu kemawon

3. Lagu Ris-irisan Pandhan Transkrip Lagu

Ris-irisan Pandhan Ris-irisan pandhan dheradhan dhendhe dhempa  mencok dhendhen dempa  magleng  kedul dangnam ana jago wareng  sego golong  lawohe sambel goreng  bokong methok susune bunder seger 

Keterangan  A dumugi D upami lare sami ngadeg kupeng agagandengan, sareng wiwit lagu, lajeng mubeng ana ing lanah , satelasipun lagu : seger, inngenipun mubeng kendel sarta sami anydhik, mekaten awongsal-wangsul ngantos sela, menggah kathahipun lare saparinipun.

Translite A sampai D diibaratkan anak-anak sama-sama berdiri melingkar dan bergandengan, bersama memulai lagu, lantas berputar pada jalurnya, setelah lagu habis: segar, berputarnya sesuai dengan ketukan lagu dan bersama-sama dengan penuh seksama. Demikian berulang-ulang sampai longgar, dan anak-anak telah merasa letih dan bosan.

4. Lagu Jamur-jamur Cepak,i Transkrip Lagu 

Jamur-jamur Cepak’i Jamur-jamur cepak’i, dikumbah pinggir kuwali, sikil ngethok-ngethok, lambung bonyok-nyok, pacak gulu cak, pacak gulu cakke.

Keterangan  ˩˩ upami lare sawatawis sami lumampah mubeng alonlonan sarta sami mungelagu. Sareng lagu dumung: sikil ngethok-thok tanganipun kiwa malangkerik punapa malih awakipun sami kadengkek kakenngiwa ˩˩ Sareng lagu dumugi : lambang bonyok-nyok gentos tanganipun tengen malangkerik awakipun kadengkek kakennengan ˩ satelasipun lagu : pacak gulu cak’e ˩ sami apa sik gulu ˩ makaten awongsal-wangsul ngantos sajelehipun. Translite Dibaratkan anak-anak sama-sama berdiri sejenak bersama-sama berjalan berputar pelan-pelan dan bersama-sama bernyanyi. Bersama lagu sambil,

kakinya ditepukkan ke tanah, tangan kirinya diletakkan di pinggang dan badannya juga miring ke kiri. Bersama lagu sampai lambang ‘bonyoknyok’ lalu ganti tangannya yang kanan diletakkan di pinggang dan badannya condong ke kanan, setelah lagu habis: lehernya di anggukkan, bersama-sama gerakan lehernya, demikian berulang-ulang sampai bosan. 5. Lagu Kebo Brintik Transkrip Lagu

Kebo Brintik

Kebo brintik aselambobima, bima wedhi wendeg jambe wana jungkat mentul ngisor jengkol duwur pete, tapi ye larak-larak, kembenne bangun tulak ngenggo pincuk tali anak-anak’e mati kapidhak. Keterangan  Punika namung lagu ke

Related Documents

Tembang Mijil.docx
November 2019 13
Tembang-tolak-bala.pdf
December 2019 12
Kajian
May 2020 50