Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone

  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone as PDF for free.

More details

  • Words: 19,503
  • Pages: 90
KAJIAN DAYA DUKUNG LAHAN LAUT DI PERAIRAN TELUK BONE Laporan Akhir Kegiatan

PUSAT RISET WILAYAH LAUT DAN SUMBERDAYA NON-HAYATI

BADAN RISET KELAUTAN DAN PERIKANAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN 20 DESEMBER 2004

RINGKASAN Konsep daya dukung (carrying capacity) perairan sebenarnya berakar pada disiplin ilmu demografi, biologi dan ekologi terapan. Daya dukung dapat diartikan sebagai kondisi maksimum suatu ekosistem untuk menampung komponen biotik yang terkandung didalamnya. Dengan kata lain, kondisi suatu sumberdaya tertentu yang terdapat pada suatu ekosistem alami seperti laut, akan bervariasi dari tahun ke tahun dikarenakan adanya pengaruh faktor biotik dan abiotik serta pengaruh antar spesies yang terdapat di dalam ekosistem tersebut. Apabila suatu suatu ekosistem telah mengalami gejala over-population, maka akan sulit untuk ekosistem tersebut pulih kembali. Selaras dengan salah satu tujuan strategis Departemen Kelautan dan Perikanan yakni pemanfaataan sumberdaya perikanan dan kelautan yang sesuai dengan daya dukung perairan, maka perlu untuk melakukan kajian yang dapat memberikan gambaran secara ilmiah daya dukung perairan guna menunjang kegiatan pembangunan perikanan dan kelautan. Hal ini penting dilakukan mengingat informasi seperti ini mutlak diperlukan untuk kelangsungan pembangunan perikanan dan kelautan di suatu wilayah. Hasil kajian daya dukung akan berguna dalam penentuan opsi kebijakan (policy option) yang diperlukan bagi pembuat kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan. Kegiatan KAJIAN DAYA DUKUNG LAHAN LAUT DI PERAIRAN TELUK BONE pada tahun 2004 ini, menghasilkan penggambaran fenomena yang terjadi pada periode Monsun Tenggara (Bulan Agustus 2004). Elevasi permukaan laut pada kondisi Pasang Purnama adalah berkisar 0,0492 - 2,4140 meter. Sedangkan kecepatan arus permukaan pada kondisi yang sama berkisar 0,5x10-3 - 12,25x10-3 m/dt, dengan arah dominan menyusur pantai timur yang kemudian menuju ke arah Utara dan Barat. Peristiwa downwelling terjadi di beberapa lokasi di pantai barat dan upwelling di beberapa lokasi di pantai timur. Dimana kisaran kecepatan arus vertikal yang menuju ke atas adalah 0,5x10-3 - 3,5x10-3 m/dt, sedangkan kisaran kecepatan arus vertikal yang menuju ke bawah adalah 0,5x10-3 - 4,6x10-3 m/dt. Kondisi temperatur air di permukaan berkisar 27,083 - 29,029 ºC, sedangkan kisaran temperatur hingga di kedalaman rata-rata 150 meter adalah 17,677 - 18,328 ºC. Dimana kisaran salinitas di permukaan antara 33 - 32,32 PSU, dan kisaran salinitas di kedalaman rata-rata 150 meter mencapai 34,388 - 34,860 PSU. Sedangkan kisaran densitas dari seluruh stasiun pengamatan adalah 20 - 25 kg/m3. Meningkatnya nilai kandungan Nitrat dan Fosfat dikarenakan adanya peristiwa naiknya zat unsur hara dari dasar laut menuju ke permukaan (upwelling). Kadar Nitrat berkisar antara 0,12 - 0,796 ppm. Kandungan Nitrat yang rendah karena arus dalam yang kuat pada kedalaman tersebut menyebabkan kandungan Nitrat terbawa oleh massa air yang berasal dari bagian selatan (mulut) teluk yang bergerak ke arah utara sehingga zat hara yang berada pada bagian tersebut tidak sempat mengalami pengendapan yang menyebabkan kandungan unsur hara relatif lebih rendah. Kandungan Fosfat berkisar 0,5 - 1,152 ppm. Rendahnya kandungan Fosfat menunjukkan bahwa penyerapan oleh fitoplankton berjalan dengan baik. Tingginya nilai Khlorofil antara 1,426 - 1,722 mg/m3 dikarenakan adanya penyinaran matahari yang cukup sehingga mendapatkan intensitas cahaya yang dibutuhkan Fitoplankton untuk dapat melakukan proses fotosintesa. Perairan Kep. Sembilan tergolong perairan yang subur sehingga masih berada di dalam kisaran rata-rata untuk pertumbuhan fitoplankton. Secara umum kondisi terumbu karang di daerah penelitian Kabupaten Kolaka lebih baik dibandingkan kondisi terumbu karang di Kab. Sinjai. Tutupan karang hidup di Kab. Kolaka adalah sekitar 61 %, sedangkan di Kab. Sinjai hanya sekitar 26,15 %. Dan tutupan karang mati di Kab. Kolaka hanya sekitar 16 %, berbeda sekali dengan di Kab. Sinjai yang mempunyai 43,63 %. Kondisi fisik, kimiawi dan biologi perairan Teluk Bone yang lebih luas dibandingkan Teluk Lasongko, tentunya akan bisa memberikan kekayaan alam laut yang lebih melimpah, dimana daya dukung kelautan dan perikanan tersebut bisa lebih dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - i

DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul Ringkasan Daftar Isi Daftar Gambar Daftar Tabel Kata Pengantar

i ii iv vi vii

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Maksud dan Tujuan C. Hasil yang Diharapkan D. Ruang Lingkup E. Anggaran dan Kegiatan

1-1 1-1 1-2 1-3 1-3 1-5

BAB II

PENGELOLAAN PROYEK A. Organisasi dan Personil B. Keuangan

2-1 2-1 2-1

BAB III

PELAKSANAAN KEGIATAN A. Dasar Pelaksanaan Kegiatan B. Hasil Pelaksanaan Kegiatan B.1. Teluk Bone B.1.1 Metodologi B.1.2 Hasil Simulasi Model 3 Dimensi Arus Barotropik B.1.2.1 Sebaran Elevasi Muka Laut & Pola Arus Permukaan B.1.2.2 Profil Arus Di Teluk Bone B.1.2.2.1 Profil Arus Pada Lintang Grid J=19 (Tg Siwa - Wawo) B.1.2.2.2 Profil Arus Pada Lintang Grid J=33 (Muranti - Susua) B.1.2.2.3 Profil Arus Pada Lintang J=39 (Suli -Tg Tabako) B.1.2.2.4 Profil Arus Pada Lintang J=75 (Palopo-Lelewau) B.1.3 Massa Air Teluk Bone B.1.3.1 Temperatur B.1.3.2 Salinitas B.1.3.3 Densitas B.1.4 Sebaran Nutrien Dan Klorofil Di Perairan Kepulauan Sembilan B.1.4.1 Nitrat B.1.4.2 Fosfat B.1.4.3 Khlorofil B.1.5 Inventarisasi Terumbu Karang B.1.5.1 Inventarisasi Terumbu Karang Di Kabupaten Kolaka B.1.5.1.1 Kondisi Karang B.1.5.1.2 Invertebrata B.1.5.2 Inventarisasi Terumbu Karang Kabupaten Sinjai B.1.5.2.1 Kondisi Karang

3-1 3-1 3-1 3-1 3-2 3-5 3-6 3-9 3-9 3-13 3-15 3-18 3-20 3-21 3-23 3-26 3-29 3-29 3-31 3-34 3-35 3-35 3-35 3-39 3-40 3-40

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - ii

B.1.5.2.2 Invertebrata B.2. Teluk Lasongko B.2.1 Metodologi B.2.2 Kondisi Oseanografi Fisik & Kimiawi B.2.3 Kondisi Mangrove B.2.4 Kondisi Lamun B.2.5 Kondisi Terumbu Karang B.2.6 Kondisi Perikanan Tangkap B.2.7 Kondisi Budidaya Laut B.3. Hasil Diskusi

3-43 3-53 3-54 3-55 3-58 3-59 3-61 3-63 3-65 3-69

BAB IV

PERMASALAHAN

4-1

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran

5-1 5-1 5-3

DAFTAR PUSTAKA

DP-1

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - iii

DAFTAR GAMBAR Gambar

Halaman

3.1

Posisi Stasiun CTD pada Teluk Bone bagian selatan

3-3

3.2

Elevasi Pasang Surut di Teluk Bone

3-5

3.3

Profil Temperatur terhadap Kedalaman

3-22

3.4

Profil Salinitas terhadap Kedalaman

3-25

3.5

Profil Densitas terhadap Kedalaman

3-28

3.6

Grafik kadar nitrat di perairan Kep. Sembilan, Teluk Bone

3-30

3.7

Grafik kadar fosfat di perairan Pulau Sembilan, Teluk Bone

3-32

3.8

Grafik pengukuran klorofil di perairan Kep. Sembilan, Teluk Bone

3-34

3.9

Kondisi Tutupan Karang pada Kedalaman 3 meter di Kolaka Stasiun1

3-36

3.10

Kondisi Tutupan Karang pada Kedalaman 3 meter di Kolaka Stasiun 2

3-37

3.11

Kondisi Tutupan Karang pada Kedalaman 10 meter di Kolaka Stasiun 2

3-38

3.12

Kondisi Tutupan Karang pada Kedalaman 3 meter di Kep. Sembilan Stasiun 1

3-40

3.13

Kondisi Tutupan Karang pada Kedalaman 6 meter di Kep. Sembilan Stasiun 3

3-41

3.14

Kondisi Tutupan Karang pada Kedalaman 3 meter di Kep. Sembilan Stasiun 3

3-42

3.15

Area model dan kondisi batimetri Teluk Bone

3-45

3.16

Pola arus permukaan & sebaran muka air laut di Teluk Bone pada Kondisi Pasang Purnama, saat air (a) menjelang pasang, (b) pasang, (c) menjelang surut, (d) surut

3-46

3.17

Pola kecepatan & arah arus permukaan di Teluk Bone pada Kondisi Pasang Purnama, saat air (a) menjelang pasang, (b) pasang, (c) menjelang surut, (d) surut

3-47

3.18

Profil arus potongan melintang Tg. Siwa – Wawo pada Kondisi Purnama, saat air (a) menjelang pasang, (b) pasang, (c) menjelang surut, (d) surut

3-48

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - iv

3.19

Profil arus potongan melintang Tg. Siwa – Wawo pantai Timur (zoom area) pada Kondisi Purnama, saat air (a) menjelang pasang, (b) pasang, (c) menjelang surut, (d) surut

3-49

3.20

Profil arus potongan melintang Muranti – Susua pada Kondisi Purnama, saat air (a) menjelang pasang, (b) pasang, (c) menjelang surut, (d) surut

3-50

3.21

Profil arus potongan melintang Suli – Tabako pada Kondisi Purnama, saat air (a) menjelang pasang, (b) pasang, (c) menjelang surut, (d) surut

3-51

3.22

Profil arus potongan melintang Palopo – Lelewau saat air (a) menjelang pasang, (b) pasang, (c) menjelang surut, (d) surut

3-52

3.23

Peta Batimetri Teluk Lasongko (Sumber: Dishidros TNI-AL)

3-56

3.24

Batimetri Teluk Lasongko hasil Asimilasi data akuisisi Multibeam Echosounder dan Digitasi Peta (Satuan Kedalaman: meter)

3-57

3.25

Mangrove di Teluk Lasongko

3-58

3.26

Contoh padang Lamun di Teluk Lasongko

3-59

3.27

Jenis Lamun Teluk Lasongko berturut-turut dari kiri atas ke kanan (Enhalus acoroides, Thalassia hemprinchii, Cymodocea rotundata), dan kiri bawah ke kanan (Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, Halodule universis)

3-60

3.28

Kondisi Terumbu Karang Teluk Lasongko

3.29

Jenis Pavona cactus (alga) dan Sinularia polydactyla (karang lunak)

3-63

3.30

Rumput laut jenis Euchema Cottonii

3-66

3.31

Metode tali rentang untuk budidaya rumput laut

3-66

3.32

Karamba Jaring Apung

3-67

3.33

Karamba jaring tancap untuk pembesaran kerapu

3-68

3.34

Lobster jenis Mutiara yang cukup ekonomis

3-68

3.35

Cangkang hasil molting yang ke 8 kali (kiri) dan tempat pembesaran Lobster (kanan)

3-68

4.1

Kapal Phinisi Cinta Laut sebagai Wahana dalam kegiatan riset ini

4-1

3-61

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - v

DAFTAR TABEL Tabel

Halaman

3.1

Desain Model Hidrodinamika

3-4

3.2

Jumlah penduduk usia 10 tahun keatas berdasarkan mata pencaharian

3-54

3.3

Hasil terukur parameter fisik dan kimiawi perairan Teluk Lasongko

3-58

3.4

Kerapatan rata-rata tiap jenis lamun pada setiap stasiun penelitian

3-60

3.5

Hasil Analisa Ukuran Butir Pasir Substrat Di Setiap Stasiun Penelitian

3-61

3.6

Jenis ikan yang tertangkap dengan alat jaring apung di Teluk Lasongko

3-64

3.7

Jenis budidaya laut di Teluk Lasongko

3-65

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - vi

KATA PENGANTAR

Kegiatan KAJIAN DAYA DUKUNG LAHAN LAUT DI PERAIRAN TELUK BONE pada tahun 2004 ini, merupakan rangkaian dari kegiatan kajian dengan tema yang sama yang sudah dimulai sejak tahun 2003 yang berlokasi di Selat Sunda, Teluk Tomini, Teluk Saleh, dan Teluk Ekas. Kajian kali ini menghasilkan penggambaran fenomena yang terjadi di perairan Teluk Bone pada periode Monsun Tenggara (Bulan Agustus 2004). Selain itu juga dalam kegiatan ini dilakukan survei di Teluk Lasongko yang bisa digunakan sebagai perairan pembanding, dimana luasnya yang memang lebih kecil tetapi memiliki daya dukung untuk budidaya laut yang cukup bagus. Tidak

ada satu angka mutlak yang dapat menunjukkan daya dukung

ekosistem dalam menampung semua kegiatan manusia, karena berbagai variabel yang menentukan besarnya daya dukung ekosistem tersebut sangat bervariasi dan selalu tergantung pada tingkat pemanfaatan yang dilakukan oleh manusia sendiri. Hasil yang diharapkan secara umum dalam kegiatan ini adalah terwujudnya suatu kebijakan kelautan nasional untuk pengelolaan perairan yang dikelola oleh pemerintah pusat dan daerah. Hasil ini juga diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai panduan (guidance) dalam pengelolaan kelautan nasional dalam bentuk perencanaan wilayah pengelolaan laut (regional marine plan) yang terpadu.

Jakarta, 20 Desember 2004 Dr. Tonny Wagey, M.Sc

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Konsep daya dukung (carrying capacity) perairan sebenarnya berakar pada disiplin ilmu demografi, biologi dan ekologi terapan. Seidl dan Tisdel (1999) melacak asal usul dari konsep ini dan menyatakan bahwa sebenarnya konsep dasar dari daya dukung terkait dengan teori Malthus yang menggambarkan pertumbuhan populasi manusia hanya dibatasi oleh ketersediaan makanan. Selanjutnya konsep Malthus ini berkembang dan menjadi dasar bidang-bidang ilmu seperti biologi populasi, demografi dan ekologi terapan. Berbagai definisi terhadap konsep daya dukung telah para ahli. Odum (1959) mengatakan bahwa daya dukung dapat diartikan sebagai kondisi maksimum suatu ekosistem untuk menampung komponen biotik yang terkandung didalamnya. Diatas level daya dukung ini, tidak akan terjadi peningkatan populasi yang berarti. Dalam ilmu ekologi terapan, hal ini terkait dengan parameter K dari kurva pertumbuhan logistik (Logistic Growth Curve). Namun Dhont (1988) menyatakan bahwa kaitan tersebut “salah kaprah” karena tidak memperhitungkan faktor lingkungan dan berbagai faktor lainnya yang berperan di alam. Dikatakan oleh Dhont (1988), konsep daya dukung yang realistik tidak dapat dijelaskan hanya dengan kurva pertumbuhan logistic yang mengabaikan sifat-sifat alami seperti: a. adanya pergerakan spasial (migrasi) species dari waktu ke waktu, dan b. sifat stokastik alam. Dengan kata lain, kondisi suatu sumberdaya tertentu yang terdapat pada suatu ekosistem alami seperti laut, akan bervariasi dari tahun ke tahun yang dikarenakan adanya pengaruh faktor-faktor biotik dan abiotik serta pengaruh antar species yang terdapat di dalam ekosistem tersebut.

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 1-1

Apabila suatu suatu ekosistem telah mengalami gejala over-population, maka akan sulit untuk ekosistem tersebut pulih kembali. Selanjutnya, Cohen (1995) menyimpulkan bahwa tidak

ada satu

angka mutlak yang dapat menunjukkan daya dukung ekosistem dalam menampung semua kegiatan manusia, karena berbagai variable yang menentukan besarnya daya dukung ekosistem tersebut sangat bervariasi dan selalu tergantung pada tingkat pemanfaatan yang dilakukan oleh manusia sendiri. Selaras dengan salah satu tujuan strategis Departemen Kelautan dan Perikanan yakni pemanfaataan sumberdaya perikanan dan kelautan yang sesuai dengan daya dukung perairan, maka perlu untuk melakukan kajian yang dapat memberikan gambaran secara ilmiah daya dukung perairan guna menunjang kegiatan pembangunan perikanan dan kelautan. Hal ini penting dilakukan mengingat informasi seperti ini mutlak diperlukan untuk kelangsungan pembangunan perikanan dan kelautan di suatu wilayah. Hasil kajian daya dukung akan berguna dalam penentuan opsi kebijakan (policy option) yang diperlukan bagi pembuat kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan, yakni departemen teknis seperti DKP.

B. Maksud Dan Tujuan Tujuan secara umum dari kegiatan ini adalah untuk dapat mengetahui hubungan antara daya dukung sumberdaya perikanan dengan variasi kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap sumberdaya tersebut, dengan sasaran: •

Tersedianya data daya dukung laut di kawasan perairan Teluk Bone;



Tersedianya peta zonasi pemanfaatan lahan laut di perairan tersebut;



Tersedianya panduan survei dan analisa spasial daya dukung lahan

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 1-2

C. Hasil Yang Diharapkan Hasil yang diharapkan secara umum dalam kegiatan ini adalah terwujudnya suatu kebijakan kelautan nasional untuk pengelolaan perairan yang dikelola oleh pemerintah pusat (12 mil s/d ZEE). Hasil ini juga diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai panduan (guidance) dalam pengelolaan kelautan nasional dalam bentuk perencanaan wilayah pengelolaan laut (regional marine plan) yang terpadu. Dengan demikian dampak dari kegiatan ini diharapkan mampu menjadi “payung” dalam penyelesaian permasalahan lintas sektor, perlindungan terhadap isu lingkungan dan pembangunan lestari sekaligus menjadi

instrument

bagi

Indonesia

terhadap

kewajiban-kewajiban

Internasional. Sedangkan hasil akhir yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Report deskriptif kondisi wilayah penelitian. 2. Makalah yang siap dipublikasikan. 3. laporan

akhir

penelitian

yang

siap

untuk

dijadikan

bahan

pertimbangan bagi para pengambil keputusan. 4. Peta batimetri Teluk Bone. 5. Informasi daya dukung lahan laut Teluk Bone.

D. Ruang Lingkup Adapun ruang lingkup kegiatan KAJIAN DAYA DUKUNG LAHAN LAUT DI PERAIRAN TELUK BONE ini pada tahun 2004 adalah: •

Mengidentifikasi faktor-faktor biotik dan abiotik yang berkaitan dengan daya dukung sumberdaya kelautan dan perikanan di lokasi studi



Membuat model ekosistem dari lokasi yang dipelajari.



Mengukur pengaruh dari parameter biotik dan abiotik utama seperti: suhu, salinitas, kandungan Chlorophyll-a, nutrien, dan memodelkannya ke dalam pemodelan hidrodinamika dan ekologi untuk melihat pengaruh lainnya terhadap kegiatan ekonomis kelautan dan perikanan, serta memetakan lokasi penelitian tersebut.

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 1-3



Melakukan pemetaan zonasi pemanfaatan lahan laut berdasarkan pada: a) Data hidrodinamika laut b) Biodiversitas (keragaman hayati) perairan c) Perikanan d) Sosial ekonomi

Selanjutnya unsur-unsur komponen kegiatan penelitian kajian daya dukung ini dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Pengukuran dan inventarisasi parameter pemetaan wilayah dan hidrodinamika, meliputi: a. Suhu, salinitas, peta batimetri, arus dan pola sirkulasi air, profil kandungan unsur hara primer (NO3 dan PO4), pasang surut. 2. Keragaman hayati laut termasuk: a. Jumlah (biomasa) dan komposisi spesies. 3. Aspek perikanan, meliputi: a. Perikanan tangkap, termasuk didalamnya informasi: hasil tangkapan (catch), usaha (effort),data kelimpahan ikan (jumlah dan jenis) ikan ekonomis penting keperluan pendugaan stok assessment perikanan (single-species stock assessment). b. Perikanan Budidaya, Untuk mengetahui potensi kegiatan perikanan budidaya di suatu wilayah, diperlukan informasi seperti: tataguna lahan dan sifat-sifat fisik dan kimia air dan lahan yang dianggap potensial untuk dikembangkan. 4. Aspek Sosial Ekonomi dan Pengolahan hasil perikanan, meliputi: a. Penghasilan (income), jumlah penduduk, distribusi geografis masyarakat nelayan tangkap dan budidaya.

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 1-4

E. Anggaran Dan Kegiatan Adapun dana untuk kegiatan ini menurut Mata Anggaran Tahun 2004 adalah: Uraian

Tahun 2004 Rp. 24.500.000,00 Rp. 46.678.000,00 Rp. 194.950.000,00 Rp. 266.128.000,00

Bahan Perjalanan Lain-lain Jumlah

Lokasi kajian yang dilakukan terletak di Teluk Bone dan Teluk Lasongko, dengan jangka waktu pelaksanaan selama 6 bulan (180 hari kalender kerja) terhitung sejak dikeluarkannya Surat Perintah Kerja (SPK) dengan jadwal sebagai berikut :

Bulan keKegiatan

1

2

3

4

5

6

• Identifikasi masalah • Survai dan pengumpulan data sekunder (hasil survey lapangan dan data satelit) • Pengolahan dan analisis data • Pemodelan Hidrodinamika • Verifikasi dan evaluasi hasil model • Penyusunan Laporan

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 1-5

Untuk melaksanakan seluruh kegiatan di atas, dibutuhkan tenaga ahli sebagai berikut : No. 1

Tenaga Koordinator Tim (Ahli Oseanografi Laut)

2

Ahli Analisis Data

3

Ahli Penginderaan Jauh

4

Ahli Perikanan/Biologi Oseanografi

5

6 7

Ahli Pemetaan/Tata Wilayah Laut Ahli Biologi Laut/ Lingkungan Ahli Oseanografi

Uraian Tugas Team Leader bertanggung-jawab dalam mengkoordinasi kerja tim ahli secara keseluruhan dan pemantauan kemajuan teknis pelaksanaan kegiatan serta penyelesaian penyusunan laporan Mengolah data yang diukur beserta intepretasinya Interpretasi data satelit dan kaitannya dengan pola pergerakan pola penyebaran temperatur, salinitas dan densitas; upwelling; zona konvergensi dan front salinitas Mengumpulkan informasi tentang kondisi perikanan dan biodiversity, isu dan perangkat pengelolaannya Mengumpulkan data dan permasalahan wilayah laut, dan menyusun pembagian wilayah pengelolaan kelautan Mengkaji masalah lingkungan, ekosistem laut dan manajemen pengelolaannya Mengkaji pola pergerakan, kondisi oseanigrafi serta pemodelan oseanografi Membantu tugas ahli oseanografi

8

Asisten Ahli Oseanografi

9

Asisten Ahli Tata Wilayah Laut

Membantu tugas ahli model numerik dinamika laut /GIS

10

Asisten Ahli Perikanan Budidaya Asisten Ahli Biologi Laut Sekretaris/Juru Ketik Pesuruh

Membantu tugas ahli perikanan tangkap

11 12 13

Membantu tugas ahli biologi laut Melakukan pekerjaan administrasi Membantu tugas sekertaris

Kualifikasi S-3 Oseanografi dengan pengalaman kerja di bidang keahlian yang relevan ≥ 7 th, atau S-2 data oseanografi dengan pengalaman ≥ 10 tahun. S-2 Oseanografi/Teknik Kelautan yang berpengalaman dibidang pengolahan dan analisan datadata oseanografi ≥ 6 th. S-2 Oseanografi/Teknik Geodesi/Geofisika yang berpengalaman di bidang penginderaan jauh ≥ 6 th. S-2 Perikanan yang berpengalaman di bidang perikanan tangkap ≥ 6 th. S-2 Geografi/Geodesi yang berpengalaman di bidangnya ≥ 6 tahun S-2 Biologi Laut yang berpengalaman di bidang ekosistem kelautan ≥ 6 th. S-2 Oseanografi yang berpengalaman di bidangnya ≥ 6 th. S-1 Oseanografi yang berpengalaman di bidang yang relevan ≥ 3 th S-1 Oseanografi yang berpengalaman di bidang pemodelan numerik dinamika laut ≥ 3 th S-1 Perikanan yang berpengalaman di bidang perikanan budidaya ≥ 3 th S-1 Biologi yang berpengalaman di bidang yang relevan ≥ 3 th -

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 1-6

BAB II PENGELOLAAN PROYEK

A. Organisasi dan Personil Adapun secara organisasi kegiatan ini dilakukan oleh Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non-hayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, dengan personil sebagai berikut: Ketua Tim

:

1. Dr. Tonny Wagey, M.Sc

(Ahli Oseanografi Perikanan)

Pelaksana

:

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

(Ahli Tata Wilayah) (Ahli Analisis Data Oseanografi) (Ahli Oseanografi) (Ahli Biologi/Lingkungan Laut) (Ahli Instrumen Oseanografi) (Ahli Pemetaan) (Ass. Ahli Analisis Data) (Ass. Ahli Oseanografi & Administrasi) (Ass. Ahli Instrumen Oseanografi) (Ass. Ahli Biologi Laut) (Ass. Ahli Pemetaan) Peneliti Mahasiswa

10. 11. 12. 13.

Drs. Andjar Suparman, M.M Widodo S. Pranowo, M.Si A. Rita Tisiana DK, M.T. Andreas Hutahaean, M.Sc Bagus Hendrajana, M.Sc Gunardi Kusumah, ST Eva Mustikasari, S.Si Hari Prihatno, ST Hariyanto Triwibowo, ST Restu Nur Afiati, S.ST.Pi Rizki Anggoro Adi, ST Sari Novita

B. Keuangan Adapun perincian keuangan dalam kegiatan ini yang telah diserap adalah sebesar 73,25 %, dan 26,75% yang belum terserap, dengan rincian sebagai berikut: Uraian Bahan Perjalanan Lain-lain Jumlah

Anggaran Rp. 24.500.000,00 Rp. 46.678.000,00 Rp. 194.950.000,00 Rp. 266.128.000,00

Penggunaan Rp. 24.500.000,00 Rp. 46.678.000,00 Rp. 123.772.000,00 Rp. 194.950.000,00

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 2-1

BAB III PELASANAAN KEGIATAN

A. Dasar Pelaksanaan Kegiatan Adapun dasar pelaksanaan kegiatan ini adalah KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) KAJIAN DAYA DUKUNG LAHAN LAUT DI PERAIRAN TELUK BONE, tahun 2004.

B. Hasil Pelaksanaan Kegiatan Adapun hasil pelaksanaan kegiatan meliputi hasil riset pada 2 lokasi penelitian sesaui dengan yang tercantum di dalam KAK (Kerangka Acuan Kerja), yaitu Teluk Bone dan Teluk Lasongko. Dimana Teluk Bone merupakan teluk dengan area yang luas, sedangkan area yang kecil diwakili oleh Teluk Lasongko.

B.1. Teluk Bone Perairan Teluk Bone Secara administratif terletak di Propinsi Sulawesi Selatan (di sebelah barat dan utara) dan Propinsi Sulawesi Tenggara (di sebelah timur). Wilayah administratif dari Propinsi Sulawesi Selatan yang berbatasan perairan Teluk Bone adalah Kabupaten Bulukumba, Kab. Sinjai, Kab. Bone, Kab. Wajo, Kab. Luwuk, Kodya Polopo, Kab. Luwuk Utara, Kab. Luwuk Timur. Sedangkan wilayah administratif di Propinsi Sulawesi Tenggara yang berbatasan dengan perairan Teluk Bone adalah Kabupaten Bombana dan Kab. Kolaka. Laut Flores adalah batas sebelah selatan dari perairan Teluk Bone. Teluk Bone dicirikan sebagai tempat bermuaranya Sungai Cenrana. Secara geografis Sungai Cenrana menjadi muara dari sejumlah sungai besar dan kecil di Sulawesi Selatan. Dimana air dari Sungai Cenrana ini kemudian mengalir ke Teluk Bone. Riset yang dilakukan pada tahap ini adalah mengumpulkan komponen sumberdaya hayati dan non-hayati, yang pada tahap selanjutnya akan dilakukan

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-1

perhitungan mengenai seberapa besar daya dukung lingkungan yang ada di perairan Teluk Bone.

B.1.1 Metodologi Metode penelitian yang digunakan untuk mengkaji kondisi oseanografi fisik perairan Teluk bone adalah: 1. Pengukuran parameter CTD (Conductivity, Temperature, Depth) secara in situ pada cakupan area perairan Teluk Bone bagian Selatan. 2. Pemodelan numerik arus dan muka laut secara 3 dimensi menggunakan 3DD Suite Software Model (Black, 2002), dimana daerah yang menjadi domain model adalah perairan Teluk Bone bagian Utara. Simulasi arus dilakukan selama 10 hari (1 – 10 Agustus 2004). Domain model yang disimulasikan tidak mencakup seluruh titik-titik lokasi pengukuran parameter CTD. Dimana luasan area yang menjadi domain model adalah 2º45’00”– 3º50’00” LU dan 120º10’00” – 121º20’00” BT, atau sebagai batas selatan domain model adalah sekitar pesisir Wulu dan Tanjung Lakoloko (lihat Gambar 3.15). Desain model hidrodinamika secara detail dapat dilihat pada Tabel 3.1. Hasil simulasi arus ditampilkan dalam bentuk 3 dimensi, dimana selain ditampilkan pola arus permukaan dan sebaran elevasi muka laut, ditampilkan juga beberapa profil arus di beberapa penampang melintang yaitu pada lintang grid J=19, J=33, J=39, dan J=75 (lihat Gambar 3.15). Sedangkan pengukuran parameter CTD dilakukan sesaat pada periode waktu yang sama juga dengan simulasi waktu pemodelan (1 – 10 Agustus 2004) mencakup daerah sekitar 3º29’00”– 4º30’00” LU dan 120º10’00” – 121º40’00” BT (lihat Gambar 3.1).

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-2

Gambar 3.1. Posisi Stasiun CTD pada Teluk Bone bagian selatan

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-3

Tabel 3.1. Desain Model Hidrodinamika No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

Parameter X Grid Size Y Grid Size Number of X (I) Number of Y (J) Time step First time step Last time step Roughness length Effective depth Drying height Initial sea level Latitude in the centre of the grid Orientation of the grid relative to true north Horizontal eddy viscosity (uniform and constant) Horizontal eddy viscosity multiplication factor Number of horizontal eddy viscosity multiplying steps Coastal slip Non-linear term treatment 0-none; 4-third order Wind speed (uniform And constant) Wind direction (uniform And constant) Barometric pressure Vertical eddy viscosity type

Harga 100 100 100 100 0,45 1 1700000 1 0,3 0,05 99 -3,5 0 3 1 1 95 4 2,08 116 0 Mixing #1

Satuan meter meter cells cells detik detik m m m Set by model derajat derajat

% m/detik derajat

Metode penelitian yang digunakan untuk mengkaji kondisi oseanografi biologi perairan Teluk bone adalah: 1. Pengambilan dan analisa laboratorium dari contoh air, untuk diketahui kandungan nutrien (Nitrat dan Fosfat) dan Khlorofil. 2. Inventarisasi potensi sumberdaya terumbu karang menggunakan metode (English, et al., 1997): Transek Garis (Line Intercept Transect), Pengambilan Contoh secara Bebas (Free Sampling), dan RRA (Rapid Reef Resource Assesment). Pengambilan contoh air dilakukan bersamaan dengan dilakukannya pengukuran parameter CTD (lihat Gambar 3.1), sedangkan inventarisasi terumbu karang dilakukan pada perairan Kabupaten Kolaka (Propinsi Sulawesi Tenggara) dan Kab. Sinjai (Propinsi Sulawesi Selatan). Penentuan kadar Khlorofil adalah menggunakan Metode Parsons, et al (1984).

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-4

B.1.2 Hasil Simulasi Model 3 Dimensi Arus Barotropik Berdasarkan hasil ramalan menggunakan ORITIDE (Global Tide Model) yang dibangun oleh Ocean Research Institute, University of Tokyo dimana melibatkan 8 komponen pasut utama (M2, S2, N2, K2, K1, O1, P1, dan Q1), terlihat pola elevasi pasang surut (lihat Gambar 3.2) di perairan Teluk Bone adalah bertipe Campuran cenderung ke Harian Ganda (Mixed Tide Prevailing Semidiurnal), dimana dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut, tetapi tinggi dan periodenya berbeda, dan jika dinyatakan dalam kisaran nilai Formzahl adalah sebesar 0,25 < F < 1,50 (Wyrtki,1961).

Tide of Point reference for Bone Bay (August 1 [00:00 WITA] - 10 [20:00 WITA], 2004) 2.5

Height (meters)

2

1.5

1

0.5

0 0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

200

Hours

Gambar 3.2. Elevasi Pasang Surut di Teluk Bone

Sedangkan hasil simulasi pemodelan 3 dimensi barotropik yang melibatkan angin dengan kekuatan dan arahnya yang konstan selama 10 hari pertama di bulan Agustus 2004 adalah sebagai berikut: Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-5

B.1.2.1 Sebaran Elevasi Muka Laut & Pola Arus Permukaan Pada saat air menjelang pasang pada kondisi Purnama, ketinggian elevasi permukaan laut berkisar 1,8200 meter hingga 1,8310 meter diatas muka laut rata-rata, dengan elevasi tertinggi ada di Teluk Usu, dan terendah ada di sepanjang pesisir Wawo hingga Wulu (lihat Gambar 3.16.a). Sehingga pola sirkulasi arus yang terjadi adalah sebagai berikut (lihat Gambar 3.17.a): Kecepatan arus antara 1,5x10-3 m/dt hingga 12,25x10-3 m/dt dengan kecepatan terbesar di bagian selatan dari teluk. Kecepatan arus berkurang ketika menuju ke bagian tengah dari teluk, tetapi kemudian terjadi peningkatan intensitas kecepatan menjadi 6 x10-3 m/dt hingga 8x10-3 m/dt akibat perubahan slope batimetri di sekitar Karang Lamunre, Karang Bali, dan Tanjung Tabako. Intensitas kecepatan kembali berkurang ketika melewati sekitar Karang Naber, Karang Bron dan Tanjung Batikala. Sedangkan pola arus yang terjadi secara umum adalah: Arus berasal dari bagian selatan dari teluk (mulut) bergerak ke Baratlaut, arus dari pesisir Wulu bergerak menyusur pantai timur hingga Tanjung Tabako kemudian berbelok ke Barat menuju pantai Barat sekitar pesisir Muranti, yang kemudian bergabung dengan arus susur pantai Barat yang bergerak dari bagian selatan dari teluk (sekitar Tanjung Lakalolo) menuju ke Utara menyusur menuju Pesisir Karangkarangan dan Palopo. Sebagian arus yang bergerak dari Tanjung Tabako menyusuri sepanjang pesisir pantai timur dan pesisir utara kemudian berbelok menuju Baratdaya ke arah pesisir Palopo. Jika meninjau lebih detail di sekitar Tanjung Batikala dan Teluk Usu, arus susur pantai timur ketika sampai di Tanjung Batikala akan terbagi menjadi 2 pola aliran, pola utama akan berbelok ke Baratlaut menuju pesisir utara (antara pesisir Bubu dan Saluana), sedangkan pola aliran yang lain akan menyusuri Teluk Usu baru kemudian bergerak menyusuri pesisir Bubu untuk bergabung lagi dengan arus susur pantai utara. Pada saat

air pasang pada kondisi Purnama, ketinggian elevasi

permukaan laut berkisar 2,4065 meter hingga 2,4140 meter diatas muka laut rata-rata, dengan elevasi tertinggi ada di sepanjang pesisir Wawo hingga Wulu, dan terendah ada di Teluk Usu (lihat Gambar 3.17.b). Sehingga pola sirkulasi

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-6

arus yang terjadi adalah sebagai berikut (lihat Gambar 3.18.b): Kecepatan arus antara 0,5x10-3 m/dt hingga 9,5x10-3 m/dt dengan kecepatan terbesar di bagian selatan dari teluk. Kisaran tersebut lebih rendah dibandingkan kisaran kecepatan arus pada saat menjelang pasang. Secara umum kecepatan berkurang dari 9,5x10-3 m/dt menjadi sekitar 7.5 x10-3 m/dt ketika menuju ke bagian tengah dari teluk ketika mendekati Karang Bali dan sejajar dengan pesisir Lahou, dan semakin menurun intensitasnya menjadi 6x10-3 m/dt hingga 4,5x10-3 m/dt ketika mendekati pesisir utara. Intensitas kecepatan rendah (3,5x10-3 m/dt hingga 0,5x10-3 m/dt) terlihat di bagian barat dari teluk mencakup area sekitar Karang Lamunre, Karang Naber, Karang Bron hingga pesisir Muranti dan pesisir Mandalinga (termasuk pesisir Karangkarangan dan Palopo), begitu juga kisaran kecepatan di Teluk Usu. Sedangkan secara umum pola arus yang bergerak adalah sama dengan yang terjadi pada saat air menjelang pasang. Pada saat air menjelang surut pada kondisi Purnama, ketinggian elevasi permukaan laut berkisar 1,0770 meter hingga 1,0832 meter diatas muka laut rata-rata, dengan elevasi tertinggi ada di Teluk Usu, dan terendah ada di Tanjung Lokoloko dan di sepanjang pesisir Wawo hingga Wulu. Sedangkan sinyal elevasi muka laut yang tinggi (sekitar 1,0825 meter) tampak muncul di sekitar pesisir Palopo tetapi hanya seluas 20 km2 (lihat Gambar 3.17.c). Sehingga pola sirkulasi arus yang terjadi adalah sebagai berikut (lihat Gambar 3.18.c): Kecepatan arus antara 0,5x10-3 m/dt hingga 10,5x10-3 m/dt dengan kecepatan terbesar di bagian selatan dari teluk. Kecepatan arus berkurang ketika menuju ke bagian tengah dari teluk, tetapi kemudian terjadi peningkatan intensitas kecepatan menjadi 8 x10-3 m/dt hingga 10x10-3 m/dt akibat perubahan slope batimetri di sekitar Karang Naber dan Karang Bali hingga sedikit ke arah utara di tengah teluk yang sejajar dengan Tanjung Batikala. Intensitas kecepatan kembali berkurang menjadi 4 x10-3 m/dt hingga 0,5x10-3 m/dt ketika mendekati pesisir utara, pesisir Karangkarangan, pesisir Palopo, pesisir Tanjung Tolala, dan Teluk Usu. Kisaran tersebut sedikit lebih rendah dibandingkan kisaran kecepatan arus pada saat menjelang pasang, dan sedikit lebih tinggi dibandingkan kisaran arus pada saat surut. Sedangkan pola arus yang terjadi secara umum adalah:

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-7

Arus bergerak meninggalkan bagian utara dari teluk menuju ke selatan dari teluk, tetapi ada sedikit arus yang bergerak dari pesisir Wulu lurus menuju ke pesisir Barat. Secara lebih detail: Arus meninggalkan Teluk Usu sebagian menyusur pesisir utara baru kemudian bergabung dengan arus yang meninggalkan pesisir Palopo dan Karangkarangan, dan sebagian lagi langsung bergerak ke Baratdaya. Arus-arus tersebut kemudian akan bertemu dengan pola arus yang bergerak ke Barat yang meninggalkan sepanjang pesisir timur yang dimulai dari Teluk Usu hingga pesisir Susua. Sedangkan arus yang meninggalkan pesisir Labuandata hingga pesisir Wawo dan sekitarnya kembali bergerak menuju Baratdaya keluar dari mulut Teluk. Pada saat air surut pada kondisi Purnama, ketinggian elevasi permukaan laut berkisar 0,0492 meter hingga 0,0525 meter diatas muka laut rata-rata, dengan elevasi tertinggi ada di pesisir Palopo, dan terendah ada di dareah antara Tanjung Batikala dan Tanjung Tolala. Sedangkan sinyal elevasi muka laut yang tinggi (sekitar 0,0522 meter hingga 0,0525 meter) tampak muncul di sepanjang pesisir Wulu hingga pesisir Wawo dengan luasan sekitar 920 km2 (lihat Gambar 3.17.d). Sehingga pola sirkulasi arus yang terjadi adalah sebagai berikut (lihat Gambar 3.18.d): Kecepatan arus antara 0,5x10-3 m/dt hingga 10x10-3 m/dt dengan kecepatan terbesar di bagian selatan dari teluk. Kisaran kecepatan tersebut sedikit lebih rendah dibandingkan kisaran pada saat menjelang surut dan sedikit lebih tinggi dibandingkan kisaran pada saat pasang. Secara umum kecepatan berkurang dari 10x10-3 m/dt menjadi sekitar 8x10-3 m/dt ketika menuju ke bagian tengah dari teluk ketika mendekati Karang Bali dan sejajar dengan pesisir Pakowe, dan semakin menurun intensitasnya menjadi 6,5x10-3 m/dt hingga 3,5x10-3 m/dt ketika mendekati pesisir utara, dan pesisir timur mulai dari pesisir Lahou hingga Tanjung Batikala. Intensitas kecepatan rendah (3,5x10-3 m/dt hingga 0,5x10-3 m/dt) terlihat di bagian barat dari teluk mencakup area sekitar Karang Lamunre, Karang Naber, Karang Bron hingga pesisir Muranti dan pesisir Mandalinga (termasuk pesisir Karangkarangan dan Palopo), begitu juga kisaran kecepatan di Teluk Usu. Sedangkan pola arus yang terjadi secara umum adalah: Arus bergerak meninggalkan pesisir timur menuju

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-8

ke pesisir barat dari teluk, kemudian arus tersebut bergabung dengan arus susur pantai barat menuju ke utara yang bergerak dari Tanjung Lokoloko menuju Tanjung Jene yang kemudian menyusur menuju pesisir Palopo. Arus dari pesisir timur yang kemudian menyusuri pesisir utara juga bergerak menuju ke arah pesisir Palopo.

B.1.2.2 Profil Arus Di Teluk Bone Dalam simulasi model arus 3 dimensi barotropik ini upwelling ditinjau dari parameter arus vertikal yang bergerak dari kedalaman tertentu menuju ke lapisan yang lebih dangkal/permukaan. Hasil simulasi juga menunjukkan adanya fenomena arus sinking/downwelling di sekitar perairan Teluk Bone, tetapi dengan kecepatan yang tidak begitu signifikan. Fenomena upwelling di perairan Teluk Bone terjadi akibat adanya Ekman Transport yang menarik massa air permukaan menuju ke Barat dari pantai timur Teluk Bone sehingga massa air dari lapisan di bawahnya naik ke permukaan untuk mengisi kekosongan tersebut. Ekman transport yang terjadi diakibatkan oleh angin Tenggara sebagai wind-driven current, dimana Ekman transport yang dibangkitkan oleh angin memiliki kecepatan maksimum di permukaan dan kecepatan tersebut akan berkurang terhadap kedalaman, kemudian karena arus terkuat ke arah kiri dari arah angin maka dapat dinyatakan bahwa net transport akan ke arah kiri dari arah angin (Pond dan Pickard, 1995).

B.1.2.2.1 Profil Arus Pada Lintang Grid J=19 (Tg Siwa - Wawo) Pada saat menjelang pasang, kondisi Purnama secara umum kecepatan arus vertikal pada lintang grid j=19 umumnya berkisar antara 0,5x10-3 m/dt hingga 10,2x10-3 m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada pada kisaran 4 x10-3 m/dt hingga 10,2x10-3 m/dt, sedangkan pada lapisan berikutnya yaitu hingga kedalaman 40 meter kecepatan berkisar 1,5 x10-3 m/dt hingga 6 x10-3 m/dt, arah arus kedua lapisan tersebut dominan menuju ke arah Barat, dimana kecepatan semakin melemah ketika mendekati ke dua sisi pantai (lihat Gambar 3.19.a). Dinamika arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 60

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-9

meter hingga ke lapisan kolom air yang mendekati dasar perairan. Hasil simulasi memperlihatkan dengan jelas adanya peristiwa downwelling di pantai barat pada kedalaman antara 60 meter, arus vertikal tersebut menuju ke bawah hingga mencapai lapisan kolom air terbawah (300 meter) dengan kecepatan arus antara 2,2x10-3 m/dt sampai dengan 3,6x10-3 m/dt. Peristiwa downwelling kuat terlihat pada jarak sekitar 1 kilometer dari pantai barat dengan kisaran 3,6x10-3 m/dt sampai dengan 4,3x10-3 m/dt, dimana mulai terjadi dari kedalaman 60 meter menuju ke kedalaman 200 meter hingga 300 meter. Peristiwa front arus terlihat pada jarak sekitar 2 kilometer dari pantai barat, dimana terjadi pertemuan antara kolom arus upwelling dan kolom arus downwelling, dimana arus vertikal menuju ke atas tersebut mulai terjadi dari kedalaman sekitar 200 meter menuju kedalaman 60 meter dengan kecepatan berkisar 3 x10-3 m/dt hingga 3,5 x10-3 m/dt. Peristiwa arus vertikal menuju ke atas juga terjadi pada jarak sekitar 2,7 kilometer dari pantai timur, yang terjadi pada kedalaman sekitar 140 meter menuju ke kedalaman 75 meter dengan kekuatan yang sangat kecil. Peristiwa upwelling juga terjadi diatas basin kecil yang berjarak sekitar 1 kilometer dari pantai timur, dengan kecepatan arus vertikal ke atas sekitar 1x10-3 m/dt hingga 3,5 x10-3 m/dt (lihat Gambar 3.20.a). Pada saat pasang, kondisi Purnama secara umum kecepatan arus vertikal pada lintang grid j=19 umumnya berkisar antara 0,5 x10-3 m/dt hingga 8,2x10-3 m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada pada kisaran 2,1 x10-3 m/dt hingga 8,2x10-3 m/dt, sedangkan pada lapisan berikutnya yaitu hingga kedalaman 40 meter kecepatan berkisar 0,8x10-3 m/dt hingga 4,8x10-3 m/dt, arah arus kedua lapisan tersebut dominan menuju ke arah Barat, dimana kecepatan semakin melemah ketika mendekati ke dua sisi pantai (lihat Gambar 3.19.b). Dinamika arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 60 meter hingga ke lapisan kolom air yang mendekati dasar perairan. Hasil simulasi memperlihatkan dengan jelas adanya peristiwa downwelling di pantai barat pada kedalaman antara 60 meter, arus vertikal tersebut menuju ke bawah hingga mencapai lapisan kolom air terbawah (300 meter) dengan kecepatan arus antara 0,8x10-3 m/dt sampai dengan 2,5x10-3 m/dt. Peristiwa upwelling kuat pada periode ini terlihat pada

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-10

jarak sekitar 1 kilometer dari pantai barat dengan kisaran 1,8x10-3 m/dt sampai dengan 2,8x10-3 m/dt, dimana mulai terjadi dari kedalaman 280 meter hingga 250 meter menuju ke kedalaman 60 meter. Peristiwa front arus terlihat pada jarak sekitar 2 kilometer dari pantai barat, dimana terjadi pertemuan antara kolom arus upwelling dan kolom arus downwelling, dimana arus vertikal menuju ke bawah tersebut mulai terjadi dari kedalaman sekitar 75 meter menuju kedalaman 350 meter dengan kecepatan berkisar 1x10-3 m/dt hingga 1,2x10-3 m/dt. Peristiwa arus vertikal menuju ke atas juga terjadi pada jarak sekitar 2 kilometer dari pantai timur, yang terjadi pada kedalaman sekitar 200 meter menuju ke kedalaman 60 meter dengan kekuatan yang lebih kecil. Peristiwa upwelling juga terjadi diatas basin kecil yang berjarak sekitar 5 meter dari pantai timur, dengan kecepatan arus vertikal ke atas sekitar 1x10-3 m/dt hingga 1,4 x103

m/dt (lihat Gambar 3.20.b). Pada saat menjelang surut, kondisi Purnama secara umum kecepatan

arus vertikal pada lintang grid j=19 umumnya berkisar antara 0,5 x10-3 m/dt hingga 9,8x10-3 m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada pada kisaran 0,8x10-3 m/dt hingga 9,8x10-3 m/dt, sedangkan pada lapisan berikutnya yaitu hingga kedalaman 40 meter kecepatan berkisar 1,5 x10-3 m/dt hingga 6,8 x10-3 m/dt, arah arus kedua lapisan tersebut dominan menuju ke arah Barat, dimana kecepatan semakin melemah ketika mendekati ke dua sisi pantai (lihat Gambar 3.19.c). Dinamika arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 60 meter hingga ke lapisan kolom air yang mendekati dasar perairan. Hasil simulasi memperlihatkan dengan jelas adanya peristiwa downwelling di pantai barat pada kedalaman antara 60 meter, arus vertikal tersebut menuju ke bawah hingga mencapai lapisan kolom air terbawah (250 meter) dengan kecepatan arus antara 2,6x10-3 m/dt sampai dengan 3,6x10-3 m/dt. Peristiwa upwelling kuat terlihat pada jarak sekitar 1 kilometer dari pantai barat dengan kisaran 6x10-3 m/dt sampai dengan 7,6x10-3 m/dt, dimana mulai terjadi dari kedalaman 275 meter hingga 250 menuju ke kedalaman 60 meter. Peristiwa front arus terlihat pada jarak sekitar 2 kilometer dari pantai barat, dimana terjadi pertemuan antara kolom arus upwelling dan kolom arus downwelling, dimana arus vertikal menuju ke bawah

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-11

tersebut mulai terjadi dari kedalaman sekitar 75 meter menuju kedalaman 180 meter dengan kecepatan berkisar 4,4 x10-3 m/dt hingga 4,6 x10-3 m/dt. Peristiwa arus vertikal menuju ke atas juga terjadi pada jarak sekitar 2,7 kilometer dari pantai timur, yang terjadi pada kedalaman sekitar 325 meter menuju ke kedalaman 60 meter dengan kekuatan yang lebih kecil. Peristiwa upwelling juga terjadi diatas basin kecil yang berjarak sekitar 500 meter dari pantai timur, dengan kecepatan arus vertikal ke atas sekitar 0,6x10-3 m/dt hingga 0,8 x10-3 m/dt (lihat Gambar 3.20.c). Pada saat surut, kondisi Purnama secara umum kecepatan arus vertikal pada lintang grid j=19 umumnya berkisar antara 0,5 x10-3 m/dt hingga 8,8x10-3 m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada pada kisaran 2 x10-3 m/dt hingga 8,8x10-3 m/dt, sedangkan pada lapisan berikutnya yaitu hingga kedalaman 40 meter kecepatan berkisar 1x10-3 m/dt hingga 3x10-3 m/dt, arah arus kedua lapisan tersebut dominan menuju ke arah Barat, dimana kecepatan semakin melemah ketika mendekati ke dua sisi pantai (lihat 3.19.d). Dinamika arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 60 meter hingga ke lapisan kolom air yang mendekati dasar perairan. Hasil simulasi memperlihatkan dengan jelas adanya peristiwa downwelling di pantai barat pada kedalaman antara 60 meter, arus vertikal tersebut menuju ke bawah hingga mencapai lapisan kolom air terbawah (300 meter) dengan kecepatan arus antara 0,8x10-3 m/dt sampai dengan 3,2x10-3 m/dt. Peristiwa downwelling kuat terlihat pada jarak sekitar 1 kilometer dari pantai barat dimana mulai terjadi dari kedalaman 60 meter menuju ke kedalaman 200 meter hingga 300 meter. Peristiwa arus vertikal menuju ke atas juga terjadi pada jarak sekitar 2,7 kilometer dari pantai timur, yang terjadi pada kedalaman sekitar 200 meter menuju ke kedalaman 60 meter dengan kekuatan yang sangat kecil. Peristiwa upwelling juga terjadi diatas basin kecil yang berjarak sekitar 1 kilometer dari pantai timur, dengan kecepatan arus vertikal ke atas sekitar 0,5x10-3 m/dt hingga 0,8 x10-3 m/dt (lihat Gambar 3.20.d).

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-12

B.1.2.2.2 Profil Arus Pada Lintang Grid J=33 (Muranti - Susua) Pada saat menjelang pasang, kondisi Purnama secara umum kecepatan arus vertikal pada lintang grid j=33 umumnya berkisar antara 1x10-3 m/dt hingga 7,5x10-3 m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada pada kisaran 3x10-3 m/dt hingga 7,5x10-3 m/dt, sedangkan pada lapisan berikutnya yaitu hingga kedalaman 40 meter kecepatan berkisar 1,8x10-3 m/dt hingga 3,4 x10-3 m/dt, arah arus kedua lapisan tersebut dominan menuju ke arah Barat, dimana kecepatan semakin melemah ketika mendekati ke dua sisi pantai (lihat Gambar 3.21.a). Dinamika arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 60 meter hingga ke lapisan kolom air yang mendekati dasar perairan (1000 meter). Hasil simulasi memperlihatkan dengan jelas adanya peristiwa downwelling di pantai barat pada kedalaman antara 60 meter, arus vertikal tersebut menuju ke bawah hingga mencapai kedalaman 200 meter dengan kecepatan arus antara 1,6x10-3 m/dt sampai dengan 2x10-3 m/dt. Peristiwa downwelling juga terlihat pada jarak sekitar 1,2 kilometer dari pantai barat dengan kisaran 3,6x10-3 m/dt sampai dengan 4,3x10-3 m/dt, dimana mulai terjadi dari kedalaman 410 meter menuju ke kedalaman 600 meter hingga 800 meter. Peristiwa front arus tidak terlihat pada kolom air ini. Peristiwa arus vertikal menuju ke atas terjadi pada jarak sekitar 800 meter dari pantai timur, yang terjadi pada kedalaman sekitar 200 meter menuju ke kedalaman 60 meter dengan kekuatan sekitar 1,8x10-3 m/dt hingga 2,4 x10-3 m/dt. Peristiwa arus vertikal ke atas juga terjadi pada kedalaman 680 meter menuju ke kedalaman 630 meter dengan kecepatan sekitar 1,2x10-3 m/dt hingga 1,4 x10-3 m/dt. Pada saat pasang, kondisi Purnama secara umum kecepatan arus vertikal pada lintang grid j=33 umumnya berkisar antara 0,5x10-3 m/dt hingga 7,8x10-3 m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada pada kisaran 2,8x10-3 m/dt hingga 7,8x10-3 m/dt, sedangkan pada lapisan berikutnya yaitu hingga kedalaman 40 meter kecepatan berkisar 1,5x10-3 m/dt hingga 3,6 x10-3 m/dt, arah arus kedua lapisan tersebut dominan menuju ke arah Barat, dimana kecepatan semakin melemah ketika mendekati ke dua sisi pantai (lihat Gambar 3.21.b). Dinamika arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 60 meter hingga

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-13

ke lapisan kolom air yang mendekati dasar perairan (1000 meter). Hasil simulasi memperlihatkan dengan jelas adanya peristiwa downwelling di pantai barat pada kedalaman antara 60 meter, arus vertikal tersebut menuju ke bawah hingga mencapai kedalaman 700 meter dengan kecepatan arus antara 0,5x10-3 m/dt sampai dengan 1,4x10-3 m/dt. Peristiwa downwelling terlihat berintensitas kuat pada periode ini pada kedalaman 60 meter hingga 230 meter dilanjutkan dengan intensitas menengah hingga kedalaman 430 meter, sedangkan intensitas rendah hingga 700 meter. Peristiwa front arus tidak terlihat pada kolom air ini. Peristiwa arus vertikal menuju ke atas (upwelling) terjadi di pantai timur pada kedalaman sekitar 720 meter menuju ke kedalaman 60 meter dengan kekuatan sekitar 1,8x10-3 m/dt hingga 2,4 x10-3 m/dt, dimana intensitas yang kuat terlihat dimulai dari kedalaman 200 meter menuju ke atas. Pada saat menjelang surut, kondisi Purnama secara umum kecepatan arus vertikal pada lintang grid j=33 umumnya berkisar antara 0,8x10-3 m/dt hingga 8,6x10-3 m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada pada kisaran 2x10-3 m/dt hingga 8,6x10-3 m/dt, sedangkan pada lapisan berikutnya yaitu hingga kedalaman 40 meter kecepatan berkisar 2,6x10-3 m/dt hingga 4,6 x10-3 m/dt, arah arus kedua lapisan tersebut dominan menuju ke arah Barat, dimana kecepatan semakin melemah ketika mendekati ke dua sisi pantai (lihat Gambar 3.21.c). Dinamika arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 60 meter hingga ke lapisan kolom air yang mendekati dasar perairan (1000 meter). Hasil simulasi memperlihatkan dengan jelas adanya peristiwa downwelling di pantai barat pada kedalaman antara 60 meter, arus vertikal tersebut menuju ke bawah hingga mencapai kedalaman 750 meter dengan kecepatan arus antara 2x10-3 m/dt sampai dengan 2,4x10-3 m/dt. Peristiwa downwelling terlihat berintensitas kuat pada periode ini pada kedalaman 60 meter hingga 290 meter dilanjutkan dengan intensitas menengah hingga kedalaman 490 meter, sedangkan intensitas rendah hingga 750 meter. Peristiwa front arus tidak terlihat pada kolom air ini. Peristiwa arus vertikal menuju ke atas (upwelling) terjadi di pantai timur pada kedalaman sekitar 780 meter menuju ke kedalaman 60 meter

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-14

dengan kekuatan sekitar 2,6x10-3 m/dt hingga 3,2 x10-3 m/dt, dimana intensitas dari lapisan terbawah sudah terlihat kuat ketika menuju ke atas. Pada saat surut, kondisi Purnama secara umum kecepatan arus vertikal pada lintang grid j=33 umumnya berkisar antara 0,5x10-3 m/dt hingga 8,4x10-3 m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada pada kisaran 1,8x10-3 m/dt hingga 8,4x10-3 m/dt, sedangkan pada lapisan berikutnya yaitu hingga kedalaman 40 meter kecepatan berkisar 1,6x10-3 m/dt hingga 3,8 x10-3 m/dt, arah arus kedua lapisan tersebut dominan menuju ke arah Barat, dimana kecepatan semakin melemah ketika mendekati ke dua sisi pantai (lihat Gambar 3.21.d). Dinamika arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 60 meter hingga ke lapisan kolom air yang mendekati dasar perairan (1000 meter). Hasil simulasi memperlihatkan dengan jelas adanya peristiwa downwelling di pantai barat pada kedalaman antara 60 meter, arus vertikal tersebut menuju ke bawah hingga mencapai kedalaman 430 meter dengan kecepatan arus antara 1,8x10-3 m/dt sampai dengan 2,4x10-3 m/dt. Peristiwa downwelling juga terlihat berintensitas sangat kecil pada periode ini di pantai sisi timur pada kedalaman 620 meter hingga 640 meter. Pertemuan arus vertikal keatas dan kebawah terlihat di lapisan kolom air pada kedalaman sekitar 700 meter di sisi timur tetapi dengan intensitas kekuatan yang sangat kecil. Peristiwa arus vertikal menuju ke atas (upwelling) terjadi di pantai timur pada kedalaman sekitar 430 meter menuju ke kedalaman 60 meter dengan kekuatan sekitar 1,4x10-3 m/dt hingga 2,6 x10-3 m/dt.

B.1.2.2.3 Profil Arus Pada Lintang J=39 (Suli -Tg Tabako) Pada saat menjelang pasang, kondisi Purnama secara umum kecepatan arus vertikal pada lintang grid j=39 umumnya berkisar antara 0,5x10-3 m/dt hingga 7,5x10-3 m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada pada kisaran 0,5x10-3 m/dt hingga 7,5x10-3 m/dt, sedangkan pada lapisan berikutnya yaitu hingga kedalaman 40 meter kecepatan berkisar 1,8x10-3 m/dt hingga 3,5 x10-3 m/dt, arah arus kedua lapisan tersebut dominan menuju ke arah

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-15

Barat, dimana kecepatan semakin melemah ketika mendekati ke dua sisi pantai (lihat Gambar 3.22.a). Dinamika arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 60 meter hingga ke lapisan kolom air yang mendekati dasar perairan (1198 meter). Hasil simulasi memperlihatkan peristiwa arus vertikal, sudut arah-nya terhadap garis permukaan air kurang begitu tajam (tidak tegak lurus). Arus vertikal di pantai barat menuju ke bawah tetapi serong ke arah tengah kolom air pada kedalaman antara 60 meter hingga mencapai kedalaman mendekati dasar perairan dengan kecepatan arus antara 1x10-3 m/dt sampai dengan 1,6x10-3 m/dt. Peristiwa arus vertikal menuju ke atas terjadi di pantai timur, yang terjadi dari lapisan kolom air terbawah menuju ke kedalaman 60 meter dengan kekuatan sekitar 1,5x10-3 m/dt hingga 2,2x10-3 m/dt, dimana intensitas terkuat pada periode ini terjadi pada kedalaman 200 meter menuju ke atas. Pada saat pasang, kondisi Purnama secara umum kecepatan arus vertikal pada lintang grid j=39 umumnya berkisar antara 0,5x10-3 m/dt hingga 7,8x10-3 m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada pada kisaran 0,5x10-3 m/dt hingga 7,8x10-3 m/dt, sedangkan pada lapisan berikutnya yaitu hingga kedalaman 40 meter kecepatan berkisar 1x10-3 m/dt hingga 3,4x10-3 m/dt, arah arus kedua lapisan tersebut dominan menuju ke arah Barat, dimana kecepatan semakin melemah ketika mendekati ke dua sisi pantai (lihat Gambar 3.22.b). Dinamika arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 60 meter hingga ke lapisan kolom air yang mendekati dasar perairan (1198 meter). Hasil simulasi memperlihatkan

peristiwa

arus

vertikal, sudut

arah-nya

terhadap

garis

permukaan air kurang begitu tajam (tidak tegak lurus). Arus vertikal di pantai barat menuju ke bawah tetapi serong ke arah tengah kolom air pada kedalaman antara 60 meter hingga mencapai kedalaman mendekati dasar perairan dengan kecepatan arus antara 0,5x10-3 m/dt sampai dengan 2,4x10-3 m/dt. Peristiwa arus vertikal menuju ke atas terjadi di pantai timur, yang terjadi dari lapisan kolom air terbawah menuju ke kedalaman 60 meter dengan kekuatan sekitar 1,2x10-3 m/dt hingga 2,2x10-3 m/dt, dimana intensitas terkuat pada periode ini terjadi pada kedalaman 200 meter menuju ke atas.

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-16

Pada saat menjelang surut, kondisi Purnama secara umum kecepatan arus vertikal pada lintang grid j=39 umumnya berkisar antara 0,5x10-3 m/dt hingga 8,4x10-3 m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada pada kisaran 0,5x10-3 m/dt hingga 8,4x10-3 m/dt, sedangkan pada lapisan berikutnya yaitu hingga kedalaman 40 meter kecepatan berkisar 1x10-3 m/dt hingga 4,2x10-3 m/dt, arah arus kedua lapisan tersebut dominan menuju ke arah Barat, dimana kecepatan semakin melemah ketika mendekati ke dua sisi pantai (lihat Gambar 3.22.c). Dinamika arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 60 meter hingga ke lapisan kolom air yang mendekati dasar perairan (1198 meter). Hasil simulasi memperlihatkan peristiwa arus vertikal yang lebih signifikan dibandingkan dengan periode sebelum dan sesudahnya (pada saat menjelang pasang, saat pasang, saat surut). Arus vertikal di pantai barat menuju ke bawah terjadi pada kedalaman antara 60 meter hingga mencapai kedalaman 480 meter dengan kecepatan arus antara 2x10-3 m/dt sampai dengan 2,4x10-3 m/dt. Peristiwa arus vertikal menuju ke atas dominan terjadi di pantai timur, yang terjadi dari lapisan kolom air terbawah menuju ke kedalaman 60 meter dengan kekuatan sekitar 2x10-3 m/dt hingga 2,6x10-3 m/dt, dimana intensitas terkuat pada periode ini terjadi pada lapisan kolom air terdasar menuju ke atas. Pada saat surut, kondisi Purnama secara umum kecepatan arus vertikal pada lintang grid j=39 umumnya berkisar antara 0,5x10-3 m/dt hingga 8,4x10-3 m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada pada kisaran 0,5x10-3 m/dt hingga 8,4x10-3 m/dt, sedangkan pada lapisan berikutnya yaitu hingga kedalaman 40 meter kecepatan berkisar 1x10-3 m/dt hingga 3,8x10-3 m/dt, arah arus kedua lapisan tersebut dominan menuju ke arah Barat, dimana kecepatan semakin melemah ketika mendekati ke dua sisi pantai (lihat Gambar 3.22.d). Dinamika arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 60 meter hingga ke lapisan kolom air yang mendekati dasar perairan (1198 meter). Arus vertikal di pantai barat menuju ke bawah terjadi pada kedalaman antara 60 meter hingga mencapai lapisan kolom air terbawah dengan kecepatan arus antara 0,5x10-3 m/dt sampai dengan 1,8x10-3 m/dt. Peristiwa arus vertikal menuju ke atas dominan terjadi di pantai timur, yang terjadi dari lapisan kolom air terbawah

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-17

menuju ke kedalaman 60 meter dengan kisaran kekuatan kurang lebih sama dengan kekuatan downwelling, dimana intensitas terkuat pada periode ini terjadi pada kedalaman 200 meter menuju ke atas.

B.1.2.2.4 Profil Arus Pada Lintang J=75 (Palopo-Lelewau) Pada saat menjelang pasang, kondisi Purnama secara umum kecepatan arus vertikal pada lintang grid j=75 umumnya berkisar antara 0,5x10-3 m/dt hingga 7,8x10-3 m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada pada kisaran 0,5x10-3 m/dt hingga 7,8x10-3 m/dt, dimana arah arus pada lapisan tersebut dominan menuju ke arah Barat, dimana kecepatan semakin melemah ketika mendekati ke dua sisi pantai (lihat Gambar 3.23.a). Dinamika arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 30 meter hingga ke lapisan kolom air yang mendekati dasar perairan (70 meter). Arus vertikal di pantai barat pada kedalaman antara 60 meter menuju ke timur hingga mencapai 3 kilometer dari pantai dengan kecepatan arus antara 0,5x10-3 m/dt sampai dengan 1,2x10-3 m/dt. Arus tersebut kemudian mengalami perubahan arah menuju vertikal ke atas hingga jarak 1,6 kilometer sebelum pantai timur, selanjutnya semakin mendekati pantai timur arah arus ada yang berubah menuju ke bawah dan ke atas. Pada saat arus menuju vertikal ke atas, kekuatannya berkisar antara 2,8x10-3 m/dt hingga 5,8x10-3 m/dt. Peristiwa arus vertikal menuju ke atas juga terlihat pada jarak sekitar 1,8 kilometer dari pantai timur di kedalaman 40 meter hingga 50 meter dengan kekuatan sekitar 3x10-3 m/dt hingga 4,8x10-3 m/dt. Pada saat pasang, kondisi Purnama secara umum kecepatan arus vertikal pada lintang grid j=75 umumnya berkisar antara 0,5x10-3 m/dt hingga 5,8x10-3 m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada pada kisaran 0,5x10-3 m/dt hingga 5,8x10-3 m/dt, dimana arah arus pada lapisan tersebut dominan menuju ke arah Barat, dimana kecepatan semakin melemah ketika mendekati ke dua sisi pantai (lihat Gambar 3.23.b). Dinamika arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 30 meter hingga ke lapisan kolom air yang mendekati dasar perairan (70 meter). Arus vertikal di pantai barat pada kedalaman antara 30 meter menuju ke timur hingga mencapai 4 kilometer dari pantai dengan

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-18

kecepatan arus antara 1,8x10-3 m/dt sampai dengan 3x10-3 m/dt. Arus tersebut kemudian mengalami perubahan arah menuju vertikal ke bawah hingga jarak 1 kilometer berikutnya, selanjutnya semakin mendekati pantai timur arah arus ada yang berubah menuju ke atas dan semakin bertambah hingga mencapai sekitar 2x10-3 m/dt. Arus menuju vertikal ke atas juga terlihat pada kedalaman 40 meter, tetapi kekuatannya sangat kecil sekitar 1,2x10-3 m/dt. Secara umum arus pada kedalaman 20 meter hingga 40 meter ini terlihat bergerak ke timur dan terjadi down welling serta up welling pada kedalaman 30 meter hingga 40 meter karena terdapat daerah sill dan basin. Pada saat menjelang surut, kondisi Purnama secara umum kecepatan arus vertikal pada lintang grid j=75 umumnya berkisar antara 0,5x10-3 m/dt hingga 6,2x10-3 m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada pada kisaran 0,5x10-3 m/dt hingga 6,2x10-3 m/dt, dimana arah arus pada lapisan tersebut dominan menuju ke arah Barat, dimana kecepatan semakin melemah ketika mendekati ke dua sisi pantai (lihat Gambar 3.23.c). Dinamika arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 20 meter hingga ke lapisan kolom air yang mendekati dasar perairan (70 meter) dimana intensitas pada periode ini lebih kuat dibandingkan periode sebelum dan sesudahnya (saat menjelang pasang, saat pasang, dan saat surut). Arus pada kedalaman antara 30 meter menuju ke timur hingga mencapai 4 kilometer dari pantai dengan kecepatan arus antara 3x10-3 m/dt sampai dengan 5,8x10-3 m/dt. Arus tersebut kemudian mengalami perubahan arah menuju vertikal ke bawah hingga jarak 1,5 kilometer berikutnya, selanjutnya semakin mendekati pantai timur arah arus ada yang berubah menuju ke atas dan semakin bekurang hingga mencapai sekitar 2x10-3 m/dt. Arus menuju vertikal ke atas terlihat pada kedalaman sekitar 45 meter, tetapi kekuatannya sangat kecil sekitar 1,2x10-3 m/dt hingga 1,4x10-3 m/dt. Secara umum arus pada kedalaman 20 meter hingga 40 meter ini terlihat bergerak ke timur dan terjadi down welling serta up welling pada kedalaman 30 meter hingga 40 meter karena terdapat daerah sill dan basin. Pada saat surut, kondisi Purnama secara umum kecepatan arus vertikal pada lintang grid j=75 umumnya berkisar antara 0,5x10-3 m/dt hingga 6,2x10-3

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-19

m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada pada kisaran 0,5x10-3 m/dt hingga 6,2x10-3 m/dt, dimana arah arus pada lapisan tersebut dominan menuju ke arah Barat, dimana kecepatan semakin melemah ketika mendekati ke dua sisi pantai (lihat Gambar 3.23.d). Dinamika arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 20 meter hingga ke lapisan kolom air yang mendekati dasar perairan (70 meter). Arus pada kedalaman antara 30 meter menuju ke timur hingga mencapai 4 kilometer dari pantai dengan intensitas kecepatan arus menguat antara 0,5x10-3 m/dt sampai dengan 2,4x10-3 m/dt. Arus tersebut kemudian mengalami pengurangan intensitas kekuatan dan perubahan arah menuju vertikal ke atas hingga jarak 200 meter berikutnya, selanjutnya semakin mendekati pantai timur arah arus ada yang berubah menuju ke bawah dan berganti ke atas, kecepatan arus juga berubah kembali menguat intensitasnya hingga mencapai sekitar 2,5x10-3 m/dt. Arus menuju vertikal ke atas juga terlihat pada kedalaman sekitar 45 meter, tetapi kekuatannya sangat kecil sekitar 3,2x10-3 m/dt. Secara umum arus pada kedalaman 20 meter hingga 40 meter ini terlihat bergerak ke timur dan terjadi down welling serta up welling pada kedalaman 30 meter hingga 40 meter karena terdapat daerah sill dan basin.

B.1.3 Massa Air Teluk Bone Stasiun pengukuran yang bertepatan masuk ke dalam domain model arus 3 dimensi adalah Stasiun 1, yaitu pada koordinat 3°33’ 43.6” LS dan 120°49’ 8.5” BT, yaitu di sekitar perairan Susua (lihat Gambar 3.16 dan Gambar 3.15). Berdasarkan hasil simulasi model, terlihat adanya arus vertikal ke atas pada perairan tersebut pada beberapa kedalaman tertentu menuju ke lapisan kolom air permukaan, dengan kekuatan bervariasi yaitu berkisar antara 1,2x10-3 m/dt hingga 3,2x10-3 m/dt yang terlihat dari kedalaman sekitar 720 meter hingga 60 meter (lihat Gambar 3.21). Sedangkan hasil pengukuran CTD pada Stasiun 1 walaupun hanya sampai kedalaman maksimal 154 meter, secara sekilas memang menunjukkan adanya peristiwa upwelling, dimana dari profil temperatur terlihat beberapa kali ada signal perubahan temperatur yang sedikit drastis pada

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-20

kisaran tertentu (lihat Gambar 3.3). Hal tersebut juga ditunjukkan oleh profil salinitas dan densitas, dimana di beberapa kedalaman tampak kemunculan densitas atau salinitas yang lebih tinggi secara tiba-tiba dari kisaran yang seharusnya terjadi (lihat Gambar 3.4). Dan hasil simulasi model menunjukkan bahwa arus vertikal ke atas terlihat signifikan terjadi dimulai dari kedalaman sekitar 200 meter menuju ke atas. Secara lebih lanjut uraian hasil pengukuran temperatur, salinitas, dan densitas dapat dibaca pada deskripsi dibawah ini:

B.1.3.1 Temperatur Hasil penelitian nilai temperatur permukaan di perairan Teluk Bone menunjukkan nilai yang relatif kecil yaitu di bawah 28˚C. Pada Stasiun 1 pengambilan data dilakukan hingga kedalaman 154 m. Temperatur permukaan (asumsi temperatur permukaan adalah temperatur pada kedalaman 1 meter hingga 10 meter) adalah sekitar 27,890˚C. Temperatur maksimal pada stasiun 1 adalah 28,117˚C dan temperatur minimal adalah 18,328˚C, sedangkan temperatur rata-rata adalah 23,604˚C. Secara umum temperatur dari permukaan sampai kedalaman 40 meter terlihat konstan yaitu antara 27,980˚C hingga 28,117˚C, kemudian pada kedalaman sekitar 51 meter temperatur turun menjadi sekitar 26˚C. Temperatur mulai menurun menjadi sekitar 20˚C ketika mencapai kedalaman antara 100 meter hingga 128 meter, kemudian terus menurun mencapai 18,328˚C pada kedalaman 154 meter. Berdasarkan tampilan grafik dapat dilihat adanya perubahan temperatur yang cukup besar dengan cepat terhadap kedalaman, dimana perubahan tersebut merupakan indikasi adanya fenomena upwelling. Pada Stasiun 2 pengambilan data temperatur hanya sampai kedalaman 61 meter, dengan temperatur permukaan sekitar 27,250˚C. Pada stasiun ini nilai temperatur berkisar 26,225˚C hingga 27,990˚C. Temperatur hingga kedalaman 26 meter umumnya tetap di sekitar 27˚C, kemudian terus menurun hingga sekitar 26,3˚C. Nilai temperatur maksimal Stasiun 2 adalah sekitar 27,991˚C, sedangkan

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-21

temperatur minimal sekitar 26,224˚C, dengan temperatur rata-rata sekitar 26,720˚C. Temperatur ( C) 15

17

19

21

23

25

27

29

9.866

22.1602

33.039

45.4273

58.3887

77.467

94.67

109.043

121.734

137.481

153.686

Kedalaman (m) Stasiun 1

Stasiun 2

Stasiun 3

Stasiun 4

Stasiun 5

Gambar 3.3. Profil Temperatur terhadap Kedalaman

Pengukuran pada Stasiun 3 dilakukan sampai dengan kedalaman 54 meter, dengan temperatur permukaan sekitar 27,350˚C. Nilai temperatur permukaan di Stasiun 3 jika dibandingkan dengan kedua stasiun sebelumnya merupakan yang paling rendah, karena Stasiun 3 merupakan lokasi yang terjauh Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-22

dari daratan. Pada stasiun ini nilai temperatur berkisar 27,083˚C hingga 26,256˚C. Nilai temperatur maksimal adalah 27,472˚C, sedangkan temperatur minimal adalah 26,256˚C, dengan temperatur rata-rata 26,870˚C. Temperatur mulai turun menjadi sekitar 26˚C pada kedalaman 25 meter. Pada Stasiun 4 pengukuran dilakukan hanya sampai dengan kedalaman 28 meter, karena arus pada saat pengambilan data sangat kuat sehingga tidak memungkinkan untuk pengukuran parameter pada lapisan kolom air yang lebih dalam. Pada stasiun ini temperatur permukaan adalah sekitar 27,600˚C. Secara umum temperatur berkisar antara 27,792˚C hingga 26,730˚C. Temperatur permukaan konstan pada kisaran 27,350˚C hingga 27,550˚C sampai dengan kedalaman 21 meter. Kemudian semakin kedalaman bertambah, temperatur semakin menurun dengan fluktuasi antara 0,1 hingga 0,5, yaitu temperaturnya sekitar 26,700˚C pada kedalaman 28 meter. Nilai temperatur maksimal adalah 27,792˚C, sedangkan temperatur minimal adalah 26,721˚C, dengan temperatur rata-rata 27,330˚C. Pengukuran pada stasiun 5 dilakukan hingga kedalaman 167 meter. Temperatur permukaan adalah 27,600˚C dan temperatur semakin menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman secara bertahap.

Temperatur

maksimal adalah 29,029˚C, dan temperatur minimal adalah 17,677˚C, dengan temperatur rata-rata sebesar 23,270˚C. Pada kedalaman sampai dengan 55 meter, temperatur adalah konstan pada kisaran 26˚C hingga 27˚C. Perubahan temperatur terbesar terjadi pada kedalaman 98 meter, dari kisaran 24,400˚C temperatur turun secara drastis hingga mencapai kisaran 18,960˚C pada kedalaman 137 meter. Pada kedalaman lebih dari 137 meter suhu terus menurun intensitasnya hingga berada pada kisaran 17,805˚C pada 167,98 meter.

B.1.3.2 Salinitas Salinitas di perairan Teluk Bone menunjukkan variasi yang cukup tinggi yaitu antara 32 PSU (Practical Salinity Unit) hingga 34 PSU pada masing-masing stasiun penelitian. Secara umum salinitas permukaan rata-rata bernilai 33 PSU

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-23

untuk semua stasiun kecuali pada Stasiun 1 yang nilai salinitasnya berkisar antara 31,102 PSU hingga 32,212 PSU. Hasil

pengukuran

pada

Stasiun

1

secara

umum

nilai

salinitas

permukaannya hingga kedalaman 15 meter berkisar antara 31,10 PSU hingga 32,32 PSU. Pada kedalaman 20 meter salinitas mulai bertambah secara perlahan dari 32,59 PSU hingga 32,88 PSU. Pada kedalaman 36 meter sampai dengan 43 meter salinitas gradien kenaikannya bernilai konstan yaitu sekitar 32,98 PSU hingga 33,08 PSU. Kemudian pada kedalaman lebih dari 60 meter salinitas kembali mengalami kenaikan secara kontinyu hingga kedalaman 154 meter dengan nilai salinitasnya mencapai 34,388 PSU. Stasiun 2 memiliki nilai salinitas berkisar antara 33,22 PSU hingga 33,65 PSU. Nilai salinitas permukaan stasiun ini relatif berada pada kisaran yang rapat sampai dengan kedalaman 24 meter, yaitu sekitar 33,22 PSU hingga 33,26 PSU, kemudian dengan semakin bertambahnya kedalaman terlihat nilai salinitas juga semakin bertambah. Pada kedalaman lebih dari 30 meter salinitas terus bertambah dari 33,30˚C menjadi sekitar 33,65˚C pada kedalaman 50 meter, dimana fluktuasinya adalah cukup besar yaitu mencapai 0,1 bila dibandingkan dengan fluktuasi salinitas di permukaan yang bernilai sekitar 0,001. Hasil pengukuran pada Stasiun 3 salinitasnya secara umum berada pada kisaran 33,28 PSU hingga 33,60 PSU, sedangkan kondisi salinitas permukaan berkisar antara 33,26 PSU hingga 33,27 PSU. Pada saat kedalaman mencapai 15 meter terlihat adanya kenaikan salinitas yaitu dari sekitar 32,29 PSU hingga mencapai 33,31 PSU pada kedalaman 16,2 meter. Terlihat semakin kedalaman bertambah, salinitas juga terus bertambah dengan kenaikan yang rendah yaitu sekitar 0,01 PSU, sehingga salinitas dapat mencapai sekitar 33,50 PSU pada kedalaman 27,56 meter. Namun pada saat kedalaman mencapai 53 meter terjadi penurunan nilai salinitas dari kisaran nilai sebelumnya yaitu dari sekitar 33,68 PSU menjadi sekitar 33,54 PSU hingga 33,21 PSU pada kedalaman 54,29 meter.

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-24

S a lin ita s (p s u ) 31

3 1 .8

3 2 .6

3 3 .4

3 4 .2

35

1 0 .0 9 6 2 0 .3 9 5 7 3 0 .0 5 6 5 3 8 .0 6 0 7 5 1 .2 3 9 3 6 3 .2 4 4 7 9 .1 4 9 9 3 .5 2 3 1 0 4 .6 2 4 1 1 5 .7 7 1 1 2 8 .8 4 3 1 3 9 .9 5 7 1 5 5 .5 2 1

Kedalaman (m) Stasiun 1

Stasiun 2

Stasiun 3

Stasiun 4

Stasiun 5

Gambar 3.4. Profil Salinitas terhadap Kedalaman

Nilai

salinitas

permukaan

pada

Stasiun

4

sedikit

lebih

besar

dibandingkan dengan nilai salinitas permukaan pada stasiun 2 yaitu sekitar 33,35 PSU meskipun keduanya mempunyai nilai yang sama yaitu pada kisaran 33 PSU. Pada kedalaman sampai dengan 27 meter, nilai salinitas umumnya berada pada kisaran yang rapat yaitu sekitar 33,35 PSU hingga 33,39 PSU, kemudian pada kedalaman 24 meter nilai salinitas meningkat mencapai kisaran 33,40 PSU,

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-25

dan semakin bertambahnya kedalaman salinitas juga terus bertambah hingga mencapai kisaran tertinggi yaitu sekitar 33,60 PSU pada kedalaman 27,3 meter, tetapi pada kedalaman 28,6 meter terlihat salinitas turun dari 33,24 PSU kembali menjadi sekitar 33,60 PSU. Salinitas di permukaan pada stasiun 5 mengalami kenaikan yang tidak teratur hingga kedalaman 14 meter, yaitu dari sekitar 33,29 PSU menjadi 33,70 PSU pada kedalaman 10 meter kemudian turun kembali menjadi sekitar 33,40 PSU pada kedalaman 11 meter. Salinitas kembali meningkat secara perlahan yaitu dari kedalaman 12 meter hingga kedalaman 97 meter dengan salinitas menjadi sekitar 33,54 PSU. Pada kedalaman lebih dari 97 meter, salinitas mencapai 34,00 PSU, namun kenaikan tersebut selanjutnya tidak konstan, seperti yang terlihat pada grafik hingga kedalaman 134 meter. Kisaran salinitas terlihat mulai merapat pada kedalaman lebih dari 135 meter yaitu dengan salinitas antara 34,29 PSU hingga 34,86 PSU.

B.1.3.3 Densitas Densitas air laut di perairan Teluk Bone mempunyai kisaran antara 20 kg/m³ hingga 25 kg/m³ dari semua stasiun. Hasil pengukuran di Stasiun 1 pada kedalaman 10 meter hingga 37 meter, densitas umumnya berkisar antara 20,29 kg/m3 sampai dengan 21 kg/m3, sementara pada kedalaman 37 meter hingga 43 meter nilai densitas berkisar antara 21,01 kg/m3 sampai dengan 21,15 kg/m3. Pada kedalaman 44 meter terjadi kenaikan densitas dengan fluktuasi yang cukup tinggi yaitu 0,49 dari densitas bernilai 21,15 kg/m3 menjadi 21,64 kg/m3. Semakin kedalaman bertambah maka densitas juga semakin bertambah, hingga mencapai nilai sekitar 24,00 kg/m3 pada kedalaman 92 meter, dan berakhir dengan nilai densitas sekitar 25.31 kg/m3 pada kedalaman 154 meter. Nilai densitas di permukaan pada stasiun 2 sampai dengan kedalaman 30 meter berkisar antara 21,31 kg/m3 hingga 21,43 kg/m3. Kenaikan densitas pada Stasiun ini umumnya sebesar 0.01, sementara kenaikan densitas dengan fluktuasi sebesar 0,11 terjadi mulai di kedalaman 31 meter yaitu dimulai dari nilai 21,54 kg/m3, dan densitas tersebut mengalami kenaikan dengan fluktuasi

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-26

terbesar yaitu sebesar 0.14 pada kedalaman 42 meter hingga 46 meter, sehingga densitas naik dari nilai 21,68 kg/m3 menjadi bernilai 21,72 kg/m3. Nilai densitas tersebut kemudian terus bertambah menjadi 22,04 kg/m3 dan bisa mencapai 22,16 kg/m3 pada kedalaman 61 meter. Densitas pada Stasiun 3 nilainya berkisar antara 21,17 kg/m3 hingga 21,39 kg/m3 dari permukaan sampai dengan kedalaman 17 meter. Perubahan nilai densitas terlihat

mulai terjadi pada kedalaman 18 meter yaitu dari nilai

21,39 kg/m3 naik menjadi 21,45 kg/m3 dan terus meningkat hingga kedalaman 48 meter. Selanjutnya densitas menjadi 22,01 kg/m3 pada kedalaman 48,7 meter, dan mencapai nilai 22,71 kg/m3 pada kedalaman akhir pengukuran yaitu 54 meter.

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-27

D e n s ita s (k g /m *3 ) 20

21

22

23

24

25

26

1 0 .0 9 6 1 7 .2 0 9 2 5 .9 4 6 3 3 .4 0 6 4 0 .7 4 7 5 1 .2 3 9 5 9 .1 9 2 7 1 .4 5 7 8 5 .6 4 8 9 5 .2 0 5 1 0 4 .6 2 1 1 4 .2 1 1 2 2 .3 8 1 3 4 .1 9 1 4 2 .0 7 1 5 5 .5 2

Kedalaman (m) Stasiun 1

Stasiun 2

Stasiun 3

Stasiun 4

Stasiun 5

Gambar 3.5. Profil Densitas terhadap Kedalaman

Hasil pengukuran pada Stasiun 4 secara keseluruhan, nilai densitas mengalami kenaikan, namun gradien kenaikan yang terjadi tidak sama pada setiap kedalaman. Kedalaman 10 meter sampai 15 meter nilai densitas berkisar antara 21,32 kg/m3 hingga 21,36 kg/m3 dengan nilai fluktuasi sekitar 0,03 hingga 0,04. Sementara itu mulai kedalaman 16 meter, densitass terus naik menjadi 21,49 kg/m3 pada kedalaman 24,32 meter, namun pada kedalaman 24,62 meter densitas naik mencapai 21,60 kg/m3, kemudian terus menurun hingga Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-28

kedalaman 26 meter menjadi 21 kg/m3. Densitas pada kedalaman 26,46 meter kembali naik menjadi 21,78 kg/m3, kemudian terus bertambah secara perlahan hingga mencapai 21,84 kg/m3 pada kedalaman 28,9 meter . Densitas di permukaan pada Stasiun 5 mengalami kenaikan yang tidak teratur sampai dengan kedalaman 13 meter, yaitu dari nilai 21,31 kg/m3 pada kedalaman 10 meter naik menjadi 21,71 kg/m3 pada kedalaman 11 meter, kemudian kembali turun menjadi 21,60 kg/m3 pada kedalaman 12 meter. Densitas kembali meningkat secara perlahan saat dari kedalaman 12,5 meter menuju kedalaman 14,9 meter, yaitu menjadi bernilai 21,62 kg/m3. Mulai kedalaman 15 meter perubahan kenaikan densitas terjadi secara perlahan hingga kedalaman 100 meter, yaitu mencapai nilai 22,92 kg/m3, sedangkan pada kedalaman antara 100 meter hingga 124 meter densitas mengalami kenaikan dengan fluktuasi yang cukup tinggi, yaitu hingga mencapai nilai 24,65 kg/m3. Pada kedalaman 167,9 meter nilai densitas mencapai 25,36 kg/m3.

B.1.4 Sebaran Nutrien Dan Klorofil Di Perairan Kepulauan Sembilan Organisme di laut, khususnya fitoplankton dalam pertumbuhannya dan perkembangan hidupnya memerlukan unsur hara (nutrien) yaitu Nitrogen dalam bentuk Nitrat, dan Fosfor dalam bentuk Fosfat. Sebaran dari kedua parameter tersebut tidak lepas dari proses siklus biologi dan kimia perairan, serta didistribusikan oleh pola arus yang ada baik secara horisontal maupun vertikal.

B.1.4.1 Nitrat Suatu perairan dapat diketahui tingkat kesuburannya berdasarkan dari kandungan

nitratnya.

Kandungan

nitrat

di

katakan

kurang

subur

bila

kandungannya < 0,226 ppm (< 1,001 µg-at N/lt), nilai antara 0,227 – 1,129 ppm (1,005 – 5,001 µg-at N/lt) digolongkan perairannya subur dan antara 1,130 – 11,290 ppm (5,006 – 50,015 µg-at N/lt) menunjukkan perairan dengan tingkat kesuburan tinggi (Vollenweider, 1968). Nilai kandungan nitrat di perairan Kepulauan Sembilan adalah sebagai berikut:

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-29

Kadar Nitrat di 4 Stasiun 0.9 0.796 0.8 0.7 0.662 Nitrat (mg

0.6 St. 2 0.5 0.448 0.4

0.408

0.415 0.381

0.395 0.321 0.241 0.2

0.281 0.268

St. 3 St. 4

0.361

0.3

0.462

0.488

St. 5 0.314

0.254 0.187

0.16 0.12

0.1 0 0

5

0 15

0 20

25

0 35

Kedalaman (m)

Gambar 3.6. Grafik kadar nitrat di perairan Kep. Sembilan, Teluk Bone

Nilai Nitrat yang diperoleh bervariasi yaitu berkisar antara 0,12 ppm hingga 0,796 ppm. Kandungan nitrat tertinggi diperoleh pada Stasiun 3 pada kedalaman 5 meter yaitu sekitar 0,796 ppm sedangkan yang paling rendah adalah pada Stasiun 2 dengan kedalaman 20 meter dengan nilai kandungan nitrat 0,12 ppm. Berdasarkan kriteria diatas, maka perairan kepulauan Sembilan tergolong perairan yang subur. Terlihat bahwa kadar nitrat di Stasiun 3 dengan kedalaman 5 meter lebih tinggi dari kandungan Nitrat di stasiun lainnya. Fenomena tersebut diduga terjadi karena adanya kandungan nitrat yang tinggi yang berasal dari laut dalam dan bukan dari daratan seperti limbah rumah tangga. Hal ini juga disebabkan oleh arus vertikal yang bergerak ke atas pada perairan tersebut pada beberapa kedalaman tertentu menuju ke lapisan kolom air permukaan. Sehingga meningkatnya nilai kandungan nitrat dikarenakan adanya peristiwa naiknya zat unsur hara dari dasar laut menuju ke permukaan yang menunjukkan adanya peristiwa upwelling, dimana dari profil temperatur terlihat beberapa kali ada signal perubahan temperatur yang sedikit drastis pada kisaran tertentu.

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-30

Pada Stasiun 2 dengan kedalaman 20 meter memiliki nilai kandungan nitrat yang rendah (0,12 ppm), dan stasiun 5 di kedalaman 25 meter kandungan nitratnya juga rendah (0,187 ppm). Kemungkinan arus dalam yang kuat pada kedalaman tersebut menyebabkan kandungan nitrat terbawa oleh massa air yang berasal dari bagian selatan (mulut) teluk yang bergerak ke arah utara sehingga zat hara yang berada pada bagian tersebut tidak sempat mengalami pengendapan yang menyebabkan kandungan unsur hara relatif lebih rendah. Pada stasiun 4 memperlihatkan distribusi yang seragam, konsentrasinya meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Fenomena ini disebabkan karena tingkat penyerapan produser cukup tinggi dari permukaan sampai lapisan eufotik. Fitoplankton memanfaatkan unsur hara seperti nitrat karena fitoplankton dapat menyimpan nutrien di dalam tubuhnya. Meningkatnya nitrat dengan bertambahnya kedalaman juga dikarenakan adanya penenggelaman partikelpartikel yang mengandung nitrat dan nitrogen organik yang mengalami dekomposisi. Pada Stasiun 5 di kedalaman 15 meter dan 20 meter nilai kadar nitrat-nya 0 (nol) dikarenakan pada kedalaman tersebut tidak dilakukan pengambilan contoh air. Pertumbuhan fitoplankton berlangsung secara optimum umumnya pada perairan yang mempunyai kandungan nitrat sebesar 1,0 – 10,0 ppm (0,203 – 0,790 (Basmi, 1995). Kandungan nitrat lebih dari 0,1 ppm (0,0226 µg-at N/lt) masih dapat digunakan untuk pertumbuhan fitoplankton sedangkan kurang dari 0,0226 µg-at N/lt merupakan faktor pembatas di perairan tersebut (Mackentum, 1969). Berdasarkan hal tersebut maka kandungan nitrat di perairan Kepulauan Sembilan masih dapat digunakan untuk pertumbuhan fitoplankton.

B.1.4.2 Fosfat Fosfat merupakan salah satu senyawa nutrien yang sangat penting. Fosfat di-absorbsi oleh fitoplankton dan seterusnya masuk kedalam rantai makanan. Senyawa fosfat di perairan berasal dari sumber alami seperti erosi tanah, buangan (ekskresi) dari hewan, lapukan tumbuhan, dan dari laut sendiri. Peningkatan kadar fosfat dalam laut akan menyebabkan terjadinya ledakan

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-31

populasi (blooming) fitoplankton yang akhirnya dapat menyebabkan kematian ikan secara massal. Kandungan fosfat 0,000 – 0,020 ppm (0,061 µg-at P/lt) digolongkan kesuburan rendah, nilai antara 0,021 – 0,050 ppm (0,064 -0,153 µg-at P/lt) digolongkan tingkat kesuburan sedang, nilai antara 0,051 – 0,100 ppm (0,156 – 0,169 µg-at P/lt) digolongkan dengan tingkat kesuburan sangat baik dan nilai > 0,210 ppm (0,643 µg-at P/lt) digolongkan dengan tingkat kesuburan sangat baik (Vollenweider, 1968). Nybakken (1998) menyatakan bahwa, zat-zat anorganik utama yang diperlukan fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang biak adalah nitrogen dalam bentuk nitrat, dan fosfor dalam bentuk fosfat. Kedua unsur tersebut menjadi faktor pembatas produktivitas fitoplankton. Nilai kandungan fosfat di perairan Kep. Sembilan adalah sebagai berikut:

Kadar Fosfat di 4 Stasiun 1.4

1.2

1.152

1

0.941

Fosfat (mg

0.883

0.941

0.749 0.6 0.595

0.787

0.902 0.883

0.787

0.8

0.941 0.864

0.828 0.653

St. 2 0.73

0.73

0.768

St. 3 St. 4 St. 5

0.653 0.5

0.4

0.2

0 0

5

0 15

0 20

25

0 35

Kedalaman (m)

Gambar 3.7. Grafik kadar fosfat di perairan Pulau Sembilan, Teluk Bone

Kandungan fosfat yang diperoleh adalah berkisar antara 0,5 ppm hingga 1,152 ppml. Nilai yang terendah terdapat pada Stasiun 2 (0,5 ppm) di kedalaman

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-32

25 meter, dan nilai yang tertinggi terdapat pada Stasiun 4 di permukaan (1,152 ppm). Nilai 0 (nol) pada kedalaman 15, 20 dan 35 meter terjadi dikarenakan tidak adanya pengambilan sampel pada kedalaman-kedalaman tersebut. Berdasarkan kriteria diatas, dengan melihat dari kandungan fosfatnya dapat dikatakan bahwa perairan di Kep. Sembilan mempunyai tingkat kesuburan yang sangat baik. Pada stasiun 2 pada kedalaman 20 meter kandungan nitratnya 0,941 ppm tetapi pada kedalaman 25 meter kandungan nitratnya langsung menurun menjadi 0,5 ppm. Kondisi perairan Teluk Bone yang tergolong perairan dalam dapat menyebabkan meningkatnya kandungan fosfat di perairan. Kedalaman perairan ini yang menyebabkan massa air tidak tercampur dengan sempurna dan menimbulkan akumulasi nutrien ke arah dasar perairan. Sedangkan rendahnya kandungan fosfat menunjukkan bahwa penyerapan oleh fitoplankton pada kedalaman tersebut berjalan dengan baik. Berdasarkan grafik di atas pada stasiun 3 kadar fosfat-nya semakin meningkat, hal ini dikarenakan arus vertikal bergerak ke atas pada perairan tersebut pada beberapa kedalaman tertentu menuju ke lapisan kolom air permukaan. Sehingga meningkatnya nilai kandungan fosfat dikarenakan adanya peristiwa naiknya zat unsur hara dari dasar laut menuju ke permukaan yang menunjukkan adanya peristiwa upwelling. Konsentrasi fosfat permukaan di perairan Indonesia pada musim Timur lebih tinggi dibandingkan pada musim Barat, karena pada musim Timur terjadi penaikan massa air yang menyebabkan zat hara permukaan meningkat (Soegiarto dan Birowo, 1970). Di perairan selat Makassar sebelah selatan terlihat nilai yang lebih tinggi yaitu berkisar antara 0,3 – 0,4 µg-at P/lt pada musim timur, hal ini juga disebabkan oleh penaikan massa air paada musim ini (Soegiarto dan Birowo dalam Suari, 1999). Pada stasiun 4 lokasi pengambilan sampel dekat dengan daratan yaitu disekitar Pulau Batanlampe, sehingga terjadi run-off nutrien yang berasal dari daratan dan juga adanya pemakaian kadar fosfat oleh fitoplankton karena pada permukaan hingga kedalaman 35 meter masih memiliki kadar intensitas cahaya yang cukup dan juga diduga dipengaruhi oleh arus yang bergerak dari arah selatan menuju barat.

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-33

Batasan optimum kandungan Fosfat dalam perairan untuk mendukung pertumbuhan Fitoplankton secara umum adalah sebesar 0,09 – 1,80 ppm (0,029 – 0,587 µg-at P/lt) (Mackentum, 1969). Berdasarkan batasan tersebut maka kandungan fosfat yang diperoleh adalah masih berada di dalam kisaran rata-rata untuk pertumbuhan fitoplankton.

B.1.4.3 Khlorofil Khlorofil-a merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan produktivitas primer di laut, berupa pigmen yang terdapat pada organisme di perairan yang digunakan untuk proses fotosintesis. Nilai kandungan khlorofil di perairan Kep. Sembilan, Teluk Bone adalah sebagai berikut:

Klorofil di 4 Stasiun 2 1.8 1.722 1.6 1.426

Klorofil (mg/m

1.4 1.2

1.19

1

st. 2 st. 3

0.992

st. 4 st. 5

0.8

0.744

0.6

0.7 0.595

0.595

0.595 0.419

0.4 0.298 0.2

0.298

0.346

0.289

0.298 0.186

0.149

0

0 0

5

15

0 20

0 25

35

Depth (m)

Gambar 3.8. Grafik pengukuran klorofil di perairan Kep. Sembilan, Teluk Bone

Gambar diatas menunjukkan bahwa nilai kandungan Khlorofil-a bervariasi pada setiap stasiun. Pada lapisan permukaan nilai Khlorofil tertinggi berada di Stasiun 3 dengan nilai 1,722 mg/m3, sedangkan pada Stasiun 4 dengan

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-34

kedalaman 20 meter dijumpai nilai Khlorofil yang tinggi dengan nilai 1,426 mg/m3. Tingginya nilai Khlorofil tersebut diduga dikarenakan adanya penyinaran matahari yang cukup sehingga mendapatkan intensitas cahaya yang di butuhkan oleh Fitoplankton untuk dapat melakukan proses fotosintesa. Apabila dilihat dari unsur haranya, ditemukan bahwa sejumlah kandungan Nitrat dan fosfat yang tinggi ditemukan di Stasiun 3 dan kandungan Fosfat yang tinggi juga ditemukan pada Stasiun 4. Kandungan kedua unsur hara inilah yang utama diperlukan oleh Fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang biak. Pada stasiun 2, 3 dan 4 di kedalaman 5 meter menunjukkan bahwa kandungan khlorofil mengalami peningkatan . Keadaan ini disebabkan karena sifat fitoplankton untuk beradaptasi di tempat yang mempunyai intensitas cahaya yang cukup kuat (permukaan) adalah kecil.

B.1.5 Inventarisasi Terumbu Karang B.1.5.1 Inventarisasi Terumbu Karang Di Kabupaten Kolaka B.1.5.1.1 Kondisi Karang Secara umum kondisi terumbu karang di daerah penelitian Kabupaten Kolaka dapat dikategorikan baik dari hasil rata-rata dari seluruh stasiun yang ada persentase tutupan karang hidup adalah sekitar 61 %, dan karang mati sekitar 16 %. Dimana jika dilihat untuk per stasiun pengamatan adalah sebagai berikut:

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-35

Lifeform 3M

2%

18%

7% 19%

20%

14% 11%

CB

CE

6%

CM

CME

3%

DCA

OT

RB

S

SP

Gambar 3.9. Kondisi Tutupan Karang pada Kedalaman 3 meter di Kolaka Stasiun 1

Lokasi penelitian Stasiun 1 berada di sebelah barat Kabupaten Kolaka, dengan tipe terumbu adalah Terumbu Penghalang (Barrier Reef), dimana kondisi perairan pada kedalaman 3 meter memiliki jarak pandang didalam air (Visibility) sejauh 8 meter, sebelum transek dibentangkan terlebih dahulu dilakukan survei dengan metode Rapid Reef Resource Assesment (RRA) untuk mengestimasi tingkat kepadatan pentupan dasar perairan, dan dari hasil

RRA kemudian

ditentukan daerah penyelaman. Kondisi penutupan dasar perairan di kedalaman 10 meter Stasiun 1 didominasi oleh pasir 100 % sehingga tidak dilakukan pengambilan data, namun pada kedalaman 3 meter kondisi dasar perairan yang diperoleh adalah Patahanpatahan karang (Rubble) 20 %, Pasir (Sand) 18 %, Karang mati ditumbuhi Algae (Dead Corals with Algae = DCA) 6 %. Sedangkan untuk karang hidup di kedalaman 3 meter Stasiun 1 diperoleh bentuk Karang Bercabang selain marga Acropora (Coral Branching = CB) 7 %, Karang yang menempel pada karang mati (Coral Encrusting = CE) 19 %, Karang Masif (Coral Massive = CM) 14 %, dan Karang marga Millepora (CME) 3 % (lihat Gambar 3.9). Pasir dan pecahan karang lebih banyak ditemukan pada lokasi di luar transek, lokasi ini memang berdekatan dengan daratan utama sehingga gangguan ekosistem terumbu karang lebih besar. Hal ini

nampak dari pengamatan di sekitar lokasi

pengambilan data, dimana banyak ditemukan karang mati dan pecahan karang. Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-36

Lifeform 3m

8%

2%

1% 5%

24%

5% 2% 3% 10% 6% 34%

ACB

ACD

CB

CE

CM

CME

CMR

DCA

MA

RB

S

Gambar 3.10. Kondisi Tutupan Karang pada Kedalaman 3 meter di Kolaka Stasiun 2

Lokasi penelitian Stasiun 2 ini, yang berdekatan dengan pulau-pulau yang berada di sebelah barat Kabupten Kolaka, tipe terumbu karangnya adalah Terumbu Karang Tepi (Fringing Reef). Kondisi perairan pada Stasiun 2 di kedalaman 3 meter ini memiliki jarak pandang di dalam air (visibility) sejauh 3 meter hingga 8 meter. Kondisi terumbu karang yang hidup pada kedalaman 3 meter ini didominasi oleh bentuk Karang jenis Acropora yang Bercabang (Acropora Branching = ACB) 24 %, Acropora Digitate (ACD) 3 %, Karang Bercabang (Coral Branching = CB) 34 %, Karang hidup yang menempel pada karang mati (Coral Encrusting = CE) 6 %, Karang Masif (Coral Massive = CM) 10 %, Karang marga Millepora (CME) 2 %. Sedangkan karang mati yang ditemukan antara lain patahan karang (Rubble) 5 %, Karang mati ditumbuhi Algae (Dead Corals with algae = DCA) 8 %, dan Pasir (Sand) 2 %. Selain itu juga ditemukan Makro-Algae (MA) sebanyak 1 % dan Fungia (Coral Mushroom = CMR) sekitar 5 % yang berada pada subsrat pasir (lihat Gambar 3.10). Terdapat 8 Genera yang ditemukan pada Stasiun 2 kedalaman 3 meter, yaitu Acropora, Porites, Montipora, Millepora, Fungia, Pectinia, Seriatopora dan Fungia. Nampak pada pengamatan diluar transek kondisi karang mengalami kerusakan yang cukup serius, yaitu banyak ditemukannya pecahan karang dan karang mati yang ditumbuhi alga. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat eksploitasi komponen ekosistem terumbu karang adalah cukup tinggi. Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-37

Lifeform 10m

1% 2%

2%

7%

2% 5%

2% 16%

25%

11% 7%

3%

ACB

ACD

ACT

CB

CE

MA

OT

RB

S

TA

4%

13%

CF

CM

CMR

DCA

Gambar 3.11. Kondisi Tutupan Karang pada Kedalaman 10 meter di Kolaka Stasiun 2

Pada saat pengambilan data yang dilakukan di Stasiun 2 pada kedalaman 10 meter, permukaan laut mengalami pasang naik sehingga jarak pandang hanya berkisar 3 meter hingga 5 meter. Kondisi penutupan dasar perairan didominasi oleh Macro Algae 25 % (genera Padina) dan karang hidup. Karang hidup yang ditemukan antara lain Karang jenis Acropora yang Bercabang (Acropora Branching = ACB) 5 %, Acropora Digitate (ACD) 2 %, Karang marga Acropora berbentuk meja (Acropora Tabulate = ACT) 2 %, Karang Bercabang (Coral Branching = CB) 16 %, Karang hidup yang menempel pada karang mati (Coral Encrusting = CE) 11 %, Karang Masif (Coral Massive = CM) 13 %. Sedangkan karang mati yang ditemukan adalah Karang mati ditumbuhi Algae (Dead Corals with Algae = DCA) 7 %, Patahan-patahan karang (Rubble) 2 %, dan Pasir (Sand) 7%. Ditemukan juga hewan lain (OT) sebanyak 2 % dan Turf Algae (TA) 1 % (lihat Gambar 3.11). Nilai Indeks Keanekaragaman terumbu karang secara umum di kedalaman 10 meter adalah lebih rendah dibandingkan dengan nilai indeks pada kedalaman 3 meter, sebagian besar karang yang terdapat di Karang Tebing (Reef Slope) mengalami tingkat kerusakan yang cukup serius, meskipun karang mati di daerah ini lebih sedikit dibandingkan dengan yang ada di kedalaman sebelumnya, namun ada indikasi bahwa kerusakan karang pada daerah ini akibat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (bom). Hal ini terlihat

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-38

dengan banyaknya makro-algae yang mendominasi daerah ini yang tumbuh pada subsrat karang mati. Selain itu beberapa Karang Masif (Coral Massive) dan jenis Fungia mengalami kematian dimana tubuh karang menjadi berwarna putih akibat pigmen warna/Khlorofil hilang (bleach) yang disebabkan oleh pemangsa karang Achantaster plancii. Karang yang menarik pada lokasi ini adalah ditemukannya jenis karang dari genera Montipora memiliki diameter berukuran ± 3,5 meter di sekitar daerah transek. Adapun 12 Genera karang lain yang ditemukan pada stasiun pengamatan adalah Acropora, Porites, Montipora, Millepora, Fungia, Pectinia, Seriatopora, Galaxea, Goniopora, Hynophora, Plerogyra, Syhmphilia.

B.1.5.1.2 Invertebrata Secara umum kondisi invertebrata banyak dijumpai pada daerah penelitian, beberapa diantaranya yang memiliki nilai ekonomis dan merupakan objek eksploitasi yang masih ditemukan di daerah ini. Namun demikian jika hal ini terus berlangsung maka suatu saat invertebrata tersebut akan mengalami kepunahan. Beberapa genera yang dijumpai di lokasi ini antara lain Echinotrix, Linkia, Didemnum, Spriobranchus, macrodactyla, dan Diadem. Rata-rata organisme ini dapat ditemukan pada kedalaman 3 meter hingga 10 meter dengan subsrat karang mati, pecahan karang maupun karang hidup. Jenis Sponge diwakili oleh Haloclina sp, Plakortis nigra, Xextospongia sp, Carteriospongia

dan Cynacyra sp pada kedalaman 3 meter hingga 6 meter

dengan subsrat karang mati dan pasir. Sedangkan dari kelas Bivalvia dijumpai adanya Kima Batu (Tridacna crocea), dan Kima Sisik (Tridacna squamosa) dimana beberapa diantaranya memiliki ukuran ± 15 cm. Organisme ini dapat dijumpai pada kedalaman 5 meter hingga 10 meter, dimana Kima Sisik hidup di atas subsrat pasir dan Kima Batu hidup menempel pada Karang Masif mati.

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-39

B.1.5.2 Inventarisasi Terumbu Karang Kabupaten Sinjai Kepulauan Sembilan secara administrasi berada pada wilayah Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan, dimana dinamakan Kep. Sembilan karena memiliki sembilan pulau. Beberapa diantara pulau tersebut berpenghuni, yaitu Pulau katindoang dan P. Larea-rea. Pulau Kambuno adalah sebagai pusat Kecamatan Pulau-Pulau Sembilan. Sedangkan pulau-pulau lain adalah Pulau Burungloe, P. Kanalo 1, P. Kanalo 2, P. Batanglampe, P. Kodingareng, P. Liang-liang.

B.1.5.2.1 Kondisi Karang Secara umum kondisi karang di Kabupaten Sinjai (Kepulauan Sembilan) dapat dikategorikan Sedang dengan persentase dari hasil rata-rata dari stasiun yang ada tutupan karang hidup adalah sekitar 26,15 % dan karang mati 43,63 %. Dimana jika dilihat untuk per stasiun pengamatan adalah sebagai berikut: Lifeform 3m 1.4% 2.8%

1.3%

1.4% 1.8%

3.3% 24.4%

23.5%

1.6%

1.2% 0.2% 0.0% 0.3% 36.6% ACB

ACD

ACE

CB

MA

OT

S

SP

CE

CM

CME

CMR

DC

DCA

Gambar 3.12. Kondisi Tutupan Karang pada Kedalaman 3 meter di Kep. Sembilan Stasiun 1

Kondisi tutupan dasar perairan pada Stasiun 1 di kedalaman 3 meter didominasi oleh bentuk Karang ditumbuhi algae (Dead Corals with Algae = DCA) 36,6%, dan Pasir (Sand) 24,4 %. Sedangkan untuk kategori karang hidup terdiri dari bentuk Karang marga Acropora Bercabang (Acropora Branching = ACB) 2,8

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-40

%, Acropora Digitate (ACD) 1,3 %, Acropora Encrusting (ACE) 1,4 %, Karang Bercabang selain marga Acropora (CB) 1,4 %, Coral Encrusting (CE) 1,8 %, Karang Masif (Coral Massive = CM) sebesar 23,54 %, Coral Millepora (CME) 1,2 %, Coral Mushroom (CMR) 0,01 %. Dalam hal ini ditemukan juga Sponge (SP) sebanyak 3,3 %, Makro-Algae (MA) 0,01 % dan hewan lain (OT) sebanyak 1,6 % (lihat Gambar 3.12). Kondisi karang di daerah penelitian Stasiun 3 pada kedalaman 3 meter adalah sangat memprihatinkan dengan persentase karang hidup hanya 33,45 %, dimana karang hidup didominasi oleh karang jenis Porites, Montipora, Millepora dan sebagian kecil Acropora. Jumlah karang mati pada kedalaman ini adalah 36,9 %. karang mati yang banyak ditemukan mengindikasikan adanya penggunaan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan senyawa kimia Apotas.

Lifeform 6M

2%

12%

10%

5%

1% 1%

32% 29% 5%

ACB

CB

CE

CM

3%

CME

DCA

MA

OT

S

SP

Gambar 3.13. Kondisi Tutupan Karang pada Kedalaman 6 meter di Kep. Sembilan Stasiun 3

Pada lokasi pengambilan data Stasiun 3 yang dilakukan di kedalaman 6 meter, jarak pandang berkisar 3 meter hingga 4 meter, dengan kondisi karang didominasi oleh Karang mati ditumbuhi algae (Dead Coral with Algae = DCA) 29 % dan Pasir (Sand) 32 %. Karang hidup yang ditemukan antara lain Karang

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-41

marga Acropora Bercabang (Acropora Branching = ACB) 2 %, Karang Bercabang selain marga Acropora (CB) 5 %, Coral Encrusting (CE) 10 %, Karang Masif (Coral Massive = CM) sebesar 1 %, Coral Millepora (CME) 1 %. Ditemukan juga Makro-Algae (MA) sebanyak 3 %, Sponge (SP), dan hewan lain (OT) sebanyak 3 % (lihat Gambar 3.13). Kondisi karang yang hidup pada kedalaman 6 meter adalah lebih tinggi dibandingkan dengan karang yang hidup di kedalaman 3 meter yaitu 19 %, sedangkan jumlah karang mati sebesar 29 %. Ada 11 genera yang ditemukan di stasiun pengamatan Kepulauan Sembilan antara lain Acropora, Lobopyhillia, Calaustrea, Galaxea, Euphilia, Seriatopora, Porites ,Montipora, Millepora, Galaxea, Stylophora.

Lifeform P.Sembilan

3% 2% 1%1%

9%

9%

2%

1%

10%

2% 1% 3% 1% 55%

ACB

CB

CF

CM

CME

OT

RB

S

SP

TA

CMR

DC

DCA

MA

Gambar 3.14. Kondisi Tutupan Karang pada Kedalaman 3 meter di Kep. Sembilan Stasiun 3

Hasil pengamatan terhadap terumbu karang di Stasiun 3 pada kedalaman perairan 3 meter diperoleh Karang mati ditumbuhi algae (Death Coral with Algae = DCA) 55 %, Karang Mati (Death Coral = DC) 1 %, Patahan-patahan karang (rubble) 9 %, dan Pasir (Sand) 3 %. Sedangkan karang hidup yang ditemukan antara lain bentuk Karang Bercabang marga Acropora (Acropora Branching = ACB) 1 %, Karang Bercabang selain marga Acropora (Coral Branching = CB) 9 %, Coral Foliose (CF) 2 %, Karang Masif (Coral Massive = CM) 10 %, Karang Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-42

marga Millepora (CME) 1 %, Coral Mushroom (CMR) 3 %. Ditemukan juga Makro-Algae (MA) sebanyak 2 %, hewan lain (OT) 1 %, Sponge (SP) 2 %, dan Turf Algae (TA) sebanyak 1 % (lihat Gambar 3.14). Dimana kondisi perairannya yang jernih mempunyai jarak pandang sekitar 6 meter hingga 8 meter. Secara umum kondisi lokasi ini tidak jauh berbeda dengan kondisi karang di satasiun

pengamatan sebelumnya (Stasiun 3 pada kedalaman 6 meter),

dimana kondisi karang hidup pada Stasiun 3 kedalaman 3 meter ini hanya 26 %, dan karang mati 65 %. Lokasi pengambilan data yang berdekatan dengan Pulau Burungloe memungkinkan terjadinya eksploitasi terhadap komponen ekosistem terumbu karang. Tingginya tingkat kerusakan nampak pada sebagian besar karang yang teramati di daerah terumbu. Beberapa karang yang masih hidup merupakan karang yang tahan terhadap tekanan misalnya jenis Porites, adapun karang yang hidup merupakan karang yang masih baru (recruitment) atau karang yang relatif masih muda.

B.1.5.2.2 Invertebrata Invertebrata banyak ditemukan di sekitar lokasi pengamatan, beberapa organisme yang memiliki nilai ekonomis masih dapat ditemukan di daerah ini misalnya Kima Sisik (Tridacna squamosa) dan Kima Batu (Tridacna crocea), yang memiliki ukuran 3 - 6 cm ditemukan pada kedalaman 3 meter hingga 6 meter. Dimana Kima Sisik hidup di subsrat pasir sedangkan Kima Batu menempel pada Karang Masif. Organisme lain yang melimpah adalah jenis Didemnum molle, pada kedalaman 3 meter hingga 6 meter dengan subsrat karang mati maupun pecahan karang. Jenis Lilia laut (Oxycomanthus) tampak hidup bersosiasi dengan karang, sedangkan jenis Asteroidea Linkia laveigata dan Protoreaster serta nardoa ditemukan pada subsrat pasir. Jenis Diadema dan Echinotrix juga banyak ditemukan di atas subsrat pasir dan di antara karang yang masih hidup. Sedangkan dari jenis Polycarpa aurata dan Liscoclinum platell yang biasanya banyak terdapat di antara karang hidup, juga masih dapat dijumpai di daerah ini.

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-43

Beberapa jenis Sponge yang dapat dijumpai adalah Haloclina, Plakortis, Xextospongia, Callyspongia, yang hidup pada subsrat Karang Masif maupun pasir. Salah satu sponge yang ditemukan dengan diameter berukuran ± 60 cm pada kedalaman 5 meter.

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-44

Tg Batikala

Palopo J = 75

Tg Tolala Karang Bron Karang Naber

Lelewau Lahou Pakowe

Karang Bali

J = 39

Suli

J = 33

Muranti

J = 19

Tg Siwa

Tg Lokoloko

Karang Lamunre

Tg Tabako Susua Wawo Wulu

Gambar 3.15. Area model dan kondisi batimetri Teluk Bone

3-45

(a)

(b)

(c) (d) Gambar 3.16. Pola arus permukaan & sebaran muka air laut di Teluk Bone pada Kondisi Pasang Purnama, saat air (a) menjelang pasang, (b) pasang, (c) menjelang surut, (d) surut 3-46

(a)

(b)

(c) (d) Gambar 3.17. Pola kecepatan & arah arus permukaan di Teluk Bone pada Kondisi Pasang Purnama, saat air (a) menjelang pasang, (b) pasang, (c) menjelang surut, (d) surut 3-47

T

(a)

T

(b)

T

T

(c) (d) Gambar 3.18. Profil arus potongan melintang Tg. Siwa – Wawo pada Kondisi Purnama, saat air (a) menjelang pasang, (b) pasang, (c) menjelang surut, (d) surut 3-48

T

(a)

T

(b)

T

T

(c) (d) Gambar 3.19. Profil arus potongan melintang Tg. Siwa – Wawo pantai Timur (zoom area) pada Kondisi Purnama, saat air (a) menjelang pasang, (b) pasang, (c) menjelang surut, (d) surut 3-49

T

(a)

T

(b)

T

T

(c) (d) Gambar 3.20. Profil arus potongan melintang Muranti – Susua pada Kondisi Purnama, saat air (a) menjelang pasang, (b) pasang, (c) menjelang surut, (d) surut 3-50

T

(a)

T

(b)

T

(c) (d) Gambar 3.21. Profil arus potongan melintang Suli – Tabako pada Kondisi Purnama, saat air (a) menjelang pasang, (b) pasang, (c) menjelang surut, (d) surut 3-51

T

T

(a)

T

(b)

T

T

(c) (d) Gambar 3.22. Profil arus potongan melintang Palopo – Lelewau saat air (a) menjelang pasang, (b) pasang, (c) menjelang surut, (d) surut 3-52

B.2 Teluk Lasongko Teluk Lasongko secara administratif berada pada wilayah Kecamatan Lakudo yang secara geografis terletak di Kabupaten Buton termasuk dalam Pulau Muna, Sulawesi Tenggara pada 5º14’LS sampai 5º26’ LS dan 122º25’BT hingga 122º 34’BT dengan batas wilayah Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Muna, sebelah selatan berbatasan dengan Selat Buton, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Gu, dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Mawassangka Timur. Kecamatan Lakudo terpisah dari daratan Sulawesi dengan luas daratan 22.500 ha dengan bentuk topografi datar, bergelombang sampai berbukit. Daratan dengan topografi datar berada di Lakudo, Waara, dan Madongka, sementara desa lainnya didominasi oleh areal bergelombang sampai berbukit. Secara geologis jenis tanah yang dominan adalah kambisol yang sebagian besar permukaannya tertutup oleh batuan cadas dan batuan kapur. Suhu rata-rata harian 28ºC dan kelembaban udara 70.75 %. Ditinjau dari keadaan curah hujannya yaitu 1473.4 mm/tahun maka daerah ini adalah daerah semi kering. Musim hujan terjadi pada bulan Desember hingga Maret pada saat angin barat, sedangkan musim kemarau pada bulan April hingga Oktober dimana bertiup angin timur. Jumlah penduduk Kecamatan Lakudo pada tahun 2002 adalah 22.686 jiwa yang terdiri dari 4.762 kepala keluarga dengan proporsi penduduk berjenis kelamin laki-laki dan perempuan hampir seimbang yaitu 11.291 laki-laki dan 11.395 perempuan. Masyarakat setempat umumnya adalah suku Buton (Gu) ditambah dengan suku Ambon dengan agama yang dianut adalah Islam. Jumlah penduduk tertinggi berada di kelurahan Boneoge kemudian kelurahan Lakudo dan selanjutnya Lolibu.

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-53

Tabel 3.2. Jumlah penduduk usia 10 tahun keatas berdasarkan mata pencaharian

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Mata Pencaharian Pertanian Perikanan Peternakan Perkebunan Kehutanan Pertambangan Industri Listrik dan Air Minum Konstruksi Bangunan Perdagangan Transportasi dan Komunikasi Keuangan Jasa Perseorangan Lain-lain

Lakilaki 2267 2285 301 1079 4 48 134 20 326 578

Perempuan 2555 651 558 714 35 1874 535

Jumlah 4822 2936 859 1793 4 83 2008 20 326 1113

127 10 166 733 8078

2 114 1334 8372

127 12 280 2067 16450

B.2.1 Metodologi Lingkup wilayah yang diamati adalah sepanjang garis pesisir Teluk Lasongko dengan jarak ke arah Laut flores 4 mil dan ke arah darat meliputi batas administratif 13 (tiga belas) desa/kelurahan pada Kecamatan Lakudo, Kabupaten Buton, dan 3 (tiga) desa/kelurahan di Kecamatan Mawasangka Timur, Kabupaten Muna.

Sedangkan

lingkup

materi

yang

diamati

meliputi:

oseanografi fisik, vegetasi pantai, padang lamun, terumbu karang, sumberdaya ikan, budidaya perairan. Pengamatan kondisi oseanografi fisik yang berupa batimetri dilakukan dengan

menggunakan

instrumen

Multibeam

Echosounder.

Sedangkan

parameter kimia perairan yang dikumpulkan adalah: temperatur, salinitas, pH, kecerahan, dan nutrien (Nitrat, Fosfat, dan Silikat). Pengamatan mangrove yang dilakukan adalah mengadopsi dari English, et al. (1997) yaitu Metode Transek Kuadrat. Dimana yang dilakukan adalah melakukan transek dengan kuadran (10x10 m2) pada beberapa lokasi yang berbeda dengan panjang transek 100 - 150 meter. Hasil

transek kemudian

dihitung kerapatan jenis (Di), Kerapatan relatif jenis (RDi), Frekuensi jenis (Fi), Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-54

Frekuensi relatif jenis (RFi), Penutupan jenis (Ci), Penutupan relatif jenis (RCi), serta nilai penting jenis (IV). Selain itu derajat keasaman tanah diukur dengan menggunakan pH meter, dan sampel tanah juga diambil untuk mengetahui sifatsifat tanah. Pengamatan lamun yang dilakukan adalah juga mengadopsi dari English, et al. (1997) yaitu Metode Transek Kuadrat. Pengumpulan data kerapatan dan penutupan lamun dengan menggunakan kuadrat besi yang berukuran 20 x 20 cm, sedangkan khusus untuk spesies Enhalus acoroides menggunakan ukuran kuadrat besi 50 x 50 cm. Kuadrat besi ini dilempar secara acak masing-masing 10 x di setiap stasiun pengamatan kemudian dihitung jumlah tunasnya untuk mengetahui kerapatan dan penutupannya. Pengukuran biomassa lamun dan tipe substrat juga dilakukan dalam hal ini. Pengamatan kondisi terumbu karang yang dilakukan adalah juga mengadopsi dari English, et al. (1997) yaitu Metode Line Intercept Transec. Dimana pada masing-masing stasiun penelitian dilakukan transek sepanjang 50 m sejajar garis pantai dengan kedalaman bervariasi antara 3 m

sampai 10

meter. Pendataan yang dilakukan adalah terhadap jenis karang dan sebarannya, dalam hal ini juga dilakukan dokumentasi bawah air.

B.2.2 Kondisi Oseanografi Fisik & Kimiawi Secara visual topografi perairan Teluk Lasongko cenderung landai dengan perbedaan kedalaman perairan dari 5 meter hingga 27 meter. Pada area teluk yang lebih dalam yaitu diawali dari perairan Desa Lakudo, hingga ke Utara sampai dengan perairan Desa Mone, kedalaman cukup dangkal yaitu berkisar 6 meter hingga 1,5 meter. Pada area mulut Teluk Lasongko juga ditemui dangkalan dengan kedalam berkisar 5 meter, dangkalan ini berada di depan desa Madongka. Profil dasar perairan Teluk Lasongko secara jelas dapat dilihat pada data hasil survei batimetri yang dilakukan dengan Multibeam Echosounder dan asimilasi data batimetri dari Dinas Hidro-oseanografi TNI-AL. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa tingkat kecerahan perairan terendah ditemukan pada perairan Desa Lolibu hingga Desa Mone dengan nilai Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-55

0,5 - 1 meter dibandingkan dengan kecerahan di perairan Desa Lakudo hingga Desa Madongka dengan nilai 6 – 8 meter. Temperatur perairan Teluk Lasongko, sesuai hasil yang didapat dari instrumen pengukur berkisar antara 27,1 ºC hingga 31ºC dengan salinitas rata–rata 32 ppt, dan Untuk hasil analisis kimia didapatkan derajat keasaman (pH) 7,8 – 8,5. Sedangkan untuk kandungan terlarut dari Fosfat, Nitrat dan Silikat selengkapnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Gambar 3.23. Peta Batimetri Teluk Lasongko (Sumber: Dishidros TNI-AL)

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-56

Gambar 3.24. Batimetri Teluk Lasongko hasil Asimilasi data akuisisi Multibeam Echosounder dan Digitasi Peta (Satuan Kedalaman: meter)

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-57

Tabel 3.3. Hasil terukur parameter fisik dan kimiawi perairan Teluk Lasongko Kedalaman (meter)

Phospat (µg-at/l)

Nitrat (µg-at/l)

Silikat (µg-at/l)

Salinitas (ppt)

pH

Suhu (°C)

Kecerahan (meter)

1

0 5 10 20

0,13 0,26 0,18 0,22

0,60 0,55 0,66 0,85

6,28 5,89 5,98 8,33

32

8,5

31

8

2

0 5 10 20 0 5 10 0 5

0,26 0,18 0,18 0,57 0,22 0,44 0,35 0,31 0,26

0,62 1,37 0,77 0,62 0,73 0,79 0,92 0,79 0,92

5,00 5,88 6,47 5,20 4,31 7,45 7,16 12,06 12,94

32

8,5

31,5

6

32

8,1

31,2

1

32

7,8

31

0,5

stasiun

3

4

B.2.3 Kondisi Mangrove Daerah mangrove yang terdapat di Teluk Lasongko umumnya mempunyai tipe substrat yang berbatu dan sedikit lumpur sehingga pertumbuhan vegetasi mangrove menjadi kurang baik dan keanekaragaman jenis vegetasi didominasi oleh jenis yang berjumlah sedikit dan yang mampu bertahan pada daerah tersebut yaitu jenis Rhizophora stylosa.

Gambar 3.25. Mangrove di Teluk Lasongko

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-58

Jenis vegetasi mangrove yang diidentifikasi dikelompokkan berdasarkan zonasi tipe pantai, dimana pada daerah teluk lasongko terdapat tiga tipe pantai yang mempunyai keanekaragaman vegetasi yang berbeda. Pantai yang merupakan daerah estuaria yang ditumbuhi jenis mangrove sejati adalah pantai : Matawine, Mone, Lolibu dan Lasori. Sedangkan untuk daerah dengan tipe pantai berpasir seperti pantai Lakudo, Madongka, Moko dan Wajogu banyak ditumbuhi tumbuhan predu dan paku-pakuan. Mangrove pada daerah dengan tipe pantai bertebing adalah berupa tumbuhan pemanjat, yang terdapat di pantai Nepamekar, Wanepa-nepa, Boneoge dan sebagian daerah Lakudo.

B.2.4 Kondisi Lamun Padang lamun di Teluk Lasongko dapat ditemukan diseluruh zona intertidal yang terdiri dari 6 macam vegetasi yang hidup pada substrat pasir halus dan

pasir

berlumpur,

yaitu:

Enhalus

acoroides,

Thalassia

hemprinchii,

Cymodocea rotundata, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, Halodule universis (lihat Gambar dan Tabel).

Gambar 3.26. Contoh padang Lamun di Teluk Lasongko

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-59

Gambar 3.27. Jenis Lamun Teluk Lasongko berturut-turut dari kiri atas ke kanan (Enhalus acoroides, Thalassia hemprinchii, Cymodocea rotundata), dan kiri bawah ke kanan (Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, Halodule universis)

Tabel 3.4. Kerapatan rata-rata tiap jenis lamun pada setiap stasiun penelitian Kerapatan ( tunas/m² ) No Jenis Lamun 1 2 3 4 1 54.3 37.8 30.2 42.3 Enhalus acoroides 2 35.8 31.9 23.5 36.7 Thalassia hemprinchii 3 23.6 31.4 28.7 28.7 Cymodocea rotundata 4 4.7 3.9 5.6 3.6 Halophila ovalis 5 2.3 2.7 3.8 1.4 Syringodium isoetifolium 6 1.3 3.2 2.5 3.2 Halodule universis Keterangan : 1=Sta.Wanepa-Nepa, 2=Sta.Lakudo, 3=Sta.Moko, 4=Sta.Wajogu

Kerapatan jenis lamun pada tiap daerah dipengaruhi oleh kondisi abiotisnya

seperti kecerahan, kedalaman, substrat dan kandungan zat hara

(Zieman, 1987). Pada setiap stasiun penelitian di Teluk Lasongko sedikit terdapat perbedaan, hal ini diduga disebabkan karena daerah perairannya yang cenderung homogen dan tipe substrat yang tidak jauh berbeda. Tetapi berdasarkan analisa ukuran butiran sedimen pada substrat dasar di empat stasiun

pengamatan

yaitu

Wanepa-nepa,

Lakudo,

Moko

dan

Wajogu

menunjukkan bahwa setiap stasiun ternyata mempunyai substrat yang sedikit berbeda.

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-60

No. 1

2

3

4

Tabel 3.5. Hasil Analisa Ukuran Butir Pasir Substrat Di Setiap Stasiun Penelitian Stasiun Persentase Berat Jenis Daerah No Lumpur Pasir Kerikil 1 26.35 65.86 7.79 Pasir berlumpur Matawine 2 27.23 64.55 8.22 Pasir berlumpur 3 23.45 63.24 13.31 Pasir berlumpur 4 25.61 65.33 9.06 Pasir berlumpur 5 27.43 69.21 3.36 Pasir berlumpur 1 62.43 26.33 11.24 Lumpur berpasir Lakudo 2 65.21 22.34 12.45 Lumpur berpasir 3 61.24 28.12 10.64 Lumpur berpasir 4 64.34 27.33 8.33 Lumpur berpasir 5 66.54 25.28 8.18 Lumpur berpasir 1 7.34 88.45 4.21 Pasir Moko 2 8.34 89.37 2.29 Pasir 3 12.32 85.24 2.44 Pasir 4 11.23 84.22 4.55 Pasir 5 9.44 87.67 2.89 Pasir 1 66.23 21.34 12.43 Lumpur berpasir Wajogu 2 64.33 24.12 11.55 Lumpur berpasir 3 67.45 20.33 12.22 Lumpur berpasir 4 68.34 23.22 8.44 Lumpur berpasir 5 63.56 24.33 12.11 Lumpur berpasir

B.2.5 Kondisi Terumbu Karang Umumnya perairan Teluk Lasongko memiliki terumbu karang dengan tipe karang pantai (Freenging reef) dan juga karang gosong (Patch reef) yang terpisah dari pantai hingga 4 km. Tujuh lokasi terumbu karang yang tersebar di perairan teluk lasongko adalah Pasik (Terumbu karang): Bungi, Madongka, Bone Marangi, Bunta, Bunging Balano, Katembe dan Bawona.

Gambar 3.28. Kondisi Terumbu Karang Teluk Lasongko

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-61

Tujuh lokasi kelompok terumbu karang ini secara umum kondisinya adalah rusak. Hal ini disebabkan oleh adanya aktivitas nelayan tradisional yang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak. Data pada tahun 2001 menunjukkan daerah penangkapan ikan dengan bahan peledak di Kecamatan Lakudo ialah pada perairan Waara, Wanepa-Nepa, Lolibu, dan Boneoge dengan estimasi aktivitas 12 kali ledakan per hari atau 1.800 kali dalam setahun, sedangkan yang tercatat di desa-desa di kecamatan Mawasangka Timur jumlah ledakan per hari sekitar 15 kali atau 3.400 kali dalam setahun. Setiap stasiun pengamatan terumbu karang hampir mempunyai ciri yang sama dalam rataan terumbu karangnya yang ada, yaitu yang berada pada kedalaman 3 meter hingga 5 meter dan pada bagian lereng sangat landai dengan kontur rata. Karang ditemukan rata-rata pada kedalaman 5 meter sampai 8 meter dan selebihnya adalah pasir dan alga. Keberadaan alga cukup tinggi diduga disebabkan karena pergerakan arus yang pada kolom air adalah lemah. Penutupan alga yang

besar mengindikasikan terjadinya proses pemulihan

(recovery) terhadap kondisi terumbu karang yang rusak, dimana karang lunak (soft coral) dan alga lebih cepat tumbuh dan dominan dibanding karang keras (hard coral). Persentase penutupan karang hidup di Stasiun I di Karang Bungi, perairan Mawasangka Timur menunjukkan nilai yang rendah yaitu 28,1 % dimana jenis yang terbanyak adalah Pavona cactus (alga) dan Sinularia polydactyla (karang lunak). Stasiun II di Karang Madongka, memiliki karang yang cukup sehat karena lebih beragam dan keberadaan unsur abiotik seperti pasir tidak terlalu besar. Persentase penutupan karang hidup didaerah ini adalah 48,7 % dengan jenis yang terbanyak adalah jenis Acropora nasuta. Kondisi karang di stasiun III karang Bone Marangi mengarah pada kriteria yang buruk, tetapi pada saat ini masih bisa dikatakan dalam keadaan sedang, dengan mayoritas karang yang sudah hancur dengan sedimentasi yang tinggi.

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-62

Persentase penutupan karangnya sebesar 37,12 % dengan jenis yang terbanyak adalah Sinularia polydactyla. Karang di Stasiun IV,Karang Bunta adalah dalam keadaan baik dengan persentase 53,32 % tetapi sebenarnya adalah dalam keadaan tertekan karena para nelayan semakin intens untuk melakukan pengeboman ikan yang bersembunyi di balik karang. Jenis karang yang terbanyak pada stasiun ini adalah jenis Pavona cactus yang terhampar seperti jamur dengan daun-daun yang berwarna coklat. Lobophytum strictum adalah jenis yang banyak terdapat di karang Bunging Balano atau Stasiun V, dengan kondisi total karang kurang baik dan persentase penutupan karang hidup 37,9 %. Terumbu karang di Karang Katembe atau Stasiun VI adalah karang yang paling baik untuk persentase karang hidupnya yaitu 58,7 %, dengan jenis karang terbanyak dari jenis Pavona cactus dan Sinularia polydactyla. Jenis yang terbanyak pada Stasiun VII di Karang Bawona adalah sama dengan di Stasiun VI, yaitu dengan kondisi karang yang kurang baik dengan persentase penutupan 52,06 % dan banyak jenis karang yang mulai mengalami kerusakan pada setiap percabangannya.

Gambar 3.29. Jenis Pavona cactus (alga) dan Sinularia polydactyla (karang lunak)

B.2.6 Kondisi Perikanan Tangkap Potensi perikanan tangkap yang berada di Teluk Lasongko secara garis besar adalah perikanan demersal, pelagis kecil dan ikan hias karang dengan jenis- jenis ikan utama adalah Peperek Cina (Leiognathus spelendens), Peperek Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-63

Bondolan (Gazza minuta), Tengiri Batang (Scomberomorus lineatus), Layur (Trichiurus savala), dan Kembung (Restrelliger sp.). Peralatan yang digunakan oleh para nelayan di perairan Teluk Lasongko umumnya masih berupa alat yang belum modern. Nelayan Lasongko biasa menggunakan alat seperti jaring apung (drift gill net), Lift net, jaring kepiting, dan bagan apung. Potensi ikan hias laut juga melimpah di perairan Teluk Lasongko walaupun kondisi terumbu karang sangat tertekan. Ikan hias di perairan ini masih melimpah disebabkan oleh kurangnya pengetahuan nelayan sekitar tentang nilai ekonomi dari ikan hias tersebut, sehingga kurang terdapat aktivitas nelayan yang menangkap ikan hias.

Tabel 3.6. Jenis ikan yang tertangkap dengan alat jaring apung di Teluk Lasongko No

Jenis Ikan

1 2 3 4 5 6 7 8

Biji Nangka a, Upeneus molluccensis Biji Nangka b, Upeneus tragula Daun Bambu, Chorinemus tol Ekor Kuning, Caesio erythrogaster Gorara Lutjanus vitta Jambian, Lutjanus lutjanus Kakatua,Callyodon cyanognathus Kapas-Kapas,Geres filamentosus Kembung Lelaki, Rastrelliger brachysoma Kembung Perempuan, Rastrelliger neglectus Kerapu Lumpur,Epinephelus tauvina Kerondong,Gymnothorax undulatus Kucul,Sphyraena obtusata Kurisi(Kambayan),Nemipterus hexodon Kwee Ramping, Carangoides ciliarius Kwee Rombeh,Alectis indicus Layur,Trichiurus savala Lingkis,Siganus canalitulatus Parang-Parang,Chirocentrus dorab Pari Kembang, Amphotistius kuhlii Peperek Bondolan, Gazza minuta Peperek Cina,Leiognathus

9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

Jumlah Ekor per 1 kg

Hasil Tangkapan Rata-rata(kg/trip)

22 19 10 18 18 25 10 25

0.5 0.5 2 1 0.8 0.3 1 5

10

3

8 15 8 5

4 0.7 1 3

20

1

15 15 17 15 10 3 30 30

4 3 5 0.3 2 3 10 20

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-64

23 24 25 26 27 28 29 30 31

spelendens Rejum,Sillago sihama Scorpion Kodok Biasa, Histrio histrio Selar Kuning, Selaroides leptolepis Sembilang, Plotosus canius Talang Talang,Chorinemus tala Tembang, Sardinella fimbriata Tengiri Batang,Scomberomorus lineatus Therapon theraps Triger Biru,Odonos niger Total

15 17 15 10 15 20

1 0.5 2 0.5 5 1

10 20 18

7 0.3 0.2 88.6

B.2.7 Kondisi Budidaya Laut Luas wilayah perairan laut di Kecamatan Lakudo untuk kegiatan budidaya adalah 2.960 Ha. Dimana jumlah rumah tangga petani rumput laut di Kecamatan Lakudo sebanyak 307 keluarga dan di Kecamatan Mawasangka sebanyak 228 keluarga dengan luas masing-masing area untuk satu keluarga adalah 6.85 Ha. Kemudian untuk budidaya rumput laut saat ini dengan luasan areal potensi budidaya yang ada diperkirakan produksi rumput laut dapat mencapai 24.098.040 kg/panen atau 96.392.160 kg/tahun.

No 1

Desa Wajogu

2

Lolibu

3

Matawine

4 5

Wanepa-Nepa Boneoge

6

Madongka

Tabel 3.7. Jenis budidaya laut di Teluk Lasongko Luas (Ha) Komoditas atau Unit Metode Budidaya Rumput Laut 5 Ha Tali Rentang Pembesaran Kerapu 4 Unit Karamba Tancap Pembesaran Rajungan 3 Unit Karamba Tancap Rumput Laut 15 Ha Tali Rentang Pembesaran Kerapu 12 Unit Karamba Tancap Pembesaran Rajungan 4 Unit Karamba Tancap Pembesaran Kerapu 2 Unit Tambak Laut Karamba Jaring Pembesaran Kerapu 1 Unit Apung Rumput Laut 40 Ha Tali Rentang Pembesaran Kerapu 1 Unit Tambak Laut Rumput Laut 450 Ha Tali Rentang

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-65

Gambar 3.30. Rumput laut jenis Euchema Cottonii

Gambar 3.31. Metode tali rentang untuk budidaya rumput laut

Rumput laut yang dibudidayakan adalah jenis Eucheuma cottonii, dengan pembelian bibit atau biasa disebut petani satu tali bibit sepanjang 7 meter seharga Rp. 30.000,- yang biasanya menghasilkan 3 sampai 4 kg rumput laut kering dengan harga Rp. 4500,- per kg dan bisa dipanen setelah 45 hari. Selain

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-66

budidaya rumput laut, di perairan Teluk Lasongko juga banyak dijumpai karamba untuk budidaya ikan, lobster dan juga teripang. Jenis-jenis ikan kerapu yang banyak dibudidayakan terdiri dari kerapu lumpur (Ephinephelus coioides), kerapu macan (Ephinephelus fuscoguttatus), kerapu tikus (Cromileptes altivelis), dan kerapu sunu (Plectropomus spp.). Waktu yang diperlukan untuk pembesaran kerapu hingga mencapai berat ikan 9 ons adalah cukup lama, yaitu berkisar antara 6 – 8 bulan, dengan harga jual untuk Kerapu Lumpur Rp. 33.000,- per kg, Kerapu Sunu Rp. 40.000,- per kg, dan untuk Kerapu Tikus Rp. 200.000,- per kg. Bibit biasanya diperoleh dari Pulau Tiworo, daerah Muna Barat dengan harga beli bibit per ons sekitar Rp. 10.000,-.

Gambar 3.32. Karamba Jaring Apung

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-67

Gambar 3.33. Karamba jaring tancap untuk pembesaran kerapu

Gambar 3.34. Lobster jenis Mutiara yang cukup ekonomis

Gambar 3.35. Cangkang hasil molting yang ke 8 kali (kiri) dan tempat pembesaran Lobster (kanan)

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-68

Pada budidaya udang karang / Lobster, biasanya para nelayan mendapatkan bibit dari penyelam dengan berat rata – rata bibit sekitar 50 gram, dan kemudian dibesarkan selama 8 – 10 bulan hingga mencapai berat 1,1 – 2,3 kg ( molting ± 8 kali ). Jenis Lobster yang dibudidayakan ada dua yaitu: Mutiara dan Bamboo. Dua jenis Lobster ini memiliki nilai ekonomis cukup tinggi, dimana untuk Lobster Mutiara pada harga lokal saja mencapai Rp. 130.000,- hingga Rp. 150.000,- per kilonya, sedangkan untuk Lobster Bamboo agak lebih murah harganya, yaitu berkisar Rp. 70.000,- per kilonya. Pemasarannya, biasanya di ambil oleh tengkulak yang datang ke tempat petani yang mempunyai tempat pembesaran langsung.

B.3 Hasil Diskusi Kondisi fisik perairan Teluk Bone sangat dinamis karena areanya yang sangat lebih luas dibandingkan dengan Teluk Lasongko. Masing-masing kondisi fisik perairan ini akan mempengaruhi kehidupan ekosistem yang ada didalamnya. Teluk Lasongko yang cenderung mempunyai kedalaman perairan yang dangkal dan terlindung dari dinamika arus dan gelombang yang ekstrim membuatnya sangat cocok digunakan untuk berbagai kegiatan budidaya di laut. Kondisi fisik, kimiawi dan biologi perairan Teluk Bone yang lebih luas dibandingkan Teluk Lasongko, tentunya akan bisa memberikan kekayaan alam laut yang lebih melimpah, dimana daya dukung kelautan dan perikanan tersebut bisa

lebih

dimanfaatkan

oleh

masyarakat

sekitar

untuk

meningkatkan

kesejahteraannya.

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-69

BAB IV PERMASALAHAN

Tidak ada gading yang tak retak, begitu kata orang bijak, dan memang seperti itulah kenyataan yang terjadi didalam kegiatan riset ini. Permasalahan timbul baik secara teknis pengambilan dana dari Management Project maupun secara teknis pelaksanaan dalam kegiatan riset di lapangan. Permasalahan keterlambatan dana dari Management Project merupakan hal klasik yang terjadi. Hal ini adalah salah satu yang mempengaruhi keefisienan jalannya kegiatan penelitian. Permasalahan teknis yang muncul dalam pelaksanaan kegiatan riset umumnya dalam hal jadual penggunaan wahana riset, peralatan (instrumen) dan cuaca. Wahana riset yang digunakan pada survei kegiatan ini adalah Kapal Phinisi Cinta Laut, milik Lembaga Perahu Universitas Hasanuddin, Makassar. Dimana jadual riset Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Teluk Bone ini seharusnya dilakukan dari tanggal 1 – 15 Agustus 2004, tetapi karena kondisi cuaca yang ada kemudian menyebabkan kandasnya kapal tersebut pada 11 Agustus 2004. Sehingga target hasil riset yang diharapkan tidak bisa maksimal.

Gambar 4.1. Kapal Phinisi Cinta Laut sebagai Wahana dalam kegiatan riset ini

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 4-1

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil simulasi model, pengukuran in situ parameter CTD, analisa Nutrien dan Khlorofil, serta inventarisasi terumbu karang di Teluk Bone, maka didapatkan kesimpulan fenomena yang terjadi pada periode Monsun Tenggara (Bulan Agustus 2004) adalah sebagai berikut: 1. Elevasi permukaan laut pada kondisi Pasang Purnama adalah berkisar 0,0492 meter hingga 2,4140 meter. Sedangkan kecepatan arus permukaan pada kondisi yang sama berkisar 0,5x10-3 m/dt hingga 12,25x10-3 m/dt, dengan arah dominan menyusur pantai timur yang kemudian menuju ke arah Utara dan Barat. 2. Profil arus menjukkan adanya peristiwa downwelling di beberapa lokasi di pantai barat dan upwelling di beberapa lokasi di pantai timur. Dimana kisaran kecepatan arus vertikal yang menuju ke atas adalah 0,5x10-3 m/dt hingga 3,5x10-3 m/dt, sedangkan kisaran kecepatan arus vertikal yang menuju ke bawah adalah 0,5x10-3 m/dt hingga 4,6x10-3 m/dt. Kondisi arus vertikal ke atas dari hasil simulasi model dalam hal ini didukung oleh kondisi parameter CTD di Stasiun 1 yang mengindikasikan memang adanya upwelling. 3. Kondisi temperatur air di permukaan berkisar antara 27,083 ºC hingga 29,029 ºC, sedangkan kisaran temperatur hingga di kedalaman rata-rata 150 meter adalah antara 17,677 ºC hingga 18,328 ºC. Dimana kisaran salinitas di permukaan antara 33 PSU hingga 32,32 PSU, dan kisaran salinitas di kedalaman rata-rata 150 meter mencapai 34,388 PSU hingga 34,860

PSU.

Sedangkan

kisaran

densitas

dari

seluruh

stasiun

pengamatan adalah 20 kg/m3 hingga 25 kg/m3. 4. Kadar nitrat berkisar antara 0,12 ppm-0,796 ppm. Kandungan nitrat yang tinggi berasal dari laut dalam, disebabkan oleh arus vertikal yang bergerak ke atas di perairan tersebut pada beberapa kedalaman tertentu menuju ke Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 5-1

lapisan kolom air permukaan, peristiwa naiknya zat unsur hara dari dasar laut menuju ke permukaan yang menunjukkan adanya peristiwa upwelling. Kandungan nitrat yang rendah karena arus dalam yang kuat pada kedalaman tersebut menyebabkan kandungan nitrat terbawa oleh massa air yang berasal dari bagian selatan (mulut) teluk yang bergerak ke arah utara sehingga zat hara yang berada pada bagian tersebut tidak sempat mengalami pengendapan yang menyebabkan kandungan unsur hara relatif lebih rendah. Kandungan fosfat berkisar antara 0,5 ppm-1,152 ppm. Meningkatnya nilai kandungan fosfat dikarenakan adanya peristiwa naiknya zat unsur hara dari dasar laut menuju ke permukaan yang menunjukkan adanya peristiwa upwelling. Rendahnya kandungan fosfat menunjukkan bahwa penyerapan oleh fitoplankton berjalan dengan baik. 5. Tingginya nilai Khlorofil antara 1,426 mg/m3 - 1,722 mg/m3 dikarenakan adanya penyinaran matahari yang cukup sehingga mendapatkan intensitas cahaya yang di butuhkan Fitoplankton untuk dapat melakukan proses fotosintesa. Perairan Kep. Sembilan tergolong perairan yang subur sehingga masih berada di dalam kisaran rata-rata untuk pertumbuhan fitoplankton. 6. Secara umum kondisi terumbu karang di daerah penelitian Kabupaten Kolaka lebih baik dibandingkan kondisi terumbu karang di Kab. Sinjai. Hal ini terlihat dari hasil persentase rata-rata dari seluruh stasiun yang ada, tutupan karang hidup di Kab. Kolaka adalah sekitar 61 %, sedangkan di Kab. Sinjai hanya sekitar 26,15 %. Dan tutupan karang mati di Kab. Kolaka hanya sekitar 16 %, berbeda sekali dengan di Kab. Sinjai yang mempunyai 43,63 %.

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 5-2

Kondisi fisik, kimiawi dan biologi perairan Teluk Bone yang lebih luas dibandingkan Teluk Lasongko, tentunya akan bisa memberikan kekayaan alam laut yang lebih melimpah, dimana daya dukung kelautan dan perikanan tersebut bisa

lebih

dimanfaatkan

oleh

masyarakat

sekitar

untuk

meningkatkan

kesejahteraannya.

B. SARAN Adapun saran yang bisa diberikan berdasarkan pelaksanaan kegiatan riset KAJIAN DAYA DUKUNG LAHAN LAUT DI PERAIRAN TELUK BONE ini pada tahun 2004, adalah sebagai berikut: 1. Diperlukan koordinasi yang lebih baik antara pihak Management Project dengan pihak Penanggungjawab Kegiatan serta pihak Penanggungjawab Program, agar bisa saling membantu untuk kelancaran kegiatan pencairan dana dan pemenuhan laporan administratif. 2. Diperlukan koordinasi dari Penanggungjawab Kegiatan dengan pelaksana kegiatan dan juga dengan tim kegiatan riset yang lain untuk bisa mengefisienkan kegiatan riset dalam hal penggunaan alat (instrumen) atau wahana riset, serta memperhitungkan kondisi cuaca/monsun yang ada. 3. Diperlukan suatu kebijakan dari para pimpinan kantor untuk mengadakan asuransi bagi para peneliti yang kerja di laut, dan juga asuransi bagi peralatan (instrumen) untuk berjaga-jaga dari sesuatu musibah yang tidak diinginkan, karena melakukan suatu pekerjaan di laut adalah beresiko tinggi.

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 5-3

DAFTAR PUSTAKA 1. Basmi, J., 1995. Ekologi Plankton. Fakultas Perikanan IPB. 2. Barnes, R. S. K., and R. N. Hughes., 1999. An Introduction to Marine Ecology Third Edition. University Press, Cambridge. 3. Black, K.P., 2002. Model 3DD Descriptions and User’s Guide. ASR Ltd. Hamilton – New Zealand. 4. Christensen, V., and D. Pauly. 1992. ECOPATH II – A software for balancing steady-stae models and calculating network characteristics. Ecol. Model. (61): 169-185 5. Clarke, A.L. 2002. Assessing the Carrying Capacity of the Florida Keys. Population and Environment. (23): 405 – 418 6. Dhont, A. 1988. Carrying Capacity: A confusing concept. Acta Oecologia (9): 337 – 346 7. English, S., C. Wilkinson, and V. Baker, 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Austyralian Institute of Marine Science. Townsville. 8. Hatayama, T., Awaji, T., Akimoto, K., 1996. Tidal Currents in the Indonesian Seas and Their Effect on Transport and Mixing. Journal of Geophysical Research, 101, No. C5, American Geophysical Union, 12353-12373 9. Kurniawati, N., 2003. Kajian Massa Air dan Dinamika Arus di Selat Sunda. Tesis Magister, Bidang Khusus Oseanografi, Program Studi Oseanografi dan Sains Atmosfer, Program Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung, Bandung. 10. Mackentum, 1969. The Practise of Water Polution Biology. United Store Departement of Tehnical Support. 11. Marshall, S. and M. Elliot. 1998. Environmental influences on the fish assemblages of the Humber estuary, UK. Estuarine, Coastal and Shelf Science. (46): 175-184. 12. Matsumoto, K., 1996. ORI Description dalam A Collection of Global Ocean Tide Models CD ROM. Jet Propulsion Laboratory, Physical Oceanography Distributed Active Archieve Center, NASA, US. 13. Nybakken, J. W., (1998), Marine Biology: An Ecological Approach. The 3rd edition. Harper Collins College Publisher, New York. 14. Parsons, T.R., Takahashi, M., Hargrave, B., 1984. Biological Oceanographic Processes. Third Edition. Pergamon Press, 26. 15. Pauly, D., and V. Christensen. 1995. Primary Production required to sustain global fisheries. Nature (374): 255-257 16. Pawlowicz, R., Beardsley, B., Lentz, S., 2002. Classical Tidal Harmonic Analysis Including Error Estimates in MATLAB using T_TIDE. Computer and Geosciences, 28, p. 929-937. 17. Pond, S., G. L. Pickard., (1995), “Introductory Dynamical Oceanography”, 2nd Edition, Butterworth-Heinemann, Oxford. 18. Pugh, D.T., 1987. Tides, Surges, and Mean Sea-Level: A Handbook for Engineers and Scientists. John Wiley & Sons Ltd, Great Britain.

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - DP-1

19. Rivera, P.C., 1997. Hydrodynamics, Sediment Transport, and Light Extinction Off Cape Bolinao, Philippines. Dissertation, the Wageningen Agricultural University and the International Institut for Infrastructural, Hydraulic and Environmental Engineering, A.A. Balkema Publishers, Rotterdam. 20. Suari, 1999. Hubungan Antara Produktivitas Primer dengan Kandungan Zat Hara (Fosfat, Nitrat dan Silikat) di Perairan Teluk Bone Bulan Februari 1995. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. 21. Wyrtki, K., 1961. Physical Oceanography of the Southeast Asian Waters. Naga Report Vol. 2. Scripps Institution of Oceanography, La Jolla, California.

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - DP-2

Related Documents