Kajian Bagi Pemula
Berkenalan Dengan Salaf
Penulis: Syaikh Muhammad bin Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali Judul Asli : Adwa’un ‘Ala Kutubis Salafi Fil Aqidah Penerjemah : Abu Usamah Ibnu Rawiyah An Nawawi Penerbit : PUSTAKA SUMAYYAH Di Ubah Ke Dalam E-Book Format CHM Oleh : Ahmad Al Makassary Di Download Di www.ashthy.wordpress.com (http://ashthy.wordpress.com/2007/08/23/berkenalan-dengan-salaf/) Di Ubah Ke Dalam E-Book Format PDF Oleh : Abu Isa As-Singkepy
DAFTAR ISI : KATA PENGANTAR PENERBIT KATA PENGANTAR PENERJEMAH PENDAHULUAN MAKNA SALAF BATASAN ZAMAN SALAFIYAH DAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH KEUTAMAAN ILMU SALAF DAN KITAB-KITAB MEREKA KITAB-KITAB SALAF DALAM MASALAH AQIDAH
KATA PENGANTAR PENERBIT
Segala puji hanya bagi Allah subhanahu wa ta’ala, Rabb yang menguasai alam semesta. Kami memujinya, memohon pertolongan dan meminta ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejelekan diri-diri kami dan dari keburukan amalan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada seorangpun yang dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan oleh-Nya, maka tidak ada seorangpun yang dapat memberinya petunjuk. Kami bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah subhanahu wa ta’ala, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan hanya kepada-Nya kami berserah diri. Dan kami juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenarbenar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Ali Imran: 102)
“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (paliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (An Nisa’: 1)
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu
dan
mengampuni
bagimu
dosa-dosamu.
Dan
barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al Ahzab: 70-71) Amma ba’du. Sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam. Dan sejelek-jelek perbuatan adalah perbuatan yang diada-adakan, setiapa yang diada-adakan adalah bid’ah, setiap bid’ah itu kesesatan, dan setiap kesesatan tempatnya di dalam neraka. Kata salaf sering kita dengar. Apa itu salaf? Dan mengapa kita harus bermanhaj salaf? Manhaj salaf, bila ditinjau dari sisi kalimat merupakan gabungan dari dua kata yaitu: manhaj (manhajun) dan salaf (assalafu). Manhaj dalam bahasa arab sama dengan minhaj (minhaajun) yang bermakna: “Sebuah jalan yang terang lagi mudah” (Tafsir Ibnu Katsir 2/63, Al Mu’jamul Wasith 2/957). Sedangkan salaf, menurut etimologi bahasa arab bermakna: “Siapa saja yang mendahuluimu dari nenek moyang dan kari kerabat, yang mereka itu di atasmu dalam hal usia dan keutamaan.” (Lihat Lisanul Arab, karya Ibnu Mandhur 7/234). Dan dalam terminologi syari’at maknanya adalah: “Para imam terdahulu yang hidup pada tiga abad pertama Islam, dari kalangan para
sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, tabi’in (murid-murid sahabat), dan tabi’ut tabi’in (murid-murid tabi’in).” (Lihat Manhajul Imam asy Syafi’i fi Itsbatil ‘Aqidah, karya Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqil, 1/55). Berdasarkan definisi diatas, maka manhaj salaf (manhajus salafi) adalah suatu istilah untuk sebuah jalan yang terang lagi mudah, yang telah ditempuh oleh para shahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, tabi’in dan tabi’ut tabi’in di dalam memahami dienul Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Seorang yang mengikuti manhaj salaf ini disebut Salafi atau As Salafi, jamaknya Salafiyyun atau As Salafiyyun. Al Imam Adz Dzahabi rahimahullah berkata: “As Salafi adalah sebutan bagi siapa saja yang berada di atas manhaj salaf.” (Lihat Siyar A’lamin Nubala 6/21). Adapun dalil dari Al qur’an dan As Sunnah agar kita mengikuti manhaj salaf dalam melaksanakan agama ini adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, Kami biarkan dia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan dia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’: 115)
Al Imam Ibnu Abi Jamrah Al Andalusi rahimahullah berkata: “Sesungguhnya yang dimaksud orang-orang mukmin disini adalah para shahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan generasi pertama umat ini.” (Lihat Al Mirqat fi Nahjissalaf Sabilun Najah hal. 36-37). Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya barangsiapa diantara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham.” (Shahih, HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah, dan lainnya dari shahabat Al ‘Irbadh bin Sariyah. Lihat Irwa’ul Ghalil, hadits no. 2455). Dan perkataan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kepada puterinya Fathimah, ketika beliau sakit keras menjelang wafat: “Bertaqwalah engkau kepada Allah dan bersabarlah. Sesungguhnya sebaik-baik salafmu (pendahulumu) adalah aku.” (HR. Al Bukhari dalam Al Maghazi, Bab: Sakitnya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan wafatnya (5/137) dan Muslim dalam: Keutamaan Shahabat, Bab: Keutamaan Fathimah binti Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, hadits no. 2450).
Semua penjelasan di atas diambil dari majalah Syari’ah Vol. 1/ No. 04/ Juli 2003/ Jumadil Ula 1424 H dan buku Sirah Shahabiyah penerbit Maktabah Salafy Press Cet. Kedua, Rabiul Awwal 1427 H/ April 2006 M.
Pekalongan, Rajab 1427 H/ Agustus 2006 M Penerbit Pustaka Sumayyah
KATA PENGANTAR PENERJEMAH
Alhamdulillah,
saya
bersyukur
kepada
Allah
atas
selesainya
penerjemahan buku ini. Saya tidak mempunyai maksud tertentu melainkan hanya mencari ridha Allah subhanahu wa ta’ala. Saya mempunyai segenap keinginan untuk menyebarluaskan buku ini agar bermanfaat kepada segenap kaum muslimin baik dari kalangan awam dan alim mereka, berpengkat ataupun tidak dan yang miskin ataupun yang kaya. Tujuan diterjemahkan buku ini untuk membongkar kedok-kedok hizbiyyun yang selama ini mereka sembunyikan, baik di tengah kaum muslimin ataupun ditengah pengikut mereka. Dan juga ingin menjelaskan kebenaran jalan yang telah ditempuh oleh Ahlussunnah wal Jama’ah dengan maksud agar mereka yang mengikutinya mendapatkan istiqomah dari Allah dan agar terpanggil (dan mendapat hidayah) orang-orang yang tadinya memandang Ahlussunnah dengan sebelah mata. Kepada Allahlah kita mengadukan nasib kita dan nasib kaum muslimin. Dan kepada-Nya kita minta petunjuk agar kita terbebaskan dari penjajah kabid’ahan dan kesyirikan serta dari para pelakunya. Allah A’lam Bish Shawwab.
Abu Usamah Ibnu Rawiyah An Nawawi
PENDAHULUAN
Sesungguhnya segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, meminta pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada seorangpun yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada seorang pun yang dapat memberinya petunjuk. Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi pula bahwa Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Ali Imran: 102) “Wahai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (An Nisa’: 1)
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki amalanamalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al Ahzab: 70-71) Amma ba’du. Tidak diragukan lagi bahwa pokok Islam dan kaidahnya adalah mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala. Ini merupakan keyakinan dasar, yang mencakup di dalamnya mentauhidkan Allah dalam masalah Rububiyah, Uluhiyah, Asma’ dan Shifat serta perbuatan-perbuatan-Nya. Kalaulah mentauhidkan-Nya, beribadah kepada-Nya semata dan tidak menyekutukan-Nya, merupakan amal yang paling dicintai dan paling besar nilainya, maka amal yang paling besar dosa dan kejahatannya adalah melakukan perbuatan yang menyelisihi tauhid, yaitu menyekutukan Allah, menentang nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Hanya milik Allah Asma’ul Husna, maka mohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma’ul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Al A’raf: 180) Untuk menambah penjelasan akan pentingnya tauhid, disini saya akan menukilkan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Beliau rahimahullah berkata: “Mentauhidkan Allah merupakan pondasi agama ini. Allah tidak akan menerima agama lain karena permasalahan tauhid ini, baik dari orang-orang yang terdahulu maupun yang kemudian. Dengan tauhid ini pula, Allah mengutus para Rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya. Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu: “Adakah Kami telah menentukan Tuhan-tuhan yang disembah selain Allah yang Maha Pemurah?” (Az Zukhruf: 45) Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Tidaklah kami mengutus seorang rasul pun sebelummu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada sesembahan )yang hak) kecuali Aku, maka sembahlah Aku!” (Al anbiya’: 25) Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus seorang rasul kepada tiaptiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah taghut itu, maka diantara umat itu, ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.” (An Nahl: 36) Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan bahwa setiap Rasul memulai dakwahnya dengan menyerukan kepada kaumnya (agar mengatakan):
“Sembahlah oleh kalian allah, tidak ada sesembahan bagi kalian selain Dia.” (Al A’raf: 59) Selesai ucapan Ibnu Taimiyyah rahimahullah.[1] Wahai saudara-saudaraku yang bertauhid; Sekalipun pembicaraan tentang dasar yang agung ini sering diulang, namun tidak akan terjadi pengulangan yang membosankan karena beberapa sebab: Pertama: Seluruh (isi) Al qur’an berporos di atas dasar yang besar ini (tauhid). Sebagian besar ayat-ayat Al Qur’an mengulang-ulang, memulai dan memuji dengannya (tauhid). Kedua: Muncul seruan-seruan dakwah yang berusaha untuk mengaburkan permasalahan
tauhid
ini
dan
memalingkannya
kepada
permasalahan-
permasalahan yang lain. Digunakan uslub-uslub (cara-cara) yang penuh kebathilan dan ‘bunglon’ di bawah syiar-syiar yang memikat serta menggiring para pemuda agar menjauhi dari dasar-dasar agama mereka. Padahal agama bertujuan memerangi segala bentuk maksiat dan dosa dan memperbaiki dan membersihkan pelakunya dari perbuatan-perbuatan bid’ah, khurafat dan kesyirikan-kesyirikan.
Ketiga: Dikarenakan mayoritas kaum muslimin sangat membutuhkan dakwah yang akan mengetuk gendang pendengaran mereka, yaitu dakwah untuk mewujudkan tauhidullah (mentauhidkan Allah) dengan macamnya yang tiga (Rububiyah, Uluhiyah dan Asma’ dan Shifat-Nya). Lebih-lebih di luar negeri ini (Saudi Arabia), karena alhamdulillah negeri ini telah disinari dengan sinar tauhid. Kami telah merasakan bagaimana rindunya kaum muslimin untuk mengetahui kaidah-kaidah tauhid serta sisi lainnya dalam masalah aqidah. Ini dikarenakan kebanyakan yang dilakukan oleh kaum muslimin telah menyelisihi Al qur’an dan as Sunnah, khususnya dalam masalah I’tiqad (keyakinan). Kita bisa melihat betapa banyak dari manusia ini yang telah meninggal setiap tahun. Mereka barjumpa dengan Rabb mereka dalam keadaan mereka jahil (tidak mengetahui) dasar agama dan keyakinannya berlumuran dengan kesyirikan, khurafat serta keyakinan-keyakinan meyimpang yang bertentangan dengan yang telah dibawa oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Saya menyerukan kepada siapa saja yang ragu terhadap tulisan ini atau dia menyangka berlebih-lebihan, silahkan masuk ke tempat-tempat kuburan di kota-kota atau di desa-desa negeri kaum muslimin, niscaya dia akan menyaksikan bagaimana masalah aqidah tauhid telah ‘disembelih’ dihadapan bangunan-bangunan, tempat-tempat rekreasi dan kuburan-kuburan tersebut.
Penyimpangan ini bukan hanya terjadi di tengah-tengah kaum muslimin yang jahil, bahkan terjadi pada kebanyakan cendekiawan dan orang-orang yang menyandarkan dirinya kepada ilmu. Terlebih, mereka yang terjebak dalam kedustaan tasawuf. Betapa banyak semua ini terjadi di negeri kaum muslimin, bahkan merekalah yang mayoritas (terjatuh di dalamnya). Lebih aneh lagi, bahwa pemerintah-pemerintah ‘ilmaniyah (sistem pemerintahan yang memisahkan agama dari urusan negara/sekuler) yang bercokol di negeri-negeri kaum muslimin, berusaha memerangi pelaksanaan hukum-hukum syari’at Islamiyah dan menghilangkan segala yang berbau Islam. Bahkan dalam waktu yang bersamaan, pemerintah sekuler tersebut memberi angin segar agar khurafat dan tasawuf semakin besar, serta memberi fasilitas bagi para penyembah kubur dan penyembah orang-orang yang telah mati. Sistem inilah yang telah dipakai oleh kaum penjajah dan inilah bentuk faham penjajahan (yang baru). Karena para penjajah telah mengetahui melalui berbagai pengalaman bahwa tidak ada yang paling berbahaya terhadap mereka yang sesat dan kotor, selain hukum Islam. Oleh karena itu jelaslah bagi kita, kenyataan bahwa kaum muslimin telah meremehkan kaidah yang besar ini yaitu tauhid Uluhiyah serta menghancurkan kaidah tauhid tersebut di bawah syiar pengagungan terhadap para wali dan orang shalih secara melampaui batas.
Maka pintu inilah kebanyakan kaum muslimin tergelincir masuk kubangan syirik besar, seperti berdo’a kepada orang shalih, dan beristighotsah (meminta bantuan) kepada mereka. Ketika ada marabahaya, kaum muslimin mencari jalan keluarnya dengan mendatangi (kuburan) mereka dan melupakan sesembahan yang satu, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala yang telah berfirman: “Maka janganlah kalian menyeru (berdo’a) kepada seseorang pun bersama Allah.” (Al Jin: 18) Dan Dialah yang telah berfirman: “Barangsiapa yang menyembah Tuhan yang lain di samping allah, padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang kafir tidak akan beruntung.” (Al Mu’minun: 117) Wahai saudara-saudara yang kucintai; Adapun bentuk meremehkan sisi yang kedua yang dilakukan oleh kebanyakan umat Islam yaitu sisi tauhid Asma’ wa Shifat. Ini adalah perkara besar lagi berbahaya dan keliru karena merupakan perkara yang agung. Karena Allah menamakan penyimpangan di dalamnya dengan nama ilhad. Ulama salaf telah menghukumi secara umum dengan kufur –bukan secara khusus- bagi orang yang menentangnya! Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Hanya milik allah Asma’ul Husna, maka mohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma’ul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran (dalam) menyebutkan nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang mereka telah kerjakan.” (Al A’raf: 180) Diantara alasan kenapa sisi ini –tauhid Asma’ was Shifat- sangat diperhatikan,
karena
lembaga-lembaga
pendidikan,
seperti
madrasah-
madrasah kaum muslimin di segala penjuru kecuali negeri ini (Saudi Arabia) dan beberapa madrasah-madrasah salafiyah di luar negeri ini, saya katakan, mayoritas madrasah-madrasah tersebut berdiri di atas aqidah yang terkenal dengan aqidah Asy’ariyah. Dan saya tambahkan, bahkan sebagian madrasah-madrasah kaum muslimin tersebut bersandar kepada aqidah Mu’tazilah, dalam keadaan kebanyakan orang menyangka bahwa aqidah Mu’tazilah tidak ada wujudnya lagi kecuali telah menjadi puing-puing di dalam kitab-kitab terdahulu. Saya informasikan, bahwa saya telah melihat sebuah kitab yang muncul baru-baru ini di negeri Saudi Arabia, karya seorang alim di sebuah pusat agama yang terpandang dan masyhur, dan buku tersebut telah direvisi oleh pengarangnya. Di dalam kitab tersebut, pengarangnya menganjurkan agar ketika berdakwah kepada kaum muslimin dengan berpegang kepada aqidah Mu’tazilah dalam masalah: Al qur’an adalah mahluk, mengingkari bahwa Allah
bisa dilihat pada Hari Kiamat, dan kekalnya pelaku dosa besar. Kitab tersebut berjudul Al Haqqu Ad Damiq. Masalah ini adalah masalah yang sangat berbahaya dari aqidah Mu’tazilah.
Melihat
kitab
seperti
ini, yang
telah
muncul
dari
negeri
pengarangnya serta melihat kedudukannya dalam agama dan kemasyhuran namanya, dikhawatirkan akan mempengaruhi anak-anak kaum muslimin, jika para ulama tidak tampil untuk membantah dan menjelaskan kesalahankesalahannya dengan hujjah dari Al Qur’an dan As Sunnah. Dengan cara seperti inilah dia menyebarkan dan menghidupkan pemikiran-pemikiran Jahm bin Shafwan, Bisyir Al Marisi, dan Ahmad bin Abi Du’ad, yang telah Allah padamkan, akan tetapi bagi setiap kaum (kelompok) ada pewarisnya. Aqidah yang menyeleweng ini bila kita biarkan, maka tidak ada jalan yang lebih utama daripada menghidupkan atsar-atsar (jejak-jejak) salafus shalih. Dan inilah yang akan menjadi pokok pembahasan (dalam buku ini).
MAKNA SALAF
Kata Salaf sering diucapkan. Maksudnya adalah generasi pertama dari kalangan sahabat dan tabi’in (generasi pasca sahabat) yang berada di atas fitrah (dien) yang selamat dan bersih dengan wahyu Allah. Mereka menyandarkan aqidah kepada Alqur’an dan As sunnah yang suci. Pemikiran mereka belum ternodai dengan pemahaman-pemahaman filsafat asing. Mereka telah berlalu sebelum pengaruh filsafat-filsafat tersebut merusak kaum muslimin. Untuk mengetahui batasan Salaf, maka kita harus mengetahui batasan zaman dan manhaj mereka.
BATASAN ZAMAN
Adapun batasan zaman mereka adalah tiga generasi yang pertama yang telah dipersaksikan oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wassallam. Untuk keutamaan mereka Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, "Sebaik-baiknya kalian adalah generasiku (Sahabat) kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’in) kemudian orang-orang setelah mereka (tabi’ut tabi’in)"[2] Demikian itu dikarenakan segala kebaikan yang ada pada diri mereka, dan di masa mereka kelompok-kelompok sesat belum menampakkan permusuhan dan belum menguasai kaum muslimin sebagaimana yang terjadi sesudah mereka tiada. Berarti yang dimaksud Salaf menurut tinjauan sejarah adalah para sahabat Nabi, kemudian tabi’in, kemudian orang-orang yang mengikuti mereka secara kebaikan. Foot Note: [2]. Shahih Al-Bukhari, kitab: Asy-Syahadah dari sahabat Imran bin Husain radhiyallahu’anhu
BATASAN MANHAJI
Adapun batasan manhaji adalah orang-orang yang konsisten memegang prinsip-prinsip Alqur’an dan Assunnah, mengutamakan prinsip tersebut di atas prinsip-prinsip akal manusia dan mengembalikan semua permasalahan yang diperselisihkan kepada keduanya, berdasarkan firman Allah Subhanahu WaTa’ala, "Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Alqur’an) dan Rasulullah (Assunnah) jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya"(An Nisa:59) Inilah keistimewaan yang dimiliki oleh mereka (Ahlus Sunnah). Karena kelompok-kelompok yang menyelisihi mereka dengan berbagai macam bentuknya adalah tidak konsisten di atas manhaj (jalan) ini. Kelompok yang lain menolak sebagian hadits-hadits, walaupun hadits tersebut shahih dan mentakwilkan ayat-ayat yang sudah jelas dengan menyangka bahwa semuanya bertentangan dengan akal sebagaimana terjadi pada ayat-ayat dan haditshadits yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah. Sebab tidak ada yang menetapkan secara dhahiriyah dan menafikan tasybih (penyerupaan kepada makhluknya) kecuali ulama Salaf dan orang-orang yang mengikuti mereka. "Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) di antara orangorang Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
bawahnya mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar"(At-Taubah:100) Orang-orang yang telah dijelaskan dalam ayat tersebut dengan sifat-sifatnya adalah Salafush Shalih. Adapun orang-orang (generasi) setelahnya dan menempuh jalan yang ditempuh mereka maka dinisbahkan kepada mereka dengan huruf "ya", nisbahnya menjadi Salafi. Adapun orang- orang yang datang setelahnya dan tidak mengikuti jalan mereka, mereka adalah khalaf dan mereka bangga dengan keadaan yang demikian itu. Mereka memisahkan jalan mereka sendiri dari jalan Salaf, khususnya dalam hal menetapkan Sifat-sifat Allah. Bukti kongkrit yang demikian itu ada dalam makalah-makalah mereka yang menyatakan jalan Salaf adalah selamat dan jalan khalaf adalah a’alam (lebih berilmu) dan ahkam (lebih lurus). Makalah ini dan kebatilannya sangat mahsyur (terkenal). Dan juga dibawakannya makalah ini sebagai bukti pengakuan orangorag khalaf bahwa mereka bukan di atas jalan Salaf, dan bahwasanya jalannya Khalaf lebih banyak ilmu dan lebih lurus. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah membatalkan ungkapan ini dan menetapkan bahwa jalan Salaf adalah menghimpun segala sifat-sifat yang baik. Maka dari itu JALAN MEREKA adalah ASLAM (SELAMAT), ‘ALAM (ILMIYAH), DAN AHKAM (LURUS).[3] Foot Note: [3]. Lihat kitab Al Fatawa Al Hamawiyah Al Kubra. SALAFIYAH DAN AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
Diantara para da’i, ada yang selalu mengelak untuk memakai istilah salafiyah dan mereka hanya terfokus dengan istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, padahal mereka mengaku beraqidah salaf. Mereka hanya memperkenalkan sifat dakwahnya dengan sebutan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka menyatakannya berkali-kali dalam muhadharahmuhadharah (ceramah-ceramah) dan majelis ilmu mereka. Demikianlah, tatkala mereka tidak mau memakai istilah salafiyah, maka ini termasuk dari bukti keagungan dan kemuliaan Allah, agar dakwah yang haq (benar) berbeda dengan segala yang mengotorinya dan agar tersating dari segala kerancuan dan noda-noda. Adapun penjelasannya mengapa istilah Ahlus sunnah wal Jama’ah mulai berkembang (dan muncul) adalah ketika fitnah-fitnah pada saat itu mulai berbenih bid’ah-bid’ah. Untuk itu, jama’ah kaum muslimin yang berpegang dengan sunnah terbedakan dengan yang lainnya. Sehingga mereka dikatakan Ahlus Sunnah, sedang lawannya disebut Ahlul Bid’ah. Yang berpegang dengan sennah disebut juga dengan Al Jama’ah. Istilah ini merupakan asal nama mereka, yang terpisah dari hawa nafsu dan kebid’ahan. Adapun pada masa kini, setiap kelompok dan aliran yang berbeda-beda memakai istilah ahlus Sunnah wal Jama’ah. Anda menyaksikan banyak
kelompok yang menamakan diri –meski aturan-aturan yang mereka pakai berasal dari mereka sendiri- dengan istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sampai-sampai sejumlah tarekat sufi memakai istilah ini begitu juga Asy’ariyah, Maturidiyah, Barlawiyah dan yang semisalnya mengaku (dan mengatakan): “Kami adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” Bersamaan dengan itu mereka takut kalau memakai dan mensifati dakwah mereka dengan istilah salafiyah. Mereka berusaha menjauh dari manhaj salaf, sekalipun hanya sebatas nisbah (menyandarkan) apalagi mewujudkan manhaj salaf (dalam amal perbuatan). Oleh karena itu, syiar ahlus Sunnah adalah mengikuti salafus shalih dan meninggalkan segala macam kebid’ahan dan perkara-perkara yang baru (dalam agama).[4] Barangsiapa yang mengingkari, bahkan melecehkan salaf dan tidak mau mengikutinya, maka harus dibantah dan diluruskan ucapannya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak ada kehinaan bagi siapa saja yang memperjuangkan mazhab salaf, menisbatkan diri kepadanya, bahkan wajib menerima yang demikian itu berdasar kesepakatan (para ulama), karena sesungguhnya mazhab salaf adalah pasti benar.”[5] Saya bertanya-tanya, mengapa sebagian saudara kita terus memakai istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan mereka enggan untuk memakai istilah salafiyah.
Kita yakin bahwa mereka berada di atas aqidah salaf. Mereka menimba kebersihan aqidah tersebut, bahkan mereka tumbuh dan berkembang di tengah-tengah keluarga dan berbagai tingkat pendidikan tersebut. Saya katakan, mengapa mereka tidak mencukupkan saja dengan memakai kata muslimin, kalau seandainya mereka takut atau khawatir akan mengantarkan kepada perpecahan, menurut pendapat mereka?! Apabila mereka membolehkan menisbatkan diri dengan nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka tidak ada larangan jika memakai nama salafiyah sebagai nisbat kepada salafus shalih, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Akan tetapi saya katakan: “Tidak tersembunyi lagi, mengapa mereka terus menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena mereka ingin menampakkan toleransi dan kelemahlembutannya kepada para penyelisih manhaj salaf serta jalannya. Hal ini bertujuan agar luas ruang lingkupnya, bersemangat untuk mewujudkan kuantitas bukan kualitas, dan mengikuti jama’ah sebelumnya hanya sebagai uji coba.” Saya telah mendengar sebagian orang yang menisbatkan dirinya kepada dakwah dan kebaikan, bahwa mereka ingin menghilangkan lambang-lambang dan penamaan-penamaan ini secara menyeluruh. Dan mereka masukkan juga di dalamnya nama salafiyah dengan dalil bahwa semua nama-nama dan
lambang-lambang ini akan menjurus kepada perpecahan dan kelompokkelompok. Keinginan dan tujuan ini di dalamnya mengandung sisi kebenaran dan kebathilan. Kita sepakat atas penghapusan setiap syiar-syiar yang diadaadakan dan mengandung kebid’ahan. Bahkan kebanyakan syiar-syiar tersebut tidak diketahui kecuali baru-baru saja, sekitar lima puluh tahunan belakangan ini dan sebagiannya bahkan tidak sampai umurnya tercatat oleh zaman (karena setelah itu hilang). Akan tetapi syiar salafiyah dan ahlus Sunnah bukan kelompok hizbiyah (kelompok yang menyelisihi sunnah) dan tidak pula bergabung dengan kelompok apapun. Salafiyah atau Ahlus Sunnah merupakan warisan pendahulu generasi pertama agama Islam ini. Syiar salafiyah merupakan jalan yang paling dasar untuk memahami Islam. Tidak boleh disamakan dengan syiar-syiar yang muncul di zaman belakangan ini. Mayoritas ulama yang menulis dalam masalah aqidah menetapkan nama ini, diantaranya: 1. Al Hafidz Ismail at Taimi Al asbahani, beliau adalah ulama abad kelima. Beliau mengulang-ulang penyebutan madzhab salaf (dalam kitabnya) sampai tidak terhitung. 2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Ketika beliau melihat sebagian orang yang
menyelisihi aqidah yang lurus, seperti Asy’ariyah yang menamakan diri
dengan nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka beliau mempergunakan nama as salaf untuk membedakan dengan kelompok bid’ah tersebut. Sebab, bagaimanapun juga kelompok Ahlul Bid’ah tidak mau menamakan diri dengan nama salafiyah. Saya telah menelaah kitab Al Fatawa Al Hamawiyah dan saya menemukan pengulangan kata as salaf lebih dari tiga puluh tiga kali. Apakah (dengan itu) Syaikhul Islam (di anggap) sebagai pemecah belah umat ataukah orang yang pendek akalnya? Lebih aneh lagi, sebagian penuntut ilmu yang juga memuliakan Syaikhul Islam dan manhajnya, bahkan mereka banyak bersandar dengan kitab-kitab beliau, lebih mengutamakan maslahah dengan cara meninggalkan penamaan salafiyah dan mencukupkan diri dengan istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Karena hal ini termasuk syiar yang luas cakupannya dan ini tidak diingkari oleh seorang pun di kalangan kaum muslimin pada saat sekarang. Manhaj salaf bukanlah hasil karya orang-orang zaman sekarang, akan tetapi manhaj salaf, Ahlus Sunnah, Ahlul Hadits, atau Ahlul Atsar terdapat di dalam wahyu yang diturunkan (Al Qur’an dan As Sunnah) dengan penafsiran dan pengamalan generasi yang pertama lagi utama, yaitu generasi shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Termasuk salah satu perbuatan yang menyimpang dan salah satu bentuk kedzaliman adalah menyamakan manhaj salafi dengan syiar-syiar baru dan bid’ah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan Allah telah meninggikan langit-langit dan meletakkan neraca (keadilan) supaya kalian jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan (penuh) keadilan dan janganlah kalian mengurangi neraca itu.” (Ar Rahman: 7-9) Termasuk kekeliruan yang fatal dan pendeknya akal (seseorang), apabila manhaj salaf dimasukkan dalam ruang lingkup syiar hizbiyun dan kebid’ahan. Siapa saja yang mengucapkan ucapan ini, hendaklah dia bertaqwa kepada Allah, menginstrospeksi diri, dan membersihkan dirinya dari hawa nafsu. Cukuplah untuk membentah ucapan tersebut kita lontarkan kepadanya pertanyaan-pertanyaan berikut ini: 1. Beritahukanlah kepada kami, siapakah yang mendirikan manhaj salaf ini? 2. Kapan manhaj salaf didirikan? 3. Apakah anda berani mengatakan bahwa manhaj salaf adalah sebuah manhaj yang mengandung di dalamnya kesalahan-kesalahan, sebagaimana keadaannya manhaj bid’ah? Bertaqwalah wahai muslim; Janganlah engkau terpengaruh untuk menentang dan sombong dihadapan al-haq (kebenaran) serta menolaknya dan engkau memalsukan hakikat-hakikat yang kokoh. Ketahuilah bahwa manhaj salaf tidak didirikan oleh si Fulan sepenjang zaman. Akan tetapi, manhaj salaf adalah aqidah yang
murni, syari’at yang kokoh, pengajaran-pengajaran Ilahiyah yang telah diwahyukan oleh Allah kepada Rasul-Nya Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam. Manhaj ini telah dipraktekkan oleh beliau bersama para sahabat beliau dan diikuti oleh orang-orang yang mengikutinya dalam kebaikan sehingga menjadi hujjah yang terang dan jalan yang jelas, yang malamnya seperti siangnya. Tidak ada seorangpun yang menyeleweng darinya kecuali binasa. Tidak ada seorangpun yang membencinya kecuali akan menjadi hina, sebagaimana yang telah diancamkan oleh Allah di dalam Al Qur’an dengan firman-Nya: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburukburuk tempat kembali.” (An Nisa’: 115) Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian agar bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat sekalipun (yang memimpin kalian) adalah seorang budak Habasyi. Maka barangsiapa yang hidup dari kalian (di masa) itu dia akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ Ar Rasyidin yang telah mendapatkan petunjuk setelahku. Berpegang teguhlah dengannya
dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang baru (dalam masalah agama), karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” Dalam riwayat
lain
ada
tambahan:
“Dan
setiap
kesesatan
tempatnya
dineraka.”[6] Syaikh Al Allamah Bakar Abu Zaid berkata di dalam mtab beliau: Hukmul Intima’ hal. 30 dan halaman berikutnya: “Kaum muslimin dari kalangan para shahabat sebelum munculnya benihbenih perselisihan dan perpecahan tidak memiliki nama untuk membedakan mereka. Kemudian setelah itu muncul kelompok-kelompok sesat yang dihimpun dalam lafadz ahlul ahwa –dinamakan demikian karena mereka dikuasai oleh hawa nafsu- dan dihimpun dalam lafadz ahlul bida’ –hal ini dikarenakan mereka mengikuti apa yang bukan dari agama- serta tercakup dalam lafadz ahlu syubhat –karena mereka menyamarkan perkara kebenaran dengan kebathilan-. Ketika munculnya kelompok-kelompok tersebut, yang menisbatkan dirinya kepada Islam tetapi sebenarnya terpisah dari tulang punggung kaum muslimin, maka muncullah penamaan untuk mereka (para sahabat dan para pengikutnya) yang syar’i dengan nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Penamaan ini beasal dari syari’at (Allah subhanahu wa ta’ala), begitu pula dengan nama Al Jama’ah, Jama’atul Muslimin, Al Firqatun Najiyah (kelompok yang selamat), dan Ath Thaifah Al Manshurah (golongan yang ditolong).
Dinamakan seperti ini, dikarenakan mereka konsisten berpegang dengan sunnah dihadapan Ahlul Bid’ah. Oleh sebab itulah maka terjadi ikatan dengan generasi pertama umat ini sehingga mereka disebut juga: as salaf, Ahlul Hadits, Ahlul Atsar (kelompok yang mengikuti atsar) dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Nama-nama yang mulia ini telah menyelisihi (dan membedakan diri) dengan nama kelompok-kelompok sempalan apapun juga. Ini dapat dilihat dari beberapa sisi: Pertama: Penyandaran ini tidak terpisah sesaat pun dari umat Islam, dikarenakan pembentukannya di atas manhaj Nabawi. Nama ini mencakup seluruh kaum muslimin yang berada di atas jalan generasi yang pertama dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam pengambilan ilmu, memahaminya dan berdakwah kepadanya. Tidak terbatas dengan peredaran sejarah tertentu, akan tetapi wajib dipahami bahwa perjalanannya terus berlangsung sepanjang kehidupan dan selama Firqatun Najiyah yang berada dalam barisan Ahlul Hadits dan sunnah. Merekalah pemilik manhaj ini, dan terus ada sampai datangnya hari kiamat. Sebagaimana hal ii terdapat di dalam sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam: “Terus menerus (akan ada) sekelompok dari umatku tertolong di atas kebenaran, tidak akan memudharatkannya siapa saja yang menyelisihi dan merendahkan mereka.”[7]
Kedua: Semua nama-nama ini mencakup Islam seluruhnya, karena Islam adalah Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka tidak memakai nama khusus yang menyelisihi, menambahi atau mengurangi dari apa yang ada di dalam Al qur’an dan As Sunnah. Ketiga: Semua nama-nama ini diantaranya ada yang terambil dari sunnah yang shahih dan diantaranya tidak dipakai kecuali dalam rangka menghadapi manhaj-manhaj ahli hawa nafsu dan kelompok-kelompok sesat. Hal ini dalam rangka untuk membantah mereka, menjauhkan diri dari bergaul bersama mereka dan bersikap keras terhadap mereka. Ini disebabkan munculnya bid’ah mereka yang berbeda dengan istilah As Sunnah. Diantaranya ketika mereka menjadikan hasil pemikirannya sebagai hakim, ketika mereka berbeda dengan istilah al hadits serta al atsar dan ketika bertebaran kebid’ahan-kebid’ahan serta hawa nafsu-hawa nafsu mereka telah berbeda dengan istilah salaf.
Keempat: Meletakkan al wala’ (loyalitas), al bara’ (berlepas diri), al mu’awanat (Pembelaan) dan al mua’adat (permusuhan) di atas Islam bukan selainnya,
tidak di atas satu lambang tertentu atau lambang yang telah ada, akan tetapi di atas Al Qur’an dan As Sunnah semata. Kelima: Nama-nama ini tidak menggiring mereka ke dalam lingkaran fanatisme kepada individu tertentu, kecuali hanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Para pengikut kebenaran dan As Sunnah tidak memiliki contoh kecuali (hanya mencontoh) Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, yang ucapannya bukan berasal dari hawa nafsunya, akan tetapi dengan wahyu yang telah diturunkan kepadaya. Beliaulah yang wajib kita benarkan terhadap segala apa yang diberitakannya dan mentaati apa saja yang diperintahkannya. Hal ini tidak dimiliki oleh selain beliau, bahkan setiap orang bisa saja diambil dan ditinggalkan ucapannya kecuali Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Maka jelaslah semuanya, bahwa orang yang pantas menjadi Al Firqatun Najiyah (kelompok yang selamat) adalah Ahlul Hadits dan Ahlus Sunnah. Mereka tidak memiliki ikutan yang mereka fanatik kepadanya, kecuali hanya fanatik kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.”[8] Memang benar, bahwa ulama salafiyin dulu maupun sekarang, mereka sangat jauh dari fanatisme terhadap para imam dan masyaikh (para syaikh). Merekalah yang paling tunduk dalam mengikuti dalil dan burhan (petunjuk), dan lebih bersemangat (untuk mencari ilmu, mengamalkan dan mendakwahkan) sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang shahih.
Berbeda dengan para pengikut kelompok-kelompok yang mendasari pemikiran-pemikiran mereka di atas ketatan mutlak )kepada pemimpinnya), yang bila dilihat dengan kacamata Islami, maka dia (pemimpinnya) tidak berhak untuk dijadikan sebagai tempat bertanya, memberi hujjah atau dimintai dalil dan keterangan. Adapun dari apa yang telah terjadi dari perilaku sebagian orang yang demikian itu jika mereka menisbatkan dirinya kepada dakwah salafiyah, alhamdulillah ini jarang terjadi serta sedikit jumlahnya. Maka jika yang ditanya itu adalah orang yang jahil (bodoh) tentang hakikat jalannya salaf, tentunya cercaan itu akan kembali kepada si jahil tersebut. Bagaimana pendapat kalian jika kalian melihat perilaku umat Islam yang telah dikritik oleh Orang-orang Nasrani bahwa sebagian mereka terjatuh dalam perbuatan dzalim, keji, intimidasi, melampaui batas dan jelek, apakah setelah itu cercaan yang seperti ini akan mengenai Islam? Naudzubillah. Demikianlah pula dengan ucapan yang berasal dari para penganut akal dengan mengatakan: “Setiap jama’ah memiliki kesalahan tanpa terkecuali manhaj salaf.” Sungguh dia telah mencampur adukkan antara yang haq dan bathil. Dan hal ini tidak muncul dari mereka kecuali dari kebodohan yang nyata. Dan masih ada kebodohan dalam bentuk lain, yaitu “berdalil dengan kuantitas”, artinya bahwa jalan Fulan ini banyak yang mengikutinya (tanpa melihat) apakah jalan itu benar atau tidak. Mereka mencerca salafiyin karena
sedikit pengikutnya dan mereka (penganut akal) berbangga karena pemikiranpemikiran dan buku-buku mereka laku di pasaran. Banyaknya pengikut tidak bisa dijadikan dalil kebenaran. Begitu pula sedikitnya pengikut tidak bisa jadi bukti ketidakbenaran, karena hal ini tidak ada dasarnya, baik dari kacamata syari’at ataupun secara kenyataan. Adapun dalil dari syari’at; Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya.” (Yusuf: 103) Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Al An’am: 116) Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Dantidak beriman bersama Nuh itu kecuali sedikit.” (Hud: 40) Adapun secara kenyataan; Bahwa orang-orang kafir berlipat-lipat jumlahnya dibanding dengan orang-orang Islam. Bahkan orang nasrani lebih banyak dari kaum muslim. Sertengah juta orang-orang barat berkumpul di lapangan untuk menyaksikan, mendengarkan seorang penyanyi, berdansa dan berdrama.
Pada sebagian acara-acara TV seperti drama dan nyanyian-nyanyian disaksikan pada waktu yang bersamaan oleh kurang lebih sepuluh juta orang. Sebagian buku-buku nujum (ilmu sihir) dibeli kurang lebih oleh sepuluh juta orang. Yang menghadiri acara kelahiran Al Badawi adalah masyarakat yang sangat banyak sampai mencapai dua juta orang. Apakah masuk akal, kalau kita beralasan karea banyaknya penggemar menunjukkan bahwa jalan mereka adalah benar dan mereka adalah orang-orang yang dicintai di sisi Allah. Inilah ukuran orang-orang jahil dan orang-orang yang tertipu. Adapun para penganut al Haq mengetahui bahwa sedikit-banyak jumlah pengikut bukanlah sebagai ukurang. Bahkan, terkadang yang sedikit jumlahnya lebih dekat kepada kebenaran. Artinya bahwa pemegang al Haq itu sedikit. Rasulullah bersabda: “Telah ditampakkan kepadaku umat-umat terdahulu, maka aku melihat seorang Nabi dengan pengikutnya (dengan jumlah) rahthun (dibawah sembilan di atas tiga) dan seorang Nabi bersama satu pengikut atau dua orang serta seorang Nabi tidak membawa pengikut sama sekali.”[9] Apakah bolehseseorang menghakimi para Nabi, dengan mengatakan bahwa jalan mereka salah atau mereka gagal dalam berdakwah?! Semoga Allah melindungi kita (dari ucapan jelek ini). Termasuk perkara yang dimaklumi, seperti yang telah dijelaskan di dalam hadits-hadits yang shahih bahwa para pengikut dajjal dari penduduk
bumi ini banyak sekali. Hal ini dikarenakan kuat dan kerasnya kedustaan serta penyesatannya dan sangat sedikit yang kokoh di atas keimanan. Para pengikut manhaj salaf akan semakin bertambah kokoh dan kuat serta meyakini kebenaran manhaj Allah dari Rasul-Nya yang murni, ketika melihat manusia terpecah berkeping-keping dan melihat kepada pengikut manhaj-manhaj sesat yang sangat banyak jumlahnya. Mereka mengetahui, bahwa keadaan Islam sekarang dalam keadaan asing sebagaimana asingnya ketika pertama kali datang. Mereka mengetahui bahwa orang yang berpegang dengan bimbingan agama di masa sekarang ini seperti orang yang memegang bara api, karena sedikitnya para pengikut al haq dan banyaknya pengikut kebatilan dan juga karena kedzaliman ahli kebatilan terhadap pengikut al haq yang sedikit jumlahnya. Semuanya ini tidakmembawa mereka kepada sikap putus asa serta lari dari Rahmat Allah. Tidak pula menjadikan mereka meninggalkan kewajibankewajiban dalam menyampaikan (Kebaikan), berdakwah dan amar ma’ruf nahi munkar. Mereka bahkan terdorong untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan ini merupakan udzurnya (dihadapan Allah). Mereka selalu mengingat firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Sesungguhnya engkau tidak bisa memberikan petunjuk kepada siapa saja yang engkau cintai, dan akan tetapi Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Al Qashash: 56)
Dan juga firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Demi Masa. Sesungguhnya semua manusia dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, orang yang saling berwasiat dalam kebaikan dan orang-orang yang saling berwasiat dalam kesabaran.” (al Ashr: 1-3) Di dalam ayat ini ada dalil yang menunjukkan terlalu banyak orang-orang yang merugi dan binasa serta sedikitnya orang-orang yang berhasil menang. Kita minta kepada Allah agar memberikan kita kekokohan (iman) dan terus menerus berada di atas al haq (kebenaran). “Wahai Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatat sesudahj Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (Ali Imran: 8)
Foot Note: [4]. Lihatlah kitab Al Hujjah fi Bayan Al Mahajjah (1/364), karya Al Ashbahani [5]. Majmu’ Fatawa (4/149), karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ru’yatun Waqi’iyah fil Manahij Ad Da’wiyah (hal. 21-23), karya Syaikh Ali bin Hasan bin Abdul Hamid [6]. Sunan Abi dawud (5/13), At Tirmidzi dengan Syarah Tuhfatul Ahwadzi (7/438), Ibnu Majah (1/15) dalam Al Muqaddimah, Ahmad (4/126-127), dan Al
Hakim dalam Kitabul ‘Ilmi (1/95-97). Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam kitab Silsilah Ash Shahihah (2/647). [7]. Di dalam riwayat yang lain dengan lafadz: “Terus menerus ada sekelompok dari umatku yang senantiasa tampil di tas kebenaran. Tidak akan membahayakan mereka (atas perbuatan) orang-orang yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu.” (HR. Bukhari-Muslim, dan lafadz hadits ini adalah lafadz milik Imam Muslim dari sahabat Tsauban, hadits no. 1920 –ed). [8]. Sampai disini ucapan Syaikh Bakar abu Zaid, semoga Allah memberi berkah dalam umur beliau dan memberikan manfaat pada ilmu beliau. [9]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitabul ‘Iman hal. 374 dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma yang panjang.
KEUTAMAAN ILMU SALAF DAN KITAB-KITAB MEREKA
Wahai saudaraku! Sesungguhnya Al Imam Al Hafidz Zainuddin Abul Faraj Abdurrahman bin Syihabuddin bin Ahmad bin Rajab Al Hanbali telah menulis sebuah kitab yang berjudul: Fadlu ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘Ilmil Khalaf (Keutamaan Ilmu Salaf di atas Ilmu Khalaf). Kitab ini sangat terkenal dan telah dimanfaatkan oleh umat Islam serta telah di tahqiq (diteliti). Didalam kitab tersebut, beliau rahimahullah menjelaskan bahwa ilmu itu ada dua macam, yaitu ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak bermanfaat. Berikut ini saya akan menyadurkan beberapa ucapan dan ungkapan beliau. Ibnu Rajab di dalam kitabnya setelah menjelaskan apa yang dimaksud ilmu yang bermanfaat, lalu beliau menyebutkan bagian yang kedua (yaitu ilmu yang tidak bermanfaat pada hal. 16) dengan mengatakan: “Sungguh Allah telah menceritakan tentang suatu kaum yang telah diberi ilmu, namun ilmu tersebut tidak bermanfaat buat mereka. Inilah ilmu yang bermanfaat pada zatnya saja, akan tetapi pemiliknya tidak bisa mengambil mafaat darinya. Allah subhanahu wa ta’alai berfirman: “Perumpamaan orang yang dipikulkan kepadanya taurat, kemudian mereka tidak memikulnya (tidak mengamalkan isinya) adalah seperti (seekor) keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.” (Al Jumu’ah: 5)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka ayat-ayat Kami (yakni pengetahuan tentang isi Al Kitab) kemudian mereka melepaskan diri dari ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh syaithan (sampai dia tergoda) maka jadilah ia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan memperturutkan hawa nafsunya yang rendah.” (Al a’raf: 175176) Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan Allah membiarkan dia sesat berdasar ilmu-Nya.” (Al Jatsiyah: 23) (Saya membawakan) dalil ini berdasarkan ulama yang menafsirkan kata: ‘ala ‘ilmin (di atas ilmu), dengan: “Ilmu orang yang telah disesatkan oleh Allah.” Di antara ilmu ada yang disebutkan oleh Allah, tetapi dalam rangka mecela ilmu tersebut, yaitu seperti ilmu sihir. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Danmereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, adalah baginya kerugian di akhirat.” (Al Baqarah: 102) Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Maka tatkala datang kepada mereka Rasul-Rasul (yang diutus kepada mereka) dengan membawa keterangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikapung oleh adzab Allah yang selalu mereka perolok-olokkan itu.” (Ghafir/Al Mukmin: 83) Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang kehidupan akhirat adalah orang-orang yang lalai.” (Ar Rum: 7) Didalam As Sunnah juga telah menjelaskan pembagian ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak bermanfaat, berlindung dari ilmu yang tidak bermanfaat dan meminta kepada Allah ilmu yang bermanfaat. Di dalam shahih Muslim dari sahabat Zaid bin Arqam bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Ya Allah, aku meminta perlindungan-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu’, jiwa yang tidak pernah merasa puas dan do’a yang tidak dikabulkan.”[10]
Kemudian Ibnu Rajab rahimahullah berkata lagi (pada hal. 51):
“Dan diantara perkara yang diingkari oleh ulama salaf adalah jidal (perdebatan), khisham (adu argumentasi), dan mira’ (bantah-membantah) dalam masalah-masalah yang jelas halal dan haramnya. Karena ini bukanlah jalannya para Imam Islam, akan tetapi jalan yang dibuat oleh orang-orang yang setelah mereka, sebagaimana yang telah dilakukan oleh ulama-ulama Iraq dan Khurasan dalam perselisihan yang terjadi antara mazhab Syafi’i dan Hanafi. Mereka mengarang kitab-kitab dalam masalah khilafiyah (perbedaan pendapat), memperluas masalah pembahasan dan memperdebatkannya dalam kitab tersebut. Semuanya itu adalah perkara baru yang diada-adakan dan perkara ini akan menyebabkan mereka tersibukkan dengannya sehingga melupakan ilmu yang bermanfaat. Semuanya itu telah diingkari oleh salaf, sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits marfu’ (hadits yang riwayatnya sampai kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam) yang terdapat dalam kitab Sunan: “Tidaklah sesat suatu kaum setelah datang petunjuk kepadanya kecuali setelah diberikan kepada mereka ilmu jidal (debat).” Kemudian beliau shallallahu’alaihi wa sallam membacakan (firman Allah subhanahu wa ta’ala):
“mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (Az Zukhruf: 58)[11] Sebagian dari ulama salaf mengatakan: “Jika Allah menginginkan kebaikan kepada seorang hamba, maka Allah akan bukakan baginya pintu beramal dan menutup baginya pintu jidal (debat). Dan apabila Allah menginginkan kejelekan bagi seorang hamba, maka Allah menutup baginya pintu beramal dan membukakan baginya pintu jidal.”[12] Imam Malik rahimahullah berkata: “Saya mendapati penduduk negeri ini (yakni Madinah), mereka membenci perbuatan yang dilakukan oleh kebanyakan orang sekarang ini.”[13] Yang dimaksud beliau rahimahullah adalah perkara-perkara yang berkaitan dengan masalah-masalah jidal, khisam dan mira’. Imam Malik sangat membenci banyak berbicara dan berfatwa. Beliau rahimahullah berkata: “setiap mereka berbicara seperti onta yang kehausan, mereka berkata dia demikian, dia demikian (seperti orang yang) mengigau yang tidak jelas pembicaraannya.” Bahkan beliau rahimahullah tidak mau menjawab dalam banyak permasalahan, kemudian beliau menukilkan firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Mereka akan bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah bahwa ruh urusannya ada di tangan Rabb-ku.” (Al Isra’: 85)
Kemudia beliau rahimahullah berkata: “Rasulullah tidak memberikan jawaban dalam masalah itu.” Ditanyakan kepada beliau rahimahullah: “Apakah seorang dikatakan alim tentang sunnah padahal dia selalu memperdebatkannya?” Beliau rahimahullah menjawab: “Tidak, akan tetapi sampaikanlah sunnah kepadanya kalau dia mau menerima, jika dia tidak mau menerima hendaklah diam.” Beliau rahimahullah pernah berkata: “Al Mira’ (saling membantah) dan Al Jidal (saling berdebat) terhadap ilmu akan menghilangkan cahaya ilmu tersebut.” Beliau rahimahullah berkata: “Debat terhadap masalah ilmu akan dapat mengeraskan hati dan mewariskan kedengkian.” Dan
beliau
berkata
dalam
masalah-masalah
yang
ditanyakan
kepadanya: “Saya tidak mengetahuinya.” Jalan Imam Malik ini diikuti oleh Imam Ahmad dalam permasalahan ini. Dan telah datang larangan agar jangan banyak bertanya, memperdalam masalah yang keliru, dan permasalahan yang belum terjadi. Permasalahan ini sangat panjang kalau dijabarkan. Adapun perkataan ulama salaf seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Imam Ishaq, mereka di dalam membahas permasalahan fiqih dan
menetapkan hukumnya mengatakan dengan perkataan yang pendek, ringkas, dan difahami maksudnya tanpa harus berbicara panjang lebar dan bertele-tele. Demikian pula ketika mereka membantah pendapat-pendapat yang menyelisihi sunnah dengan bantahan yang lemah lembut dan menggunakan ungkapan yang baik. Dan hal ini cukup bagi orang yang memahaminya, jika dibandingkan dengan ungkapan-ungkapan ahlul kalam (orang yang hanya pandai berbicara). Terkadang ucapan ahlul kalam sangat panjang lebar dan tidak mengandung unsur kebenaran, tidak seperti yang dikandung oleh ucapan ulama salaf dengan ucapan yang ringkas dan pendek. Adapun diamnya mereka (ulama salaf) dari banyak berdebat dan membantah, bukan karena mereka bodoh atau lemah untuk berbuat itu, akan tetapi diamnya mereka karena ilmu dan takut kepada Allah. Sebaliknya, semakin luas dan banyaknya pembicaraan orang-orang selain ulama salaf, bukan berarti mereka ahli dan menguasai ilmunya, akan tetapi ini semua karena mereka senang berbicara dan kurangnya sifat wara’ (rendah hati). Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata ketika mendengar orang yang sedang berdebat: “Mereka itulah orang-orang yang telah bosan dari beribadah, orang-orang yang telah lemah akal, dan sedikit sifat wara’-nya sehingga mereka memperdebatkan dalam masalah tersebut.”[14]
Ja’far bin Muhammad berkata: “Berhati-hatlah kalian berdebat di dalam masalah agama, karena hal ini akan menyibukkan hati dan akan menimbukan sifat kemunafikan.”[15] Umar bin ‘Abdul Aziz berkata: “Apabila kamu mendengar Al Mira’ (bantah membantah), maka ringkaskanlah.” Dan beliau rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang menjadikan agamanya sebagai arena (sumber) perdebatan, maka dia akan sering berpindah.”[16] Dalam kesempatan yang lain beliau berkata: “Salafus Shalih (orangorang terdahulu yang shalih),mereka berhenti karena ilmu, dan mereka diam karena ilmu pula, serta mereka sangat mampu kalau mereka mau mencarinya.” Dan masih banyak lagi ucapan ulama salaf yang semakna dengan ucapan ini. Orang-orang sekarang banyak yang terfitnah dengan permasalahan ini. Mereka menyangka bahwa orang banyak bicara, suka berdebat, dan membantah dalam masalah agama lebih berilmu dibandingkan dengan orang yang tidak demikian. Ini termasuk dari kebodohan mereka semua. Lihatlah kepada para pembesar shahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan ulama-ulama mereka seperti Abu Bakar, Umar, Ali, Mu’adz, Ibnu Mas’ud dan Zaid bin Tsabit, ucapan mereka lebih sedikit daripada ucapan Ibnu Abbas, padahal mereka lebih pandai darinya.
Begitu juga ucapan tabi’in lebih banyak dari ucapan shahabat, padahal shahabat lebih berilmu dari mereka. Dan ucapan para tabi’ut tabi’in lebih banyak dari ucapan tabi’in padahal tabi’in lebih mengetahui dari tabi’ut tabi’in. Ilmu itu bukan karena banyak meriwayatkan dan tidak pula karena banyak pendapat-pendapat, akan tetapi ilmu itu adalah cahaya yang terdapat di dalam hati, sehingga seorang hamba dapat mengetahui yang al haq dengan yang bathil. Semua ini diungkapkan dengan ungkapan-ungkapan ringkas dan dapat mencapai apa yang dimaksud. Dan Nabi kita, Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, telah diberi oleh Allah dengan sifat Jawami’ul Kalim (Ucapan yang singkat tetapi dapat mencapai apa yang dimaksud) dan ucapan-ucapan yang sangat ringkas. Berdasarkan inilah, banyak terdapat larangan (di dalam agama) yang melarang banyak berbicara dan banyak mengutip ucapan berita yang belum jelas kebenarannya (qiila wa qoola).[17] Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak mengutus seorang Nabi pun kecuali ia sebagai penyampai (apa yang datang dari Allah) dan sesungguhnya banyak berkata itu adalah dari setan.”[18] Apabila Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berkhutbah, maka beliau berkhutbah dengan singkat, ringkas dan sedang.[19]
Dan seandainya ada seseorang yang ingin menghitung ucapan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam sebuah hadits, niscaya dia pasti akan mampu menghitungnya.[20] Beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya sebagian dari bayan (keterangan) adalah sihir.”[21] Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengatakan yang demikian adalah dalam rangka mencela perbuatan tersebut, bukan dalam rangka memuji sebagaimana yang disangka oleh (sebagian) orang. Barangsiapa yang mengamati yang demikian itu, maka dia akan mengatahui dengan pasti. Dala riwayat Imam At Tirmidzi dan selain beliau dari shahabat Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma secara marfu’ (sanadnya sampai kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam): “Sesunggunya Allah sangat membenci seseorang yang banyak bicara dan bersilat lidah sebagaimana sapi yang menggerak-gerakkan lidahnya.”[22] Masih banyak hadits-hadits yang marfu’ dan mauquf (ucapan shahabat) yang lain seperti ucapan Umar, Sa’ad, Ibnu Mas’ud, Aisyah dan selain mereka yang semakna dengan di atas. Wajib diyakini, bahwa tidak setiap orang yang banyak ucapan dan pembicaraannya dalam masalah ilmu adalah lebih berilmu daripada orang yang tidak demikian.
Kita telah diuji dengan adanya orang-orang jahil yang meyakini terhadap sebagian orang-orang sekarang yang gemar menyibukkan diri dalam masalah banyak bicara adalah lebih berilmu dari orang-orang sebelumnya. Bahkan diantara mereka meyakini pada seseorang karena banyaknya keterangan dan ucapannya adalah lebih pandai dari orang-orang sebelumnya dari kalangan shahabat dan orang-orang sesudah mereka. Ini
termasuk
penghinaan
terhadap
kemuliaan
shalafus
shalih,
berprasangka buruk terhadap mereka dan menisbatkan mereka kepada kebodohan dan kepada orang-orang yang kurang ilmunya. La haula wala quwwata illa billah. Sungguh
benar
apa
yang
telah
dikatakan
oleh
Ibnu
Mas’ud
radhiyallahu’anhu tentang para shahabat: “Sesungguhnya mereka adalah orang yang paling baik hatinya, paling dala ilmunya dan paling sedikit Takalluf-nya.”[23] Diriwayatkan juga atsar (riwayat) yang seperti ini dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang setelah para shahabat adalah orang-orang yang sedikit ilmunya dan lebih banyak takallufnya. Abdullah
Ibnu
Mas’ud
radhiyallahu’anhu
juga
berkata:
“Sesungguhnya kalian berada pada zaman, dimana ulama kalian banyak dan para khatibnya (penceramah) sedikit dan akan datang pula kepada kalian suatu zaman, dimana ulamanya sedikit dan para khatibnya
banyak. Orang yang terpuji adalah orang yang banyak ilmunya dan sedikit bicaranya. Dan sebaliknya, orang yang tercela adalah orang yang kurang ilmunya dan banyak bicaranya.” (Selesai ucapan ibnu rajab Al Hanbali Al Baghdadi rahimahullah dalam kitabnya: Fadlu ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘Ilmil Khalaf -ed). Wahai saudaraku se-Islam; Saya (penulis) telah banyak mengutip ucapan Al Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah, dan saya yakin bahwa faedah yang kita –sebagai penuntut ilmudapat darinya adalah sangat besar, jika kita membandingkannya secara teliti antara ilmu salaf dan ilmu khalaf (orang-orang yang datang belakangan). Diantara haedah-faedahnya adalah: 1. Ilmu ada dua macam, yaitu ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak bermanfaat. 2. Ilmu yang bermanfaat kadang-kadang diketahui oleh orang-orang yang tidak bisa mengambil manfaat darinya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan Allah menyesatkannya di atas ilmu.” (Al Jatsiyah: 23) 3. Kebencian dan pengingkaran ulama salaf terhadap ilmu jidal (perdebatan),
khisam (adu argumentasi), dan mira’ (bantah-membantah) dalam masalah agama.
4. Al Mira’ dan Al Jidal (perdebatan dan bantah-membantah) adalah perkara bid’ah. 5. Imam Malik rahimahullah sangat membenci orang yang banyak bicara dan berfatwa. Beliau menyerupakan orang-orang yang banyak bicara dalam masalah agama seperti binatang yang kehausan. 6. Ulama salaf sederhana dalam hal ibarah (menyampaikan pembicaraan) dan
mereka sangat memperhatikan sunnah daripada jidal. Apabila mereka membantah para penyelisih terhadap sunnah, mereka membantahnya dengan cara lemah lembut dan dengan sebaik-baik bantahan tanpa berteletele. 7. banyak ucapan dan pernyataan orang sekarang yang tidak menunjukkan kalau mereka memiliki kekhususan dalm bidang ilmu yang dimiliki oleh salaf, akan tetapi yang tampak adalah mereka senang berbicara, ingin mendapat pujian (dari manusia) dan juga menunjukkan sedikitnya sifat wara’-nya. 8. Al Hafizh Ibnu Rajab telah meneliti dan beliau mendapatkan bahwa ucapan shahabat lebih sedikit daripada ucapan tabi’in, ucapan tabi’in lebih sedikit dari ucapan tabi’ut tabi’in dan seterusnya. Dan semuanya ini memiliki arti dan makna. 9. Khutbah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam shalat jumat adalah sederhana artinya, ringkas dan padat, tetapi sunnah ini telah dilalaikan oleh kebanyakan khatib Jum’at sekarang ini.
10. Memakai kalimat-kalimat yang sulit dalamberbicara dan berpura-pura berkata fasih, serta banyak berbicara dalam masalah agama dan segala hal yang berkaitan dengannya. Hal ini bukan suatu sifat yang terpuji dalam pandangan ulama salaf, akan tetapi ini merupakan sifat yang tercela. 11. Adanya unsur penipuan dari seseorang yang banyak berbicara dan panjang khutbahnya sehingga keluar dari tujuan khutbah jum’at tersebut. Semua ini dilakukan untuk menarik perhatian orang. Dan tidak akan tertipu dari orangorang yang seperti itu kecuali orang-orang yang ganjil dan lemah akal. Dari sini kita mengetahuiperbedaan jalan yang telah ditempuh oleh para ulama Rabbaniyun. Tujuan dan niat mereka sangat lurus dalam memberikan bimbingan (kepada umat) dibanding jalan yang ditempuh oleh sebagian penuntut ilmu. Semoga Allah memberi hidayah kepada mereka dan memberi taufik-Nya kepada kita sehingga kita akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat, tetap selalu terkait dengan manhaj slafus shalih ridwanullah ajma’in, kembali kepada ulama dengan (niat) yang ikhlas dan jujur, agar terwujudnya persatuan pemilik al haq dan supaya jiwa mereka menjadi bersatu. Dan juga agar terwujud tolong menolong dalam kebaikan, bukan tolong menolong di atas dosa dan permusuhan. Wabillahittaufiq.
Foot note: [9]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitabul ‘Iman hal. 374 dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma yang panjang. [10]. Lihat kitab Shahih Muslim (4/2088). [11]. HR. At Tirmidzi (5/363), hadits no. 3253), dan beliau berkata: “Hadits ini hasan shahih”, Ibnu Majah dalam Al Muqaddimah (haditsz no. 48), Imam Ahmad dalam Musnad-nya (5/252-256), Al Hakim dalam kitab Al Mustadrak pada tafsir surat Az Zukhruf dan beliau berkata: “Sanadnya shahih”, serta disepakati oleh Adz Dzahabi, semuanya dari jalan shahabat Abu Umamah (Fadlu ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘Ilmil Khalaf –ed). [12]. Ini adalah pernyataan Ma’ruf Al karakhi yang diriwayatkan oleh abu Nu’aim dalam Al Hilyah (8/361), Al Khatib dalam Iqtidha’ul ‘Ilmi (hal. 80) dengan tahqiq Ustadz Al ‘Ajmi. [13]. Diriwayatkan oleh Al Khatib dalam kitab Al Faqih wal Mutafaqih (2/9) dengan tahqiq Ustadz Al ‘Ajmi. [14]. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Az Zuhd (hal. 272), dan Abu Nu’aim dalam kitab Al Hilyah (2/156) dengan Tahqiq ustadz Al ‘Ajmi. [15]. Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (3/198) dengan tahqiq Ustadz Al ‘Ajmi. [16]. Perkataan beliau: “Maka dia akan sering berpindah”, maksudnya adalah berpindah dari satu pemahaman atau madzhab ke pemahaman atau madzhab
yang lain. Diriwayatkan oleh Ad Darimi (1/91) dan Al Ajurri dalam Asy Syari’ah (hal. 56-57). [17]. Ibnu Rajab rahimahullah mengisyaratkan kepada hadits yang telah dikeluarkan oleh Imam Al Bukhari (3/340), (5/68), (10/405), (11/306), dan Imam Muslim (3/1340 dan 1341). Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dari shahabat Al Mughirah bin Syu’bah secara marfu’ dengan tahqiq Ustadz al ‘Ajmi berbunyi: “sesungguhnya Allah membenci kalian (untuk melakukan) 3 perbuatan, yaitu: banyak mengutip ucapan (berita) yang belum jelas kebenarannya, menyia-nyiakan harta, dan banyak bertanya.” [18]. Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf (11/163-164) dan ini termasuk dari mursal Mujahid dan dia dha’if (lemah) karena mursal, sebagaimana dikatakan oleh pentahqiqnya, Ustadz Al ‘Ajmi. [19]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim (2/591) dengan tahqiq Ustadz Al ‘Ajmi dari shahabat Jabir bin Samurah radhiyallahu’anhu bahwa dia berkata: “Saya shalat (jum’at) bersama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, maka shalat beliau sedang dan khutbahnya juga sedang (waktunya).” [20].
Diriwayatkan
oleh
Imam
Muslim
(4/2296)
dari
hadits
Aisyah
radhiyallahu’anha bahwa dia berkata: “Seandainya ucapan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam sebuah hadits dihitung (oleh seseorang), maka dia pasti dapat menghitungnya.”
[21]. Di dalam riwayat yang lain dengan lafadz: “Sesungguhnya di antara susunan kata-kata yang indah terdapat sihir.” (HR.
Bukhari-Muslim
dari
shahabat
Abdullah
bin
‘Umar
radhiyallahu’anhuma –ed). [22]. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (2/165 dan 187), Abu Dawud (5005), At Tirmidzi (2583), dan lafadz hadits ini adalah miliknya. Hadits ini ditahqiq oleh Ustadz Al ‘Ajmi. [23]. Takalluf adalah membebani diri dengan hal-hal yang tidak bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat –ed.
KITAB-KITAB SALAF DALAM MASALAH AQIDAH
Wahai saudaraku yang mulia; Sekarang kita sampai kepada pembahasan yang sesuai dengan judul tulisan ini. Kita telah mengetahui perbedaan antara manhaj salaf dengan khalaf dan mengetahui pula kedudukan dan pentingnya aqidah salaf yang garis besarnya adalah berpegang teguh dengan sunnah dan menjauhi kebid’ahan. Di dalam bab ini, saya akan menyabutkan dua Imam yang mulia. Imam Az Zuhri rahimahullah berkata: “Ulama-ulama kita berkata: “Berpegang teguh dengan sunnah adalah keselamatan.” Imam Malik rahimahullah berkata: “As Sunnah adalah seperti perahunya Nabi Nuh. Barangsiapa yang menaikinya, ia akan selamat dan barangsiapa yang tidak mau menaikinya, maka ia akan tenggelam.”[24] Seharusnya
bagi
(seorang)
penuntut
ilmu
bersemangat
untuk
menyelamatkan aqidah dan manhajnya. Caranya dengan cara membiasakan diri dengan membaca kitab-kitab sunnah dan kitab yang berisi aqidah salafus shalih serta bersungguh-sungguh dalam menelaahnya. Kemudian mempraktekkan apa yang telah diketahuinya dengan penuh keadilan dalam semua urusan. Tidak tafrith (menyepelekan) dan tidak pula ifrath (melampaui batas).
Hendaklah para penuntut ilmu menghindari sikap keras yang melampaui batas. Selalu bersama para ulama yang kokoh di atas sunnah dan mencontoh mereka untuk menghadapi (permasalahan) yang berada di sekitar kita. Menjauhkan diri dari sikap menentang dan berpaling dari manhaj salaf serta kitab-kitabnya atau menjelek-jelekkan para ulama yang kokoh (di atas ilmu) atau menganggap mereka jahil dan lalai. Jika semuanya ini telah kalian ketahui, maka ketahuilah wahai saudaraku, bahwa kitab-kitab yang menjelaskan tentyang aqidah salaf ada tiga bentuk, yaitu:
Pertama
: Kitab-kitab Hadits.
Kedua
: Kitab-kitab Tafsir.
Ketiga
: Kitab-kitab khusus yang berbicara dalam masalah
ijtihad. Dan saya akan menjelaskan dari tiap-tiap bagian macam-macamnya, jika memungkinkan. A. KITAB-KITAB HADITS Kebanyakan kitab-kitab hadits sangat memperhatikan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah i’tiqad (keyakinan) dan mencakup juga di dalamnya bantahan terhadap penyelisihnya.
Diantara kitab-kitab hadits adalah: 1. Shahih Al Bukhari (Kitab hadits yang paling utama).
Imam Al Bukhari memasukkan dalam kitab Shahih beliau tiga kitab dalam masalah i’tiqad dan bantahan kepada kelompok Murji’ah.[25] Kitab Tauhid milik beliau rahimahullah mencakup di dalamnya bantahan terhadap kelompok Jahmiyah.[26] Sedangkan kitab Al I’tisham bis Sunnah mencakup bantahan terhadap para pengagung akal dan orang-orang yang mengingkari hadits Ahad sebagai hujjah (di dalam agama, khususnya dalam masalah aqidah –ed). 2. Shahih Muslim.
Imam Muslim memasukkan di dalam kitab Al Iman (Permasalahan tentang aqidah) dan mencakup bantahan terhadap Qadariyah.[27] 3. Sunan Abu Dawud.
Abu Dawud memasukkan dalam Sunan-nya, kitab As Sunnah yang di dalamnya membahas bantahan terhadap Qadariyah, Murji’ah, Jahmiyah Al Mu’aththilah. Beliau bahkan meletakkan judul dan nama-nama kelompok tersebut seperti ucapan beliau dalam bab: Ar Raddu ‘alal Jahmiyah. 4.
Sunan Ibnu Majah.
Al Imam abu ‘Abdillah Muhammad Yazid bin Majah meletakkan di dalam mukadimah kitab Sunan mulik beliau tentang wajibnya mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dengan jumlah halaman kurang lebih sebanyak 100 halaman dengan jumlah hadits sebanyak 266 buah. Beliau membuat banyak bab (di dalamnya), diantaranya: bab: Fima Unkiratil Jahmiyah. Beliau menyebutkan di dalam bab ini pengingkaran Jahmiyah terhadap ru’yatullah (Allah akan dilihat pada hari kiamat), Allah berbicara dan Allah beristiwa’ di atas ‘Asry-Nya. Beliau membawakan hadits-hadits yang merupakan bantahan terhadap mereka. Baliau menjelaskan juga tentang Khawarij dan selain mereka dari kelompok-kelompok bid’ah. Bahkan beliau menulis satu bab (yang membahas) kewajiban untuk menjauhi ra’yu (pendapat-pendapat yang tidak memiliki dasar atau dalil). B. KITAB-KITAB TAFSIR Yang dimaksud di sini adalah kitab-kitab yang ma’tsur (memiliki sanad) dan tempat-tempat (permasalahan ini) pada ayat-ayat sifat, seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Ar Rahman (Allah) beristiwa di atas ‘Arsy.” (Thaha: 5) Firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Kemudian Dia (Allah) beristiwa di atas ‘Arsy.” (Al A’raf: 54; Yunus: 3; Ar Ra’d: 2; Al Furqan: 59; As Sajdah: 4; Al Hadiid: 4)
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Kepada apa yang Aku telah menciptakannya dengan kedua tanganKu.” (Shad: 75) Firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Bahkan kedua tangan-Nya terhampar (terbuka).” (Al Maidah: 64) Firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Yang berlayar dengan mata-mata Kami.” (Al Qamar: 14) Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Dan Rabb-mu telah datang dan malaikat dengan bershaf-shaf.” (Al Fajr: 22) Dan selainnya dari ayat-ayat shifat (yakni ayat yang menyebutkan sifatsifat Allah subhanahu wa ta’ala). Termasuk dari sederetan tafsir salaf, yang sudah dicetak dan yang belum dicetak, dengan keistimewaannya yaitu bersanad artinya seorang musafir (ulama ahli tafsir) menyebutkan sand-sanad hadits sampai akhir. Kitab-kitab tafsir tersebut antara lain: 1. Tafsir Ibnu abi Hatim. 2. tafsir Abd. Bin Humaid.
3. Tafsir Ibnu Mardawaih. 4. Tafsir Al Baghawi. 5. Tafsir Ath-Thabari. 6. Tafsir Ad Dural Mantsur, karya: Imam As Suyuthi. 7. Tafsir Ibnu Katsir.
C.
KITAB-KITAB DALAM MASALAH AQIDAH Wahai saudara-saudara yang kuucintai; Jika disebutkan aqidah salaf Ahlus Sunnah dan tokohnya dalam
menjelaskan aqidah tersebut serta gigih membelanya, maka Imam Ahmad bin Hanbal-lah sebagai imam mereka dan sekaligus sebagai pemimpinnya. Di tangan beliaulah aqidah salaf mencuat ke permukaan dan terbedakan dengan para penyelisihnya. Beliau telah tampil menghadang Jahmiyah dan Mu’tazilah sebagaimana Abu Bakar tampil menghadang orang-orang murtad. Karena itu beliau adalah sebagai lambang sunnah dan digelari Imam Rabbani dan Ash Shiddiq yang kedua.[28] Tidak asing lagi, bahwa beliau rahimahullah telah mendapat ujian demi ujian yang tidak akan bisa dipikul oleh selain beliau dan tidak akan bersabar untuk menerima ujian seperti yang beliau alami dalam mempertahankan keyakinan.
Imam Al Muhaddits Ali bin al Madini –Syaikh Imam al Bukhari- berkata: “Sesungguhnya Allah telah menjayakan Islam ini dengan dua tokoh dan tidak ada yang ketiganya, yaitu: Abu Bakar Ash shiddiq pada hari-hari pemurtadan dan Imam Ahmad pada hari-hari fitnah, yaitu fitnah perkataan Al qur’an adalah mahluk dan pengingkaran terhadap ayat-ayat Allah.” Al Imam Ishaq bin Rahawaih mengatakan tentang beliau: “Kalau bukan karena Imam ahmad dan pengorbanan beliau,niscaya Islam ini akan hilang.” Bahkan cinta dan bencinya (seseorang) kepada beliau rahimahullah adalah sebagai barometer untuk mengetahui (apakah dia) Ahlus Sunnah atau Ahlul Bid’ah. Imam Abi Hatim berkata: ‘Apabila kalian melihat seseorang mencintai Ahmad bin hanbal, ketahuilah bahwa dia adalah Ahlus Sunnah.” Abu Ja’far Al Fallas berkata: “Apabila kalian melihat seseorang mencerca Ahmad bin Hanbal, maka sesungguhnya dia adalah seorang Mubtadi’ (pelaku bid’ah) yang sesat.”[29] Imam Ahmad sangat membenci berdalam-dalam tentang masalah agama, banyak berbicara tentang sifat-sifat Allah (sebagaimana Ahlul Bid’ah) dan perkara-perkara yang berkaitan dengannya. Ketika beliau melihat marabahaya yang akan menimpa agama yang didalangi oleh Mu’tazilah, maka beliau dalam keadaan terpaksa harus terjun ke medan pertarungan. Beliau mengorbankan segalanya demi terjaganya aqidah umat ini.
Karya-karya Imam Ahmad diantaranya: 1. Kitab As Sunnah. 2. Kitab Ar Raddu ‘alal Jahmiyah.
Beliau memberi kesempatan kepada para ulama di dalam menjelaskan aqidah yang benar dan membantah para penyelisih dengan kemampuan yang jelas. Diantara sederetan para ulama yang memiliki andil besar dalam membela aqidah salaf dan memegang kitab antara lain: 1. Al Imam Abdullah bin Al Mubarak (wafat pada tahun 181 H). 2. Yahya bin Said Al Qaththan, seorang ulama ahli hadits, ahli hujjah dan
kritisi (wafat pada tahun 198 H). 3. Ibnu Abi syaibah, Abu Bakar abdullah bin Muhammad bin Ibrahim Al
Abbasi. Beliau telah menulis kitab As Sunnah dan kitab Al iman (wafat pada tahun 225 H). 4. Yahya bin Bukhair bin Abdurrahman al Hanzhali Al Hafizh. (wafat pada
tahun 226 H). 5. Abu Abdillah Nu’aim bin Hammad. Beliau dan Murid-muridnya meninggal
di penjara karena pukulan yang sangat keras (wafat pada tahun 228 H). 6. Abdul Aziz Al Kinani Al Makki, pengarang kitab Al Haidah.
7. Abdullah bin Muhammad Al Ju’fi, salah seorang guru Imam Al Bukhari
(wafat pada tahun 229 H). Beliau menulis kitab yang berjudul Ar Raddu ‘alal Jahmiyah. 8. Imam Ishaq bin Ibrahim yang terkenal dengan nama “Ibnu Rahawaih”
(wafat pada tahun 238 H). 9. Imam Muhammad bin Isma’il bin Al bukhari. Disamping menulis kitab Al
Jami’, beliau juga menulis kitab Khalqu Af’alil ‘Ibad dan Ar Raddu ‘alal Jahmiyah. 10. Imam Abu Bakar ahmad bin Muhammad bin Hani’ Al Atsram, teman
Imam Ahmad (wafat pada tahun 273 H). Beliau menulis kitab As Sunnah. 11. Imam Abdullah bin Imam Ahmad. Beliau menulis kitab As Sunnah dan
telah dicetak dengan tahqiq DR. Muhammad Said Al Qaththani. 12. Imam Utsman bin said Ad Darimi (wafat pada tahun 280 H). Beliau
memiliki kitab yang berjudul Ar Raddu ‘alal Jahmiyah dan Ar Raddu ‘alal Marisi. 13. Imam Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Said Al Marwazi (wafat pada tahun
292 H). Kitab beliau berjudul As Sunnah. 14. Imam Abu Bakar Muhammad bin Al Husain bin Abdillah Al Ajurri (wafat
pada tahun 360 H). Diantara karya beliau adalah kitab Asy syari’ah dan kitab At tashdiq bin Nazhar ila Wajhillah wama A’adda li Auliya’uhu.
15. Imam Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad Ath Thabrani. Beliau memiliki
karya-karya Al Ma’ajim dan selainnya seperti kitab As sunnah (wafat pada tahun 360 H). 16. Imam Abu ali Haubal bin ishaq asy Syaibani, anak paman Imam ahmad
dan murid beliau (wafat pada tahun 283 H). Beliau menulis kitab yang berjudul As Sunnah. 17. Imam Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Harun Al Khallaf, beliaulah
yang telah menghimpun ilmu Imam Ahmad (wafat pada tahun 311 H). Beliau menulis kitab As Sunnah dalam tiga jilid dan telah ditahqiq satu jilid oleh DR. ‘Athiyah Adz Dzahrani. 18. Imam Abu syaikh abdullah bin Muhammad bin Ja’far bin Hayyan Al
Ashbahani. Karyanya banyak, diantaranya adalah kitab As Sunnah (wafat pada tahun 369 H). 19. Imam Abu Bakar Ahmad bin ‘Amr bin Abi ‘Ashim An Nabil Asy Syaibani
(wafat pada tahun 287 H). Beliau menulis kitab As Sunnah dan telah ditakhrij haditsnya oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani rahimahullah. 20. Imam Abu Hafizh Umar bin Ahmad bin Utsman Al Baghdadi, seorang
penasehat dan terkenal dengan nama “Syahin.” Beliau seorang hafizh besar (wafat pada tahun 385 H). Beliau memiliki kitab As Sunnah. 21. Imam Abul Hasan Al Asy’ari (wafat pada tahun 324 H). Beliau menulis
kitab Al Ibanah dan kitab Al Mujiz. Beliau mengarang kitab tersebut dengan mengikuti jalannya ahlul hadits dalam menetapkan sifat-sifat
(bagi Allah) dan di dalamnya terdapat bantahan terhadap Jahmiyah dan selainnya serta orang yang menta’thilkan (menolak) sifat-sifat (bagi Allah). 22. Imam Khasyisy bin Asram (wafat pada tahun 253 H). Beliau menulis
kitab yang berjudul Al Istiqamah dan Ar Raddu ‘alal Ahlil Bid’ah. 23. Imam Ishaq bin Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (wafat pada tahun
311 H), menulis kitab At Tauhid wa Itsbat sifat Irrabi Azza wa Jalla. 24. Imam abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath Thabari (wafat pada tahun 310
H). Beliau adalah penulis kitab tafsir yang besar dan kitab-kitab di atas manhaj
ahli
hadits
dan
sunnah,
sebagaimana
telah
berlalu
penjelasannya. 25. Abu Abdillah Muhammad bin Yahya bin Mundah, seorang hafizh dan
banyak berjalan dalam rangka untuk menuntut ilmu. Karya beliau antara lain kitab As Sunnah (wafat pada tahun 301 H). 26. Imam Abu Al Qasim Hibatullah bin Hasan Al Lalikai (wafat pada tahun
481 H). Diantara kitab beliau adalah Syarah Ushulus Sunnah dan telah dicetak dengan ditahqiq oleh DR. Ahmad Sa’ad Hamdan. 27. Imam Al Hafizh Amirul Mukminin dalam ilmu hadits, Abul Hasan bin Umar
Ad Daruquthni (wafat pada tahun 385 H). Diantara kitab beliau adalah kitab Ash Shifat, kitab An Nuzul dan kitab Ar Ru’yah.
28. Imam al Hafizh ‘Ubaidullah bin Muhammad bin Baththah Al ‘Akbari (wafat
pada tahun 387 H). Diantara karya beliau adalah Al Ibanah ‘an Syari’atil Firqatunnajiyah wa Mujanabatul Firaqil Mazmumah, kitab Al Ibanah Ash shughra dan kitab As Sunnah. 29. Imam Muhyis Sunnah, Abu Muhammad Al Husain bin Mas’ud Al Baghawi
(wafat pada tahun 516 H). Diantara karya beliau adalah Syarhus Sunnah dan di dalamnya mencakup kitab Al Iman. Diantara bab dalam kitab Al Iman adalah bab: Ar Raddu ‘alal Jahmiyah, bab: Bantahan terhadap Bid’ah-bid’ah dan hawa nafsu, bab: Menjauhi Ahlul Ahwa’. Dan telah lewat diisyaratkan kitab beliau dalam kitab-kitab tafsir. 30. Imam al Hafizh Abul Qasim Ismail bin Muhammad bin Al Fadl At Taimi Al
Ashbahani (wafat pada tahun 535 H). Diantara kitab beliau adalah Al Hujjah fi Bayanil Mahajjah, dan Syarah Madzhab Ahlus Sunnah, dan telah diocetak dengan dua jilid dengan Muhaqqiq Muhammad Rabi’ Al Madkhali dan Muhammad Abu Rahim. 31. Imam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim
bin Taimiyyah (wafat pada tahun 728 H). Kitab-kitab beliau terkenal (di kalangan kaum muslimin) dan banyak dipakai oleh para penuntut ilmu. Beliau telah mengarang kitab-kitab yang banyak, baik dalam masalah aqidah atau di dalam dakwah agar kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah, memerangi segala bentuk bid’ah dan hawa nafsu. Diantara kitab beliau, antara lain: Al aqidah Al Wasithiyah, Al aqidah Al
Hamawiyah, At Tadmuriyah, Iqtidha Shirathal Mustaqim, Minhajus Sunnah, Daru Ta’arudhul ‘Aql wan Naql, Qaidatan Jalilatun fi At Tawassul wal Wasilah, Ar Raddu ‘ala Al Bakri dan Ar Raddu ‘ala Al Akhna’i.
Foot Note: [24]. Lihat Fatawa Syaikhul Islam (4/57) dan kitab Al I’tisham (1/224-225). [25]. Murji’ah adalah kelompok sesat yang memiliki keyakinan bahwa amal perbuatan bukan bagian dari Iman. Sebagian dari mereka berkata: “Iman tidak akan rusak karena perbuatan maksiat sebagaimana ketaatan (seseorang) tidak bermanfaat karena kekafirannya.” [26]. Jahmiyah adalah kelompok sesat yang menolak nama dan sifat-sifat Allah. Pendiri kelompok ini adalah Jahm bin Shafwan –ed. [27]. Pemahaman Qadariyah dinisbatkan kepada Mu’tazilah, dikarenakan mereka mengingkari taqdir. Qadariyah ada 2 macam yaitu Qadariyah pertama dan Qadariyah Mu’tazilah. [28]. Lihat kitab Manaqib Imam Ahmad karya Ibnul jauzi (hal. 110 dan 116). [29]. Lihat Muqaddimah Al Ma’rifah li Kitab Al Jarh wat Ta’dil (hal. 308-309).